Nak, Jangan Marah Jika Aku Menyuruhmu Sholat

WAHAI anak yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Taala! Apabila Allah memuliakanmu dengan memberikan kepadamu orangtua yang selalu memberikan perhatian kepadamu dalam permasalahan salat, menganjurkan, serta memotivasimu, maka hati-hatilah jangan sampai kamu merasa direpotkan oleh orang tuamu. Janganlah engkau merasa marah karena pengawasannya padamu!

Demi Allah sesungguhnya orangtuamu itu sedang berusaha untuk menjauhkanmu dari murka Allah Azza wa Jalla, dan berusaha untuk menghantarkan kamu kepada keridaan Allah Subhanahu wa Taala. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan rida denganmu sampai kamu termasuk dari orang-orang yang melaksanakan dan menjaga salatnya.

Perhatikanlah pujian Allah yang sangat harum kepada Nabi-Nya Ismail Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridai di sisi Rabbnya.” (QS Maryam: 55)

Nabi Ismail Alaihissallam orang yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Taala, karena dia melakukan segala sebab yang bisa mendatangkan keridaan Allah Azza wa Jalla, dan diantara sebab yang paling agung adalah memerhatikan salat dengan menjaga dan terus menjaganya, serta mengajarkan kepada keluarga kebiasaan menjaga salat.

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya Muwattha dari Zaid bin Aslam Radhiyallahu anhu dari bapaknya, bahwasanya Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu melakukan qiyamul lail (salat malam) sebanyak bilangan yang Allah Azza wa Jalla kehendaki. Tatkala berada di akhir malam, beliau Radhiyallahu anhu membangunkan keluarganya untuk melakukan salat. Beliau Radhiyallahu anhu membacakan kepada mereka firman Allah Subhanahu wa Taala:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS Thaha: 132)

Kaum Muslimin, perhatikanlah dan renungilah keadaan dan sikap para assalafus shalih Radhiyallahu anhum terhadap arahan agung dari Allah Azza wa Jalla ini! Kemudian, bandingkanlah realita keadaan umat manusia yang cenderung melalaikan, menyia-nyiakan arahan ini, serta keengganan mereka untuk menunaikan kewajiban yang agung ini.

Alangkah perlunya kita dalam permasalahan ini untuk menjadi pribadi-pribadi yang menjaga salatnya, kemudian mengawasi anak-anak kita dalam melaksanakannya! Alangkah butuhnya kita untuk selalu memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menjadikan kita dan anak-anak kita termasuk orang-orang yang melaksanakan dan selalu menjaga salatnya.

Di antara doa yang paling agung dalam permasalah ini adalah doa Nabi Ibrahim Alaihissallam, “Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat! Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku.” (QS Ibrahim: 40)

Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada kita dalam menjaga salat, dan memperbaiki keadaan anak-anak kita, serta menjadikan kita dan mereka termasuk dari orang-orang yang mendirikan salat. [Majalah As-Sunnah/Syaikh Abdur Razzaq]

 

INILAH MOZAIK

Agar Kumpul Ibu-Ibu Jadi Lebih Bermanfaat

MUNGKIN di antara kita ada yang suami belum shalat, ada anak yang malas bangun shubuh, ada anak puteri yang terlalu gaul dan tidak menjaga aurat. Ini perlu strategi dakwah untuk menyelesaikan masalah di atas. Solusi paling utama: sebagai ibu terus belajar, nasihati terus keluarga, nasihati dengan santun, nasihati dengan tunjukkan akhlak kita yang mulia, nasihati dengan sabar.

Selain itu, agar majelis berkumpul menjadi lebih manfaat dapat dilakukan hal-hal berikut ini:

1- Buat pengajian dengan mendatangkan ahli ilmu yang biasa mengkaji ilmu secara ilmiah, bukan ustadz pelawak atau sekedar ustadz tenar. Lebih-lebih kalau bisa mengkaji ilmunya secara tashilii, lebih berjenjang.

2- Kaji Al-Quran dan saling membetulkan bacaannya, bisa juga sampai menghafalkannya. Kan lumayan kalau ibu-ibu punya hafalan Quran dua atau tiga juz.

3- Kalau lagi ngumpul, saling ingatkan (murojaah dan mudzakarah) mengenai pelajaran yang pernah dikaji.

4- Kalau punya waktu luang banyak baca buku atau isi waktu lainnya dengan ibadab sehingga terjauhkan dari hal-hal yang sia-sia.

5- Manfaatkan gadget kita untuk hal yang manfaat, bergabung dengan group atau channel yang bermanfaat sehingga bisa mendapatkan ilmu dari ulama dan para ustadz.

6- Hindari majelis ghibah dan kumpul dengan orang-orang shalih karena sifat sahabat biasa menarik kita, sebagaimana kata pepatah Arab “ash-shohibu saahibun.” Kalau kita berteman dengan orang shalih dan semangat ibadah, maka kita juga akan ikut baik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Ketakutan Para Nabi Pascahari Kiamat, Terkecuali Satu Nabi

Setelah hari berbangkit dan orang-orang dikumpulkan di Padang Mahsyar, mereka akan sibuk memikirkan dirinya sendiri, tak terkecuali para Nabi. Mereka sibuk menyelematkan diri mereka dari siksaan nereka. Namun, ada satu Nabi yang saat itu dimintai pertolongan, beliau adalah Nabi Muhammad SAW.

Abu Hurairah menuturkan bahwa suatu hari, dirinya berdoa bersama Rasulullah SAW dan sejumlah sahabatnya. Sekonyong-konyong sebuah hasta (kaki) kambing disodorkan ke hadapannya, Nabi SAW memang menyukainya. Kemudian beliau menggigitnya seraya berkata, “Aku penghulu manusia di hari kiamat. Apakah kalian tahu, apa sebabnya Allah SWT mengumpulkan semua manusia, sejak generasi pertama hingga generasi terakhir di satu tempat?”

Dikisahkan dari Ensiklopedia Alquran, para sahabat tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan rasul. Maka, Beliau melanjutkan ceritanya. “Lalu seorang memandang dan mendengar seruan mereka, dan matahari semakin mendekat ke arah mereka. Tak ayal , mereka pun kepanasan dan menanggung kesulitan yang tak sanggup diemban.”

“Mereka berkata, ‘Tahukah kalian apa yang sedang kita alami? Tahukah kalian apa yang sedang kita hadapi ? Tahukah kalian orang yang dapat meminta syafaat kepada Tuhan buat kita?’ Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Bapak kita, Adam.’”

Disabdakan oleh Nabi SAW bahwa mereka lalu mendatangi Adam dan berkata, “Wahai Adam, bapak umat manusia. Allah SWT menciptakanmu dengan Tangan-Nya, meniupkan roh-Nya ke dalam dirimu, memerintahkan para malaikat untuk bersujud, dan menempatkanmu di surga. Maukah engkau memintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami? Tahukah kamu apa yang kami alami dan menimpa kami saat ini?”

Adam menjawab, “Sesungguhya, Tuhanku sangat marah pada hari ini. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelum dan sesudahnya.  Dia pernah melarangku mendekati pohon, namun kulanggar. Aku sibuk mengurusi diriku sendiiri. Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Nuh!”

Mereka pun mendatangi Nuh dan berkata, “Wahai Nuh, engkau addalah Rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi. Allah SWT menilaimu sebagai hamba yang banyak bersyukur. Tahukah engkau apa yang menimpa kami saat ini? Maukah engkau memintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami?”

Nuh menjawab, “Sesungguhnya, hari ini Tuhanku sangat marah. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sesungguhnya aku punya doa yang telah kuserukan supaya Tuhan menghukum kaumku. Aku sibuk mengurusi diriku sendiri. Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Ibrahim!”

Doa yang dimaksud Nabi Nuh AS ialah doa yang dipanjatkan ke hadirat Allah SWT saat dirinya marah kepada kaumnya yang mendustakannya serta menyatakan tetap dalam kekufuran. Setelah doa itu dipanjatkan Nuh, terjadilah banjir yang sangat dahsyat, sebagaimana diabadikan dalam dua ayat berikut:

Dan Nuh berkata, “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat durhaka (maksiat) lagi kafir.’” (QS. Nuh:26-27)

Kemudian mereka pun mendatangi Ibrahim dan berkata, “Wahai Nabi Allah dan kekasih-Nya, mintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami. Tahukah engkau, apa yang kami alami saat ini?” Ibrahim menjawab, “Tuhanku sangat marah hari ini. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelum dan sesudahnya. Aku pernah berdusta tiga kali. Aku sibuk mengurusi diriku sendiri. Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Musa!”

Lalu mereka mendatangi Musa dan berkata, “Wahai Musa, Allah SWT melebihkanmu dengan risalah dan kalam-Nya dibandingkan manusia lain. Mintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami. Tahukah engkau, apa yang kami alami saat ini? Musa berkata, “Tuhanku sangat marah hari ini. Dia tidak pernah marah seperti itu sebelum dan sesudahnya. Aku pernah membunuh jiwa yanng sebenarnya dilarang. Aku sibuk mengurusi diriku sendiri.”

Mereka lalu mendatangi Isa AS dan berkata, “Wahai Isa, engkau adalah utusan Allah dan kalimat-Nya disampaikan kepada Maryam serta roh dari-Nya. Engkau juga dapat berbicara saat masih dalam buaian. Mintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami.”

Isa menjawab, “Tuhanku sangat marah hari ini. Dia tidak pernah marah seperti ini sebelum dan sesudahnya. Aku sibuk mengurusi diriku sendiri. Pergilah kepada selainku. Pergilah kepada Muhammad!”

Maka, mereka pun mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata, “Wahai Nabi Allah, Muhammad engkau adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah SWT mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Mintakanlah  syafaat kepada Tuhanmu untuk kami. Tahukah engkau, apa yang kami alami saat ini?”

Maka, Nabi Muhammad SAW bertolak hingga sampai di bawah Arsy.’ Beliau bersimpuh sujud kepada Allah.

“Kemudian Allah SWT membuka pintu  hatiku untuk memuji-Nya yang belum pernah dilakukan kepada seorang pun sebelumku,” kata Nabi.

Maka Allah berkata, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu! Mintalah, niscaya permintaanmu akan dikabulkan; dan syafaatilah, niscaya syafaatmu akan diterima.”

Lalu aku mengangkat kepalaku seraya berucap, “Umatku, wahai Tuhanku, umatku! Wahai Tuhanku, umatku.”

Lalu dijawab oleh Allah SWT, “Wahai Muhammad, masukkanlah umatmu yang tidak dihisab melalui pintu surga sebelah kanan.”

Rasulullah SAW mengakhiri sabdanya kepada para sahabat dengan mengatakan: “Demi Zat yang jiwaku ada di tangannya, jarak antara kedua daun pintu surga itu seperti jarak antara kota Makkah dan kota Bushra (sebuah kota di Syam di Suriah).” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)

 

REPUBLIKA

Survei BPS dan Naik Turunnya Indeks Kepuasan Jamaah Haji

Oleh: Eko Oesman*

Butuh delapan tahun bagi Kementerian Agama melalui Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) untuk meraih indeks kepuasan jamaah tertinggi, yaitu 84,85 persen. Bayangkan lama waktu dan ragam upaya yang telah dilakukan.

Salah satu aspek yang paling penting adalah, Kemenag mempercayakan survei penilaian kepuasan ini kepada BPS. Sesuai undang-undang yang dimiliki BPS diperbolehkan membantu kementerian lembaga dalam hal melakukan konsultasi, bimbingan dan kerja sama terkait penyediaan data.

Muncul pertanyaan, mengapa butuh waktu lama? Pertama, jika saja BPS melaksanakan survei sesuai pesanan, maka cukup satu dua tahun saja angka indeks 85 persen yang selalu jadi target Indikator Kinerja Utama (IKU) Dirjen PHU akan sangat mudah tercapai.

Kebetulan saya terlibat dalam pengawalan tim survei ini selama kurun waktu delapan tahun itu. Dan kebetulan ke dua adalah sesuai izin dan rezeki dari Allah saya dua kali menjadi petugas survei haji. Sebagian teman menjuluki saya Haji Muhidin seorang tokoh dalam sinetron yang berkali-kali naik haji. Lainnya menggelari saya Haji Abidin Mansur Kosasih yang berarti Haji Atas Biaya Dinas Melaksanakan Survei Ongkos Dikasih. Alhamdulillah.

Selama kurun waktu delapan tahun itu saya mengamati langsung upaya dan program perbaikan yang dilakukan PHU. Satu catatan menarik, tidak ada upaya terstruktur mulai dari level Dirjen hingga petugas di lapangan yang mencoba memengaruhi independensi petugas survei. Saya masih ingat persis ketika kami melaporkan hasil survei kepada bapak Anggito Abimayu selaku Dirjen PHU tahun 2011 lalu, dia berujar “silakan saja BPS mengumumkan hasil survei ini secara transparan, apa adanya, merah atau biru itulah rapor kami”.

Waktu itu angka indeks naik dari 81.45 ke 83.31 persen. Setahun kemudian angka terjun bebas ke 81.32 persen. Penurunan tajam 1.99 poin itu perlu perhatian khusus. Pertaruhan yang mahal untuk kursi Dirjen PHU.

Waktu terus berjalan, Dirjen PHU berganti, Prof Abdul Jamil mantan Kepala Balitbang Kementerian Agama, seorang profesor yang sangat paham pentingnya statistik menggantikan Pak Anggito Abimayu. Kasus korupsi yang membelit Kemenag sedikit menimbulkan riak politik bangsa kita. Tahun 2014 saya kembali mendapat rezeki menjadi petugas survei. Yang mengejutkan adalah angka indeks 2014 kembali turun dari 82.69 ke 81.52 persen.

Sang profesor menyambut angka ini dengan takzim. Tidak ada intervensi apapun. Beliau menerima hasil pengamatan kami di lapangan dengan lapang dada. Instruksinya jelas, lakukan perbaikan, inovasi dan terobosan berdasarkan data yang dihasilkan BPS. Sangat menyenangkan bekerja di bawah kepercayaan penuh dari mitra kerja.

Kemarin (1/11/2017), ketika Kepala BPS yang di dampingi Menteri Agama menyampaikan hasil rilis angka survei saya tidak terkaget lagi. Semua sumringah, kerja keras selama ini mendapat respons baik dari jemaah. Walaupun begitu kita tetap perlu pemahaman mendalam melihat angka ini.

Masih ada sekitar lima belas persen lagi jemaah yang merasa belum puas dengan pelayanan peyelenggara haji. Wajar, hanya Allah sang pemilik kesempurnaan. Jadi mari kita berikan masukan terus menerus kepada Kemenag dan jajarannya, lalu biarkan BPS memotret dengan kameranya.

Tidak usah memperdebatkan metodologi atau cara BPS melaksanakan surveinya. Pahami dulu, pelajari proses, tahapan, dan lakukan analis terhadap data yang dihasilkan. Dengan cara seperti itulah baru kita bisa mengkritisi dan berfikir bagaimana melakukan perbaikan pelayanan ke depan.

Sangat disayangkan kalau pengalaman yang dirasakan satu atau beberapa orang lalu menjadi pendapat secara umum. Jika ada kejadian yang tidak mengenakkan yang anda alami ya wajar saja. Mungkin anda termasuk diantara lima belas persen jemaah yang belum puas itu. Tapi untuk menghukum penyelenggara haji dengan kritik yang tidak membangun hanya akan mendatangkan kemudaratan bagi bangsa ini. Barakallah.

*Eko Oesman, Peneliti dan mantan petugas survei Kepuasan Haji BPS tahun 2011.

 

IHRAM

Nasihat untuk Para Ibu-Ibu

BERIKUT nasihat yang dapat penulis berikan bagi para ibu-ibu:

1- Banyak doakan untuk kebaikan diri, suami dan anak-anak.

2- Jadi istri yang taat pada suami, tunjukkan selalu akhlak yang mulia.

Dalam hadits disebutkan, “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu Al Fatawa, 32: 260)

3- Jadi istri yang taat ibadah dan rajin pula beribadah sunnah. Moga Allah beri taufik dan hidayah. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Siapakah Luqman Al-Hakim itu?

Siapakah Luqman Al-Hakim itu?

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman.” (QS. Luqman: 12).

Luqman adalah seorang lelaki yang dikaruniai hikmah oleh Allah berupa ilmu, agama dan kebenaran dalam ucapan. Dia memberi fatwa sebelum Dawud diutus dan sempat menjumpai masanya. Lalu Lukman menimba ilmu dari Nabi Dawud dan meninggalkan fatwanya sendiri.

Mujahid berkata, “Luqman adalah seorang budak hitam dari Habasyah, tebal kedua bibirnya, dan lebar kedua telapak kakinya. Pada suatu hari ketika dia duduk di majelis sedang berceramah kepada orang banyak, datanglah seorang lelaki menemuinya, lalu bertanya, Bukankah engkau yang tadi menggembala kambing di tempat ini dan itu? Luqman menjawab, Benar. Lelaki itu bertanya, Lalu apa yang menghantarkanmu sampai pada kedudukan terhormat seperti yang kulihat sekarang ini? Luqman menjawab, Benar dalam berbicara dan diam terhadap hal-hal yang bukan menjadi urusanku.”

 

INILAH MOZAIK

2 Syarat Diterimanya Ibadah

PERLU pembaca sekalian ketahui bahwa ibadah tidak akan diterima kecuali apabila memenuhi 2 syarat:

Pertama, memurnikan ibadah kepada Allah semata (tauhid) dan tidak melakukan kesyirikan. Kedua, mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat ini, maka ibadah tersebut tidak diterima.

Fudhail bin Iyadh mengatakan,”Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Jaamiul Ulum wal Hikam)

Ada permisalan yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama yaitu tauhid. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya yang berjudul Al Qawaidul Arba. Beliau rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen). Sebagaimana shalat tidaklah disebut shalat kecuali dalam keadaan thaharah (baca: bersuci). Apabila syirik masuk dalam ibadah tadi, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats masuk dalam thaharah.”

Maka setiap ibadah yang di dalamnya tidak terdapat tauhid sehingga jatuh kepada syirik, maka amalan seperti itu tidak bernilai selamanya. Oleh karena itu, tidaklah dinamakan ibadah kecuali bersama tauhid. Adapun jika tanpa tauhid sebagaimana seseorang bersedekah, memberi pinjaman utang, berbuat baik kepada manusia atau semacamnya, namun tidak disertai dengan tauhid (ikhlas mengharap ridha Allah) maka dia telah jatuh dalam firman Allah yang artinya, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.” (Al Furqon : 23). [Abrazul Fawaid]

 

INILAH MOZAIK

Lakukan yang Allah Suka, Perlakukan Orang Bahagia

USAI shalat maghrib di masjid nasional Al-Akbar Surabaya, saya bertugas menyampaikan ceramah. Temanya tentang “Akhlak dan Kebahagiaan.” Tema seperti ini tak pernah usang, apalagi di masa-masa banyak orang berburu bahagia seakan bahagia ada di suatu tempat tersembunyi.

Saya uraikan beberapa poin, di antaranya adalah bahwa bahagia itu ada pada diri kita sendiri. Jika terkumpul iman dan akhlak pada diri kita maka sesungguhnya modal utama kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Kini, “orang beriman” sepertinya marak.

Di lihat dari baju dan usaha yang ditempeli kata “syar’i” dan “syariah” sepertinya Indonesia semakin islami. Namun cobalah lihat akhlaknya, sedih dan miris melihat saling caci dan cemooh begitu mudah dibaca,dilihat dan dipertontonkan. Mengapa seakan tak ada hubungan dengan tampilan “imannya”

Kita harus belajar melakukan banyak hal yang Allah suka dan memperlakukan orang lain dengan akhlak terbaik agar mereka bahagia. Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang sama, karena setiap orang itu tabiat dan karakternya serta kebutuhannya untuk bahagia itu berbeda. Satu obat tidak mungkin untuk semua penyakit, satu model respon hidup tak mungkin juga cocok untuk semua manusia. Carilah dan belajarlah seni membahagiakan orang lain.

 

INILAH MOZAIK

Ciri Orang Beriman Salatnya Khusyuk

DI dalam surat Al-Mu’minun disebutkan beberapa ciri orang beriman. Salah satunya adalah apabila salat, maka salatnya itu khusyuk. Kutipannya sebagai berikut:

“Telah beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang di dalam salatnya khusyu’.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2)

Apabila kita buka kitab tasfir untuk mengetahui apa latar belakang turunnya ayat ini, kita dapati bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa sahabat sebelumnya pernah melakukan gerakan tertentu di dalam salatnya, lalu diarahkan agar tidak lagi melakukannya. Bentuk arahannya adalah menerapkan salat yang khusyuk.

Dari Abi Hurairah berkata bahwa dahulu Rasulullah bila salatmengarahkan pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat: yaitu orang yang di dalam salatnya khusyuk. Maka beliau menundukkan pandangannya. (HR. Al-Hakim)

Ibnu Maradawaih meriwayatkan bahwa sebelumnya Rasulullah menoleh saat salat. Saad bin Manshur dari Abi Sirin meriwayatkan secara mursal bahwa Rasulullah sebelumnya salat dengan memejamkan mata, lalu turunlah ayat ini. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan mursal bahwa para sahabat dahulu pernah salat dengan memandang ke langit lalu turunlah ayat ini.

[Lihat tafsir Al-Baidhawi halaman 451 dan Tasfir Al-Munir oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 18 halaman 10]

INILAH MOZAIK

Yuk Lakukan Adab Menjilat Jari ala Rasulullah

DARI Ibnu ‘Abbas radhiyallahu Ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian makan makanan jangan dia usap tangannya sampai dia menjilat tangannya tersebut. Atau dia menjilatkan tangannya tersebut.” (HR. Bukhari no 5035 versi Fathul Bari no 5456. Imam Muslim no 3787, versi Syarh Shahih Muslim no 2031)

Kata Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menjelaskan tentang salah satu adab daripada adab dalam memakan; seorang yang makan hendaknya dia membersihkan makanan. Dan ini adab Islam yang sangat indah agar kita dijauhkan dari sikap tabdzir dan sikap kufur kepada nikmat.

Bayangkan kalau makanan yang lezat belum habis kemudian kita cuci piringnya atau kita cuci tangan kita sehingga mengalirlah makanan tersebut bersama kotoran-kotoran. Ini merupakan bentuk dari tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karenanya, Islam mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita. Dalam hal makanan, kita berusaha menghabiskan makanan tersebut. Seorang makan sesuai dengan keperluannya.

Dan tatkala dia ambil makanan tersebut, maka dihabiskan, jangan sampai ada yang dibuang sehingga dia menjilat sisa-sisa makanan yang ada, baik yang ada di tangannya ataupun yang ada di piringnya. Maksud Nabi di sini bukanlah tatkala sedang makan dijilat-jilat tangannya kemudian dia makan lagi apalagi tatkala sedang makan berjemaah, tidak.

Maksudnya adalah di akhir tatkala selesai makan, selesai makan dibersihkan. Karena dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan: “Kalian tidak tahu di bagian mana makanan tersebut yang ada keberkahannya.” (HR Muslim no 3792, versi Syarh Shahih Muslim no 2033 dari sahabat Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu)

Tatkala makanan banyak dihadapan kita, Allah meletakkan barakah di sebagian makanan tersebut. Kita tidak tahu dimana barakah tersebut, apakah di awal makanan kita, di tengah makanan atau di akhir makanan kita. Dan kalau pas kita mendapati keberkahan makanan tersebut maka ini akan berpengaruh dengan ibadah kita;

Keberkahan membuat kita sehat. Keberkahan membuat kita semangat untuk beribadah. Ini Allah berikan keberkahan kepada makanan tersebut. Maka seseorang berusaha untuk menghabiskan makanannya sehingga dia bisa pasti mendapatkan keberkahan makanan tersebut. Karena diajarkan bagi kita untuk menjilat-jilat tangan kita yang masih bersisa-sisa makanan.

Demikian juga kata Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam: “Atau dia jilatkan kepada orang lain.”

Maksudnya yaitu seperti: Antara suami dan istri. Di antara bentuk rasa cinta suami dan istri, istri terkadang menjilat tangan suaminya atau suami menjilat tangan istrinya. Dan ini di antara perkara yang disunahkan, tidak jadi masalah kalau mereka sedang makan, mereka saling suap menyuapi atau saling menjilati jari di antara mereka.

Atau antara ayah dengan anak. Ini tidak mengapa dan diajarkan dalam Islam. Oleh karenanya, jangan dengarkan perkataan sebagian orang yang merendahkan adab Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam masalah ini. Mereka mengatakan “Apa itu Islam, kok adabnya buruk? Sampai menjilat-jilat jari, ini adalah perkara yang menjijikkan.” Ini tidak benar.

Maksud Nabi bukan kita menjilat-jilat jari kita tatkala sedang makan bersama di tengah makan, akan tetapi maksudnya adalah setelah di akhir makan. Untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sedikit makanan pun yang kita buang, tapi semuanya kita makan.

Dan kita ingat, masih banyak orang-orang miskin yang kesulitan mendapatkan makan dan kelaparan. Apakah kita kemudian makan kemudian ada sisanya lalu kita buang? Seandainya sisa-sisa tersebut kita habiskan menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. [Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA]

INILAH MOZAIK