Bolehkah Istri Melarang Suaminya Melakukan Puasa Sunnah?

Dalam sebuah kesempatan, pernah ada seorang perempuan yang bertanya mengenai hukum dan kebolehan seorang istri melarang suaminya melakukan puasa sunnah.

Pasalnya, suaminya sering melakukan puasa Senin dan Kamis, dan tak jarang hal itu membuat suaminya menjadi lemah bekerja dan beberapa tugas menjadi terbengkalai. Dalam keadaan demikian, apakah boleh bagi dia melarang suaminya melakukan puasa sunnah agar bisa fokus pada pekerjaannya?

Menurut para ulama, boleh bagi seorang istri melarang suaminya melakukan perkara-perkara sunnah jika hal itu menyebabkan suaminya lalai dan lemah melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami. Jika perbuatan sunnah itu membuat suaminya melalaikan tugas sebagai suami, maka tidak masalah bagi seorang istri melarang suaminya melakukan perbuatan sunnah tersebut.

Misalnya, istri melarang suaminya melakukan puasa sunnah Senin dan Kamis karena hal itu membuat suaminya lemah bekerja dan menyebabkan pekerjaan terbengkalai. Dalam keadaan demikian, boleh bagi seorang istri melarang suaminya berpuasa dan menyuruh fokus pada pekerjaan dan tugasnya.

Ini karena mendahulukan kewajiban dan hak-hak istri lebih diutamakan dibanding sibuk melakukan puasa sunnah yang membuat kewajiban dan hak-hak istri terbengkalai. (Baca: Bolehkah Suami Istri Tinggal Satu Rumah Setelah Cerai?)

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

ومن ذلك إذا تأذت الزوجة وتضررت من أفعال زوجها أو من كثرة صيامه للنوافل، فعليها أن تخبره بذلك، ويستحب للزوج أن يعفّ زوجته عن الحرام، وأن يقضي لها حاجتها متى طلبت، فزَارَ الصحابي سَلْمَانُ الفارسي رضي الله عنه أَبَا الدَّرْدَاءِ رضي الله تعالى عنه، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ مُتَبَذِّلَةً؟ قَالَتْ: إِنَّ أَخَاكَ أَبَا الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ قَرَّبَ إِلَيْهِ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لِيَقُومَ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ لَهُ: نَمْ، فَنَامَ، فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ الصُّبْحِ، قَالَ لَهُ سَلْمَانُ: قُمِ الآنَ، فَقَامَا فَصَلَّيَا، فَقَالَ: إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَأَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ: صَدَقَ سَلْمَانُ

Termasuk kebolehan istri melarang suami melakukan sunnah adalah jika istri tersakiti dan mengalami bahaya dari perbuatan suami atau dari banyaknya suaminya melakukan puasa sunnah.

Maka wajib bagi istri menyampaikan keberatannya pada suaminya, dan wajib bagi suaminya menjaga istrinya dari perbuatan haram, dan memenuhi kebutuhannya jika kapanpun dia minta. Suatu saat Salman mengunjungi Abu Darda’ dan Salman melihat istri Abu Darda’, yakni Ummu Darda’, dalam kondisi kurang baik.

Salman pun bertanya kepada Ummu Darda’; Kenapa keadaanmu seperti ini? Ia menjawab; Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan tidak lagi mempedulikan dunia. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’.

Salman berkata; Makanlah. Abu Darda’ menjawab; Maaf, saya sedang puasa. Salman pun berkata; Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan. Lantas Abu Darda’ memakan makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Melihat itu, Salman mengatakan; Tidurlah. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi; Tidurlah. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata; Mari kita berdua shalat.

Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’; Sesungguhnya kamu memiliki kewajiban kepada Tuhan-mu. Kamu juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri dan kamu pun punya kewajiban pada keluargamu (melayani istri).

Maka tunaikanlah kewajiban-kewajiban itu secara proporsional. Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Nabi Saw dan beliau berkata; Salman benar. Demikian penjelasan hukum istri melarang suami puasa sunnah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sikap Istri Yang Tidak Diperlakukan Dengan Baik Oleh Suaminya

Ada kalanya seorang mukmin diuji oleh Allah ta’ala dengan perlakuan kurang baik dari pasangan hidupnya. Seorang suami yang memiliki komitmen pada agama kadang juga tergelincir dengan sikap atau akhlak yang tidak terpuji pada istrinya. Rumah tangga yang di awalnya penuh dengan ketenteraman serta kebahagiaan seiring berjalan waktu terkadang mengalami badai dan terguncang ketika ada perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Ini sebuah ujian yang harus dihadapi pasutri agar laju bahtera pernikahan tetap stabil menuju sakinah, mawaddah, dan penuh rahmat Allah ta’ala.

Semoga nasehat syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di bawah ini mampu mencerahkan imam pasutri untuk lebih menjaga keutuhan rumah tangga serta mampu bersikap bijak saat badai mengguncang.

Beliau ditanya:

Saya sudah menikah 25 tahun dan memiliki beberapa anak. Akhir-akhir ini saya ada masalah dengan suami. Dia sering melecehkan saya di hadapan anak-anak dan keluarga besar tanpa sebab yang jelas. Saya tidak lagi merasa nyaman kecuali kalau ia tidak ada di rumah, padahal suami saya ini selalu shalat dan takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Mohon nasehat, bagaimana sikap saya yang benar? Jazaakumullahu khairan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

Anda wajib bersabar dan berusaha menasehatinya dengan baik dan mengingatkannya supaya ingat kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari kiamat. Semoga dengan ini dia mendengar dan kembali ke jalan yang benar serta meninggalkan perangainya yang buruk. Jika dia tidak berubah, maka dia yang berdosa dan anda mendapatkan pahala yang besar dengan sebab kesabaran anda menghadapi keburukannya.

Disyariatkan pula bagi anda untuk berdoa dalam shalat dan di luar shalat supaya Allah ‘azza wa jalla memberikan petunjuk kepadanya ke arah kebenaran mengaruniainya akhlak terpuji juga agar Allah ‘azza wa jalla melindungi anda dari keburukannya.

Di samping itu, anda harus berusaha mengevaluasi diri dan berusaha tetap istiqamah dan bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla dari semua keburukan dan kesalahan yang mungkin saudari perbuat dalam menunaikan hak Allah ‘azza wa jalla, hak suami atau hak yang lain. Karena bisa jadi kejadian ini menimpa saudari karena perbuatan maksiat yang saudari lakukan. Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syu’ara: 30).

Bisa jadi anda minta tolong kepada bapaknya, atau ibunya, atau kakaknya atau siapa saja yang didengar suaranya untuk menasehatinya agar memperlakukan saudari dengan baik, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

  “Dan bergaulah dengan mereka secara patut” (QS. An-Nisa: 19)

Juga firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ

 “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya” (QS. Al-Baqarah: 228).

Semoga Allah ‘Azza wa jalla memperbaiki biduk rumah tangga kalian dan semoga Allah ‘Azza wa jalla memberikan hidayah kepada suami saudari dan menunjukinya jalan yang benar. Semoga Allah ‘Azza wa jalla senantiasa mengumpulkan kalian dalam kebaikan dan petunjuk, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla Maha Dermawan lagi Maha Pemurah” (Fatawa al-Mar’ah al- Muslimah, hal. 687-688).

Demikianlah nasehat penyejuk iman agar pasutri tetap optimis dalam mencari solusi dalam setiap permasalahan rumah tangga. Mendoakan suami agar menjadi lebih baik adalah langkah utama agar Allah ta’ala membuka hati suami untuk segera menyadari kekhilafannya. Mintalah pada Allah ta’ala dan jangan berputus asa. Selain itu istri juga harus lebih memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas iman dan amal shalih karena terkadang tingkah laku suami dipicu oleh berbagai kemaksiatan yang dilakukan istri. Dan langkah yang tak kalah penting adalah tetap bersikap baik kepada suami, tunaikan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri dengan ikhlas dan bergaulah dengan adab mulia. Bersabar terhadap keburukan orang lain sungguh butuh perjuangan ekstra. Di sinilah ketangguhan iman dan tawakkal seorang mukmin diuji, akankah ia lulus dalam menghadapi badai ujian ini. Bayangkan betapa istri akan merasakan puncak kebahagiaan ketika suatu saat suaminya berubah menjadi lebih shalih, mampu memperlakukan istri dengan lebih baik, niscaya anda akan bersemangat menjalani segala aktivitas.

Semoga uraian di atas mampu mencerahkan pikiran dan pandangan kaum mukminah bahwa kehidupan pernikahan akan indah dan barakah ketika kita menyandarkan harapan hanya pada Allah ta’ala dan senantiasa berdzikir, berdoa dan berupaya untuk meraih keridaan Allah ta’ala.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Majalah As-Sunnah, Tahun XX syawal 1437 H.

2. Bekal Berharga Menjadi Ibu Serba Bisa. Diterbitkan oleh Tim sekolah ibu, Bantul, 2019

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13973-sikap-istri-yang-tidak-diperlakukan-dengan-baik-oleh-suaminya.html

Bahaya Bagi Istri yang tak Patuh Suami

Para ulama telah banyak mengungkapkan adanya nikmat kubur. Dalam kitab-kitab klasik, ulama juga menceritakan banyak kisah tentang siksa kubur, termasuk siksa kubur bagi seorang istri yang tidak patuh terhadap suaminya. Dari kisah ini umat Islam bisa mengambil hikmahnya.

Dalam kitab an-Nawadir dikisahkan, ada seorang pemuda Bani Israil menderita sakit keras berkepanjangan. Kemudian, ibunya bernazar akan berada di alam kubur selama tujuh hari jika anaknya kesayangannya diberi kesembuhan.

Ternyata, Allah mengabulkan permohonannya. Karena itu, sang anak mengingatkan kepada ibunya untuk segera melaksanakan nazarnya tersebut. Setelah berada di dalma kubur, si ibu melihat di atas kepalanya terdapat sinar yang terbuat dari kaca di tengah kebuh yang indah. Kebun itu dijaga oleh dua wanita yang cantic jelita.

“Wahai ibu kemarilah,” kata wanita cantik yang pertama, dan ibu itu langsung menghampirinya.

“Assalamu’alaikum…,” sapanya pada dua wanita itu. Namun, salam tersebut tidak dijawab.

Setelah melihat dari dekat, ternyata kondisi wanita itu sangatlah berbeda. Wanita yang satu dikipasi seekor burung dengan sayapnya, sedangkan yang satunya lagi kepalanya dipatuk oleh seekor burung hingga darahnya bercucuran. Melihat keadaan ini si ibu heran dan bertanya,

“Wahai wanita, amal apakah yang engkau lakukan, sehingga engkau memperoleh kemuliaan yang sangat besar ini?” Ibu tersebut bertanya kepada wanita yang pertama.

“Di dunia aku selalu taat pada suamiku,d an ia meridhoi ketaatanku padanya,” jawab wanita cantik pertama.

Kemudian, ibu tersebut juga bertanya kepada wanita yang kedua,”Wahai wanita, mengapa engkau mendapat siksaan yang amat pedih ini?”

Wanita tersebut menjawab, “Di dunia aku seorang wanita yang salehah dan rajin beribadah. Namun, pada suatu hari aku tidak patuh pada suamiku dan sampai kematianku ia tidak meridhoi perbuatanku itu. Maka, di sini aku mendapatkan kemuliaan berupa kamar dan taman yang indah karena ibadahku. Namun, aku juga mendapat siksaan yang pedih karena tidak taat kepada suamiku,” kata wanita itu.

“Wahai ibu, ketika engkau nanti kembali ke dunia, aku minta tolong agar engkau mau memintakan permohonan maafku pada suamiku,” lanjutnya.

Dalam bukunya berjudul “Wirid Penangkal Setan: Pembangkit Jiwa Warisan Ulama”, Samsul Munir Amin menjelaskan, kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya nikmat dan siksa kubur benar adanya. Terlepas dari validitas kebenaran kisah di atas, disadari atau tidak, sebetulnya manusia mengakui adanya balasan untuk segala hal yang dilakukannya.

Menurut dia, hikmah lain yang bisa dipetik dari cerita itu terkait hubungan manusia dengan sesama agar hendaknya senantiasa berbuat baik dan saling meminta maaf dari perbuatan kesalahan. “Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisah di atas, dan kita memperoleh maghfirah dari Allah,” katanya.

IHRAM

Suami Sering Makan Enak di Luar Rumah, Istri Makan Seadanya?

Salah satu kebiasaan suami yang harus segera diubah adalah sering makan di luar dengan makanan dan minuman yang enak, sedangkan istri dan anak-anaknya makan di rumah dengan makanan biasa dan seadanya. Misalnya, suami terlalu sering keluar rumah bersama teman-temannya, lalu makan di restoran atau kafe ditambah kopi yang mahal, sedangkan anak istri di rumah makan ala kadarnya. Atau contoh lainnya, suami terlalu sering keluar bersama teman-temannya dalam berbagai acara tanpa mengajak anak istrinya, tentunya dalam berbagai acara itu ada makan-makan enak.

Memang benar, suami tugasnya mencari nafkah di luar rumah. Akan tetapi, hendaknya suami tetap memperhatikan anak dan istri di rumah. Islam memerintahkan agar suami memberikan makan kepada keluarganya apa yang ia makan, sehingga makanannya sama bagusnya dengan apa yang ia makan. Apabila suami makan enak dan bergizi, tentu ia harus memberi makan pada anak-istri dengan makanan yang sama. Apabila makan di luar rumah dengan menu istimewa, bisa dibungkus dan dibawa pulang untuk keluarga di rumah, jika memang memungkinkan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Hendaknya dia memberi  makanan bagi istrinya sebagaimana yang dia makan, memberi pakaian baginya sebagaimana (pakaian) yang dipakai, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya, kecuali di dalam rumah (saja)” [HR. Abu Dawud, sahih].

Imam Malik rahimahullah menjelaskan tentang suami yang buruk, makan enak di luar dan meninggalkan (menelantarkan) keluarganya. Beliau rahimahullah berkata,

قبيحٌ بالرجل أن يذهب يأكل الطيبات، ويترك أهل

“Betapa buruk laki-laki yang pergi makan makanan enak dan menelantarkan keluarganya (di rumah)” [‘Umdatul-Qaariy, 11: 198].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadis tersebut bahwa hendaknya suami jangan makan dengan makanan yang khusus bagi dia (biasanya yang enak-enak saja). Beliau rahimahullah berkata,

“يعني : لا تخص نفسك بالكسوة دونها ، ولا بالطعام دونها ، بل هي شريكة لك ، يجب عليك أن تنفق عليها كما تنفق على نفسك ، حتى إن كثيرا من العلماء يقول : إذا لم ينفق الرجل على زوجته وطالبت بالفسخ عند القاضي ، فللقاضي أن يفسخ النكاح ؛ لأنه قصَّر بحقها الواجب لها” انتهى.

“Janganlah Engkau khususkan pakaian dan makananmu daripada istrimu, bahkan harus sama (kualitasnya). Engkau wajib memberi nafkah sebagaimana Engkau menafkahi dirimu. Sampai-sampai para ulama mengatakan: apabila seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya, lalu istrinya meminta cerai kepada qadhi, maka qadhi boleh menceraikan, karena suami telah melalaikan hak istri yang wajib” [Syarh Riyadhus Shalihin, 3: 131].

