Ulama Salaf dan Produktivitas Menulis

Jika melihat fenomena menggelikan oknum di lembaga pendidikan yang gemar berbuat curang dengan menjiplak karya orang, tentunya, mengingatkan untuk kembali membuka kisah-kisah keteladanan para ulama generasi salaf.

Nyaris tidak pernah terekam dalam sejarah aksi tipu-menipu publik dengan mencuri karya orang lain lalu mengatasnamakan karya tersebut dengan milik pribadi oknum itu.

Ahmad bin al-Muqirri, dalam Azhar ar-Riyadh fi Akhbar al-Qadhi Iyadh menyebutkan, aktivitas tulis-menulis di kalangan ulama memiliki banyak pola.

Setidaknya yang tercatat ada tujuh, yaitu pertama menelorkan karya yang sama sekali belum pernah diusung orang lain. Kedua, mengarang sebuah kitab guna menyempurnakan gagasan pendahulu.

Ketiga, sebuah karya yang difungsikan untuk mengoreksi kesalahan yang ada pada karya tulis seseorang. Keempat, pola penjelasan atau klarifikasi terhadap karangan pendahulu yang dirasa terlalu kompleks dan ruwet.

Kelima, berbentuk ringkasan atas karya yang dinilai terlalu bertele-tele dan panjang lebar. Pola ini secara umum memberikan kemudahan bagi pembaca.

Pola yang keenam, penulis tersebut mengodifikasikan buah pemikiran seorang tokoh yang tercecer di berbagai media, lalu menyatukannya. Dan, ketujuh, merapikan tulisan ulama pendahulu yang tidak berurutan.

Ini tanpa sama sekali mengklaim karya tersebut hasil gagasannya. Penulis yang datang belakangan, bagaimanapun, tetap mencantumkan nama penulis asli di bukunya itu.

Di antara nama tokoh yang produktif menulis dengan ketujuh pola itu, ialah Imam as-Suyuthi. Ibnu Iyas mengatakan dalam Tarikh Mishr, karangan tokoh kelahiran Asyuth, Mesir, itu mencapai 600 karya tulis di berbagai disiplin ilmu. Sebagiannya ada yang mengikuti pola pertama, kedua, dan begitu seterusnya.

Bahkan, sering kali ulama yang bersangkutan tidak memperhatikan dan menghitung, berapa jumlah karangan yang berhasil ia hasilkan. Sebab, obsesi yang ada dalam diri mereka adalah produktivitas.

Muhammad bin Sulaiman al-Barami (879 H) pernah ditanya perihal berapa jumlah kitab yang berhasil ia tulis.” Saya tidak mampu (menghitungnya), yang jelas banyak dan saya lupa, sekarang tidak ingat apa saja judulnya,” kata dia.

Semangat mencetuskan hasil karya sendiri, tampak pula dari sosok at-Thabarim, pengarang tafsir terkemuka di abad pertengahan.

Abdullah ibn Hamad al-Farghani, dalam bukunya as-Shilat, mengatakan, setelah meninggal, sejumlah murid sang tokoh, mencoba mengumpulkan karya-karyanya dan membagi jumlah halaman berdasarkan hari semasa hayatnya.

Dari upaya itu, muncul sebuah fakta mencengangkan. Ath-Thabari menulis tiap hari sedikitnya 14 halaman. Logikanya begini, jika ath-Thabari lahir 224 H dan meninggal 310 H, berarti sang Mufassir, hidup selama 86 tahun.

Taruhlah, jika sebelum masa akil balignya tidak dihitung yaitu 14 tahun, maka sisa hidupnya di usia produktif adalah 72 tahun. Bila total hari selama 72 tahun dijumlahkan dengan 14 lembar itu, artinya ath-Thabari menulis sebanyak 358.000 lembar.

Demikianlah, keteladanan para ulama salaf, untuk berusaha maksimal menghasilkan karya terbaik, dari pemikiran pribadi, bukan hasil menjiplak karya orang lain. Produktivitas dan inovasi inilah, yang menempatkan Islam ketika itu, sebagai peradaban gemilang.

