Hafidz Alquran Asal Jerman Motivasi Umat Muslim Indonesia

Seorang hafidz Alquran asal Jerman, Fatih Seferagic tengah mengadakan tour ke 10 Kota di Indonesia. Fatih akan berkeliling untuk mengaji di beberapa masjid di nusantara.

Pria yang juga menjadi imam di salah satu masjid Texas, Amerika Serikat, ini berusaha menyebarkan pesan positif dalam lawatannya ke Indonesia.

Dia mencoba memberikan motivasi, inspirasi dan pemahaman untuk lebih dekat dengan Alquran sebagai pedoman hidup masyarakat dalam keseharian.

“Mari bergabung dengan saya untuk menyucikan hati, membersihkan pikiran dan memberi nutrisi jiwa kita dengan bersumber pada kalimat dari Alquran yang paling mulia,” ungkap Fatih di Depok, Jumat (11/11).

Tour pengajian Fatih yang rencananya akan dilaksanakan di 10 kota di Indonesia ini akan menyambangi berbagai kampus, masjid serta pondok pesantren. Kegiatan dimulai 10 November kemarin hingga 18 November mendatang.

Tour bertema Heaven to Earth ini diawali dengan mengunjungi masjid Ukhuwah Islamiyah di Universitas Indonesia, Depok dan kampus UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta. Usai mengaji di kampus, Fatih lantas mengadakan bincang-bincang terkait pribadinya.

Fatih kemudian akan bertolak ke Masjid Agung Alun-Alun Bandung dan melakukan sharing session bersama Walikota, Ridwan Kamil dan warga Bandung.

Kunjungan Fatih lantas diteruskan dengan acara Tilawah Akbar sebagai rangkaian Olimpiade Pecinta Alquran yang diadakan Komunitas One Day One Juz 13 November 2016 di Bekasi.

Fatih lantas menuju Pondok Pesantren Al Ihya, Bogor untuk melakukan shalat berjamaah dan melakukan kegiatan sharing sessionpada hari yang sama. Setelah mengunjungi berbagai tempat di Jabotabek dan Bandung, Fatih Seferagic melakukan perjalanan berbagi inspiratif campus to campus.

Universitas Diponegoro Semarang Senin (14/11), Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Selasa (15/11), Masjid Agung Surabaya Rabu (16/11) dan berakhir di Universitas Brawijaya, Malang.

Sebelumnya, tour pria berdarah Jerman ini dilakukan bersama Wardah dan Desainer busana Muslim Indonesia Dian Pelangi. Ini merupakan kali pertama Fatih mengunjungi Indonesia.

“Fatih sosok pemuda yang penuh inspiratif dan hal ini mampu menularkan semangat positif bagi masyarakat luas,” kata Marketing Director Wardah, Salman Subakat.

Fatih Seferagic merupakan hafidz Alquran yang mulai populer melalui situs jerjaring sosial, Youtube. Video yang diunggah menayangkan tentang kefasihannya dalam melantunkan ayat suci Alquran berhasil menarik perhatian jutaan netizen di dunia.

 

sumber: Republika Online

Awas, Seekor Lalat Bisa Menjerumuskan ke Neraka

IMAM Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya yang berjudul Az Zuhud, menuliskan sebuah riwayat yang sampai kepada shahabat Salman Al Farisi.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.”

Mereka, para sahabat, bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?”

“Ada dua orang lelaki,” jawab Rasulullah, “yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala.”

Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah!”

Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.”

Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat!”

Ia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk neraka.

Mereka juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah!” Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah azza wa jalla.”

Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk surga.

Demikianlah keadaan dua orang manusia yang nasibnya berbeda karena salah satunya berujung di neraka selama-lamanya, dan yang lainnya berujung di surga selama-lamanya. Padahal, keduanya sebelumnya adalah sama-sama seorang Muslim.

Manusia, seringkali menganggap remeh masalah bahaya syirik. Padahal seseorang bisa saja terjerumus dalam kesyirikan sedangkan ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut syirik yang menyebabkan dia terjerumus dalam neraka nantinya.

Oleh karena itu, sahabat Anas berpitawat, “Kalian mengamalkan suatu amalan yang disangka ringan, namun kami yang hidup di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganggapnya sebagai suatu petaka yang amat besar.”

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338268/awas-seekor-lalat-bisa-menjerumuskan-ke-neraka#sthash.sCA13XZv.dpuf

Kezuhudan yang Menaklukan Dunia

Dalam sebuah kesempatan Anas bin Malik mendatangi Nabi Muhamad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, sementara beliau sedang berbaring di atas kasur tipis yang langsung beralaskan tanah, di bawah kepala beliau terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang isinya serabut kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.

Sesaat kemudian masuklah Umar bin Khotthob menemui Nabi dan mendapati beliau masih  dalam kondisi berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya. Nabi kemudian bertanya: “Apa yang membuat engkau menangis wahai Umar?” Umar bin Khottob menjawab: “Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rosululloh, sementara aku mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti yang aku lihat?!

Sejurus kemudian, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi kita akhirat? Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rosululloh”.[1]

Dalam kesempatan dan kondisi yang tepat, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada Umar bin Khottob dan seluruh umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya. Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak dunia serta lalai akhiratnya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menekankan point penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.

Sebagaimana diketahui, di antara pelajaran terpenting dan mendasar yang selalu terselipkan dalam setiap syariat Islam adalah konsep hidup zuhud. Zuhud merupakan pagar hati seorang hamba agar tidak terbelenggu dengan dunia dan selalu focus dengan akhirat. Sahabat Abu Dzar al Ghifari –radhiyallohu ‘anhu- pernah menjelaskan tentang zuhud dengan perkataannya; “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal, bukan pula dengan menyia-nyiakan harta. Bersikap zuhud terhadap dunia adalah dengan menganggap apa yang ada di Tangan Allah lebih dipercaya dari pada apa yang ada di kedua tanganmu dan menjadikan pahala musibah ketika engkau mendapatkannya lebih engkau cintai jika musibah itu masih berlangsung bersamamu”.[2]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang bagaimana zuhudnya orang yang memiliki harta, beliaupun menjawab: “jika dirinya tidak terlalu bergembira dengan tambahnya harta dan tidak terlalu bersedih ketika berkurang”. Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan zuhud dengan pendeknya angan-angan. Karena pendeknya angan membuat jiwa ingin sekali bertemu Allah dan tidak ingin tinggal lama di dunia. Sementara panjang angan membuat jiwa cinta dunia dan tidak ingin bertemu dengan Allah ta’ala.[3]

Harapan ingin bertemu dengan Allah dalam kondisi terbaik dan berprestasi di hadapan-Nya menjadi motivasi kuat yang lahir dari zuhud terhadap dunia. Dari sikap zuhud pula muncul spirit berkorban dan mempersembahkan terbaik untuk Allah ta’ala. Karena sang hamba yang zuhud senantiasa berfikir bagaimana akhiratnya menjadi kehidupan terindah. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala mencintai orang-orang zuhud. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saat ditanya tentang amalan yang mengundang kecintaan Allah ta’ala, beliau pun menjawab:

«ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ »

“bersikap zuhudlah kamu terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu…”(HR.Ibnu Majah)[4]

Bermula dari zuhud inilah kaum muslimin menjadi penakluk dunia. Dunia berhasil digenggam dalam tangannya, tak secuilpun dari keindahannya mampu membelenggu hatinya. Justru yang terjadi dunia merengek-rengek untuk diambil olehnya. Ibarat orang yang mengejar sumber cahaya, maka secara otomatis bayang-bayang dirinya selalu mengikutinya. Adapun orang yang terbelenggu hatinya oleh dunia, seperti orang yang mengejar bayang-bayangnya sendiri dan menjauh dari sumber cahaya. Gambaran yang jelas tentang perbandingan antara pemburu dunia dan pemburu akhirat adalah seperti yang disampaikan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam salah satu nasehatnya :

«مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ، جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ»

“Barang siapa  yang menjadikan dunia tujuannya, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di antara kedua matanya dan tidaklah datang kepadanya bagian dunianya melainkan apa yang sudah ditetapkan untuknya. Dan barang siapa akhirat menjadi niat tujuannya niscaya Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam kondisi hina.” (HR. Ibnu Majah)

Orang-orang zuhud adalah para pemburu akhirat. Para hamba yang menjadikan obsesi akhirat selalu dalam pokok urusannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mudah terbeli dengan dunia seisinya. Sumber energy mereka adalah keikhlasan untuk Allah. Tidak mengherankan jika para penguasa dunia tunduk-takluk di hadapan hamba zuhud.

Dalam perang Yarmuk, peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum kafirin salibis Romawi di tahun 13 H, Jenderal al Qoiqolan –salah seorang jenderal terkemuka di masa Kaisar Heraklius- mengutus mata-mata untuk mengetahui bagaimana kekuatan tempur kaum muslimin. Kemudian berangkatlah pasukan mata-mata menjalankan tugasnya. Seusai mendapatkan informasi yang dibutuhkan, pasukan tersebut bergegas melaporkan kepada Sang Jenderal al Qoiqolan. Informasi tentang kekuatan tempur kaum muslimin diungkapkan oleh mereka dalam satu kalimat: “kami mendapati mereka adalah kaum yang di malam harinya seperti para rahib-rahib sementara di siang harinya mereka adalah para ksatria tangguh. Demi Allah kalau anak raja mereka mencuri pastilah mereka akan memotong tangannya, kalaupun ada yang berzina pastilah mereka akan merajamnya”.[5]

Mendengar informasi tersebut, Jenderal al Qoiqolan langsung berkomentar: “Jikalau engkau jujur dengan apa yang engkau sampaikan, tentulah perut bumi (kematian) lebih baik (bagi mereka) dari pada punggungnya”. Sang Jenderal mengetahui bahwa pasukan yang akan dia hadapi adalah pasukan berani mati yang tidak mudah dikalahkan.

Benar saja, tatkala berhadapan dua pasukan besar. Jenderal Mahan –salah seorang jenderal senior kaisar Heraklius- mengajak negosiasi dengan Kholid bin al Walid yang saat itu menjadi penglima jihad kaum muslimin. Jenderal Mahan berkata kepada Kholid: “Sesungguhnya kami mengetahui  sebab keluarnya kalian dari negeri kalian yaitu karena kekeringan dan kelaparan. Maka kemarilah kalian agar aku berikan setiap orang dari kalian 10 dinar, sandang dan pangan agar kalian bisa pulang ke negeri kalian. Di tahun berikutnya kami akan mengirimkan lagi dengan kadar serupa ”. Perhatikan dalam perkataan tersebut, bagaimana Jendral Mahan hendak merendahkan martabat kaum muslimin. Sang Jenderal mengira kaum muslimin adalah kaum yang mudah terbeli dengan sekeping dunia.

Dengan tegas, Kholid bin al Walid menyanggah anggapan miring dari Jenderal Mahan dan mencoba menciutkan mentalnya seraya berkata; “Sesungguhnya kami tidaklah keluar dari negeri kami karena apa yang engkau sebutkan, akan tetapi kami adalah kaum yang sudah terbiasa minum darah (berperang) dan telah  sampai kepada kami kabar bahwa tidak ada darah yang lebih baik dari pada darahnya bangsa Romawi, maka kami datang untuk itu”.[6]

Perhatikan bagaimana Kholid bin al Walid menolak tawaran dan iming-iming dunia dari Romawi. Kalaupun yang berhadapan saat itu orang yang mencintai dunia pastiah tawaran menggiurkan itu akan diterimanya. Namun yang berhadapan saat itu adalah Kholid bin al Walid seorang pengikut nabi dan panglima kaum muslimin yang zuhud. Tentu saja, iming-iming dari Mahan itu tidak seberapa dengan apa yang dijanjikan oleh Allah dari surga yang luasnya meliputi langit dan bumi.

Akhirnya peperangan tersebut dimenangkan secara gemilang oleh kaum muslimin. Kekaisaran Romawi yang kekuatannya pernah mendominasi dunia secara erabad-abad harus menelan pahit kekalahan. Kekuatan 210.000 pasukan Romawi harus bertekuk lutut di hadapan 24.000 pasukan kaum muslimin. Tentu saja, hasil akhir peperangan tersebut merubah total geo politik dunia. Sejak itulah Islam menjadi kekuatan perubahan baru dalam pentas kepemimpinan dunia. Di balik kemenangan kaum muslimin saat itu tentunya ada sebuah rahasia besar yang tersimpan hingga menghantarkan kaum muslimin menguasai dunia selama berabad-abad. Di antara rahasianya adalah sikap zuhud mereka terhadap dunia ini. Inilah kezuhudan yang menaklukan dunia. Wallohu a’lam.

[abuharits]

 

sumber:Bumi Syam

[1] HR. Bukhori dalam kitab al Adab al Mufrod, bab: duduk di atas Kasur, berkata Syaikh al Albani: hadits hasan shohih.

[2] Imam Ibnu Rojab al Hanbali –rohimahulloh– menyatakan riwayat ini mauquf disandarkan kepada sahabat Abu Dzar al Ghifari  -radhiyallohu ‘anhu-. [Ibnu Rojab al Hanbali,  Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam(Kairo: Dâr al ‘Aqîdah, cetakan I, tahun 1422 H) hal 391]

[3] Ibnu Rojab al Hanbali, Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam (Kairo: Dâr al ‘Aqîdah, cetakan I, tahun 1422 H) hal 394

[4] HR. Ibnu Majah dalam sunannya, kitab: al Zuhd, bab: al Zuhdu fii al dunya. Imam an Nawawi menilai derajat hadits ini hasan sanadnya.

[5] Ibnu Katsir, al Bidayah wa al Nihayah (Kairo: Dâr al ẖadîts, cetakan tahun 1427 H) juz 7 hal 8

[6] Ibnu Katsir, al Bidayah wa al Nihayah (Kairo: Dâr al ẖadîts, cetakan tahun 1427 H) juz 7 hal 10

Carilah Guru Menanamkan Keyakinan & Keistiqamahan

KATA para ulama: “Tanaman yang tumbuh sendiri tanpa ada yang menanam, menyirami, memupuk dan merawat biasanya sulit sekali berbuah. Begitu pulalah dengan penanaman ilmu dalam akal dan hati manusia, sulit untuk berbuah jika tanpa adanya guru yang mengajari, membimbing, dan merawat dengan doa setiap saat.” Kalimat inilah yang sering terngiang di telinga saya dan memotivasi saya untuk tidak berhenti mengaji dan berguru.

Ada beberapa cara guru menanamkan ilmu yang berbuah kepada para santrinya. Ada yang tak pernah berhenti membacakan kitab warisan para ulama salaf. Maka sangat terkenal sekali tradisi khataman kitab di beberapa majelis ta’lim dan pesantren. Lahirlah para pakar literatur kitab kuning dari tradisi yang seperti ini.

Indonesia sangat kaya dengan ulama dan santri seperti ini. Sayangnya masih belum “dimanfaatkan” secara maksimal oleh pemerintah dan masyarakat. Kebanyakan masyarakat terpesona dengan keterkenalan yang sesungguhnya hasil kerja iklan komersial.

Ada beberapa guru yang menanamkan ilmu kehidupan pada santrinya dengan cara bekerja dan pengabdian masyarakat. Guru seperti ini jarang bahkan tidak pernah membacakan kitab kepada santrinya. Tiap hari menyuruh santrinya ikhlas bekerja untuk Islam dan muslimin.

Lahirlah beberapa tokoh Islam yang menjadi tumpuan masyarakat karena dakwah bil haal (dakwah dengan fakta perilakunya) yang layak menjadi teladan. Dari tokoh seperti inilah bisa didapatkan motivasi kehidupan.

Ada guru yang menanamkan keilmuan dengan cara rajin riyadlah ruhaniyah (latihan jiwa), yakni dengan banyak berdzikir, berdoa dan berpuasa. Biasanya tak perlu sering bertatap muka dengan para muridnya di atas bumi, tapi pasti selalu bertemu di atas langit.

Lahirlah dari guru seperti ini tokoh-tokoh yang tulus mencintai dan menyayangi semua makhluk, yang tak pernah berhenti mendoakan kebajikan bagi semuanya. Dari tokoh seperti inilah kita bisa banyak belajar tentang hikmah dan rahasia hidup.

Saya sudah sering bertemu dengan model guru seperti di atas. Namun saya belum banyak mendapatkan ilmu dari para guru itu. Karenanya saya terus mencari sampai kini guna menggapai keyakinan dan keistiqamahan hidup. Marilah kita bersama-sama mencari. Salam, AIM. [*]

 

sumber: Mozai.Inilahcom

Menjual Ayat Allah tak Mencium Wangi Surga

Kata menukar atau menjual ayat-ayat Allah SWT sering kali terdengar belakangan ini. Kata-kata tersebut biasanya ditujukan kepada seseorang untuk kepentingan pemilu atau undangan ceramah kepada ustadz dengan tarif mahal.

Mereka menukarkan atau menjual ayat-ayat Allah untuk mendapatkan harta benda atau kekayaan di dunia.

Sebagaimana firman-Nya:

“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. (QS. At-Taubah, 9:9).

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Firman Allah Swt pada ayat dimaksud dalam rangka mencela kaum musyrikin dan memotivasi kaum muslimin untuk memerangi mereka. “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”

Maksudnya adalah telah menukar antara mengikuti ayat-ayat Allah dengan perkara dunia yang hina nan melalaikan.

Imam Al-Qurthubi mengemukakan, “Ada yang mengatakan bahwa mereka mengganti Alquran dengan harta benda dengan kemewahan dunia.”

Firman-Nya:

“Lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah.” Imam Al-Qurthubi mengatakan, maksudnya adalah berpaling atau menghalangi dari jalan Allah.

Imam Ibnu Katsir berkata, “maksudnya, melarang kaum mukminin untuk mengikuti jalan kebenaran.”

Menukarkan ayat Allah dengan harga yang sedikit adalah ciri khas kaum musyrikin. Maka hendaklah seorang Muslim yang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, tidak mengikuti golongan yang telah dipastikan merugi. Karena Allah Swt mencela mereka bahwa: “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.”

Pada masa sekarang, dengan mudah kita menemukan dari kalangan kita sendiri yang telah menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah. Yaitu orang-orang yang menghafal Alquran dan Hadits, dengan niat mendapatkan kedudukan dan harta dunia. Misalkan dengan menjadi ustadz terkenal dan bisa mendapatkan kontrak kerja di televisi-televisi supaya mendapatkan upah.

Kita juga mendengar ada ustadz yang memasang tarif mahal. Semakin terkenal dan cakap atau rupawan sang ustadz, maka semakin mahal pula tarifnya. Bahkan ada pula dukun yang berjubah ustadz, dengan maksud mendapatkan keuntungan dunia dari kliennya.

Lainnya, dalam sistem perekrutan kepemimpinan dengan cara pemilu, kebanyakan orang tergelincir. Misalnya, orang yang dijadikan juru kampanye apabila dia orang yang pandai bersilat lidah, dan menghafal banyak ayat Alquran dan Hadits, serta pendapat para ulama, maka disinilah dia akan menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah.

Allah Taala berfirman: “Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Dan bertaqwalah hanya kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah, 2: 41).

Imam Ibnu Katsir mengataka, artinya janganlah kalian menukar iman kalian terhadap ayat-ayat-Ku dan pembenaran terhadap Rasul-Ku dengan dunia dan segala isinya yang menggiurkan, karena ia merupakan sesuatu yang sedikit lagi fana.

Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mempelajari ilmu agama yang seharusnya ditujukan kepada Allah azawajallah, namun dia gunakan untuk mendapatkan kedudukan di dunia dan untuk mendapatkan harta dunia, maka dia tidak akan pernah mencium wanginya surga di hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad, 2/No.338. Abu Dawud, No.3664hadist sahih)

 

sumber: Mozaik Inilahcom

Kekayaan Bisa Dangkalkan Iman dan Tanduskan Jiwa

SYEIKH Abu Nashr as-Sarraj Abu Yaqub an-Nahrajuri berkata, “Saya mendengar Abu Yaqub as-Susi berkata: Ada seorang fakir datang kepada kami, saat itu kami sedang berada di ar-Rajan. Sementara itu, Sahl bin Abdullah juga berada di sana. Lalu si fakir tersebut berkata pada kami, “Kalian adalah orang-orang yang biasa memberi bantuan. Saat ini kami sedang ditimpa bencana.”

Maka Sahl bin Abdullah berkata, “Dalam daftar bencana telah tercatat sejak Anda memperlihatkan masalah ini. Lalu apa bencana itu?” la menjawab, “Dibukakan pada kami pintu dunia, dan aku gunakan hanya untuk diri sendiri tanpa peduli pada keluarga dekatku. Hingga saya kehilangan iman dan kondisi spiritual.” Sahl berkata kepada Abu Yaqub, “Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?” Abu Yaqub menjawab, “Bencana dalam kondisi spiritualnya lebih berat daripada bencana dalam imannya.” Lalu Sahl berkata, “Orang seperti Anda yang pantas mengatakan ini.”

Dikisahkan dari Khair an-Nassaj -rahimahullah -yang berkata: Aku pernah masuk di sebagian masjid. Ternyata di situ ada seorang fakir yang aku mengenalnya. Ketika melihatku ia langsung merangkulku dan menangis sembari berkata, “Wahai syekh kasihanilah aku, karena cobaanku sangat berat!” Lalu aku bertanya, “Wahai fulan, apakah cobaan yang Anda maksudkan?” la tetap berkata, “Wahai syekh, kasihanilah aku, karena cobaanku sangat berat!” Aku pun mengulangi pertanyaan, “Wahai fulan, apakah cobaan yang Anda maksudkan itu?” la menjawab, “Aku telah kehilangan bencana, kemudian setelah itu dibarengi dengan kesehatan (afiat). Sementara engkau tahu, bahwa hal ini adalah cobaan yang sangat berat.” Khair an-Nassaj berkata: Si fakir itu telah dibukakan sedikit kenikmatan dunia.

“Jika berbagai kenikmatan telah melimpah pada salah seorang di antara kalian maka hendaknya ia menangisi pada dirinya. Sebab la telah menempuh jalan yang tidak ditempuh orang-orang saleh.”

Saya mendengar al -Wajihi – rahimahullah – berkata: Bunan al-Hammal dibawakan uang sejumlah seribu dinar yang dituangkan di depannya. Kemudian Bunan berkata pada orang yang menuangkan uang tersebut, “Bawalah kembali dan ambillah uang itu. Demi Allah, andaikan di atas uang tidak ada tulisan nama Allah niscaya sudah aku kencingi. Kemilaunya telah banyak menipuku.”

Al Wajihi berkata: Suatu ketika Bunan al-Hammal diberi kenikmatan duniawi berupa uang empat ratus dinar. Saat itu ia sedang tidur. Mereka meletakkannya di atas kepalanya. Kemudian Bunan mimpi seakan-akan ada orang berkata, “Barang siapa mengambil dunia lebih dari kadar yang secukupnya maka Allah akan membutakan mata hatinya.” Kemudian ia terbangun, dan hanya mengambil empat daniq, sementara sisanya ia tinggalkan.

Saya mendengar Ibnu `Ulwan -rahimahullah – berkata: Ada beberapa orang membawakan uang tiga ratus dinar untuk Abu al-husain an-Nuri. Mereka telah menjual barang-barangnya untuk mendapatkan uang tersebut. Setelah menerima uang itu an-Nuri duduk di atas jembatan Sarat sambil melemparkan dinar-dinar tersebut satu demi satu ke dalam air, dan berkata, “Wahai Tuanku, dengan dinar ini Engkau ingin menipuku jauh dari-Mu.”

Dikisahkan dari Jafar al-Khuldi – rahimahullah – yang berkata: Ibnu Zairi, salah seorang sahabat al-Junaid telah dibukakan sedikit kenikmatan duniawi sehingga la terputus dengan kaum fakir. Suatu ketika la datang kepada kami, sementara di pakaiannya terdapat kantong berisikan dirham yang cukup banyak. Ketika melihat kami dari kejauhan ia, berkata, “Wahai sahabat-sahabat kami, jika kalian sangat bangga dengan kefakiran, sementara kami bangga dengan kekayaan lalu kapan kita bisa bertemu?” Akhirnya ia melemparkan seluruh uang di kantongnya kepada kami.

Abu Said al-A`rabi berkata: Ada seorang pemuda menemani Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi. Kemudian selama beberapa waktu la menghilang dari al-Qalanisi. la kembali dari pengembaraannya setelah terbukakan pintu dunia dan mendapatkan harta. Kemudian kami berkata kepada al-Qalanisi, “Apakah Anda mengizinkan kami untuk datang mengunjunginya?” la menjawab “Tidak, sebab la berteman dengan kita dalam kondisi fakir. Andaikan la tetap pada kondisi semula, seyogyanya kami akan pergi mengunjunginya. Tapi apabila la kembali dari pengembaraannya dalam kondisi seperti ini maka ia yang wajib mengunjungi kami”

Abu Abdillah al-Hushri – rahimahullah – mengisahkan bahwa Abu Hafsh al-Haddad – rahimahullah – tinggal di Ramalah. la membawa dua potong pakaian usang yang di tengah-tangahnya ada uang seribu dinar. la tinggal di sana selama dua, tiga atau empat hari, dimana la tidak mau makan dari uang tersebut. Uang tersebut la berikan pada para fakir sampai habis.

Al-Hushri – rahimahullah – berkata: Di saat-saat krisis pangan kami pernah keluar bersama asy-Syibli mencari sesuatu untuk anak-anaknya. Kemudian kami masuk ke rumah seseorang dan orang itu memberinya sejumlah dirham. Kemudiankami keluar dan di kantongku telah penuh dengan dirham. Setiap berjumpa orang-orang fakir kami berikan uang itu hingga hanya tersisa sedikit. Aku berkata kepada asy-Syibli, “Tuan, anak-anak di rumah sedang kelaparan!” la balik bertanya kepadaku, “Lalu apa yang mesti aku lakukan?” Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, baru aku membeli sedikit makanan dengan sisa dirham tersebut dan kuberikan kepada anak-anaknya.

Dikisahkan dari Abu Jafar ad-Darraj -rahimahullah- yang berkata: Suatu ketika guru aku keluar untuk bersuci. Sementara itu aku mengambil tempat yang la gunakan untuk menyimpan barang-barangnya dan kuperiksa. Ternyata kutemukan loggam perak kira-kira senilai empat dirham. Aku bingung dengan barang ini. Sementara itu dalam beberapa hari aku tidak makan apa-apa. Ketika la pulang aku berkata padanya, “Dalam tempat tuan menyimpan barang-barang, aku temukan logam perak. Sementara pada saat itu aku dalam kondisi kelaparan.”

Lalu ia bertanya padaku, “Wah! Anda ambil barang itu? Tolong kembalikan!” kemudian setelah itu la berkata lagi padaku, “Silakan ambil uang itu, dan silakan Anda membelikannya sesuatu!” Kemudian aku bertanya, “Atas Nama Tuhan Yang engkau sembah, ada apakah dengan uang perak itu?” la menjawab, “Allah tidak pernah memberiku rezeki sedikit dari dunia, baik logam kuning maupun logam putih selain logam perak tersebut. Aku ingin berwasiat agar logam perak tersebut dikubur bersamaku saat aku mati. Sehingga ketika hari Kiamat tiba aku ingin mengembalikannya pada Allah swt. dan kukatakan, `Wahai Tuhanku, inilah sedikit dunia yang Engkau berikan padaku.”

Wazir al-Mutadh pernah memberi uang kepada Abu al-Husain an-Nuri -rahimahullah- sehingga ia mau membagikannya kepada kaum Sufi. Kemudian an-Nuri menuangkan uang itu dalam sebuah rumah dan ia kumpulkan para Sufi di Baghdad. la berkata kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang memerlukan sesuatu silakan masuk rumah ini dan ambil apa yang la inginkan.”

Maka di antara mereka ada yang mengambil seratus dirham, ada yang mengambil lebih banyak, ada yang kurang dari seratus dan ada pula yang tidak mengambil apa-apa. Ketika dirham-dirham itu habis dan tidak tersisa sedikit pun maka an-Nuri berkata kepada mereka, “Jauhnya kalian dari Allah sesuai dengan kadar banyaknya kalian mengambil uang tersebut. Sedangkan dekatnya kalian dengan Allah sesuai dengan kadar kalian meninggalkan uang tersebut.”

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338223/kekayaan-bisa-dangkalkan-iman-dan-tanduskan-jiwa#sthash.pn2U3VTs.dpuf

Benarkah Tidak Boleh Menarik Biaya Dalam Pendidikan Islam?

Benarkah menarik biaya dalam mengajar agama itu menyelisihi dakwah para Nabi. Allah memerintah Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku’.

Seorang penanya menyatakan, “minta upah dari murid dan mensyaratkannya dalam mengajar, ini menyelisihi dakwah para Nabi. Allah memerintah Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku’ (QS. Shad: 86-88). Juga QS. Hud: 29, 109, 127, 145, 164, 180, QS. Asy Syu’ara: 109, 126, 145, 164, 180. Ishaq bin Rahawaih ditanya tentang ahli hadits yang mengajar dan minta upah, beliau menjawab: Jangan tulis hadits dari mereka (Siyar A’lamin Nubala). Termasuk dalam bab ini apa yang dikenal dengan istilah SPP, uang pendaftaran, uang bangunan, dll. yang sejenis dengannya”.

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Apa yang diutarakan pada pertanyaan ini kurang tepat, dan pendalilannya juga tidak pada tempatnya.

1. Bolehnya meminta upah dari pengajaran Al Qur’an

Ditemukan dalam banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memungut upah dari pengajaran Al Qur’an, di antaranya sahabat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أحقَّ ما أخَذْتُمْ عليهِ أجرًا كتابُ اللهِ

“Sesungguhnya hal yang paling layak untuk engkau pungut upahnya karenanya ialah Kitabullah” (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini dengan jelas membolehkan Anda memungut upah karena membacakan Al Qur’an dalam pengobatan atau mengajarkan bacaan atau hafalan Al Qur’an. Padahal anda menyadari bahwa jerih payah yang Anda curahkan untuk itu lebih sedikit dibanding mengajarkan berbagai kandungan ilmu yang tersurat dan tersirat padanya. Baik pengajaran tersebut Anda lakukan secara lisan atau melalui tulisan, format atau non formal.

Hadits berikut juga menguatkan kesimpulan di atas. Sahabat Sahl bin Sa’ad mengisahkan,

أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت : إنها قد وهبت نفسها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم ، فقال : ( ما لي في النساء من حاجة ) . فقال رجل : زوجنيها ، قال : ( أعطيها ثوبا ) . قال : لا أجد ، قال : ( أعطها ولو خاتما من حديد ) . فاعتل له ، فقال : ( ما معك من القرآن ) . قال : كذا وكذا ، قال : ( فقد زوجتكها بما معك من القرآن )

“Ada seorang wanita yang datang menjumpai Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu wanita itu berkata: ‘Sesungguhnya aku telah menghibahkan diriku kepada Allah dan Rasul-Nya’. Mendengar ucapan itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Aku tidak berhasrat untuk menikahi seorang wanita lagi‘. Spontan ada seorang lelaki berkata: ‘Bila demikian, nikahkanlah aku dengannya’. Menanggapi permintaan sahabatnya itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Berilah ia mas kawin berupa pakaian‘. Lelaki itu menjawab: ‘Aku tidak memilikinya’. Kembali Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Bila demikian, berilah ia mas kawin walaupun hanya cincin besi (walau sedikit)‘. Kembali sahabat itu pun mengutarakan alasan yang sama. Sehingga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya kepadanya, ‘Surat apa saja yang telah engkau hafal?’. Lelaki itu pun menjawab, ‘Surat ini dan itu’. Akhirnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Aku telah menikahkanmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur’an yang telah engkau hafal‘” (Muttafaqun ‘alaih).

Dan pada riwayat Muslim disebutkan, “pergilah sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah ia (surat-surat) Al Qur’an (yang telah engkau hafal)”.

Pada hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan sahabat tersebut untuk menjadikan pengajaran Al Qur’an sebagai mas kawin. Ini membuktikan bahwa pengajaran Al Qur’an, bacaannya, menghafalkannya, dan juga kandungan ilmunya memiliki nilai ekonomis. Andai itu semua tidak bernilai ekonomis, niscaya tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin. Karena ulama telah sepakat bahwa pernikahan yang tidak dilengkapi dengan mas kawin adalah haram alias tidak sah. Ini tentu cukup sebagai dalil bahwa mengajarkan ilmu-ilmu kandungan Al Qur’an juga memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, tidak mengapa anda memungut upah dari pekerjaan mengajarkan ilmu-ilmu tersebut.

Namun demikian, apa yang saya utarakan di sini belum menjadi kesepakatan para ulama. Perselisihan ulama dalam masalah ini telah masyhur, walaupun pendapat yang saya utarakan ini lebih kuat dari tinjauan dalilnya.

Dan kisah berikut dapat menjadi bukti nyata bahwa sikap Ishaq Ibnu Rahuyah (Rahawaih) ternyata bukan kata sepakat ulama. Dikisahkan bahwa Ibnu Futhais bertanya kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakim (wafat 268H) perihal Ahmad bin Abdurrahman bin Wahb yang tidak sudi membacakan hadits-hadits riwayatnya kecuali bila diberi upah. Mendengar pertanyaan itu, Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakim berkata, “Semoga Allah mengampunimu, apa salahku bila aku tidak sudi membacakan riwayat-riwayatku sebanyak satu halaman kecuali bila kalian membayarku satu dirham? Siapakah yang mengharuskan aku untuk bersabar duduk sesiangan bersama kalian, sehingga aku menelantarkan pekerjaan dan keluargaku?” (Siyar A’lamin Nubala, oleh Adz Dzahabi, 12/322).

2. Pendalilan yang tidak pada tempatnya

Adapun dalil-dalil yang dikemukakan pada pertanyaan, semuanya itu tidak dengan tegas melarang Anda meminta upah dari murid anda atas jasa pengajaran anda. Namun itu mengisahkan kondisi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak memungut upah, sehingga tidak ada alasan bagi orang-orang Quraisy untuk tidak mendengar seruan beliau. Namun itu tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang selain beliau dari meminta upah bila perlu.

Walau demikian, bila Anda mampu untuk mengajar dan berdakwah tanpa memungut upah tentu itu lebih baik dan sempurna. Wallahu Ta’ala a’lamu bis shawab.

***

sumber: Muslim.or.id

Fatwa Ulama: Bolehkah Menunda Shalat Karena Pekerjaan?

Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan? Simak penjelasan Syaikh Ibnu Al Utsaimin berikut ini…

Soal:

Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?

Jawab:

Jika penundaan shalat tersebut masih dalam rentang awal hingga akhir waktu, dan shalat masih dikerjakan pada waktunya, maka tidak mengapa. Karena menyegerakan shalat di awal waktu adalah perkara afdhaliyah (hal yang utama), tidak sampai wajib. Ini jika tidak ada shalat jama’ah di masjid. Jika ada shalat jama’ah di masjid, maka wajib menghadiri shalat jama’ah. Kecuali bila ia memiliki udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

Jika penundaan shalat tersebut sampai keluar dari waktunya, maka ini tidak diperbolehkan. Kecuali jika seseorang itu lupa atau tenggelam dalam kesibukannya sehingga terlewat dari shalat, dalam hal ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

barangsiapa yang tertidur hingga ia melewatkan shalat, atau terlupa, maka hendaknya ia shalat ketika ia ingat

Maka untuk kasus demikian, ketika ia ingat, segeralah ia kerjakan shalat, dan ini tidak mengapa.

Namun jika kasusnya, ia sebenarnya ingat waktu shalat, namun karena alasan sibuk dengan pekerjaan lalu ia tunda shalatnya (hingga keluar dari waktunya) maka ini haram dan tidak boleh. Andaikan ia tetap mengerjakan shalat setelah habis waktunya, shalatnya tetap tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sehingga keluar dari waktunya tanpa udzur syar’i maka ia tidak bisa mengganti shalat tersebut. Karena sudah keluar dari waktu yang diperintahkan oleh syariat untuk mengerjakannya tanpa udzur, sehingga ia menjadi amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wallahul muwaffiq.

Sumber: http://muslim.or.id/28558-fatwa-ulama-bolehkah-menunda-shalat-karena-pekerjaan.html

Jejak Sang Penakluk Yerusalem

Adakah yang mengetahui sejarah Salahuddin Ayyubi di Yerusalem, Israel? Nama jenderal Muslim dari abad ke-12 itu seharusnya bergaung dalam sejarah, sebagai perebut Yerusalem, kemudian memerintahnya. Sejarah Ayyubi di Yerusalem seolah terkubur bersama sepinya masjid yang dahulu adalah rumahnya, Masjid Khanqah Salihiyya.

Masjid tersebut tersembunyi di dekat jalan berliku yang gelap, hanya sebuah plang plastik menandai lokasinya—sama sekali tidak menunjukkan bahwa dahulu jenderal Muslim yang kuat pernah tinggal di sini.

Padahal, Masjid Salihiyya adalah satu dari dua masjid di Yerusalem. Namun masjid bersejarah tersebut sepi pengunjung. Penjaga masjid, Shalhoub, bercerita dahulu masjid ini pernah lebih besar dan megah.

Sekarang Masjid Salihiyya hanya terbuka untuk umum ketika waktu shalat tiba. Masjid yang dahulu menjadi tempat berkumpulnya para sufi ini makin pudar dari sejarah Islam, memperlihatkan lemahnya dokumentasi dan narasi yang mengabadikan warisan budaya Muslilm di Israel tersebut.

Sementara setiap minggu, Israel terus mendokumentasikan dan mempublikasikan artefak-artefak budaya Kristen. Narasi, cerita sejarah Muslim di Yerusalem tergerus, menyisakan kisah Masjid Al-Aqsa.

Seorang pemandu wisata Yerusalem asal Palestina, Hisham Khatib, menyetujui situasi menyedihkan tentang sejarah Islam di Israel. Tidak ada yang mendokumentasikan sejarah Islam di Kota Tua.

“Sejarah disebarkan dari mulut ke mulut, cerita paling tua adalah yang diceritakan oleh kakek,” ujarnya seperti dilansir middleeastmonitor.com, Selasa (2/2).

“Kami tidak memahami sejarah kami sendiri. Tidak ada cendekiawan, profesor, orang-orang intelek yang dapat mempertahankan sulitnya kehidupan kami (penduduk Palestina, red) dalam konteks sejarah. Kami tidak memiliki kisah sebagai orang Palestina.”

Menyedihkannya, sebuah peninggalan yang terlupakan, Moroccan Quarter pun tak pernah terdokumentasikan. Masjid tua tersebut hilang diratakan dengan tanah, di mana seharusnya isu tersebut dapat diperdebatkan, diangkat lebih jelas.

 

sumber: Republika Online

Usai Bebaskan Yerusalem, Salahudin Menangis

Karen Amstrong dalam bukunya Perang Suci menggambarkan, saat Salahudin dan pasukan Islam membebaskan Palestina, tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh. Tak apa pula perampasan harta benda. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah.

Salahuddin menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Dan ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Alqur’an,” papar Amstrong. Keadilan dan kenegarawanan Salahudin pun membuat umat Nasrani yang tinggal di Yerusalem saat itu berdecak kagum. Seorang tua penganut Kristen pun bertanya kepada Salahudin. ”Kenapa tuan tidak bertindak balas terhadap musuh-musuhmu?”

Salahudin menjawab, ”Islam bukanlah agama pendendam bahkan sangat mencegah dari melakukan perkara di luar perikemanusiaan, Islam menyuruh umatnya menepati janji, memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf dan melupakan kekejaman musuh ketika berkuasa walaupun ketika musuh berkuasa, umat Islam ditindas.”Mendengar jawaban itu, bergetarlah hati orang tua itu. Ia pun kemudian berkata, ”Sungguh indah agama tuan! Maka diakhir hayatku ini, bagaimana untuk aku memeluk agamamu?”

Salahudin pun berkata, ”Ucapkanlah dua kalimah syahadah.” Kemuliaan akhlak Salahudin juga tergambar dalam film Kingdom of Heaven besutan sutradara Ridley Scott, ketika dia mengangkat salib yang jatuh tergeletak di tanah dan menempatkan kembali pada tempatnya.Hingga kini, kemuliaan hati dan keberanian Salahudin masih tetap dikenang umat Islam dan orang-orang Barat. Menurut Dr Jonathan Phillips, pengajar di University of London dan penulis beberapa buku tentang Perang Salib, Salahudin merupakan pahlawan utama bagi umat Islam.

 

 

sumber: Republika Online