Saat Gerhana Tidak Terlihat, Shalat Gerhana atau Tidak?

Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana tidak dilaksanakan kecuali ketika melihat langsung fenomena gerhana matahari atau bulan. Baik itu gerhana total maupun gerhana sebagian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

(1). “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Maka jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir)” (HR. Bukhari dan Muslim)

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

(2). “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika kalian telah melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah” (HR. Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 901)

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

(3). “Jika kalian telah melihat kedua gerhana, yaitu gerhana matahari dan bulan, maka bersegeralah menunaikan shalat” (HR. Bukhari no.1047)

Penentuan shalat gerhana tidak boleh dilaksanakan atas dasar petunjuk ahli falak semata.

Kalimat “Jika kalian telah melihat” menunjukkan bahwa shalat gerhana itu hanya diperuntukkan bagi orang yang langsung dapat melihatnya, bukannya ikut-ikutan shalat ketika seseorang tidak dapat melihatnya secara langsung dengan hanya berpatokan bahwa itu telah terjadi di tempat lain.

Imam an-Nawawi berkata :

“Jika gerhana matahari tertutup dengan awan mendung, padahal dapat diperkirakan (dengan hisab) bahwa akan terjadi gerhana maka “Tetap Tidak Boleh” melaksanakan shalat sampai benar-benar yakin (dapat dilihat langsung dengan mata)”. Lalu beliau menukilkan pernyataan ad-Darimi dan ulama lainnya, dimana mereka berkata : “Shalat gerhana tidak boleh bersandar atas dasar perhitungan ahli falak” (Raudhatut Thalibin 1/596)

Pernyataan serupa juga dinukilkan oleh Ibnu Muflih al-Hanbali dalam Kitab al-Furu’ ketika menulis permasalahan shalat gerhana. (lihat al-Furu’ 27/109)

Pendapat ini juga dikuatkan oleh ulama Madzhab Maliki, yaitu apabila gerhananya tidak jelas atau terlihat hanya sedikit saja dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya ahli falak/astronomi, maka tidak disunnahkan untuk melaksanakan shalat.

Muhammad Ulaisy al-Maliki berkata :

“Disunnahkan melaksanakan shalat khusuf ketika mengalami gerhana, baik secara total maupun sebagiannya saja, selama gerhananya tidak terlalu kecil sehingga tidak ada yang dapat melihatnya kecuali ahli astronomi/hisab saja” (sumber: fatwa.islamweb.net)

Permasalahan ini juga pernah ditanyakan kepada Syaikh Utsaimin, yaitu apa hukum shalat gerhana ketika gerhana tertutup dengan awan mendung, sementara surat kabar sudah mengumumkan akan terjadi gerhana. Lalu beliau menjawab :

لا یجوز أن یصلي اعتماداً على ما ینشر في الجرائد، أو یذكر بعض الفلكیین، إذا كانت السماء غیماً ولم یر الكسوف؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤیة، فقال عليه الصلاة والسلام: «فإذا رأیتموهما فافزعوا إلى الصلاة»، ومن الجائز أن الله تعالى یخفي هذا الكسوف عن قوم دون آخرین لحكمة یریدها

“Shalat gerhana tidak boleh bersandar kepada berita yang tersebar di koran-koran atau perhitungan para astronom. Jika langit mendung maka tidak ada shalat gerhana. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan penglihatan mata. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian melihat terjadinya gerhana, maka segeralah shalat”. Suatu hal yang mungkin terjadi, Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain karena suatu hikmah yang Dia inginkan”.

Adapun mengumumkan kepada masyarakat tentang shalat gerhana sebelum terjadinya, maka saya memandang “Tidak Boleh Mengumumkannya”, karena apabila diumumkan mereka akan bersiap-siap, seakan-akan shalat ini seperti shalat yang diharapkan (dinantikan), sebagaimana mereka menantikan shalat Ied. Jika demikian, maka ketika gerhana datang mereka melakukan shalat karena persiapan bukan karena ketakutan.

Namun apabila gerhana itu terjadi secara tiba-tiba, timbullah rasa khawatir dan takut yang ini tidak akan didapatkan kecuali bagi orang yang ‘aalim (Majmu’ Fatawa wa Rasail 16/300).

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

“Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti” (QS. Al-Israa’ [17]: 59)

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu” (QS. Fusshilat [41]: 53)

Sehingga shalat gerhana tidak disunnahkan kecuali ketika melihat langsung peristiwa gerhana matahari atau bulan. Tidak boleh berpatokan pada ilmu falak atau ahli astronomi, karena illat atau sebab adanya hukum shalat tersebut adalah ketika menyaksikan gerhana secara langsung dengan mata telanjang. Sedangkan ilmu falak hanya sebagai alat bantu untuk mempermudah dalam proses menyaksikan gerhana.

Inilah sunnahnya Rasul, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dst yang sudah semestinya dilakukan oleh kaum muslimin.