 

Oleh Nashih Nashrullah

REPUBLIKA

Bila Ulama Tergelincir (Bagian-3, habis)

Godaan dunawi bisa menggelapkan mata hati seorang ulama dan berakibat fatal bagi integritas serta moralitasnya.

Tidaklah merusak agama kecuali para pemimpin, ulama, dan pendetanya. (Abdullah bin al-Mubarak, 181 H/797).

Tidak lama kemudian, tiba-tiba keledainya berhenti. Atas izin Sang Khaliq, binatang berkaki empat itu pun berbicara. “Celakalah kamu wahai Bal’am, hendak pergi ke mana kamu?’‘ tanya sang keledai.

Keledai itu bertanya lagi, ”Apakah kamu tidak melihat para malaikat di depanku yang memalingkan wajahnya? Apakah kamu hendak menemui Nabi? Dan, orang-orang mukmin untuk mendoakan dengan sesuatu yang buruk?

Akibat terbelenggu nafsu, Bal’am menghiraukan ucapan keledainya. Ia tetap berjalan menuju Puncak Husban, bahkan dengan cara menyakiti keledainya.

Sesampainya di Puncak Husban, ia berdoa seperti permintaan warga Kan’an agar Musa celaka. Tetapi, justru doa itu, atas seizin Allah, diubah hingga Bal’am malah mendoakan keburukan bagi Kan’an.

Mendengar hal itu, kaum Kan’an kaget. “Hai Bal’am, apa yang kamu lakukan? kamu telah mendoakan dengan sesuatu yang baik kepada mereka dan mendoakan sesuatu yang buruk untuk kami?” kata mereka.

Bal’am sadar doa itu keluar di luar kuasanya. Ia pun akhirnya membuat tipu daya dengan mengumpulkan segenap perempuan agar melakukan perzinahan massal.

Salah satu perempuan itu ialah Kasbi binti Suar, tetapi Nabi Musa AS terjaga dari perbuatan nista tersebut. Peristiwa itu pun terjadi dan mengakibatkan sanksi fisik ataupun nonfisik.

Sanksi fisik ialah penduduk Kan’an sempat terkena wabah kolera yang menewaskan tak kurang dari 70 ribu penduduk ketika itu. Dan, hukuman nonfisik, akibat kemujaraban doa Bal’am, Nabi Musa AS beserta pengikutnya tersesat di Lembah Tin (di sekitar Sinai, Mesir), selama 40 tahun.

Kejadian luar biasa ini pun sontak membuat Musa terheran-heran, apa gerangan penyebabnya. “Bersumber dari doa Bal’am,” jawab Allah kepada Musa.

Musa pun berdoa agar Allah berkenan mencabut keimanan dari hati Bal’am. Doanya dikabulkan, sang ulama yang zalim meninggal dalam kondisi kafir dan lidahnya menjulur seperti anjing.

 

Oleh: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA

Bila Ulama Tergelincir (Bagian-2)

Godaan dunawi bisa menggelapkan mata hati seorang ulama dan berakibat fatal bagi integritas serta moralitasnya.

Tidaklah merusak agama kecuali para pemimpin, ulama, dan pendetanya. (Abdullah bin al-Mubarak, 181 H/797).

Usai peristiwa pengenggelaman Firaun di laut, Nabi Musa AS beserta rombongan dari Bani Israel mengembara. Tibalah Musa bersama puluhan ribu pengikutnya di Kan’an, salah satu wilayah di Syam, kini Suriah.

Mendengar kabar itu, penguasa setempat merasa khawatir dan takut peristiwa kekalahan Firaun akan menimpa mereka juga. Informasi kedatangan Musa itu pun memunculkan keresahan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat.

Akhirnya, berdasarkan hasil musyawarah, pemerintah setempat memutuskan untuk meminta bantuan Bal’am agar mengalahkan Musa dengan doanya yang terkenal manjur.

“Engkau adalah orang yang doanya makbul maka doakanlah mereka dengan keburukan,” kata delegasi pemerintah kala menghadap Bal’am.

Semula, masih tersimpan moralitas dan keteguhan iman dalam hati Bal’am. Ia menolak permintaan itu. Bahkan, ia sempat marah dan tidak terima.

Sebab, Bal’am paham betul yang bersama Musa adalah Allah beserta malaikat-Nya dan orang-orang beriman. Bagaimana mungkin Bal’am mendoakan nasib buruk menimpa mereka.

Namun, penguasa tidak tinggal diam, mereka menggunakan segala cara untuk membujuk sang ulama. Termasuk, mempergunakan istri Bal’am untuk memuluskan permohonan aneh tersebut.

Sang raja memberikan materi melimpah kepada istri Bal’am. Bujuk rayu dan tipu daya diupayakan istrinya. Hingga suatu ketika, istrinya mogok untuk melayani kebutuhan sehari-hari Bal’am.

Ini membuatnya bertanya-tanya, apa di balik aksi tak biasa yang dilakukan istrinya tersebut. “Lakukanlah apa yang dipinta raja,” kata sang istri.

Di titik inilah, akhirnya hati Bal’am luluh. Gelimang harta dan rayuan istrinya membuat ia menggadaikan segalanya.

Dengan mengendarai keledai kesayangannya, ia berkendara menuju Gunung Husban, lokasi Musa dan rombongan menetap sementara.

 

Oleh: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA

Bila Ulama Tergelincir (Bagian-1)

Godaan dunawi bisa menggelapkan mata hati seorang ulama dan berakibat fatal bagi integritas serta moralitasnya.

Tidaklah merusak agama kecuali para pemimpin, ulama, dan pendetanya. (Abdullah bin al-Mubarak, 181 H/797).

Kisah berikut menggambarkan pentingnya keteladanan ulama bagi para umat. Sebab, seperti bait syair yang ditulis seorang tokoh salaf Abdullah bin al-Mubarak di atas, buah dari penyimpangan yang dilakukan oknum ulama sangat fatal, seperti yang terdapat dalam kisah Bal’am bin Ba’ura.

At-Thabari, dalam kitab tafsirnya mengemukakan, Bal’am merupakan ulama yang terkenal dengan ketakwaannya, ia juga dikenal sebagai ahli ibadah.

Tokoh yang hidup pada masa Nabi Musa itu disebut-sebut berasal dari Yaman. Bal’am memiliki garis keturunan Bani Israil.

Tidak hanya terkenal dengan kesalihannya, Bal’am mendapat anugerah luar biasa dari Sang Khalik. Ia mempunyai kemampuan penglihatan tanpa batas di dua alam sekaligus.

Ia mampu melihat semua ciptaan Allah SWT beserta isinya, termasuk menangkap pergerakan atau wujud dari jin dan malaikat. Kemampuannya itu pun disebut-sebut mampu menembus arsy, tempat Allah mengawasi makhluk-Nya.

Dan, satu lagi, doa Bal’am terkenal manjur dan makbul. Tiap doa yang dipanjatkan tak pernah tertolak. Ini lantaran karunia yang ia terima berupa nama Allah yang agung dan nama tersebut hanya sang ulama yang tahu.

Sayangnya, justru Bal’am tergoda dengan gemerlap duniawi dan akhirnya tergelincir ke lembah kekufuran. Deskripsi secara global cerita tentang Bal’am itu tertuang dalam surah 175-177:

Dan bacakanlah kepada mereka kisah dia yang Kami berikan ayat kami, tapi ia membuangnya. Sehingga, setan mengikutinya dan ia menjadi orang-orang yang sesat.

Dan jika Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).

Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.”

 

Oleh: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA

Awas! Ucapan Ini Bisa Menjatuhkan Talak

ADA seorang ibu di satu pengajian bertanya, apakah ucapan suaminya,”Silakan cari laki-laki lain kalau nggak puas bersuamikan saya,” adalah ucapan talak. Pasalnya, kata dia, ucapan itu terlalu sering diucapkannya.

Menurut kelaziman, ucapan talak secara lafadz sharih (jelas dan pasti) adalah “Saya ceraikan kamu,” atau “Saya thalaq kamu.” Bila ucapan itu diucapkan oleh seorang suami dan ditujukan kepada istrinya, secara otomatis jatuhlah thalaq. Hukumnya tegas, bahkan meskipun suami saat mengucapkannya itu dengan cara bersenda gurau.

Tetapi lafadz kinayah, yakni sindiran atau kiasan, apabila diucapkan oleh seorang suami dan ditujukan kepada istrinya, tidak secara otomatis menjatuhkan hukum thalaq. Jatuh dan tidaknya hukum thalaq dengan lafadz kinayah ditentukan oleh niat suami saat mengucapkannya. Apabila saat mengucapkannya dengan disertai niat thalaq, maka jatuhlah thalaq. Dan apabila tidak ada niat untuk menthalaq, maka thalaq pun tidak jatuh.

Kata-kata suami sebagai yang disebutkan ibu tersebut, insya Allah termasuk kinayah, yang jatuh dan tidaknya thalaq akan tergantung pada niat suami saat mengucapkannya.

 

INILAH MOZAIK

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Yakin akan Kebenaran itu Menguatkan Hati

MENGAPA Nabi Ibrahim tidak gentar dan tidak galau saat dibakar oleh raja diktator di zamannya? Mengapa pula Nabi Yusuf tak terdengar mengeluh saat beliau dibuang ke dalam sumur, saat diperjualbelikan sebagai budak dan saat dipenjara? Mengapa pula Nabi Musa terus saja tegar dalam dakwah saat diancam dan diburu?

Mengapa Siti Maryam tetap tegar dan percaya diri saat dirinya dituduh hina oleh masyarakatnya? Mengapa pula Nabi Muhamad tetap tenang saat ada di dalam gua Tsur yang gelap dan berpotensi bahaya oleh binatang buas dan beracun? Mengapa pula para nabi-nabi yang lain tetap saja tabah, sabar dan bersahaja dalam menjalani ujian hidupnya?

Jawabannya adalah karena mereka yakin sekali kepada Allah bahwa Allah tidak akan mengecewakan hambaNya yang iman dan tawakkal kepadaNya. Mereka yakin bahwa apa yang ditakdirkan oleh Allah kepada hambaNya adalah yang terbaik yang harus dijalaniNya. Mereka yakin bahwa selalu ada rahasia dan hikmah di balik semua ketetapanNya.

Kuatnya mental, tegarnya sikap, serta tenangnya hati sungguh berhubungan erat dengan keimanan kita, ibadah kita dan kesungguhan kita untuk senantiasa bersamaNya di jalanNya. Lalu, mengapa kita masih saja sedih dan gelisah, rapuh dan merasa lemah? Mari kuatkan iman, semangatkan ibadah dan belajar tawakkal lebih giat lagi.

 

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Pribadi Sukses

Suatu waktu, saat mengendarai ojek ke suatu tempat, tiba-tiba sang tukang ojek bertanya dengan kalimat singkat, “Apakah seorang tukang ojek seperti saya bisa sukses, Bang?”

Boleh jadi tukang ojek itu berpikir realistis, usia tidak lagi muda, skill pas-pasan, dan yang bisa dilakukan untuk bisa bertahan dan menafkahi keluarga adalah dengan menjadi tukang ojek. Ia juga mungkin sudah menyimpulkan, dirinya tak mungkin dapat menghimpun kekayaan sebagaimana orang lain yang masih muda telah hidup dengan kekayaan dari hasil kerjanya.

Jika memang cara berpikir seperti itu yang digunakan, sukses yang diharapkan boleh jadi tinggal angan-angan. Bekerja banting tulang pun belum tentu bisa menjadi orang kaya. Meneruskan cara berpikir seperti ini tentu sangat berbahaya sebab bisa mematahkan optimisme, padahal hidup bahagia dan diridhai Allah SWT, tidak selalu berurusan dengan kekayaan.

Tetapi, jika kembali pada nilai-nilai keimanan, setiap jiwa sesungguhnya sangat berpeluang menjadi pribadi sukses yang sesungguhnya. Tentu saja sukses dalam ‘kacamata’ Allah, bukan sebatas pandangan manusia pada umumnya.

Di dalam Alquran, orang sukses adalah pribadi yang senantiasa mendapatkan solusi dari Allah Ta’ala. “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangkasangkanya. Dan Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)- nya.” (QS ath-Tholaq [65]: 2-3).

Lihatlah pada masa Nabi, seorang lelaki yang beliau cium tangannya bukanlah seorang alim, seorang mujtahid ataupun ahli ibadah, apalagi sekadar orang yang hidup dengan limpahan harta. Yang beliau cium tangannya adalah lelaki pemecah batu yang dengan profesi itu, ia selamatkan dirinya dari meminta-minta dan tetap memberikan nafkah halal kepada keluarganya.

Dengan kata lain, profesi apa pun yang kita geluti asalkan dijalani dengan dasar iman dan takwa, maka itu adalah jalan terbaik menuju kesukesan. Sebaliknya, sebagus apa pun profesi dalam pandangan manusia jika dijalani tidak dengan dasar iman dan takwa, akan menjatuhkan harkat dan martabat dirinya, baik di hadapan manusia, lebih-lebih di hadapan Allah.

Selama diri masih mau bekerja, menyelamatkan diri dari meminta-minta, apalagi mencuri (korupsi) maka selama itulah jalan sukses masih terbuka lebar. Kemudian penting dicatat bahwa kemuliaan (kesuksesan) seseorang sama sekali tidak berkorelasi dengan kekayaan yang dimilikinya. Jadi, jangan minder hanya karena profesi diri yang dipandang rendah. Selama itu halal, kerjakanlah sepenuh hati dengan prinsip ownership.

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS al-Fajr [89] :15-16). Terakhir, khusyuklah dalam shalat, jauhi hal yang sia-sia, tunaikan zakat, jaga kemaluan, jaga amanah. Itulah jalan menjadi pribadi sukses yang sesungguhnya. (QS al-Mukminun: 1 – 11). Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Imam Nawawi 

REPUBLIKA ONLINE

Apakah Penduduk Surga Tidur dan Bermimpi?

ADA yang bertanya kepada saya pertanyaan yang sulit saya jawab: “Apakah penduduk surga itu tidur? Kalau tidur, mengapa mereka tidur? Apakah mereka bermimpi saat tidur? Apakah ada mimpi buruk bagi mereka?”

Pertanyaan itu menjafi sulit karena beberapa hal: pertama adalah terlalu banyak pertanyaannya, yang pertama saja belum dijawab sudah disusul dengan yang berikutnya; kedua, memang sulit juga mencari dalil yang pas dan jelas tentang hal itu; ketiga, saya sendiri tak punya pengalaman dalam hal itu.

Setelah saya baca beberapa referensi, ada pandangan ulama yang menjawab sebagian pertanyaan itu. Dinyatakannya: “Penduduk langit itu tidak tidur sama sekali karena sangat indahnya pemandangan yang dilihatnya dan sangat nikmatnya kehidupan yang dilaluinya dalam keadaan jaga.”

Semoga kita dan kedua orang kita serta semua keluarga kita menjadi ahli surga. Aamiiin.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Memperbaiki Akhlak Kita

SYEKH Musthafa al-Bahyawi menyatakan dalam sebuah kajiannya bahwa ada tiga rukun akhlak yang harus dibangun jika kita benar-benar ingin memperbaiki akhlak kita. Tanpa tiga pilar ini tidaklah mungkin akhlak mulia bisa dimiliki.

Pertama adalah menjaga martabat, baik martabat diri ataupun martabat orang lain. Bahkan, menjaga martabat orang lain merupakan salah satu pintu menjaga martabat diri. Muliakan apa yang dimuliakan Allah karena menghinanya adalah bermakna tak menjaga martabat yang dijaga Allah.

Kedua adalah memperhatikan akibat dari apa yang akan dilakukan. Risiko-risiko menjadi pertimbangan. Timbangan kemaslahatan dan kemafsadatan dijadikan pemikiran. Dengan langkah kedua ini, masa depan akan semakin terang.

Yang ketiga, giatkan diri melakukan kebaikan-kebaikan dan jauhkan diri dari cacat, cela dan maksiat. Kemaksiatan tidaklah pernah tercatat sebahai pengantar kemuliaan dan kebahagiaan. Ketaatan dan ibadahlah yang sering dinyatakan sebagai jalan lurus menuju ridla Allah.

Mari kita terus bersemangat mengaji dan menata diri. Semoga Allah senantiasa bukakan jalan bahagia untuk kita semua.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK