Demiz: Miras, Ibu dari Segala Kejahatan

Rencana pemerintah untuk melonggarkan aturan Miras, memperoleh tanggapan negatif dari Wakil Gubernur Jawa Barat yang saat ini menjabat sebagai Plh Gubernur Jabar, Deddy Mizwar. Deddy menilai melonggarkan miras bukan kebijakan yang menguntungkan.

“Sama sekali malah menurut saya keliru besar. Barang memabukkan, ibu dari segala kejahatan,” ujar Deddy yang akrab disapa Demiz kepada wartawan, Selasa (29/9).

Demiz menilai, seharusnya tak ada relaksasi untuk barang memabukkan. Dihukum saja, tetap ada tak menjamin akan hilang, apalagi dibuka. “Itu tadi, ibu segala maksiat, sesuatu yang segala memabukkan,” katanya.

Saat ditanya apakah Pemprov Jabar akan memprotes kebijakan tersebut, Demiz mengatakan,secara resmi belum diajukan. “Baru sekarang saja protes (secara lisan, red),” katanya.

Menurut Demiz, Miras itu merusak langsung masyarakat dan menghilangkan kesadaran serta memabukkan. Kalau perlu, seharusnya aturan diperketat jangan malah dilonggarkan. “Enggak boleh ada di outlet kecil. Kalau perlu ga ada sama sekali,” katanya.

Dikatakan Demiz, dilarang pun orang pada nyari. Apalagi tak ada larangan, akan makin gila. “Jangan coba-coba sama barang memabukkan,” kata Demiz mengingatkan.

Haji Wada’, Perpisahan Rasulullah dengan Ummatnya

Segala sesuatu akan ada akhirnya. Setiap kisah, ada penutupnya. Manusia datang, kemudian mereka pergi. Awalnya mereka mengucapkan salam pertemuan, lalu kemudian mereka berlalu dengan perpisahan. Hal demikian terjadi pada setiap orang, tidak terkecuali nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau datang dengan risalah dari sisi Rabnya, setelah sempurna apa yang diperintahkan kepada beliau. Saat itulah beliau kembali menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu momen besar yang menjadi perpisahan beliau dengan umatnya adalah peristiwa haji wada’, haji perpisahan.

Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlihatkan sebagian buah dari dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum beliau berpulang ke Rafiqul A’la, beliau diperlihatkan hampir semua wilayah di Jazirah Arab telah menerima cahaya Islam. Orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah. Agama Islam telah kokoh. Bendera-bendera tauhid telah berkibar di berbagai tempat. Dan Mekah telah kembali kepada hakikatnya, dimana Allah ditauhidkan dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun.

Tanda Wafat Nabi Sebagai Peringan Musibah

Pada akhir tahun 10 H, tampaklah beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa ajal Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Hal ini merupakan salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang Allah kepada kaum muslimin. Dengan tanda-tanda tersebut mereka bisa mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima suatu musibah berat yang akan menimpa mereka. Karena tidak ada musibah yang lebih berat bagi para sahabat melebihi musibah ditinggal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara tanda-tanda tersebut adalah ditaklukkannya Kota Mekah, masuk Islamnya tokoh-tokoh Bani Tsaqif di Thaif, kedatangan delegasi dan utusan negara-negara non-Islam menuju Madinah untuk memeluk Islam, dll. Ini beberapa tanda yang menunjukkan sudah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat” (Tafsir an-Nasa-i).

Sebelumnya, pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selam 20 hari, padahal di tahun-tahun sebelumnya beliau hanya melakukannya 10 hari saja. Saat i’tikaf adalah saat dimana seseorang menyibukkan diri beribadah kepada Allah dan mengurangi interaksi dengan orang di sekitarnya. Ini merupakan pembelajaran dan persiapan bagi para sahabat. Beliau mengurangi dan sedikit berinteraksi dengan mereka, sebelum nanti beliau akan meninggalkan mereka selamanya.

Demikian juga di bulan Ramadhan di tahun tersebut, Jibril yang biasanya menyimak bacaan Alquran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam satu kali khatam. Namun pada tahun itu Jibril menyimak dengan dua kali khatam.

Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Alquran yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘alaihi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman. Beliau bersabda,

يَا مُعَاذُ، إِنَّكَ عَسَى أَنْ لا تَلْقَانِي بَعْدَ عَامِي هَذَا، أَوْ لَعَلَّكَ أَنْ تَمُرَّ بِمَسْجِدِي هَذَا أَوْ قَبْرِي

“Wahai Muadz sesungguhnya engkau mungkin tidak bertemu aku lagi setelah tahun ini, dan mungkin saja engkau akan melewati masjidku ini dan kuburanku ini.” Maka Mu’adz pun menangis takut berpisah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Ahmad).

Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 10 H, mulailah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan diri untuk menunaikan haji yang pertama sekaligus yang terakhir dalam kehidupan beliau. Yang kemudian dicatat sejarah dengan istilah haji wada’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kaum muslimin dari berebagai kabilah untuk menunaikan ibadah haji bersamanya. Diriwayatkan, jamaah haji pada tahun itu berjumlah lebih dari 100.000 orang bahkan lebih.

Haji Wada’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dari Madinah menuju Mekah saat bulan Dzul Qa’dah tersisa empat hari lagi. Beliau berangkat setelah menunaikan shalat zuhur dan sampai di Dzil Hulaifah sebelum ashar. Di tempat itu, beliau menunaikan shalat ashar dengan qashar, kemudian mengenakan pakaian ihram.

Setelah menempuh delapan hari perjalanan, sampailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tanah kelahirannya, tanah suci Mekah al-Mukaramah. Beliau berthawaf di Ka’bah, setelah itu sa’i antara Shafa dan Marwa.

Pada tanggal 8 Dzul Hijjah 10 H, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Mina. Beliau shalat zuhur, ashar, maghrib, dan isya di sana. Kemudian bermalam di Mina dan menunaikan shalat subuh juga di tempat itu.

