Allah yang Suci

Imam Zainuddin Mar’i bin Yusuf al-Karami yang juga merupakan penulis kitab Badi’ Al Insya’ menjelaskan pula tentang salah satu ayat sifat yang menjadi objek polemik. Yaitu, ayat yang menyebutkan tentang “wajah” ( wajh) Allah.  Ada beberapa ayat yang menyebutkan hal itu, antara lain, “Dan, tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS ar-Rahman [55]:27). Ayat ke-115 dari surah al-Baqarah juga menyebutkan soal yang sama, yaitu kata wajah yang dinisbahkan pada Allah.

Beberapa teks hadis juga menyatakan hal yang sama. Di antaranya ialah hadis riwayat Bukhari Muslim. Riyawat itu menjelaskan bahwa barang siapa yang membangun sebuah masjid maka ia akan memperoleh “wajah” Allah. Menafikan dan mengingkari teks itu jelas bukan perbuatan bijak. Bahkan, bisa dianggap sebagai bentuk kekufuran.

Pasalnya, ayat ataupun hadis di atas memiliki kekuatan legalitas yang kuat. Sebagian kalangan berupaya me nak wilkannya. Sebut saja Sek te Mu’tazilah. Menurut sekte yang didirikan oleh Washil bin ‘Atha’ tersebut, arti kata dari ‘ wajh’ yang dimaksud bukan berarti tekstual bahwa Allah juga mempunyai wajah sebagaimana manusia. Tetapi, mak sudnya tak lain ialah Zat Allah yang disucikan. Dan, kata tesebut, menurut mereka, bukan termasuk kategori sifat tambahan.

Dalam pandangan Ibnu Abbas, maksud wajh ialah Allah. Seperti “Dan, tetap kekal zat Tuhanmu”. Ibnu Faurak mengatakan, dalam penggunaan bahasa sering dipakai satu kata untuk menggambarkan keseluruhan. Maka, maksud kata tersebut tak lain ialah Allah.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Al-Hudzaq, seperti yang dinukil oleh Al-Qurtubhi. Menurut Al-Hudzaq, kata ‘ wajh’ kembali ke eksistensi Allah. Kata itu digunakan karena wajh adalah bagian yang pa ling tampak dan terlihat sejauh dan selintas mata memandang. Jadi, wajh sesuai dengan Mazhab Salaf, bukan sifat di luar zat seperti anggota tubuh yang berlaku bagi makhluk, melainkan wajh di sini hakikatnya ialah zat itu sendiri.

 

REPUBLIKA

Ayat-Ayat Sifat Mutasyabih

Imam Zainuddin Mar’i bin Yusuf al- Karami, dalam kitabnya bertajuk Aqawil Ats-Tsiqat, berpandangan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang zat dan sifat-sifat Allah termasuk kategori mutasyabih. Pendapatnya itu merujuk pada pandangan yang di sampaikan oleh As Suyuthi dalam kitab Al Itqan fi Ulum Alqur’an.

Ada beberapa contoh ayat yang masuk dalam kategori ini, misalnya, QS al-Qashash:39, al-Fath:10, Shaad:75, dan az-Zumar:67. Segenap ayat itu sulit untuk memastikan interpretasinya. Sifat-sifat itu tetap ada pada zat Allah karena memang teks Alquran atau hadis menyebut demikian. Misalnya, seperti mendengar (sami’), melihat (bashir), dan berkuasa (qadir).

Sedangkan, pengertian mutasyabih sendiri sebagaimana yang ia jelaskan dalam mukadimah kitab Aqawil ini cukup beragam. Mutasyabih adalah ayatayat yang hanya diketahui maknanya melalui takwil. Ada pula yang mendefinisikan kategori mutasyabih ialah ayat-ayat yang memiliki ba nyak opsi penafsiran atau ada juga yang me nyebut mutasyabih ada lah deretan ayat yang maknanya hanya Allah yang tahu.

