Menonton Infotaintment, Bolehkah?

Siapa yang tidak tahu tayangan infotaintment? Sebuah sajian informasi dari pesohor yang menceritakan aktivitas dan kehidupan pribadinya. Mulai dari kisah percintaan, kisah pernikahan, geger perceraian, hingga konflik antarselebritas.

Tak jarang tayangan infotaintment mengeksploitasi aib, kejelekan, gosip, kekerasan, perselingkuhan, bahkan tak jarang berisi saling fitnah.

Tak sedikit kaum wanita menyukai tayangan ini. Terlebih, jam acaranya diputar saat ibu rumah tangga menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Lalu, apakah melihat tayangan infotaintmentdiperbolehkan?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara khusus pernah dimintakan pendapat soal infotaintment. MUI menjelaskan melihat tayangan infotaintment yang mengeksploitasi aib, kejelekan, dan gosip sebagai sarana memperoleh popularitas, lahan pekerjaan, sarana hiburan dan mencari nafkah, umat perlu berhati-hati dalam melihat tayangan tersebut.

Jika tayangan tersebut bersifat menggunjing orang lain, hal tersebut dilarang. Terlebih, jika mencari-cari keburukan orang. Hal ini didasarkan pada Alquran surah al-Hujurat ayat 12.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan jangan menggunjingkan satu sama lain.”

Lalu, apa pengertian menggunjing, ghibah, dan fitnah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Ghibah adalah bercerita tentang saudara kalian tentang hal yang ia benci. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana jika yang saya ceritakan benar-benar nyata dan ada pada orang itu?’ Nabi SAW menjawab, ‘Jika apa yang kamu katakan tentang saudaramu itu benar adanya, maka telah melakukan ghibah. Namun, apabila yang kamu katakan tidak benar, maka kamu telah melakukan kedustaan (fitnah) kepadanya.’” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam al-Qurtubi mengomentari kelanjutan surah al-Hujurat ayat 12 bahwa orang yang menggunjing ibarat memakan daging saudaranya yang sudah mati. Imam al-Qurtubi menjelaskan perumpamaan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati tidak dapat mengetahui jika dagngnya dimakan orang lain. Seperti halnya saat ia hidup, ia tidak mengetahui saat digunjingkan orang lain.

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memperbolehkan ghibah jika ada alasan-alasan syariat. Dengan catatan, tidak ada cara lain selain itu. Sebab, kata Imam Nawawi, kebolehan melakukan ghibah itu, antara lain, dengan ghibah itu ia berupaya mengubah kemungkaran dan mengembalikan perbuatan orang maksiat pada kebenaran.

Untuk itu, Komisi Fatwa MUI memberikan rekomendasi jika tayangan infotaintment menyiarkan aib, kejelekan, gosip, dan hal lain sejenis pribadi, hukumnya tidak boleh. Termasuk menonton, membaca, dan mendengarkan informasi tersebut.

Membuka aib, kejelekan orang lain, dan hal lain yang bersifat pribadi diperbolehkan jika terdapat alasan syar’I, seperti kepentingan penegakan hukum, memberantas kemungkaran, memberi peringatan, serta menyampaikan pengaduan atau meminta fatwa.

 

sumber: Republika Online

Suka Tidur Habis Shalat Shubuh? Simak Fatwa Berikut ini

Tidur sehabis shalat Shubuh, memang jamak dilakukan oleh sebagian orang, tak hanya di dalam negeri, kegiatan serupa juga kerap dijumpai di luar negeri.

Apa sebetulnya pandangan fikih terhadap aktivitas tidur langsung usai shalat shubuh?

Ada dua pendapat menyikapi hukum tidur segera setelah shalat shubuh. Pandangan yang pertama mengatakan bahwa, tidur pada jam tersebut diperbolehkan.

Menurut pendapat ini, tak ada dalil yang secara tegas melarang tidur usai shalat shubuh. Bahkan menurut Syeh Muhammad Shalih al-Munjid, sebagian kecil sahabat dan tabiin mempunyai kebiasaan ini.