Setelah matahari terbit, beliau berangkat menuju Arafah. Setelah matahari mulai bergeser, condong ke Barat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai memberikan khotbah. Dan tempat dimana beliau berkhothbah, dibangun sebuah masjid pada pertengahan abad ke-2 H oleh penguasa Abbasiyah dan diberi nama masjid Namirah. Di akhir khotbahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Kalian akan ditanya tentangku, apakah yang akan kalian katakan? Jawab parahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau talah menyampaikan (risalah), telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati. Maka ia berkata dengan mengangkat jari telunjuk kearah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x” (HR. Muslim).

 

Setelah beliau berkhotbah, Allah Ta’ala menurunkan ayat:

اليَومَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).

Pada saat turun ayat tersebut, Umar bin Khattab pun menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Umar menjawab, “Sesungguhnya tidak ada setelah kesempurnaan kecuali kekurangan.”

Dari ayat tersebut, Umar merasakan bahwa ajal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Apabila syariat telah sempurna, amak wahyu pun akan terputus. Jika wahyu telah terputus, maka tiba saatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke haribaan Rabnya Jalla wa ‘Ala. Dan itulah kekurangan yang dimaksud Umar, yakni kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini juga kita mengetahui keagungan Kota Mekah; di sanalah syariat yang suci ini dimulai dan di sana pula syariat disempurnakan.

Dalam kesempatan lainnya, -di Mina- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berkhotbah:

“Sesungguhnya setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).

Kemudian beliau bersabda, “Bulan apa ini?” Kami (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama bulan ini.

Lalu beliau kembali bersabda, “Bukankah ini bulan Dzul Hijjah?” Para sahabat menjawab, “Betul.”

Beliau melanjutkan, “Negeri apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama tempat ini.

Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini negeri al-haram?” Kami menjawab, “Iya, ini tanah haram.”

Beliau melanjutkan, “Lalu, hari apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama hari ini.

Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini hari nahr (menyembelih kurban)?” Kami menjawab, “Iya, ini hari nahr.”

Kemudian beliau bersabda,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، أَلا هَلْ بَلَّغْتَ؟

“Sesungguhnya darah dan harta kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini sampai hari dimana kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Bukankah aku telah menyampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Iya, Anda telah menyampaikan.”

فَلْيُبِلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ، فَلا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Maka, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur sepeninggalanku, sebagian kalian saling membunuh sebagaian lainnya.”

Setelah khotbah ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukur rambutnya kemudian menunggangi kendaraannya berangkat menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah dan shalat zuhur di Mekah. Di sana beliau meminum air zamzam. Setelah itu, kembali lagi ke Mina dan bermalam di sana.

Pada tanggal 11 Dzul Hijjah, saat matahari mulai tergelincir ke barat, beliau menuju jamarat untuk melempar jumrah. Dan di sana beliau kembali berkhotbah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Nadhrah, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاُس، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ لأَحْمَرَ عَلىَ أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ajam (non-Arab), tidak pula orang ajam atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketakwaan.”

Kemudian beliau bertanya, “Bukankah aku telah menyampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Rasulullah telah menyampaikan.”

Setelah itu beliau mengingatkan kembali tentang haramnya mengganggu harta, menumpahkan darah, dan menciderai kehormatan. Lalu memerintahkan para sahabat untuk menyampaikannya kepada yang tidak hadir.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mina di hari tasyrik yang ke-3. Setelah itu menuju ke Mekah untuk melaksanakan thawaf wada’. Kemudian beliau langsung berangkat menuju Madinah. Dan berakhirlah prosesi haji yang beliau lakukan.

Penutup

Inilah momen terbesar berkumpulnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan umatnya untuk terakhir kalinya. Beliau mengulang-ulang ucapan “bukankah aku telah menyampaikan?” persaksian dari umatnya sendiri bahwa beliau telah menyampaikan risalah yang telah Allah amanahkan kepada beliau. Sekaligus sebagai pertanda sudah dekatnya ajal beliau.

Kurang lebih tiga bulan kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia fana ini menuju Rabnya. Beliau berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah, menasihati umat, dan telah berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliaushallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Jangan Paksakan Lempar Jumrah Waktu Afdhaliyah

Ketua Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Daarul Ulum Bogor, KH Anwar Hidayat mengungkapkan terjadinya insiden Mina yang menewaskan cukup banyak jamaah haji, terjadi di pagi hari waktu Arab Saudi. Waktu tersebut, kata dia, biasanya disebut dengan waktu afdhal atauafdhaliyah (utama).

Alhamdulillah, saya dan jamaah rombongan melempar jumrah mencari waktu yang sah-sah saja, alias waktu yang jawaz (boleh) dan tidak memaksakan untuk mencari waktu yang afdhaliyah,” ungkap kiai Anwar kepada Republika melalui jaringan telpon internasional, Kamis (24/9).

Menurut Buya Anwar, begitu ia akrab disapa, jadual melempar jumrah bagi jamaah haji Indonesia sehabis shalat Maghrib. ”Jadi, tidak ada jamaah haji Indonesia yang melempar jumrah pagi hari, kecuali yang memaksakan diri mengejar afdhaliyah,” ujarnya menjelaskan.

Lebih lanjut Buya Anwar mengungkapkan, sehabis melaksanakan ibadah wukuf di Padang Arafah, Rabu (23/9), bersama rombongan, ia berangkat ke Muzdalifah untuk mengambil batu dan terus melanjutkan perjalanan menuju Mina untuk melempar jumrah.

Alhamdulillah, saya dan rombongan melempar jumrah pukul 03.00 waktu Saudi, jalan kaki dari Muzdalifah. Sedangkan, sebagian jamaah yang sepuh melempar jumrah pukul 05.00 waktu Saudi. Alhamdulillahaman,” ungkap Buya Anwar penuh syukur.

Sehabis melempar jumrah Aqobah, sambung Buya Anwar, ia bersama rombongan, menuju hotel di Makkah. ”Jarak dari hotel menuju jumrah hanya satu kilometer, sedangkan jarak dari tenda menuju jumrah 3,7 kilomter. Jadi, lebih dekat dari hotel,” ujar Buya Anwar menerangkan.

Ketika peristiwa Mina yang menewaskan ratusan jamaah haji terjadi tadi pagi, menurut Buya, ia bersama rombongan sedang berada di hotel di Makkah.

