“Enjoy” dengan Qur’an

WAKTU adalah uang, kata pepatah menurut versi sebagian orang. Tapi bagi wanita ini, waktu adalah ibadah. Setidaknya itu terlihat dari pemandangan yang bisa dibilang langka ini.

Seorang Muslimah berjilbab tampak khusyuk membaca al-Qur’an, mengisi waktu dalam perjalanannya di atas kereta rel listrik (KRL) rute dari arah Jakarta menuju Bogor.

Sore itu, sebagaimana biasa, adalah waktunya pulang kerja. Sekitar pukul 16.44 WIB, rangkaian gerbong-gerbong KRL sedang tidak terlalu padat.

Di gerbong satu ini, wanita berjilbab oranye, berkacamata, dan berbaju merah ini terlihat duduk tenang sambil membaca kitab suci berukuran sedang di pangkuannya.

Pantauan hidayatullah.com, Selasa, 1 Agustus 2017 itu, wanita tersebut terlihat berbeda dengan para penumpang lainnya, yang rata-rata bermain gadget, berdiam diri, maupun asyik tidur.

Tampak ia sedang membuka halaman 273-274, yang memperlihatkan Surat An-Nahl dari ayat 55-72. Mulutnya komat-kamit melafadzkan ayat demi ayat.

“Wama anzalna ‘alaikal kitaba illa litubayyina lahumul ladzikhtalafu fihi wahudan warahmatan liqaumin yu’minun,” demikian bunyi ayat ke-64 Surat An-Nahl yang tampaknya turut dibaca oleh penumpang itu. Suaranya ditelan kasak-kusuk di dalam gerbong kereta.

Mushaf yang dibaca wanita tersebut al-Qur’an berterjemahan. Berdasarkan terjemahan Kementerian Agama, dalam Surat An-Nahl ayat 64 Allah berfirman:

“Dan Kami tidak menurunkan Kitab (al-Qur’an) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Hingga berpisah dengan wanita itu di kawasan Citayam, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, awak media ini -yang tidak menampakkan diri sebagai wartawan di depannya- memilih tidak mengajaknya yang terlihat khusyuk mengaji untuk mengobrol.

Siapapun wanita itu, yang jelas, pembaca mungkin setuju, bahwa dia telah mencontohkan suatu keteladanan; mengisi waktu kosong dengan beribadah, mengingat Allah.*

 

 

Foto: Penumpang wanita ini tampak khusyuk membaca al-Qur’an di atas KRL dari arah Jakarta ke Bogor, Kamis (01/08/2017).

HIDAYATULLAH

Tiga Hal yang Membuat Ibadah Terasa Lezat

MENGAPA para ulama dan salafus salih di zaman dulu mampu melakukan amal ibadah yang membuat kita saat ini berdecak kagum? Salah satunya adalah karena mereka telah merasakan kenikmatan ibadah.

Beberapa hal yang berhubungan dengan kelezatan ibadah seperti;

1. Kelezatan ibadah adalah nikmat Allah dan sekaligus balasan amal ibadah di dunia.

Berkata Ibnu Taimiyah, “Apabila kamu belum mendapatkan balasan amal berupa kenikmatan dalam hatimu, kelapangan dalam dadamu maka curigailah amalnya, maka sesungguhnya Allah Maha Syukur, yaitu Dia harus memberi balasan orang yang beramal atas amalnya di dunia berupa kenikmatan dalam hatinya. Juga kekuatan, lapang dada, dan kesenangan. Maka jika dia belum mendapatkannya, maka amalnya pasti rusak.”

Dalam Tahdzib Madarijus Salikin hal: 312, beliau juga berkata:

“Sesungguhnya di dunia ada jannah, barangsiapa yang belum memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki jannah di akhirat.” Demikian pula dalam Al Wabil ash Shoyib Minal Kalim ath Thoyib, hal: 81

2. Sebab-sebab mendapatkan kelezatan ibadah

a. Mujahadatun nafs diatas ketaatan kpd Allah sehingga dia terbiasa taat, kadang kala jiwa maunya lari dari mulai menjalani mujahadah.

