11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [2]

Setiap hari, Rasul beristighfar kepada Allah tidak kurang 100 kali. Padahal, beliau sudah diampuni oleh Allah

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

Keenam, orang yang banyak beristighfar

Beristighfar berasal dari bahasa arab: istaghfara, yastaghfiru, istighfaaran. Artinya memohon ampunan atas segala perbutan dosa kepada Allah Subhanahu Wata’al. Beristighfar adalah bentuk pertaubatan seseorang atas segala noda dosa dan kesalahan yang ia lakukan.

Setiap hari, Rasul beristighfar kepada Allah tidak kurang 100 kali. Padahal, beliau sudah diampuni oleh Allah. Namun, beliau tahu diri dan tetap mengharap ampunan Allah yang tidak terbatas. Selama hayat masih dikandung badan, selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan, permohonan ampun seorang hamba tidak akan diabaikan oleh Allah Subhanahu Wata;ala. Allah Maha Pengampun atas segala dosa, dosa besar atau kecil.

Semakin banyak memohon ampun semakin besar kesempatan menjadi orang yang bahagia, secara lahir maupun batin. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang dalam catatan amalnya terdapat banyak istighfar.” (HR. Ibnu Majah).

Ketujuh, orang yang hidup Sederhana

Hidup sederhana tidak berarti membeci harta dan lari dari kekayaan. Dalam Islam, harta bukan menjadi tujuan tapi perantara untuk memuluskan langkah kehidupan dalam mengabdi kepada Allah. Titik tekannya adalah bagaimana menjalani kehidupan di dunia yang sementara dengan tidak sombong, boros dan berlebih-lebihan.

Hidup sederhana adalah hidup yang bersahaja. Memuji Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Tidak mengeluh dan putus asa atas apa yang belum didapatkan dari keinginan. Bersyukur kepada Allah merupakan kunci orang yang ingin hidup sederhana. Menurut Nabi Subhanahu Wata’ala, Orang kaya bukanlah orang banyak harta. Demikian orang miskin bukanlah orang yang tidak berharta. Orang kaya adalah orang yang hatinya diisi dengan rasa syukur. Orang miskin adalah orang yang sempit jiwanya karena tidak memiliki rasa syukur.

Berbahagialah orang yang hidup sederhana, bersahaja, pandai mensyukuri nikmat Allah, sedikit atau banyak. “Berbahagialah orang yang diberi petunjuk kepada Islam, hidupnya sederhana, dan ia rela atasnya.” (HR. Turmudzi).

Kedelapan, orang yang panjang umur dan beramal baik

Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata dalam Kitabul Hikam, “Sesungguhnya modalmu hanyalah umur. Maka isilah ia dengan perbuatan terpuji dan kemuliaan amal shalih.”

Ada tiga golongan manusia dalam mengisi umurnya. Pertama, orang yang diberi umur (modal) yang ia manfaatkan dengan berhati-hati. Ia sadar benar bahwa modal ini hanya sementara maka ia gunakan sebagai sarana melakukan amal shalih. Inilah orang yang akan memeroleh keuntungan.

Kedua, orang yang malas dalam menjalankan dan memanfaatkan modalnya. Ia mendiamkan modalnya begitu saja. Tidak memanfaatkannya sebagaimana mestinya sehingga ia menjadi orang yang rugi, tanpa memeroleh manfaat.

Ketiga, golongan yang gemar menghambur-hamburkan modalnya. Baginya, modal hanya diperuntukkan untuk kepuasaan dan kesenangan. Dalam pandangannya, modal umur hanya bermanfaat jika digunakan untuk hal-hal yang mengasyikkan hingga menyeretnya kepada kerugian yang besar.

Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menyampaikan, “Berbahagialah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Thabrani).*/(bersambung)

Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [1]

Rasul membahasakan bahagia dengan kata ‘thuba’ yang berarti beruntung, bahagia, dan sukses

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

SETIAP orang pasti ingin bahagia. Sayangnya, sebagian orang menilai kebahagiaan terletak pada harta dan materi. Artinya seseorang memandang dirinya dan dipandang oleh orang lain sebagai orang yang bahagia kalau memiliki harta melimpah, deretan mobil, hamparan tanah yang luas dan seabrek fasilitas dunia lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memiliki kriteria tersendiri untuk menilai apakah seseorang masuk sebagai golongan yang bahagia atau tidak. Beliau berpandangan bahwa bahagia itu bukan sebuah kondisi tapi pilihan. Kita bisa memilih untuk menjadi orang yang bahagia meski pun kita bukan termasuk orang yang kaya.

Rasul membahasakan bahagia dengan kata ‘thuba’ yang berarti beruntung, bahagia, dan sukses. Dari kata thuba inilah kita bisa menemukan jejak-jejak orang yang bahagia untuk kita jadikan sebagai evaluasi diri apakah diri kita sudah termasuk di dalamnya atau belum.

