Haruskah Ada Jeda (Pemisah) ?
Petunjuk syariat menuntunkan bahwa hendaknya terdapat jeda antara shalat wajib dengan shalat sunnah, misalnya shalat sunnah rawatib ba’diyah. Jeda ini bisa berupa melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat wajib, atau berbicara (bercakap-cakap) dengan orang lain, atau berpindah dari tempat pelaksanaan shalat wajib ke tempat (sudut) lain untuk mendirikan shalat sunnah. Adanya jeda ini disyariatkan untuk siapa saja, baik dia statusnya imam, makmum, atau baik dia itu laki-laki atau perempuan. Karena dalil dalam masalah ini bersifat umum.
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Atha’ bahwa Nafi’ bin Jubair mengutusnya kepada Sa’ib, yaitu putra dari saudara perempuan Namir, untuk menanyakan sesuatu yang pernah dilihat oleh Mu’awiyah dalam shalat. Sa’ib berkata, “Benar, aku pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah di dalam maqshurah (suatu ruangan yang dibangun di dalam masjid). Setelah imam salam, aku berdiri di tempatku kemudian menunaikan shalat sunnah. Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadaku. Utusan itu mengatakan,
لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ، إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ، فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ، أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Jangan kamu ulangi perbuatanmu tadi. Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, janganlah kamu sambung dengan shalat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu kepada kita yaitu, “Janganlah suatu shalat disambung dengan shalat lain, kecuali setelah kita mengucapkan kata-kata atau keluar dari masjid.”” (HR. Muslim no. 883)
Ketika menjelaskan hadits ini, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثر مواضع سجوده ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة وقوله حتى نتكلم دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضا ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم
“Dalam hadits ini terdapat dalil pendapat ulama madzhab Syafi’i bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya itu dianjurkan dengan berpindah tempat dari tempat mendirikan shalat wajib ke tempat yang lainnya. Yang lebih afdhal adalah berpindah ke rumahnya. Jika tidak memungkinkan, dia berpindah ke sudut lain di masjid atau yang lainnya. Hal ini agar dia memperbanyak tempat untuk sujud, dan memisahkan antara shalat wajib dengan shalat sunnah.
Adapun perkataan Nabi, “setelah mengucapkan kata-kata” terdapat dalil bahwa jeda (pemisah) antara shalat wajib dan shalat sunnah itu juga bisa dengan ucapan. Akan tetapi, jeda berupa berpindah (ke tempat lain) itu yang lebih utama, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 420)
Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ashar, lalu ada seseorang yang langsung berdiri untuk shalat. ‘Umar melihatnya, lalu mengatakan,
اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ
“Duduklah, karena sesungguhnya kebinasaan ahlu kitab adalah karena tidak ada jeda antara shalat-shalat mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ
“Sungguh baik (benar) apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaththab (‘Umar).” (HR. Ahmad no. 23121, dan sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنَ صَلَّى الْمَكْتُوبَةَ، ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَتَطَوَّعَ فَلْيَتَكَلَّمْ، أَوْ فَلْيَمْشِ، وَلْيُصَلِّ أَمَامَ ذَلِكَ ؛ قَالَ: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنِّي لَأَقُولُ لِلْجَارِيَةِ: انْظُرِي كَمْ ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ؟ مَا بِي إِلَّا أَنْ أَفْصِلَ بَيْنَهُمَا
“Siapa saja yang mendirikan shalat wajib, kemudian ingin mendirikan shalat sunnah, hendaklah dia berkata-kata (mengucapkan suatu kalimat), atau berjalan, lalu shalatlah setelahnya.” Perawi berkata, “Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berkata kepada budak perempuan itu, “Lihatlah, berapa banyak malam yang telah berlalu? Tidak ada maksud aku mengucapkan kalimat itu, kecuali karena ingin memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunnah.” (HR. ‘Abdur Razaq dalam Mushannaf no. 3914 dengan sanad shahih)
Kesimpulan dan Penjelasan Dalil
Terdapat dua kesimpulan yang didapatkan dari dalil-dalil di atas:
Kesimpulan Pertama
Jeda (pemisah) antara shalat wajib dan shalat sunnah itu bisa jadi dengan waktu/zaman (meskipun tetap shalat di tempat yang sama), atau bisa jadi dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (baik maju atau mundur), atau bisa jadi dengan ucapan (bercakap-cakap dengan orang lain).