Suami wajib memberikan nafkah dengan cara yang baik

Hendaknya suami sadar betul akan tanggung jawab ini, yaitu memberikan nafkah dan memberi makan keluarga dengan cara yang patut dan selayaknya. Artinya, ia berusaha memberi makan dan pakaian sebagaimana yang ia makan dan kenakan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“ … Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah: 233].

Seorang suami juga hendaknya sadar bahwa apa yang ia berikan pada anak dan istrinya merupakan infak  yang besar pahalanya, lebih besar pahalanya daripada infak yang hukumnya sunnah secara umum.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبيْلِ اللهِ، وَدِيْناَرٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

“Uang yang Engkau infakkan di jalan Allah, uang yang Engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang Engkau infakkan untuk orang miskin, dan uang yang Engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang Engkau infakkan kepada keluargamu” [HR. Muslim].

Dalam redaksi lainnya, dikhususkan memberi nafkah kepada istri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

” … Dan sesungguhnya, tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau diberi pahala dengannya, sampai apa yang Engkau berikan ke mulut istrimu akan mendapat ganjaran” [HR. Bukhari dan Muslim].

Mengapa demikian? Karena memberi infak kepada istri hukumnya wajib, sedangkan infak sedekah itu hukumnya sunnah. Amalan wajib lebih Allah Ta’ala cintai dan lebih besar pahalanya daripada amalan sunnah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hamba-Ku yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku WAJIBKAN kepadanya …’” [HR. Bukhari no. 6502].

Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah menjelaskan hadis ini,

فكانت الفرائض أكمل فلهذا كانت أحب إلى الله تعالى وأشد تقريبا

“Amalan-amalan yang wajib itu lebih sempurna. Oleh karena itu, (amalan wajib) lebih dicintai oleh Allah Ta’ala dan lebih mendekatkan diri (taqarrub)” [Fahtul Baariy, 11: 343].

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/66562-suami-sering-makan-enak-di-luar-rumah-istri-makan-seadanya.html

Empat Hal Yang Menawan Hati

Ibnul Qayyim mengatakan:

وَمِمَّا يُسْتَحْسَنُ فِي الْمَرْأَةِ  … قَصْرُ أَرْبَعَةٍ يَدُهَا وَرِجْلُهَا وَلِسَانُهَا وَعَيْنُهَا فَلَا تَبْذُلُ مَا فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَلَا تَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهَا وَلَا تَسْتَطِيْلُ بِلِسَانِهَا وَلَا تَطْمَعُ بِعَيْنِهَا 

“Hal yang membuat isteri itu menawan adalah “pendek” dalam empat hal, tangan, kaki, lidah dan mata. Tangan yang “pendek” sehingga tidak menghambur hamburkan harta suami. Kaki yang “pendek” sehingga tidak keluar rumah kecuali ada keperluan. Lisan yang “pendek” sehingga tidak suka mencela. Mata yang “pendek” pandangannya sehingga tidak mudah ingin beli ini dan itu.” (Raudhatul Muhibbin hlm 340-341, Dar Alam al-Fawaid)

Diantara faktor utama pendukung hidup bahagia adalah pasangan hidup yang membahagiakan. 

Berikut ini adalah empat hal yang membuat seorang isteri itu menawan di hati suami sehingga suasana rumah makin kondusif untuk terwujudnya kebahagiaan :

Pertama:

Tangan yang ‘pendek’ sehingga tidak membelanjakan uang nafkah suami untuk hal-hal yang tidak urgen, tidak berinfak dalam nilai yang besar dari harta suami kecuali dengan izin suami dll. Hal ini karena cenderung ‘pelit’ bagi isteri adalah hal yang terpuji. 

Kedua:

Kaki yang ‘pendek’. Itulah isteri yang merasa nyaman betah di rumah dan tidak suka keluar-keluar kecuali jika ada keperluan. Oleh karena itu kondisi rumah lebih terurus dan terawat.

 Ketiga:

Lisan yang ‘pendek’ sehingga jarang mengeluh, menahan lisan dari mencela, komentar-komentar negatif dll terutama ketika sedang ‘kecewa’ dengan suami. Ternyata lisan itu bisa isbal (baca: panjang berlebihan) sebagaimana kain bisa isbal.

 Keempat:

Pandangan mata yang ‘pendek’ sehingga tidak mudah tergiur karena ada model pakaian baru, peralatan rumah baru, tupperware baru dll. Seorang lelaki yang semula sederhana itu sering kali berubah ketika ternyata isterinya adalah wanita yang mudah ingin memiliki ini dan itu, ingin beli ini dan itu

 Hidup akan nyaman jika kita hidup sesuai dengan level kita masing-masing tanpa memaksakan diri.

Semoga penulis dan semua pembaca tulisan ini Allah beri ‘hadiah’ istimewa berupa pasangan hidup yang menyejukkan hati dan mata, kumpul bareng penuh bahagia di dunia dan di surga-Nya. 

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA

Menjadi Istri yang Menyenangkan Hati Suami

Salah satu karakter wanita shalihah adalah mampu menyenangkan hati suami ketika suami melihatnya, baik karena pakaian, dandanan, atau sebab-sebab yang lainnya. Lebih-lebih karena sang istri tersebut senantiasa menaati suami dan merespon perintah suami dengan penuh ketaatan, tanpa diiringi rasa sombong (congkak) atau merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada suami. 

Wanita yang paling baik

Marilah kita renungkan sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Perempuan seperti apa yang paling baik?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Yang paling menyenangkan jika dilihat suami, mentaati suami jika suami memerintahkan sesuatu, dan tidak menyelisihi suami dalam diri dan hartanya dengan apa yang dibenci oleh suaminya.” (HR. An-Nasa’i no. 3231, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Maksud, “tidak menyelisihi suami dalam diri dan hartanya dengan apa yang dibenci oleh suaminya”, misalnya sang suami tidak suka melihat istri memakai baju jenis tertentu, padahal baju tersebut sangat disukai oleh sang istri. Maka seorang istri shalihah akan mendahulukan keinginan suami daripada selera dirinya sendiri. 

Inilah karakter wanita (istri) yang terbaik, yaitu dia berusaha memperbagus dan mempercantik dirinya ketika berada di hadapan suaminya atau setiap kali dia bersama dengan suami. Demikian pula, perhatian dan fokus utama seorang istri adalah berkaitan dengan kebutuhan, keinginan, dan perintah sang suami. 

Berdandan di luar rumah, acak-acakan di dalam rumah

Di antara perkara yang memprihatinkan adalah banyak dari istri yang tidaklah berdandan dan berhias, kecuali karena hendak keluar rumah. Entah karena hendak berbelanja atau hendak mengikuti acara pertemuan di luar rumah, atau sejenisnya. Adapun jika berkaitan dengan hak suami ketika suami di rumah, dia pun menemui suaminya dengan baju ala kadarnya, bau yang tidak enak, rambut yang kusut dan acak-acakan, dan dalam kondisi-kondisi jelek lainnya. Sehingga sang suami pun akhirnya tidak berselera terhadap sang istri. Namun, begitu sang istri hendak keluar rumah, tiba-tiba dia berdandan dan berhias dengan penampilan terbaiknya. 

Bagaimana hati seorang suami akan dipenuhi kecintaan terhadap istri jika sang istri bersikap demikian? 

Lebih-lebih jika sang istri tidak mau taat kepada sang suami, banyak bermuka masam, sering marah-marah, atau banyak berkeluh kesah di hadapan suami. 

Wahai para istri, perhatikanlah hal ini …

Pelajaran dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata,

إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ طُرُوقًا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga (istrinya) pada malam hari.” (HR. Muslim no. 1928)

An-Nawawi rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa larangan ini berlaku bagi orang yang datang mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada istri. Adapun musafir yang sudah memberitahu sebelumnya, tidak termasuk dalam larangan ini. (Fathul Bari, 9: 252, Syarh Shahih Muslim 13: 73)

Diriwayatkan juga dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلًا، فَلَا يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوقًا، حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ، وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ

“Jika salah seorang dari kalian pulang dari safar di malam hari, janganlah langsung (tiba-tiba)  mendatangi istrinya di waktu malam. (Agar istri) masih bisa mencukur bulu kemaluan dan menyisir rambutnya.“ (HR. Muslim no. 715)

Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan arahan hendaknya para suami yang safar keluar kota, tidak tiba-tiba pulang ke rumah dan menemui istri di malam hari tanpa pemberitahuan terlebih dahulu (ketika jaman dulu tidak ada alat komunikasi seperti sekarang). Mengapa demikian? Agar para istri memiliki waktu untuk mencukur bulu kemaluan dan juga menyisir rambutnya. Artinya, agar para istri bisa berdandan dan menemui suami dalam kondisi terbaiknya.

Dengan kata lain, kita dapati bagaimanakah kehidupan shahabiyah (sahabat Rasulullah yang perempuan) ketika itu. Yaitu, mereka sangat memperhatikan dan merawat kondisi dirinya ketika sang suami ada di rumah (tidak safar). Sedangkan ketika sang suami safar dalam jangka waktu agak lama, mereka tidak menyisir rambutnya atau tidak merawat dirinya secara umum. Karena mereka tahu, mereka mempercantik dirinya itu hanyalah dalam rangka menyenangkan hati suami, sedangkan saat ini, sang suami sedang tidak di rumah.

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah larangan tersebut, yaitu agar para istri mempersiapkan kedatangan suami dengan membersihkan diri, berdandan, mencukur bulu kemaluan, dan juga membersihkan rumah. 

Pelajaran dari hadits ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

Membersihkan dan menata rumah ini bisa kita ambil pelajaran dari hadits yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘amha, beliau berkata, 

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari safar dan aku memasang gorden di sisi rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk hidup. Ketika melihat gorden tersebut, beliau mencabutnya, seraya bersabda,

يَا عَائِشَةُ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللهِ

“Wahai ‘Aisyah, orang yang paling pedih siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat kelak adalah orang yang membuat sesuatu yang serupa dengan ciptaan Allah.” 

‘Aisyah berkata, 

فَقَطَعْنَاهُ فَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

“Aku pun memotongnya dan kain itu aku buat satu bantal atau dua bantal.” (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107)

Mengapa ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memasang korden tersebut? Hal ini karena beliau ingin ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati rumah yang indah karena diberi hiasan. 

Faidah dari hadits-hadits tersebut adalah hendaknya seorang wanita membersihkan, mempersiapkan, dan menghias rumah. Sebagaimana dia juga berusaha merawat, membersihkan dan menghias dirinya sendiri di hadapan suami. Inilah yang kita dapatkan dari syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

MUSLIM.com

Istriku, dengan Siapa Engkau di Surga Nanti?

Ingin Sehidup Sesurga Denganmu

Gambaran Seorang Suami Berkata pada Istrinya:

“Wahai istriku, sekiranya aku bisa berdoa, maka aku berdoa kepada Allah agar engkau yang meninggal dahulu, barulah aku menyusul. Aku tidak ingin, apabila aku meninggal terlebih dahulu, kemudian engkau menikah lagi dengan laki-laki lain, maka engkau akan bersama suami terakhirnya di surga. Aku yang sudah menanti-nanti akan menjadi Raja bagi-mu di surga, ternyata aku harus menanggung cemburu tak tertahankan, melihat kenyataan engkau malah bersanding dengan laki-laki lainnya di surga… selama-lamanya.”

Istriku, Dengan Siapa Engkau di Surga?

Apakah benar gambaran kasus di atas? Hal ini kembali kepada pembahasan “Apabila wanita menikah lebih dari sekali, bersama siapakah ia di surga bersanding kelak di antara suaminya (apabila semua suaminya masuk surga)? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, terdapat dua pendapat terkenal:

  1. Wanita bisa memilih dengan suami yang mana kelak ia akan bersama di surga 
  2. Wanita bersama suami terakhirnya di dunia

Berikut pembahasannya:

Wanita bisa memilih dengan suami yang mana kelak ia akan bersama di surga 

Para ulama berdalil bahwa di surga kelak seseorang dapat memilih sesuai dengan apa yang ia inginkan berdasarkan keumuman ayat mengenai kehidupan di surga. 

Allah berfirman,

وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ

“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya”. [Az-Zukhruf :71]

Demikian juga hadits yang dishahihkan oleh Al-Albani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

“Wanita manapun yang ditinggal mati suaminya, kemudian si wanita menikah lagi, maka dia menjadi istri bagi suaminya yang terakhir.” [HR. Ath-Thabarani, lihat Ash-Shahihah 3/275]

Dalam kitab At-Tadzkirah fii ahwalil mauta disebutkan:

وقيل : إنها تخير إذا كانت ذات زوج

“Pendapat lainnya adalah wanita tersebut dapat memilih apabila memilki beberapa suami.”[2/278]

 (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Washith dari Abu Darda’. Dishahihan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah 3/275)

Sebagian lagi berdalil dengan hadits Ummu salamah yang mengenai bolehnya memilih suami di surga, hanya saja sebagian ulama mendhaifkan hadits tersebut:

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا

“Wahai Ummu Salamah,dia akan diberi pilihan sehingga dia memilih yang paling baik diantara mereka.” [HR. Thabarani, Al-mu’jam al-Kabir 23/367]

Wanita bersama suami terakhirnya di dunia

Dalilnya adalah perbuatan Ummu Dardaa’ yang menolak lamaran Mu’awiyah karena ingin menjadi suami Abu Dardaa’ di surga. Ia berkata, “Aku mendengar Abu Darda’ (suaminya yang telah meninggal) berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

“Seorang wanita bagi suaminya yang terakhir”. Dan aku tidak ingin pengganti bagi Abu Dardaa’” [As-Shahihah no 128]

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu juga pernah berkata kepada istrinya agar tidak menikah lagi setelah ia meninggal apabila istrinya ingin bersanding dengannya di surga.

إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تَزَوَّجِي بَعْدِي فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجَهُ فِي الْجَنَّةِ

“Jika kau ingin menjadi istriku di surga maka janganlah engkau menikah lagi setelah aku meninggal, karena seorang wanita di surga akan menjadi istri bagi suaminya yang terakhir di dunia. Karenanya Allah mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah lagi setelah meninggalnya Nabi, karena mereka adalah istri-istri Nabi di surga” [As-Shahihah no 1281]

Dari beberapa pendapat tersebut sebagian ulama merajihkan pendapat kedua yang terpilih karena sesuai dengan dhazir hadits, akan tetapi sebagian ulama lainnya yang merajihkan pendapat pertama seperti syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin dalam Fatwa beliau (2/53). Ikhtilaf ulama dalam hal ini adalah ikhtilaf yang mu’tabar (teranggap).

Catatan Penting

  1. Apabila ada laki-laki shalih yang melamar seorang wanita janda (janda ditinggal mati), kemudian wanita tersebut tidak bisa menjaga diri dengan hidup menjanda sendiri karena fitnah dan tidak mampu mendidik anak-anaknya sendiri, maka hendaknya ia menerima lamaran laki-laki tersebut. Hal ini lebih baik daripada ia berangan-angan bersama suami terakhirnya, akan tetapi ia terjerumus dalam fitnah dan maksiat.

Perhatikan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” [HR. At-Tirmidzi no. 1085 hasan]

2. Tidak ada cemburu dan kecewa di surga karena Allah sudah mencabutnya, jadi jangan khawatir cemburu seperti gambaran kasus di atas.

Perhatikan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا اخْتِلاَفَ بَيْنَهُمْ وَلاَ تَبَاغُضَ قُلُوْبُهُمْ قَلْبُ رَجُلٍ وَاحِدٍ يُسَبِّحُوْنَ اللهَ بُكْرَةً وَعَشِيًّا

“Tidak ada perselisihan di antara mereka, tidak ada permusuhan, hati-hati mereka hati yang satu, mereka bertasbih kepada Allah setiap pagi dan petang”  [HR Al-Bukhari no 3073]

3. Terdapat pendapat ulama lainnya yaitu ia akan bersama suami terakhir APABILA suami tersebut sama amal & akhlaknya dengan istrinya.

Syaikh Ali Firkous berkata,

وإن كان لها أزواجٌ في الدنيا فهي في الجنَّة مع آخر أزواجها إذا تَسَاوَوْا في الخُلُق والصلاح

“Apabila wanita tersebut mempunyai beberapa suami di dunia, maka ia berada di surga bersama suami terakhirnya apabila sama dalam akhlak dan amal shalih.” [sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-959]

Demikian juga ayat yang menyatakan bahwa suami & istri itu berada pada satu naungan karena samanya amal, akhlak dan balasan adalah mereka bersama dalam satu kedudukan.

Allah berfirman,

هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلاَلٍ

“Mereka bersama dengan istri-istri mereka dibawah naungan (surga).” [Yasin: 56]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52770-istriku-dengan-siapa-engkau-di-surga-nanti.html

Buat Apa Istri Cantik Kalau Dingin Layani Suami?

RUMAH tangga sakinah adalah rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta dan takwa kepada Allah Ta’ala, saling menghormati, menghargai dan pengertian dari semua pihak. Apabila ada problem atau masalah maka diselesaikan dengan sabar dan tanpa emosi serta tidak mudah mengeluarkan kata-kata cerai.

Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah paham dalam liku-liku seksual. Akan tetapi kepahaman itu belumlah sempurna kalau tidak disertai dengan iman dan takwa.

Apalah artinya harta bagi seorang istri jika ternyata kebutuhan batiniahnya tidak terpenuhi? Demikian pula apalah artinya kecantikan, keayuan dan kemolekan isteri jika ia dingin saja dalam berhubungan badan (jima’) dengan suaminya? Suami isteri harus menyadari akan hal ini.

Seorang isteri harus selalu siap melayani suaminya untuk mencapai kepuasan, demikian pula seorang suami harus selalu berusaha memberi kepuasan kepada istrinya. Akhirnya berbahagialah keduanya dalam jalinan cinta yang harmonis dan diridlai oleh Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita semua rumah tangga sakinah, yang penuh dengan mawaddah dan rahmah, rumah tangga yang “Baitiy jannatiy” Rumahku adalah surgaku. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. [Abdulah Saleh Hadrami]

INILAH MOZAIK

Wanita Itu Bagaikan Gelas Kaca

Jadilah suami yang pandai menjaga perasaan istrinya

Menjaga Gelas-Gelas Kaca

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui sebagian istrinya, sementara Ummu Sulaim bersama mereka. Maka beliau berkata, 

وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ، رُوَيْدَكَ سَوْقًا بِالقَوَارِيرِ

“Hati-hati wahai Anjasyah, pelan-pelanlah jika sedang mengawal gelas (piala) kaca (maksudnya para wanita, pent.).” (HR. Bukhari no. 6149 dan Muslim no. 2323) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan Anjasyah agar tidak terlalu semangat dalam melantunkan syair ketika menggiring unta. Karena kalau terlalu semangat, unta-unta itu akan berjalan dengan sangat cepat. Padahal, di dalam rombongan ada para wanita. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingatkan agar Anjasyah memelankan lantunan syairnya, karena dia sedang mengawal gelas (piala) kaca, yaitu para wanita yang ada dalam rombongan.

Suami Berusaha Menjaga Hati Istri

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa wanita itu bagaikan gelas kaca …

Jika gelas kaca itu jatuh dan pecah, hampir mustahil bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Berbeda halnya dengan gelas aluminium atau gelas besi.

Jadi, untuk para suami, perhatikanlah hal ini. Janganlah Engkau membuat hatinya terluka, karena akan sulit penyembuhannya. 

Seorang istri, bisa jadi dia sanggup melaksanakan banyak perkerjaan rumah tangga di satu waktu. Dalam kondisi hamil, istri masih bisa memasak, membersihkan rumah, itu pun sambil menyuapin anak yang masih kecil, dilanjutkan dengan menyeterika pakaian. Seorang suami dengan badan yang kekar, mungkin hanya mampu menggendong anak tidak lebih dari setengah jam. Berbeda dengan sang ibu yang tahan berjam-jam lamanya. Sungguh ketahanan fisik yang luar biasa.

Akan tetapi, sekali bentakan suami yang dia dengar dan rasakan, semua tubuhnya tiba-tiba lemas dan tidak berdaya. Lau dia pun hanya bisa menumpahkan air matanya di atas bantal, tidak membalas bentakan suaminya karena tingginya kedudukan suami di matanya.

Sekali saja suami memukulnya, rasa sakit dalam hatinya tidak akan pernah hilang, meskipun bisa jadi secara fisik tidak berbekas sama sekali.