Pertama, orang yang bahagia adalah orang yang asing dalam kesalehan

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Beruntunglah orang yang asing.” Sahabat bertanya, “Siapakah orang-orang asing itu?” Nabi menjawab, “Orang asing (yang beruntung itu) adalah orang-orang shalih yang berada di tengah masyarakat yang banyak melakukan keburukan, yang melakukan kemaksiatan lebih banyak daripada yang melakukan ketaatan.”

Inilah kriteria orang bahagia menurut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Yakni orang yang tetap istiqamah mengerjakan kebajikan, meski di sekelilingnya lebih pro kepada keburukan. Orang asing seperti ini tidak ambil pusing dan peduli, apakah ia dinilai negatif atau positif oleh orang-orang yang hanyut dalam sungai kemaksiatan. Yang ia pedulikan adalah meraih ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Ia tidak ikut hanyut ke dalam arus keburukan yang sedang mengaliri kehidupan di suatu zaman.

Orang yang asing dalam kesalehan selalu berupya memiliki pendirian yang kuat, tidak berubah-ubah layaknya bunglon yang berubah kulit pada masa tertentu. Pagi dan sore, siang dan malam, ia tetap konsisten dalam mengabdi kepada Allah sembari terus berusaha memperbaiki diri dan orang lain untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Kedua, orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam meski tidak menjumpainya.
Jumlah manusia yang beriman kepada Rasul dan semasa dengan beliau tidak sebanding dengan jumlah umat Islam yang hidup sepeninggalnya. Jarak waktu yang begitu panjang telah memisahkan antara kehidupan kita dengan masa Rasul. Di sinilah letak keistimewaannya. Meski tidak berjumpa secara langsung namun tetap beriman terhadap risalah yang disampaikan oleh Nabi. Orang-orang ini masuk dalam golongan kaum yang beruntung. Seperti sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam,

“Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku dan berbahagialah dan (beruntunglah) orang yang tidak melihatku dan beriman kepadaku (7x menyebut).” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, kita harus mati-matian mempertahankan iman dalam hati kita sampai akhir hayat. Godaan dan tantangan di depan semakin kuat dan keras. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan umur kita berakhir dalam keadaan iman, dalam keadaan husnul khatimah.

Ketiga, orang yang beramal berdasar ilmu

Kita pernah bahkan sering mendengar ungkapan yang artinya, Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Ilmu , sedikit atau banyak, yang sudah kita raih harus kita amalkan. Mengamalkan suatu perbuatan harus didasari ilmu agar tahu mana yang benar dan yang salah. Imam Bukhari pernah berkata, Ilmu sebelum beramal dan berucap. Ucapan ini menunjukkan pentingnya ilmu sebagai dasar dalam melakukan suatu tindakan.

Oleh karenanya, menjadi sangat penting untuk mengamalkan ilmu dan mengamalkan sesuatu berdasarkan ilmu. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang beramal dengan ilmunya.” (HR. Bukhari)

Keempat, orang yang ikhlas

Ikhlas artinya bersih, suci, murni. Orang yang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang melakukan amal kebaikan karena Allah (Lillaahi ta`ala), tanpa embel-embel, tanpa mengharap imbalan, pujian, dan penghargaan dari selain-Nya. Beramal dengan ikhlas tidak akan membuat seseorang mabuk kepayang oleh pujian pun juga tidak melemah karena hardikan dan cacian dari manusia.

Orang yang ikhlas dikategorikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai orang yang beruntung, orang yang sukses, orang yang berhasil. Sabda beliau, “Berbahagialah orang-orang yang ikhlas, mereka adalah pelita-pelita hidayah yang dari mereka setiap fitnah yang gelap menjadi terang.” (HR. Abu Nu`aim).

Kelima, orang yang mampu menahan lidahnya

Ada bunyi pepatah, Lidahmu Harimaumu yang pas menggambarkan betapa besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh lisan. Ucapan yang terlontar dari lisan tidak lagi bisa ditarik. Ucapan itu menjadi catatan dalam kehidupan seseorang.

Lidah memang bentuknya kecil namun akibat yang ditimbulkan begitu besar, lebih besar dari bentuk lidah itu sendiri. Karenanya, Rasul memerintahkan kepada kita untuk berkata baik. Kalau kita tidak mampu, maka diam adalah pilihan terbaik. Di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, sangat penting untuk mengendalikan ucapan. Tidak melapas dan melempar ucapan dengan begitu mudah.

Perhatikan dan lihat baik-baik apakah pada ucapan yang akan kita sampaikan, mengandung manfaat atau sebaliknya. Jika bermanfaat, sampaikanlah. Jika tidak, tahan dan ini jauh lebih selamat.

Siapa yang mampu mengendalikan lidahnya ia akan tergolong sebagai orang yang beruntug. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang dapat menahan lidahnya…” (HR. Baihaqi).* (bersambung)

Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

Sungguh! Masa Tidur Telah Habis

Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidāyatu al-Mujtahid –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan malam-malamnya, kecuali membaca buku.

