Arab Rayakan Idul Adha 24 September 2015

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Arab Saudi mengumumkan bahwa Idul Adha 1436 hijriah jatuh pada Kamis (24/9) waktu setempat.

Dikutip dari laman Al Arabiya, Senin (14/9), pengumuman tersebut dibuat setelah pejabat berwenang Arab Saudi yang mengamati bulan Dzulhijjah telah melihat penampakan tubuh bulan. Setelah bulan dapat terlihat, maka diputuskanlah waktu masuknya bulan Dzulhijjah yang juga merupakan bulan ke-12 dalam kalender Islam.

Idul Adha merupakan simbol menghormati kesediaan dan ikhlasnya Nabi Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Ismail, untuk disembelih. Namun Allah SWT menggantinya dengan kambing.

Hari Raya Idul Adha dirayakan umat Islam setiap tanggal 10 Dzulhijjah sesudah para jamaah haji wukuf di Padang Arafah dan melaksanakan rangkaian prosesi ibadah hajinya.

Haji dengan Uang Haram

Tanya: Apa hukum haji dengan uang hasil korupsi?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Haji merupakan ibadah yang menggabungkan antara kemampuan fisik dan finansial. Dua kemampuan ini menjadi syarat wajibnya haji. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran: 97).

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang makna istitha’ah dalam ayat di atas. Lalu beliau menjawab,

الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ

“Bekal dan kendaraan.” (HR. Turmuzi 818, Ibn Majah 2897, dan dinilai dhaif sekali oleh al-Albani)

Namun pada prinsipnya, kemampuan finansial menjadi bagian penting dalam haji.

Kaitannya dengan ini, kita hendak menyimpulkan bahwa haji adalah ibadah badaniyah dan maliyah.

Karena ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba ketika beribadah, ulama membaginya menjadi 3,

Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.

Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.

Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.

Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.

Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.

Sebagian ulama memberikan satu kaidah, ibadah maliyah tidak diterima jika diambilkan dari harta yang haram.

Dr. Abbas Ahmad al-Baz menjelaskan,

العبادة المالية لا تكون مقبولة عن الله تعالى الا إذا كانت من مصدر كسب مشروع، لأن ثمرة الحلال حلال؛ وثمرة الحرام حرام

Ibadah maliyah tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari sumber usaha yang diizinkan syariat. Karena hasil dari yang halal adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram. (Ahkam al-Mal al-Haram, hlm 291).

kadiah ini berdasarkan hadis,

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah dari harta ghulul (HR. Muslim 224, Nasai 139, dan yang lainnya).

Karena Allah hanya menerima zakat, infak, dan sedekah dari harta yang baik dan halal.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَل

Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari  usahanya yang halal lagi baik, Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik, maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharnya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung”. (Muttafaq ’alaih).

Hukum Haji dengan Uang Haram

Ulama berbeda pendapat ketika menentukan posisi kepemilikan harta dalam ibadah haji.

Apakah kepemilikan harta yang ada di tangan jamaah haji merupakan syarat sah haji. Dimana status keabsahan haji tergantung pada status kepemilikan harta. Sehingga jika harta ini dimiliki dengan cara yang tidak halal, maka haji tidak sah.

Ataukah keberadaan harta ini hanya syarat wajib hajib. Artinya, ketika seseorang bisa membiayai dirinya berangkat haji maka dia wajib haji. Terlepas dari sumber apapun dia mendapatkan biaya itu.

Pendapat pertama, hajinya sah, meskipun dia berdosa dengan menggunakan harta haram.

Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam Malikiyah serta pendapat sebagian ulama hambali.

Mereka beralasan bahwa keberadaan harta, bukan syarat sah haji, namun syarat wajib haji. Karena inti haji adalah melaksanakan manasik sesuai yang dituntunkan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan status harta yang digunakan untuk mendanai kegiatan itu.

Sebagaimana shalat tetap sah, sekalipun baju yang dikenakan hasil korupsi. Membaca al-Quran tetap sah, sekalipun mushaf yang dibaca hasil mencuri, dst.

Ketika hajinya dinilai sah, maka dianggap sudah menggugurkan kewajiban.

Ibnu Abidin menjelaskan berhaji dengan harta haram,

فقد يقال إن الحج نفسه الذي هو زيارة مكان مخصوص الخ ليس حراما بل الحرام هو إنفاق المال الحرام ولا تلازم بينهما كما أن الصلاة في الأرض المغصوبة تقع فرضا وإنما الحرام شغل المكان المغصوب لا من حيث كون الفعل صلاة

Alasan yang diberikan bahwa haji sendiri, yang kegiatannya mengunjungi tempat-tempat khusus, bukanlah amalan haram. Yang haram adalah penggunaan harta yang haram. Dan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Sebagaimana shalat di tanah ghasab (rampasan), dianggap menggugurkan kewajiban (sah). Namun yang haram adalah menggunakan tanah rampasan itu, dan bukan kegiatan shalatnya. (Hasyiyah Ibn Abidin, 2/456).

Dalam madzhab Malikiyah, al-Wansyarisi – ulama malikiyah – (w. 914 H) menjelaskan,

إذا حج بمال مغصوب ضمنه وأجزأه حجه، وهذا قول الجمهور

Ketika orang berhaji dengan harta hasil merampas, maka dia wajib ganti rugi, namun hajinya sah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (al-Miyar al-Muarab, 2/44).

An-Nawawi – ulama syafiiyah – menjelaskan,

إذا حج بمال حرام، أوراكباً دابة مغصوبة أثم وصح حجه، وأجزأه عندنا، وبه قال أبو حنيفة ومالك والعبدري، وبه قال أكثر الفقهاء، وقال أحمد: لا يجزئه، ودليلنا أن الحج أفعال مخصوصة، والتحريم لمعنى خارج عنها

Orang yang berhaji dengan harta haram atau naik kendadaraan hasil merampas, maka dia berdosa dan hajinya sah serta telah menggugurkan kewajiban menurut kami. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, al-Abdari, dan pendapat mayoritas ulama. Sementara Imam Ahmad mengatakan, “Hajinya tidak sah.” Alasan kami (syafiiyah), bahwa haji merupaka amalan khusus. Sementara haramnya harta, itu faktor luar. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7/62).

Pendapat kedua, hajinya tidak sah.

Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan Malikiyah.