Tidur sehabis shubuh, menurut pendapat ini juga, boleh dilakukan selama memang kebutuhannya menuntut demikian. Misal mereka yang terkena serangan susah tidur (imsonia) atau para pekerja yang mendapatkan shift malam.

Catatan pengecualian ini seperti pernah disampaikan oleh Imam Ibn al-Qayyim dalam Kitab Zaad al-Ma’ad.  

Sementara dinukilkan dari Kitab al-Fawakih ad-Dawani, Imam Malik pernah ditanya soal hukum tidur bakda shalat Shubuh. Ia berpendapat aktivitas ini tidak haram.

Namun, kembali menurut Syekh al-Munjid, sebagian ulama menghukumi makruh tidur tepat setelah menunaikan shalat shubuh. Ini karena, pada waktu itulah, Allah SWT membagikan rezeki bagi para hamba-Nya.

Dalam sebuah hadis riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Hibban, suatu saat Rasulullah SAW mendapati Fatimah tengah tiduran usai shalat shubuh.

Lalu Rasul berkata,’ Wahai Fatimah bangun dan saksikanlah rezeki Tuhanmu dan jangan sampai masuk golongan orang lalai, karena sesungguhnya Allah membagi rezeki hamba-Nya sejak habis munculnya waktu fajar hingga terbit matahari.”

Atas dasar inilah sejumlah ulama memandang hukum tidur setelah shalat shubuh makruh. Dalam Kitab Ghidza al-Albab’ Syarh Manzhumat al-Albab, Imam as-Sifaraini mengatakan hendaknya seorang Muslim tidak tidur pada waktu-waktu tersebut.

Imam as-Suyuthi, dalam Kitab Tadzkirahnya menjelaskan tidur pada waktu usai shalat Shubuh adalah salah satu pertanda kefakiran seseorang. Sebab, seperti hadis riwayat Ahmad, Dawud, dan lainnya, keberkahan umat Muhammad SAW, terletak di awal pagi.

 

 

sumber:Republika Online

Hisablah Sebelum Engkau Dihisab

(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)

Ayat Allah SWT di atas menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil.

Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun, Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.

Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiapsiaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak. Allah, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. 59:18).

Persiapan yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan takwa, karena itulah bekal manusia yang paling baik di sisi Allah. Umar ra pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab). Allah juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan surga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS 3:133)

Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah secara berkala, karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggung jawabannya kelak di hadapan Allah ( QS. 50:17-18). Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya (QS. 99:7-8).

Bila mengingat dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin. Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Ke mana tempat lari? Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”. (QS. 75:7-12).

Rasulullah SAW juga pernah bersabda ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, pemuda yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan air mata karena takut kepada Allah.

Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antre dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.

Dan memang ada tiga harta yang tak akan kena hisab, yakni satu rumah yang hanya berupa satu kamar untuk bernaung, pakaian selembar untuk dipakai dan satu porsi makanan setiap hari yang sekadar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.

Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja, karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.

Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja demikian keadaannya, bagaimana pula kita?

Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangkrut di hari penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggung jawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena, ternyata amal saleh yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka. //Naudzubillahmindzalik//.

 

 

Oleh: Umar Yusuf *)

*) Kepala Departemen Dakwah & Komunikasi Yayasan Babussalam Al-Muchtariyah Pusat Bandung

 

Tahun Baru Hijriah, Lalu Kapan Kita Berhijrah?

Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alun-alun.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar meski biasanya tidaklalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib biasanya tidakdan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.

Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau evaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ininya lebih buruk dari kemarinnya, celakalah orang itu.”

Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin yang merupakan mayoritas ini selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.

Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..

Secara ritual kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.

(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beritikaf, timbul suuzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).

Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan biaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan syiar sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program keagamaan. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan siraman ruhani dan dzikir bersama yang menghibur.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.

Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.

Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.

Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram. Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak atas nama amar maruuf dan nahi anil munkar mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.

Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti merasa paling memiliki negara ini.

Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.

Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.

Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana. Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.

Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.

Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun. Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.

Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia. Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.