Wallahul Muwaffiq
(Ustadz Najmi Umar Bakkar)

Umat Islam Bisa Lakukan Ini Saat Gerhana Matahari Total

Kementerian Agama mengimbau umat Islam untuk melaksanakan Salat Sunah Gerhana Matahari atau Salat Kusuf saat terjadinya fenomena alam langka gerhana matahari total yang diperkirakan akan terjadi pada Rabu 9 Maret 2016.

Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Muhammadiyah Amin dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Jum’at 4 Maret 2016, mengatakan, Salat Kusuf atau Salat Gerhana Matahari dilakukan dua rakaat dengan rangkaian sebagai berikut:

1. Berniat di dalam hati.

2. Takbiratul ihram seperti salat biasa.

3. Membaca do’a iftitah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al-Fatihah dan membaca surat yang panjang dengan tidakdikeraskan suaranya

4.  Kemudian ruku sambil memanjangkannya.

5. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbana Wa Lakal Hamd.

6. Setelah I’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah dan surat yang panjang (berdiri yang kedua lebih singkat dari pertama).

7. Ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya;

8. Bangkit dari ruku’ (i’tidal);

9.  Sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali;

10. Bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama (bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya);

11. Tasyahud; dan

12. Salam.

“Setelah salat, Imam lalu menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan hal baik lainnya,” ujar Muhammadiyah Amin.

Pelaksanaan salat gerhana, lajut dia, menyesuaikan waktu gerhana matahari di wilayah masing-masing, yaitu:

Pertama, untuk Waktu Indonesia Barat (WIB): Aceh (07:22 –  08:27), Sumatera Utara (07:21 – 08:27), Sumatera Barat (07:20 – 08:27), Riau (06:22 – 08:30), Bengkulu (06:20 – 08:28), Jambi (06:21 – 08:29), Kepulauan Riau (06:22 – 08:33), Sumatera Selatan (06:19 – 08:29), Lampung (06:20 – 08:31), Bangka Belitung (06:21 – 08:35), Banten (06:19 – 08:31), DKI Jakarta (06:20 – 08:32), Jawa Barat (06:20 – 08:32), Jawa Tengah (06:20 – 08:35), D.I. Yogyakarta (06:20 – 08:35), Jawa Timur (06:21 – 08:39), Kalimantan Barat (06:23 – 08:42), dan Kalimantan Tengah (06:22 – 08:47).

Kedua,  untuk Waktu Indonesia Tengah (WITA): Kalimantan Selatan (07:23 – 09:48), Kalimantan Timur (07:26 – 09:54), Bali (07:22 – 09:42), Nusa Tenggara Barat (07:23 – 09:45), Nusa Tenggara Timur (07:27 – 09:51), Sulawesi Barat (07:26 – 09:57), Sulawesi Selatan (07:26 – 09:54), Sulawesi Tengah (07:29 – 10:04), Sulawesi Tenggara (07:28 – 10:01), Gorontalo (07:31 – 10:09), dan Sulawesi Utara (07:34 – 10:15).

Ketiga, untuk Waktu Indonesia Timur (WIT): Maluku Utara (08:35 – 11:21), Maluku (08:35 – 11:17), Papua Barat (08:40 – 11:30), dan Papua (08:49 – 11:40).

Seperti diketahui, berdasarkan data astronomis bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Maret 2016 betepatan tanggal 29 Jumadil Ula 1437 H, di sebagian wilayah Indonesia akan terjadi gerhana matahari total (GMT). Beberapa wilayah dimaksud antara lain: Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

 

sumber: Viva.co.id

Adakah Khutbah Shalat Gerhana?

Khutbah shalat gerhana ada sebagaimana pada shalat ‘ied maupun shalat istisqa’ (minta hujan).

Hadits yang menjadi dalil adalah berikut ini.

عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:

” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.

ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.

Setelah itu beliau berkhutbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”

Nabi selanjutnya bersabda,

Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Oleh karenanya, jumhur salaf (kebanyakan ulama salaf) menganjurkan adanya khutbah setelah shalat gerhana. Demikian dalam madzhab Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan menjadi pendapat kebanyakan ulama salaf.

Dalam Al-Majmu’ (5: 59) disebutkan oleh Imam Nawawi bahwa yang berpendapat disunnahkannya khutbah setelah shalat gerhana adalah jumhur atau kebanyakan ulama sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mundzir.

Penjelasan tentang khutbah shalat gerhana, isinya dan apakah dua kali khutbah atau sekali, akan dikaji di bahasan selanjutnya. Ada contoh khutbah shalat gerhana dari guru kami -Syaikh Shalih Al-Fauzan- di sini: https://rumaysho.com/2124-khutbah-shalat-gerhana-syaikh-sholeh-al-fauzan.html.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Menjelang Maghrib 22 Jumadal Ula 1437 H @ Darush Sholihin, Panggang, GK

Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal

Shalat Gerhana di Siang Hari, Apa Dikeraskan Bacaan?

