Jadilah Pemburu Surga

Islam tidak akan dapat tegak, kecuali dengan perjuangan para penganutnya. Islam tidak akan tertanam, kecuali dengan siraman darah. Oleh karena itu, guru kita, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa salam, gagah berani – dalam semua arti yang dikandung kata – ‘berani’. Para sahabat beliau juga orang-orang yang pemberani. Abu Bakar seorang siddiq, Umar terbunuh, Utsman juga tewas, Ali mandi darah. Delapan puluh persen sahabat beliau terbunuh.

Sehari sebelum perang Uhud, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda diatas mimbar :

“Demi Allah yang menggenggam jiwaku, setiap orang yang terbunuh di jalan Allah pasti datang pada hari Kiamat seperti keadaannya ketika terbunuh didunia. Warnanya warna darah, tapi baunya bau minyak kesturi”.

Dalam hadist lainnya Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah berfirman kepada para syuhada pada hari Kiamat. Siapa yang membunuh kalian?” Mereka menjawab, “Musuh-musuh-Mu”. Dia berfirman lagi, “Mengapa kalian dibunuh?” Mereka menjawab,”Kami terbunuh karena perjuangan di jalan-Mu. ‘Dia berfirman, “Aku telah mengampuni kalian”.

Kita perlu menengok perang Uhud agar kita bisa melihat, bagaimana para leluhur kita dahulu, bagaimana keadaan kita sekarang, an apa yang kita berikan kepada Islam?
Mana para syuhada hari ini?
Mana para pahlawan Islam hari ini?
Mana peran kita dalam menyebarkan Islam hari ini?
Mana darah? Mana harta? Mana waktu? Mana pengorbanan?
Semuanya kosong.

Sehari sebelum pecah perang Uhud, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahab at. Beliau mengumumkan hendak memerangi Abu Sufyan dan kaum musyrikin. Beliau bertanya kepada para sahabat, “Bagaimana pendapat kalian?Apakah kita memerangi mereka di lorong-lorong kota atau kita cegat mereka di gunung Uhud”.

Orang-orang tua menjawab, “Wahai Rasulullah, lebih baik kia tetap di tempat, bertahan di lorong-lorong dan rumah-rumah kita. Kalau mereka malsuk kota.klta perangi mereka”. Beliau pun setuju. Tetapi, baru selesai ucapan itu, para sahabat yang berusia muda, yan g berjumlah delapan puluh orang, keluar, lalu menghunus pedang dan memasang besi pelindung di kepala. Kemudian mereka melantunkan nasyid di luar masjjid dengan suara lantang.”Kami adalah orang-orang yang membaiat Muhammad untuk berjihad selamakami hidup”, tandas mereka.

Kemudian, seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahun berkata nyaring,”Wahai Rasulullah, pimpinlah kami ke Uhud. Jangan halangi kami masuk surga! Demi Allah, saya pasti masuk surga”. Mendengar gelora penuh semangat itu, Rasulullah bangkit. Setiap bulu di tubuh beliau berdiri. Setiap tetes darah beilaiu bergejolak. Beliau lalu berdiri. Beliau mengumumkan bahwa pintu-pintu surga telah dibuka dan Allah telah menempatkan diri kepada hamba-hamba-Nya . “Dengan apa kamu masuk surga?”, tanya beliau kepada para pemuda itu?

Para pemuda itu menjawab, “Dengan dua h al. Pertama, saya mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan saya tidak lari dari medan pertempuran”. Kemudian air mata Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam mengalir. Dengan mengangkat kedua tangan beliau bersabda, “Kalau kamu jujur kepada Allah, Dia pasti akan membalas kejujuranmu”.

Allah berfirman :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS : al-Ankanbut : 69)

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tak lama, berangkat menuju medan perang. Beberapa saat sebelum perang berkecamuk, beliau mencabut pedangnya dan bertanya, “Siapa yang ma memegang pedang ini?”. “Kami semua ingin memegangnya”, jawab para sahabat. Abu Dujanah bertanya, “Apa hak pedang ini, wahai Rasulullah?”, tanyanya. “Haknya adalah menebaskannya kepada kaum kafir hingga ia bengkok”, tegas Rasulullah.