Menurut pengarang yang pernah menjabat sebagai ketua Dewan Syekh di Masjid Sultan Hasan, Kairo tersebut, Mazhab Ahlussunah se perti generasi salaf dan para ahli hadis ialah memercayai ayat tersebut dan menyerahkan haki kat maknanya ke pada Allah. Mereka lebih banyak enggan menafsirkan ayat-ayat itu. Sebagian ulama ada pu la yang berusaha menakwilkannya dengan tetap konsisten terhadap purifi kasi (tanzih) zat Allah.

Pola ini sering digunakan di kalangan generasi belakangan atau khalaf. Konon, Imam Abdul Malik bin Abdullah al-Ju waini pernah mendukung pen dapat khalaf hingga akhir nya tokoh yang berjuluk Imam al-Haramain ter sebut mena rik dan mengo rek si pen da pat nya. Ia lebih me milih si kap dan prinsip sa laf. Ia menilai, penyikapan salaf terhadap ayat-ayat yang dikategori kan mutasyabih itu memberikan ketenangan batin.

 

REPUBLIKA

Teladan yang Menginspirasi Umat Manusia

Intelektual Islam Said Hawa dalam bukunya, Ar-Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, menyebutkan, untuk menjaga keimanan dan keseimbangan alam, Allah mengutus para nabi dan rasul. Merekalah yang mengingatkan manusia tentang kehendak Allah agar manusia menyembah-Nya, menjaga keimanan dan alam raya. Perilaku manusia harus mulia agar mereka hidup saling menyayangi.

Para rasul mencerminkan puncak kesempurnaan manusia. Keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah adalah teladan yang menginspirasi masyarakat pada berbagai zaman dalam menjalani kehidup an dunia yang bersifat sementara. Mereka mengajarkan Kitab Allah yang berisikan hikmah dan berbagai macam hal yang belum diketahui (al-Baqarah: 151).

Para nabi dan rasul membawa ajaran Allah yang jika dijalankan akan membersihkan diri mereka dari kotoran jiwa, seluruh pengaruh hewani, materi, atau yang asing dari fitrahnya. Dengan mengakui keesaan dan kebesaran Allah, manusia akan tetap berada pada keimanannya. Mereka tidak mengklaim sebagai tuhan seperti yang dilakukan Fir’aun (Ali Imran: 79). Mereka yang sudah sampai ke derajat kenabian dan menjadi manusia pilihan (Rasulullah) tetap pada keimanan, seperti Isa Alaihissalam. Dia tidak pernah enggan menjadi hamba Allah dan selalu menyebut keagungan asma-Nya (an-Nisa: 172).

Pada saat datang dan menyebarkan risalah Ilahiyah, Rasulullah menampakkan tanda-tanda kenabian. Sebagian orang mengetahui tanda itu sehingga mereka beriman kepadanya. Secara umum, tanda itu adalah membawa orangorang kepada hidayah Allah sehingga mereka mendapatkan ganjaran atau pahala.

Setelah mengutus nabi dan rasul, dan mereka menjelaskan berbagai kebijaksanaan, Allah mulai memberlakukan azab bagi mereka yang mengingkarinya (alIsra: 15). Azab merupakan peringatan untuk semua manusia agar mereka mengetahui ada kekuatan Maha Pencipta yang mengalahkan kesombongan, keangkuhan, dan kekafiran manusia ingkar.

 

REPUBLIKA

Nama-Nama Indah Rasulullah

Banyaknya nama yang dimiliki seseorang menunjukkan keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut. Begitu anggapan yang beredar di kalangan bangsa Arab. Rasulullah SAW yang lahir dan tumbuh di tengah kebudayaan Arab juga memiliki banyak sebutan dan nama.

Sebagian pakar menyebut, nama yang dimiliki Rasulullah sejumlah Asmaul Husna, yaitu 99 nama. Ibn Dihyah menaksir nama-nama tersebut sebanyak 300 buah. Bahkan, ahli lainnya seperti Abu Bakar ibn al-Arabi memprediksi, total nama Rasulullah menembus 1.000 na ma. Keseluruhan nama itu an tara lain tercantum di Alquran dan hadis-hadis yang tersebar di kitab-kitab referensi utama.