Wabadu; jangan-jangan selama ini meski kita selalu menyanyikan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

 

Oleh : H Mustafa Bisri

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di situs KH. Mustofa “Gus Mus” Bisri, 31 Desember 2008.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2245208/tahun-baru-hijriah-lalu-kapan-kita-berhijrah#sthash.4Jn7JTqa.dpuf

Prinsip Gerak dalam Hijrah

Hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa fenomenal. Hal itu terlihat dari kemajuan dakwah Islam setelah peristiwa hijrah tersebut. Hanya dalam waktu singkat yaitu sekitar 13 tahun setelah hijrah, dakwah Islam berkembang pesat hampir ke seluruh Jazirah Arab.

Padahal, ketika Rasulullah SAW masih di Makkah dalam rentang waktu 10 tahun, yang menyambut dakwah Islam jumlahnya dapat dihitung dengan jari.

Sesungguhnya fenomena hijrah menghasilkan kemajuan sudah dijanjikan oleh Allah SWT. “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4]: 100).

Aktivitas hijrah yang menghasilkan kemajuan bukan hanya fenomena ekslusif hijrah Rasul SAW, tapi merupakan fenomena universal. Hampir semua negara dan peradaban besar di dunia dibangun oleh masyarakat pendatang (muhajir).

Dalam konteks modern, Amerika Serikat salah satu negara termaju di dunia baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun sosial budaya dibangun oleh masyarakat pendatang (muhajir).

Demikian juga kelompok masyarakat yang menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi di Indonesia adalah etnis pendatang, yaitu Cina. Bahkan kelompok masyarakat yang maju secara ekonomi, sosial, dan budaya di kota-kota besar, khususnya di Indonesia, sebagian besar penduduk pendatang, bukan penduduk asli.

Lantas, ada apa di balik fenomena hijrah tersebut? Hijrah secara bahasa berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain. Peristiwa pindah ini biasa juga disebut gerak. Sesungguhnya pada gerak inilah rahasia kemajuan di balik peristiwa hijrah. Di alam ini segala sesuatu yang bergerak keberadaannya relatif lebih sehat dan maju.

Otak kita yang sering digerakkan untuk berpikir akan jauh lebih sehat dan berkembang dibanding dengan otak yang tidak pernah digerakkan untuk berpikir. Hati yang digerakkan melalui berzikir juga akan relatif lebih sehat dibanding dengan yang tidak pernah digunakan untuk berzikir.

Demikian juga dengan tubuh yang digerakkan melalui olahraga, ia akan lebih sehat dibanding dengan tubuh yang tidak pernah diolahragakan. Fenomena gerak yang menghasilkan kesehatan tidak hanya terjadi pada makhluk hidup, tetapi juga terjadi pada makhluk mati.

Air yang mengalir (bergerak), misalnya, lebih sehat dari air yang tergenang. Sebersih-bersih air jika tidak bergerak (tergenang), ia akan menjadi sumber penyakit.

Imam Syafi’i dalam sebuah syair pernah berkata, “Sesungguhnya aku pernah melihat air tergenang itu merusak. Jika air itu mengalir menyehatkan dan jika tergenang akan merusak (sumber penyakit).

Jadi, prinsip gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain merupakan prinsip dasar pada hijrah yang menghasilkan kemajuan. Oleh karena itu, pantas kalau Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk senantiasa bergerak dengan melakukan perjalanan di atas bumi.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS an-Nahl [16]: 36). Wallahu a’lam.

 

 

Oleh: H Karman

sumber: Republika Online

Arti dan Makna Tahun Baru Islam Hijriah

Tahun baru Islam hijriah memberikan arti dan makna tersendiri bagi umat Islam. Pasalnya, jika warga dunia merayakan tahun baru dengan penanggalan masehi, umat Islam menyambut tahun baru Islam menggunakan penanggalan hijriah.

Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai arti dan makna tahun baru Islam hijriah, kita coba ulas tentang apa tahun baru Islam dan bagaimana sejarah tahun baru Islam? Jika kita sudah mengetahui apa dan sejarah tahun baru Islam, maka selanjutnya kita akan mudah memaknai arti tahun baru Islam.