Karena biaya haji, bagian dari syarat sah pelaksanaan haji. Meskipun pada asalnya ini syarat wajib haji, namun syarat wajib dalam ibadah maliyah, sekaligus menjadi syarat sah.

Al-Wansyarisi menyebutkan keterangan sebagian ulama maliki,

وسئل بعضهم عمن حج بمال حرام، أترى ذلك مجزياً عنه، ويغرم المال لأصحابه؟ فأجاب: أما في مذهبنا فلا يجزئه، وأما في قول الشافعي فذلك جـائز، ويرد المـال، ويطيب له حجه

Sebagian ulama malikiyah ditanya tentang orang yang berangkat haji dengan harta haram, apakah menurut anda itu bisa menggugurkan kewajiban, dan wajib mengganti harta kepada pemiliknya?

Beliau menjawab,

Dalam madzhab kami, itu tidak sah. Sementara dalam madzhab as-Syafi’i, itu boleh. Dan dia wajib mengembalikan hartanya, dan berhaji dengan baik. (al-Mi’yar al-Muarab, 2/43).

Al-Wansyarisi juga menyebutkan keterangan Ibnul Muhriz,

الحج قربة، فلا ينفق فيه إلا الطيب من الكسب. فقد رُويَ عنه في الحديث صلى الله عليه وسلم أنه قال: مَنْ حَجَّ بمَالٍ حَرَام فَقَال لَبِّيْكَ نودي لا لّبَّيْك وَلاَ سَعْدَيك، فارجع مأزُوراً غَيْرَ مأجُورٍ

Haji itu ibadah. Karena itu, jangan didanai kecuali dari hasil yang halal. Diriwayatkan sebuah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, lalu dia bertalbiyah, “Labbaik..”  maka dijawab untuknya, “Tidak ada labbaik dan tidak ada sa’daik.., pulanglah dengan membawa dosa dan bukan pahala.”.’

(al-Mi’yar al-Muarab, 2/42)

Hadis yang dibawakan Ibnul Muhriz, disebutkan al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, dan statusnya dhaif sekali.

Ibnu Rajab – ulama hambali – menjelaskan,

وأما الحج بالمال المغصوب ففي صحته روايتان فقيل لأن المال شرط لوجوبه وشرط الوجوب كشرط الصحة

Haji dengan harta hasil rampasan, tentang status keabsahannya, ada dua riwayat. Ada yang mengatakan, bahwa harta merupakan syarat wajib haji. Dan syarat wajib, seperti syarat sah. (al-Qawaid al-Fiqhiyah, hlm. 23)

Tarjih:

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa haji dengan harta haram hukumnya sah, telah menggugurkan kewajiban, meskipun sangat tidak berkualitas. Karena inti haji adalah aktivitas manasik selama masa haji, dengan aturan sebagaimana yang disebutkan dalam fiqh haji.

Selama jamaah haji melakukan semua aktivitas manasik itu dengan baik, memenuhi semua rukun, syarat dan tidak melakukan pembatal, maka hajinya sah.

Hanya saja kesimpulan ini tidak berkaitan dengan apakah hajinya diterima ataukah tidak. Karena yang dibahas dalam hal ini adalah apakah hajinya sah atau tidak. Jika sah, berarti telah menggugurkan kewajiban.

Sebaliknya, jika tidak sah, berarti belum menggurkan kewajiban.

Apakah diterima oleh Allah? Ini di luar pengetahuan manusia.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

 

sumber: Pengusaha Muslim

Mengenal Gharar dalam Bai’ Musharah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada kajian kali ini, kita akan mengkaji hadis tentang jual beli musharrah, berikut beberapa pelajaran terkait jual beli gharar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُصَرُّوا الإِبِلَ وَالغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا: إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ

Janganlah kalian melakukan tashriyah pada onta dan kambing. Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia punya 2 hak pilih, setelah dia perah susunya: jika mau dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan, dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu, dengan memberikan satu gantang kurma. (HR. Bukhari 2148)

Apa itu Tashriyah?

Melakukan Tashriyah : tindakan membiarkan hewan penghasil susu, seperti kambing, sapi, atau onta,  untuk tidak diperah beberapa hari, agar ambing susunya kelihatan besar sebelum dijual. Sehingga ketika dijual, pembeli menganggap, hewan yang dia beli susunya banyak.

Tindakan ini bisa menaikkan harga hewan atau mengundang perhatian pembeli. Namun ketika diperah, baru kelihatan bahwa ternyata susunya tidak banyak dan kondisi ambingnya yang kemarin ternyata tidak normal. Dan tentu saja, ini sangat merugikan pembeli.

Salah satu contoh praktek tashriyah yang sempat dilakukan sebagian pedagang nakal di tempat kita adalah sapi gelonggong. Seekor sapi digelonggong dengan air sehingga kelihatan gemuk dan lebih berat. Namun setelah disembelih, ternyata dagingnya berair.

Keterangan Hadis

Hadis ini berbicara tentang larangan menipu dan bersikap tidak jujur ketika jual beli. Terutama peniuan yang kerap dilakukan beberapa pedagang nakal. Mereka melakukan upaya kamuflase, agar barang yang dia jual kelihatan jauh lebih sempurna. Sementara itu tidak dilakukan secara normal. Diantaranya, praktek tashriyah. Membuat ambing susu hewan perah semakin besar, agar harga bisa ditingkatkan.

Karena syariat menghargai hak semua manusia, hak konsumen maupun pedagang, maka praktek yang merugikan sebagian pihak semacam ini, dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak hanya dilarang, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melindungi hak konsumen yang didzalimi, dengan memberikan hak pilih kepada mereka.

Beliau memberikan dua hak pilih,

Pertama, tidak mengembalikan hewan itu dan merelakan sebagian haknya karena upaya penipuan yang dilakukan penjual. Dengan demikian, jual beli sah, mengkat dan tidak bisa dibatalkan sepihak.

Kedua, membatalkan transaksi jual beli dengan mengembalikan hewan itu kepada penjual, setelah diperah susunya, dengan memberikan ganti rugi atas susu yang telah dia ambil sebelum dikembalikan.

Ini menunjukkan bagaimana pertian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhada hak konsumen, dan beliau sangat melindungi hak mereka.