Oleh: Mahmud Budi Setiawan

SAAT Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam berselimut, turunlah wahyu(Qs. Al-Muddatsir: 1-7). Beliau pun bergegas bangun dari ranjang. Khadijah sebagai istri yang melihat suami tercinta terlihat letih, segera menganjurkannya tidur kembali supaya hatinya tenang. Jawaban sang suami sungguh dahsyat dan tak pernah diprediksi:

“Wahai Khadijah! Masa tidur dan istirahat telah habis. Jibril telah memerintahkanku memperingatkan dan berdakwah pada manusia.”(Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 1/192).

Sejak saat itu, memang terbukti. Hari-hari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam –selama dua puluh tiga tahun lamanya- padat dengan kegiatan dakwah.

Pernyataan itu bukan menunjukkan beliau tidak tidur sama sekali, tapi waktu tidur untuk hal-hal yang mubah, dikurangi.

Waktunya lebih banyak digunakan untuk hal bermanfaat. Bukan 24 jam tidak pernah tidur. Beliau sendiri menganjurkan melakukan sesuatu secara seimbang serta memberikan hak-haknya.

Suatu saat beliau pernah menegur orang yang bertekad tidak tidur dan ingin shalat tahajud selamanya. Di akhir hadits beli berkata: “Barangsiapa benci sunnahku maka bukan dari (golongan) ku.”(HR. Bukhari Muslim).

Beliau diutus sampai dua puluh tiga tahun. Tugasnya sangat berat. Di samping sebagai nabi dan rasul, beliau juga seorang ayah, suami dari sembilan istri, imam masjid, sewaktu di Madinah hampir tiga bulan sekali memimpin ekspedisi militer. Jadi sangat wajar jika beliau sangat sedikit tidurnya. Di samping itu, bukankah dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa ciri-ciri orang muhsin(baik) di antaranya: Pertama, sedikit tidur di malam hari. Kedua, istighfar di waktu sahur(Ad-Dzariyat: 17-18).

Beliau benar-benar mempraktikkan ayat tersebut, karena menurut Ibunda Aisyah, ‘Akhlaknya adalah Al-Qur`an’(HR. Ahmad).

Para ulama pun ternyata memiliki kebiasaan yang sama. Muhammad bin Al-Hasan sangat sedikit tidurnya di malam hari karena sibuk dengan kegiatan keilmuan (31). Abu Bakar Al-Baqalani, tidak akan tidur malam sebelum menulis tiga puluh lembar(87). Qadhi Iyadh juga memperingatkan agar penuntut ilmu sedikit makan dan tidur (109-110).(Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā).

Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidāyatu al-Mujtahid –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan malam-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam saja:

Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam kemantin. (baca: Kaifa Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni). Imam Syafi`i membagi waktu malamnya menjadi tiga: untuk ilmu, tidur dan beribadah. Jadi porsi untuk tidur hanya spertiga malam. (Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, 1/24).

Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan: “orang-orang besar di dunia, waktu tidurnya rata-rata sedikit.” Waktu mereka tidak pernah disia-siakan untuk tidur kalau tidak mengantuk benar.

Imam Ghazali pernah mengalkulasikan, jika umur rata-rata manusia ialah enam puluh tahun, seandainya setiap hari tidur selama delapan jam, maka selama hidup ia akan tidur selama dua puluh tahun. (Ihyā `Ulūmi al-Dīn, 1/339).

Bayangkan! Sepertiga hidup hanya untuk tidur. Lalu bagaimana dengan yang tidur lebih dari delapan jam perharinya. Betapa banyak waktu terbuang sia-sia hanya untuk tidur?

Kalau kita hendak mengukur diri, ada baiknya mengalkulasi sudah berapa tidur kita selama. Kalau ternyata, waktu tidur lebih bayak dari pada waktu-waktu yang bermanfaat, maka percayalah bahwa kita masih jauh dari kesuksesan. Beranikah kita berkomitmen seperti Nabi: “Waktu tidur telah habis!”. Wallahu a`lam.*

sumber: Hidayatullah.com

Bahagia Tanpa Batas Bagi Lulusan Madrasah Ramadhan

KITA tidak tahu apakah tahun depan masih bertemu lagi atau tahun ini Ramadhan terakhir yang kita jalani. Tapi, prinsip kita sebagai orang yang beriman, kita ketemu Ramadhan lagi atau tidak, No Problem!.

Yang jadi masalah adalah ketika tidak memahami substansi Ramadhan dan enggan menghidupkannya di luar Ramadhan. Yakni, semangat bagaimana hidup selalu bahagia (unlimited happiness), atau dengan kata lain bagaimana kebahagiaan itu selalu meliputi kehidupan kita.

Puncak Sukses
Kebahagiaan adalah puncak perjuangan yang dicari setiap orang di dunia ini. Ramadhan benar-benar mengajarkan kita hidup bahagia.

Mari kita renungkan, sejak sebelum Ramadhan dan saat kita menjalani ibadah Ramadhan hingga pada saat hari raya Iedul Fitri suasana kebahagiaan sangat terasa. Suasana ini tidak saja dirasakan oleh ummat Islam, non-muslim pun turut “kecipratan” bahagia.

Bagamanapun sikap kita saat menjalani ibadah Ramadhan -dengan sempurna atau setengah-setengah- tetap kita mendapat percikan kebahagiaan itu.

Tetapi, tentu saja, siapa yang menjalani ibadah Ramadhan dengan sempurna kebahagiannya juga sempurna. Siapa yang menjalaninya setengah hati atau banyak cacat ibadahnya ia mendapat kebahagiaan sesuai usahanya.

Bagi orang beriman perginya Ramadhan sungguh sangat memilukan hati. Kerinduan yang membuncah di bulan Syawal dan bulan selanjutnya hanya bisa diobati dengan datangnya Ramadhan lagi. Meskipun seluruh potensi yang ia miliki telah ia kerahkan untuk menjalani ibadah Ramadhan dengan maksimal, tetaplah masih merasa kurang. Apalagi menjalani ibadah Ramadhan setengah hati.

Hal itu timbul berangkat dari keyakinan yang mendalam terhadap janji dan jaminan Allah bagi orang yang berhasil memproses dirinya hidup dengan ketaqwaan. Sungguh Allah tiada mengingkari janji-Nya.

Kiat Menghadirkan Kebahagiaan
Pertama, untuk hidup bahagia tanpa batas adalah mampu membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan. Hidup bahagia adalah dambaan setiap orang.

Berbagai macam cara orang mencari kebahagiaan. Ada yang dengan menumpuk-numpuk harta. Ada yang mencari kebahagiaan dengan kawin melulu dan selingkuh. Ada yang mencari kebahagiaan dengan shopping, berwisata, mengikuti gaya hidup selebritis.

Sesungguhnya, itu bukanlah kebahagiaan, melainkan kesenangan dunia. Kesenangan sesaat yang hanya membuat pelakunya tersiksa secara batiniyah dan pemborosan secara finansial. Kebahagiaan adalah nikmat yang berlipat-lipat. Hal ini terkait secara fisik dan non-fisik. Sedangkan kesenangan hanya bersifat fisik semata.

Kedua, kenali Allah Ta’aala sebagai penguasa segalanya. Kebahagiaan hakiki hanyalah terletak dalam ketaatan yang sempurna kepada Allah subhaanahu wata’ala. Karena ujung perjalanan kita adalah innaa lillaahi wa innaa ilahi raajiuun (kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali), maka kita harus memahami dengan baik siapakah Allah Ta’ala yang harus kita taati itu.

Maka membaca, memahami, dan men-tadabburi Al Qur’an adalah cara untuk mengenal-Nya. Ketika sudah kenal dengan baik, maka akan mudah ingat Allah (dzikrullah). Ingatlah hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang. (QS.Ar Ra’du [13] : 28)

Ketiga, pahami akhir perjalanan hidup. Memahami akhir perjalanan sangat mempengaruhi seseorang menjalani hidup dengan penuh bahagia. Akhir perjalanan adalah cita-cita, harapan atau tujuan.

Tidak akan bahagia kecuali orang yang semangat menjalani hidup menempuh harapan masa depan. Harapan masa depan yang sesungguhnya adalah syurga Allah subhanahu wata’ala.Kehidupan di surga adalah kehidupan yang sangat membahagiakan.

Inilah sebabnya mengapa seorang muslim seharusnya ia adalah orang yang paling bahagia, karena ia sudah tahu betul akhir perjalanannya dan memahami dengan baik eksistensi Tuhannya.

Keempat, pahami bahwa kebahagiaan itu berangkat dari cinta. Kehidupan surgawi adalah kehidupan penuh cinta. Tiada perkataan sia-sia dan dusta (QS.An Naba’ [78]: 35). Seperti yang telah kita jalani selama bulan Ramadhan, semua orang dengan cintanya semangat beribadah. Dimana secara vertikal begitu dekat dengan Allah. Membuat hidup semakin tenang dan bahagia.

Secara horisontal kita jalani hidup dengan mencintai sesama hamba Allah. Mencintai berarti peduli dan memberi. Orang yang mencintai pasti bahagia, tapi orang yang hanya dicintai belum tentu bahagia. Inilah sumber terbangunnya akhlaq mulia.

“ Kecuali orang yang beriman dan berbuat kebajikan, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS.Ath-Thiin [95] :6)

Pahala itu kompensasi atau ganjaran yang merupakan timbal balik seseorang setelah berbuat baik. Bukankah telah sering kita buktikan, bahwa setelah kita berbuat baik, misalnya menolong orang, hati senang dan bahagia rasanya bisa membantu orang lain.

Semangat berbuat baik itu telah terlatih selama bulan Ramadhan. Siang maupun malam, dalam keadaan sempit ataupun lapang, kaya atau miskin, semuanya senang berbuat baik. Termasuk anda, pembaca tercinta. Dengan membaca tulisan ini, sudah menjadi bukti anda senang berbuat kebaikan.

Menanamkan kebaikan berarti menanamkan kebahagiaan. Maka siapa yang hidupnya ingin bahagia tanpa batas, berbuat baiklah selalu meski Ramadhan telah berlalu. Ayo, kita menjadi bintang film atau foto model kebaikan.