Berkata seorang salaf: “Aku senantiasa menuntun jiwaku kepada Allah, sedangkan dia dalam keadaan menangis hingga aku selalu menuntunnya sedangkan dia keadaan tertawa.”

b. Jauh dari dosa, dosa kecil maupun besar. Maka sesungguhnya maksiat adalah penghalang yang mencegah dari merasakan kelezatan ibadah karena ia akan mewariskan kerasnya hati, kasar dan kebengisan.

Berkata seorang salaf: “Tidaklah Allah menimpakan kepada hamba siksa yang lebih besar melainkan kerasnya hati.”

b. Meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum, ngobrol dan mengumbar pandangan.

Berkata seorang salaf: “Kesenangan hati dalam sedikit dosa, kesenangan perut dalam sedikit makan, kesenangan lisan dengan sedikit bicara.”

c. Hendaklah hamba menghadirkan hati bahwa ibadah yang dilakukan dalam rangka taat untuk Allah dan hanya mencari ridaNya, dan bahwa ibadah ini dicintai Allah, diridai dan bisa mendekatkan dirinya kepadaNya.

d. Hendaklah hamba menghadirkan hati bahwa ibadah ini tidak sia-sia dan hilang begitu saja seperti harta. Dia sangat membutuhkannya, akan mendapatkan buahnya di dunia dan di akhirat. Maka barangsiapa yang menghadirkannya, dia tidak mempermasalahkan apa yang tidak didapat di dunia. Dia menyenangi ibadah dan mendapatkan kenikmatannya.

3. Perbaiki ibadah Anda segera. Hal itu bisa dilakukan dengan berusaha:

– agar kita salat dengan khusyuk

– agar kita baca Alquran dgn tadabur (memikirkan dan memahami)

– agar hati kita tidak lalai dalam zikir dan doa

– agar kita bisa menikmati jalan dakwah dan jihad. []

Sumber: Kiriman pengasuh Pondok Pesantren Al Ihsan, Desa Mojorejo, Kecamatan Kebonsari, Madiun

INILAH MOZAIK

Shalahuddin Al Ayyubi dan Shalawat Setelah Adzan

SHALAHUDDIN AL AYYUBI selama ini banyak dikenal dari sisi perjuangannya dalam melawan Pasukan Salib dan sebagai pembebas Baitul Maqdis, meski sebenarnya ia memiliki peran peran dan jasa besar dalam masalah keilmuan keislaman.

Shalahuddin Al Ayyubi Seorang Faqih

Shalahuddin Al Ayyubi sendiri digolongkan oleh para ulama sebagai seorang ulama dan faqih, hingga Qadhi Tajuddin As Subki memasukkan namanya dalam jajaran ulama yang bermadzhab Asy Syafi’i, yakni Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra. Tajuddin As Subki menyampaikan mengenai Shalahuddin,”Ia adalah seorang faqih, dikatakan bahwa ia hafal Al Qur`an dan At Tanbih tentang fiqih serta Al Hamasah tentang syair. (Thabaqat Asy Syafi’yyah Al Kubra, 7/370)

Imam Adz Dzahabi menyampaikan bahwa Shalahuddin menghafal Al Hamasah, dan dinilai bahwa setiap fuqaha menghafalnya. (Siyar A’lam An Nubala, 21/282)

Tidak hanya memiliki pengetahuan tentang fiqih, Shalahuddin pun banyak memiliki periwayatan hadits. Baha’uddin Syaddad menyampaikan,”Sulthan Shalahuddin sangat antusias dalam memperoleh periwayatan hadits. Ketika ia mendengar hadits dari seseorang yang memiliki riwayat al ali, maka ia akan banyak mengambil periwayatan darinya.” (Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 7/352)