Pelajaran Hadis:

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita simpulkan dari hadis di atas,

Pertama, larangan penipuan dan sikap tidak terbuka (tadlis) dalam jual beli. Salah satunya adalah penipuan dan sikap tidak terbuka ketika jual beli hewan. Meskipun semua bentuk penipuan dalam hal apapun, hukumnya terlarang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa yang menipu, dia bukan bagian dari kami.” (HR. Muslim 295).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang menipu dengan pernyataan, “bukan bagian dari kami.” Bukan maksudnya dia keluar dari islam. Namun maksudnya, dia telah meninggalkan sikap iitba’ dna tidak mengikutiku, tidak mengikuti jalanku, untuk bersikap baik kepada sesama. Karena semacam ini bukan termasuk akhlak dan kebiasaan kami. (Syarh as-Sunnah, 8/167 dan Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyah, 7/525).

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar. (HR. Ahmad 8884, Abu Daud 3378 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Kedua, syafiiyah berpendapat bahwa berdasarkan tekstual hadis, tashriyah hukumnya haram secara mutlak. Baik untuk dijual maupun untuk kepentingan pribadi. Mereka memahami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan tashriyah pada hewan, karena ini akan menyakiti hewan. Sementara kita diperintahkan untuk bersikap lembut kepada binatang.

Sementara mayoritas ulama mengatakan bahwa alasan larangan ini terkait unsur penipuan dalam jual beli hewan musharrah.

Berdasarkan riwayat lain, yang menyatakan,

لاَ تَصُرُّوا الإِبِلَ وَالْغَنَمَ لِلْبَيْعِ

Janganlah kalian melakukan tashriyah pada onta atau kambing yang hendak dijual. (HR. ad-Daruquthni 3119 dan al-Humaidi dalam Musnadnya 1076)

Sementara unsur penipuan, gharar, dan sikap tidak terbuka, hanya ada dalam jual beli. Sehingga boleh saja melakukan tashriyah untuk kepentingan pribadi, selama tidak membahayakan hewannya.

Al-Hafdiz Ibnu Hajar mengatakan,

وقُيِّد النهي بالبائع إشارةً إلى أنَّ المالك لو حفَّل، فجمع اللبنَ للولد أو لعياله أو لضيفه لم يحرم، وهذا هو الراجح

Larangan tashriyah dikaitkan dengan jual beli merupakan isyarat bahwa ketika pemilik hewan hendak mengumpulkan susu, lalu dia biarkan susu di kambing perahnya tidak diambil beberapa hari agar bisa diperah lebih banyak untuk anak-anaknya, keluarganya, atau tamunya, hukumnya tidak haram. Ini pendapat yang lebih kuat. (Fathul Bari, 4/361).

Sementara alasan Syafiiyah bahwa larangan itu berlaku karena ini menyakiti binatang, tidaklah tepat. Karena tashriyah hanya sementara, tidak selamanya. Sehingga ditoleransi, terutama jika di sana ada manfaatnya.

Ketiga, disebutkan onta dan kambing dalam hadis ini, bukan pembatasan. Sehingga berlaku untuk semua tindakan yang sama pada binatang yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak menyebutkan sapi, karena populasi sapi di wilayah arab sangat sedikit. Sehingga, mayoritas ternak mereka adalah kambing dan onta. Seperti di Indonesia, mayoritas ternaknya kambing dan sapi, sementara populasi onta sangat kecil.

Karena sekali lagi, illah (alasan) larangan dalam hadis ini kembali pada sikap tidak jujur.

Imam Bukhari ketika membawakan hadis ini, beliau mencantumkan judul bab,

باب النهي للبائع أن لا يحفِّل الإبلَ والبقر والغنم وكلَّ محفَّلة

Bab, larangan bagi penjual untuk mengumpulkan susu onta, sapi, maupun kambing. Larangan ini berlaku untuk semua hewan yang susunya bisa dikumpulkan. (Shahih Bukhari, 4/361).

Keempat, zahir (makna tekstual) hadis menunjukkan bahwa hak pilih untuk mengembalikan hewan itu berlaku jika sudah diperah. Karena dalam lanjutan hadis, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mensabdakan,

فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا

“dia punya dua hak pilih, setelah dia perah susunya”

Hanya saja, jumhur ulama menegaskan bahwa illah adanya hak khiyar adalah setelah diketahui ada unsur penipuan (al-Ghisy). Sehingga tidak harus diperah terlebih dahulu. . sementara hadis menyebutkan setelah diperah, karena itu diantara cara untuk mengetahui adanya penipuan. Sehingga ketika unsur penipuan itu diketahui dengan cara yang lain, seperti pengakuan penjual atau pengakuan saksi.

Intinya, selama diyakini ada unsur penipuan, ada hak khiyar bagi yang didzalimi.

Kelima, barangkali ini pelajaran sangat penting untuk dicatat.

Bahwa penipuan, sikap tidak jujur, tidak terbuka dalam jual beli, tidaklah serta-merta membatalkan akad. Akan tetapi status akad menggantung, dikembalikan kepada kerelaan pihak yang dirugikan. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hak pilih kepada pembeli sebagai pihak yang dirugikan,

فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا: إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ

“Dia punya 2 hak pilih, setelah dia perah susunya: jika mau dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan, dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu, dengan memberikan satu gantang kurma. (HR. Bukhari 2148)

Adanya hak pilih menunjukkan bahwa jual beli itu sah. Artinya, jika pihak yang dirugikan memilih untuk merelakannya, maka uang yang diterima menjadi hak penjual dan barang halal untuk dimiliki pembeli.

An-Nawawi mengatakan,

واعلم أن التصرية حرام سواء تصرية الناقة والبقرة والشاة والجارية والفرس والأتان وغيرها لأنه غش وخداع وبيعها صحيح مع أنه حرام وللمشتري الخيار في إمساكها وردها

Pahami bahwa tashriyah hukumnya haram, baik untuk onta, sapi, kambing, budak, kuda, keledai, maupun yang lainnya. Karena ini penipuan. Hanya saja jual belinya sah, meskipun haram. Pembeli memiliki hak pilih antara mempertahankan barang atau mengembalikannya. (Syarh Shahih Muslim, 10/162)

Di tempat lain, beliau mengatakan,

أن التصرية حرام وأن في هذه الأحاديث مع تحريمها يصح البيع وأنه يثبت الخيار في سائر البيوع المشتملة على تدليس

Tashriyah hukumnya haram. Dalam hadis-hadis ini menunjukkan bahwa jual beli sah, meskipun haram. Dan berlaku hak khiyar untuk semua jual beli yang mengandung usur penipuan. (Syarh Shahih Muslim, 10/166)

Keenam, dari hadis ini, ulama memberikan kaidah bahwa larangan dalam muamalah yang hanya terkait hak makhluk, tidak menyebabkan jual beli itu batal.

Sebagian ulama  ushul menyatakan dalam kaidah,

أنَّ النهي عن الشيء إن كان لحقِّ الله تعالى فإنه يُفسد المنهيَّ عنه، وإن كان لحقِّ العبد فلا يُفسد المنهيَّ عنه

Larangan melakukan sesuatu, jika terkait hak Allah, maka membatalkan tindakan yang dilarang itu. Dan jika terkait hak hamba, tidak membatalkan tindakan yang dilarang. (Miftah al-Ushul ‘ala Bina al-Furu’ ala al-Ushul, at-Tilmisani, 421 – 422)

Contoh lebih jelas,

Allah melarang kita melakukan jual beli setelah adzan jumat, ketika khatib naik mimbar.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Jumuah: 9)

Adanya larangan ini, karena jual beli setelah khatib naik mimbar bisa menyebabkan telat jumatan, sehingga tidak kaitanya dengan hak makhluk. Berdasarkan kaidah di atas, jual beli setelah adzan jumat, ketika khatib naik mimbar, hukumnya batal.

Berbeda dengan larangan menipu dalam jual beli. Larangan ini terkait hak makhluk. Sehinga keabsahan jual belinya dikaitkan dengan kerelaan pihak yang dirugikan.

Ketujuh, kapan hak khiyar menyembalikan barang itu berlaku?

Sampai berapa lama hak khiyar ini berlaku?

Ada dua pendapat ulama di sana,

Pertama, hak khiyar tidak boleh ditunda, jika pihak yang dirugikan mengetahui adanya unsur penipuan dalam jual belinya. Jika ditunda, hak khiyar ini akan hangus.

Ini merupakan pendapat sebagian syafiiyah.

Mereka berdalil dengan hadis di atas, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyatakan,

فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ

“Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia punya dua hak pilih…”

Dalam hadis di atas, digunakan huruf fa’ [فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ] yang menunjukkan rentangnya sebentar, dan bukan kata tsumma [ثُـمَّ] yang memberi makna penundaan.

Dan ini diqiyaskan dengan semua khiyar aib (hak pilih karena ada cacat barang) dalam jual beli.

Kedua, tidak harus segera, namun boleh ditunda dan dibatasi selama 3 hari. Lebih dari  3 hari, hangus kesempatan hak khiyar.

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Pendapat ini didukung dalil hadis dalam riwayat lain,

مَنِ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ

Siapa yang membeli kambing musharrah, maka dia punya hak khiyar selama 3 hari. Jika dia kembalikan, harus ditambah dengan ganti rugi segantang bahan makanan. (HR. Ahmad 10866, Muslim 3909 dan yang lainnya).

Jumhur berpegang dengan batasan 3 hari yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pendapat inilah yang lebih kuat, karena lebih sesuai dalil.

Kedelapan, setelah kita memilih penndapat hak khiyar selama 3 hari, berikutnya, mulai kapankah perhitungan 3 hari itu?

Ulama berbeda pendapat kapan mulai rentang adanya hak khiyar.

Pendapat hambali menyatakan bahwa hak khiyar tidak hilang, selama pihak yang dirugikan belum mengetahui adanya unsur penipuan. Sehingga, kesempatan khiyar baru dibuka, ketika pembeli baru mengetahui adanya unsur penipuan itu. Sekalipun jual belinya telah lama dilakukan. Misalnya, setahun setelah jual beli baru diketahui ada penipuan. Dalam kondisi ini hak khiyar tetap berlaku.

Kita bisa simpulkan ini dari batasan hak khiyar yang disarankan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hewan tashriyah diperah. Artinya setelah diketahui adanya peniuan.

Sementara Syafiiyah menyatakan bahwa hak khiyar mulai berlaku dihitung sejak akad.

InsyaaAllah pendapat yang medekati adalah pendapat hambali. Karena hak khiyar ini dikaitkan dengan adanya unsur penipuan dalam jual beli. Sehingga kembali kepada batasan, sejak kapan pihak yang dirugikan mengetahui adanya penipuan itu.

Demikian, semoga bermanfaat

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

sumber: Pengusaha Muslim

Apa itu Riba Jahiliyah?

 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Istilah ini sering kita dengar dan kita perlu mengenalnya. Tidak hanya mengenal dalam arti pernah mendengar istilah, tapi juga harus mengenal hakekatnya.

Ada pepatah mengatakan,

عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ، ومن لا يعرف الشر من الخير يقع فيه

Aku mengenal keburukan untuk untuk mengamalkannya… namun untuk menghindarinya…

Siapa yang tidak kenal keburukan di tengah kebaikan, dipastikan dia terjerumus dalam keburukan itu.

Semua muslim benci syirik, memusuhi syirik. Namun sayang, banyak muslim yang tidak kenal hakekat syirik. Sehingga beberapa diantara mereka melakukan syirik, namun mereka menyebutnya ibadah.

Betul apa yang dipesankan Umar bin Khatab,

إنما تنقض عرى الإسلام عروة عروة إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية

Ikatan islam terlepas satu demi satu, karena muncul generasi dalam islam yang tidak kenal tradisi Jahiliyah. (Majmu’ Fatawa, 10/301)

Tentu saja kita tidak ingin mulut ini koar-koar anti riba, sementara kita sendiri adalah praktisi riba jahiliyah. Lebih dari itu, kita akan menimbang, bagaimana praktek riba di zaman ini, dengan cara orang jahiliyah mengambil riba.

Apa itu Riba Jahiliyah?

Kita akan simak beberapa keterangan ulama yang mendapatkan informasi dari para saksi sejarah, para sahabat yang pernah mengalami zaman tersebarnya riba.

Keterangan Zaid bin Aslam – ulama tabiin –,

كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ قَالَ : أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي ؟ فَإِنْ قَضَى أَخَذَ وَإِلَّا زَادَهُ فِي حَقِّهِ وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الْأَجَلِ

Bentuk riba jahiliyah, si A berutang kepada si B sampai batas waktu tertentu. Ketika tiba jatuh tempo, si B memberi tawaran kepada si A, “Lunasi utangmu sekarang atau ditambah bunga?” Jika si A melunasi ketika itu, maka tidak ada kelebihan apapun. Dan jika tidak melunasi ketika itu, si A terbebani tambahan yang harus dia bayarkan dan batas pelunasan ditunda. (HR. Malik dalam al-Muwatha’, no. 1371).

Sebagaimana tambahan ini berlaku pada kuantitas yang dibayarkan, tambahan ini juga berlaku pada kualitas yang dibayarkan. Misalnya, dulu utang sapi usia setahun. Ketika jatuh tempo, si A tidak bisa meluasi. Akhirnya waktu pelunasan ditunda, namun harus dibayarkan berupa sapi yang usianya lebih tua.

Disebutkan dalam riwayat lain, keterangan Zaid bin Aslam,

Riba jahiliyah itu peenambahan dalam usia. Si A berutang kepada si B seekor onta. Ketika datang jatuh tempo, si B menagih, “Lunasi sekarang atau tambah usia?”

Jika si A memiliki hewan yang bisa digunakan untuk melunasi, dia bisa bayarkan sesuai usia hewan yang  diutang. Jika tidak ada, maka waktu pelunasan ditunda dan usia hewan untuk pelunasan ditambah. Begitu seterusnya, usianya selalu bertambah. (at-Thabrani dan tafsirnya, 7/205)

Keterangan lain dari Qatadah, seperti yang disebutkan al-Hafidz Ibnu Hajar, beliau menjelaskan riba jahiliyah dalam jual beli kredit, yang harganya bertambah ketika tidak bisa dilunasi ketika jatuh tempo,

إِنَّ رِبَا أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَبِيع الرَّجُل الْبَيْع إِلَى أَجَل مُسَمَّى , فَإِذَا حَلَّ الْأَجَل وَلَمْ يَكُنْ عِنْد صَاحِبه قَضَاءٌ ، زَادَ وَأَخَّرَ عَنْهُ

Bentuk riba jahiliyah, si A menjual barang kepada si B secara kredit sampai batas tertentu. Ketika tiba jatuh tempo, sementara si B tidak bisa melunasi, harga barang dinaikkan dan waktu pelunasan ditunda. (Fathul Bari, 4/313)

Syaikhul Islam mengomentari bentuk riba jahiliyah di atas,

وَهَذَا هُوَ الرِّبَا الَّذِي لَا يُشَكُّ فِيهِ بِاتِّفَاقِ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَفِيهِ نَزَلَ الْقُرْآنُ ، وَالظُّلْمُ وَالضَّرَرُ فِيهِ ظَاهِرٌ

Inilah riba yang tidak diragukan lagi keharamannya, dengan sepakat ulama salaf. Inilah riba yang dibahas dalam al-Quran. Nampak sangat jelas unsur kedzaliman dan bahayanya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/349).

Ada satu kesimpulan yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa utang di masa jahiliyah, tidak otomatis langsung ada ribanya. Riba baru berlaku ketika pada saat jatuh tempo pertama, utang itu tidak bisa dilunasi. Sehingga riba baru dikenakan untuk jatuh tempo kedua.

Kita bisa bandingkan dengan praktek riba di zaman kita.

Siapapun yang berutang di bank ribawi, apapun labelnya, perhitungan riba telah ditetapkan dari sejak awal utang. Sehingga sekalipun utang dibayarkan di batas jatuh tempo pertama, tepat waktu, debitor tetap dikenakan riba.

Kita bisa menilai, manakah yang lebih parah keadaannya?

Masalah pelipatan angka, itu hanya masalah waktu penundaan. Karena riba kontemporer juga bisa berlipat berkali-kali, jika ditunda dalam waktu lama.

Hanya Riba Jahiliyah yang Dilarang?

Sebagian orang beranggapan bahwa transaksi yang dikembangkan bank zaman ini, bukan termasuk transaksi riba jahiliyah. Karena semua terukur dan adanya bunga sebagai kompensasi dari nila waktu uang (time value of money). Sehingga bukan riba yang dilarang dalam al-Quran.

Bahkan mereka memotivasi setiap pengusaha untuk utang.

Bisnis tanpa utang, gak eksis boss..

Biarkan bank yang mengaudit usaha anda. Untuk membuktikan kejujuran anda.

Semakin banyak bank yang merestui pinjaman dana untuk anda, berarti anda semakin terpercaya.

Allahu akbar, jelas motivasi yang sangat membahayakan. Bisa pelaku riba di bank merasa yakin tidak ada yang bermasalah dari gajinya.

Kita bisa jawab dari beberapa sisi,

Pertama, bahwa riba bank kontemporer, tidak berbeda dengan riba jahiliyah. Bahkan riba bank lebih parah dari pada riba jahiliyah.

Kedua, riba jahiliyah tidak mesti berlipat ganda. Karena jika jatuh temponya pendek, tidak ada pelipatan utang.

Ketiga, dalam islam, riba sekecil apapun dilarang. Meskipun itu terukur. Karena riba jahiliyah pun terukur. Semua kembali kepada kesepakatan.

Dari Handzalah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad 21957, ad-Daruqutni 2880 dan dishihkan al-Albani)

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Ibn Majah 2360, al-Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk membela riba bank, setelah memahami semua riba benilai dosa besar.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

sumber: PengusahaMuslim.com

Ini Rahasia di Balik Shalat

Oleh: Prof Nasarudin Umar, Guru Besar UIN Syarifhidayatullah, Jakarta

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kata shalat oleh kalangan sufi dihubungkan dengan derivasi besar (al-isytiqaq al-kabir), yakni dari huruf wa-sha-la yang kemudian membentuk beberapa kata, seperti washala (sampai, menyambung), washshala (menyampaikan), washil (tetap berfungsi), ittashala (berkelanjutan), shilah (perhubungan), washlun (tanda terima, resi), wushl (pertalian, per hubungan), washilah (keakraban, perkumpulan), wushul (suka atau banyak memberi), washil (menyambung), aushal (persediaan), maushil (tempat pengem bangan), muwashil (perhubungan).

Derivasi ini bisa mengungkap hakikat dan rahasia shalat. Seorang yang shalat berarti melakukan hubungan langsung (direct connecting) dengan Allah SWT.  Dengan demikian, tercipta rasa aman, tenang, damai, indah, sejuk, dan lapang di dada, seperti yang dilukiskan Allah dalam ayat, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Rad [13]:29).

Karena itulah, Allah SWT menyerukan, “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha [20]:14).  Mengingat Allah SWT untuk menenangkan jiwa harus dilakukan secara konstan dan dengan waktu yang teratur, sebagaimana di tegaskan dalam ayat lain, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”  (QS an-Nisa [4]:103).

Melaksanakan shalat secara rutin sebagaimana waktu-waktu yang ditentukan Allah SWT diharapkan dapat melahirkan hamba-hamba yang istimewa, yakni hamba yang selalu berada di “dunia atas” (al-`alam al-`ulya), bukankah shalat itu adalah mikraj bagi orang yang beriman (al-shalatu mi’raj al- mu’minin), sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Orang-orang yang berada di “dunia atas” ialah “mereka yang selalu menggunakan mata Tuhan untuk melihat dan telinga Tuhan untuk mendengar”, seperti dinyatakan dalam hadis. Orang- orang di “dunia atas” tidak lagi lebih tertarik terhadap urusan dan keperluan duniawi yang ada di “dunia bawah” (al-`alam al-sufl a).

Bukan berarti mereka tidak suka itu, tetapi mereka sudah melihat sesuatu dalam etalase Tuhan yang jauh lebih menarik daripada keseluruhan apa yang ada di dunia bawah. Bagaimana tidak tenang jika Tuhan sendiri meyakinkan mereka:  “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat [41]:30).

Mungkin yang perlu ditekankan di sini ialah shalat yang bagaimana yang bisa mengorbitkan seseorang menuju “dunia atas”? Rasulullah SAW sendiri pernah mengingatkan kepada kita, “Sesungguhnya ada dua orang dari umatku mendirikan shalat. Rukuk dan sujudnya sama. Namun, perbedaan kualitas shalat antara keduanya bagaikan bumi dan langit.” Hadis ini mengisyaratkan kita untuk senantiasa memperhatikan kualitas shalat.

Allah SWT juga mengingatkan kita untuk memperbaiki kualitas shalat: “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat Wus thaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.”  (QS al-Baqarah [2]:238). Ciri-ciri shalat yang benar ialah shalat yang: “…mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.”

(QS al-Ankabut [29]:45), “…keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda me- reka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS al-Fath [48]:29).

Sebaliknya, shalat yang dilakukan secara sembrono dan ti dak memiliki dampak sosial dilukiskan dalam Alquran, “Maka kecelaka anlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)  orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS al-Maun [107]:4-7).

Dalam hadis juga digambarkan Nabi bagi orang yang shalat atau sujudnya bagaikan ayam yang mematok makanan. Maka, shalatnya akan dilipat lalu ditamparkan ke muka yang bersangkutan. Untuk meraih shalat yang memungkinkan seseorang mikraj ke “dunia atas”, seseorang betul-betul harus mengindahkan petunjuk dan directions Tuhan untuk sesuatu yang berhubungan dengan shalat.

Antara lain melakukan penyempurnaan thaharah, seperti mandi junub bagi orang yang janabah, berwudhu atau bertayamum dengan baik, menggunakan penutup aurat yang bersih dan muru’ah, melaksanakan atau menjawab suara azan, menghadap ke kiblat, dan melakukan amaliah shalat secara tumaninah.

Shalat yang khusyuk menurut kalangan sufi dimulai saat seseorang mengambil air wudhu. Di antara mereka ada yang mengatakan, orang yang tidak khusyuk saat mengambil air wudhu sulit untuk khusyuk di dalam shalat. Mereka menyarankan agar jangan ada kata- kata duniawi seusai mengambil air wudhu sampai selesai shalat.

Jika seseorang telah melakukan dosa, meskipun secara fi kih wudhu belum batal, disarankan agar mem- perbaharui wudhunya. Energi spiritual pada wudhu diperlukan untuk melahirkan shalat khusyuk. Allahu a’lam.

Mendisiplinkan Anak Dengan Lima Pendekatan DKS

“Sebagian tingkah laku didorong oleh perasaan atau emosi dari pada hasil pemikiran bahwa anak-anak harus dihukum karena kesalahan yang mereka perbuat,”

 

Hidayatullah.com– Banyak pendekatan yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik putra-putrinya, salah satu di antaranya yaitu mendidik anak dengan menggunakan pendekatan Disiplin dengan Kasih Sayang (DKS).

Menurut Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), Elly Risman, Psi pendekatan DKS memiliki lima keunikan di antaranya dengan cara memikirkan perasaan anak, mengajukan pertanyaan untuk merubah tingkah laku negatif, mengajarkan ketrampilan untuk tidak mengulangi tingkah laku negatif.

“Serta menggunakan kalimat-kalimat singkat (dengan aturan 2 kalimat,red) dan fokus pada hal-hal yang positif,” ujar Elly di hadapan sekitar 250 peserta seminar parenting yang bertema “Disiplin dengan Kasih Sayang” di Resto Wulan Sari Bekasi, Kamis (10/09/2015).

Elly memaparkan manfaat menggunakan 5 langkah pendekatan itu, yaitu memahami cara berfikir anak untuk bisa mendisiplinkannya, beralih dari model hukuman yang menyakiti bisa anak ke model pendisiplinan yang efektif dan tidak merusak harga diri maupun kepercayaan diri anak, serta memahami mengapa ‘Nakal Kronis’ dan upaya menghindarinya.

Lebih lanjut Elly mengungkap anggapan yang keliru tentang tingkah laku anak, seperti dikatakan bahwa segala tingkah laku itu berkaitan dengan pemikiran maupun kita percaya semua orang memikirkan apa yang mereka lakukan (sebelum, selama dan sesudah mereka melakukan sesuatu,red).

“Sebagian tingkah laku itu didorong oleh perasaan atau emosi dari hasil pemikiran bahwa anak-anak harus dihukum karena kesalahan yang mereka perbuat,” imbuh Elly.

Elly juga menjelaskan tiga hal yang harus diperhatikan orangtua supaya disiplin bisa merubah tingkah laku anak yaitu, pertama, anak menyadari perasaan yang mendorong mereka melanggar peraturan.

Kedua, anak harus mampu memikirkan apa yang mereka lakukan dan yang mungkin terjadi akibat perbuatannya, serta apa akibatnya untuk orang lain. Ketiga, anak harus mampu memperhitungkan bagaimana caranya tidak semata-mata berbuat karena dorongan perasaan.

“Jadi, untuk mendisiplinkan anak kita bisa menggunkan 5 pendekatan DKS ini,” pungkasnya.*

Rep: Ibnu Sumari

Editor: Cholis Akbar

Yang Dibenci karena Bicaranya

Ada orang yang Allah Ta’ala benci disebabkan perkataan dan sikapnya dalam bertutur. Ada pula orang-orang yang Rasulullah shallaLlahu alaihi wa sallam membencinya, kecuali jika ia mau memperbaiki diri dan berubah. Inilah yang perlu kita kenali seraya berusaha melihat kepada diri sendiri, adakah kita termasuk di dalamnya? Bahkan sangat mungkin kita memerlukan orang lain untuk menunjukkan kekeliruan kita. Mungkin kita tidak merasa, padahal sudah termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak disukai. Na’udzubillahi min dzaalik.

Al-Badzii (الْبَذِيءَ). Siapakah dia? Orang yang berbicara dengan akhlak yang buruk dan dengan perkataan yang kotor. Ini dibenci, meski untuk berbicara tentang kebenaran. Sesungguhnya nasehat itu hendaknya disampaikan dengan berpegang teguh pada kebenaran, kesabaran dan penuh kasih sayang.

Tidak pantas berbicara buruk, kecuali bagi orang yang dizalimi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ

“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat di dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat, dari akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang berakhlak buruk, lagi al-badzii’.” (HR. Tirmidzi).

Inilah orang yang dibenci oleh Allah Ta’ala karena bicaranya. Boleh jadi ringan melakukannya, tapi berat pertanggungjawabannya di akhirat. Di luar itu, ada tiga golongan orang yang dibenci oleh Rasulullah shallaLlahu alaihi wa sallam sehingga paling jauh dari beliau, di hari ketika kita sangat memerlukan syafa’atnya. Siapa saja mereka? Mari kita periksa.

Al-Mutafaihiqun (الْمُتَفَيْهِقُونَ). Orang yang angkuh sikapnya, jalannya dibuat-buat untuk bersombong meninggikan diri di antara orang-orang lain dan bukan caranya berjalan saat ia sedang sendiri. Boleh jadi ia adalah orang yang Allah Ta’ala karuniai harta berlimpah atau ilmu yang luas. Tetapi semua itu tetap tidak layak menjadikannya masuk ke dalam golongan al-mutafaihiqun. Ia duduk atau menunjukkan gesture seolah orang yang paling paham paling faqih.

Al-Mutasyaddiqun (الْمُتَشَدِّقُونَ). Siapa pula mereka? Orang-orang yang suka memfasih-fasihkan diri, meremehkan orang lain dengan bertutur kata menggunakan ungkapan yang mengesankan tingginya ilmu dan rumitnya pembicaraan. Padahal ia mampu menyederhanakannya. Mengajak orang awam berbicara menggunakan bahasa asing, padahal kita tahu mereka tidak memahami, termasuk dari akhlak buruk al-mutasyaddiqun. Begitu pula berbicara dengan istilah teknis ilmiah, bukan untuk memudahkannya menjelaskan secara sederhana, bukan pula karena kesulitan menjelaskan dengan cara yang lebih mudah, melainkan untuk meninggikan diri meremehkan orang.

Ats-tsartsarun (الثَّرْثَارُونَ). Siapa ini? Orang yang banyak bicara, suka mendominasi pembicaraan dan menyerobot pembicaraan orang lain, seolah-olah tidak boleh ada yang berbicara selain dirinya. Ini merupakan bentuk kesombongan, meskipun orang tersebut mungkin tidak menganggapnya sebagai kesombongan.

Inilah tiga orang yang dibenci oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam: al-mutasyaddiqun, al-mutafaihiqun dan ats-tsartsarun. Adakah kita termasuk bagiannya? Semoga Allah Ta’ala selamatkan kita dari ketiga-tiganya. Semoga Allah Ta’ala jadikan kita termasuk orang yang dicintai oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun dan al-mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulallah, kami sudah tahu arti ats-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, lalu apa arti al-mutafaihiqun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi).

Adakah salah satu dari ketiganya dalam diri kita? Ataukah justru semuanya merupakan keseharian kita?

Mohammad Fauzil Adhim @kupinang

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com

Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya

Bagi yang dituduh, itu tidak mendatangkan madharat akhirat jika bersabar. Orang lain beramal, pahalanya bagi dia jika dia tetap tidak ridha terhadap orang yang memfitnah dan menyebarkannya

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

SUNGGUH, sangat beruntung Ath-Thabari yang mendapatkan nikmat berupa tuduhan dusta sampai-sampai jenazahnya pun tak boleh dikuburkan di siang hari. Penuduhnya bukan sembarangan. Dua orang besar anak dari dua tokoh sangat besar. Ia dilarang mengajar. Tapi itu justru menjadi masa yang syahdu untuk menulis kitab-kitab yang kelak menjadi rujukan utama ahlus sunnah hingga masa ini.

Tetapi itu merupakan kerugian yang besar bagi yang menuduh. Betapa ringannya menuduh, betapa beratnya akibat yang harus ditanggung. Adakah yang semacam ini akan terulang kelak? Adakah kita termasuk bagiannya?

Selain Ath-Thabari, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad yang menjadi tokoh rujukan ahlussunnah juga pernah digebuki dan disiksa dengan tuduhan yang apabila seseorang terkena tuduhan itu, niscaya yang terbayang di benak orang adalah biang kesesatan nyata yang sangat besar.

Bagi yang dituduh, itu tidak mendatangkan madharat akhirat jika bersabar. Orang lain beramal, pahalanya bagi dia jika dia tetap tidak ridha terhadap orang yang memfitnah dan menyebarkannya. Makin besar andilnya dalam membuat berita bohong atau menyebarkannya, makin besar azab Allah Ta’ala baginya.

Ingatlah sejenak firman Allah Ta’ala:

ِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur, 24: 11).

‘Aisyah itu orang yang terjaga. Serupa Maryam. Belum sempat mengalami puber, sudah menikah dengan lelaki terbaik: Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Tak punya social media yang memudahkan ngobrol dengan orang lain di dunia maya. Tak pernah juga mengalami cinta monyet. Tetapi wanita semulia itu, seterjaga itu, tetap saja terkena fitnah dan tudingan. Siapa yang memfitnah? Mari kita ingat kembali lembaran sejarah. Siapa yang mudah percaya pada isu yang tidak jelas? Orang beriman. Salah satunya bahkan penyairnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di medan perang. Apa sebabnya mudah percaya? Bersebab perkataan “aku menyaksikan sendiri” atau “aku mendengar sendiri” tanpa mendatangkan bukti.

