Mengatasi Seret Rezeki dengan Bersedekah (2)

ADA kisah tentang sepasang suami istri yang termasuk keluarga fakir miskin. Saat sedang duduk-duduk berdua, sang istri berkata kepada suaminya, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala benar-benar telah menjadikan rezeki kita sempit dan kurang. Aku mendengar ada seorang laki-laki yang bernama Musa. Orang-orang menganggapnya sebagai seorang Nabi Allah dan doanya pasti terkabulkan.”

Sang istri kemudian melanjutkan dan berkata kepada suaminya, “Aku minta engkau pergi kepada beliau (Musa) dan mohonlah kepadanya agar berdoa kepada Allah agar melapangkan rezeki kita.” Suami itu pun akhirya bergegas pergi untuk bertemu Nabi Musa, kemudian dia meminta beliau agar mendoakan keluarganya diberi rezeki yang lapang.

Nabi Musa kemudian berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kemudian Allah berfirman kepada beliau, “Katakan kepadanya, keluarganya akan diberi tujuh tahun kehidupan yang serba berkelebihan dan melimpah harta bendanya, lalu tujuh tahun berikutnya keluarga itu akan hidup dalam kefakiran dan kesempitan rezeki. Tanyakan kepadanya, mana yang dipilih lebih dahulu? Apakah tujuh tahun menjadi kaya raya atau tujuh tahun sebagai orang miskin?”

Nabi Musa kemudian menemui Sang Suami dan menyampaikan jawaban Allah atas doanya. Nabi Musa memberikan pilihan itu kepada suami tersebut. Sebelum memutuskan apakah menjadi kaya dahulu atau miskin, suami itu ingin meminta pendapat istrinya. Dia pulang menemui istrinya.

Menurut suaminya, lebih baik menjadi orang yang miskin dahulu selama tujuh tahun. Sebab, menjalani hidup sebagai orang miskin, setelah merasakan hidup menjadi orang kaya nanti, akan terasa sangat berat untuk dijalani. Namun, istrinya menyarankan agar suaminya memilih menjadi orang kaya terlebih dahulu, setelah tujuh tahun baru mereka akan melihat bagaimana baiknya kemudian.

Suami itu akhirnya kembali kepada Nabi Musa a.s dan mengatakan bahwa keluarganya memilih menjadi orang kaya terlebih dahulu. Beberapa lama kemudian, Allah memberi keluarga itu rezeki harta benda yang mereka butuhkan; emas, perak, hewan ternak, dan segala yang menjadi keinginan mereka.

Akhirnya, tahun berganti tahun. Tujuh tahun itu pun sebentar lagi akan mereka lewati. Saat itulah, sewaktu sang istri sedang duduk-duduk bersama suaminya, dia berkata, “Suamiku, tujuh tahun menjadi orang kaya akan segera habis dan kita akan kembali menjadi orang miskin seperti dahulu. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”

Suaminya menjawab, “Bagaimana kalau kita menggali tanah dalam-dalam, lalu kita simpan harta benda yang berharga, emas, perak, dan permata. Nah, pada waktu menjadi miskin, kita akan mempergunakannya.”

Istrinya berkata, “Sesungguhnya Allah yang memberi kita semua rezeki ini, adalah Rabb yang Mahakuasa atas segala sesuatu dan mengetahui semuanya.”

“Lalu kita harus bagaimana?” tanya suaminya. Setelah beberapa saat berpikir, istrinya berkata, “Kita bangun saja sebuah gudang yang besar dengan empat pintu di empat penjuru arah, kemudian kita undang semua orang yang membutuhkan, agar mereka datang ke gudang itu dan mengambil semua yang mereka kehendaki.”

Akhirnya mereka menjalankan usulan sang istri. Mereka membangun gudang besar dengan empat pintu di empat penjuru arah. Semua orang kemudian diundang dan yang membutuhkan, maka dia boleh mengambil apa yang dia inginkan. Kabar itu pun menyebar ke seluruh penjuru kota, bahkan ke luar kota. Keempat pintu gudang itu pun tak pernah sepi dari orang yang keluar masuk.

Tujuh tahun telah terlewatkan, dan beberapa tahun kemudian ternyata rezeki harta sepasang suami istri itu masih ada. Kekayaan mereka tetap ada dan harta benda mereka justru bertambah. Ketika suatu hari Nabi Musa a.s melewati bangunan gudang itu, Nabi Musa bertanya, “Siapa pemilik gudang itu?” Kemudian Nabi Musa pun mengetahui bahwa itu milik sepasang suami istri yang dahulu pernah meminta didoakan agar menjadi orang yang kaya harta.

Nabi Musa kemudian bertanya kepada Allah tentang apa yang disaksikannya pada sepasang suami istri itu. Bukankah dahulu keluarga tersebut hanya diberi kekayaan yang melimpah selama tujuh tahun saja? Mengapa sampai sekarang, setelah melewati tujuh tahun dan bertahun-tahun lagi lamanya, keluarga itu belum menjadi orang miskin, bahkan hartanya semakin banyak?