Apa itu tahun baru Islam?
Tahun baru Islam adalah pergantian tahun dalam Islam menggunakan perhitungan bulan. Tahun baru Islam dihitung sejak Nabi Muhammad Saw hijrah dari Mekah menuju Madinah sehingga penanggalan dalam Islam dinamakan Hijriah.

Berbeda dengan penanggalan nasional dan dunia pada umumnya menggunakan perhitungan Masehi dengan sistem matahari dan dimulai pada zaman Nabi Isa As.

Tahun baru Islam dalam tradisi Jawa disambut dengan awal bulan satu Suro. Dalam Jawa, malam 1 Suro identik dengan nuansa mistis yang dipercaya menjadi malam yang disukai mahkluk gaib.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa tahun baru Islam adalah pergantian tahun umat muslim yang menggunakan metode penanggalan bulan (qomariyah) dan dimulai sejak Nabi Muhammad Saw hijrah dari Mekah ke Madinah.

Sejarah tahun baru Islam
Sejarah tahun baru Islam berawal dari kebimbangan umat Islam saat menentukan tahun. Hal ini tidak lepas dari fakta sejarah pada zaman sebelum Nabi Muhammad, orang-orang Arab tidak menggunakan tahun dalam menandai apa saja, tetapi hanya menggunakan hari dan bulan sehingga membingungkan.

Sebagai contoh, pada waktu itu Nabi Muhammad lahir pada tahun Gajah. Hal ini menjadi bukti bahwa pada waktu itu kalangan umat Arab tidak menggunakan angka dalam menentukan tahun sehingga membingungkan.

Berawal dari sini, pada sahabat berkumpul untuk menentukan kalender Islam, salah satu di antaranya yang hadir adalah Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Thalhan bin Ubaidillah.

Mengenai sejarah kalender Islam, mereka ada yang mengusulkan kalender Islam berdasarkan hari kelahiran Nabi Muhammad, ada yang mengusulkan sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul.

Namun, usul yang diterima adalah usulan dari Ali Bin Abi Thalib di mana beliau mengusulkan agar kalender hijriah Islam dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah dan Madinah.

Dari usul Ali inilah sejarah kalender Islam pertama kali dibuat dan sejarah tahun baru Islam pada mulanya ada.

Arti tahun baru Islam
Jika menengok sejarah tentang lahirnya kalender Islam pertama kali, tentu arti tahun baru Islam menjadi meomentum pergantian tahun Islam dari tahun satu ke tahun berikutnya, misalnya dari tahun baru Islam 2014 menuju tahun baru Islam 2015 menuju tahun baru Islam 2016 dan seterusnya.

Tahun baru Islam memiliki arti tersendiri bagi umat muslim untuk merayakan tahun baru Islam dengan berbagai aktivitas Islami dan hal-hal yang bernilai positif. Bagi orang Jawa, tahun baru Islam bersamaan dengan malam satu Suro disambut dengan berbagai perayaan tirakat, begadang sampai pagi, dzikir, dan hal-hal yang dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Arti tahun baru Islam pada masing-masing orang tentu berbeda. Tapi, secara global arti tahun baru Islam diharapkan bisa memberikan angin baru bagi segenap umat Muslim untuk berbuat lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Makna tahun baru Islam
Makna tahun baru Islam bahwa Nabi Muhammad hijrah dari Mekah menuju Madinah merupakan peristiwa penting lahirnya Islam sebagai agama yang berjaya.

Dari peristiwa hijrah, Islam berkembang pesat di Madinah yang pada akhirnya berkembang dan meluas hingga ke Mekah dan daerah-daerah sekitarnya. Nabi Muhammad sendiri berhijrah bukan tanpa alasan, tetapi mendapatkan wahyu sekaligus bentuk respon untuk menanggapi sikap masyarakat Arab yang kurang berkenan dengan ajaran Islam.