“Sungguh rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Al A’raf [7]: 56). “Dan Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imron [3]: 148). Wallahu’a’alam.

______
Ustadz MD Karyadi, Lc, penulis adalah pengasuh Yayasan Dakwah Hidayatullah Cikarang Bekasi dan pembina di www.dakwahcenter.com

Rep: Admin Hidcom

Editor: Huda Ridwan

sumber: Hidayatullah

Kasus Tolikara dan Peran Syariah

Syariah Islam memerlukan sebuah negara yang menerapkan syariah tersebut

Oleh: Kholila Ulin Ni’ma  

HARI ini kita patut bersyukur kepada Allah Yang telah memberi kita kesempatan untuk menikmati Idul Fitri yang penuh bahagia setelah sebulan berpuasa, agar kita menjadi insan-insan yang bertaqwa. Namun, di tengah rasa bahagia itu, kita tidak boleh melupakan kondisi umat Islam terkini, baik di dalam maupun luar negeri. Pasalnya, masih banyak persoalan silih berganti seolah tak mau berhenti.

Di dalam negeri kebijakan-kebijakan neoliberalisme terus menggila. Harga-harga barang dan jasa terus naik. Harga BBM naik akibat subsidi dicabut. Harga gas elpiji naik. Tarif listrik naik. Bahkan tahun 2016 subsidi listrik untuk pelanggan Rumah Tangga 450 watt dan 900 watt akan dicabut pula. Artinya pelanggan nantinya harus membayar hampir dua kali lipat dari tarif listrik saat ini. Kita juga melihat nilai tukar dolar AS semakin kuat, sementara nilai rupiah makin melema. PHK mulai merajalela akibat lesunya perekonomian di negeri ini.

Anehnya, dalam situasi seperti ini, sikap penguasa terhadap perusahaan asing justru sebaliknya. Contohnya terhadap PT Freeport yang menguasai tambang emas, perak, dan tembaga di Papua. Tambang yang dalam syariah Islam seharusnya menjadi milik bersama itu justru dieksploitasi secara rakus oleh PT Freeport yang banyak melanggar aturan yang ada. Namun pemerintah membiarkannya. Pemerintah malah memperpanjang izin operasi PT Freeport selama 20 tahun tali di Papua.

Kekerasan Tolikara

Saat ini umat Islam di Indonesia semakin terdiskriminasi. Tepat di hari pertama Idul Fitri umat Islam di Kabupaten Tolikara Papua diserang oleh oknum umat Kristen, disusul dengan pembakaran masjid ketika mereka sedang khusyu’ melaksanakan sholat Ied.

Aksi brutal ini menunjukkan kegagalan negara sekuler melindungi umat Islam. Di saat pelaku kriminalnya nonMuslim, pemerintah terkesan kurang tanggap. Giliran “diduga” pelakunya Muslim dan korbannya non Muslim semua angkat bicara. Dan sanksipun segera dijatuhkan. Bahkan “terduga” pelaku tersebut seringkali dieksekusi tanpa ada proses persidangan.

Kondisi umat Islam di luar negeri juga sangat memprihatinkan. Kita tidak boleh melupakan saudara-saudara kita para pejuang syariah khilafah yang ditindas diktator brutal Uzbekistan. Jangan lupakan juga saudara-saudara kita Muslim Rohingya yang sengsara terombang-ambing di tengah lautan!

Juga saudara-saudara kita diMesir yang ditindas oleh Presiden Jenderal As-Sisi yang telah menjadi tiran! Jangan lupakan pula saudara kita di Suriah yang dibunuh dan diperangi oleh pemimpinnya sendiri, Bashar Assad. Semuanya mendapat dukungan penuh dari gembong kekufuran, yakni AS dan komplotannya.

Sungguh kita tidak boleh mengabaikan kondisi umat yang demikian. Kita adalah umat yang satu. Penderitaan saudara-saudara di muka bumi manapun hakikatnya adalah penderitaan kita juga.

“Kaum Muslim itu laksana seorang laki-laki. Jika sakit matanya, maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit. Jika sakit kepalanya, maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit pula.” (HR Muslim)

Kondisi umat saat ini ibarat orang sakit. Obat yang pas dan mujarab adalah syariah Islam saja. Syariah Islam telah mengharamkan kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang menimbulkan derita. Kebijakan ini lahir dari negara-negar kafir penjajah, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga mereka seperti IMF, WTO, ADB, dan bank Dunia. Adanya dominasi asing atas kita ini sebenarnya diharamkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, sesuai firman-Nya:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (QS An-Nisa’: 141)

Syariah Islam juga telah mewajibkan kita mengelola tambang-tambang besar, seperti di Papua, sebagai milik kita bersama (milkiyah ‘ammah), bukan sebagai milik pribadi yang dapat dieksploitasi oleh korporasi swasta. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Aalaihi Wassalalam. Beliau pernah membatalkan pemberian tambang kepada pribadi yang depositnya sangat besar.