Memiliki Periwayatan Hadits

Qadhi Al Fadhil dalam salah satu risalahnya menyampaikan,”Aku tidak mengetahui adanya seorang pemimpin  yang melakukan rihlah dalam menuntut ilmu, kecuali Ar Rasyid. Sesungguhnya ia melakukan perjalanan bersama kedua puteranya Al Amin dan Al Ma’mun untuk menyimak Al Muwaththa’ dari Imam Malik.” Kemudian ia berkata,”Kemudian Sulthan Shalahuddin bin Ayyub melakukan rihlah ke Iskandariyah untuk menyimak Al Muwaththa’ dari Ibnu Thahir bin ‘Auf  dan aku belum mengetahui orang ke tiga dari keduanya (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 36)

Shalahuddin juga memiliki banyak guru dalam hadits, yang telah dicatat oleh Al Hafidz Murtadha Az Zabidi dalam Tarwih Al Qulub fi Dzikri Al Muluk Bani Ayyub (lihat, Tarwih Al Qulub fi Dzikri Al Muluk Bani Ayyub, hal. 68)

Bermusyawarah dengan Para Ulama

Karena termasuk dari jajaran uhlil ilmu, Shalahudddin Al Ayyubi melakukan interaksi dengan baik dengan para ulama. Al Muwaffaq Abdul Lathif menyampaikan,”Malam pertama aku menghadirinya (Shalahuddin Al Ayyubi), aku mendapai sebuah majelis yang ramai dengan para ulama, mereka berdiskusi dalam berbagai disiplin ilmu, sedangkan ia mendengarkan dan merespon mereka dengan baik.” (Thabaqat Asy Syafi’yyah Al Kubra, 7/370)

Jika demikian, tentu Shalahuddin Al Ayyubi akan bermusyawarah dengan para ulama ketika memutuskan segala persoalan.

Menghapus Adzan Syi’ah

Sebagaimana pemimpin muslim, Shalahuddin Al Ayyubi menyadari bahwa ia juga bertanggung jawab atas kondisi keislaman rakyatnya. Sebab itu, disamping membangun banyak madrasah dan khankah untuk para sufi, Shalahuddin Al Ayyubi pun mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkenaan dengan masalah keagamaan.

Saat menjelang jatuhnya Al Fathimiyah di Mesir Shalahuddin Al Ayyubi segera melakukan kebijakan-kebijakan baru yang berkanaan dengan syiar Islam, terutama adzan.

Awal mula yang dilakukan adalah menghapus adzan Syi’ah, hayya ‘ala khairil  amal, yang sebelumnya berlaku di Mesir di masa Fathimiyah. Hal itu terjadi pada tahun 565 H atau 566 H. (Al Bidayah wa An Nihayah, 12/327)

Langkah penghapusan adzan tersebut dilakukan di saat khalifah Al Fathimiyah Al Adhid dalam keadaan sakit, sedangkn ia wafat pada tahun 567 H. (Ar Raudhatain, 1/206)

Pembacaan Shalawat Sebelum dan Sesudah Adzan

Para fuqaha menyebutkan bahwa Shalahuddin Al Ayyubi memerintahkan para muadzin untuk mengumandangkan shalawat setelah adzan shalat lima waktu, kecuali di waktu shubuh dan shalat Jum`at dilakukan sebelum adzan. Dan untuk waktu maghrib shalawat tidak dikumandangkan dikarenakan sempitnya waktu. Sedangkan untuk hari Juma’at shalawat dikumandangkan saat khatib naik ke atas mimbar. Apa yang diputuskan Shalahuddin Al Ayyubi dalam masalah ini disebabkan karena di masa Fathimiyah, para muadzin diharuskan untuk menyampaikan salam kepada para khalifah mereka. Kemudian Shalahuddin pun menggantinya dengan shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Ibnu Hajar Al Haitami dari madzhab Asy Syafi’i menyebutkan bahwa apa yang diputuskan Shalahuddin Al Ayyubi itu memiliki asal sunnah namun caranya bid’ah. Dan di Ibnu Hajar sendiri memuji akan hal itu, hingga bisa disimpulkan bahwa hal itu adalah bid’ah hasanah, yakni bid’ah yang memiliki dalil asal (lihat, Al Fatwa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/131).

