Innalillahi, Mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni Wafat

Kabar duka dari keluarga mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu itu dikabarkan meninggal dunia pada hari ini, Selasa (20/9).

“Telah berpulang ke rahmatullah Bapak Dr KH Maftuh Basyuni (Ketua BWI/mantan Menteri Agama). Semoga almarhum mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT, dan keluarga yang ditinggalkan dalam keadaan sabar dan tabah. Amin,” demikian bunyi pesan WhatsApp yang diterima redaksi Republika.co.id, Selasa (20/9) malam.

Tanda Keempat: Jika Berselisih, Dia Akan Zalim

YANG dimaksud dengan al-fujuur di sini adalah keluar dari kebenaran secara sengaja, sehingga dia menjadikan yang benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi benar. Ini yang membawanya kepada dusta.

Dalam hadis disebutkan,

“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah penantang yang paling keras.” (HR. Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)

Jika seseorang mempunyai kemampuan bersilat lidah pada saat berdebat -baik perselisihan itu berkenaan dengan masalah agama atau masalah dunia- untuk mempertahankan kebatilan, dia menyuarakan kepada orang-orang bahwa kebatilan itu sebagai suatu yang benar, serta menyamarkan yang benar dan menampilkannya sebagai suatu kebatilan, seperti itu merupakan keharaman yang paling buruk serta kemunafikan yang paling busuk.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara penjelasan (al-bayan) itu adalah sihir (yang membawa daya tarik).” (HR. Bukhari no. 5767)

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324825/tanda-keempat-jika-berselisih-dia-akan-zalim#sthash.U8L2KYOf.dpuf

Tanda Ketiga: Jika Diberi Amanat, Khianat

ALLAH Taala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui.” (QS. Al Anfal: 27).

Jika seseorang dipercaya untuk memegang suatu amanah, maka dia wajib untuk menjaga amanah tersebut sebaik mungkin, sebagaimana firman Allah Taala,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisaa: 58).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

“Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud no. 3535, Tirmidzi no. 1264 dann Ahmad 3: 414. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Hadits ini sahih menurut Syaikh Al Albani lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 423).

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324824/tanda-ketiga-jika-diberi-amanat-khianat#sthash.0G20aKCd.dpuf

Tanda Kedua: Jika Berjanji, Tidak Menepati

IBNU Rajab menyebutkan bahwa mengingkari janji itu ada dua macam:

a. Berjanji dan sejak awal sudah berniat untuk tidak menepatinya. Ini merupakan pengingkaran janji yang paling jahat.

b. Berjanji, pada awalnya berniat untuk menepati janji tersebut, lalu di tengah jalan berbalik, lalu mengingkarinya tanpa adanya alasan yang benar.

Adapun jika dia berniat untuk memenuhi janji tersebut, tetapi karena alasan tertentu atau ada hal lainnya yang dapat dibenarkan, maka dia tidak termasuk dalam sifat tercela ini.

Ada perkataan dari Ali, namun dalam sanad perkataan ini ada perawi yang majhul,

“Janji adalah utang. Celakalah orang yang berjanji namun tidak menepati.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 483)

Contoh sederhananya, kalau janji pada anak kecil (seorang bocah) tetap harus ditepati. Az Zuhri mengatakan dari Abu Hurairah, ia berkata,

“Siapa yang mengatakan pada seorang bocah: “Mari sini, ini kurma untukmu”. Kemudian ia tidak memberinya, maka ia telah berdusta.” Namun riwayat ini, sanadnya terputus karena Az Zuhriy tidak mendengar dari Abu Hurairah. (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 485)

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324822/tanda-kedua-jika-berjanji-tidak-menepati#sthash.nmR1jlee.dpuf

Tanda Pertama: Jika Berbicara, Dusta

DI antara hadis yang menunjukkan dicelanya perbuatan dusta adalah hadis Abdullah bin Masud. Ibnu Masud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.

Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)

Asalnya berbohong itu terlarang dikecualikan dalam tiga hal. Ketika itu berbohong jadi rukhsoh atau keringanan karena ada maslahat yang besar. Ada hadis yang menyebutkan hal ini,

Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Muaythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan di antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).”

Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324820/tanda-pertama-jika-berbicara-dusta#sthash.LTuSByJK.dpuf

3 Tanda Kemunafikan dalam Sifat Lahiriah

NIFAK yang kedua adalah nifak amali atau nifak ashgor (nifak kecil atau ringan) yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Karena bentuk nifak atau kemunafikan ini nampak dalam sifat lahiriah dan tidak nampak pada batinnya.