Islam juga telah mewajibkan kita untuk memberikan pertolongan kepada saudara sesama Muslim yang menderita, seperti Muslim Rohingya yang sampai saat ini masih berada dalam derita. Allah berfirman:

وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

“jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (QS al-Anfal: 72)

Lalu bagaimana agar syariah Islam dapat efektif mengatasi masalah-masalah umat yang ada? Di sinilah diperlukan adanya Negara. Syariah Islam memerlukan sebuah negara yang menerapkan syariah tersebut. Wallahu a’lam bish-shawaab.*

Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung, pendidik di Sekolah Alam Mutiara Umat Tulungagung

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com

Ini Studi Kemenag Soal Dugaan Penistaan Agama di Car Free Day

Oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, di satu sisi memberikan  konsekuensi   yang cenderung mengarah kepada kondisi kehidupan antarumat beragama yang potensial bagi timbulnya konflik di kalangan umat beragama akibat perbedaan kepentingan. Namun di sisi lain menunjukkan adanya dinamika kehidupan antarumat beragama yang terlihat harmonis.

Terkait dengan sisi yang pertama, sehubungan dengan adanya perbedaan kepentingan di atas, terlihat hubungan antarumat beragama tertentu di beberapa daerah terganggu akibat perlakuan dari oknum agama tertentu yang dirasakan merugikan atau menyinggung eksistensi umat beragama lain. Kasus demikian acapkali terjadi dalam hal penyiaran atau penyebarluasan ajaran suatu agama.

Sebagai contoh, akhir-akhir ini di Solo terdapat acara Car Free Day dimanfaatkan oleh oknum kelompok agama tertentu dengan memasang spanduk dan sejenisnya untuk promosi agama tertentu. Pada hal kegiatan semacam itu dilarang oleh Walikota Solo; di wilayah pengungsian Gunung Kelud, anak-anak pengungsi ketika itu diajak nyanyi-nyanyi kerohanian agama lain (tentang Tuhan Yesus), pada hal anak-anak tersebut memakai jilbab yang mengindikasikan beragama Islam.

Aktivitas-aktivitas keagamaan seperti itu apabila dibiarkan lambat-laun dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama. Terkait dengan aktivitas keagamaan yang melibatkan umat lain di atas, di Sentul – Bogor pada tanggal 2 November 2014 terjadi semacam mobilisasi warga muslim sebanyak 7 bus dengan motivasi diajak jalan-jalan ke Jakarta  dalam rangka menghadiri gelar budaya di Tugu Monas.

Kegiatan yang disinyalir didanai oleh seorang warga Sentul City tersebut ternyata mengundang  reaksi dari sementara kalangan tokoh/pemuka Islam setempat karena diduga ada indikasi upaya kristenisasi. Sementara itu kegiatan gelar budaya tersebut bertepatan dengan acara Car Free Day di tempat yang sama.

Mencermati berbagai hal di atas, maka Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan menganggap penting untuk melakukan penelitian/studi lapangan terkait keikutsertaan warga Sentul – Bogor sebanyak 7 bus dalam kegiatan “gelar budaya” di Monas  pada tanggal 2 November 2014 di atas.

Permasalahan pokok dalam studi ini adalah “bagaimana warga Sentul – Bogor ikut serta dalam kegiatan gelar budaya yang diselenggarakan di Monas – Jakarta” pada tanggal 2 November 2014.

 

sumber: Republika Online

Sebelum Insiden, MUI Sudah Ingatkan Kapolres Tolikara

TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sorong Ahmad Anderson Meage mengatakan umat islam di Tolikara telah mewaspadai surat yang diedarkan oleh kelompok Gereja Injil di Indonesia. Bahkan, mereka telah menghadap Kepala Kepolisian Resor Tolikara dan Bupati Tolikara.

“Tapi, mereka menjamin pada hari raya akan aman dan tak perlu memilkirkan edaran tersebut,” ujar Anderson ketika dihubungi Tempo, Ahad, 19 Juli 2015.

Anderson menyayangkan Kepolisian bisa kecolongan hingga akhirnya terjadi bentrokan.

Kelompok GIDI, kata Anderson, memang kerap berbuat seenaknya di tanah Tolikara. Menurut Anderson, tak hanya umat Islam yang dilarang beribadah, umat kristen yang tidak sealiran dengan GIDI-pun diperlakukan serupa. “Makanya kami semua menuntut kelompok itu dibubarkan,” ujar Anderson.

Selain itu, Anderson juga meminta Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala Kepolisian Daerah Inspektur Jenderal Yotje Mende mengevaluasi kinerja Kapolres Tolikara. “Saya harap pak Kapolri dan Kapolda segera bertindak dan meninjau langsung,” katanya.

Bentrok dipicu dari surat edaran Ketua GIDI wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga kepada umat muslim di Tolikara. Surat yang juga disampaikan ke Kepolisian Resor Tolikara dan pemerintah daerah tersebut, berisi larangan umat Islam merayakan Idul Fitri di Karubaga, Tolikara.