Yang paling afdhal adalah membuat jeda dengan berpindah melaksanakan shalat sunnah (rawatib) di rumah. Berdasarkan hadits dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا المَكْتُوبَةَ
“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781)
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Dirikanlah shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian. Dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti pemakaman.” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim 777) [1]
Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ، فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا
“Jika salah seorang dari kalian telah menunaikan shalat di masjid, hendaknya dia menyisakan sebagian shalatnya untuk (dikerjakan) di rumah. Karena dari shalatnya itu, Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya.” (HR. Muslim no. 778)
Dan di antara kebaikan yang ditimbulkan dari melaksanakan shalat sunnah di rumah adalah memakmurkan rumah dengan dzikir kepada Allah Ta’ala; taat kepada-Nya; juga doa dan permohonan ampunan dari para malaikat; dan juga pahala dan keberkahan bagi pemilik (penghuni) rumah. Kebaikan lainnya adalah mendidik anak dan istri agar mereka mencintai dan memperhatikan shalat dan juga mendirikan shalat dalam sebaik-baik keadaan.
Kesimpulan Kedua
Dari dalil-dalil terdapat isyarat bahwa hikmah dari perintah membuat jeda antara shalat wajib dan shalat sunnah adalah untuk memisahkan dan membedakan antara ibadah wajib dan ibadah sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Disunnahkan untuk memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunnah, baik shalat Jum’at atau (shalat wajib) lainnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang dari perbuatan menyambung antara shalat satu (shalat wajib) dengan shalat lainnya (shalat sunnah), sampai keduanya dipisahkan dengan berdiri atau ucapan. Maka janganlah melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas manusia yang langsung menyambung antara salam (dari shalat wajib) dengan dua raka’at shalat sunnah. Karena hal ini berarti dia terjatuh dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam syariat ini terdapat hikmah berupa membedakan antara ibadah wajib dan ibadah non-wajib, sebagaimana dibedakan antara ibadah dan non-ibadah. Oleh karena itu, disunnahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, juga sebagaimana disunnahkan untuk makan di hari raya ‘Idul Fithri sebelum shalat ‘id, dan larangan untuk menyambut Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya.
Hal ini semuanya untuk memisahkan antara perkara yang diperintahkan (puasa) dengan yang tidak diperintahkan, atau memisahkan antara ibadah dan selain ibadah. Demikian pula memisahkan antara shalat Jum’at yang Allah Ta’ala wajibkan dengan ibadah lainnya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 24: 202-203)
Para ulama juga menyebutkan hikmah lainnya dari disyariatkannya berpindah tempat, yaitu untuk memperbanyak tempat ibadah. Hal ini karena tempat pelaksanaan ibadah akan memberikan persaksian bagi seorang hamba di hari kiamat, sebagaimana cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ
“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka, dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad-Dukhkhan [44]: 29)
Maksudnya, sesungguhnya bumi itu akan menangis untuk para hamba yang berbuat keta’atan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 239)
Demikian pula firman Allah Ta’ala,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 4)
Maksudnya, bumi akan bersaksi atas hamba sesuai dengan apa yang mereka perbuatan di atasnya, baik berupa amal baik atau amal buruk. Hal ini karena bumi termasuk dalam saksi yang akan memberikan persaksian untuk manusia pada hari kiamat. (Taisiir Karimir Rahmaan, 5: 445)
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan Kaki
[1] Ini menunjukkan bahwa pemakaman bukanlah tempat pelaksanaan ibadah.
[2] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 180-183 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51679-jeda-pemisah-shalat-wajib-shalat-sunnah.html