Seperti misalnya seseorang yang menampakkan dirinya saleh ketika berada di khalayak ramai. Namun ketika tidak berada di keramaian, ia jauh berbeda.

Oleh karena itu Al Hasan Al Bashri mengatakan,

“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.” (Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 490)

Intinya sebagaimana kata Ibnu Rajab, kemunafikan ringan adalah adanya perbedaan antara yang nampak dan yang tersembunyi.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324817/3-tanda-kemunafikan-dalam-sifat-lahiriah#sthash.liOvLk5D.dpuf

Sahabat Rasul Saja Takut Tertimpa Kemunafikan

LIHAT cerita Hanzhalah dan Abu Bakr berikut ini,

Dari Hanzholah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?”

Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”

Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”

Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR. Muslim no. 2750).

Mereka masih khawatir diri mereka munafik, padahal keduanya adalah sahabat yang mulia, bagaimana lagi dengan kita-kita. Demikianlah sifat para sahabat, mereka takut tertimpa kemunafikan.

“Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata: Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari no. 36)

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apa yang kau katakan pada orang yang tidak khawatir pada dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Apa ada yang merasa aman dari sifat kemunafikan?”

Al Hasan Al Bashri sampai menyebut orang yang nampak padanya sifat kemunafikan dari sisi amal (bukan itiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy Syabi semisal itu pula,

“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 493)

Al Hasan Al Bashri berkata, “Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 491)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kemunafikan. [Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324829/sahabat-rasul-saja-takut-tertimpa-kemunafikan#sthash.SAfSv3F8.dpuf

Nasehat Abu ad-Darda’ tentang Alam Kubur dan Dua Malaikat

Imam al-Baihaqi dalam kitab Itsbat ‘Adzab al-Qabr wa Sual al-malakain meriwayatkan sebuah nasehat berharga dari seorang tokoh sahabat Rasulullah SAW, Abu Ad-Darda’ tentang bagaimana gambaran alam kubur.

Ketika sahabat Nabi tersebut tengah diserang sakit, seorang sahabatnya datang berkunjung.

Lelaki itu berkata,”Wahai Abu ad Darda’, sesungguhnya engkau nyaris meninggal dunia, maka perintahkanlah aku suatu perkara yang bermanfaat bagiku dan akan mengingatkanmu.”

Abu Ad Darda’ menjawab : “ Sungguh, engkau diantara umat yang diampuni, maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat hartamu, berpuasa Ramadhan, dan jauhilah perkara keji, kemudian beritakanlah kabar gembira.” Merasa tidak puas, lelaki itupun bertanya ulang.

Abu Ad Darda membalas dan memintanya duduk dan merenungkan perkataannya. “Bayangkan ketika engkau berada di hari, tatkala tak ada lagi ruang kecuali liang lahat yang luasnya dua hasta sedangkan panjangnya empat hasta.

Keluarga yang konon tak bisa berpisah denganmu hari itu meninggalkanmu sendiri,  kelogamu yang dulu membuat megah rumahmu kelak akan menimbunmu dengan tanah lantas beranjak pergi darimu.”

Di saat itu, sambung Abu Ad Darda dua malaikat berwarna hitam biru berambut keriting datang, mereka ialah Munkar dan Nakir.

Ia akan menanyakan tentang identitasmu, agama, Tuhan, dan nabi.

“Jika jawabanmu tidak tahu menahu, maka demi Allah engkau telah tersesat dan merugi.

Sedangkan bila jawabanmu : Muhammad Rasulullah dengan Kitab Sucinya Alquran, maka demi Allah engkau selamat dan mendapat petunjuk.

Kesemua itu tidak akan mampu engkau ucapkan kecuali dengan peneguhan yang dikaruniakan oleh Allah.”

 

sumber: Republika ONline

Pesan-pesan dalam Ibadah Haji

TELAH berkumpul jutaan orang di kota Mekah untuk menunggu prosesi puncak ibadah Haji. Haji merupakan pertemuan terbesar umat Islam dari berbagai negara di dunia ini, sebuah kewajiban ritual yang tidak dijumpai padanannya dalam tradisi agama lain.

Andai saja tidak dibatasi oleh kuota, bukan hanya tiga sampai lima juta umat muslim yang berkumpul di kota suci ini melainkan lebih banyak lagi sampai jumlah yang tidak bisa ditebak.

Lokasi prosesi ibadah haji sangat terbatas. Padang Arafah tempat berkumpul bersama untuk wukuf pada satu hari yang sama tidak mungkin lagi menampung lebih banyak orang. Mina dan Muzdalifahpun tidak lagi muat untuk muat ditempati lebih banyak manusia. Negara Saudi Arabia sebagai tuan rumah tentu akan menjadi pusing melihat ketidakseimbangan rasiojumlah peminat dan ukuran lokasi serta fasilitas.

Dulu, pembatasan kuota jamaah haji tidaklah seketat saat ini. Tidak pernah didengar ada daftar tunggu apalagi dalam waktu yang sangat lama seperti yang dialami saat ini. Untuk menunaikan ibadah haji reguler, saat ini dibutuhkan antri 24 tahun, sementara jika mendaftar untuk haji plus harus menunggu 6 tahun.

Usia minimal mendaftar hajipun saat ini ditentukan 12 tahun sehingga tidak akan ada lagi lomba “haji termuda” seperti pada 10 tahun yang lalu. Mengapa ibadah haji ini begitu banyak peminat dan seakan menjadi ibadahpaling favorit akhir-akhir ini?

Perintah kewajiban haji sebenarnya adalah sama dengan perintah kewajiban lain yang lain, terutama yang termasuk dalam ibadah rukun Islam yang kelima, seperti shalat, puasa dan zakat. Bahkan, untuk haji, dipersyaratkan adanya kemampuan (istithaah) untuk menjadi wajib dilaksanakannya. Mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial dan kemampuan fisik tidaklah berkewajiban melaksanakannya.

Apakah panjangnya antrian tunggu (waiting list)menjadi indikasi bahwa umat muslim saat ini lebih mampu secara finansial dibandingkan dengan umat muslim masa sebelumnya? Mungkin saja jawabannya adalah iya.Namun jawaban ini terasa unik ketika dihubungkan dengan fakta terjadinya krisis moneter yang begitu lama dan keadaan ekonomi yang tidak sestabil masa-masa sebelumnya.

Apakah ada hubungannya dengan peningkatan kesadaran keberagamaan umat muslim akan urgensi haji? Bisa saja jawabannya adalah iya.Namun jawaban inipun terasa janggal di tengah fenomena sosial yang sedang mengagung-agungkan hedonisme dan di saat perlombaan ekonomi yang tak mengenal hukum halal haram.

Kejanggalan ini agak tertepis dengan analisa bahwa bisa jadi membludaknya jumlah jamah haji saat ini adalah sebagai respon atau bahkan titik balik dari hedonisme dan lomba ekonomi yang tak kunjung selesai itu.

Ada satu alasan yang tidak boleh dilewatkan untuk disebut, yakni bahwa ada kerinduan ruhani yang memuncak yang telah memaksa seseorang menunaikan ibadah haji bahkan secara berulang atau berkali-kali. Interview penulis dengan banyak jamaah haji menunjukkan bahwa beribadah haji itu bagai “pulang ke rumah asal.”

Ada kebahagiaan yang tidak bisa tergantikan oleh ibadah lain. Kebahagiaannya bisa diumpamakan anak sekolah dasar yang dipulangkan lebih awal karena guru-guru sedang rapat. Mereka pulang ke rumah dengan riang gembira sambil bernyanyi “gelang sepatu gelang.”

Mengumpamakan ibadah haji dengan kembali ke rumah asal bukanlah tanpa dasar, karena al-Quran sendiri menyebut kabah, baitullah, sebagai rumah pertama yang ada di muka bumi. Sebagai rumah asal tentu saja menjadi rujukan kerinduan jiwa yang menenteramkan dan menenangkan, ketenteraman dan ketenangan yang bukan ditentukan oleh fasilitas fisik melainkan oleh sentuhan batin karena hati menjadi fokus hanya kepada Allah Swt.

Fokus hanya kepada Allah menjadi inti pesan dari “pulang ke rumah asal” ini. Para jamaah haji disadarkan kembali pada asal muasalnya, pada tugas pokoknya kini selama ada di dunia, dan pada tujuan akhir setelah menjalani episode dunia ini. Mereka yang prosesi berhajinya tidak mengantarkan pada kesadaran seperti ini adalah orang-orang yang gagal menemukan makna haji. Ibadah hajinya hanya bermakna sebagai tour fisik, bukan perjalanan spiritual (spiritual sojourn).

Pesan kedua haji adalah pesan persaudaraan berdasar egalitarianisme, kesederajatan di hadapan Allah SWT. Pakaian ihram yang sama warnanya, kabah sebagai kiblat bersama, tuntunan ibadah yang bersumber dari sumber yang sama merupakan simbol utama dengan pesan bersama bahwa persaudaraan atas dasar iman adalah persaudaraan yang tidak boleh luntur atau rapuh dengan alasan apapun.

Betapapun ada perbedaan warna kulit, perbedaan jenis kelamin dan perbedaan berpendapat, persaudaraan dan persatuan dalam keimanan haruslah tetap terjaga.Hanyaorang yang bodoh dalam beragama yang menjadikan perbedaan itu sebagai sebab bertengkar dan bermusuhan. Ketulusan dalam beragama akan mengantarkan pemiliknya untuk saling menghargai perbedaan dan menghormati hak-hak orang lain.

Kesombongan atau aroganisme diri harus dibuang melalui ibadah haji ini. Semua jamaah haji harus membawa posisi atau pangkat yang sama sebagai hamba (abd) dengan Tuhan yang sama, yakni Allah Yang Maha Segala-galanya. Mereka yang hadir ke Mekah dengan membawa posisi, pangkat atau identifikasi diri yang bersifat duniawi adalah mereka yang tidak benar-benar menjalankan ibadah haji, tak akan memperoleh kemabruran haji.

Pesan ketiga adalah pesan kesederhanaan. Prosesi haji sesungguhnya mengajarkan kesederhanaan. Pakaian ihram yang hanya dua helai saja, tenda wukuf di Arafah dan Mina dengan fasilitas yang juga seadanya saja adalah potret kesederhanaan yang harusnya mendidik jiwa para jamaah. Bahwa hotel-hotel di Mekah semakin mewah dan makanan restoran semakin banyak pilihan memang bukan fakta yang bisa ditolak. Namun, pesan kesederhanaan haji seperti disebut di atas tidak mungkin dihapus sama sekali. Sederhana adalah pilihan hidup yang diajarkan Rasulullah Saw.

Pesan keempat adalah pesan keharmonisan dengan alam sekitar. Ketika beribadah haji, ada banyak larangan-larangan ihram yang tidak boleh dilakukan. Tidak boleh berburu, tidakboleh memotong tumbuh-tumbuhan, tidak boleh berbantah-bantahan dan lain sebagainya. Ibadah haji benar-benar ibadah yang memesankan keharmonisan hidup dengan manusia dan alam.

Haji mabrur adalah haji yang pelaksananya telah mengejawantahkan pesan-pesan tersebut di atas. Seorang yang berhaji harusnya adalah menjadi teladan bagi sekitarnya dalam beribadah ritual dan beribadah sosial. Seorang haji mabrur adalah orang yang tak hanya saleh ritual melainkan pula saleh sosial. Bagaimana dengan haji kita? [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2323216/pesan-pesan-dalam-ibadah-haji#sthash.YyEqTV82.dpuf

Tanda Munafik: Beda Lahiriah dan Batin

ITULAH tanda munafik, beda antara yang lahir dan batin. Oleh karenanya sebagian ulama salaf mengatakan,

“Khusyunya orang munafik, jasad terlihat khusyu. Namun hati tak ada kekhusyuan.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 490)

Umar pernah berkhutbah di atas mimbar, lantas ia mengatakan,

“Yang aku khawatirkan pada kalian adalah orang berilmu yang munafik. Para sahabat lantas bertanya: “Bagaimana bisa ada orang berilmu yang munafik?” Umar menjawab, “Ia berkata perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran.” (Idem)

Hudzaifah ditanya mengenai apa itu munafik, ia menjawab, “Ia menyifati diri beriman namun tak ada amalan.” (Idem)

Dari sini, para ulama menyebutkan bahwa pria yang mengaku muslim namun tidak pernah terlihat salat berjemaah di masjid, dinyatakan sebagai munafik. Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata,

“Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan salat jemaah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan salat jemaah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654).

Bahkan tetangga masjid yang tak pernah terlihat di masjid, juga disebut munafik. Ibrahim An Nakhai rahimahullah mengatakan,

“Cukup disebut seseorang memiliki tanda munafik jika ia adalah tetangga masjid namun tak pernah terlihat di masjid” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab 5: 458 dan Maalimus Sunan 1: 160. Lihat Minhatul Allam, 3: 365).

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324827/tanda-munafik-beda-lahiriah-dan-batin#sthash.YLVhEWhJ.dpuf