Pernah anda mendengar ada pedang yang bengkok, karena digunakan membunuh musuh? Ya, ada .. dengan telapak tangan sahabat-sahabat Muhammad Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Kemudian Abu Dujanah mengambil pedang itu, sambi bersyair.

“Akulah yuang berjanlji kepada kekasihku,
Tatkala kami befrada di gunung diantara rumpun kurma ..
Untuk selamanya tidak berdiri di barisan belakang
Aku membunuh dengan pedang Allah dan Rasul ..”

Kemudian Abu Dujanah menggunakan pedang untuk berperang dan membunuh orang-orang kafir, hingga pedang itu bengkok. Lalu, dia mengembalikan pedang bengkok kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Para pahlawan lahir bermunculan.

intu-pintu surga dibuka. Para malaikat ikut meramaikan pertempuran. Pintu-pintu langit dibuka, menurunkan tentara yang dikomandani Jibril as. Dan turun diatas gunung Uhud.
Agama ini lenyap dari muka bumi atau kebenaran ini yang menang.

Tentu, kemenangan islam yang akan datang. Tak akan berhasil mereka yang menodai dan menggunakan agama hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat dengan melakukan kerjasama dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Wallahu’alam.

 

sumber: Era Muslim

Tidak Ada Dalil Bersalaman Belum Tentu Tidak Boleh

BERSALAMAN selepas salat bisa dikatakan bukan hal baru yang hanya menjadi kebiasaan jemaah di masjid anda saja, atau hanya kebiasaan orang Indonesia saja. Hal itu terbukti ternyata masalah bersalaman selepas salat sudah dibahas oleh para ulama sejak dahulu dalam kitab-kitab mereka.

Secara umum, ulama berbeda pendapat terkait hal ini; sebagian tidak membolehkan dan sebagian lain lagi membolehkannya.

Tidak Ada Dalilnya Belum Tentu Tidak Boleh

Pendapat kedua menganggap bahwa bersalaman selepas salat itu hukumnya boleh. Pendapat kedua ini memang mengakui bahwa bersalaman selepas salat tidak ada hadis yang secara khusus menjelaskannya. Tapi tidak ada hadisnya belum tentu tidak ada dalilnya. Tidak pernah dilakukan Nabi belum tentu berkonsekuensi hukum haram. Karena asal dari bersalaman adalah sunah.

Sebagaimana hadis-hadis:

Dari Bara bin Azib Radhialllahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dengan sanad yang sahih)

Berkata Qatadah Radhiallahu Anhu, “Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman dilakukan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari)

Diantara ulama yang membolehkan adanya bersalaman selepas salat adalah Imam Izzuddin (Al Izz) bin Abdussalam Asy Syafii (w. 660H). Beliau memasukkan bersalaman setelah salat subuh dan ashar sebagai bidah yang boleh (bidah mubahah). Berikut perkataannya:

Bidah-bidah mubahah (bidah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)

Imam an-Nawawi as-Syafii (w. 676 H) termasuk ulama yang berpendapat boleh bersalaman selepas salat. Dalam kitabnya beliau mengatakan;

Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah salat subuh dan ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi Ruh Al Islam)

Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ilmiyah). Bahkan beliau berpendapat bersalaman selepas salat itu bisa jadi hukumnya sunah. Yaitu jika orang yang disamping kita memang belum bersama kita di awal salat. Beliau berkata:

“Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua salat; subuh dan ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bidah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah salat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum salat maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma, sesuai hadis-hadis sahih tentang itu.” (an-Nawawi, Al-Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/325)

Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas salat diantaranya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafii (w. 974H) Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah salat walau pun salat id. (Ibnu Hajar al-Haitami, Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah Ala Madzhab Al Imam Asy Syafii, 4/224-225).

Dalam kitabnya yang lain beliau berkata: “Tidak ada dasarnya bersalaman setelah salat subuh dan ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449)

Ulama lain yang membolehkan bersalaman selepas salat adalah Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafii (w. 957 H). Dalam kitab Fatawa-nya tertulis: (Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah salat, apakah itu sunah atau tidak? (Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah salat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa.” (Syihabuddin ar-Ramli, Fatawa Ar Ramli, 1/385)

Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al-Hanafi (w. 1078 H) berkata ketika membahas tentang shalat Id:

“Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai salat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama.” (Abdurrahman Zaadah, MajmaAl Anhar fi Syarh Multaqa Al Abhar, 1/173)

