Istri Harus Taat Suami atau Orang Tua?

Suatu saat, dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik RA dikisahkan—sebagian ahli hadis menyebut sanadnya lemah—, tatkala sahabat bepergian untuk berjihad, ia meminta istrinya agar tidak keluar rumah sampai ia pulang dari misi suci itu.

Di saat bersamaan, ayah anda istri sedang sakit. Lantaran telah berjanji taat kepada titah suami, istri tidak berani menjenguk ayahnya.

Merasa memiliki beban moral kepada orang tua, ia pun mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menjawab, “Taatilah suami kamu.” Sampai sang ayah menemui ajalnya dan dimakamkan, ia juga belum berani berkunjung. Untuk kali kedua, ia menanyakan perihal kondisi nya itu kepada Nabi SAW.

Jawaban yang sama ia peroleh dari Rasulullah, “Taatilah suami kamu.” Selang berapa lama, Rasulullah mengutus utusan kepada sang istri tersebut agar memberitahukan Allah telah mengampuni dosa ayahnya berkat ketaatannya pada suami.

Kisah yang dinukil oleh at-Thabrani dan divonis lemah itu, setidaknya menggambarkan tentang bagaimana seorang istri bersikap. Manakah hak yang lebih didahulukan antara hak orang tua dan hak suami, tatkala perempuan sudah menikah. Bagi pasangan suami istri, ‘dialektika’ kedua hak itu kerap memicu kebingungan dan dilema.

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami’ fi Fiqh An Nisaa’ mengatakan seorang perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menguatkan hal itu. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah.

Mengomentari hadis itu, Imam Nawawi mengatakan hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu, lalu bapak. Kemudian disusul kerabat lainnya.

Namun, menurut Syekh Yusuf al- Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu’ashirah bahwa memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah.

Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ke taatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.

Oleh karena itu, imbuhnya, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk memberikan perintah apa pun padanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar. Pasca menikah maka saat itu juga, anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melain kan menjadi tanggung jawab suami.

Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan se ba hagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). (QS an-Nisaa’ [4]: 34).

Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.

Alqaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar. Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat.

Sekaligus menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS al-Furqan [25]: 54).

Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwa yatkan oleh al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar.

Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(hak) suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedang kan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab, “(hak) ibu nya.”

Wahai Para Suami, Ingatlah Tujuan Pernikahan

Pejamkan kedua matamu, renungkan dan lihatlah siapakah sebenarnya dirimu! Matamu saja tidak cukup untuk melihat siapakah kamu sebenarnya, tetapi butuh bantuan mata mata yang lain; mata orang lain, perspektif syari’at, ajaran agama dan pengalaman bangsa-bangsa lain.

Ingat, mata-mata manusia selalu tertuju padamu dan berharap banyak kepada peranmu. Dalam sebuah syair disebutkan,

Hati-hati manusia haus dahaga

Dan hanya di jari-jemarimu kesegaran mereka

Mata-mata manusia letih dan nanar

Dan kamulah tidur nyenyak dan impian mereka

Dalam kehidupan ini, kamu tidak sendirian. Di sana banyak orang yang digariskan oleh Allah berada dalam kekuasaanmu. Dalam genggaman tanganmu terdapat wewenang mutlak karena kamu pantas memikul tanggung jawab yang diberikan Allah kepadamu. Jadi, kamu adalah harapan semua kalangan ketika kamu benar-benar menjadi laki-laki hebat. Oleh karena itu, sekarang buang semua hal yang ada dalam telapak tanganmu.

Apakah kamu mengetahui tujuan pernikahan? Pernikahan adalah terbentuknya suatu keluarga dengan misi-misi agung. Misi-misi tersebut antara lain adalah:

1. Pernikahan adalah suatu proses menuju jiwa dan raga yang paripurna.

Orang yang hidupnya membujang, maka pada hakikatnya ia dalam kekurangan; baik secara psikologi, nalar, dan kedewasaannya. Orang yang memiliki perasaan dan kepekaan yang tinggi serta memiliki pandangan mendalam adalah orang yang mampu membedakan antara orang yang telah menikah dan bujangan.

Perbedaan itu dapat diketahui, baik dari bicara, alur berpikir, kematangan, dan keharmonisan pergaulannya.