Dampak dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad ini, Islam mulai menunjukkan taringnya dan negara Islam (daulah Islamiyah) terbentuk. Daulah Islamiyah pada zaman Nabi sangat menjunjung tinggi toleransi yang termaktub dalam Piagam Madinah.

Tahun baru Islam Hijriah jatuh pada tanggal 1 Muharram dan umat muslim di Indonesia biasanya merayakan dengan berbagai agenda, seperti pawai obor atau semacam takir keliling, pengajian, hingga memaknai tahun baru Islam dengan agenda-agenda yang mengkolaborasikan budaya Jawa.

Akhirnya, saya hanya ingin mengatakan satu hal saja mengenai makna tahun baru Islam. Bahwa, puncak kejayaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi segenap alam semesta) yang membawa kebenaran, kebaikan, mengajarkan cinta dan kasih sayang, dan simbol lahirnya keadilan dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah yang dijadikan sebagai peletak dasar kalender Islam Hijriah.

Oleh karena itu, mari kita merayakan dan memaknai tahun baru Islam dengan menyebarkan kebaikan, cinta, dan kasih sayang kepada segenap makhluk Allah di alam semesta.

Melihat Ka’bah di Masa Lampau

Mobil diparkirkan di pinggir jalan setelah menempuh perjalanan 20 kilometeran dari Masjidil Haram. Udara Ahad pekan lalu sungguh terik. Setelah membuka pintu mobil, kami langsung berlari kecil menuju sebuah gedung megah yang berada dekat wilayah padang pasir Hudaibiyah.

Kami dari tim Media Center Haji (MCH) siang itu mengunjungi Museum Arsitektur Dua Masjid Suci yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Ka’bah. Mengunjungi museum ini selalu menjadi satu paket dengan ziarah ke peternakan unta di padang pasir Hudaibiyah dan masjid Hudaibiyah yang menjadi titik miqat bagi jamaah umrah.

Beberapa jamaah memilih melihat-lihat dahulu Museum Kab’bah sebelum bertandang ke peternakan unta sebelum akhirnya mengambil miqat di Masjid Hudaibiyah untuk melakukan umrah. Tapi, ada juga jamaah yang datang ke museum dalam kondisi sudah berpakaian ihram. ‘’Kami awalnya mau ke museum dulu. Tapi, berhubung penuh, kami baru ke sini setelah miqat dari Masjid Hudaibiyah,’’ kata Niam dari kloter SOC-41.

Seperti dilaporkan Didi Purwadi, wartawan Republika dari Tanah Suci, Museum memamerkan benda-benda kuno yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah dua masjid suci di Makkah dan Madinah. Ada beberapa benda yang sudah sangat tua berusia ribuan tahun. Salah satunya tangga untuk naik ke pintu Ka’bah yang dibuat tahun 1240 H.

Ada juga pintu kayu Ka’bah yang kabarnya dibuat awal abad 14 M. Ada pintu mimbar Ottoman di Masjid Nabawi yang dibuat atas perintah Sultan Murad III pada 998 H. Begitu pula replika sumur tua zamzam yang dulu dilingkari dengan pagar almunium berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 3 meter dan tinggi 1,5 meter.

Bagian ini menampilkan pagar lama sumur zamzam dan ember kuningan dengan tahun pembuatan 1299 H. Ember digunakan untuk menimba air sebelum ada sistem pompa. Mesin jahit tua untuk menjahit kain penutup Ka’bah juga ditampilkan di museum ini.

Museum Ka’bah tidak hanya menghadirkan masa lalu Ka’bah dalam potongan benda-benda kunonya. Masa lalu juga dihadirkan dalam potongan-potongan foto jadul Makkah dan Madinah dari hasil jepretan fotografer Mesir, Sadiq Bik, pada kurun waktu 1297-1298 H. Foto-foto tersebut merupakan koleksi almarhum Pangeran Sultan bin Abdul Aziz yang disumbangkan untuk museum.

Museum yang buka setiap hari selama musim haji itu juga membuka rasa penasaran jamaah yang ingin mengetahui apa yang terdapat di dalam Ka’bah. Beberapa barang atau benda di dalam Ka’bah yang berusia ratusan tahun ini dipamerkan di museum yang buka mulai pukul 08.00 sampai 14.30 dan 16.00 sampai 22.00 waktu Saudi ini.