Syaikh Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir) beliau menyimpulkan bahwa: “Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Taala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. (Fatawa Dar Al Ifta Al Mishriyah, 8/477)

[baca lanjutan: Kesimpulan Boleh Tidaknya Bersalaman Usai Salat]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324002/tidak-ada-dalil-bersalaman-belum-tentu-tidak-boleh#sthash.R1Vnrjy1.dpuf

Kesimpulan Boleh Tidaknya Bersalaman Usai Salat

BERSALAMAN selepas salat bisa dikatakan bukan hal baru yang hanya menjadi kebiasaan jemaah di masjid anda saja, atau hanya kebiasaan orang Indonesia saja. Hal itu terbukti ternyata masalah bersalaman selepas salat sudah dibahas oleh para ulama sejak dahulu dalam kitab-kitab mereka.

Secara umum, ulama berbeda pendapat terkait hal ini; sebagian tidak membolehkan dan sebagian lain lagi membolehkannya.

Maka, dari paparan sebelumnya ada beberapa poin yang mungkin bisa dipetik:

1. Jika menganggap bersalaman selepas salat itu termasuk ritual ibadah salat, maka tak diragukan lagi itu termasuk bidah dhalalah.

2. Jika bersalaman selepas salat kepada saudara yang baru datang, kebetulan baru berkesempatan bisa bersalaman selepas salat maka hukumnya sunah dan termasuk aplikasi hadis Nabi.

3. Jika kepada sesama jemaah yang mulanya memang sudah bertemu sebelum salat, maka semua sepakat bersalaman seperti ini tidak ada hadisnya yang secara khusus memerintahkan. Tetapi, ulama berbeda pendapat. Sebagian tidak membolehkan, karena bidah dan tidak boleh, sebagian lagi berpendapat meski tidak ada hadisnya, belum tentu tidak boleh.

4. Jika berpendapat bersalaman setelah salat itu tidak boleh dilakukan, tetapi dia melakukannya bukan inisiatif sendiri, melainkan dia dalam keadaan berjemaah salat bersama jemaah yang biasa melakukan. Jika dia menolak untuk bersalaman, bisa saja malah melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan suatu hal demi menghindari mudarat yang lebih besar dan berkepanjangan.

5. Manakah yang dahulu dilakukan, bersalaman atau berzikir? karena tidak ada dalilnya, sepertinya berjabat tangan kepada 2 orang disamping kanan dan 2 orang disamping kiri paling lama menghabiskan waktu tidak ada satu menit saja. Berdzikir sambil berjabat tangan bukan hal yang sulit untuk dikerjakan dalam satu waktu.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324003/kesimpulan-boleh-tidaknya-bersalaman-usai-salat#sthash.FsA3FcZr.dpuf

4 Hal Agar Istiqomah Ibadah Seperti di Tanah Suci

TADI ada jamaah haji yang mengajukan pertanyaan yang biasa diajukan para jamaah lain setiap musim haji: “Bagaimana ya caranya agar diri ini bisa istiqamah beribadah seperti saat ada di Tanah Suci ketika nanti kembali ke Tanah Air?”

Bagi saya, pertanyaan seperti ini adalah awal yang baik untuk membangun ketetapan diri dalam ketaatan sekaligus gambaran yang kurang baik yang mewakili kenyataan bahwa sepulang haji biasanya kembali lagi pada kebiasaan sebelum berangkat haji. Inilah yang memunculkan istilah HAJI TOMAT (berangkat haji untuk tobat, pulangnya kumat)

Menjawab pertanyaan di atas, saya sampaikan empat saran sebagaimana disarankan para ulama terdahulu. Pertama, sembahkah Allah dengan cinta. Cintailah Allah dengan sebenar-benarnya dan dengan cara yang benar. Mencintai Allah itu dengan keutuhan rasa bahwa tanpaNya hidup kita tak punya makna dan guna. Orang yang tulus dalam cinta selalu berkeinginan bersama. Cubitan kala bersama tak pernah dimaknai siksa melainkan sebagai bagian kemesraan.

Kedua adalah dengan cara menjauh dari segala jenis keburukan berikut pula dari para pelakunya. Sekali dua kali mungkin saja kita selamat dari pengaruh keburukan, namun siapakah yang bisa menjamin keselamatan untuk jangka panjangnya? Tips kedua ini akan menjadi relatif mudah dilakukan jika dilengkapi dengan semangat mendekat pada semua kegiatan baik.