Allah kemudian menjawab, “Wahai Musa, bagaimana mungkin Aku menutup satu pintu rezeki-Ku untuk mereka, sementara mereka telah membukakan empat pintu gudang hartanya untuk hamba-hamba-Ku.”

Subhanallah, kita pun rupanya agak kurang percaya dengan sabda baginda Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasalam yang berbunyi:

“Tidak ada suatu hari pun yang seorang hamba memasuki waktu pagi padanya, kecuali ada dua malaikat yang turun dari langit dan salah satunya berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah ganti untuk orang yang berinfak.’ Dan malaikat yang lain berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan untuk orang yang menahan infak.” (HR. Imam al-Baihaqi).*/Nur Faizin M., M.A, dikutip dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki.

 

HDAYATULLAH

Mengatasi Seret Rezeki dengan Bersedekah (1)

MEMBUKA pintu rezeki dengan infak atau sedekah, diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam beberapa firman-Nya, antara lain ayat:

Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini: “Apa pun yang telah kalian infakkan di jalan yang sesuai dengan perintah atau diperbolehkan oleh Allah, maka Allah akan menggantinya, baik di dunia dengan ganti yang lain, sekaligus menggantinya dengan pahala kelak di kehidupan akhirat.”

Syeikh Fadhal Ilahi mengatakan: “Barangsiapa menginfakkan rezekinya, berarti dia telah melakukan syarat datangnya rezeki pengganti. Barangsiapa menahan hartanya dari infak, maka harta dunia pastilah akan habis. Orang yang menahan rezekinya dari infak, berarti dia belum menjalankan syarat untuk datangnya rezeki lain yang menjadi penggantinya.”

Tidak ada yang abadi dan kekal dari harta benda dunia. Jika boleh diibaratkan, harta itu ibarat sumur. Apabila air sumur itu diambil, maka sumbernya akan mengeluarkan air baru lagi. Apabila sumur itu dibiarkan saja, tidak mungkin juga airnya meluap sampai ke permukaan. Setiap kali rezeki diinfakkan, maka setiap kali itu juga rezeki pengganti akan menempati tempat rezeki yang lama.

Seorang pedagang yang mengetahui bahwa barang dagangannya akan membusuk dan tidak laku jika dibiarkan, pasti mendorong orang itu untuk segera menjualnya, meskipun pembayarannya masih tertunda, daripada membiarkan barang dagangan membusuk dan tidak laku. Nah, bagaimana jika ada yang membeli barang itu dengan pembayaran kontan ditambah pembayaran tidak kontan yang lebih banyak lagi? Tentunya penjual itu pasti bersedia menjualnya. Dia akan menjual barangnya kepada Allah yang menjamin pembayaran di dunia sekaligus kelak di akhirat.

Kebanyakan manusia memang tidak menyadari kenyataan di atas bahwa harta pada akhirnya akan membusuk dan hilang tanpa sisa. Kebanyakan menganggap bahwa dengan harta, manusia bisa eksis selama-lamanya. Persis seperti yang disindirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’ an:

Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (al-Humazah: 2-3)

Mereka bukanlah orang yang mengingkari kematian. Mereka tahu bahwa tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya. Namun, sikap dan perbuatannya mencerminkan sikap orang yang tidak percaya kematian dan hilangnya harta benda. Karena itu, ketika Allah mengutarakan janji-Nya kepada kita bahwa Dia akan membukakan pintu rezeki yang baru ketika kita sudah menyedekahkan atau menginfakkan harta kita, Dia perlu menguatkan janji itu dalam beberapa cara.

Ibnu Asyur menafsirkan surat Saba’: 39 di atas dengan mengatakan: Allah menguatkan dan mengukuhkan janji untuk memberikan ganti dalam ayat itu, dengan bentuk kalimat kondisional (jumlah syarthiyyah). Allah juga menjadikannya dalam bentuk kalimat nominal (jumlah ismiyyah) dan mendahulukan subjek dengan predikat kata kerja. Semua itu menunjukkan kesungguhan janji Allah dan bahwa Dia menginginkan manusia melakukannya.

Namun, permasalahannya adalah adakah jaminan bahwa Allah akan menggantinya kontan di dunia? Inilah pertanyaan yang sering mengganggu pikiran orang. Meskipun Allah berfirman di dalam Al-Qur’ an dengan sungguh-sungguh, tapi jika belum ada jaminan kertas bermaterai enam ribu, atau belum ada akte notarisnya, sepertinya manusia masih kurang percaya. Itulah manusia di zaman modern. Mereka lebih percaya kertas bermaterai atau tanda tangan notaris, daripada firman Allah dalam Al-Qur’an yang dijamin kebenarannya.

Buktinya, ketika berinvestasi ke sebuah perusahaan atau pabrik, apakah jaminannya? Tidak lain hanya berupa kertas MoU (Memorandum of Understanding), akta notaris, atau mungkin hanya kertas bermaterai 6.000 rupiah. Dengan jaminan kertas-kertas itu, mereka percaya. Namun, ketika mereka berinvestasi kepada Allah, Rabb Pemberi rezeki di semesta raya, manusia masih membutuhkan bukti dan jaminan. Tidakkah cukup kebesaran dan kekuasaan Allah di semesta raya menjadi jaminan? Tidakkah lembaran-lembaran kertas Al-Qur’an yang di dalamnya tertulis firman-firman Allah sebagai jaminan?

Di dalam pembahasan ini, pembaca tidak perlu bingung antara bersedekah atau memberikan uang belanja untuk keluarga sebagai tanggung jawab kita, menginfakkan uang untuk pembangunan gedung madrasah, ataukah bersedekah kepada orang-orang lemah dan fakir miskin di sekitar kita. Semuanya adalah bentuk dan cara-cara untuk membuka pintu rezeki Allah yang dijamin keuntungannya oleh firman Allah yang suci di dalam Al-Qur’an.

Mengeluarkan atau menginfakkan harta yang kita miliki terkadang perlu diberikan secara terbuka kepada umat, tapi seringkali lebih baik disampaikan secara rahasia atau tertutup saja. Saat seorang mukmin perlu memberikan uswah atau teladan kepada orang lain agar mau meniru dirinya, maka sebaiknya infak itu dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh orang banyak, tanpa disertai kesombongan atau pamer (riya’).

Pada saat seseorang harus menginfakkan harta secara diam-diam, karena hal itu telah menjadi kewajiban setiap orang, maka tidak perlu rasanya dilakukan secara terbuka. Orang yang mempunyai akal cerdas dan pikiran sehat, serta berorientasi akhirat, pasti akan menimbang dengan bijaksana, apakah akan menginfakkan hartanya secara terbuka atau diam-diam. Allah berfirman:

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (ar-Ra’d: 19-22).*/Nur Faizin M., M.A, dikutip dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki

 

HIDAYATULLAH

Menghidupkan Shalat dan Zikir di Saat Orang Lupa

BETAPA utama zikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala di saat orang-orang lupa dengan menghidupkan zikir, tasbih, dan shalat. Sebagian sahabat menyenangi menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan shalat dan zikir. Mereka menyebutnya sebagai sa’ah al-ghaflah (waktu lupa).

Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik waktu ghaflah adalah shalat pada waktu antara Isya dan Maghrib.” (Baihaqi). Disebutkan juga bahwa berdoa pada waktu ini (antara Maghrib dan Isya) tidak akan ditolak, artinya diijabah. Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa melaksanakan shalat setelah Maghrib enam rakaat, ia tidak bicara kejelekan pada waktu itu, maka baginya pahala ibadah sebanding dua belas tahun.” (H.R. Ibnu Majah Ibnu Huzaimah dan Tirmizi).

Dalam hadist riwayat Aisyah dijelaskan bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa melakukan shalat dua puluh rakaat setelah Maghrib, maka Allah akan membangun baginya satu rumah di surga.” ( H.R. Ibnu Majah dan Tirmizi). Huzhaifah radiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, lalu aku shalat Maghrib bersama Nabi hingga shalat Isya.” (H.R. Nasa’i).

Abu Syaikh meriwayatkan hadis dari Zubair radiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa duduk berzikir setelah shalat Maghrib hingga shalat Isya, nilai duduknya itu sama dengan perang di jalan Allah. Dan barangsiapa duduk berzikir setelah shalat Subuh hingga matahari terbit, nilainya sama dengan pergi be juang di jalan Allah.”

Sayyidina Umar berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dari sesuatu yang dapat menjaga iman seseorang.” Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menghendaki Allah menjaga imannya hingga hari kiamat, hendaklah shalat dua rakaat setelah shalat Maghrib sebelum bicara apa pun. Pada setiap rakaat, ia membaca Al-Fatihah satu kali, surat Al-Ikhlas enam kali, Al-Falaq satu kali, An-Nas satu kali. Kemudian ia salam setelah dua rakaat. Sungguh Allah akan menjaga imannya hingga hari kiamat.”

Ka’bu Al-Akhbar radiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah merasa bangga kepada malaikat dengan orang yang melakukan shalat setelah Maghrib dan Isya.”

Dari Ibnu Syakhin dan Al-Khatib, dari Tsauban radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengitikafkan dirinya antara Maghrib dan Isya di masjid dengan berjamaah, dan tidak bicara apa-apa kecuali shalat dan membaca A1-Qur’an, maka adalah hak Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”

Manusia generasi salaf radiyaallahu ‘anhum biasa melakukan shalat di antara Maghrib dan Isya, sebab saat itu merupakan saat lupa dan sibuk dengan urusan dunia. Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menghidupkan waktu antara Zuhur dan Ashar, maka Allah akan menghidupkan hatinya pada hari ketika seluruh hati mati.”