Apakah “mendengar sendiri” tidak cukup kuat sebagai alasan untuk mempercayai? Betapa banyak orang yang mendengar dan menyaksikan sendiri pun tidak dapat menangkap informasi dan fakta secara akurat. Bahkan dalam persoalan kecil pun, kita kadang mengalami salah dengar. Meminta sapu, ternyata diambilkan shampoo. Di berbagai majelis, saya juga kerap mengalami kejadian tragis. Sudah menjelaskan dengan penuh semangat tentang apa yang menurut saya tepat dan benar, ternyata ada di antara mustami’in (audiens) yang mempertanyakan mengapa saya tidak setuju. Padahal saya sudah panjang lebar menjelaskan alasan mengapa saya setuju.

Ini hanyalah sekedar contoh.

Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil saat mendengar isu tentang buruknya atau sesatnya seseorang? Kaidah dasarnya, terhadap mukminin kita husnuzhan. Sementara terhadap orang fasik, kita curiga dulu sampai mampu melakukan tabayyun dengan benar.

Mari kita renungi sejenak firman Allah Ta’ala:

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nuur, 24: 12).

Bagaimana kalau kita cuma share gosip tentang rusak dan sesatnya seseorang? Jika tidak benar, kita terhitung sebagai pendusta dan tukang fitnah. وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (Dan yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar).

Ini merupakan kerugian yang sangat besar, musibah yang sangat memilukan. Lalu, apa yang kita perlukan saat mendengar kabar kabur yang belum tentu benar, meskipun tampaknya sangat meyakinkan? Mari kita pikirkan firman Allah Ta’ala:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nuur, 24: 15).

Penyebab orang mudah berpartisipasi menyebarluaskan tuduhan, meskipun tidak merasa menyebarluaskan (cuma share kok…) adalah karena menganggapnya sebagai perkara yang ringan. Padahal di sisi Allah Ta’ala itu merupakan persoalan yang sangat besar.*

Mohammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting. Twitter, @kupinang

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com

Data Terkini Korban Musibah Crane, Daker Makkah Pastikan 10 orang Jemaah Haji Indonesia Meninggal Dunia

Pemerintah Indonesia melalui Kepala Daerah Kerja Makkah Arsyad Hidayat, menyampaikan update terbaru terkait jumlah korban jemaah Indonesia dalam insiden terjungkalnya crane di Masjidil Haram. Jumlah jemaah Indonesia yang wafat bertambah 3 orang lagi. KlikData Terkini Korban Musibah Crane

“Menambah jumlah korban wafat dari sebelumnya 7 orang menjadi 10 orang sebagaimana identitasnya telah kami sebutkan,” tutur Arsyad dalam jumpa pers di kantornya, Senin (14/09).

Berikut identitas 3 jemaah wafat yang baru bisa diidentifikasi:

1. Sriyana Marjosihono No Paspor B1188078 asal SOC 27
2. Masadi Saiman Tarimin No Paspor V222619 asal SUB 38
3. Siti Rukayah Abdu Samad No Paspor A2714350 kloter SUB 39

Arsyad mengatakan ketiga jemaah yang wafat ini adalah temuan baru, bukan dari daftar jemaah yang terluka. Arsyad juga mengaku masih meminta ketua kolter secara proaktif melapor ke Daker bila ada jemaahnya yang belum kembali ke penginapan sejak insiden crane itu terjadi.

“Yang dilakukan oleh kami ada tim dari perlindungan jemaah dan tim kesehatan selalu melakukan update kunjungan, monitoring ke RS Saudi dan tempat penyimpanan jenazah,” kata Arsyad menyinggung cara timnya mencari korban-korban dari jemaah haji Indonesia. (gagah/mch/ar)

 

sumber: Portal Kemenag

Paska-Crane Jatuh Di Masjidil Haram, Penipuan Gentayangan, Keluarga Diminta Waspada

Musibah jatuhnya crane di Masjidil Haram, Arab Saudi dapat dimanfaatkan pihak tak bertanggungjawab, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gunungkidul mengingatkan keluarga jemaah haji mewaspadai penipuan bermodus pemberian informasi.

Kepala Kantor Kemnag Gunungkidul Nur Abadi mengatakan, dari laporan hasil akhir 244 jamaah calon haji yang berangkat dari Gunungkidul, dipastikan selamat dari musibah jatuhnya crane di Masjidil Haram, Makkah.

“Kami memastikan seluruh jemaah asal Gunungkidul selamat dan terhindar dari musibah,” kata Nur Abadi, Minggu (13/9/2015).

Menurut dia, kepastian ini didapatkan setelah dirinya mendapatkan konfirmasi dari ketua rombongan jamaah. Masyarakat tidak perlu khawatir terkait keselamatan jamaah. Rombongan asal Gunungkidul tidak berada di lokasi kejadian sehingga terhindar dari musibah.

Namun demikian, diakuinya musibah itu mengakibatkan masyarakat ingin mencari tahu kondisi jemaah yang berada di Tanah Suci untuk mengetahui perkembangan terkini.

“Kabar mengenai perkembangan di Makkah sudah diberitahukan kepada pihak keluarga,” katanya.

Nur Abadi mengatakan, masyarakat dan keluarga diharapkan berhati-hati agar tidak mempercayai jika ada orang yang meminta uang untuk ditransfer ke sebuah rekening untuk pengobatan jemaah.

“Harus berhati-hati dan kemungkinan tetap ada,” katanya.

Untuk itu, dia meminta kepada masyarakat untuk tidak percaya terhadap informasi yang berkaitan dengan jemaah haji dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Kalau ada info lebih baik keluarga mengecek kebenarannya di kantor Kemnag.

“Kami mengimbau keluarga untuk tetap waspada dan tenang,” katanya.

Sementara itu, Wahyu Ade Permana yang ibunya berangkat ke Tanah Suci mengaku sempat khawatir dengan informasi musibah jatuhnya crane di Makkah.

“Saya langsung menghubungi ibu dan katanya semuanya selamat,” katanya.

 

 

sumber: Bisnis.com