Wali Nikah untuk Anak di Luar Nikah

Assalamu’alaikum ustadz, bagaimana hukum nikah anak hasil zina, jika yang menjadi wali adalah ayah biologisnya? sah atau tidak?

Saya pernah membaca karya tulis seorang dosen institusi perguruan tinggi islam, bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah telanjur hamil ini kemudian menikah. jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si Anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya.

Tapi, jika si ibu menjalani kehamilan hanya < 6 bln sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu… Mana dalil yang kuat tentang masalah ini, ustadz? mohon penjelasannya…

Waalaikumussalam Wr Wb

 

 

Saudara nihita ang dimuliakan Allah swt

Terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina: Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi tidak memperbolehkan pernikahannya itu sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki ang menzinahinya atau tidak juga dengan lelaki yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud) dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi). Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud).

 

Markaz al Fatwa didalam fatwanya—setelah menyebutkan perbedaan ulama diatas—menyebutkan bahwa adapun anak—dari pernikahan itu—maka dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya dengan penasaban sar’iy yang benar yang meneguhkan kemahraman yang berlanjut kepada perwalian secara syar’i, ashobah dan warisan dan selainnya dari hukum-hukum seorang anak karena pada hakikatnya ia adalah anak darinya (ibunya yang mengandungnya itu) dan tidaklah ada perselisihan dalam hal ini.
Adapun penasaban seorang anak kepada ayahnya yang berzina dan menisbatkannya kepadanya maka dibolehkan oleh Ishaq bin Rohuyah, ‘Urwah, Sulaiman bin Yasar dan Abu Hanifah. Abu Hanifah mengatakan,”Aku tidak melihat suatu permasalahan jika seorang lelaki yang berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan menutupi aibnya itu dan anak ang terlahir adalah anak darinya (lelaki itu).”

Markaz al Fatwa lebih memilih pendapat jumhur ahli ilmu yang menyatakan bahwa apabila seorang lelaki menikah dengan wanita hamil karena perzinahannya maka anak yang terlahir dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya itu. Adapun suaminya adalah pemelihara bagi anak tersebut. (Markaz al Fatwa no 6045)

Adapun pendapat bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. tapi jika si ibu menjalani kehamilan kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu.. pernyataan ini bisa ditemukan didalam “al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya—bahwa anak itu adalah anaknya—selama dia tidak mengatakan,”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Adapun jika dia mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.” …

Pendapat yang paling kuat adalah bahwa anak zina tidaklah terkokohkan nasabnya dari seorang lelaki pezina baik dirinya menikahi wanita yang dizinahinya lalu wanita itu mengandung anak itu kurang dari enam bulan sejak waktu akad nikah atau tidak menikahi wanita itu lalu wanita itu melahirkannya. Akan tetapi jika anak itu dinisbatkan kepadanya dengan pengakuannya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia. Demikian pula jika lelaki itu menikahi wanita yang dizinahinya dan dia mengandung anak dari hasil perzinahannya lalu melahirkan seorang anak dalam masa kurang dari waktu minimal suatu kehamilan sementara orang itu terdiam atau mengakuinya dan tidak mengatakan bahwa anak itu adalah dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.” (Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal 591)

Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya dan ketika anak zina tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah yang berzina dengan ibunya akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dan seandainya seorang anak zina dinikahkan oleh ayah yang menzinahi ibunya maka pernikahan yang dilakukannya itu batal sehingga kedua pasangan tersebut haruslah dipisahkan. Adapun cara pemisahan antara keduanya adalah dengan cara si suami menjatuhkan talak (cerai) terhadapnya jika memang dirina rela untuk melakukannya sendiri namun jika dirinya tidak ingin melakukannya sendiri maka pemisahan itu dilakukan oleh hakim.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qudamah bahwa apabila seorang wanita dinikahkan dengan pernikahan yang rusak (batal) maka tidaklah boleh dirinya denikahkan dengan selain orang yang telah menikahinya sehingga orang yang menikahinya itu menceraikannya atau dipisahkan pernikahannya. Apabila suaminya itu tidak mau menceraikannya maka hakimlah yang harus memisahkan pernikahannya, dan nash ini dari Ahmad. (al Mughni juz IX hal 125)

Setelah suaminya menceraikan istrinya atau keduanya dipisahkan oleh hakim lalu si lelaki ingin kembali menikahinya maka hendaklah dengan akad yang baru dengan diwalikan oleh penguasa atau hakim, yang dalam hal ini adalah KUA.

Wallahu A’lam

 

 

sumber: Era Muslim

Ibadah adalah Pembeda Seseorang dalam Kehidupan

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu.”. (QS: Adz-Dzariyat: 56)

 

ERA kehidupan yang terus berkembang sangat dinamis, membutuhkan tuntunan yang mengarahkan dan menyadarkan perilaku manusia untuk lebih dekat dengan kehendak Sang Maha Kuasa. Kehendak itu dalam bentuk ‘ibadah’ mengabdi kepadaNya dalam seluruh aktifitas kehidupan.

Jika tidak, dikhawatirkan semakin berat beban kehidupan yang harus dipikul karena kemaksiatan dan ketidak patuhan yang semakin menggejala. Kehidupan serba bebas, liar dan tanpa kendali merupakan fakta nyata semakin jauhnya kehidupan manusia dari rel yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta.

Akibatnya, kehidupan ini kerap dihantui dengan bencana, musibah, dan malapetaka yang datang silih berganti, sebagai buah dari pengingkaran dan keengganan manusia mengikuti petunjuk dan kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Ayat di atas layak untuk direnungkan bersama sebagai bahan muhasabah secara kolektif atas perilaku kehidupan manusia sehari-hari.

Ayat ini termasuk ayat ‘Iradatullah’, dalam arti kehendak dan ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala yang bersifat mengikat; siapapun dari bangsa jin dan manusia. Iradah Allah sudah ada sebelum penciptaan seluruh makhluk, termasuk manusia dan jin. Kedua makhluk ini ditentukan dengan iradah Allah bahwa tujuan penciptaan mereka dalam kehidupan ini adalah semata-mata untuk mengabdi beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Imam Ibnu Katsir menuturkan secara filosofis matlamat penciptaan jin dan manusia dalam ungkapanya:

ما خلقتهم إﻻ ﻵمرهم بعبادتى، ﻻ ﻻحتبةجى إليهم. ”

“Sesungguhnya Aku menciptakan mereka agar Aku perintahkan mereka beribadah kepadaKu. Bukan karena hajatKu kepada mereka’.

Pandangan ini diperjelas dengan ayat setelahnya yang menjadi ciri khas metode Ibnu Katsir:

مَآ أُرِيدُ مِنۡہُم مِّن رِّزۡقٍ۬ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ (٥٧)

Aku tidak menghendaki rizqi dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki agar mereka memberi makan kepadaKu.” (QS: Adz-Dzariyat: 57)

Ayat ini penting untuk dikemukakan secara korelatif. Ketaatan atau ketundukan seseorang umumnya identik dengan dorongan faktor kebutuhan atau kepentingan. Karenanya, Allah Subhanahu Wata’ala menafikan hal tersebut. Bahkan menyatakan sebaliknya, Dialah justru Yang Maha Memberi lagi Maha Kuat:

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Sesungguhnya Dialah Allah Yang Maha Memberi rizqi, Mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS: Adz-Dzariyat: 58)

Di ayat yang lain, Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan sifat ‘faqir’ manusia dalam arti sangat berhajat dan bergantung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam segala hal. Sedang Allah Maha Mencukupi seluruh kebutuhan hambaNya lagi Maha Terpuji.

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِىُّ ٱلۡحَمِيدُ (١٥)

“Hai sekalian manusia, kalianlah yang sangat faqir (membutuhkan) kepada Allah. Dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS: Fathir: 15)

Waspada! Beribadah tapi Melupakan Allah

Ketiga deklarasi Al-Qur’an di atas merupakan argumentasi yang tak terbantahkan bahwa memang seharusnya manusia hanya tunduk, ta’at, dan mengabdi kepada Allah swt dalam seluruh kehidupannya, sebagai hak dan konsekuensi mendasar dari tujuan utama penciptaan. Jika tidak, berarti manusia sudah keluar dari ketentuan azali yang bersifat mengikat tersebut.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam membahasakan ibadah sebagai hak Allah yang harus dipenuhi oleh seluruh hambaNya. Sebagai timbal baliknya, Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan mengazab mereka yang taat beribadah dengan tidak melakukan syirik dalam semua peribadatan mereka.

Gambaran ini disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam bentuk dialog dengan sahabatnya Mu’adz bin Jabal:

“Hai Mu’adz apakah engkau tahu hak Allah atas hamba-hambaNya?”. Mu’adz menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih tahu”. Rasul bersabda menjelaskan:

“Sesungguhnya hak Allah atas hambaNya adalah mereka beribadah kepada Allah dengan tidak mempersekutukan dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah bahwa Allah tidak mengazab mereka selama mereka menjalankan ibadah kepadaNya dengan tidak mempersekutukanNya.” (HR. Muttafaqun Alaih)

Dalam ruang kehidupan yang luas dan variatif, menunaikan Ibadah kepada Allah dalam maknanya yang komprehensif memiliki tingkat urgensi yang tinggi dalam kehidupan seorang muslim. Pertama, Ibadah adalah identitas keislaman dan keimanan seseorang kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tanpa ibadah, tidak dapat dibedakan antara mereka yang beriman dengan mereka yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Identitas ‘ibadah’ inilah yang akan menjadi pembeda antar seseorang, kelompok masyarakat, maupun umat dalam kehidupan.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam beberapa haditsnya membuat identitas pembeda yang dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, sabda beliau tentang shalat yang dijadikan identitas pembeda antara orang beriman dengan yang tidak beriman. Tentang puasa, Rasulullah membuat pembedaan dengan puasa Ahli Kitab yaitu pada makan sahur. Begitulah parameter identitas yang menjadi pembeda dalam pandangan Allah swt.

Ketika seseorang menafikan nilai ‘ibadah’ dalam kehidupannya, berarti ia telah keluar dari garis tujuan penciptaannya. Dan karenanya, tidak berhak menyandang gelar ‘hamba Allah Subhanahu Wata’ala’.

Kedua, Ibadah merupakan simbol dan tanda ketundukan seseorang di hadapan Sang pencipta. Kesalahan iblis yang mendasar adalah keengganan untuk tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam bentuk sujud kepada nabi Adam as. Karenanya, iblis layak menerima hukuman yang bersifat permanen; terlaknat dan dijauhkan dari rahmah Allah Subhanahu Wata’ala.

Dalam sebuah riwayat, ketika seorang sahabat Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami meminta berdampingan dengan Rasulullah saw di surga,

” كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ ، فَقَالَ لِي : سَلْ ، فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ ، قَالَ : أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ ، قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ ، قَالَ : فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ “. رواه مسلم في ” صحيحه“(489).

“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, lalu aku menyiapkan air wudhu` dan keperluan beliau. Beliau bersabda kepadaku, ‘Mintalah sesuatu!’ Maka sayapun menjawab, ‘Aku meminta kepadamu agar memberi petunjuk kepadaku tentang sebab-sebab agar aku bisa menemanimu di surga’. Beliau menjawab, ‘Ada lagi selain itu?’. ‘Itu saja cukup ya Rasulullah’, jawabku. Maka Rasulullah bersabda, ‘Jika demikian, bantulah aku atas dirimu (untuk mewujudkan permintaanmu) dengan memperbanyak sujud‘.” (HR. Muslim).

Ketiga, Ibadah merupakan media meraih keberkahan. Kehidupan yang sangat beragam dan luas cakupannya jika tidak dilandasi dengan ibadah, maka tidak bernilai apa pun di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Pekerjaan yang digeluti oleh seseorang, kekayaan yang dimilikinya, keluarga yang dibinanya, masyarakat yang berdampingan dengannya, dan seluruh anugerah Allah kepada dirinya merupakan ujian ‘ubudiyyah’ kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ketika lulus dari ujian ini, maka kehidupan seluruhnya bernilai keberkahan yang membawa kepada ketenangan dan kebahagiaan.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنٰهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُ٬�نَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.*/Dr. H. Atabik Luthfi Ketua Bidang Dakwah, PP IKADI

 

 

sumber:Hidayatullah

Pungutan Liar Termasuk Dosa Besar

Imam Adz Dzahabi ternyata memasukkan pungutan liar dalam kitab beliau Al Kabair yang membicarakan tentang dosa-dosa besar. Pungutan liar (makes) di sini biasa dimaksudkan untuk pemungutan dalam jual beli.

Di antara dalil yang beliau bawakan untuk menunjukkan bahwa pungutan liar termasuk dalamAl Kabair yaitu firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS. Asy Syura: 42).

Di dalam hadits, tentang seorang perempuan yang melakukan zina yang kemudian menyucikan dirinya dengan menyerahkan dirinya untuk dirajam,

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ

Perempuan itu telah bertaubat dengan taubat yang andai dilakukan oleh pemungut liar, niscaya akan diampuni baginya.” (HR. Muslim no. 1695)

Setelah membawakan dua dalil di atas, Imam Adz Dzahabi berkata bahwa orang yang melakukan pungutan liar mirip dengan perampok jalanan yang lebih jahat daripada pencuri. Orang yang menzalimi orang lain dan berulang kali memungut upeti, maka dia itu lebih zalim dan lebih jahat daripada orang yang adil dalam mengambil pungutan dan penuh kasih sayang pada rakyatnya. Orang yang mengambil pungutan liar, pencatat dan pemungutnya, semuanya bersekutu dalam dosa, sama-sama pemakan harta haram. Demikian kata Imam Adz Dzahabi dalam Al Kabair.

Imam Nawawi juga menyatakan bahwa pungutan liar adalah sejelek-jeleknya dosa. Karena pungutan semacam ini hanyalah menyusahkan dan menzalimi orang lain. Pengambilan pungutan atau upeti seperti ini terus berulang dan itu hanyalah pengambilan harta dengan jalan yang tidak benar, penyalurannya pun tidaklah tepat. Lihat Syarh Shahih Muslim.

Hanya Allah yang beri taufik.

 

sumber: Muslim.or.id

Bolehkah Menangis Ketika Salat?

ALLAH Ta’ala berfirman, “Dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58).

Dalam hadis disebutkan, dari Abdullah bin Asy-Syikkhir, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam salat, ketika itu beliau menangis. Dari dada beliau keluar rintihan layaknya air yang mendidih.” (HR. Abu Daud no. 904 dan Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyah no. 322. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sakit keras, ada seseorang yang menanyakan imam salat kemudian beliau bersabda, “Perintahkan pada Abu Bakr agar ia mengimami salat.”

Aisyah lantas berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar itu orang yang sangat lembut hatinya. Apabila ia membaca Alquran, ia tidak dapat menahan tangisnya.” Namun beliau bersabda, “Tetap perintahkan Abu Bakr untuk menjadi imam.” (Muttafaqun alaih. HR. Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418).

 

[Ustadzah Novria]

 

sumber: Mozaik Inilah.com

UNESCO Menyatakan Masjid Al Aqsa Sebagai Situs Suci Islam

Pengamat dari Universitas Al-Azhar di Mesir mengapresiasi keputusan Organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO). Sebab, UNESCO telah memutuskan Masjid Al Aqsa sebagai situs suci sekaligus tempat ibadah umat Islam.

Pengamat mengatakan, keputusan UNESCO dianggap sebagai kemenangan bagi Palestina dan semua umat Islam di seluruh dunia. Berawal dari ini, akan ada solusi untuk masalah yang dihadapi Palestina. Yakni mengakhiri penjajahan yang dilakukan Israel dan mengembalikan hak-hak Palestina.

Menurutnya, hal ini juga dapat menjadi panggilan kepada masyarakat dunia untuk mendukung upaya Arab dan Islam dalam membantu Palestina menjadi negara yang berdaulat. Selain itu, untuk melindungi Palestina, umat Islam dan Kristen.

Setelah melalui perdebatan sejarah antara Palestina dan Israel, Masjid Al Aqsa kini diakui sebagai peninggalan peradaban Islam oleh UNESCO. Dilansir dari Dailynewsegypt, Ahad (16/10).

Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry mengatakan, pihaknya juga telah mengunjungi Israel pada Juni lalu untuk memulai kembali proses mendamaikan Palestina dan Israel. Mesir terus berupaya mencari solusi untuk masalah yang dihadapi Palestina dan Israel. Mesir akan terus menyerukan perdamaian antara Palestina dan Iarael.

 

 

sumber: Republika Online

Pejabat Senior Pemerintah Myanmar Berjanji Hancurkan 12 Masjid dan 35 Madrasah di Rakhine

Seorang pejabat senior pemerintahan Myanmar di  Negara bagian Rakhine bersumpah untuk meruntuhkan semua bangunan yang dibangun secara ilegal termasuk Masjid-Masjid dan Sekolah-Sekolah Islam, demikian menurut laporan Anadolu hari Rabu (21/09).

Lebih dari 3.000 bangunan di Rakhine termasuk diantaranya 12 Masjid dan 35 Madrasah (sekolah Islam) dibangun tanpa izin dari otoritas setempat, terutama di sebagian kota-kota Muslim seperti Maungdaw dan Buthidaung di wilayah utara Rakine, sejumlah Masjid dan Madrasah itu akan segera dibongkar oleh pemerintah Rakhine, mengutip laporan Voice Daily.

Menteri Keamanan dan Urusan Perbatasan Rakhine, Kolonel Htein Linn, menyatakan bahwa, “Kami sedang bekerja untuk menghancurkan Masjid-Masjid dan bangunan lainnya yang dibangun tanpa izin sesuai dengan hukum.”

Rencana penghancuran belasan Masjid dan puluhan Madrasah milik Muslim Rohingya di Rakhine itu telah menyebabkan kekhawatiran di kalangan warga.

Para pemimpin Muslim menanggapi rencana itu dengan menyebut bahwa langkah tersebut dapat menciptakan ketegangan yang tidak perlu antara komunitas Buddha dan Muslim di negara bagian Rakhine, mengutip laporan Democratic Voice of Burma (DVB).

“Rencana ini dapat mengakibatkan kekerasan agama dan masalah yang tidak diinginkan lainnya,” ujar pemimpin Muslim yang tidak ingin disebutkan namanya itu yang dari kota Maungdaw.

“Kebijakan ini bukan bersifat konstruktif melainkan akan menciptakan dilema bagi masyarakat setempat.”, imbuhnya.

Negara bagian barat Myanmar Rakhine, telah mengalami serangkaian peristiwa kekerasan komunal antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya sejak tahun 2012. Insiden kekerasan ini hampir menewaskan 100 jiwa dan menjadikan sekitar 140.000 warga Rohingya menjadi para pengungsi, bahkan sebagian besar anggota komunitas Muslim Rohingya kini hidup tanpa negara.

Selama pertemuan dengan warga di ibukota negara bagian Rakhine, Sittwe, hari Selasa (20/09), Menteri Keamanan dan Urusan Perbatasan Rakhine, Kolonel Htein Linn, mengatakan pemerintah Rakhine akan mengeluarkan pengumuman resmi dalam waktu dekat dengan waktu yang ditetapkan untuk pembongkaran [Masjid dan Madrasah], seperti dilansir Voice Daily.

“Ini adalah suatu keharusan untuk menindak bangunan ilegal yang tumbuh,” kata Kolonel Htein Linn.

Menurut pemerintah Rakhine, saat ini terdapat 2.270 bangunan ilegal termasuk 9 Masjid dan 24 sekolah Islam di kota Maungdaw, sementara itu terdapat 1.056 bangunan liar, di antaranya 3 Masjid dan 11 Madrasah di kota Buthidaung.

Sebagaimana diketahui, umat Muslim mencakup lebih dari 90 persen dari total penduduk di dua kota yang berbatasan dengan Bangladesh itu, Maungdaw dan Buthidaung.

Sebagian besar bangunan akan dihancurkan adalah bangunan yang dimiliki oleh umat Islam, menurut laporan DVB hari Senin lalu (19/09).

Sejak Partai Liga Nasional untuk Demokrasi berhasil memenangkan pemilu 8 November, Ketua Partai NLD (yang juga kini menjabat sebagai Penasihat Negara) Aung San Suu Kyi berada di bawah tekanan internasional yang luar biasa untuk memecahkan masalah penduduk Muslim Rohingya di negara itu.

Sayangnya, Suu Kyi, tokoh yang digelari demokrat sejati itu, malah memilih berkompromi dengan faksi ekstrimis Buddha dengan bertindak sangat lamban dalam persoalan Rohingya karena Ia takut dengan faski nasionalis Budhha di negara itu, banyak dari para ekstrimis Buddha di Myanmar yang telah menuding umat Muslim mencoba untuk memberantas tradisi Buddhis di Myanmar.

Suu Kyi, bersikeras dengan gagasan bahwa banyak masalah yang menyebabkan ketegangan agama di Rakhine – Ia malah menyebut jantung masalah terletak di bidang ekonomi, dan berupaya mendorong investasi di daerah itu. Banyak pihak berharap bahwa partainya NLD akan memimpin rekonsiliasi antara komunitas Buddha dan Muslim.

Sejak konflik meletus awal tahun 2012, sekitar 150.000 Rohingya telah mengungsi dan tinggal di 67 kamp-kamp pengungsian terbatas dan telah ditolak negara hak-hak kebebasannya untuk bergerak. Selain itu, setidaknya 160 orang, sebagian besar adalah Muslim Rohingya, tewas dalam bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di wilayah itu.

Menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Walau tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, pemerintah Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.

Mereka juga memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sering mengalami penahanan sewenang-wenang dan perpajakan, kerja paksa, dan penyitaan properti, demikian menurut laporan Human Rights Watch (HRW).

Merujuk pada kesepakatan PBB tentang UU Kewarganegaraan tahun 1982,   dimana sudah menjadi kewajiban untukbmemasukkan semua Agama dan etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya, agar dapatn menjamin hak-hak kewarganegaraan penuh dan juga kesetaraan, selain untuk penghapusan kebijakan yang telah menargetkan Rohingya di negara bagian Rakhine. [IZ]

 

sumber: PanjiMas

Obat Penangkal Penyakit Hati

Saat manusia ditimpa cobaan, kebanyakan akan merasa marah dan merasa tidak adil kepada Tuhannya. Mereka bahkan akan merasa gelisah ketika menerima keadaan yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian anggota keluarganya, dan lain-lain.

Namun, tidak demikian bagi orang yang mempunyai sifat ridha terhadap segala sesuatu yang memang telah ditakdirkan Allah SWT. Bahkan, mereka akan merasa gembira, sehingga dapat terhindar dari penyakit hati, seperti iri hati dan dengki terhadap orang lain, ataupun suuzan terhadap Allah SWT.

Kata ridha berasal dari bahasa Arab,radhiya yang artinya senang hati atau rela. Ridha, menurut syariah, adalah menerima dengan senang hati atas segala sesuatu yang diberikan Allah SWT, baik berupa hukum maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, ridha diartikan rela, suka, dan senang hati. Menurut bahasa, ridha adalah ketetapan hati untuk ma keputusan yang sudah ditetapkan. Ridha merupakan akhir dari semua keinginan dan harapan yang baik.

Sementara, dalam buku Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa ridha adalah menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah SWT. Dengan kata lain, ridha adalah tidak menentang hukum dan ketentuan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, “Barang siapa yang tidak ridha dengan qada (ketetapan) dan qadar (takdir)-Ku hendaklah ia mencari Tuhan selain daripada Aku.” (HR At-Tabrani).

Sejatinya, terdapat pengertian ridha yang lebih tinggi dari pengertian tersebut, yaitu ridha dalam arti gembira menerima segala keputusan Allah SWT. Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikatakan Zunnun al-Misri bahwa ridha adalah kegembiraan hati dalam menghadapi takdir Allah SWT.

Seorang sufi yang hidup pada abad pertengahan, Ruwaim, juga mengungkapkan pengertian yang sama. Ia mengatakan bahwa ridha adalah menghadapi ketentuan Allah SWT dengan rasa girang.

Seorang sufi wanita terkemuka, Rabi’atul Adawiyah, suatu waktu juga pernah ditanyai tentang kapan seorang hamba menjadi orang yang ridha, kemudian Rabi’ah menjawab, “Bila kegembiraannya di waktu ditimpa bencana sama dengan kegembirannya di kala mendapat kurnia.” (Ensiklopedi Islam Jilid IV, hlm 170).

Dalam tingkatan sufi, ridha pada peringkat pertama merupakan maqam bagi seorang sufi, sedangkan ridha pada peringkat kedua adalah hal yang merupakan karunia Allah SWT. Ridha mencerminkan puncak ketenangan jiwa seseorang.

Pendirian orang yang telah mencapai maqam ridha tidak akan terguncang oleh apa pun yang dihadapinya karena baginya segala yang terjadi di alam ini tidak lain adalah kekuasaan Allah SWT yang merupakan iradat (kehendak) Allah yang mutlak. Semua yang terjadi itu harus diterima oleh manusia dengan rasa tenang dan gembira karena itu adalah pilihan Allah SWT yang berarti pilihan yang terbaik.

Dalam sejumlah maqam yang dijalani seorang sufi, maqam ridha lebih tinggi daripada maqam sabar karena dalam pengertian sabar masih terkandung pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan bagi orang yang telah berada pada maqam ridha, ia tidak lagi membedakan antara apa yang disebut nikmat. Semua itu diterimanya dengan rasa senang karena semuanya adalah ketentuan Allah SWT.

Tumbuhnya ridha di dalam hati didahului oleh tumbuhnya mahabah atau cinta. Kecintaan kepada Allah SWT menyebabkan hati ridha kepada-Nya. Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan mengenai tumbuhnya ridha dari rasa cinta bahwa laksana seseorang yang sedang dimabuk asmara.

Suatu ketika orang yang dimabuk asmara itu sedang asyik memikirkan buah hatinya dan saat itu tidak akan tampak orang lain selain buah hati yang sangat dirindukannya tersebut. Meskipun seseorang memanggilnya, ia tidak akan mendengarnya karena hatinya telah terpaut sepenuhnya kepada kekasihnya itu.

Demikian pula dengan orang yang sedang asyik mencintai sang Maha Kekasih, Allah. Semua yang datang dari Allah niscaya akan menyenangkan hatinya dan kalbunya terasa lega dalam menghadapi ketentuan dari Allah.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya, Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung dengan hikmat dan keagungan-Nya telah menjadikan kesenangan dan kegembiraan pada ridha dan yakin. Ia pun menjadikan kesedihan dan kedukaan pada ragu dan kedongkolan.” (HR At-Tabrani).

Keridhaan seseorang terhadap ketentuan Allah bukan tidak berbalas karena Allah pasti akan membalasnya dengan ridha juga. Dalam Alquran dijelaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS al-Bayyinah [98]:7).

 

sumber: Republika Online

Hukum Jika Kita Menabrak Kucing

JIKA menabrak kucing ini di luar kesengajaan manusia, maka dia tidak menanggung risiko apapun. Kecuali jika hewan itu milik orang lain. Maka dia menanggung ganti rugi ke pemiliknya.

Allah berfirman, “Tidak ada dosa bagi-mu untuk perbuatan yang kamu tidak senngaja, tetapi (yang ada dosa) apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. al-Ahzab: 5).

Sehingga tugas bagi mereka yang secara tidak sengaja menabrakkucing hingga mati adalah menguburnya, agar bangkai kucing ini tidak mengganggu orang lain. Dr. Soleh al-Fauzan pernah ditanya tentang hukum menabrak kucing. Jawaban beliau,

“Namun jika hal tersebut tidak memungkinkan lalu anda melindasnya tanpa kesengajaan ingin menghabisi nyawanya karena anda tidak bisa menghentikan kendaraan secara mendadak maka anda tidak berdosa. Anda berdosa karena membunuh hewan manakala anda dengan sengaja membunuhnya tanpa adanya alasan pembenar yang bisa dibenarkan karena hewan itu memiliki kehormatan dan dia tidak menyakiti anda.”

[al-furqan/fatawa]

 

sumber: Mozaik INilah.com

3 Pembagian Hewan yang Boleh Dibunuh

PARA ulama membagi hewan menjadi 3:

(1) Hewan yang diperintahkan syariat untuk dibunuh. Seperti kalajengking, ular, tikus, anjing hitam, dst. Di samping binatang ini berbahaya, mereka juga mengganggu. Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda, “Lima hewan yang semuanya jahat (mengganggu), boleh dibunuh walau di tanah suci; burung gagak, burung hering, anjing yang suka melukai, kalajengking dan tikus.” (HR. Muslim 2924).

(2) Hewan yang mengganggu. Hewan pengganggu, boleh dibunuh, sekalipun tidak ada perintah dari syariat untuk membunuhnya. Seperti binatang buas yang membahayakan, nyamuk, semut yang mengganggu, kecoa yang mengganggu, tawon yang ganggu atau lalat.

(3) Hewan yang tidak mengganggu. Hewan yang tidak mengganggu, tidak boleh dibunuh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menceritakan, ada wanita yang diazab gara-gara menyiksa kucing. Karena kucing bukan termasuk hewan yang mengganggu atau membahayakan manusia. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang wanita yang diazab karena seekor kucing. Dia kurung seekor kucing sampai mati, sehingga dia masuk neraka. Dia tidak memberinya makan, tidak pula minum, dan tidak dilepaskan sehingga bisa makan binatang melata tanah.” (HR. Bukhari 2365 dan Muslim 5989).

Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk kucing. Termasuk juga, “Jika ada orang membunuh seekor burung atau yang lebih kecil dari itu, tanpa alasan yang benar, maka Allah akan meminta pertanggung jawaban hal itu kepadanya.”

Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, Apa haknya?” “Dia sembelih untuk dimakan, tidak mematahkan lehernya kemudian dibuang.” (HR. Nasai 4349). [al-furqan/fatawa]

9 Golongan dalam Salat, di Mana Posisi Anda?

MENGAPA sampai saat ini kita merasa bahwa ibadah salat kita tak banyak memberi dampak positif terhadap kondisi sosial bangsa kita? Barangkali, karena setiap kita masih dalam tahap-tahap awal dalam upaya mendirikan salat.

Mari kita nilai kualitas salat kita, nanti akan terjawab kenapa kita seringkali tidak mendapat pertolongan Allah. Hal ini juga dapat menjelaskan secara keseluruhan, mengapa saat ini umat Islam tidak lagi menjadi umat yang agung seperti dulu.

 

Golongan pertama

Kita bisa lihat hari ini sudah banyak umat Islam yang tidak salat, bahkan banyak juga yang tidak tahu cara salat yang benar; mereka telah jatuh kafir. Imam Malik berkata bahwa jatuh kafir kalau tidak salat tanpa sebab. Imam Syafi’i berkata jatuh fasik – (pun masuk neraka juga) kalau ia masih yakin sembahyang itu fardu.

Golongan kedua

Orang yang mengerjakan salat secara lahiriah saja, bacaan pun masih tak betul, taklid buta, main ikut-ikut orang saja tanpa percaharian yang sungguh-sungguh. Belajar salat seadanya. Ilmu tentang salat tidak dianggap penting. Golongan ini tertolak bahkan berdosa besar dan hidup dalam kondisi durhaka kepada Allah Taala.

Golongan ketiga

Orang yang mengerjakan salat, bahkan tahu ilmu tentang salat, tetapi tak mampu melawan nafsu terhadap godaan dunia yang kuat. Jadi mereka ini kadang salat, kadang tidak. Kalau ada waktu dan mood baik; ia salat, kalau sibuk bekerja atau menjamu tamu, ada hajatan, pesta ria, berziarah, bepergian, letih dan penat, maka ia tak salat orang ini jatuh fasik.

Golongan keempat

Orang yang salat, kalaupun ilmunya tepat, fasih bacaannya, tapi tak khusyuk kalau diperiksa satu persatu bacaannya, lafaznya banyak yang tak dia mengerti, pikirannya tak terpusat atau tak berfokus sepenuhnya pada salat yang dilaksanakannya karena tak mengerti apa yang dia baca. Cuma main hafal saja. Jadi pikirannya terus terfokus pada dunia dan alam sekelilingnya. Pikirannya mengembara dalam salat, orang ini lalai dalam salat. Neraka Wail bagi orang jenis ini.

Golongan kelima

Orang yang salat cukup lima waktu, tepat ilmunya, memahami setiap bacaan salat, fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tapi tak dihayati maksud dalam salat itu. Pikirannya masih melayang mengingatkan hal dunia, karena faham saja tetapi tidak dihayati. Golongan ini dikategorikan sebagai salat awamul muslimin.

Golongan keenam

Golongan ini lebih baik sedikit dari golongan yang ke lima tadi, tapi main tarik tali di dalam salatnya, sesekali khusyuk, sesekali lalai. Bila teringat sesuatu di dalam salatnya, teruslah terbawa, berkhayal dan seterusnya. Bila teringat Allah secara tiba-tiba, maka insaf dan sadarlah kembali, mencoba dibawa hatinya serta pikirannya untuk menghayati setiap kalimat dan bacaan di dalam salatnya. Begitulah sampai selesai salatnya. Ia merintih dan tak ingin jadi begitu, tapi terjadi juga. Golongan ini adalah golongan yang lemah jiwa. Nafsunya bertahap mulhamah (artinya menyesal akan kelalaiannya dan mencoba perbaiki kembali, tapi masih tak sanggup karena tidak ada kekuatan jiwa). Golongan ini terserah kepada Allah. Yang sadar dan khusyuk itu mudah-mudahan diterima oleh Allah, mana yang lalai itu moga-moga Allah ampunkan dosanya, namun tidak ada pahala nilai sembahyang itu. Artinya salatnya tidak berdampak apa-apa. Allah belum lagi cinta akan orang jenis ini.

Golongan ketujuh

Orang yang mengerjakan salat tepat ilmunya, memahami secara langsung bacaan dan setiap lafaz di dalam salatnya. Hati dan pikirannya tidak terbawa dengan keadaan sekelilingnya sehingga pekerjaan atau apa pun yang dilakukan atau yang dianggap diluar sembahyang itu tidak mempengaruhi salatnya. Meskipun ia memiliki harta dunia, menjalankan kewajiban dan tugas keduniaan seperti bisnis dan sebagainya namun tidak mempengaruhi salatnya. Hatinya masih dapat memuja Allah di dalam salatnya. Golongan ini disebut orang-orang saleh atau golongan abrar ataupun ashabul yamin.

Golongan kedelapan

Golongan ini seperti juga kaum tujuh tetapi ia memiliki kelebihan sedikit yaitu bukan saja mengerti, dan tak tergoda dunia di dalam salatnya, malahan dia dapat menghayati setiap makna bacaan salatnya itu, pada setiap kalimat bacaan fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tasbihnya pada setiap sujudnya dan setiap gerak geriknya dirasakan dan dihayati sepenuhnya. Tak teringat langsung dengan dunia walaupun sedikit. Tapi namun ia masih tersadar dengan alam sekelilingnya. Pemujaan terhadap Allah dapat dirasakan pada gerak dalam salatnya. Inilah golongan yang dinamakan kaum Mukkarrabin (yang hampir dekat dengan Allah).

Golongan kesembilan

Golongan ini adalah golongan yang tertinggi dari seluruh golongan tadi. Yaitu bukan saja ibadah salat itu dijiwai di dalam salat malahan ia dapat mempengaruhi di luar salat. Kalau ia bermasalah langsung ia salat, karena ia yakin salat menjadi pemecah segala masalah. Salat telah menjadi pendingin hatinya. Ini dapat dibuktikan di dalam sejarah, seperti salat Ali ketika panah terpacak dibetisnya. Untuk mencabutnya, ia lakukan salat dulu, maka di dalam salat itulah panah itu dicabut. Mereka telah yakin dengan salatnya. Makin banyak salat semakin terasa lezat, dengan salatlah cara ia lepaskan kerinduan dengan Tuhannya. Dalam salatlah ia mengadu kepada Tuhannya. Alam sekelilingnya langsung tidak ia hiraukan. Apa yang terjadi di sekelilingnya langsung tak dipedulikannya. Hatinya hanya pada Tuhannya. Golongan inilah yang disebut golongan Siddiqin. Golongan yang benar dan haq.

Setelah kita nilai keseluruhan sembilan tingkat salat tadi, maka dapatlah kita nilai salat kita di tingkat yang mana. Maka ibadah salat yang dapat mengembangkan jiwa, mengembangkan iman, menjauhkan dari yang buruk, dapat mencegah mazmumah (sifat tercela yang dapat membinasakan kita), menanamkan mahmudah (akhlak yang diridai Allah) yang melahirkan disiplin hidup, melahirkan akhlak yang agung adalah golongan tujuh, delapan dan sembilan saja. Salat yang berkualitas, sedangkan golongan yang lain jatuh pada kufur, fasik dan zalim.

Jadi dimanakah tahap salat kita? Perbaikilah diri kita mulai dari sekarang. Jangan tangguhkan lagi. Pertama-tama pertanyaan yang akan ditujukan kepada kita di akhirat nanti adalah salat atau salat kita.[Almanar]