Sedangkan Asy Syaubari dari ulama Asy Syafi’iyyah menyatakan bahwa hal itu sunnah dalam (Hasyiyah Al Jumal, 2/111).

Adapun dari kalangan Al Hanafi perkara ini disebut juga sebagai bid’ah hasanah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abidin (lihat, Al Hasyiyah, 1/390, demikian juga disebutkan dalam Radd Al Mukhtar, 3/203).

Sedangkan di kalangan Al Malikiyah, Ash Shawi menyatakan bahwa hal itu bid’ah hasanah (lihat, Hasyiyah ‘ala Syarh Ash Shaghir, 1/423).

Selain mereka Ad Dusuki dari kalangan Al Milikiyah menyatakan bahwa perkara itu bid’ah hasanah, demikian juga Al Haththab Ar Ru’aini (lihat, Hasyiyah Ad Dusuki, 1/193 serta Mawahib Al Jalil, 2/81).

Penyebutkan Khalifah Empat dalam Khutbah Jumat

Shalahuddin Al Ayyubi juga memerintahkan penyebutan Khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Al Khaththab, Ustsman bin Affan dalam khutbah Jum’at.

Badruddin Al Aini, seorang muhaddits bermadzhab Al Hanafi menyebutkan bahwa keputusan itu dijalankan bersamaan dengan penghapusan adzan Syi’ah pada tahun 565 H (lihat, Iqdul  Juman fi Tarikh Ahluz Zaman, 1/39).

Masih Lestari di Nusantara

Dari apa yang diputuskan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di atas, masih ada perkara-perkara dipraktikkan oleh umat Islam di Nusantara, karena perkara-perkara tersebut juga dibahas di dalam kitab-kitab fiqih madzhab yang diajarkan di wilayah Nusantara, terutama madzhab Asy Syafi’i. Hal ini menunjukan bahwasannya gerakan keilmuan Shalahuddin Al Ayyubi memiliki peran yang cukup besar, hingga pengaruhnya sampai ke seluruh dunia Islam, termasuk Nusantara.

 

HIDAYATULLAH

Hewan Mendengar Penghuni Kubur yang Disiksa

Kuburan adalah tempat terakhir bagi mayit. Kuburan adalah tempat bagi mereka yang hidup mengantarkan yang telah meninggal dunia. Mayit dikebumikan di situ, di ruang yang mencekam dan tak berteman. Kuburan juga bisa menjadi tempat untuk meneteskan airmata.

Dari Hani’ Maula Utsman bin Affan katanya Utsman Radhiyallahuanhu jika berhenti di suatu kuburan, beliau menangis hingga jenggot basah. Ketika ia ditanya; Mengapa ketika disebut surga dan neraka engkau malah tidak menangis, sedang jika engkau kubur malah menangis?

Kudengar, katanya, Rasulullah SAW. bersabda:

“Kuburan adalah awal persinggahan akhirat; kalaulah ia bisa selamat daripadanya, maka yang sesudahnya lebih mudah baginya; namun jika tak selamat, segala yang sesudahnya jauh lebih berat.”

Masih kata Utsman, Rasulullah SAW. bersabda:

“Sama sekali belum pernah kulihat sebuah pemandangan, selain kuburan lebih mengerikan.” (Tirmidzi dan Ibn Majah, Shahih Ibn Majah 3442, silakan lihat Shahih Attarghib wa Tarhib 3550).