Ketiga adalah senantiasa memohon kepada Allah agar hati selalu dimantapkan dan ditetapkan dalam iman, Islam, dan ihsan. Berdoa memiliki makna besar, makna bahwa kita melibatkan Allah dalam kehidupan kita. Berdoa memiliki nilai agung, nilai yang menempatkan kita dalam posisi hamba dari Dzat Yang Maha Agung. Jangan pernah lelah berdoa untuk keistiqamahan hati kita dalam ketaatan.

Keempat adalah bersahabat dengan orang-orang shalih. Saya senang bersahabat dan bergaul dengan Bapak dan Ibu sekalian. Semoga persahabatan dan pergaulan ini mengantarkan kita pada ketaatan dan kebaikan. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2325814/4-hal-agar-istiqomah-ibadah-seperti-di-tanah-suci#sthash.EPy3LD22.dpuf

Awas! Selfie Mendekatkan Ujub ke Hati

RASULULLAH Shallallahu alaihi wa sallam melarang keras seseorang ujub (takabur/sombong) terhadap dirinya. Bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 5452 dan dishaihkan al-Albani)

Di saat yang sama, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memotivasi kita untuk menjadi hamba yang berusaha merahasiakan diri kebalikan dari menonjolkan diri. Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri. (HR. Muslim 7621).

Selfie, jeprat-jepret diri sendiri, sangat tidak sejalan dengan prinsip di atas. Terlebih umumnya orang yang melakukan selfie, tidak lepas dari perasaan ujub. Meskipun tidak semua orang yang selfie itu ujub, namun terkadang perasaan lebih sulit dikendalikan.

Karena itu, sebagai mukmin yang menyadari bahaya ujub, tidak selayaknya semacam ini dilakukan. Allahu alam. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2325445/awas-selfie-mendekatkan-ujub-ke-hati#sthash.vRoMKOFc.dpuf

Perbedaan Terkenal dan Berpengaruh

ADA perbedaan yang sangat besar antara terkenal dan berpengaruh. Tidak setiap orang terkenal itu berpengaruh, namun bisa dipastikan bahwa orang berpengaruh itu adalah terkenal.

Menjadi terkenal itu relatif mudah, menjadi berpengaruh itu sangatlah sulit. Untuk menjadi terkenal, lakukanlah hal-hal yang berbeda dengan apa yang dilakukan kebanyakan orang. Kata orang Arab: “Kencingi saja air zamzam maka Anda menjadi terkenal.” Kata orang kampung: “Tidurlah atau menghilanglah ketika warga kerja bakti, bangun dan ngumpullah ketika tiba waktu makan bersama, maka Anda akan terkenal.”

Cara terkenal kedua yang cukup mudah adalah membelanjakan harta untuk membuat kembaran diri di mana-mana. Gantunglah gambar diri di mana-mana, citrakan diri sebagai satu-satunya orang baik dan pintar, bayarlah banyak orang untuk menjadi soundsystem dan loadspeaker diri, maka Anda akan menjadi terkenal. Perkara pencitraan diri itu benar atau bohong adalah urusan lain, urusan orang lain kecewa atau tidak adalah juga urusan lain.

Gampang bukan untuk menjadi terkenal? Namun untuk berpengaruh, dibutuhkan kesesuaian hati, pertemuan jiwa, kesamaan tujuan dan kepentingan serta bukti kemanfaatan diri pada orang lain. Penanaman modal sosial menjadi sesuatu yang sangat menentukan.

Lulusan terbaik suatu lembaga pendidikan tidak serta merta menjadi tokoh berpengaruh. Kepemilikan gelar dan jabatan tinggi tidak dengan sendirinya mengantarkan pemiliknya menjadi tokoh berpengaruh. Dibutuhkan persyaratan berat yang rata-rata bersifat emosional dan spiritual ketimbang bersifat materi.

Faktor spiritual menjadi salah satu penentu keberpengaruhan yang bersifat positif. Pengikatan diri (personal attachment) kepada Allah sungguh sering menjadi indikator utama. Contoh ringannya adalah bahwa teriakan adzan yang dikumandangkan anak kecil memiliki pengaruh jauh lebih besar ketimbang teriakan kakek-kakek yang sedang meneriakkan lagu rock metal kenangannya. Anak kecil itu mengaitkan diri dengan Allah, sementara si kakek dengan yang lain. Bagaimanah dengan kita? Salam, AIM. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2325154/perbedaan-terkenal-dan-berpengaruh#sthash.TI4FvdxS.dpuf

Inilah Penyebab Kegalauan Hidup

“MENGAPA aku gelisah terus ya, padahal semua telah kumiliki bahkan aku memiliki apa yang tak dimiliki oleh kebanyakan manusia?” Sering keluhan seperti ini kita dengar.

Galau, sumpek, gelisah, bingung dan sepadannya menjadi kata yang mewakili suara gelisah seperti ini. Orang kampus banyak yang menyebut kondisi seperti ini sebagai epistemological panic atau epistemological melancholy, yakni sebuah bentuk kepanikan atau kegalauan hidup yang disebabkan oleh pola pikir yang salah.

Ada banyak sarjana yang urun rembuk mengurai penyebab utamanya. Referensi tentang hal ini bertebaran di mana-mana. Saat ini saya ingin mengutip pandangan Ibnu Qayyim dalam kitabnya yang berjudul “Zaadul Ma’aad.” Menurutnya, ada empat penyebab utama: pertama adalah berpaling dari Allah SWT; kedua adalah bergantungnya hati kepada selain Allah; ketiga adalah lalai dari mengingatnya; dan keempat adalah mencintai selainNya.

Penyebab pertama adalah karena ketidakmauan kita akan hukum-hukum Allah dengan melabraknya demi memperturutkan keinginan nafsu kita. Penyebab kedua akalah berkenaan dengan pengalihan ketergantungan kita kepada Allah sebagai pemegang kuasa mutlak menuju ketergantungan kita kepada makhluk yang jelas-jelas sama berada dalam posisi tidak berkuasa penuh.

Penyebab ketiga adalah efek dari penyebab pertama dan ketiga berupa tak lagi ada dalam kamus keseharian kita al-asma’ul husnaa (nama-nama indah Allah), yang ada adalah nama-nama makhluk yang selalu dijadikan tempat meminta dan bergantung. Akhirnya, cinta kepada Allah semakin memudar untuk kemudian lenyap.

Bagaimana akan bahagia ketika empat sebab itu ada dalam kehidupan kita? Bagaimana tak akan gelisah jika Dzat Yang Membahagiakan kita kemudian dipinggirkan untuk dilupakan dan ditinggalkan? Bagaimana tak akan galau sementara Allah Yang Membolak-balik hati kita tak pernah disebut, disembah dan dijadikan rujukan?

Bangunlah kesadaran jiwa bahwa Allah adalah Pusat Cinta, Pusat Bahagia dan Pusat Keselamatan. Salam, Ahmad Imam Mawardi (AIM), Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2325529/inilah-penyebab-kegalauan-hidup#sthash.a3Zff9Fl.dpuf

Sedekah Kebajikan

Suatu ketika, Rasulullah SAW didatangi para sahabat yang terdiri dari fakir miskin, kalangan sahabat yang tak berharta. Mereka memprotes kepada baginda Nabi SAW, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.”

Dengan bijaksana Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah Allah SWT telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah, dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.” (HR. Muslim).

Terma sedekah dalam hadis di atas, artinya tidak hanya sebatas membagikan harta bendawi, sehingga bisa dimonopoli kalangan berada (aghniya). Dalam bahasa lain, sedekah adalah upaya berbagi kebaikan dengan mengoptimalkan kemampuan diri agar seseorang merasa lega telah berbagi kebahagiaan.

Secara teoritik, al-Birr (kebajikan) dalam Islam terdiri dari dua jenis, yakni: Al-Birr.. terkait dengan Allah SWT, dan al-Birr terkait dengan sesama. Al-Birr terkait dengan Allah SWT yakni beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Sementara, al-Birr terkait dengan sesama adalah husnulkhuluq, yakni banyak berderma dan tidak mengganggu sesama atau menampakkan kemuliaan pribadi. Sedekah ialah ajaran sosial dalam Islam, yang mampu menghidupkan agama ini hingga melewati masa 1500 tahun.

Doktrin Islam mengajarkan, setiap sendi jasad kita harus disedekahi, salah satunya dengan bekerja keras mengeluarkan diri dari keterpurukan juga dapat disebut sebagai sedekah.

Karena itu, bagi orang fakir, miskin, dan tak berdaya sekalipun; Islam memberikan kesempatan untuk bersedekah, karena seperti yang diungkapkan dalam hadis Nabi SAW, bahwa setiap perilaku kita bernilai sedekah bila hal itu memuat nilai kebaikan bagi kehidupan.

Jadi, kita tidak usah protes bila ada orang kaya yang dermawan, hidup sebagai filantropis, rajin melaksanakan ibadah dan rajin berderma. Sebab, sedekah itu bukan hanya berkaitan dengan harta bendawi, tetapi terkait dengan langgengnya nilai kebaikan dalam setiap laku lampah kita.

Ada banyak lapangan hidup yang bisa kita jadikan ladang menuai pahala dari Allah SWT, bila sedekah dikabarkan akan diganjar pahala berlipat; bahkan bagi orang yang suka bersedekah disediakan oleh Allah SWT pintu surga bernama sedekah.

Bila kita tidak berharta, tak punya uang, dan minim akses ekonomi; bersedekahlah dengan perbuatan, bersedekahlah dengan akal-pikiran, dan bersedekahlah dengan tenaga untuk kemajuan Islam.

Jangan pernah merasa iri, dengki, apalagi memprotes keadilan takdir Allah karena menjadikan kita sebagai kaum tak berpunya, kaum yang tak berdaya, dan kaum yang selalu menerima, tetapi tak pernah memberi.

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selagi matahari masih terbit. Mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya merupakan sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang engkau ayunkan menuju ke masjid adalah sedekah dan menyingkirkan aral (rintangan, ranting, paku, kayu, atau sesuatu yang mengganggu) dari jalan juga merupakan sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.

 

 

Oleh: Sukron Abdilah

Sumber: Republika Online

‘Maftuh Basyuni Berperan Besar dalam Pelaksanaan Haji’

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kabar duka dari keluarga mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu itu dikabarkan meninggal dunia pada hari ini, Selasa (20/9).

Hal itu dikonfirmasi oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag Machasin yang menerima kabar itu sekitar pukul 19.00 WIB. Ia menilai sosok Basyuni sebagai pribadi yang tegas, namun dekat dengan berbagai kalangan.

“Saya dengar pukul 19.00 tadi. Almarhum orang yang tegas, tanpa pandang bulu, bahkan dapat dibilang keras. Tapi tidak ada dendam pribadi, dekat dengan banyak orang,” ungkap Machasin kepada Republika, Selasa (20/9).

Selain itu, Machasin mengungkapkan peran almarhum dalam pelaksanaan haji di Indonesia. Menurut Machasin, keberhasilan pelaksanaan haji di Indonesia tak lepas dari campur tangan almarhum Maftuh Basyuni.

“Almarhum menata haji. Dapat dikatakan keberhasilan haji saat ini buah dari fight beliau menghadapi muassasah di Saudi Arabia dan berbagai masalah di dalam negeri,” kenangnya.

Almarhum merupakan Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Islam Madinah , Arab Saudi pada tahun 1968 .

Periode 1976-1979, ia tampil sebagai Sekretaris Pribadi Duta Besar Indonesia di Jeddah. Selain sebagai Kepala Rumah Tangga Kepresidenan saat Soeharto memimpin negara Indonesia, ia juga menjabat Sekretaris negara pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

Sejak 2002, ia adalah Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Pada 2004, ia tampil sebagai ketua Delegasi Indonesia pada Pertemuan Tingkat Menteri OKI.

 

 

sumber: Republika Online

Tanda Kelima: Jika Berjanji, Tidak Dipenuhi

ALLAH Taala telah memerintahkan supaya menepati janji, sebagaimana yang difirmankan Allah Taala,

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS. An Nahl: 91).

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Bagi setiap pengkhianat memliki bendera pada hari Kiamat kelak. Lalu dikatakan kepadanya: “Inilah pengkhianat si Fulan” (HR. Bukhari no. 3187 dan Muslim no. 1735)

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324826/tanda-kelima-jika-berjanji-tidak-dipenuhi#sthash.XUUkvYWL.dpuf