Kita tahu bahwa shalat di siang hari biasa dengan bacaan yang sirr, tidak dikeraskan. Bagaimana jika terjadi gerhana matahari (di siang hari), apakah bacaannya tetap dikeraskan?

Coba perhatikan hadits berikut dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- جَهَرَ فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan (menjaherkan) bacaannya dalam shalat kusuf (shalat gerhana). Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Bukhari, no. 1065; Muslim, no. 901)

Di antara faedah yang bisa diambil dari hadits di atas:

Disyari’atkan mengeraskan bacaan (menjaherkan) ketika pelaksanaan shalat gerhana baik ketika di siang hari (gerhana matahari) maupun di malam hari (gerhana bulan). Karena shalat gerhana termasuk shalat sunnah yang diperintahkan berjama’ah. Dalam shalat jama’ah seperti ini diperintahkan untuk dijaherkan, sama halnya seperti shalat istisqa’ (minta hujan), shalat ‘ied dan shalat tarawih.

Hadits yang disebutkan di atas dimaksudkan untuk gerhana matahari, gerhana bulan pun sama.

Juga dari hadits, bisa disimpulkan bahwa shalat gerhana itu dua raka’at. Dalam dua raka’at tersebut terdapat empat kali ruku’ dan empat kali sujud.

Adapun Panduan Shalat Gerhana secara lengkap, bisa dipelajari di sini: https://rumaysho.com/753-panduan-shalat-gerhana.html.

 

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. 4: 157-158. Cetakan ketiga, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Subul As-Salam Al-Muwshilah ila Bulugh Al-Maram. 3: 205-207. Cetakan kedua, tahun 1432 H. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 21 Jumadal Ula 1437 H

Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: Rumaysho.Com

Panduan Shalat Gerhana

Bagaimanakah cara melaksanakan shalat gerhana?

Berikut panduan lengkapnya.

 

Bagi yang Menyaksikan Gerhana Hendaklah Melaksanakan Shalat Gerhana

Jika seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana sebagaimana tata cara yang nanti akan kami utarakan, insya Allah.
Lalu apa hukum shalat gerhana? Pendapat yang terkuat, bagi siapa saja yang melihat gerhana dengan mata telanjang, maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.2
Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih,hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.

Catatan: Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana

Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).3
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”4 Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.

Hal-hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”5

Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat.6 Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ.7
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.”8

Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا

”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”.9

Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.”10

Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria

Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.”11

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:

صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,

أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.”12

Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.13

Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,

أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”14 Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat15. Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:

” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.

ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda,
”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”16

Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.17

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama.18

Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”19

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.”20

Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Tasyahud.

[12] Salam.

[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. 21

Nasehat Terakhir

Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.”22

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. 23
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.

Demikian penjelasan ringkas kami mengenai shalat gerhana . Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com

Wisma MTI, Pogung Kidul, sekretariat YPIA, 14 Muharram 1431 H

Footnote:

1 Sumber bacaan: detik.com
2 HR. Bukhari no. 1047
3 HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904
4 HR. Bukhari no. 1047
5 HR. Bukhari no. 1044
6 HR. Bukhari no. 1050
7 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343
8 Fathul Bari, 4/10
9 HR. Bukhari no. 1043
10 Syarhul Mumthi’, 2/430
11 HR. Bukhari no. 1053
12 Fathul Bari, 4/6
13 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345
14 HR. Muslim no. 901
15 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435
16 HR. Bukhari, no. 1044
17 Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433
18 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437
19 HR. Muslim no. 901
20 HR. Bukhari, no. 1044
21 Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438
22 HR. Muslim no. 912
23 Syarh Muslim, 3/322

Hikmah di Balik Gerhana

Ikhwati fillah,

Gerhana matahari maupun bulan merupakan fenomena alam yang ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Di mana gerhana matahari akibat posisi bulan yang berada di antara matahari dan bumi sehingga menghalangi cahayanya, dan gerhana bulan akibat posisi bumi yang berada di antara matahari dan bulan sehingga tidak bisa memantulkan cahaya matahari ke bumi.

Pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam telah terjadi satu kali gerhana matahari, tepatnya menurut ulama pada tanggal 29 Rabi’ul Awal tahun 10 Hijriah, karena memang gerhana matahari tidak terjadi kecuali pada akhir bulan Hijriah sedangkan gerhana bulan pada pertengahan bulan Hijriah. bertepatan dengan meninggalnya putra beliau tercinta yaitu Ibrahim.

Hal ini merupakan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena masyarakat jahiliyah dahulu berkeyakinan bahwa gerhana terjadi karena kematian atau lahirnya seorang bangsawan atau yang berkedudukan tinggi, maka Allah Ta’ala Hendak membatalkan keyakinan ini dengan menjadikan gerhana di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam bertepatan dengan meninggalnya putra beliau, untuk menjelaskan bahwa gerhana adalah murni phenomena alam yang ditakdirkan Allah Ta’ala dan tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun di muka bumi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Dari Abu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kebesaran Allah, di mana Allah menakuti hamba-Nya. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang manusia, akan tetapi keduanya merupakan dua tanda kebesaran Allah, apabila kalian menyaksikannya, maka laksanakan shalat dan berdoalah kepada Allah sehingga dikembalikan kembali oleh Allah” (HR Bukhari dan Muslim, nas ini lafaz Muslim 4/463 hadits nomor 1516).

Pelajaran penting yang kita bisa ambil dari gerhana matahari maupun bulan adalah:

Pertama: keduanya merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Ta’ala yang menciptakan alam semesta ini, menguasainya, serta mengaturnya. Tidak ada satupun yang dapat menghalangi Allah Ta’ala, ketika Allah Berkehendak untuk merubah aturan alam sebentar diluar kebiasaan, untuk menunjukkan betapa lemahnya manusia dan betapa agungnya Allah, maka manusia tidak layak untuk menyombongkan dirinya di hadapan Allah, jadi sepantasnya manusia tunduk patuh kepada peraturan dan hukum Allah tidak kepada yang lain.

Kedua: merupakan kehendak Allah untuk menakuti hamba-hambanya dengan mengingatkan mereka dari kelalaian dan dosa. Di mana dengan bertambahnya fitnah dan kerusakan di muka bumi yang sebenarnya karena tingkah laku manusia, maka hikmah Allah Ta’ala berkehendak untuk menyadarkan mereka, dan bahwa azab dan siksaan-Nya di neraka lebih pedih dan kekal.

Namun di zaman sekarang, di mana manusia sudah menilai kejadian di bumi hanya dengan kaca mata materi tanpa menoleh ke sisi syar’i. Mereka mengatakan ini hanya sekedar phenomena alam biasa, tanpa melihat siapa yang menakdirkannya dan apa tujuannya.

Ketiga: bahwa kejadian-kejadian alam tidak ada hubungannya dengan kematian atau lahirnya seseorang, karena jika Allah Berkehendak untuk menjadikan sesuatu, maka terjadilah. Jadi murni karena kehendak Allah, maka barangsiapa meyakini bahwa kejadian alam ada kaitannya dengan kematian dan lahirnya seseorang maka dia telah menetapkan adanya pengatur alam semesta selain Allah Ta’ala.

Wallahu a’lamu bis-shawab. [abu raidah/voa-islam.com] –

 

 

See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2009/12/31/2315/hikmah-di-balik-gerhana/;#sthash.HjKIZNEW.dpuf

Tinjauan Religius Gerhana Bulan Total dari Kajian Islam dengan Peneliti NASA

Gerhana bulan bukan semata-mata fenomena alam dan kejadian antariksa, tetapi di balik itu sarat dengan nuansa religius yang oleh agama-agama diimani sebagai Kemahakuasaan Allah terutama dalam agama Islam, Katolik dan Protestan.

Dalam hadis riwayat Buchori-Muslim disebutkan bahwa “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan bukanlah karena kematian seseorang atau kehidupannya. Maka jika kamu melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah kepada-Nya, bersedekahlah, dan shalatlah.” Bukan hanya itu, dalam Fiqih tentang Gerhana Matahari dan Bulan Oleh Ustaz Abdullah Haidir Lc, tentang Hikmah Dibalik Peristiwa Gerhana menyatakan banyak cerita khurafat dan tahayyul beredar di masyarakat seputar terjadinya gerhana.

Namun syariat telah menyatakan dengan tegas nilai-nilai yang terkandung di balik terjadinya peristiwa tersebut. Di antaranya adalah menunjukkan salah satu keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala yang Maha mengatur alam ini.

Berikut untuk menimbulkan rasa gentar di hati setiap hamba atas kebesaran Allah Ta’ala dan azab-Nya bagi siapa yang tidak taat kepada-Nya.

Bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupannya. Akan tetapi keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian menyaksikannya, maka hendaklah kalian shalat.” (HR. Bukhari) Dalam redaksi yang lain, Bukhari juga meriwayatkan, “Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupannya. Akan tetapi Allah hendak membuat gentar para hamba-Nya.” (HR. Bukhari) Hal ini juga mengingatkan seseorang dengan kejadian hari kiamat yang salah satu bentuknya adalah terjadinya gerhana dan menyatunya matahari dengan bulan, seperti Allah nyatakan dalam surat Al-Qiyamah: 8-9.

“Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan Matahari dan bulan dikumpulkan.” (QS. Al-Qiyamah: 8-9) Shalat Gerhana Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan shalat apabila menyaksikan gerhana, baik matahari maupun bulan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis di atas, juga sebagaimana riwayat adanya perbuatan Rasulullah SAW tentang hal tersebut.