Mereka juga meminta umat Islam tak berjilbab. Pada surat edaran yang sama, Nayus menjelaskan pihaknya juga melarang pemeluk agama mendirikan tempat ibadah di Tolikara.

Surat tersebut ditembuskan ke kepolisian resor dan pemerintah daerah Tolikara beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Namun, Jumat lalu masyarakat muslim Tolikara tetap menggelar salat Idul Fitri dan mengumandangkan takbir dengan pengeras suara, di lapangan Makoramil 1702/ Karubaga. Lapangan tersebut berdekatan dengan penyelenggaraan KKR jemaat GIDI.

Musala Baitul Mutaqin yang terletak di kompleks Makoramil ikut terbakar, bersama dengan beberapa kios dan rumah di sekitarnya.

TIKA PRIMANDARI

Pemuda Persis Minta GIDI Ikut Bertanggungjawab Peristiwa Tolikara

Hidayatullah.com–Pimpinan Pusat Pemuda Persatuan Islam (Persis) mendesak Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) bertanggungjawab atas aksi pembakaran Masjid di Tolikara Papua.

“Mengutuk keras tindakan GIDI yang melakukan pembakaran masjid saat tengah dilaksanakannya shalat Ied,” demikian salah satu pernyataan sikap Ketua Umum Pemuda Persis, Tiar Anwar Bachtiar  dalam rilisnya kepada hidayatullah.com hari Sabtu.

Selanjutnya, ia juga  mendesak kepada pihak-pihak yang  dinilai bertanggungjawab terutama pihak GIDI untuk segera meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam atas tindakan yamg mereka lakukan.

“Mengultimatum GIDI supaya membayar ganti rugi atas kerugian materil yang ditimbulkan atas tindakan mereka,” ujar  Tiar.

Ia juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera memproses kasus ini secara cepat dan tidak diskriminatif.

Pemuda Persis juga mengajak umat Islam membangun kembali masjid di Tolikora yang lebih baik dan lebih lengkap.

“Mengajak kepada seluruh umat Islam menggalang solidaritas untuk membangun kembali Masjid di Tolikora lebih besar lengkap dengan fasilitas dakwah lain yang lebih besar,” ujarnya.*

Rep: Anton R

Editor: Cholis Akbar

Pagi Hari Idul Fitri, Masjid dan Puluhan Rumah Dibakar di Tolikara Papua

Warga yang sedang melaksanakan salat Id berlarian menyelamatkan diri ke kantor Koramil setempat. Warga ketakutan karena jarak pembakaran rumah dengan lokasi salat Id berdekatan, tak lebih dari 50 meter

Hidayatullah.com — Sebuah masjid dan puluhan rumah warga serta kios di Karubaga, ibukota Kabupaten Tolikara, Papua dibakar sekelompok orang tak dikenal sekitar pukul 07.00 WIT, tepat disaat umat muslim di Karubaga sedang melaksanakan shalat Idul Fitri 1436 H di Lapangan Koramil 1702/Wms.

Akibatnya, warga yang sedang melaksanakan shalat Id berlarian menyelamatkan diri ke kantor Koramil setempat. Warga ketakutan karena jarak pembakaran rumah dengan lokasi salat Id berdekatan, tak lebih dari 50 meter.

Juru bicara Polda Papua Kombes Pol Rudolf Patrige menuturkan, sekelompok orang juga sempat melempari masjid Baitul Mutaqien hingga berujung pada pembakaran masjid tersebut.

“Aparat gabungan TNI/Polri sudah mengamankan lokasi kejadian. Sampai saat ini kami terus menyelidiki motif di balik kejadian tersebut. Situasi Karubaga pada umumnya kondusif,” jelasnya dikutip laman Liputan6, Jumat (17/7/2015)

Dilaporkan pasca-pembakaran rumah dan kios, situasi di Karubaga kembali normal, walupun warga masih takut keluar rumah. Sesaat setelah kejadian, Bupati Tolikara Usman Wanimbo dan Ketua DPRD setempat mengimbau warga untuk menghentikan aksinya.

Sementara itu, Polisi Daerah Papua (Polda) mengaku berhati-hati dalam menyelidiki kasus kerusuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua ini. Karena menyangkut sentimen agama, Polda Papua masih mempertimbangkan situasi yang berkembang saat ini.

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin, pelaku penyerangan saat ini sudah diidentifikasi. “Penyerang dari kelompok tertentu,” kata Patridge kepada CNN Indonesia.

“Kami ingin menyelesaikan masalah dan tidak ingin timbul masalah baru,” katanya.

Pernyataan Wapres

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam konferensi pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, mengatakan penyebab kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua pada Jumat pagi tersebut disebabkan oleh pengeras suara (speaker).

JK menjelaskan, di daerah tersebut ada dua acara yang letaknya berdekatan yang digelar dari dua umat agama berbeda, Islam dan Kristen Protestan.

“Ada acara Idul Fitri, ada pertemuan pemuka masyarakat gereja. Memang asal-muasal soalspeaker itu,” ujar JK dalam konferensi pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat.

Ia menuturkan, masyarakat seharusnya dapat mengetahui bahwa ada dua kepentingan yang terjadi bersamaan.

“Satu Idul Fitri, satu karena speaker, saling bertabrakan. Mestinya kedua-duanya menahan diri. Masyarakat yang punya acara keagamaan lain harus memahami,” kata JK.

Sebelumnya, JK menyesalkan kerusuhan yang terjadi di Masjid Baitul Mustaqin di Kabupaten Tolikara, Papua, yang terjadi pada pelaksanaan shalat Idul Fitri 1436, Jumat (17/7) pagi tadi.

“Iya, itu di Tolikara, saya sesalkan,” ujar JK dalam konferensi pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat.

Ia menuturkan, kerusuhan itu berdampak pada rusaknya beberapa kios di sekitar masjid yang rusak dilempari dan dibakar warga itu. Namun, ia mengaku yakin kepolisian dan pimpinan daerah setempat dapat menyelesaikan kerusuhan dengan baik.

Peristiwa bermula ketika umat Islam tengah melaksanakan shalat Id di halaman Koramil 1702/JWY. Ketika imam mengucapkan kalimat takbir pertama, jemaah secara tiba-tiba didekati oleh beberapa orang. Teriakan orang-orang tersebut membuat jemaah bubar dan menyelamatkan diri ke markas Koramil.

Selang satu jam kemudian, orang-orang itu melempari Masjid Baitul Mustaqin yang berada di sekitar lokasi kejadian. Para penyerang itu lantas membakar rumah ibadah itu.*

Rep: Ainuddin Chalik

Editor: Cholis Akbar

Kasus Pembakaran Masjid Tolikara, Police Watch Tuding Kapolda Papua Lalai

Neta pun mempertanyakan kenapa BIN dan jajaran Polda Papua tidak bisa mengantisipasi peristiwa ini. Padahal selama ini BIN memiliki catatan yang baik dalam urusan intelijen di Papua.

Hidayatullah.com — Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane memandang kasus pembakaran masjid di Kabupaten Tolikara, Papua saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Sholat Idul Fitiri sebagai tindakan keji.

Namun, ia yakin tindakan itu bukan sekadar masalah pertikaian antarkelompok, tapi ada tujuan lain yang ingin ditunjukkan para pelaku.

IPW bahkan punya anggapan bahwa sebenarnya memang sudah ada koordinasi untuk mengantisipasi aksi biadab tersebut. Tapi, karena Kapolda Papua Irjen (Pol) Yotje Mende terlalu sibuk ikut uji kepatutan dan kelayakan Pimpinan KPK hingga lalai dengan tugasnya sebagai Kapolda.

“Kalau memang benar Kapolda meninggalkan tugas sampai akhirnya terjadi kasus seperti ini, lebih baik Yotje mundur dari pencalonan Pimpinan KPK,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (18/7/2015).

Pihaknya menilai peristiwa Tolikara bukan cuma pertikaian antarkelompok, tapi perbuatan ini sengaja dilakukan untuk mempermalukan Presiden Jokowi yang dilakukan oleh kelompok tertentu.

Kelompok itu, taka Neta, sengaja mengacak-acak Papua karena beberapa alasan. Yang pertama menurut Neta adalah kedekatan Jokowi dengan Papua. Istri Jokowi yang bernama Iriani juga memiliki sejarah dengan Bumi Cendrawasih.

“Bapaknya Iriani adalah salah satu orang yang ikut dalam Operasi Mandala, dan Iriani dilahirkan ketika bapaknya sedang bertugas di sana, makanya dinamakan Iriani, yang diambil dari nama Irian Jaya, nama Papua setelah perang kemerdekaan. Jadi, pembakaran masjid tentunya akan mempertaruhkan citra Jokowi,” paparnya.

Alasan lainnya adalah upaya menunjukkan keberatan atas keputusan Jokowi mengangkat tokoh seperti Sutiyoso sebagai Kepala BIN.

“Jadi memang ada pihak yang sengaja bermain untuk memperolok-olok Jokowi,” tegasnya.

Tidak cukup itu saja menurut Neta, kejadian di Papua yang berada di ujung Timur Indonesia ini bertepatan dengan kehadiran Jokowi di Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia.

“Jokowi lagi berada di ujung Barat Indonesia, kejadian di ujung Timur Indonesia. Jadi ini bukan masalah keamanan tapi ada kelompok yang ingin situasi memanas dengan mempermalukan Jokowi,” imbuhnya.

Neta pun mempertanyakan kenapa BIN dan jajaran Polda Papua tidak bisa mengantisipasi peristiwa ini. Padahal selama ini BIN memiliki catatan yang baik dalam urusan intelijen di Papua.

“Kenapa sekarang bobol? Padahal surat edaran yang berbau sara sudah beredar beberapa hari sebelumnya. Kenapa BIN tidak berkoordinasi dengan Polda, dan kenapa tidak ada reaksi saat surat edaran bermasalah itu keluar?” pungkasnya heran dikutip Jurnalparlemen.*

Rep: Ainuddin Chalik