Ibnu Umar sendiri mengaku bahwa ia biasa menghidupkan waktu antara Zuhur dan Ashar. Menurut Ibrahim Al-Nakha’i, para sahabat menyamakan nilai shalat antara Maghrib dan Isya dengan shalat antara Zuhur dan Asar.

Yang diceritakan di atas adalah kebiasaan kebanyakan ahli ibadah ketika mereka meng-qadha shalat malam yang tertinggal dengan melakukan shalat di antara Maghrib dan Isya. Mereka mengisolasi diri dari makhluk dan memutuskan waktu hanya untuk Allah. Inilah waktu yang amat baik dan mulia untuk berkhalwat dengan Tuhannya.

Disunatkan melakukan itikaf di masjid antara Zuhur dan Ashar untuk melaksanakan shalat dan zikir. Hendaklah seseorang menyatukan antara itikaf dan menunggu waktu shalat, kecuali kalau ia pada waktu itu biasa tidur (istirahat) siang; tidurlah pada waktu itu agar ia mendapat kekuatan untuk melakukan shalat malam.

Adapun kegiatan setelah shalat Ashar sampai tiba shalat Maghrib adalah zikir, istigfar, tafakur tentang alam malakut, membaca Al-Qur’an, sebab pada waktu itu shalat sunat dilarang. Mari kita simak riwayat berikut:

Hasan meriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan berdasarkan apa yang beliau dengar dari Tuhannya Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’alatelah berfirman, “Wahai anak Adam, zikirlah kamu kepada-Ku setelah shalat Subuh, meskipun hanya sesaat, dan setelah shalat Ashar, meskipun sesaat. Aku mencukupkan untukmu waktu selain di antara keduanya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: “Bertasbihlah kamu dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari. Dan dan sebagian malam, bertasbihlah kamu; demikian juga di ujung siang. Mudah-mudahan kamu mendapat keridhaan-Nya.” (Thaha: 130).

Adapun shalat malam dilakukan pada saat semua manusia lupa kepada Tuhan, kecuali orang yang dipilih Allah untuk bermunajat dan ber-taqarrub kepada-Nya. Oleh karena itu, pada setiap zaman hanya sedikit orang yang diberi karunia oleh Allah untuk dapat melaksanakan zikir kepada-Nya.

Diriwayatkan dari Asma binti Yazid radiyallahu ‘Anha bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Pada hari kiamat manusia dikumpulkan dalam satu pelataran. Terdengarlah suara yang memanggil: ‘Di manakah orang-orang yang menjauhkan badannya dari tempat tidur’. Maka berdirilah mereka. Mereka ternyata hanya sedikit. Lalu mereka dimasukkan ke surga tanpa dihisab. Setelah itu, manusia yang lainnya diperintahkan untuk dihisab.” (H.R. Baihaqi).

Simak juga riwayat berikut:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.; ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Umat-umatku yang mulia adalah para pembaca Al-Qur’an dan orang-orang yang mendawamkan shalat malam (shalat Tahajud).” (H.R. Ibnu Abi Dunya dan Baihaqi).

Karena begitu pentingnya shalat malam tetapi begitu beratnya terhadap diri, terutama jika dilakukan tengah malam, maka pahalanya besar sekali bagi siapa saja yang dapat melakukannya dengan mengharap pahala dari Allah.

Anas radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Shalat di masjidku ini sebanding dengan sepuluh ribu kali shalat di masjid yang lain, sedangkan shalat di Masjidil Haram sebanding dengan seratus ribu kali shalat di masjid yang lain. Adapun shalat di tanah ribat (tempat yang dipakai para mujahidin di jalan Allah) sebanding dengan seribu kali shalat di masjid yang lain. Tetapi lebih banyak dari pahala tersebut adalah dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tengah rnalam, yang tidak ia laksanakan kecuali mengharap pahala dari Allah.” (H.R. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab).

Adapun menekuni shalat Dhuha merupakan amal yang amat dituntut dan paling utama, sebab shalat Dhuha juga dilaksanakan pada saat manusia lupa kepada Tuhan. Jika mampu melaksanakannya, kita dapat menambah-nambah kebaikan dan berkah. Jika tidak bisa, tidaklah apa-apa. Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Dalam riwayat berikut disebutkan:

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kekasihku Shalallaahu ‘Alaihi Wasallamtelah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara; aku tidak boleh meninggalkannya: Pertama, aku tidak boleh tidur kecuali di atas bilangan ganjil. Kedua, aku tidak boleh meninggalkan dua rakaat Dhuha, sebab shalat ini adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Tuhan. Ketiga, aku harus selalu melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan.” (H.R. Bukhari Muslim).