”Jadi, Buya nggak tahu kejadian tersebut. Ntar, menjelang Maghrib, Buya dan rombongan baru menuju Mina dan ifadhah, mohon doanya,” tutur Buya Anwar menambahkan.

Asumsi yang Salah Saat lempar Jumrah

Ketua Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin mencermati bahwa  jamaah haji memiliki kecenderungan melempar jumrah harus pada waktu yang afdol. Kalau tidak pada waktu yang dinilai afdol mereka merasa tak puas.

“Jamaah haji dari negara manapun selalu mengejar waktu afdol untuk melempar jumrah. Yakni pada pukul 12.00 siang, mereka memburu itu,” katanya,  Sabtu (26/9).

Selain itu, terang dia, kalau jamaah melempar jumrah tapi tidak kena tembok yang dilempar mereka juga merasa tak puas. Padahal walaupun tak kena tembok, lemparan mereka sudah sah.

Makanya, ujar Ade, para jamaah haji harus memahami kondisi lapangan. “Untuk apa mengejar waktu afdol kalau akhirnya hanya terinjak-injak disana.”

Lebih baik, kata dia, mencari waktu yang aman untuk melempar jumrah. Hindari waktu yang padat dan taati jadwal yang dibuat Pemerintah Arab Saudi untuk melempar jumrah.

 

 

sumber: Republika Online

Lempar Jumrah tidak Harus Dilakukan Siang Hari

Ketua Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin mengatakan, jamaah haji harus diterangkan kalau melempar jumrah itu sebenarnya ibadah yang bersifat simbolis.

“Artinya mau melempar jumrah pada jam  07.00 pagi,  10.00 pagi, maupun 02.00 dini hari tak masalah. Tidak harus pada jam 12.00 siang. Hal terpenting adalah maknanya, bukan waktu afdolnya,”  katanya, Sabtu (26/9).

Makna melempar jumrah itu, terang Ade, membuang penyakit hewani yang berasal dari setan di  dalam tubuh. Ini yang harus dipahami maknanya, bukan hanya mengikuti euforia melempar jumrah saja.

Makanya, lanjutnya, pemahaman manasik haji setiap jamaah yang akan berangkat ke Tanah Suci harus ditingkatkan. Supaya mereka lebih memahami makna di balik ibadah-ibadah tersebut. Bukan sekadar mengejar waktu-waktu yang utama untuk lempar jumrah.

 

sumber: Republika Online

Filosofi Melontar Jumrah

Oleh: Mahmud Yunus

Seusai wukuf di Arafah tepatnya setelah terbenam matahari pada 9 Dzulhijah, jamaah haji mulai bergerak menuju Muzdalifah untuk bermalam (mabit). Mabit di Muzdalifah, walaupun hanya sebentar, diharapkan dapat memberi kesempatan kepada jamaah haji untuk memulihkan tenaga.

Selama mabit di Muzdalifah, jamaah haji tidak dituntut melakukan aktivitas tertentu. Tetapi, berdasar riwayat dari Jabir bin Abdullah RA, “Begitu Rasulullah SAW tiba di Muzdalifah beliau langsung shalat Maghrib dan Isya dengan satu azan dan dua iqamah; di antara keduanya tidak ada shalat sunah apa pun. Kemudian, beliau tidur hingga terbit fajar. Beliau shalat Subuh setelah jelas datang waktu subuh dengan satu kali azan dan satu kali iqamah.” (HR Muttafaq ‘Alaih).

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW mendirikan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan cara jamak dan qashar. Selain itu, jamaah haji dibenarkan memungut sedikitnya tujuh butir kerikil untuk melontar jumrah di Mina.

Namun, banyak jamaah haji Indonesia belakangan ini tidak sepenuhnya dapat melaksanakan mabit di Muzdalifah. Mereka karena satu dan lain hal ada yang langsung menuju Mina.

Di sinilah mereka diharapkan dapat beristirahat dengan leluasa. Kondisi fisik yang bugar sangat diperlukan guna melaksanakan aktivitas berikutnya yang lebih berat: melontar jumrah.

Melontar jumrah termasuk wajib haji. Maka, dalam perspektif hukum, melontar jumrah harus dipahami sebagai bentuk ketaatan memenuhi perintah Allah SWT.

Kendati demikian, bagi jamaah haji yang kurang sehat, misalnya, dapat menggantinya dengan cara membayar dam. Atau, menurut sebagian pendapat dapat pula dengan cara mewakilkannya kepada orang lain.

Melontar itu dilakukan di tiga jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah. Hal tersebut berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Ibrahim AS, Ismail AS (putranya), dan Hajar (istrinya).

Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia” (QS Al-Mumtahanah [60] : 4). Selain itu juga berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ibrahim AS, Ismail AS, dan Hajar saat akan melaksanakan perintah Allah (menyembelih Ismail AS) digoda sedemikian rupa oleh setan.

Lalu, mereka bertiga sepakat melawan setan dengan cara melemparinya dengan kerikil. Cara yang mereka pilih ternyata efektif. Maka, Ibrahim AS pun sukses menunaikan kewajibannya dengan baik.

Ibrahim AS dan keluarga kecilnya berhasil mengalahkan setan dengan melontarinya menggunakan kerikil. Tetapi, mengapa sebagian jamaah haji yang sejatinya pernah melontar jumrah di Mina dalam kesehariannya belum mampu mengalahkan setan?

Melontar jumrah hanya simbolik. Setan bukan hanya dimusuhi ketika melontar jumrah. Setan adalah musuh abadi. Maka, jadikanlah musuh untuk selama-lamanya. Ya Allah, lindungilah kami dari godaan setan yang terkutuk.

 

sumber: Republika Online

Pergi Haji Berkali-Kali

Fatwa 1 فضيلة الشيخ: تتوق النفس للحج، ولكن نسمع كلمات من الناس لا ندري أهي صحيحة أم لا؟ يقولون: من حج فليترك المجال لغيره، مع أننا نعلم أن …

 

فضيلة الشيخ: تتوق النفس للحج، ولكن نسمع كلمات من الناس لا ندري أهي صحيحة أم لا؟ يقولون: من حج فليترك المجال لغيره، مع أننا نعلم أن الله عز وجل أمرنا بالتزود، فهل هذا القول صحيح؟ وإذا كان ذهاب الإنسان للحج ربما نفع الله به عدداً كبيراً ـ سواء ممن يقدم إلى هذه البلاد أو من يصاحبهم من بلاده هو ـ فما تقولون وفقكم الله؟.