Tak sedikit ulama yang tergugah untuk menelusuri na ma-nama tersebut, salah sa tunya Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H). Melalui karya bertajuk An Nahjah As Sa wiyyah fi Al Asma’ An Naba wiyyah, tokoh bernama leng kap Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Khudhari As-Suyuthi tersebut, menginventarisasi nama-nama, sifat, dan gelar yang disematkan untuk Rasulullah, baik yang ada di Al quran maupun hadis.

Dalam kitab yang hakikatnya adalah ringkasan karya Su yuthi sebelumnya, Ar Ri yadh Al Aniqah fi Asma’ Khair Al Khaliqah itu, ia berhasil mengumpulkan sebanyak 455 nama dan sifat. Ia menyertakan landasan dalil di tiap nama ataupun sifat yang ia sebutkan. Rujukan nama itu ada yang berasal dari Alquran, ha dis, syair-syair, dan perkataan para sahabat. Agar memudah kan pembacanya, nama-nama itu disusun berdasarkan urut an huruf hijaiah.

Misalnya saja, kitab yang naskah manuskripnya diperoleh dari Perpustakaan Syekh ‘Arif Hikmat itu menyebut, nama Muhammad terdapat dalam Alquran, antara lain, di surah Ali Imran ayat 144, surah al-Ahzaab ayat 40, dan al-Fath ayat 29.

Nama Muhammad juga disebut di beberapa hadis, antara lain, di riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, “Tidakkah kamu heran bagaimana Allah memalingkan dari saya cacian orang-orang Quraisy dan laknat mereka? Mereka mencaci dan melaknat saya (dengan sesuatu) yang sangat tercela dan saya adalah Muhammad.”

 

REPUBLIKA

Representasi Sifat dan Karakter Pribadi Rasulullah

Melalui karya bertajuk An Nahjah As Sawiyyah fi Al Asma’ An Nabawiyyah, tokoh bernama leng kap Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Khudhari As-Suyuthi tersebut.

Suyuthi yang disebut-sebut oleh sejarawan Ibn Khalikan sebagai sosok yang produktif menulis—konon karya Suyuthi mencapai ribuan buku dengan beragam topik dan disiplin ilmu—mengatakan bahwa sebagian besar nama tersebut sebenarnya merupakan representasi dan manifestasi dari sifat dan karakter pribadi Rasulullah.

Karena itu, An Nawawi dalam kitab Tahdzib Al Asma’ berpendapat, pemaknaan beberapa nama itu mesti merujuk pada peristiwa dan keja dian yang melatarbelakangi nya. Jika merujuk pada fakta ini, Ibnu Asakir berpandangan dalam kitab Al Mubhamat bahwa jumlah nama-nama yang diintisarikan bisa sangat beragam dan banyak.

Selanjutnya, Suyuthi yang lahir di Kairo, 1 Rajab 849, me negaskan bahwa dari se kian nama, Muhammad adalah panggilan yang paling dikenal. Nama ini diberikan oleh sang kakek, Abdul Muthallib, usai akikah dengan menyembelih satu ekor kambing. Saat ditanya, mengapa cucunya diberi nama Muhammad dan bukan nama nenek moyangnya, sang kakek yang memiliki nama julukan Abu al-Harist itu menjawab, ia ingin cucu kesa yangannya itu dipuji oleh Allah di langit dan disegani lalu diteladani umat manusia yang hidup di bumi.

Mengutip perkataan al- Qadhi ‘Iyadh, Suyuthi yang bermazhab Syafii itu me nga takan, kedua nama yak ni Mu hammad dan Ah mad termasuk salah satu tanda kebesaran Allah sekaligus keistimewaan bagi Rasulullah. Allah berkehendak dan menggunakan kuasa-Nya untuk menjaga kedua nama tersebut. Sebelum Rasulullah lahir, tak ada satu pun orang Arab yang menggunakan nama itu.

Hal ini tak lain dimaksudkan untuk menghindari kekacauan dan timbulnya ke raguan terhadap sosok Mu hammad, terutama saat pengukuhannya sebagai na bi dan rasul. Bisa dibayang kan bagaimana jadinya jika ke dua nama itu adalah nama yang lumrah atau “pa saran”. Al Qadhi ‘Iyad me nambahkan, pemakaian na ma itu muncul tak lama se telah tersiar kabar seorang rasul akan diutus di Tanah Arab. Mereka berharap, dengan memberikan nama tersebut, rasul yang sedang menjadi perbincangan itu ialah salah satu dari mereka.

Suyuthi kemudian menguraikan nama-nama lain dari Rasulullah, antara lain, al-Abyadh yang berarti sosok yang berkulit putih. Sebutan lain bagi Rasulullah ialah al-Aghar (sosok paling tepat). Kata ini muncul dari syair Hasan bin Tsabit. “(Figur) tepat atas pe nutup kenabian, dari Allah dari cahaya yang memancar dan bersaksi.” Ada pula nama al-Ashdaq, disematkan ke Rasulullah ber dasarkan Ibrahim bin Mu hammad, salah satu putra Ali bin Abi Thalib. Ibrahim menyebut Rasulullah adalah sosok dengan gaya bahasa dan dialek yang lurus (al- Ashdaq).

Ada pula penamaan yang merujuk pada kitab tafsir. Di antaranya ialah nama al- Ahsan. Nama itu disebutkan oleh Abu Hafsh An Nasafi di kitab tafsirnya saat menguraikan makna dari ayat, “Siapa kah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS Fushshilat [41] : 33). Ia mengatakan, yang dimaksud ayat ini ialah Rasulullah, figur pilihan yang paling dicintai Allah di muka bumi, serta sosok yang mengajak segenap umat menunju jalan-Nya.

Masih banyak lagi nama-nama Rasulullah yang kurang akrab di telinga seba gian umat, seperti al- Ajwad (paling dermawan), Asyja’unnas ( paling pembe rani), Abu al-Qasim, Imam, al-Iklil, al-Bayan (penjelas), At Tali (datang belakangan), At Tadzkirah (pengingat), Tsanits nain, Habiburrahman, Habibullah, Murtadha, Murtaji, An Nashib, An Na syir, Yasin, al-Yatsribi, dan lainnya.

 

REPUBLIKA

Bersyukur dengan Beribadah

Hakikat dari ibadah adalah ungkapan rasa syukur seorang hamba.

Sebuah hadis diriwayatkan Hakim dari Jabir bin Abdullah RA menyebutkan, di akhirat nanti ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun.

Ahli ibadah tersebut pun dipersilakan Allah SWT untuk memasuki surga. “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke dalam surga karena rahmat-Ku,” bunyi Firman Allah dalam hadis qudsi tersebut.

Namun, ada yang menyangkal dalam hati si ahli ibadah. Mengapa ia masuk surga lantaran rahmat Allah? Bukankah ia telah beribadah selama 500 tahun? “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan kedalam surga karena amalku?” tanyanya.

Allah SWT pun memperlihatkan nikmat yang telah diberikan-Nya bagi si ahli ibadah. Nikmat Allah tersebut ditimbang dengan seluruh amal ibadah yang telah ia kerjakan.

Ternyata, nikmat penglihatan dari sebelah matanya saja sudah melebihi ibadah 500 tahun si ahli ibadah. Akhirnya, si ahli ibadah pun tunduk di hadapan Allah dan menyadari betapa kecilnya nilai ibadahnya.

Tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak bersyukur kepada Allah. Sebanyak apa pun ibadah yang dilakukan, tak akan sebanding dengan nikmat dan karunia yang telah diterima dari Allah.

Demikianlah hakikat dari ibadah, sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabb-nya. Jadi, menunaikan ibadah bukan hanya sebatas pelunas utang dan menunaikan kewajiban saja.

Rasulullah SAW sebagai seorang hamba yang dijamin tidak berdosa (maksum) adalah teladan dalam hal bersyukur. Suatu kali, istri beliau SAW bertanya, mengapa suaminya itu selalu shalat tahajud sepanjang malam.

Bahkan, kaki beliau SAW pun sudah bengkak lantaran lamanya berdiri. “Ya Rasulullah, bukankah Allah SWT telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” ujar Aisyah.

Aisyah mengisyaratkan, buat apalagi susah-susah ibadah, toh Rasulullah SAW sudah dijamin Allah masuk surga. Seluruh kesalahannya, kalaupun ada, sudah diampuni Allah.

Dan, ia adalah makhluk yang paling mulia dimuka bumi. Lalu, mengapa ia masih merepotkan diri dengan ibadah sepanjang malam? “Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur,” jawab Rasulullah (HR Bukhari).

Demikianlah Rasulullah SAW mencontohkan, hakikat dari ibadah bukanlah sebatas pelunas utang atau pembersih diri dari dosa. Ibadah adalah luapan rasa syukur kepada Allah SWT.

Sungguh, sangat banyak hal yang harus disyukuri seorang hamba. Nikmat tersebut baru akan terasa nilainya ketika Allah SWT telah mencabutnya. Jadi, sebelum Allah mencabut nikmat itu, syukurilah keberadaannya.

Dan, jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya (karena banyaknya). Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Penyayang.” (QS an-Nahl [16] : 18).

Ketika seorang hamba sudah mengetahui hakikat ibadahnya sebagai bentuk syukur, saat itulah ibadah bisa menjadi perisainya. Seorang yang menunaikan kewajibannya dan juga menambahnya dengan ibadah-ibadah sunah akan bermuara pada kecintaan Allah. Ketika ia sudah mendapatkan cinta Allah, seluruh aktivitas yang ia jalani di muka bumi adalah restu dan rida dari Allah SWT.

Sebagaimana Firman Allah dalam hadis qudsi: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardukan atasnya. Dan, tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencitainya. Dan, bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Ku lindungi. (HR Bukari Muslim).

Mereka yang mendapatkan cinta Allah tersebut juga diistilahkan dengan wali Allah. Tak mudah untuk mengetahui siapa wali Allah tersebut. Tetapi, yang jelas wali Allah adalah ahli ibadah yang menunaikan ibadah sebagai bentuk rasa syukur mereka.

Berhati-hatilah berurusan dengan para wali Allah. Seperti dinyatakan dalam kelanjutan hadis di atas, “Siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang dicintai Allah) maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang dengannya.”

 

Oleh: Hannan Putra

REPUBLIKA 

Faedah Hadis “Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Allah Taala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675]

Faedah dari Hadits:

  • Allah bersama hamba-Nya yang beriman dengan sifat maiyah (kebersamaan) yang khusus yaitu dengan memberi perhatian, penjagaan, taufik, dan pertolongan.
  • Allah bersama hamba-Nya ketika ia mengingat-Nya, maksudnya Allah bersamanya dengan rahmat-Nya, memberinya taufik, hidayah dan perhatian. Adapun firman Allah Taala (yang artinya), “Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada”, yaitu dengan ilmu Allah. Hal ini dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 17:3.
  • Allah menyatakan diri-Nya dengan “nafs”, berarti Allah mempunyai dzat yang hakiki.
  • Kalimat “Jika ia mengingat-Ku, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku” maksudnya jika mengingat Allah dalam keadaan bersendirian. Amalan yang sembunyi-sembunyi seperti inilah yang dibalas oleh Allah.
  • Ulama Mutazilah dan yang sepaham dengannya berdalil bahwa malaikat lebih mulia dari para Nabi berdasarkan dalil ” Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat)”. Namun ulama Syafiiyah menyatakan bahwa para nabi tetap lebih mulia dari malaikat berdasarkan dalil ayat tentang Bani Israil (yang artinya), ” dan Kami lebihkan mereka atas makhluk lainnya.” (QS. Al-Jatsiyah: 16). Adapun yang dimaksud hadits adalah mengingat Allah di suatu kumpulan yang tidak terdapat nabi di situ, tentu kumpulan malaikat itu lebih utama.
  • Jika seseorang mengingat Allah (berdzikir kepada Allah) di suatu kumpulan, Allah akan menyanjungnya di sisi makhluk-Nya yang mulia (yang lebih baik dari kumpulan tersebut).
  • Berhusnuzhan kepada Allah.
  • Allah memiliki sifat kalam.

 

 

INILAH MOZAIK

Mau Melunasi Utang tapi Tak Jumpa Pemiliknya

MENGEMBALIKAN barang atau harta milik orang lain, bisa dilakukan dengan 3 urutan cara berikut:

[1] Dikembalikan ke pemilik langsung. Jika tidak bisa,
[2] Dikembalikan ke ahli waris atau keluarganya. Jika tidak bisa,
[3] Dikembalikan dalam bentuk pahala, dengan cara disedekahkan atas nama pemilik. Meskipun pilihan terakhir ini masih harus menunggu kerelaan pemilik, jika di kemudian hari berhasil dijumpai.

Dalil mengenai hal ini adalah riwayat dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu. Bahwa beliau pernah membeli budak. Ketika beliau masuk rumah untuk menghitung uang pembayarannya, ternyata si penjual budak pergi. Beliau lalu menunggunya, hingga Ibnu Masud putus asa dia akan kembali. Akhirnya Ibnu Masud menyedekahkan uang pembayaran budak itu, dan beliau mengatakan,

Ya Allah, ini atas nama tuannya si budak. Jika dia ridha, maka dia mendapatkan pahalanya. Namun jika dia datang, pahala itu untukku dan dia berhak mendapat pahalaku senilai sedekah itu. (Madarijus Salikin, 1/388).

Cara ini yang bisa kita jadikan acuan ketika kita hendak melunasi utang, namun kesulitan untuk menemukan pemiliknya.

  • Jika masih diharapkan bisa ketemu pemilik, harus ditunggu sampai bisa diserahkan ke pemilik.
  • Jika putus asa bisa bertemu pemilik, dikembalikan ke ahli warisnya.
  • Jika tidak kenal ahli warisnya satupun, disedekahkan atas nama pemilik.
  • Jika nanti di kemudian hari bertemu pemilik, dia bisa sampaikan ke pemilik bahwa hartanya telah disedekahkan atas nama dirinya.
  • Selanjutnya pemilik bisa memilih, jika ridha dengan sedekah itu, dia berhak mendapat pahalanya. Jika tidak, dia berhak untuk tetap menagih utang, dan pahala sedekah menjadi milik yang berutang.

 

INILAH MOZAIK

Keduanya Ragu Apakah Utang sudah Lunas atau Belum

KITA ilustrasikan sebagai berikut:

Fafa menagih kekurangan pembayaran utang ke Lala. Tapi Lala mengaku utangnya sudah lunas. Akhirnya keduanya ragu.

Urutan penyelesaian: Baik Fafa maupun Lala, mereka yakin pernah melakukan transaksi utang-piutang. Dimana Lala pernah utang ke Fafa. Hanya saja, mereka ragu, apakah Lala sudah melunasi utangnya atau belum?

Status utangnya yakin. Status lunasnya, meragukan. Sehingga pengakuan Lala adalah klaim yang butuh bukti. Jika Lala tidak bisa mendatangkan bukti bahwa utangnya telah lunas, maka Fafa cukup bersumpah bahwa utang Lala belum lunas.

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bila seseorang memiliki utang, namun dia ragu apakah dia telah melunasinya atau belum, maka hukum asalnya dia masih berutang sampai dia yakin bahwa dia telah melunasinya.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, Fatawa Mutafarriqat, Bab at-Taubah, no. 47)

 

INILAH MOZAIK

Ali Akbar Temukan Puzzle Utuh dalam Islam

Konflik di Timor Leste (saat itu masih bernama Timor Timur) mewarnai perjalanan hidupnya, juga pertemuannya dengan Islam. Bertahun-tahun lama nya, remaja bernama Luis Monteiro seolah menyusun pecahan puzzle yang tak pernah ia tahu gambar utuhnya. Tak sia-sia, setelah tujuh tahun, semua hal membi ngungkan itu membawanya pada satu jawaban: Islam.

Terlahir di wilayah konflik tentu bukan keinginannya. Tetapi, boleh jadi itulah satu hal yang disyukurinya kini. Ali Akbar, “penyusun puzzle” itu, kini telah hidup dalam kedamaian Islam. “Ceritanya panjang,” ujar nya. Ali, yang sebelum berislam bernama Luis Monteiro, memulai kisahnya.

***

Dua puluh tiga tahun lalu ia adalah seorang Kristiani yang rajin mengunjungi gereja. Ia adalah satu dari delapan orang bersaudara dan tinggal di dalam sebuah rumah yang memiliki simbol bulan sabit. Sebuah peristiwa di tengah masa itu mengawali segalanya. Ali dikejutkan oleh aksi Paus Yohanes Paulus II ketika pemimpin ge reja Katolik Roma itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. “Setelah turun dari pesawat, ia sem pat bersujud,” kata pria kelahiran 1973 itu.

Pemandangan yang disaksikannya melalui satu-satunya televisi nasional kala itu, kata nya, segera memunculkan sesuatu yang aneh dalam hati dan pikirannya. “Terlintas pertanyaan besar dalam benakku, mengingat dok trin gereja yang sampai padaku menyebut Yohanes sebagai Tuhan. Jika ia memang Tu han, lalu kepada siapa ia bersujud?” lanjutnya.

Ali menjelaskan, salah satu doktrin gereja lainnya mengatakan bahwa setiap umat Katolik yang bertemu Paus harus mencium tangannya. “Jika tidak, ia akan mati atau mem per oleh akibat yang fatal,” ujarnya. Maka, ketika Paus berkesempatan mengunjungi Timor Timur, Ali memutuskan untuk tidak menyalaminya.

“Sampai tahun 1990, semua aman. Tidak ada hal fatal yang terjadi dan itu membuatku semakin ingin tahu tentang kebenaran ajaran agamaku.”

Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada “potongan puzzle” lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah simbol adat. “Pada saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid,” katanya.

Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. Belakangan, seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. “Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orangorang Islam pada masa itu.”

Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepalanya. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti beduk, tetapi berukuran kecil), dan beduk yang pernah dilihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dan amalan wudhu. “Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dan budaya Islam,” katanya.

***

Hingga usia 20-an, Ali tak pernah mengenyam bangku sekolah. Terlahir dari dua orang tua yang tidak mengenal baca-tulis dan sebagai anak laki-laki yang memiliki tiga orang adik, Ali harus mengutamakan adik-adiknya. Terlebih, ketika mulai diberlakukan wajib militer, Ali harus meninggalkan rumah dan tinggal di barak.

Perjalanan Ali menuju Islam terus berlanjut. Suatu kali, ia menemukan Alquran terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi, “Sesungguh nya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS Ali ‘Imran:19).” Ali pun tersentak.

Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Alkitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. “Tak ada ayat yang mengatakan bahwa Kristen adalah satusatunya agama yang diterima di sisi Tuhan,” katanya.

Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Ali kembali menelusuri kalimat- kalimat Alkitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.

Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. “Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus,” ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.

Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. “Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri,” ia mendebat dalam hati.

“Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka ia adalah Maryam. Tetapi, bukankah Maryam sudah mati? Lalu, siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan, jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?”

Mendirikan Pesantren

Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada ke raguan yang semakin be sar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskan pengertian ‘jamaah’ dan ‘derajat,’ Ali menyampaikan ke inginannya.

Tentu berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. “Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku me mikirkan kembali keputusan ku untuk memeluk Islam.”

Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. “Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya,” ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.

Berbekal status mualaf, Ali Akbar memutuskan me ninggalkan barak dan ru mah nya menuju Dili. Ia ke mudian berkesempatan belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur.

Ali, yang juga berhasil mengislamkan orang tua dan adik-adiknya, kemudian mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ). Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.

Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mua laf di pesantren khusus mua laf Yayasan An-Naba’ Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan studinya nan ti, Ali akan kembali ke Makassar dan bersama istrinya menge lola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak ipar nya.

 

REPUBLIKA