Abu Darda radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa melaksanakan dua rakaat shalat Dhuha, ia tidak akan ditulis dari sebagian orang-orang yang lupa. Barangsiapa melaksanakan empat rakaat Dhuha, ia akan dituliskan sebagai bagian dari orang-orang yang beribadah (ahli ibadah). Barangsiapa melakukan shalat Dhuha dengan enam rakaat, maka dipenuhi keperluan hidupnya hari itu juga. Dan barangsiapa yang melakukannya dengan delapan rakaat, Allah akan mencatatkannya sebagai bagian dari orang-orang yang taat.”

Tidaklah berlalu suatu hari atau malam, kecuali bagi Allah, ada suatu anugerah dan sedekah (pemberian), yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada anugerah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang lebih utama daripada “ilham” untuk dapat berzikir kepada-Nya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa amal yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah adalah seseorang yang bermeditasi dengan Tuhannya sambil meninggalkan tempat-tempat yang tiada berguna dan dapat membawa kelalaian kepada Allah, lalu ia mensucikan Allah, memuji-Nya, dan mengagungkan-Nya.*Dr. Usman Sa’id Sarqawi, dari bukunya Zikir Itu Nikmat.

 

HIDAYATULLAH

Berbaik Sangka itu Penting

DI acara pertama malam kemarin saya mendapatkan bukti nyata bahwa dunia ini berputar, tak tetap, bergerak terus.Tentang gerakannya menuju mana adalah tergantung kebersihan hati dalam berbaik sangka.

Tuan rumah pengajian pertama dulunya adalah orang yang derajatnya di bawah standar biasa. Saat ini menjadi orang berstatus luar biasa. Meski demikian, dia tetap tampil biasa-biasa saja. Saya salut atas kesabarannya, tak pernah mengeluh.

Dulu, banyak yang menghina dan merendahkannya. Dia tetap tersenyum dan berkata: “Tak apa, mereka mungkin niatnya motivasi saya dengan cara itu. Mari semakin percaya pada Allah.” Yang menghinanya dulu, kini memujinya setinggi langit. Ternyata, semua hanya soal waktu.

Di acara kedua malam ini saya berhadapan dengan kelompok manusia yang benar-benar berburu masa depan. Beragam latar belakang mereka, namun ada satu kesamaan, yaitu tak memiliki “modal” menata masa depan kecuali percaya bahwa Allah pasti memberikan jalan. Mereka tersenyum dan tak putus asa. Saya sampaikan bahwa “itu adalah modal utama.”

Memiliki Allah adalah modal utama. Memiliki Allah menghilangkan putus asa dan menghalangi diri dati keluhan. Memiliki Allah membebaskan diri dari ketergantungan. Saya sampaikan kepada mereka bahwa bunga yang tumbuh di antara bebatuan cadas selalu tampak lebih indah dan berharga lebih mahal di bandingkan bunga biasa yang tumbuh di tanah kelaziman dengan aliran air yang dibutuhkan. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Matikan HP Saat Shalat

SHALAT itu menghadapkan diri dan hati ini kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Berbicara kepada Rabb Pencipta Langit dan Bumi, memuji-Nya dan mengkhususkan waktu bagi-Nya. Seorang yang melaksanakan shalat hendaknya menyibukkan diri mengingat Allah Ta’ala. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan menyingkirkan hal-hal yang mengganggunya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan di dalam Fathul Bari bahwa:

إزالة التشويش عن المصلي بكل طريق محافظة على الخشوع

“Menghilangkan segala yang mengganggu orang yang shalat dengan cara apapun, dapat menjaga untuk terus khusyuk.”

Di masa kita sekarang ini, semakin banyak masjid yang memberi kenyamanan lebih, lantai berlapis karpet tebal, full AC dan ruangan tertutup rapat sehingga lebih hening. Tidak jarang, masjid juga dilengkapi sound system terbaik. Maka sempurna sudah segala sarana yang dapat menambah kekhusyukan ibadah.

Tetapi…

Rupanya ada suara yang tak dapat dicegah oleh ruangan yang tertutup rapat. Konsentrasi bisa tiba-tiba terganggu oleh nada dering HP yang kadang berupa lagu-lagu yang sedang hits; sebuah nada dering yang sebagian ulama menghukumi haram. Terlebih saat di masjid.

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Sebelum shalat, matikan HP. Bisa mengaktifkan mode pesawat (flight mode) sehingga fungsi non seluler tetap berjalan, tetapi tidak dapat melakukan panggilan, tidak bisa pula dihubungi. Minimal gunakan mode hening (silent mode), meskipun ini tetap dapat mengganggu diri kita sendiri jika ada yang menelepon.