2. Lahirnya generasi yang menjunjung tinggi martabatmu di dunia dan di akhirat, memberi aroma kebahagiaan dalam hidupmu, mendoakanmu pasca-kematianmu dan lahirnya keturunan dengan cara yang benar dan selamat.

Umar bin Khathab berkata,

“Sungguh saya selalu memaksa diri saya untuk bercampur dengan istriku dengan harapan semoga Allah memberiku keturunan yang senantiasa bertasbih dan ingat kepada-Nya.”

3. Menjaga wanita yang berada dalam dekapan tanganmu dan menjadi curahan kasih sayangmu.

Karena pada saat itu, dua jenis manusia bertemu atas dasar cinta, saling menghormati, kesamaan fitrah yang dapat mewujudkan kepuasan dan berujung pada terciptanya kasih sayang dan keseimbangan antara fitrah dan kehidupan.

Dengan demikian, sempurnalah penjagaan diri mereka berdua secara lahir dan batin, kemudian bermunculanlah generasi unggul yang dapat memakmurkan dan menyemarakan bumi Allah.

Dengan pernikahan, kamu berhak mendapat panggilan mulia dari Allah dengan disaksikan semua makhluk kelak di hari kiamat,

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنتُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ

Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan.” (QS. Al-Zuhruf: 70).

Pemahaman manusia tentang pernikahan sangat beragam; ada yang menikah karena faktor kebutuhan, ada yang karena motif kemaslahatan, ada juga yang hanya karena mengikuti tradisi yang berlaku, dan ada pula yang tidak memiliki motif sama sekali di balik pernikahannya. Allah berfirman,

قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ

setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. (QS. Al-A’raf: 160).

Oleh karena itu, hendaknya para suami mengingat kembali misi dan tujuan pernikahan. Demikian dikutip dari karya Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud dalam buku Kado Pernikahan.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Suami Dilarang Mencari-cari Aib Istrinya

DALAM suatu hadits riwayat al Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahualaihi wasalam melarang laki-laki yang bepergian dalam waktu yang lama, pulang menemui keluarganya di waktu malam. Hal itu karena dikhawatirkan laki-laki tersebut akan mendapati berbagai kekurangan dan cela istrinya.

Dan barangsiapa mencari-cari aib saudara sesama muslim, Allah akan mencari-cari aibnya. Barangsiapa dicari aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walaupun dia berada di ruang tersembunyi dalam rumahnya.

Dan ingatlah sabda Rasulullah shalallahualaihi wasalam,

“Janganlah seorang suami yang beriman membenci istrinya yang beriman. Jika dia tidak menyukai satu akhlak darinya, dia pasti meridhai akhlak lain darinya.” (HR Muslim)

“dan orang orang yang menuduh istri mereka berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian satu orang dari mereka adalah bersumpah empat kalli dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar (dalam tuduhannya) dan kelima kalinya (ia mengucapkan) bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika ternyata ia tergolong orang orang yang berdusta.” (QS An-Nuur:6-7)

Ayat tersebut memberi ketentuan untuk melindungi istri dari tuduhan suami. Karena tuduhan itu dapat merusak kehormatan dan harga diri istri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan ketat agar suami tidak sembarangan menuduh istrinya berzina tanpa bukti yang dipertanggung jawabkan menurut syariat Islam.

Dari muawiyah Al-Qusrayiri, ia berkata: “Saya pernah datang kepada Rasulullah.” Ia berkata lagi: “Saya lalu bertanya: Ya Rasulullah, apa saja yang engkau perintahkan (untuk kami perbuat) terhadap istri-istri kami?’ Beliau bersabda: janganlah kalian memukul dan janganlah kalian menjelek-jelekan mereka’.” (HR Abu Dawud)

Rasulullah melarang para suami menjelek jelekan atau merendahkan martabat istri. Suami dilarang menggunakan kata yang bernada merendahkan dan menghina martabat istri baik di hadapannya maupun dihadapan orang lain. Walaupun istri berasal dari keluarga yang lebih rendah status ekonominya dibanding dirinya.