Para ulama menyimpulkan bahwa hukum shalat gerhana adalah sunah. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sunahnya shalat gerhana merupakan ijma ulama (Lihat, Syarah Muslim, 6/451). Ibnu Qudamah dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa shalat gerhana merupakan sunnah mu akkadah/sunah yang sangat ditekankan (Al-Mughni, 3/330, Fathul Bari, 2/527).
Sebagian ulama bahkan menyatakan kewajiban shalat gerhana, karena Rasulullah SAW melaksanakannya dan memerintahkannya. Ibnu Qayim menyatakan bahwa pendapat ini (wajibnya shalat gerhana) merupakan pendapat yang kuat. (Kitab Ash-Shalah, Ibnu Qayim, hal. 15).

Di sisi lain, karena jarang kaum Muslim yang mengenal dan melaksanakan shalat gerhana, maka dengan melakukannya maka dia akan mendapatkan keutamaan orang yang menghidupkan sunah.

Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam di seluruh Tanah Air untuk melakukan shalat kusuful qamar atau shalat gerhana bulan di Masjid, Mushalla, atau rumah, pada Sabtu (4/4) petang hingga malam.
Berdasarkan data astronomis, pada 14 Jumadil Akhir 1436 Hijriah atau Sabtu (4/4) mulai pukul 17.15 WIB di Indonesia akan terjadi gerhana bulan total (GBT).

Hampir seluruh kawasan Indonesia dapat mengamati gerhana bulan total ini. Sedangkan puncak gerhana bulan total akan terjadi pada Sabtu pukul 19.01 WIB dan selesai pada pukul 20.44 WIB.

“Sehubungan gerhana bulan pada Sabtu 4 April 2015 mulai pukul 17.15 WIB, kepada umat Islam diserukan untuk menunaikan shalat kusuful qamar di masjid, mushalla, atau rumah,” kata Ketua Umum MUI Pusat Din Syamsuddin dalam siaran persnya.

Sementara itu, tata cara shalat gerhana bulan antara lain dianjurkan secara berjamaah dua rakaat, dengan setiap rakaat dua kali berdiri (baca al-Fatihan dan surat lain) dan dua kali ruku’, kemudian sujud seperti biasa.

Din Syamsuddin menambahkan, setelah shalat dilakukan khutbah untuk mengingat kemahakuasaan Allah SWT dan kelemahan manusia, serta kondisi kehidupan kebangsaan dewasa ini.

Sedangkan, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Machasin, juga mengimbau umat Islam melakukan shalat sunnah gerhana bulan secara berjamaah, sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, dan dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk bertakbir terlebih dahulu.

Dalam Alkitab Bagi umat Kristen Katolik dan Protestan, gerhana bulan darah atau “blood moon” itu muncul saat hari Paskah, tepatnya pada malam Paskah atau Sabtu Alleluya dan diimani dalam ajarannya sesuai dalam Kitab Suci.

Seperti dikutip dari Daily Mail (01/04), di Alkitab versi Raja James (Yoel 2:31), tertulis “Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari Tuhan yang hebat dan dahsyat itu.” Mengenai ajaran ini seorang Pastor dari Amerika, John Hagee, menyatakan bahwa hal besar akan terjadi pada umat manusia.

Berdasarkan buku berjudul “Four Blood Moons” karya Hagee, gerhana bulan berdarah yang akan terjadi pada hari Paskah nanti adalah tanda kejadian besar terjadi di Timur Tengah yang berhubungan dengan Israel.

“Aku percaya kita akan melihat sesuatu yang dramatis terjadi di Timur Tengah yang menyangkut Israel. Dan hal itu akan berdampak besar bagi seluruh dunia,” ujar Pastor Amerika itu.

Entah kebetulan atau tidak, gerhana bulan darah yang terjadi di hari ini Sabtu (4/4/2015) (antara pukul 16.00 hingga pukul 22.00 WITA) itu adalah gerhana bulan darah ketiga dalam rentetan empat gerhana bulan darah (tetrad blood moons) dalam kurun waktu dua tahun ini.

Oleh sebab itu, banyak pihak yang percaya bahwa gerhana tersebut sarat akan nuansa religius.

Gerhana bulan darah pertama dan kedua sudah terjadi pada tahun 2014. Setelah gerhana bulan darah ketiga di malam Paskah nanti, akan ada gerhana bulan darah lagi yang diprediksi terjadi tanggal 28 September 2015.

Menanggapi kemunculan empat gerhana bulan darah dalam dua tahun secara beruntun, Pastor Hagee berpendapat bila ini adalah tanda ‘akhir zaman’.

“Alkitab menyatakan ‘bila kita melihat tanda-tanda itu’, dan empat gerhana bulan darah adalah pertanda yang jelas dari akhir era ini,” ujar Hagee.