Hewan Mendengar Penghuni Kubur yang Disiksa

Setelah ditinggal oleh para pengantar, mayit akan segera mengalami peristiwa alam kubur. Di saat penyiksaan itu, hewan-hewan mendengarkan siksaan itu.

Dari Ibn Mas’ud Radhiyallahuanhu, Nabi Muhammad SAW. bersabda:

“Orang yang meninggal disiksa di kuburnya hingga hewan mendengar suara penyiksaan itu.” (Thabrani dalam Al-Kabir dan dishahihkan dalam Shahih At-Targib wat Tarhib, silakan lihat Ash-Shahihah 1377).

Jika hewan tersebut mendengar, maka berbeda dengan manusia yang masih hidup. Siksa kubur sama sekali tidak bisa didengar orang yang hidup.

Dari Anas Radhiyallahuanhu, Nabi Muhammad SAW. bersabda:

“Kalau kalian tidak saling menguburkan, saya memohon Allah agar Dia memperdengarkan siksa kubur yang kudengar kepada kalian.” (Muslim 2867).

Semoga kita dijauhkan dari siksa kubur yang amat pedih. Semoga kita mendengarkan suara-suara kebaikan dan menyegerakan melakukan kebaikan.

Wallahua’lam.

 

BERSAMA DAKWAH

Delapan Nasehat Umar yang Bikin Kita “Tertampar”

Sejak masuk Islam, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu telah membuat bumi Makkah bergetar. Orang-orang kafir Quraisy pun gemetar.

Tak lama setelah memproklamirkan diri sebagai muslim, ia mengajak para sahabat untuk terang-terangan keluar. Melihat para sahabat thawaf mengelilingi ka’bah dipimpin Hamzah dan Umar, kaum musyrikin Makkah serasa menyaksikan kobaran kilat dan suara halilintar.

Ketika hijrah, Umar pergi dengan tantangan terbuka. “Aku mau berangkat hijrah. Siapa yang ingin anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, silahkan hadang aku!” Dan tak ada yang berani menghalangi. Seluruh ksatria kaum musyirin gentar.

Ketika menjadi khalifah setelah wafatnya Abu Bakar, Umar menorehkan sejarah sebagai pemimpin Islam yang fenomenal. Keadilannya tersebar dari Madinah hingga batas negeri terluar. Maka Michael H Hart pun memasukkannya sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Umar tercatat menghasilkan futuhat Islamiyah terbesar.

Sahabat mulia bergelar al faruq ini tak hanya ahli memimpin negara dan perkasa di medan perang. Ia juga seorang inspirator ulung yang nasehat-nasehatnya menyentuh jiwa dan produk ijtihadnya menjadi khazanah keilmuan dari zamannya hingga zaman kita.

Salah satu nasehat Umar bin Khattab diabadikan dalam kitab Nashaihul ‘Ibad. Ada delapan nasehat Umar bin Khattab dalam sebuah atsar beliau yang oleh Syekh Nawawi Al Bantany diberi judul Delapan Nasehat Umar:

  1. Barangsiapa meninggalkan ucapan yang tidak perlu maka dia akan diberi hikmah
  2. Barangsiapa meninggalkan penglihatan yang tidak perlu maka dia akan diberi kekhusukan dalam hati
  3. Barangsiapa meninggalkan makan yang berlebihan maka dia diberi kenikmatan beribadah
  4. Barangsiapa meninggalkan tertawa yang berlebihan maka dia akan diberi kewibawaan
  5. Barangsiapa meninggalkan humor maka dia akan diberi kehormatan
  6. Barangsiapa meninggalkan cinta duniawi maka dia akan diberi kecintaan kepada akhirat
  7. Barangsiapa meninggalkan perhatiannya kepada aib orang maka dia akan diberi kemampuan untuk memperbaiki aibnya sendiri
  8. Barangsiapa meninggalkan pembahasan tentang bagaimana wujud Allah maka dia akan terhindar dari nifaq

Nasehat-nasehat ini luar biasa. Mari kita berusaha mengamalkannya. Meskipun di zaman sekarang, tantangannya relatif lebih besar. Medsos yang memfasilitasi kita lebih banyak berucap, mobilitas dan media yang memfasilitasi kita lebih banyak memandang, aneka acara humor yang menstimulus kita untuk lebih banyak tertawa, hingga mudahnya akses informasi yang membuat kita terjebak menguiti aib sesama. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Hanya Allah yang Dapat Meredam Setiap Kegelisahan

DALAM kehidupan ini pasti ada orang-orang yang kita cintai. Kita akan berupaya menuntut mereka ke jalan kebaikan. Kenyataannya, ada di antara mereka yang tetap kukuh pada pendirian untuk lebih memilih menuruti hawa nafsu yang menjerumuskan ke dalam maksiat, yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam azab-Nya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari hal ini.

Akibat penolakan itu Anda bisa merasa putus asa dan bersedih atas mereka. Hati Anda hancur karena berduka cita tapi tidak punya daya apa-apa.

Seperti itulah Nabi kita memiliki penuh kasih. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh kaumnya untuk menuju kepada Allah, surga, dan nikmat-Nya, dengan segala cara, seraya menanggung beban berat yang hanya bisa dipikul oleh para rasul bergelar Ulu’ al-‘azm. Namun, orang-orang kafir menyumbat telinga mereka dengan jari dan terus tenggelam dalam kesesatan, kekufuran, dan kebencian di hati mereka.

Mereka berpaling membelakangi, membangkang, dan menukar surga dengan neraka atas pilihan sendiri. Itulah penyebab utama kegelisahan dan kesedihan di hati Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau menyaksikan sejumlah keluarganya jatuh ke lembah kesesatan. Beliau berdukacita karena tahu tempat mereka saat kembali nanti. Allah Subhanahu Wa Ta’alamenggambarkan keadaan Nabi ini dalam firman-Nya:

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).” (QS. al-Khaf: 6 ).

Kesedihan dan kegalauan Nabi telah sampai pada tingkat yang hampir saja beliau bunuh diri karena kalut. Oleh karena itu, Allah mengarahkannya bahwa bersedih karena persoalan ini tidak akan berguna dan tertolak. Tugas beliau sudah selesai dan tidak akan dituntut karena kondisi seperti itu.

Terkadang orang yang Anda seru kepada kebaikan tidak merasa cukup dengan hanya meninggalkan dan tidak mendengarkan Anda. Lebih dari itu, mereka juga menghina, meremehkan pemikiran, dan mencemooh cara-cara Anda. Semua itu membuat Anda semakin sedih dan gelisah. Allah mengingatkan:

Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (QS. al-An’am : 33).

Dalam riwayat lain kita bisa membaca kesedihan yang dialami Nabi Ya’qub a.s. Riwayat tentang Nabi Ya’qub a.s merupakan kisah terbaik dari seorang ayah. Dengan membaca ayat-ayat dalam surah Yusuf, kita dapat membayangkan ikatan keluarga yang tidak bisa diputuskan oleh zaman; antara seorang bapak, Ya’qub a.s., dan dua putranya, Yusuf a.s. dan Bunyamin a.s.

Pada awal persentuhannya dengan musibah, Nabi Ya’qub a.s. diuji dengan kehilangan bocah kecil penyenang hatinya, Yusuf a.s, dalam sebuah kejadian mendadak menurut cerita bohong yang disampaikan kepadanya. Padahal sebenarnya Yusuf a.s. dibawa dan dihilangkan oleh saudara-saudaranya.

Ini kisah sedih yang sangat panjang. Dimulai dengan perasaan Ya’qub a.s. yang tidak bisa dibohongi tatkala saudara-saudara Yusuf a.s. meminta untuk membawa serta Yusuf a.s. Episode ini diabadikan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Ya’qub berkata, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya.” (QS. Yusuf: 13).

Kekhawatiran Ya’qub a.s. menjadi kenyataan. Dia kehilangan Yusuf dan baru dapat bertemu kembali setelah berpuluh-puluh tahun. Kesedihan Ya’qub a.s memenuhi relung kalbunya, merengut kegembiraannya, hingga patah hati.

Tahun berganti tahun. Dalam rentang waktu itu, kesedihan menggerogoti badan Ya’qub a.s. dan menguras air matanya hingga dia kehilangan penglihatan.

Tentang masa perpisahan Ya’qub a.s. dengan Yusuf, al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Sejak Yusuf a.s. menghilang dari hadapan Ya’qub a.s. hingga bertemu kembali adalah delapan puluh tahun. Kesedihan tidak pernah meninggalkan hati Ya’qub a.s. Dia senantiasa menangis hingga penglihatannya menghilang.”

Kemudian tradisi Allah dalam menguji para nabi, yaitu menggenapkan berbagai musibah kepada hamba-Nya guna memberikan solusi setelahnya. Begitulah, Ya’qub a.s. yang telah bersedih, kembali ditimpa masalah baru yang menambah kesedihannya. Nabi Ya’qub a.s pun kemudian mengutarakan kekurangberupayaannya dan kelemahan tekadnya untuk bersabar, bila tidak mendapat pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ya’qub berkata, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 86).

Allah pun menjanjikan suatu ketetapan kepada kita dan kepada para nabi-Nya yang sabar dan saleh bahwa setelah kesusahan pasti ada kemudahan. Setelah kesempitan pasti ada kelapangan dan kemudahan. Berdasarkan ketetapan itu pula Allah menutup penderitaan Ya’qub a.s. dengan akhir yang bahagia.

Penglihatan Ya’qub a.s. dikembalikan, kedua anaknya juga dipulangkan setelah lama menghilang. Dia diberi kesenangan berkumpul bersama anak-anaknya di sisa umurnya.

 

HIDAYATULLAH

Berilah Kelonggaran Orang Miskin yang Berutang (2)

DIRIWAYATKAN oleh Imam Ahmad -dengan sanadnya- bahwa Abu Qatadah suatu ketika mempunyai piutang kepada seorang lelaki. Dia mendatanginya dan menanyakan piutangnya. Yang berutang pun bersembunyi. Namun, suatu hari ia datang lagi. Kali ini seorang anak kecil keluar dari rumah dan segera ditanyainya. Jawab anak itu, “Ya, dia ada di dalam rumah.”

Dia memanggilnya, “Wahai Fulan, keluarlah, aku mendapat informasi bahwa engkau ada di dalam rumah ini!” Yang punya utang itu segera keluar dari rumah. Dia menanyainya, “Kenapa engkau tak menemuiku?” Sahutnya, “Aku sungguh sedang dalam kesulitan. Aku tak punya suatu apa pun.”

“Benarkah engkau dalam kesulitan?”

“Ya,” jawab lelaki itu.

Tiba-tiba Abu Qatadah menangis, lalu mengatakan, “Aku pernah mendengar bahwa, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallampernah bersabda,

“Barangsiapa yang meringankan utang pada orang gharim (orang yang terlilit utang), atau membebaskannya, maka pada hari kiamat nanti, akan mendapat perlindungan singgasana (‘arsy).” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya).

Sesungguhnya ramah dan penuh kasih sayang, merupakan tanda pribadi Muslim yang baik. Dia melihat kepada saudara-saudaranya sesama Muslim dengan pandangan yang penuh persahabatan dan kasih sayang. Selain itu, ia pun berinteraksi dengan mereka dengan lemah lembut.

Kasih sayang adalah esensi agama yang mulia ini. Dengan kasih sayang itu pula Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam diutus oleh Allah untuk menyebarkannya, seperti diterangkan-Nya,

“Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.”

Rasulullah pun telah mendorong kepada umatnya untuk bersikap lembut, penuh kelonggaran terhadap orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Bersumber dari sahabat Abu Hurairah ra., Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda:

“Ada seorang pedagang yang banyak mengutangi umat manusia. Apabila ia melihat orang yang berutang dalam kesulitan, ia pun berkata kepada karyawannya, ‘Bebaskan (utang) itu atas dia, semoga Allah membebaskan bagi kita (dari siksa).”

Dari penjelasan di atas jelas sekali bahwa Rasulullah memiliki perhatian besar terhadap penjagaan harta, serta hak-hak kepemilikannya. Sementara itu, orang kaya yang tak memberikan keringanan kepada orang miskin, merupakan bentuk kezhaliman.

Islam telah menyerukan kepada orang kaya untuk bersikap pemurah dan memberi kelonggaran kepada orang miskin yang terbelit kesulitan.

 

HDAYATULLAH

Berilah Kelonggaran Orang Miskin yang Berutang (1)

DIKATAKAN oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda,

“Menunda-nunda (membayar utang) harta kekayaan adalah zalim. Jika salah seorang dari kalian telah memiliki kecukupan maka hendaklah dia mengikutinya (segera membayar utang).” (HR. Mutafaqun ‘alaih).

Hadist ini menunjukkan bahwa menunda utang yang berupa harta kekayaan tanpa alasan yang jelas, jika pemilik kekayaan mampu untuk melakukan pembayaran, maka hal itu adalah sebuah kezaliman. Seandainya pemilik kekayaan itu orang kaya, maka ia wajib untuk melaksanakan perintah agamanya.

Sesungguhnya seseorang yang mampu melakukan perintah agama dan selalu menunda-nundanya, dan tidak sedang mengalami kesulitan, merupakan kezaliman yang dilakukan pemilik kekayaan. Penundaan pembayaran mempunyai dampak yang sangat buruk dalam perputaran keuangan di antara umat manusia. Sebab yang berhak menerima, tentu sangat membutuhkannya.

Dengan adanya penundaan pembayaran, atau ia tidak hendak membayarkannya, atau memberikan kepada orang lain yang juga membutuhkan, itu merupakan kezaliman baginya.

Jika penundaan pembayaran sebentuk kezaliman dari pemilik harta, maka kezalimannya benar-benar nyata manakala yang berhak menerima seorang miskin, sangat membutuhkan; sementara ia teramat kaya, dan kuasa untuk membayarnya.

Pemahaman sebaliknya, bagi seseorang yang tidak mampu, maka tidak termasuk kezaliman. Para ulama mengatakan bahwa seseorang yang tidak kuasa membayar, karena penghasilannya tidak cukup misalnya, maka ia tidak termasuk berbuat zalim.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan,

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 280).

Dengan ayat ini, Allah memberikan arahan dan menyerukan kepada para pemilik modal untuk bersabar terhadap orang yang sedang dalam kesulitan, sampai ia mampu dan kuasa untuk mengangsur kredit.

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang.

Ajaran agama ini sangat berbeda dengan cara-cara orang jahiliah, di mana salah seorang di antara mereka menyatakan, jika yang berutang belum bisa mengembalikan, ia akan memberikan pelajaran atau hukuman. Sebaliknya, Allah Subhanahu Wa Ta’alamemerintahkannya untuk menghentikan pengejaran utang itu, bahkan pinjaman uang itu agar disedekahkan semuanya, agar dijadikan modal orang yang berutang. Dan itulah kebajikan, serta rahmat bagi orang-orang miskin. Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang melakukan hal itu dengan pahala yang melimpah.

Dan jika kalian menyedekahkan (sebagian atau semua piutang) itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.

Demikian Allah menerangkan.

 

HIDAYATULLAH