Hendaknya seorang suami bersabar dan menahan diri dari kekurangan yang ada pada istrinya, juga ketika istri tidak melaksanakan kewajibannya dangan benar. Rasulullah shalallahualaihi wasalam bersabda,

“Bersikap baiklah kepada para istri. Karena mereka tercipta dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas. Jika kamu hendak meluruskannya niscaya kamu akan mematahkannya. Dan jika kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Maka bersikap baiklah kepada para istri.” (Muttafaqunalaih)

Hadits ini memiliki pelajaran yang sangat agung, diantaranya; meluruskan bengkoknya istri harus dengan lembut sehingga tidak mematahkannya, namun juga tidak dibiarkan saja, karena jika dibiarkan, dia tetap bengkok. Apalagi jika bengkoknya itu bisa menjalar menjadi kemaksiatan atau kemunkaran.

Usahakan berkomunikasi dengan lembut dan penuh kesabaran pada suami. Biasanya, masalah banyak muncul karena masalah komunikasi. [Ustazah Dra.Indra Asih]

 

INILAH MOZAIK

Kenapa Suamiku di Dunia Direbut Bidadari Surga?

SETIAP pasangan menginginkan kebersamaan hingga ke surga kelak. Namun, bagaimana kiranya bila suami yang kita sayangi direbut oleh para bidadari surga?

Dari Mu’adz ibn Jabal r.a.: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Jika seorang istri menyakiti suaminya di dunia, istrinya-di surga kelak-yakni bidadari, berkata kepada istri tersebut, ‘Janganlah menyakitinya, semoga Allah membinasakan dirimu. Ia adalah tamu di sisimu dan akan segera meninggalkanmu untuk datang kepadaku.'” (HR At Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)

Hadis ini menunjukkan bahwa apabila seorang istri tidak memperlakukan suaminya ketika di dunia dengan baik, tidak menaati perintahnya, bahkan menyakitinya. Maka sang istri akan dilempar ke neraka dan kelak para bidadari surga lah yang akan mendampingi suaminya. Bagaimana shalihat, relakah kita? (DOS)

Bersemangat Menafkahi Keluarga, Merupakan Lahan Amal Bagi Suami

Nafkah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Sesuatu yang dihukumi wajib, apabila dikerjakan pelakunya akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan, ia berdosa.

Di balik kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya, ternyata terdapat keutamaan yang luar biasa. Bahkan keutamaan ini lebih besar nilainya bila dibandingkan dengan besarnya nominal yang dikeluarkan dari seorang suami sebagai perwujudan nafkahnya kepada keluarga.

Nafkah yang diberikan suami kepada sang istri akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang besar. Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap tetesan keringat yang keluar dari tubuh suami dalam rangka mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Hal ini senada dengan apa yang diinformasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

“Tidaklah kamu menafkahkan harta yang semata-mata demi mengharap ridha Allah, melainkan kamu akan diberi pahala hingga setiap suap makanan yang masuk ke mulut istrimu.”

Ada pahala hingga pada setiap suap makanan yang masuk ke mulut istrinya. Hal yang demikian ini merupakan lahan amal bagi seorang suami. Karena itu, seharusnya para suami bersemangat dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Bukan berusaha sekedarnya, apalagi hanya bermalas-malasan di rumah. Sungguh, mereka yang menyepelekan nafkah keluarganya akan menyesal pada hari pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Lebih luar biasa lagi, ternyata pahala menafkahi keluarga lebih besar dibandingkan dengan menafkahkan sejumlah yang sama di jalan Allah, atau untuk memerdekakakan budak, atau disedekahkan kepada fakir miskin. Ini bukan suatu pernyataan yang mengada-ada, namun disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

“Sedinar kamu diinfakkan di jalan Allah, sedinar kamu infakkan untuk memerdekakan budak, sedinar kamu sedekahkan kepada fakir miskin dan sedinar kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka pahala yang paling besar ialah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.”

Mengingat besarnya pahala yang akan diraih lantaran mencukupi nafkah keuangan, maka setiap suami muslim hendaknya bersemangat untuk meraihnya. Seorang suami akan terdorong untuk berusaha memenuhi nafkah keluarganya dengan cara bekerja sebaik mungkin. Tak ada lagi kata bermalas-malasan, apalagi menggantungkan pemenuhan kebutuhan harian keluarga kepada orang tua atau saudaranya. Bukan sekedar uang yang ia cari untuk keluarga, tetapi keridhaan Allah. Karena beserta dengan keridhaan-Nya, ada pahala yang besar sebagai balasan atas kesungguhan seorang suami dalam berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. (syahida)

 

sumber: AkhwatIndonesia.net