Di sisi lain, badan antariksa AS, NASA, mengatakan gerhana bulan darah Paskah adalah sesuatu yang alami dan tidak berbahaya atau berdampak besar bagi manusia.

“Saat gerhana terjadi, bulan sering terlihat kemerah-merahan karena sinar matahari yang menimpanya melewati atmosfer bumi. Ketika itu, spektrum warna biru di cahaya matahari tersaring, sehingga yang tersisa hanya warna merah saja. Namun, fenomena ini tidak berbahaya bagi manusia,” ungkap NASA.

Menurut Space.com, gerhana bulan darah ini akan terjadi tanggal 4 April dan bisa dilihat di Amerika Utara, Asia, dan Australia. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, gerhana bulan darah akan terjadi pada pukul 18.45 WIB selama kurang lebih 12 menit.

Untuk Indonesia Barat gerhana bulan total akan mulai terjadi pada pukul 17.16 WIB-20.45 WIB, untuk Indonesia Tengah gerhana akan terjadi pukul 18.16 Wita-21.45 Wita, sedangkan untuk gerhana bulan total di Indonesia timur akan terjadi pada 19.16 WIT-22.45 WIT.

Adapun proses terjadinya gerhana bulan total pada Sabtu (4/4) yakni akan dimulai dari bagian kanan bawah bulan.

Lalu puncak gerhana total akan terjadi pada pukul 18.58 WIB-19.03 WIB di Indonesia barat, 19.58 Wita-20.03 Wita di Indonesia tengah dan 20.58 WIT -21.03 WIT. Gerhana berakhir dengan lepasnya bayangan bumi dari piringan bulan sebelah kanan atas.

(Ant) (Ferro Maulana)

sumber: Aktual.com

Memahami Gerhana dengan Al-Quran

Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga Allah curahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya. Amiin.

Matahari dan bulan adalah makhluk (ciptaan) Allah SWT, sampai detik ini kedua makhluk tersebut taat (tunduk/sujud) dengan perintah Allah untuk bergerak pada porosnya dan berkeliling pada garis edarnya. Dalam Al Quran ada 10 ayat lebih yang menerangkan tentang matahari dan bulan (QS. 13:2, 14:33, 16:12, 21:33, 29:61, 31:29 dst.), berikut ini salah satunya :

وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ دَآئِبَيْنِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ (٣٣)

“Dan Dia (Allah) telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim 14:33)

Hanya Allah Ta’ala saja yang bisa berkomunikasi dengan keduanya, gerhana adalah fenomena yang hanya dialami oleh matahari dan bulan, sebagai tanda keduanya tetap tunduk/sujud dengan apa yang Allah amanatkan. Fenomena inilah yang hanya bisa dilihat oleh manusia, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat seperti teleskop, dimana keduanya masih beredar pada garis edarnya sesuai dengan perintah Allah Ta’ala yang disampaikan dalam Al Quran. Selanjutnya dalam ayat diatas Allah menunjukan tanda sujudnya bumi, dengan adanya pergantian siang dan malam. Bumi hingga kini masih berputar dan tetap taat kepada Allah untuk bersujud.

Maka selaku manusia yang taat kepada Allah Ta’ala, ketika melihat makhluk lain bersujud kepada-Nya, Apakah kita akan menentang untuk tidak bersujud ketika mendengar berita atau mengalami terjadinya gerhana? Tentu tidak, manusia yang taat akan ikut bersujud ketika ditampakkan tanda-tanda kekuasaan Allah atas ciptaan-Nya yang bersujud kepada-Nya.

Dalam surat dan ayat lain Allah berfirman,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا۟ لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَٱسْجُدُوا۟ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (٣٧)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Al Fushilat 41:37)

Betapa sayangnya Allah terhadap manusia, hingga menurunkan ayat diatas. Fenomena siang dan malam adalah cara bersujudnya bumi, maka manusia pun ikut bersujud saat itu dengan cara shalat subuh, dzuhur dan ashar, serta menjelang malam dilanjutkan dengan shalat magrib dan isya, serta qiyamul lail. Kemudian Allah mengingatkan manusia dengan kalimat “Laa yasjuduu lisy-syamsi wa laa lilqomari”. Jangan bersujud kepada matahari dan tidak juga (sujud) kepada bulan, dilanjutkan dengan “wasjuduu lillahi kholaqohunna” tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya. “inkuntum iyyaahu ta’buduun” begitulah hendaknya kamu beribadah/mengabdi.

Matahari dan bulan dengan fenomena gerhana ditunjukan oleh Allah kepada manusia bahwa keduanya tetap tunduk. Kenapa Allah tunjukan/tampakan ketundukan bulan dan matahari? Jawabannya ada di dalam Al Quran, agar manusia dapat menyaksikan kekuasaan Allah dengan modal yang diberikan-Nya kepada tiap-tiap manusia. Modal apa yang sebenarnya Allah berikan kepada tiap manusia? Berikut ayatnya,

قُلْ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ (٢٣)

“Katakanlah: “Dialah Yang menciptakan kamu (manusia) dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS.67:23).

Modal yang diberikan Allah kepada manusia ada 3, yaitu: pendengaran, penglihatan dan hati. Maka Allah Ta’ala perlihatkan gerhana agar manusia dapat melihat dengan mata-nya, mendengar berita tentang gerhana dengan telinga-nya, kalau matahari dan bulan tetap bersujud (tunduk) kepada Allah, tapi amat sedikit dari manusia yg bersyukur (memahami dengan hati-nya/ikut bersujud kepada Allah).

Rasulullah SAW sebagai suri tauladan manusia, memberikan contoh agar kita shalat ketika terjadi gerhana, maka dalam shahih bukhari ditemukan banyak hadits berhubungan dengan hal tersebut. Salah satunya terjemahan hadits-hadits tersebut sebagai berikut,

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dan Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari ‘Aisyah berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berdiri melaksanakan shalat bersama orang banyak, beliau memanjangkan bacaan, lalu rukuk dengan memanjangkan rukuk, kemudian mengangkat kepalanya, lalu membaca lagi dengan memanjangkan bacaannya namun tidak sebagaimana panjang bacaan yang pertama. Kemudian beliau rukuk lagi dengan memanjangkan rukuk, namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, lalu mengangkat kepalanya kemudian sujud dua kali. Beliau kemudian berdiri kembali dan mengerjakan seperti pada rakaat pertama. Setelah itu beliau bangkit dan bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, yang Dia perlihatkan kepada hamba-hambaNya. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka segeralah mendirikan shalat.” Shahih Bukhari No. 998.

Dengan fenomena gerhana yang baru saja terjadi, mari kita perbaharui segala sikap hidup ini dengan tiga modal yang diberikan Allah. Melalui membaca, mendengar Al Quran dan As Sunnah dengan terjemahannya, agar dapat diresapi oleh hati. Sehingga kita dapat menjadi muslim yang selalu tunduk/sujud kepada Allah, tidak seperti iblis sebagaimana Allah Ta’ala informasikan dalam Al Quran.

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ (٢١)

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al Araaf 7:12)

Andaikata ada yang kurang paham dalam memahami terjemahan dari Al Quran dan As Sunnah, maka jangan segan-segan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ulama). Definisi ulama menurut Al Quran sangat luas berikut informasi tersebut

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨)

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Faatir 35:28)

Sebagai sesama manusia yang lemah kita saling mengingatkan, dan kita serahkan segala urusan kepada Allah Ta’ala, Dia-lah (Allah) yang ahad yang mengurus semua makhluk-Nya, tanpa tidur dan tak kenal lelah. Maka andaikata ada kesalahan, semoga Allah menurukan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin, semoga Islam bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin. Amiin, Allahuma amiin.

 

sumber: Kiblat.Net

Akibat Dosa Besar

Syirik (menyekutukan atau menyelingkuhi Allah SWT) merupakan musuh akidah tauhid, karena bertentangan secara langsung dengan tauhid uluhiyyah (keesaan Dzat Allah), sehingga orang yang menyekutukan Allah berarti membuat tuhan tandingan selain Allah.

Hal ini berakibat fatal, yaitu: rusaknya iman tauhid, karena syirik merupakan dosa paling besar. Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah SWT selama pelakunya (musyrik) tidak bertaubat kepada-Nya.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS an-Nisa’ [4]: 48).

Dosa besar ternyata tidak hanya syirik, melainkan sangat beragam dan hampir pasti sering dilakukan oleh sebagian manusia. Menurut Nabi SAW, ada tujuh macam dosa besar yang dapat membinasakan manusia.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Jauhilah tujuh dosa yang dapat membinasakan. Shahabat bertanya: Apa itu ya Rasulullah? Jawab Nabi SAW: (1) syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali yang hak (dibenarkan), (4) makan harta riba, (5) memakan harta anak yatim, (6) melarikan diri dari peperangan (pengecut), dan (7) menghukum mati para  mukminat yang  baik-baik dengan tuduhan zina” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Disadari atau tidak, sebagian dosa tersebut pernah diperbuat manusia, terutama jika hatinya gelap atau tidak lagi disinari oleh cahaya Ilahi. Jika hati nurani manusia telah terkunci mati, hidupnya akan dijajah oleh hawa nafsu dan godaan setan.

Apabila ketujuh dosa tersebut dilakukan, maka akibatnya, para pendosa besar itu pasti akan binasa, menjadi manusia yang berperilaku liar seperti binatang buas, dan hidupnya sengsara dan tidak bermakna, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ancaman Allah terhadap pendosa besar di akhirat kelak adalah masuk neraka Jahannam.

Di antara faktor penyebab seseorang berbuat dosa besar adalah kurang dan lemahnya iman, kerasnya hati, kuatnya bujuk rayu setan, pengaruh lingkungan pergaulan yang buruk, derasnya arus materialisme, kuatnya iming-iming menjadi kaya dengan jalan pintas, dan minimnya pendidikan agama yang memadai.

Selain itu, dosa besar boleh disebabkan oleh taklid buta, mengikuti kepercayaan nenek moyang yang keliru, seperti dosa syirik yang diperbuat oleh masyarakat Jahiliyah.

Mereka menyembah berhala karena orang tua dan nenek moyang mereka melakukan hal yang sama. Karena itu, pendidikan tauhid harus mampu merubah sikap mental peserta didik untuk tidak taklid buta lagi, dan ditransformasi menjadi ittiba’  (mengikuti ajaran atas dasar pemahaman ilmu pengetahuan) dan sikap tajdid (pembaruan pemikiran).

Namun demikian, sebesar apapun dosa yang dilakukan manusia, Allah itu Maha Pengampun dan Penerima taubat.  Jika pelaku dosa besar ini mau bertaubat dengan sungguh-sungguh, pasti Allah Swt akan mengampuninya.

Dalam hal ini, Ibn ‘Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada yang disebut dosa besar jika diakhiri dengan istighfar (bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah); dan tidak  yang disebut dosa kecil jika dilakukan secara terus-menerus.” (HR. Ibn Abi ad-Dunya)

Karena itu, jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil; karena jika dibiarkan dan terus-menerus dilakukan, maka dosa kecil itu akan menjadi dosa besar.

Sebaliknya jangan pernah berkecil hati terhadap dosa besar; karena dosa besar ini akan segera mengecil, dan bahkan menjadi nihil, jika pelakukan bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan memohon ampunan Allah Swt, serta berkomitmen untuk tidak pernah mengulanginya lagi.

Pada saat melakukan dosa besar, seseorang boleh jadi bersikap acuh takacuh. Pendosa besar mungkin tidak pernah tahu akan akibat dan konsekuensi logis yang akan dialaminya. Yakinlah bahwa perbuatan dosa, apalagi dosa besar, akibatnya juga besar.

Tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Pada saat di dunia, hati pendosa besar akan semakin kelam dan perilaku juga buruk, sedangkan di akhirat nanti, ancaman hukuman siksa neraka pasti tidak akan bisa dihindari, selama sang pendosa tidak bertaubat, kembali ke jalan yang benar dan beristighfar.

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang selalu bertaubat, beristighfar, dan memohon pertolongan kepada-Nya, dalam kondisi suka maupun duka, di saat menderita apalagi saat bahagia, untuk tidak sama sekali melakukan dosa besar, karena akibatnya pasti lebih besar: dosa-dosa itu tidak diampuni dan dibalas dengan siksa neraka yang superdahsyat.

 

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber: Republika Online

 

Mendoakan Orang Tua yang Meninggal, Sampaikah?

Seorang anak sudah sepatutnya selalu mendoakan kedua orang tuanya saat ajal sudah menjemput mereka. Hal ini karena doa anak akan menjadi tumpuan orang tua saat berada di alam akhirat.

Dalam ajaran Islam telah dijelaskan bahwa terdapat tiga amal perbuatan yang tidak pernah terputus ketika ajal menjemput kedua orang tua kita. Hal ini sudah ditegaskan dalam sebuah hadis yang artinya,

“Bila manusia telah mati maka putuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu Shadaqah jariyah, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akannya. (Shahih Muslim, IV, 71-72).

Hadis ini secara tersirat menjelaskan bahwa untaian doa seorang anak kepada orang tuanya menjadi sangat berarti bagi ketenangannya di alam barzah. Doa anak diibaratkan air yang bisa menyejukkan dan menyegarkan dahaga saat di padang tandus.

Namun, apakah doa anak shaleh tersebut sampai kepada orang tua yang telah meninggal? Padahal, Allah telah berfirman, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya“. (QS Al-Najam [53]: 39).

Terkait hal ini terjadi perbedaan pendapat dalam mazhab. Menurut mazhab Imam Syafi’i seseorang tidak bisa memberikan manfaat dalam bentuk apa pun kepada orang tua yang sudah meninggal. Sementara, mazhab Imam Hanafi, Imam Maliki, dan mazhab Hambali berpendapat bahwa doa itu pasti sampai dan sangat bermanfaat bagi orang yang telah mati.

Menyikapi perbedaan tersebut, ulama Al-Syawkani mencoba mengambil jalan tengah di antara kedua pendapat tersebut. Menurut dia, keberadaan anak tersebut juga termasuk dalam usaha yang dilakukan oleh orang tua, sehingga hal itu termasuk dalam bingkai makna ayat dalam surah Al-Najam tersebut. Dengan demikian, pahala doa seorang anak akan sampai kepada orang tuanya yang sudah meninggal.

 

sumber: Republika Online