الجواب: نقول: إن هذا القول ليس بصحيح، أعني القول: بأن من حج فرضه فليترك فرصة لغيره، لأن النصوص دالة على فضيلة الحج، وقد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: تابعوا بين الحج والعمرة فإنهما ينفيان الفقر والذنوب كما ينفي الكير خبث الحديد والذهب والفضة.

والإنسان العاقل يمكن أن يذهب إلى الحج ولا يؤذي ولا يتأذى إذا كان يسايس الناس، فإذا وجد مجالاً فسيحاً فعل ما يقدر عليه من الطاعة، وإذا كان المكان ضيقاً عامل نفسه وغيره بما يقتضيه هذا الضيق

Pertanyaan:
Saya sangat bersemangat untuk melakukan ibadah haji, tapi saya mendengar pernyataan dari orang-orang yang saya tidak tahu benar-tidaknya. Yaitu bahwa orang yang sudah pernah haji hendaknya memberi kesempatan pada yang lain. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mencari bekal sebanyak-banyak untuk di akhirat kelak. Apakah pernyataan mereka itu benar? Bagaimana hukumnya jika seseorang yang diberi kelebihan oleh Allah pergi haji berkali-kali? Baik orang yang datang dari luar Saudi maupun orang yang tinggal di negeri Saudi.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pernyataan tersebut tidak benar. Yang saya maksudkan adalah pernyataan bahwa orang yang sudah pernah menunaikan haji yang wajib hendaknya memberi kesempatan pada yang lain. Karena nash-nash yang ada menunjukkan tentang keutamaan ibadah haji. Diriwayatkan dari NabiShallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

تابعوا بين الحج والعمرة فإنهما ينفيان الفقر والذنوب كما ينفي الكير خبث الحديد والذهب والفضة

Sandingkanlah haji dan umrah, karena keduanya menghilangkan kefaqiran dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Di shahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1200)

Selain itu, orang yang berakal sangat mungkin untuk pergi haji tanpa mengganggu orang lain, dan tidak akan terjadi gangguan jika diatur dengan benar. Maka jika ada kesempatan yang lapang, hendaknya melakukannya sesuai kemampuan. Namun jika memang kesempatannya sempit, maka ia atau orang yang lain dapat melakukannya dengan menerima konsekuensi dari sempitnya kesempatan itu.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=129748

Fatwa 2

السؤال…:… س: ما الأفضل: أن يحج المرء نافلة؟ أو أن يتصدق بماله الذي سينفقه على الحج؟
الإجابة…:… لا شك أن الحج أفضل لما فيه من العمل البدني والمالي، ولأنه من أسباب المغفرة، وفيه التعرض لنزول الرحمة والوقوف بالمشاعر المقدسة والتذكر والتفكر والاعتبار، لكن إن كان على الإنسان مشقة بدنية بحيث يعجز عن الطواف والرمي ببدنه -كانت الصدقة على المساكين بنفقة الحج أفضل من إعطائها لمن يحج بالأجرة، فإن أكثر من يحج بالأجرة إنما يقصد المال دون العمل الصالح فيكون عمله للدنيا.

Pertanyaan:
Mana yang lebih afdhal? Seseorang berhaji nafilah (sunnah) ataukah menyedekahkan harta yang akan dipakai untuk haji?

Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al Jibrin menjawab:
Tidak ragu lagi, berhaji lebih afdhal karena di dalamnya ada amalan badan sekaligus amalan harta. Dan juga karena ibadah haji adalah sebab datangnya ampunan. Di dalamnya juga terdapat sebab-sebab turunnya rahmat Allah, dan sebab-sebab pertahanan diri dari kebiasaan yang rusak. Di dalamnya juga ada dzikir, tafakkur, dan perenungan hikmah.

Namun jika seseorang memiliki kesulitan fisik yang menyebabkan ia sulit thawaf atau sulit melempar jumrah, maka ketika itu bersedekah kepada orang miskin lebih utama daripada membayar orang untuk menghajikannya. Karena kebanyakan yang menghajikan orang lain itu niatnya demi mengharap harta bukan untuk beramal shalih, sehingga niat hajinya demi dunia.

Sumber: http://forsanhaq.com/showthread.php?t=186067

Fatwa 3

أما تكرار الحج فهو مستحب إذا لم يترتب عليه أضرار بدنية بسبب الزحام الشديد والأخطار المترتبة على ذلك. فإذا كان هناك أضرار فترك الحج النافلة أفضل لاسيما وهناك أعمال خيرية كثيرة ومجال واسع لمن يريد الخير من إطعام المحتاجين وإعانة المعسرين والإسهام في المشاريع الخيرية النافعة. وأيضاً لا بد من التقيد بالأنظمة التي وضعتها الدولة لمصالح الحجاج كتحديد عدد الحجاج لكل دولة. فلا تجوز مخالفة هذا النظام والحج من غير ترخيص وتعريض الإنسان نفسه للمسئولية التي قد يرتكب بسببها محظورات في الإحرام. ولا يؤدي الحج على الوجه المطلوب بسبب كثرة الزحام مما يجعله يترخص في أداء المناسك فيكون حجة ناقصاً وقد يكون غير صحيح بسبب ما يترك من المناسك أو لا يؤديه على الوجه المطلوب. ولاسيما النساء لما يتعرضن له من الخطر الشديد والمشقة الصعبة. فمن أدى فرضه فالأولى أن لا يكرر الحج في هذه الظروف الصعبة ويترك المجال لغيره ممن لم يحج. قال الله تعالى: (وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَان)، وقال تعالى: (لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا)، وكما أسلفنا هناك مجالات واسعة لفعل الخير غير حج النافلة بإمكان المسلم أن يسهم فيها. وقد يكون أجرتها أعظم من حج النافلة. هذا لو كان الحج متيسراً فكيف إذا كان الحج متعسراً كما هو الحال في هذه الأزمان.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata: 
“Berhaji lagi setelah haji yang wajib hukumnya mustahab (dianjurkan). Jika tidak terdapat banyak kesulitan fisik yang disebabkan padatnya jama’ah yang sangat parah. Namun jika terdapat banyak kesulitan yang demikian, maka tidak haji nafilah itu lebih utama. Lebih lagi ada banyak kegiatan sosial dan juga wadah-wadah bagi orang yang menginginkan kebaikan. Bisa berupa memberi makan orang yang membutuhkan, membantu orang yang susah, atau ikut andil pada kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat.

Selain itu juga, hendaknya memperhatikan pengaturan yang dibuat oleh pemerintah demi kemaslahatan jama’ah haji dalam hal quota per negara. Tidak boleh anda melanggar aturan ini dan  juga tidak boleh pergi haji tanpa pemimpin rombongan resmi yang nantinya akan menimbulkan banyak masalah ketika ihram. Hal-hal yang seperti ini juga menyebabkan ibadah haji yang dilakukan tidak tertunaikan poin-poin yang wajibnya. Yaitu karena padatnya orang, sehingga manasik haji diperingkas. Sehingga hajinya menjadi kurang sempurna atau terkadang menjadi tidak sah karena meninggalkan poin-poin yang wajib.

Lebih lagi kaum wanita yang berpotensi mendapatkan banyak bahaya, kesulitan dan kesusahan. Maka jika ia sudah berhaji sekali, hendaknya tidak berhaji lagi dengan adanya hambatan-hambatan tersebut. Sebaiknya ia memberi jatahnya pada orang yang belum pernah berhaji. Allah Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَان

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran‘ (QS. Al Maidah: 2)

Allah Ta’ala juga berfirman:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya‘ (QS. Al Baqarah: 286)

Sebagaimana sudah kami sampaikan sebelumnya. Banyak wadah-wadah untuk berbuat kebaikan selain haji nafilah yang bisa diikuti. Dan bahkan terkadang pahalanya lebih besar daripada haji nafilah. Ini jika memang berhaji itu mudah, maka bagaimana lagi jika berhaji itu sulit sebagaimana di zaman ini. ”

Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/2304

Fatwa 4

ما رأيكم في تكرار الحج مع ما يحصل فيه من الزحام واختلاط الرجال بالنساء فهل الأفضل للمرأة ترك الحج إذا كانت قد قضت فرضها ، وربما تكون قد حجت مرتين أو أكثر؟

لاشك أن تكرار الحج فيه فضل عظيم للرجال والنساء، ولكن بالنظر إلى الزحام الكثير في هذه السنين الأخيرة بسبب تيسير المواصلات، واتساع الدنيا على الناس، وتوفر الأمن، واختلاط الرجال بالنساء في الطواف وأماكن العبادة، وعدم تحرز الكثير منهن عن أسباب الفتنة، نرى أن عدم تكرارهن الحج أفضل لهن وأسلم لدينهن وأبعد عن المضرة على المجتمع الذي قد يفتن ببعضهن، وهكذا الرجال إذا أمكن ترك الاستكثار من الحج لقصد التوسعة على الحجاج وتخفيف الزحام عنهم، فنرجو أن يكون أجره في الترك أعظم من أجره في الحج إذا كان تركه له بسبب هذا القصد الطيب، ولاسيما إذا كان حجه يترتب عليه حج أتباع له قد يحصل بحجهم ضرر كثير على بعض الحجاج ؛ لجهلهم أو عدم رفقهم وقت الطواف والرمي وغيرهما من العبادات التي يكون فيها ازدحام، والشريعة الإسلامية الكاملة مبنية على أصلين عظيمين:
أحدهما: العناية بتحصيل المصالح الإسلامية وتكميلها ورعايتها حسب الإمكان.
والثاني: العناية بدرء المفاسد كلها أو تقليلها، وأعمال المصلحين والدعاة إلى الحق وعلى رأسهم الرسل عليهم الصلاة والسلام تدور بين هذين الأصلين وعلى حسب علم العبد بشريعة الله سبحانه وأسرارها ومقاصدها وتحريه لما يرضي الله ويقرب لديه، واجتهاده في ذلك يكون توفيق الله له سبحانه وتسديده إياه في أقواله وأعماله. واسأل الله عز وجل أن يوفقنا وإياكم وسائر المسلمين لكل ما فيه رضاه وصلاح أمر الدين والدنيا إنه سميع قريب

Pertanyaan:

Apa pendapat anda tentang pergi haji lagi (setelah haji yang wajib) padahal kita tahu di sana adanya kepadatan dan ikhtilat antara wanita dan lelaki. Apakah lebih utama meninggalkan hal itu jika memang sudah berhaji yang wajib? Karena terkadang seseorang berhaji dua kali atau lebih.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab:

Tidak diragukan lagi, pergi berhaji lagi itu memiliki keutamaan yang besar bagi lelaki dan wanita. Namun menimbang padatnya jama’ah haji beberapa tahun ini karena semakin mudahnya perizinan, semakin lapangannya materi pada umat, juga keamanan semakin terjamin, juga menimbang banyaknya ikhtilat antara wanita dan laki-laki ketika thawaf dan di tempat-tempat ibadah, tanpa adanya kewaspadaan dari mereka, yang bisa menyebabkan terjadinya fitnah. Saya berpandangan, tidak berhaji lagi itu lebih utama dan lebih selamat serta lebih jauh dari mudharat bagi masyarakat yang kadang sebagiannya terkena fitnah.