Ada lemari kayu berbentuk kotak dengan ukuran sisi-sisinya sekitar 1,2 meter. Posisi lemari ini tepat berada di depan pintu Ka’bah dari posisi dalam. Ada juga tiang setinggi 9 meter dengan diameter 50 cm yang menjadi penyangga bagian dalam Ka’bah. Jumlahnya sebanyak tiga tiang.

Mengelilingi sudut-sudut Museum Arsitektur Dua Masjid Suci seperti menapaki masa lalu Makkah dan Madinah. Dan, pengunjung museum yang datang dari berbagai negara termasuk jamaah haji Indonesia tak ingin melewatkan momen masa lalu. Mereka berswafoto (selfie) dengan latar benda-benda kuno Ka’bah atau Masjid Nabawi.

 

sumber: Republika Online

Belajar Kematian Kepada Nabi Idris as

Di langit ke empat Rasulullah saw diantar Jibril bertemu dengan Nabi Idris as. Ia berada dalam posisi di atas. Karena demikianlah karunia yang diberikan Allah swt kepadanya. Nabi Idris adalah nabi yang pernah merasakan surga selama hidup di dunia. Dia pula yang pernah diberi keistimewaan oleh Allah swt untuk merasakan kematian dalam kehidupan. Karena Allah swt tidak memperbolehkan siapapun masuk surga sebelum mati terlebih dahulu.

فلما رفعه باذن الله تعالى سأل ربه دخول الجنة فقيل له لايدخلها الا من ذاق الموت فسأل ربه الموت…

Ketika Idris diangkat oleh Allah diapun meminta agar dimasukkan surga, tetapi tidak diperbolehkan kecuali sudah mati. Kemudian Nabi Idris as.pun meminta kepada Allah swt kematian.

Meskipun tidak ada keterangan mengenai isi pembicaraan antara Rasulullah saw dan Nabi idris as. akan tetapi perjumpaan itu memberikan banyak pemahaman kepada Rasulullah saw makna kematian. Bahwa kematian yang pernah dianugerahkan Allah swt kepada Nabi Idris as. dapat diterapkan dalam kehidupan manusia dalam berbagai makna. Diantaranya mati dalam arti usaha menindas keinginan nafsu. Demikian Rasulullah saw pernah bersabda:

موتوا قبل تموتوا ومن اراد ان ينظر الى الميت يمشى على وجه الأرض فلينظر الى ابى بكر

Matilah engkau sebelum datang kematian. Siapa yang ingin melihat mayat berjalan di permukaan bumi, lihatlah Abu Bakar.

Begitu pula haditsnya yang berbunyi:

الناس نيام واذا موتو انتبنوا

Semua manusia sebenarnya dalam keadaan tidur, apabila mati, barulah mereka bangun.

Yang dimaksud dengan mati di sini adalah mati maknawi bukan mati hissi. Yaitu mati semua nafsu amarahnya, termasuk diantaranya adalah tidak pernah merasa kuat, tidak pernah merasa mulia, tidak pernah merasa benar dan lain sebagainya. Karena barang siapa masih merasa memiliki sifat kehidupan berarti hawa nafsunya belum mati, karena semua itu pada hakikatnya adalah milik Allah swt. dan manusia hanya diberikan  sedikit hak untuk menggunakannya.

 

 

sumber: Suara Nahdlatul Ulama

Nabi Idris alaihissalam

Nabi Idris alaihissalam adalah kakeknya ayah Nabi Nuh alaihissalam sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari. Beliaulah yang pertama kali pandai menulis dan membaca. Kepadanya diturunkan 30 shohifah (kitab) oleh Allah yang di dalamnya berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya (keturunan Qabil yang durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala).

Nabi Idris juga adalah manusia pertama yang pandai berkuda, mengurus hewan ternak, bisa berhitung, dan juga orang pertama yang berjihad fi sabilillah untuk memerangi orang-orang yang durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau bernama Idris karena banyak mempelajari kitab-kitab yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Adam dan Nabi Syits. Nabi Idris juga merupakan orang pertama yang pandai menggunting pakaian dan menjahit, dimana sebelumnya manusia memakai pakaian yang terbuat dari kulit binatang. Nabi Idris alaihissalam tidak pernah lalai sedikitpun dari mengingat Allah walaupun hari-harinya dipenuhi kesibukan. Nabi Idris mempunyai kekuatan fisik yang prima dan memiliki sifat yang pemberani sehingga dirinya dijuluki sebagai Asadul Usud (singa dari segala singa). Ini dikarenakan Nabi Idris dengan gagahnya memerangi orang-orang yang durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala juga memberikan derajat yang tinggi kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kepada mereka kisah Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an, sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi, dan Kami telah mengangkatnya kepada martabat yang tinggi.” (Qs. Maryam: 56-57)

Umat manusia pada zaman Nabi Idris alaihissalam sering berbuat maksiat dan berlaku dzalim, baik kepada keluarga maupun kepada masyarakat. Kehidupan manusia pada zaman itu dipenuhi dengan rasa permusuhan dan mereka seringkali berbuat kerusakan di muka bumi. Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Idris alaihissalam ke tengah-tengah mereka. Sesungguhnya hal itu diperuntukkan agar mereka mau mengikuti wahyu Allah subhanahu wa ta’ala sehingga mereka mendapatkan keselamatan di akhirat. Menurut pendapat sebagian ahli tafsir, dikatakan bahwa pada saat ada kesempatan bagi Nabi Idris alaihissalam untuk berkenalan dengan para malaikat, maka Nabi Idris mempunyai keinginan untuk melihat alam ghaib (naik ke langit). Keinginan nabi Idris itu pun dikabulkan Allah subhanahu wa ta’ala sehingga naiklah nabi Idris ke langit yang keempat, dan sebagian ulama mengatakan ke langit keenam. Wallahu a’lam bish shawab.

Diriwayatkan dalam hadits sahih Bukhari dari Anas bin Malik bahwa ketika Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj, beliau bertemu dengan Nabi Idris yang menyambutnya dengan berkata, “Selamat datang wahai nabi yang shaleh.” Maka nabi Muhammad bertanya kepada malaikat Jibril yang mendampinginya saat itu, “Siapakah dia?” Malaikat Jibril menjawab, “Dialah Idris.”

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ingatlah akan kisah Ismail, Idris, dan Zulkifli, masing-masingnya masuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar. Kami masukkan mereka iti ke dalam rahmat Kami, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang shaleh.” (Qs. Anbiya: 85-86)

Demikianlah kisah mengenai Nabi Idris alaihissalam. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari kisah ini, dan semoga kisah ini semakin menambah khazanah pengetahuan kita tentang kisah para nabi.

 

sumber: Lampu Islam

Provinsi Homs Kembali Dihancurkan Rezim dan Sekutu

Seorang reporter lokal melaporkan, setelah Shalat Jum’at selesai dilaksanakan, rezim kembali menembakkan artileri dan serangan udaranya di wilayah Rastan, Homs, yang mengakibatkan 4 orang tewas dan 21 lainnya luka-luka.

Reporter Zaman Al Wasl mengatakan, penembakkan berat di wilayah Homs, beberapa hari ini telah terjadi dan penyerangan tersebut dimulai setelah sehari wilayah al-Waer terbebas dari pengepungan.

Sejak saat itu, pesawat tempur rezim terbang diatas wilayah Homs, dan malam harinya pesawat tempur Rusia membom wilayah Northern, Homs dengan senjata yang dilarang seperti bom cluster dan lainnya.

Serangan rezim dan Rusia tidak hanya menargetkan wilayah Homs saja, melainkan hampir seluruh penjuru Suriah baik itu Hama, Aleppo, Damaskus, Idlib dan lain-lain tidak ada hari tanpa serangan rezim dan sekutu. (Eka Aprila)

 

 

sumber: Bumi Syam