Bagaimana jika lupa mematikan, lalu ada yang menelepon saat shalat sedang berlangsung? Ambil HP Anda segera. Jangan biarkan mengganggu kekhusyukan orang-orang yang sedang shalat. Apalagi jika sedang shalat di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Matikan HP atau aktifkan flight mode atau pilih mode hening (silent). Yang jelas, ambil tindakan segera agar HP Anda tidak mengganggu kekhusyukan orang yang shalat. Tetapi jangan baca pesan yang masuk di WA atau SMS Anda.

 

Al-Qur’an itu mulia. Membacanya berpahala, mendengarkannya juga berpahala. Tetapi bacaan penuh kemuliaan itu pun tak boleh kita lantunkan dengan suara keras apabila ada yang sedang shalat karena yang demikian ini mengganggu kekhusyukan orang yang sedang shalat. Jika Al-Qur’an yang jelas-jelas mulia saja tidak boleh kita baca dengan suara keras ketika ada yang sedang shalat, maka apalagi nada dering yang tidak punya makna di dalam bunyinya? Apalagi untuk nada dering yang berisi senandung berisi pesan melalaikan dan bahkan maksiat, lebih mendesak lagi untuk segera dimatikan suaranya agar tidak mengganggu.

Suatu ketika Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui beberapa orang yang sedang shalat di bulan Ramadhan dan mereka mengeraskan bacaannya. Lalu Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berkata pada mereka:

أَيُّهَا النَّاسُ كُلُّكُمْ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ

“Wahai manusia. Kalian semua sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Oleh karena itu, janganlah di antara kalian mengeraskan suara kalian ketika membaca Al Qur’an sehingga menyakiti saudaranya yang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Tetapi bukankah mematikan HP atau mengubahnya menjadi mode pesawat (flight mode) berarti melakukan beberapa gerakan sekaligus? Benar. Tetapi ini merupakan gerakan yang bukan saja dibolehkan, bahkan harus dilaksanakan, disebabkan gerakan tersebut diperlukan untuk menghilangkan gangguan shalat sebagaimana dimaksud oleh al-hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama Syafi’iiyah yang sangat disegani.

Perihal gerakan di luar shalat, mari kita renungkan hadis berikut ini. Dari ‘Aisyah radhiyaLlahu ’anha, ia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فمشى حتى فتح لي ثم رجع إلى مقامه، ووصفت أن الباب في القبلة

“Suatu ketika Rasulullah shallaLlahu’alaihi wa sallam sedang shalat di rumah dan pintu rumah tertutup. Lalu aku datang hendak masuk. Beliau pun berjalan lalu membukakan pintu kemudian melanjutkan shalat di tempatnya semula. Dan digambarkan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat.” (HR. Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi).

 

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari hadis tersebut? Pertama, melakukan beberapa gerakan yang tidak ada hubungannya dengan shalat dapat kita kerjakan saat shalat apabila dimaksudkan untuk menghilangkan gangguan shalat. Kedua, melakukan beberapa gerakan tersebut tidak membatalkan shalat dan bahkan justru merupakan keutamaan karena diperlukan untuk meniadiakan gangguan shalat.

Pada hadis lain, kita bahkan mendapati Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan tambahan pada saat sedang shalat karena beliau sedang menggendong cucunya.

Mari kita perhatikan hadis berikut ini:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت ابنته، فإذا ركع وضعها وإذا قام حملها

“Rasulullah shallaLlahu ’alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, cucu beliau. Jika beliau ruku’, beliau meletakkan Umamah. Jika beliau berdiri, beliau menggendong Umamah kembali.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada riwayat Muslim terdapat tambahan:

وهو يؤم الناس في المسجد

“Ketika itu beliau sedang menjadi imam shalat di masjid.“

Nah.

Jadi kalau sewaktu-waktu HP berdering saat sedang shalat, segera matikan. Membiarkannya hingga mengganggu kekhusyukan shalat, apalagi sampai mengganggu kekhusyukan orang lain, justru merupakan keburukan. Lebih-lebih jika itu terjadi saat di Tanah Suci saat umrah, tempat paling utama untuk ibadah.*

 

 

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

HIDAYATULLAH

Mengambil Pelajaran dari Cermin

KATA para pengamat: “Ini fakta yang unik bahwa salah satu yang seringkali membuat seorang pemudi itu marah adalah membiarkannya tanpa cermin dalam sehari penuh.”

Kaidah ini juga berlaku pada wanita berumur tapi masih merasa muda atau memang yang ingin memudakan diri lagi. Para pembaca setuju dengan pengamat di atas? Berkaca atau bercermin sebenarnya bernilai netral kok, bisa baik dan bisa juga tidak baik, tergantung kapan dimana dan bagaimananya.

Ada banyak cermin di rumah kita, di kamar mandi, di kamar tidur, di ruang tamu, bahkan di dalam mobil dan di sepeda motor kita. Kadang, dalam tas atau dompetpun ada cermin. Untuk apa cermin itu? Jawabannya semua sama, tidak usah saya perpanjang.