Demikian juga bagi lelaki, jika memungkinkan sebaiknya ia tidak pergi haji lagi agar para jama’ah haji (yang wajib) lebih longgar dan kepadatan berkurang. Mudah-mudahan tidak berhaji lagi jika dengan niat yang baik ini, lebih besar pahalanya daripada berhaji lagi. Lebih lagi jika hajinya malah menimbulkan mudharat bagi jama’ah haji lain, karena kejahilan dan kurangnya sikap lemah-lembut, semisal ketika thawaf atau melempar jumrah, dan ibadah yang lain, yang menimbulkan kemacetan. Padahal syariat Islam itu syariat yang sempurna. Yang dibangun atas dua landasan agung yaitu:

  1. Memberikan perhatian serius untuk menggapai maslahah Islamiyah, menyempurnakan dan menjaganya sebisa mungkin
  2. Memberikan perhatian serius untuk mencegah seluruh kerusakan atau sebagiannya.
Amal orang-orang shalih dan para da’i yang mengajak pada kebenaran dan pada ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berporos pada dua landasan ini. Amal mereka juga menimbang pada ilmu syariah, hikmah-hikmahnya, maqashid syariah, demi menggapai apa yang diridhai oleh Allah atau mendekati itu. Ijtihad mereka dengan hal itu merupakan taufiq dari Allah Ta’ala kepadanya dalam perkataan dan perbuatan. Kami memohon kepada Allah Azza Wa Jalla agar melimpahkan hidayahnya kepada kami dan anda sekalian dan juga seluruh kaum muslimin pada apa yang Ia ridhai dan pada jalan yang benar dalam beragama serta dalam kehidupan dunia. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi dekat.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/652

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Mengenal Qantharah

Qantharah adalah suatu tempat yang berada setelah shirath. Di qantharah, terjadi qishash untuk menghilangkan rasa dendam, hasad dan rasa dengki di antara orang-orang yang beriman.

 

Qantharah, suatu istilah yang mungkin masih asing di telinga kita. Padahal, setiap orang beriman tentu mendambakan diri untuk bisa sampai di qantharah. Bagaimana tidak,qantharah adalah suatu tempat antara surga dan neraka yang dilalui manusia setelah selamat melewati shirath, yaitu jembatan yang dibentangkan di atas neraka jahannam. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kami akan sedikit membahas tentang qantharah, sehingga siapa pun yang berharap masuk surga, bisa mengenal suatu tempat yang akan dilewatinya, yaitu qantharah.

Hadits tentang “Qantharah”

Setelah orang-orang beriman selamat melewati shirath, mereka akan berhenti di suatu tempat bernama “qantharah”. Dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَخْلُصُ المُؤْمِنُونَ مِنَ النَّارِ، فَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍ بَيْنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، فَيُقَصُّ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ مَظَالِمُ كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا هُذِّبُوا وَنُقُّوا أُذِنَ لَهُمْ فِي دُخُولِ الجَنَّةِ، فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَأَحَدُهُمْ أَهْدَى بِمَنْزِلِهِ فِي الجَنَّةِ مِنْهُ بِمَنْزِلِهِ كَانَ فِي الدُّنْيَا

Setelah orang-orang beriman diselamatkan dari neraka (selamat melewati shirath, pen.), mereka tertahan di qantharah yang ada di antara surga dan neraka. Maka ditegakkanlah qishash di antara mereka akibat kedzaliman yang terjadi di antara mereka selama berada di dunia. Setelah dibersihkan dan dibebaskan, mereka pun diijinkan masuk surga. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh mereka lebih mengetahui tempat mereka di surga daripada tempatnya ketika berada di dunia.” [1]

Apakah yang Dimaksud dengan “Qantharah” ??

Para ulama berbeda pendapat tentang “qantharah”. Sebagian ulama berpendapat bahwaqantharah adalah bagian paling ujung dari shirath sebelum masuk ke surga. Pendapat ke dua menyatakan bahwa qantharah adalah jembatan tersendiri yang berbeda dengan shirath, dan letaknya di antara surga dan neraka.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

الذي يظهر أنها طرف الصراط مما يلي الجنة ويحتمل أن تكون من غيره بين الصراط والجنة

Yang tampak bahwasannya qantharah adalah ujung dari shirath sebelum surga. Dan ada kemungkinan bahwa qantharah adalah jembatan tersendiri antara shirath dan surga.” [2]

Di antara ke dua pendapat tersebut, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat ke dua, yaitu bahwa qantharah adalah jembatan tersendiri dan tidak termasuk bagian dari shirath. Hal ini karena orang yang selamat melewati shirath, berarti dia telah selamat melewati dan melintasishirath secara keseluruhan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيُضْرَبُ الصِّرَاطُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ، فَأَكُونُ أَنَا وَأُمَّتِي أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُهَا

Dan dibentangkanlah shirath di antara dua punggung neraka jahannam. Maka aku dan umatku yang pertama kali melintasinya.” [3]

Demikian pula kalau melihat hadits tentang qantharah di atas, maka dijelaskan bahwa orang-orang mukmin telah selamat melewati shirath (secara keseluruhan). [4]

Qishash yang Terjadi ketika Manusia berada di “Qantharah”

Di qantharah, terjadi qishash untuk menghilangkan rasa dendam, hasad dan rasa dengki di antara orang-orang yang beriman. Dan ketika telah bersih, mereka akan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ

Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr [15]: 47]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Jika mereka telah melewati shirath, mereka berhenti di qantharah yang berada di antara surga dan neraka. Sebagian mereka pun diqishash atas sebagian yang lain. Ketika telah dibersihkan dan dibebaskan, mereka pun diijinkan untuk masuk ke dalam surga.” [5]

Qishash di qantharah berbeda dengan qishash yang terjadi di padang Mahsyar. Qishash yang terjadi di padang Mahsyar bersifat umum, terjadi antara orang beriman dan orang kafir, atau antara calon penduduk surga dengan calon penduduk neraka, atau antara sesama calon penduduk neraka. Qishash ini adalah dengan menyerahkan pahala kepada pihak yang didzalimi; dan jika pahalanya sudah habis, maka dosa pihak yang didzalimi akan diserahkan kepada pihak yang mendzalimi. Sedangkan qishash di qantharah hanya terjadi di antara orang beriman (setelah mereka selamat melewati shirath) untuk menyucikan hati mereka sebelum masuk ke dalam surga.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

فإذا وصلوا إلى الجنة لم يجدوها مفتوحة الأبواب، على خلاف أهل النار، فإنهم إذا وصلوا إلى النار فتحت الأبواب ليسوءهم العذاب والعياذ بالله، أما الجنة فلا تكون مفتوحة الأبواب، وإنما يوقفون هناك على قنطرة، وهي الجسر الصغير فيقتص لبعضهم من بعض اقتصاصاً غير الاقتصاص الأول الذي في عرصات القيامة، فيقتص لبعضهم من بعض اقتصاصاً يزيل ما في صدورهم من الغل والحقد؛ لأن الاقتصاص الذي في عرصات القيامة اقتصاص تؤخذ فيه الحقوق، وربما يبقى في النفوس ما يبقى، لكن هذا الأخير اقتصاص للتطهير والتهذيب والتنقية، حتى يدخلوا الجنة وما في صدورهم من غل.

Jika mereka sampai ke surga, pintu surga masih tertutup. Berbeda dengan penduduk neraka. Ketika mereka sampai di neraka, pintu neraka dibuka sehingga mereka langsung merasakan adzab. Adapun surga, maka pintunya masih tertutup. Mereka menunggu di qantharah, yaitu suatu jembatan yang kecil. Sebagian mereka pun diqishash atas sebagian yang lain, dengan qishash yang berbeda dengan qishash yang pertama terjadi di padang Mahsyar. Mereka diqishash untuk menghilangkan rasa dendam dan rasa dengki. Hal ini karena qishash yang terjadi di padang Mahsyar bertujuan untuk mengembalikan hak (yang didzalimi atau dirampas, pen.), dan terkadang masih tersisa rasa (dendam) di hati. Qishash yang ke dua ini adalah qishash untuk mensucikan dan membersihkan (apa yang ada di dalam hati), sehingga mereka pun masuk surga tanpa ada rasa dengki dalam hati mereka.” [6]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah melanjutkan penjelasan beliau,

وبهذا نجمع بين النصوص الواردة بأن هنا اقتصاصين، الاقتصاص الأول في العرصات ويقصد منه أخذ الحقوق، وهذا الاقتصاص الأخير والمقصود به التنقية والتطهير من الغل.

فإن قال قائل: أفلا يحصل ذلك بأخذ الحقوق؟ قلنا: لا، فلو أن رجلاً اعتدى عليك في الدنيا ثم أخذت حقك منه، فإنه قد يزول ما في قلبك عليه وقد لا يزول، فإحتمال أنه لا يزول وارد، لكن إذا هذبوا ونقوا بعد عبور الصراط ودخلوا الجنة على إكمال حال، قال تعالى: (وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَاناً عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ) (الحجر: 47)

Dengan demikian, kita gabungkan dalil-dalil yang ada bahwa terdapat dua qishash. Qishash pertama terjadi di padang Mahsyar dan dimaksudkan untuk mengembalikan hak (pihak yang didzalimi, pen.). Qishash yang ke dua (di qantharah) ini dimaksudkan untuk membersihkan dan mensucikan (hati) dari rasa dendam. Jika ada yang bertanya, bukankah hilangnya dendam sudah terwujud dengan dikembalikannya hak? Kami katakan, tidak. Seandainya ada seseorang di dunia yang merampas hakmu, kemudian Engkau mengambil kembali hakmu dari orang tersebut, maka terkadang hilanglah apa yang ada dalam hatimu (misalnya rasa dendam atau dengki, pen.) dan terkadang tidak hilang. Maka ada kemungkinan bahwa belum hilang (rasa dendam tersebut, pen.). Akan tetapi, jika rasa dendam ini dibersihkan dan dihilangkan, maka mereka pun masuk surga dalam keadaan yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.’”[7]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Diselesaikan setelah isya’, Sint-Jobskade Rotterdam NL, Jumat 11 Dzulhijah 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] HR. Bukhari no. 6535.

[2] Fathul Baari, 5/96.

[3] HR. Bukhari no. 806.

[4] Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut, hal. 250-251.

[5] Majmu’ Fataawa, 3/147.

[6] Syarh Al-‘Aqidah As-Safariyaniyyah, 1/477 (Maktabah Syamilah).

[7] Syarh Al-‘Aqidah As-Safariyaniyyah, 1/477 (Maktabah Syamilah).

sumber: Muslim.or.id

Rasulullah Pentingkan Ibadah Sosial, Haji Cukup Sekali

Ibadah haji diwajibkan bagi umat muslim yang mampu. Berapa kali umat muslim afdol untuk berhaji? Setelah Fath Makkah, Nabi Muhammad SAW hanya mengerjakan haji satu kali dan melakukan umrah empat kali pada tahun 10 Hijriah.

Ibadah haji dan umrah sendiri diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 Hijriah. Begitu lah pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Dengan para shahabat, pada tahun itu Muhammad bermaksud melakukan umrah ke Makkah, namun tidak berhasil memasuki kota Makkah, karena masih dikuasai kaum musyrikin.

Berdasarkan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin, Muhammad diizinkan untuk melakukan umrah pada tahun ke 7 Hijriah. Pada tanggal 12 Ramadhan 8 Hijriah, Muhamamd berhasil membebaskan kota Makkah melalui operasi damai Fath Makkah. Pada bulan Dzulqa’dah di tahun itu, nabi kemudian melakukan ibadah umrah dari Ji’ranah di luar kota Makkah. Dan, selanjutnya ke Madinah tanpa melakukan ibadah haji, padahal waktu itu kota Makkah sudah dikuasai umat Islam.

Namun baru pada tahun 10 Hijriah, Muhammad melakukan ibadah haji dan umrah, lalu setahun kemudian dia wafat. Walau Muhammad mempunyai kesempatan untuk beribadah haji sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 8, 9, 10 H, beliau melaksanakan ibadah haji hanya satu kali.

“Sahabat Anas bin Malik menuturkan, bahwa Nabi SAWA melakukan ibadah haji hanya satu kali saja, dan melakukan ibadah umrah empat kali, semuanya dilakukan pada bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang bersama ibadah haji,\\\” kata Naib Amirul Haj 1430 Hijriah, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yaqub dalam khutbah Arafah di tenda perkemahan jamaah haji Indonesia dalam pelaksanaan Wukuf di Padang Arafah, Arab Saudi, Kamis (26\/11\/2009) ba’da Sholat Dzuhur.

Ali pun mengutip hadits Bukhari dan Muslim yang menyabutkan, dari Qatadah; aku bertanya kepada Anas bin Malik RA, “Berapa kali Nabi Muhammad SAW beribadah umrah?” Anas menjawab,”Empat kali”, yaitu; pertama, umrah Hudaibiyah (6 H) di bulan Dzulqa\\\’dah saat dihalang-halangi kaum musyrikin; kedua, umrah yang dilakukan pada tahun berikutnya (7 H) di bulan Dzulqa’dah; ketiga, umrah Ji’ranah di saat pembagian harta rampasan perang (Ghanimah) Hunain. Aku bertanya lagi,”Berapa kali Nabi Muhammad SAW?” Anas menjawab, “Satu kali”.

Pertanyaan yang muncul sekarang, lanjut Ali, mengapa Muhammad beribadah haji hanya satu kali saja, padahal beliau mempunyai kesempatan untuk beribadah haji tiga kali? Bandingkan dengan selera kaum muslimin sekarang yang, tentu yang punya dana, ingin beribadah haji setiap tahun. Nampaknya, selera seperti ini sudah menjadi gejala bagi sebagian besar umat Islam di mana saja mereka berada.

Ali mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW tidak melakukan haji berulang ulang. Pertama, saat Muhammad masih melakukan Jihad fi Sabilillah melawan kaum musyrikin. Kedua, lebih memperhatikan untuk menyantuni anak yatim dan janda akibat peperangan dengan kaum musyrikin. Bahkan Muhammad menegaskan; penyantun janda dan orang miskin (pahalanya) seperti berjihad fi sabilillah atau seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari (Hadis Bukhari dan Muslim).

Tentang menyantuni anak yatim Muhammad juga menyatakan; Aku dan penyantun anak yatim di surga nanti seperti ini. Shahabat Sahal bin Sa\\\’ad mengatakan, “Rasulullah memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan jari tengahnya” (Hadis Bukhari dan Muslim).

“Dan tentulah surga yang didiami Nabi Muhammad SAW bukanlah surga kelas ekonomi, melainkan surga kelas super VIP. Bandingkan dengan surga yang dijanjikan bagi ibadah haji yang mabrur, hanya disebut surga saja, dan itu pun harus haji yang mabrur. Nabi saw bersabda; ibadah umrah yang satu dengan ibadah umrah yang lain itu kafarat (penghapus dosa) antara kedua umrah tadi, dan haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga,” jelas Ali lagi.

Selebihnya, Muhammad lebih mementingkan syiar Islam kepada para pemuda pengikutnya, serta menjamin makanannya selama belajar. Dari ketiga hal penting itulah yang menyebabkan Muhammad tidak mendahulukan ibadah-ibadah sunnah individual (ibadah qashirah), tetapi justru beliau memprioritaskan ibadah-ibadah sosial (ibadah muta’addiyah).

Karenanya, Muhammad tidak pernah walau sekali beribadah haji sunnah, tidak pernah beribadah umrah pada bulan Ramadhan. Sementara sebagian umatnya sekarang ingin beribadah haji setiap tahun, ingin beribadah umrah setiap bulan atau setiap minggu. Padahal rata-rata keadaan umat Islam saat ini di segala penjuru dunia sangat memprihatinkan.

Menurut catatan FAO (Foods and Agriculture Organization), dunia saat ini masih didiami oleh 830 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dari jumlah fakir 830 juta itu, 700 juta adalah orang Islam. Sekiranya uang yang hampir Rp 115 triliun yang digunakan setiap tahun untuk perbuatan yang tidak wajib dan tidak pernah dicontohkan oleh Muhammad, itu dipakai untuk mengentaskan kemiskinan 700 juta orang Islam itu, maka pada suatu saat jumlah orang Islam yang miskin akan sangat kecil.

“Dalam keadaan umat Islam seperti ini, pantaskah seorang muslim yang kaya setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Pantaskah mereka bolak-balik umrah ke Makkah. Siapakah gerangan yang menyuruh mereka begitu? Ayat al-Qur’an manakah yang menyuruh agar kita beribadah haji berulang-ulang, sedangkan kondisi umat Islam sedang terpuruk? Hadis manakah yang menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum muslimin sedang kelaparan?” tanya Ali lantang.

Ali menegaskan, semua itu tidak ditemukan dalam ayat Al Quran maupun hadis yang menyuruh umat Islam untuk melakukan hal itu. Bila demikian, maka tidak ada lain, yang menyuruh mereka untuk melakukan hal seperti itu adalah hawa nafsu atas bisikan setan.

“Maka haji seperti itu layak disebut sebagai haji pengabdi setan, bukan haji yang mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan ternyata perilaku Nabi Muhammad adalah berhaji cukup sekali, berinfak ribuan kali. Atau dengan kata lain, Nabi Muhammad lebih mengutamakan ibadah sosial daripada ibadah individual,” pungkasnya.

 

sumber: Detik.com

Haji dan Transendensi Makna Hidup (2)

oleh Komaruddin Hidayat

Dengan menjabat tangan Tuhan,  seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga, semuanya akan bermakna selama mendekatkan pemiliknya untuk meningkatkan amal kebajikannya sebagai manifestasi rasa syukur atas segala rahmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya.

Dalam suasana batin di mana ‘aku’ dan ‘Engkau’, tak ada lagi jarak yang menghalangi, seorang Muslim yang tengah menunaikan ibadah haji biasanya mencurahkan segala isi hatinya,  untuk bersyukur, memohon ampun, pertolongan ataupun kekuatan untuk menjalani hidup selanjutnya. Makna dan hikmah thawaf yang sejati, oleh karenanya, adalah juga berupa thawaf menjalani siklus kehidupan dari hari ke hari ini.

Sebagaimana thawaf di Makkah, agar aktivitas sehari-hari ini menjadi bermakna maka secara psikologis hendaknya kita mampu mengambil jarak dari rutinitas yang membelenggu. Kita transendensikan semua aktivitas ini sehingga hati nurani memiliki ketajaman untuk membedakan manakah tindakan yang bermakna dan manakah yang menggerogoti harkat kemanusiaan kita.

Wuquf (berdiam diri secara khusyuk) di Arafah, yang merupakan puncak ibadah haji, tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan Sang Pencipta dan alam semesta. Dengan wuquf, diharapkan seorang Muslim mendapatkan makrifah atau the wisdom of life sehingga dengan demikian ketika kembali ke tanah airnya masing-masing telah lahir manusia baru yang penuh kearifan hidup.

 

sumber: Republika Online