Jadi ingatlah. wahai para suami, istri (wanita) itu bagaikan gelas-gelas atau piala kaca. Hati-hatilah dalam bersikap dengan para istri. Karena kalau sebuah kaca itu sudah pecah, sangat sulit untuk dikembalikan seperti keadaannya semula. 

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53273-wanita-itu-bagaikan-gelas-kaca.html

Mengabdilah dengan Baik kepada Suamimu…

INI Syuraih al-Qadhi bersama istrinya. Syuraih adalah seorang tabiin yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab menjadi pejabat hakim di wilayah kekhalifahan Islam. Setelah Syuraih (seorang tabiin) menikah dengan seorang wanita bani Tamim, dia berkata kepada Syabi (seorang tabiin), “Wahai Syabi menikahlah dengan seorang wanita bani Tamim karena mereka adalah wanita.”

Syabi bertanya, “Bagaimana hal itu?” Syuraih bercerita, “Aku melewati kampung bani Tamim. Aku melihat seorang wanita duduk di atas tikar, di depannya duduk seorang wanita muda yang cantik. Aku meminta minum kepadanya.”

Wanita itu berkata kepadaku, “Minuman apa yang kamu sukai?” Aku menjawab, “Seadanya.” Wanita itu berkata, “Beri dia susu. Aku menduga dia orang asing.” Syuraih berkata, “Selesai minum aku melihat wanita muda itu. Aku mengaguminya. Aku bertanya kepada ibunya tentang wanita itu.”

Si ibu menjawab, “Anakku.” Aku bertanya, “Siapa?” (maksudnya siapa ayahnya dan bagaimana asal usulnya). Wanita itu menjawab, “Zaenab binti Hadhir dari bani Hanzhalah.” Aku bertanya, “Dia kosong atau berisi?” (maksudnya bersuami atau tidak).

Wanita itu menjawab, “Kosong.” Aku bertanya, “Kamu bersedia menikahkanku dengannya?” Wanita itu menjawab, “Ya, jika kamu kufu (sepadan).

Aku meninggalkannya pulang ke rumah untuk beristirahat siang, tetapi aku tidak bisa tidur. Selesai salat aku mengajak beberapa orang saudaraku dari kalangan orang-orang yang terhormat. Aku salat asar bersama mereka. Ternyata pamannya telah menunggu. Pamannya bertanya, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”

Aku menjelaskan keinginanku, lalu dia menikahkanku. Orang-orang memberiku ucapan selamat, kemudian acara selesai. Begitu sampai di rumah aku langsung menyesal. Aku berkata dalam hati, “Aku telah menikah dengan keluarga Arab yang paling keras dan kasar.” Aku ingat kepada wanita-wanita bani Tamim dan mereka keras hatinya.

Aku berniat menceraikannya, kemudian aku berubah pikiran. Jangan ditalak dulu, jika baik. Jika tidak, barulah ditalak. Berapa hari setelah itu para wanita Tamim datang mengantarkannya kepadaku. Ketika dia didudukkan di rumah, aku berkata kepadanya, “Istriku, termasuk sunah jika laki-laki bersatu dengan istrinya untuk salat dua rakaat dan dia pun demikian.”

Aku beridiri salat, kemudian aku menengok ke belakang, ternyata dia juga salat. Selesai salat para pelayannya menyiapkan pakaianku dan memakaikan jubah yang telah dicelup dengan minyak zafaran. Manakala rumah telah sepi, aku mendekatinya. Aku menjulurkan tangan ke arahnya. Dia berkata, “Tetaplah di tempatmu.”

Aku berkata kepada diriku, “Sebuah musibah telah menimpaku.” Aku memuji Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dia berkata, “Aku adalah wanita Arab. Demi Allah, aku tidak melangkah kecuali untuk perkara yang diridai Allah. Dan kamu adalah laki-laki asing, aku tidak mengenal akhlak kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya. Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya.”

Aku berkata kepadanya, “Aku suka ini dan ini (aku menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang aku sukai) dan juga membenci ini dan ini.” Dia bertanya, “Jelaskan kepadaku tentang kerabatmu. Apakah kamu ingin mereka mengunjungimu?”

Aku menjawab, “Aku seorang hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh.” Aku melalui malam yang penuh kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa kebaikan darinya.

Satu tahun kemudian (setelah pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku. Aku berkata kepada ibu mertuaku, “Selamat datang.”

Ibu mertua berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu?” Aku menjawab, “Baik, alhamdulillah.” Ibu mertua bertanya, “Bagaimana istrimu?” Aku menjawab, “Wanita terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.”

Ibu mertua berkata, “Seorang wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan di mana prilakunya paling buruk kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas). Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita bodoh dan manja.”

Syuraih berkata, “Setahun sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, Bagaimana menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu? Kujawab, Terserah mereka.” Dua puluh tahun aku bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya.

Inilah pedoman yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik oleh seorang wanita, sebagai pijakan cahaya dalam hidupnya. Mengabdilah dengan baik kepada suamimu, niscaya kamu berbahagia dan mendapatkan suami yang berbahagia dan berhasil dalam pekerjaannya.

[Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf]

INILAH MOZAIK