Namun, pernahkah kita merenungkan nilai yang sesungguhnya tertanam dalam cermin itu? Ternyata cermin memberikan pelajaran yang luar biasa kepada kita, yaitu kejujuran melihat orang lain. Cermin tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurangi apapun dari obyek yang ingin ditunjukkan wajah aslinya. Yang putih ditampilkan putih, yang hitam ditampakkan hitam. Obyektif apa adanya.

Yang menarik dari cermin ini ialah bahwa walau ia tahu kekurangan atau aib yang dimiliki oleh manusia yang di depannya, kemudian memberitahukannya apa adanya, cermin tak pernah menghina, mencemooh dan menyakiti. Cermin diam saja tanpa mengomentarinya

Berbeda dengan sebagian besar manusia yang begitu mudah menyakiti orang lain saat mendengar sesuatu cela atau aib yang dimiliki orang lain. Disampaikannya dan disebarkannya aib itu dengan kritik dan komentar yang menyakitkan walau pengetahuannya tentang aib itu belum tentu benar, alias sebatas duga.

Tetua Madura berkata: “Akaca ka kaca, jha’ acaca ta’ nyaman bab kakoranganna orng.” Bahasa Indonesianya: “Belajarlah ke cermin, tahu kekurangan orang, tapi tak melukainya”. Menjadi bijak itu perlu. Salam, AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Tanda Hitam di Jidat Belum Tentu Ahli Ibadah?

ADA yang bertanya apakah tanda hitam di jidat adalah orang yang masuk golongan ahli ibadah dan khusyuk salatnya? Namun, tak kurang juga hadis yang bunyinya justru negatif terhadap tanda hitam itu.

Misalnya: “Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut unta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyukan” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).

Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bidah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).

Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang sahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadis tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para sahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadis yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”.

Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadis yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”.

Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca Alquran namun Alquran tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudian mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syuaib al Arnauth).

Karena itu, kita seharusnya biasa-biasa saja memandang tanda hitam di jidat itu. Tidak memandangnya sebagai tanda bekas sujud dan meninggikannya secara tidak proporsional; tetapi tidak juga memandangnya tercela.

Sebab bisa jadi, si pemilik jidat hitam sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi padanya. Mungkin saja itu karena sujud yang terlalu menungging, sehingga memberikan telanan yang lebih berat kepada jidat saat sujud. Hasilnya, ya tanda hitam tadi. Wallahu alam.

 

INILAH.com

 

Hari Perayaan Mualaf di Belanda

Pada Maret 2013 menjadi spesial bagi Muslimin Belanda. Mereka berkumpul mengadakan petemuan untuk menyambut saudara yang baru saja mendapat hidayah. Mereka menyebutnya sebagai hari perayaan untuk para mualaf.

Acara bertajuk “National Converts Day of Dutch Muslim” tersebut dihadiri banyak Muslim. Ruang pertemuan di Blue Mosque Amsterdam pun dalam sekejap menjadi sangat ramai. Dengan wajah berseri, Muslimin Belanda saling bersalaman dan menyapa.

Acara ini bukan ajang perekrutan para mualaf. Namun, hari itu memang spesial karena terdapat sembilan orang yang memutuskan untuk bersyahadat. Muslimin pun berdatangan untuk mengenal siapa sembilan saudara baru mereka.

Seorang pria tua, Hans (72 tahun), tampak girang. Ia merupakan satu dari sembilan mualaf yang baru saja memeluk Islam. Warga asli Belanda ini mengucapkan syahadat saat acara berlangsung.

Ia pun merasa sangat tersambut dan diterima dengan baik. Ia merasa memiliki banyak saudara baru seiman. “Hari ini saya sangat senang,” ujarnya dengan senyum berkembang dan mata berseri, seperti dikutip kantor berita KUNA.

Hans mengatakan, ia jatuh hati pada Islam setelah melihat kehidupan keluarga anaknya. Anaknya menikah dengan seorang wanita Tunisia delapan tahun lalu, kemudian memeluk Islam setelah mengenal indahnya agama sang istri. Ia bersama istrinya hidup damai dalam keluarga Muslim. Hans pun begitu terpesona dengannya.

“Saya sangat terkesan ketika saya melihat bagaimana anak saya dan istrinya begitu damai dan berdoa kepada Allah meminta solusi dan bantuan kepada Tuhan,” katanya.

Terinspirasi dari kehidupan sang anak, Hans bersyahadat. Ia sangat gembira ikut serta dalam perayaan para mualaf tersebut. Ia pun bertekad akan terus mempelajari agama Islam dengan bantuan saudara barunya. Meski usianya telah lanjut, ia tetap bersemangat mempelajari agama. “Saya akan terus mencoba untuk memahami Islam lebih dan lebih, saya akan mempelajari Alquran dan menghadiri kuliah,” ujar Hans.

Acara mualaf nasional ini merupakan yang keenam kalinya dihelat Muslimin Belanda. Bergabung di sebuah Discover Islam Foundation, mereka menjalin kerja sama dengan platform nasional untuk mualaf Belanda. Lebih dari seribu orang menghadiri acara tersebut. Seorang tokoh Muslim Amerika, Yusuf Estes, menjadi pembicara. Seorang mualaf Yunani, Hamza Tzortzis, serta warga Saudi pendaki Gunung Everest pertama, Farouk Al Zouman, juga ikut mengisi kemeriahan acara.

Juru bicara acara Jacob von der Blom mengatakan, jumlah mualaf warga asli Belanda memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2012 terdapat 15 ribu mualaf, tahun sebelumnya sekitar 12 ribu mualaf.

Belanda menjadi rumah bagi 946 ribu Muslimin. Jumlah tersebut mencapai 5,7 persen dari total populasi Negara Kincir Angin tersebut. Meski minoritas, Muslimin hidup nyaman di sana. Jumlah Muslimin Belanda pun termasuk 10 besar Muslim terbesar di Eropa.

 

REPUBLIKA

Tijuana, Rumah Para Mualaf

Sebuah kota di Meksiko, tepatnya di Pantai Tijuana, menjadi tempat subur bagi berkembangya para mualaf. Populasi Muslim terus mengalami peningkatan jumlah. Mereka pun mengaku bahagia tinggal di kota tersebut.

Profesor Studi Islam di Universitas San Diego, Dr Khaleel Mohammed, mengatakan, banyak penduduk Meksiko yang melihat Islam menawarkan hal berbeda dari agama lain. Muslimin di sana sangat toleransi pada nilai tradisional setempat. Sehingga, banyak warga yang tertarik kemudian mempelajari Islam.

Untuk fasilitas beribadah, para mualaf juga diterima baik di Masjid Al Islam yang baru saja berdiri di kota tersebut. Pusat Islam pun kemudian dibangun di sana sebagai tempat para Muslimin menempa ilmu agama dan membina para mualaf.

Salah seorang mualaf asal California, Amir Carr, mengaku bahagia menjadi mualaf. Istrinya merupakan warga Meksiko sehingga Carr pun kemudian memilih tinggal di negeri Latin tersebut. Keduanya kemudian tinggal di Tijuana dan mengenal Islam. “Islam benar-benar mengubah hidup saya,” ujar Carr.

Muallaf lain, Samuel Cortes, juga merasakan hal sama. Ia merupakan seorang imigran. Saat berkunjung ke Tijuana, justru ia kemudian mendapatkan hidayah. Ia pun enggan kembali ke rumahnya di AS dan masih berkeinginan tinggal di kawasan pantai Meksiko tersebut. Hanya saja, ia harus kembali karena keluarganya berada di AS.

Berdasarkan survei tahun lalu oleh WhyIslam, masyarakat Latin memang mengambil 19 persen dari jumlah konversi Islam di Amerika. Para mualaf Latin tersebut didominasi wanita. Sejak 2000, mualaf latin wanita bahkan terus mengalami peningkatan hingga delapan persen.

 

REPUBLIKA

Awas! Harta dan Anak Anda Disusupi Iblis

SEPENGGAL hikmah di surat al-Isra: 61 65. Ketika Iblis diusir dari surga karena membangkang perintah Allah, dia diberi kesempatan untuk menyesatkan manusia untuk menjadi temannya di neraka Jahanam.

Dia juga diberi kesempatan untuk memanfaatkan setiap harta dan anak yang dimiliki manusia agar menjadi propertinya. Allah berfirman, “Bergabunglah dengan mereka (manusia) pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al-Isra: 64)

Ulama berbeda pendapat tentang bentuk bergabungnya iblis bersama manusia dalam hal anak dan harta. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyimpulkan perbedaan tafsir tersebut dengan menyebutkan keterangan Ibnu Jarir at-Thabari, “Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa setiap anak yang dilahirkan wanita, dan menjadi sebab seseorang bermaksiat kepada Allah, baik dengan memberikan nama untuknya dengan nama yang Allah Allah benci, atau dengan memasukkan anak ini ke dalam agama yang tidak Allah ridhai, atau anak hasil zina dengan ibunya, atau anak yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup, atau perbuatan lainnya yang termasuk maksiat kepada Allah terhadap anak itu, semua keadaan di atas termasuk dalam bentuk ikut campurnya Iblis terhadap anak.

Oleh karena itu, semua anak dan harta yang menjadi sarana bermaksiat kepada Allah dan sebab mentaati setan maka Iblis ikut bergabung di dalamnya. (Tafsir Ibnu katsir, 5/94).

Ayat ini mengingatkan kita untuk lebih mawas diri dalam mendidik dan memperhatikan manfaat harta dan pendidikan anak. Bisa jadi secara zahir itu harta dan anak kita, namun sejatinya telah dikendalikan iblis.

Perhatikan dengan baik, jangan beri kesempatan Iblis untuk bergabung mengendalikan harta dan anak kita. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK