Membaca Alquran Saat Haid

Bukan menjadi hal yang dipertentangkan lagi, bersuci sebelum menyentuh dan membaca Alquran adalah hal yang utama. Hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada Alquran sebagai kitab suci umat Islam. Siapa pun yang menyentuhnya, diutamakan untuk bersuci, baik dari hadas besar maupun kecil.

Namun, bagaimana dengan wanita yang tengah haid atau nifas? Tentu untuk bersuci dari hadas haid atau nifas tidaklah segampang orang yang junub. Jika junub, tentu bisa hilang hadasnya hanya dengan mandi. Namun, bagaimana bagi wanita haid dan nifas? Apakah selama haid yang memakan waktu enam hingga tujuh hari mereka tidak boleh menyentuh kitab suci Alquran? Apalagi, bagi wanita nifas yang mencapai masa 40 hari lamanya. Bukankah Alquran adalah pegangan hidup manusia yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri?

Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang dibolehkannya wanita haid atau nifas menyentuh mushaf Alquran. Namun, soal membaca ayat Alquran tanpa mushaf, para ulama bersepakat akan kebolehannya. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil sahih yang melarang wanita membaca Alquran tanpa mushaf.

Misalkan dalam pelaksanaan haji dan umrah. Hadis Rasulullah SAW dari Jabir bin Abdillah mengatakan, “Kemudian berhajilah dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.” (HR Bukhari Muslim).

Ketika Rasulullah menyebutkan hadis ini kepada Aisyah RA, Beliau SAW menyadari dalam pelaksanaan haji akan banyak membaca ayat Alquran. Namun, yang dilarang hanya tawaf dan shalat. Sementara, membaca ayat-ayat Alquran dan zikir-zikir lainnya tetap diperbolehkan selama haji. Hal ini sebagai dalil kuat bahwa membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf sama sekali tak dilarang.

Syekh Albani juga mengakui, hadis ini sebagai bukti diperbolehkannya membaca Alquran selama haid. Menurutnya, membaca Alquran dan memperbanyak zikir merupakan amalan yang paling utama dalam ibadah haji. Jika tidak boleh bagi wanita haid membaca Alquran, tentu akan ada pelarangan yang sharih (jelas) dari hadis Rasulullah SAW tentang hal itu.

“Kalau Beliau SAW melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Alquran (ketika haid), ini menunjukkan membaca Alquran ketika haid diperbolehkan. Mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fikih. Ini sudah jelas dan tidak samar lagi,” jelas Albani dalam kitabnya Hajjatun Nabi (hal:69).

Lantas bagaimana hukum membaca Alquran dengan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas kecil atau besar? Beberapa ulama ada yang tidak memperbolehkannya. Namun, sebahagian ulama lainnya tetap memperbolehkan hal itu.

Beberapa mazhab yang mengharamkannya adalah Mazhab Hanafiyah dalam Al-Mabsuth (3/152), Mazhab Malikiyyah dalam Mukhtashar Al-Khalil (hal: 17-18), Mazhab Syafi’iyyah dalam Al-Majmu’ (2/67), dan Mazhab Hanabilah dalam Al-Mughny (1/137).

Para ulama yang mengharamkan menyentuh mushaf Alquran bagi orang berhadas berdalil dengan firman Allah SWT, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (QS al-Waaqi’ah [56]: 79).

Para ulama yang tidak memperbolehkan menyentuh mushaf tersebut berpendapat, maksud “nya” dalam ayat ini adalah mushaf Alquran. Termasuk cakupannya seperti sampul dan kertasnya. Orang yang berhadas dilarang menyentuhnya secara langsung. Jika ingin membaca Alquran, orang yang berhadas hendaknya memakai media lain yang tidak menempel, seperti kaus tangan dan sejenisnya.

Mantan mufti Arab Saudi, Syekh Bin Baz, mengatakan, haram bagi orang berhadas menyentuh mushaf Alquran secara langsung. “Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Alquran menurut pendapat yang lebih sahih dari dua pendapat ulama karena tidak ada dalil yang melarang. Namun, mereka tidak boleh menyentuh mushaf. Mereka boleh memegangnya dengan penghalang, seperti kain yang bersih atau selainnya. Mereka juga boleh memegang kertas yang ada tulisan Alquran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan,” jelas Bin Baz dalam kumpulan fatwanya (24/344).

Di samping ulama yang mengharamkan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas, ada juga pendapat ulama yang membolehkannya. Seperti dibahas dalam kitab Sahih Fiqh Sunnah oleh Abu Malik Kamal. Ia menyebutkan, tidak mengapa bagi orang yang berhadas kecil maupun besar untuk menyentuh mushaf Alquran.

Kitab Sahih Fiqh Sunnah ini juga ditaklik (dievaluasi) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Ditambah lagi, Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga ikut menguatkan buku ini.

Dalam Sahih Fiqh Sunnah disebutkan, maksud dari ayat, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci” bukanlah berbicara mengenai mushaf Alquran. Hal ini dapat diketahui ketika membaca ayat-ayat sebelumnya. Firman Allah SWT, “Dan (ini) sesungguhnya Alquran yang sangat mulia [77]. Dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh) [78]. Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan [79].” (QS al-Waaqi’ah [56]: 77-79).

Ayat ini sama sekali tidak berbicara tentang mushaf Alquran. Jika melihat ayat sebelumnya, ayat ini menceritakan tentang Lauh Mahfuzh, yaitu kitab kejadian yang mencatat seluruh apa yang terjadi di alam semesta mulai dari awal penciptaan hingga kejadian akhir di hari kiamat. Tak ada yang bisa menyentuh Lauh Mahfudz kecuali hamba Allah yang disucikan, yakni malaikat. Apakah manusia bisa disebut suci? Tentu saja tidak karena manusia penuh dengan dosa. Hanya malaikat dalam konteks ini yang disebut hamba-hamba yang disucikan.

Para ulama kontemporer memandang, pendapat kedua yang membolehkan menyentuh mushaf Alquran dalam kondisi berhadas inilah pendapat yang paling kuat. Pendapat ini lebih relevan dengan kondisi kekinian dan model penafsiran yang lebih rasional. Tidak ada salahnya menyentuh mushaf Alquran dalam kondisi berhadas besar, seperti junub, haid, atau nifas. Apalagi, hanya berhadas kecil karena tidak berwudhu. Wallahu’alam.

Kisah Kakek Miskin yang Menyembunyikan Sedekahnya

ADA seorang kakek tua yang dikenal sangat miskin. Ia tinggal di kota Yaman di dalam gubuk tua yang telah reyot. Meski demikian, ia tidak pernah terlihat kelaparan dan selalu segar. Ia pun tidak pernah meminta-minta dan bahkan menolak jika ada seseorang yang ingin memberinya sedekah. Alasannya karena ia masih sanggup bekerja dan memperoleh upah dari pekerjaannya.

Pemimpin kota Yaman tersebut dibuat penasaran setelah mendengar berita tentang kakek tersebut. Ia berencana mengintai rumah sang kakek dan mencari tahu kebenaran bahwa kakek tersebut benar-benar tidak kelaparan. Sang pemimpin merasa cemas barangkali sebenarnya si kakek menyembunyikan laparnya karena malu. Untuk melancarkan rencananya ia memutuskan untuk melakukan penyamaran dan mendatangi rumah sang kakek. Ia berubah menjadi pengemis dan akan meminta-minta kepada kakek yang dikenal miskin tersebut.

“Aku sedang kelaparan, karena sudah tiga hari tidak makan. Tolong aku,” ujarnya di hadapan sang kakek saat membukakan pintu.

Wajah kakek tersebut tampak iba dan menuntun si pengemis masuk ke dalam rumah.

“Aku memiliki sekerat roti dan segelas susu untukmu,” kata sang kakek kepada si pengemis.

Pengemis yang tentu saja sebenarnya adalah pemimpin kota mengamati seisi rumah sang kakek. Di sana ia menemukan banyak sekali kerajinan indah. “Untuk apa kerajinan-kerajinan ini?”

“Itu adalah kerajinan buatanku. Aku menjualnya saat siang hari,” ujar sang kakek.

“Apakah hasil penjualannya cukup untuk menghidupi dirimu sendiri?”

“Alhamdulillah, sejauh ini cukup.”

“Tapi mengapa kau tinggal di gubuk reyot seperti ini? Kau pun hanya memiliki sekerat roti dan segelas susu.”

“Bagiku gubuk ini sudah cukup untuk aku tinggal sendiri, nyaman dalam beribadah, dan kebutuhan perutku tidak perlu berlebihan.” Sang kakek tersenyum.

“Lalu, ke mana sisa uangmu?”

“Kukira kau tidak perlu mengetahuinya,” jawab kakek kembali tersenyum.

Akhirnya pemimpin Yaman tersebut tahu bahwa ternyata sang kakek adalah pengrajin yang berbakat. Namun, ia selalu menutupi wajahnya ketika menjual kerajinan-kerajinan miliknya, sehingga orang-orang tidak mengenalinya. Tanpa sepengetahuan ia pun selalu membelanjakan pendapatannya untuk kaum miskin. Bagi sang kakek, mengenyangkan perut dengan sekerat roti dan segelas susu sudahlah cukup.

“Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memerikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]: 271) [An Nisaa Gettar]

 

INILAH MOZAIK

Tiga Resep Agar Suami tidak Selingkuh

DI ANTARA resep menggapai sakinah, mawaddah wa rahmah dan agar suami tidak berselingkuh hendaklah para istri memperhatikan tiga hal dari para suami mereka, yaitu mata, perut dan kemaluan.

1. Mata
Istri harus pandai berdandan dan selalu berusaha tampil menyenangkan suami, jangan sampai mata suami melihat yang tidak menyenangkan dari isteri.

2. Perut
Istri berupaya membuatkan makanan kesukaan atau permintaan suami dan jangan sampai di rumah tidak ada makanan.

3. Kemaluan
Istri berusaha tampil seksi dalam berpakaian, mesra, romantis dan memuaskan syahwat suami.

Jika para istri telah melakukan tiga resep di atas insya Allah suami tidak akan pernah berselingkuh walau digoda oleh wanita tercantik dan terseksi di dunia.

Selamat mencoba dan semoga sukses, sehidup sesurga, aamiin. [kajianislam]

 

INILAH MOZAIK

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

‘Dakwah Islam di Jayapura Tak Ganggu Kerukunan Umat Beragama’

Dakwah dan syiar Islam tidak mengganggu kerukunan masyarakat di Jayapura, Papua. Hal itu ditunjukkan karena selama ini hubungan antar umat beragama berjalan baik dan harmonis.

Demikian dikatakan Takmir Masjid Al-Aqsha Sentani, Jayapura, Papua, Nurdin Sanmas. Ia mengungkapkan, sejak masjid besar di sana dibangun, tidak ada keberatan maupun protes dari masyarakat Kristiani hingga saat ini. Bahkan, proses peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan oleh Bupati Jayapura.

“Tidak pernah ada, Alhamdulillah aman-aman saja. Hanya surat PGGJ itu,” ujarnya kepada hidayatullah.com melalui sambungan telepon, Selasa (20/03/2018).

Nurdin mengaku, umat Islam tidak terpengaruh dengan adanya tuntutan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Jayapura (PGGJ) yang bersifat protes terhadap bangunan menara dan pengeras suara masjid.

Hanya saja, ia berharap, pihak penyebab terjadinya sedikit kegaduhan tersebut harusnya bisa lebih menghargai. Dan tidak membuat keputusan yang merusak hubungan baik antar umat beragama selama ini.

“Harapannya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, berjalan damai-damai saja toh. Silakan menjalankan ibadah agama sesuai keyakinan masing-masing,” ungkapnya.

Nurdin menyampaikan, selama ini pihaknya juga senantiasa berupaya menjaga kerukunan di Jayapura. Seringkali, katanya, pihak masjid dan gereja saling membantu dalam perayaan hari besar keagamaan.

 

Bahkan, terang Nurdin, seandainya benar-benar ada yang merasa terganggu dengan aktivitas masjid dari pihak gereja, dia siap datang ke gereja untuk meminta jadwal ibadah agar bisa menyesuaikan.

“Karena kita juga tidak tahu persis jadwal ibadahnya jam berapa, tapi yang rutin kita tahu kan hari Minggu,” tuturnya.

Nurdin membenarkan, umat Islam di Jayapura khususnya Sentani terus bertumbuh. Dan renovasi yang dilakukan pihak masjid, dikatakannya, juga dalam rangka menyesuaikan kebutuhan jamaah.*

 

HIDAYATULLAH

Apa Persiapan Kita Menuju Ramadhan?

RAMADHAN sudah tinggal sejengkal, namun sudahkah umat Islam menyiapkan dengan baik akan kedatangannya? Terlebih, beberapa hari lagi akan memasuki bulan Sya’ban yang merupakan bulan paling dekat dengan Ramadhan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu gencar berpuasa dan beribadah di dalamnya.

Sejenak kita baca kembali sejarah ulama dan tokoh muslim terdahulu. Menurut Mu’alla bin Fadhl rahimahullah, para generasi terdahulu memiliki kebiasaan unik terkait persiapan Ramadhan. Persiapan mereka untuk menyambut Ramadhan bukan seperti kebanyakan orang di masa kini yang baru siap ketika Ramadhan dekat. Kalaupun siap, kebanyakan hanya berkutat pada masalah persiapan ragawi, bukan rohani.

Mereka –para salaf saleh- enam bulan sebelum Ramadhan sudah mempersiapkan dengan baik dan meminta kepada Allah ta’ala agar diberi kesempatan kembali merasakan berkah Ramadhan.

Dalam buku berjudul “Nidâ al-Rayyân fii Fiqhi al-Shaumi wa Fadhli Ramadhân” (1417: 163-164) Sayyid Husain Affani mencatat dengan sangat baik kondisi mereka. Alkisah,  ada suatu kaum dari kalangan salaf yang menjual budak wanitanya. Ketika Ramadhan sudah dekat, sang budak melihat mereka (tuan baru dan keluarga) bersiap-siap menyediakan makanan dan yang lainnya. Lalu budak itu bertanya perihal itu. Mereka menjawab, “Kami siap-siap untuk berpuasa Ramadhan.”

 

Mendengar jawaban demikian, lantas sang budak berkomentar, “Kalian tidak berpuasa melainkan Ramadhan! Sesungguhnya aku dulu berada pada suatu kaum yang semua waktunya adalah Ramadhan. Kembalikan aku pada tuanku yang dulu!” Narasi dan statement ini –meski dari budak- begitu bermutu tinggi. Ia mengungkap kondisi salaf saleh yang tidak membeda-bedakan ibadah baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Karenanya, kalau mereka ditanya sudah siap menghadapi Ramadhan? Maka akan senantiasa siap karena hari-harinya adalah disadari laksana Ramadhan.

Senada dengan kisah tersebut, suatu hari, Hasan bin Shalih rahimahullah menjual budak wanita miliknya. Ketika pada pertengahan malam (di rumah tuan barunya), budak tersebut bangun untuk shalat dan memanggil seisi rumah, “Wahai penghuni rumah, shalat! Shalat!” Mereka menjawab, “Apa sudah waktunya shalat Subuh?” Ia menjawab, “Apakah kalian tidak shalat melainkan shalat wajib saja?” Ketika Hasan datang, budak itu berkata, “Kamu menjualku pada suatu kaum yang tidak shalat melainkan yang wajib saja. Kembalikan aku, kembalikan aku (kepadamu)!” Kalau pada kisah sebelumnya titik tekannya adalah puasa, pada kisah ini tekanannya adalah shalat malam. Persamaannya adalah ibadah mereka, di dalam maupun di luar Ramadhan tidak pernah dibeda-bedakan.

Suatu hari ada yang bercerita kepada Biysr rahimahullah, bahwa ada kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh dalam Ramadhan saja. Kemudian beliau berkomentar, “Betapa jeleknya kaum itu, hanya mengenal Allah pada waktu Ramadhan saja. Sesungguhnya orang saleh adalah yang beribadah kepada-Nya dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”

Pernyataan Biysr ini semakin meneguhkan betapa mantapnya persiapan pasa salaf saleh dalam menghadapi Ramadhan.

Ketika salah seorang saleh ditanya mengenai mana yang paling utama antara bulan Rajab dan Sya’ban, ia menjawab, “Jadilah orang yang rabbani dan jangan menjadi Sya’bani!” Artinya, meski masing-masing memiliki keutamaan, mereka tidak membeda-bedakan antara bulan Ramadhan dengan bulan lain dalam hal ibadah dan kesungguhan.

Lebih mengesankan dari semua itu, ada diksi menarik yang diungkapkan sebagian salaf saleh terkait puasa, “Berpuasalah saat di dunia, dan jadikan waktu berbukamu adalah kematian. Dunia semuanya adalah Ramadhan. Orang-orang bertakwa berpuasa di dalamnya (dunia) dari syahwat-syahwat yang diharamkan. Jika maut telah menjemput, maka bulan puasa mereka sudah habis dan mereka memulai hari raya mereka.”

Mereka menganggap sebagai orang yang berpuasa (dalam arti mengendalikan diri) selama di dunia, dan baru merayakan Idul Fitrinya ketika sudah kembali kepada Allah.

Lalu, apa kabar Ramadhan? Sebagaimana salaf, sudahkah kita mempersiapkannya dengan baik jauh-jauh hari? Masihkah di antara kita ada yang membeda-bedakannya dengan bulan lain? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan berpengaruh pada kualitas Ramadhan tahun ini jika masing-masing dari umat Islam mau mengevaluasi diri dan meneladani apa yang dilakukan salaf saleh.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan dua buah bait syair dari salaf saleh:

وَقَدْ صُمْتُ عَنْ لَذَّاتِ دَهْرِيْ كُلِّهَا

وَيَوْمَ لَقَاكُمْ ذَاكَ فِطْرُ صِيَامِيْ

Sungguh aku telah berpuasa dari segenap kelezatan hidupku

          Pada hari saat bertemu dengan-Mu (saat meninggal) itulah hari raya Fitriku.*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLAH

500 Ulama akan Hadiri Multaqa Ulama Nusantara

Sebanyak 500 ulama pimpinan pesantren dan ormas Islam Banten akan menghadiri Multaqa Ulama Nusantara pada Ahad (25/3). Acara yang dihelat Majma Buhuts al-Islamiyah itu, akan berlangsung di Pesantren Modern Al Mubarok Kota Serang, Banten asuhan KH Mahmudi MA yang juga merupakan Ketua MUI Serang.

Sekjen Multaqa Ulama Nusantara KH Aly Abdil Barr mengatakan, kegiatan ini dilatarbelakangi keinginan menjalin kerjasama antarulama dan umat menyikapi berbagai persoalan bangsa. Kegiatan juga diharapkan makin memperat tali persaudaraan sesama Muslim, ulama, umara (pemimpin negara), dan umat dalam menjaga NKRI.

“ Multaqa ini untuk mempererat persatuan umat agar tidak terbelah ketika ada hajatan pemilihan kepemimpinan nasional,” kata dia dalam keterangan persnya di Serang, Jumat (23/3).

 

Dia menjelaskan, pertemuan ini juga untuk memberikan masukan atau amanat agar umat Islam mendukung dan mendorong adanya pemimpin nasional yang benar-benar peduli kepada umat Islam, pesantren, dan madrasah. “Apalagi dia berasal dari kalangan santri,” kata dia

 

Kiai Aly menuturkan, berangkat dari multaqa yang bertema “Persatuan Umat dan Kepemimpinan Nasional untuk Kedaulatan Ekonomi”, penyelenggara menilai umat Islam membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan dalam menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam dalam bingkai NKRI.

 

Harapan lain, kata dia, seluruh ulama dan santri di seluruh pelosok Tanah Air agar memilih seorang pemimpin dari kalangan santri yang mampu meningkatkan kualitas SDM umat dengan mengembangkan mutu dan kuantitas pendidikan Islam, melalui pesantren dan madrasah diniyah.

 

Sementara itu KH Mahmudi berpendapat dengan kualitas SDM umat dan santri yang mumpuni, akan dapat mewujudkan perbaikan ekonomi umat yang selama ini masih terpuruk.  “Masih banyak pesantren yang kurang mendapat perhatian,” tutur dia.

 

Menurut Mahmudi, agar umat dapat memperoleh akses atas lapangan pekerjaan dan usaha mandiri melalui berbagai program-program nyata, pesantren harus mendapat perhatian yang sama dengan pendidikan umum lainnya. ” Terlebih oesantren adalah tempat bersemai dan tumbuhnya pendidikan karakter bangsa sejak dini,” ujar dia.

 

REPUBLIKA

Belajar Berjiwa Besar dari Nyak Sandang

Rakyat Aceh pernah sangat berjasa kepada pemerintah Indonesia, dengan membelikan pesawat pertama Indonesia. Cikal bakal berdirinya PT Garuda Indonesia. Selama ini sejarah tersebut hanya menguap begitu saja. Disampaikan dari lisan ke lisan, karena minim penuangan via tulisan.

Pada Selasa (27/2) lalu, Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh menyambangi kediaman salah seorang pelaku sejarah yang hingga detik ini masih menyimpan dengan baik, bukti berupa obligasi sebagai donatur pembelian pesawat Seulawah 001. Adalah Nyak Sandang, salah seorang warga Gampong Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya yang kini berusia 91 tahun.

Nyak Sandang atau yang akrab disapa Ayah oleh warga Gampong, sehari-hari hanya beraktifitas dirumahnya. Ketika tim ACT Aceh menyambangi kediamannya, Ayah sedang duduk di depan rumah bersama istri yang terpaut tiga tahun dengan usianya kini.

“Begitu tiba, kami disambut ramah oleh anaknya yang tinggal bersebelahan dengan rumah Nyak Sandang. Tak ada reaksi apa-apa dari Nyak Sandang, beliau tetap pada posisinya. Hanya gerakan kepala ke kiri dan ke kanan secara perlahan, seolah sedang mencari tahu siapa yang bertamu,” ujar HumasACT Aceh, Rahmat Aulia, seperti dalam siaran persnya, Jumat (23/3).

Sejak operasi katarak pada salah satu matanya. Penglihatan Nyak Sandang jadi gelap total. Entah sejak kapan Nyak Sandang mengidap katarak. Yang jelas, operasi tahap pertama pada salah satu matanya gagal. Atas inisiatif bersama, pihak keluarga tidak mengizinkan untuk operasi pada mata sebelahnya lagi.

Namun dibalik kekurangan tersebut, Nyak Sandang punya semangat 45 dalam bercerita. Termasuk kisah bagaimana dulunya, ia bersama ribuan warga Kecamatan Lamno pergi ke lapangan Masjid Lamno untuk bertemu dengan gubernur Aceh, Tgk. H. Daud Bere’euh, atau Ayah memanggilnya dengan sebutan Abu Daod.

Gubernur Aceh yang pertama tersebut datang ke Lamno setelah sebelumnya bertemu dengan Soekarno di Banda Aceh. “Dihadapan kumpulan saudagar Aceh waktu itu, Soekarno meminta dengan iba sambil bercucuran air mata agar rakyat Aceh mau gotong royong menyumbangkan hartanya agar Indonesia bisa beli pesawat,” ujar Rahmat mengutip kisah Nyak Sandang.

Mengingat saat itu, Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya, tentu pesawat menjadi armada yang sangat penting untuk berpergian atau berhubungan dengan luar negeri. Mengabarkan kepada dunia bahwa telah berdiri sebuah negara bernama Indonesia.

Tim ACT Aceh tiba dirumah Nyak Sandang sekitar pukul dua siang. Rumah ukuran 6×6 m yang merupakan bantuan NGO luar ini ditempati bersama istrinya. ACT Aceh datang untuk silaturahmi sekaligus membawa santunan kepada Nyak Sandang.

“Begitu saya pancing tentang sumbangan rakyat Aceh untuk membeli pesawat. Nyak Sandang langsung saja bercerita tentang kisah heroik rakyat Lamno dalam mengumpulkan sumbangan untuk memenuhi permintaan Soekarno melalui Tgk. Daud Bere’euh,” kata Rahmat.

Sebelum Abu Daod tiba di Lamno, berita kedatangan orang nomor satu di Aceh pada saat itu sudah tersebar ke segenap penjuru gampong. Di setiap meunasah, bergema informasi bahwa Gubenrur Aceh akan datang ke Lamno. Masyarakat yang ingin ikut, harap kumpul di meunasah untuk nantinya pergi sama-sama dengan angkutan yang sudah disediakan.

Waktu hari H, angkutan yang mengantarkan masyarakat ke lapangan masjid sudah siap untuk mengangkut semua masyarakat bertemu dengan Abu Daod. Bahkan, menurut cerita Nyak Sandang, ada warga yang rela jalan kaki berkilo-kilo karena tidak terangkut dengan angkutan yang tersedia hanya untuk melihat langsung bagaimana wujud dan rupa gubernur Aceh. Yang tinggal di gampong hanya orang tua lanjut usia yang memang sudah susah untuk berpergian.

Antusias masyarakat untuk bertemu dengan gubernur bukan tanpa alasan. Indonesia dan Aceh khususnya cukup lama berada dalam kondisi peperangan di mana tidak ada pemerintahan sah yang mengendalikan negeri.

Jadi, ketika tersiar kabar bahwa Aceh sudah mempunyai gubernur, masyarakat menyambutnya dengan haru-biru, semua bersuka cita ketika mendengarnya. Apalagi ketika tahu bahwa Gubernur Aceh akan ke Kecamatan Lamno. Bertemu dengan masyarakat Lamno.

Hari itu tepat pukul sebelas pagi tahun 1950. Tepat lima tahun setelah Indonesia merdeka. Masyarakat tumpah ruah di lapangan Masjid Lamno. Semua berdesak-desakan memenuhi lapangan. Nyak Sandang  waktu itu masih berumur 23 tahun. Bersama kedua orang tuanya dan seluruh warga Lamno, mereka memenuhi lapangan masjid.

Abu Daod mulai berpidato. Bahwa beberapa waktu lalu presiden Indonesia, Soekarno, datang berkunjung ke Kuta Raja (Banda Aceh-red). Soekarno menemui Abu Daod berikut beberapa saudagar Aceh di Hotel Kuta Raja (Samping Masjid Raya).

Soekarno dengan segala kerendahan hati meminta Abu Daod untuk menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh agar menyisihkan sedikit hartanya untuk membeli pesawat.

Saat itu, pemerintah Indonesia belum memiliki satu pesawat pun. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke Lamno, Abu Daod pun kembali ke Banda Aceh.

Setelah Abu Daod pulang kembali ke Banda Aceh. Abu Disabang yang merupakan ulama yang sangat disegani di Lamno langsung merespons seruan tersebut. Dari titah Abu Disabang lah, rakyat Lamno bahu membahu mengumpulkan harta untuk membeli burung besi pertama Indonesia.

Nyak Sandang menuturkan, orang tuanya menjual sepetak kebun yang di dalamnya terdapat 40 batang pohon kelapa seharga Rp 100. Uang hasil jual kebun senilai Rp 100 tersebut, semuanya disumbangkan untuk donasi membeli pesawat.

ureung tuha lon jameun geu pueblo lampoh yang dalam jih na peut ploh bak u. Harga lampoh nyan nibak masa nyan sertoh perak. Hase geupeublo nyan geu sumbang mandum untuk bloe pesawat keu nanggroe tanyoe nyoe (Orang tua saya menjual sepetak kebun yang didalamnya ada 40 batang kelapa. Harga kebun tersebut pada saat itu seratus perak. Hasil menjual kebun tersebut, semuanya disumbangkan untuk beli pesawat negara kita ini),” ujar Nyak Sandang semangat.

Nyak Sandang juga menuturkan, bahkan ada salah seorang saudagar Lamno yang menjual salah satu rumahnya dan menyerahkan seluruh  hasil penjualan tersebut untuk membeli pesawat.

Ureung Lamno, menye ka geukheun le Abu Disabang bantu, nyan meu lumba-lumba bantu. Na yang pueblo itek, manok, lampoh bahkan na yang pueblo rumoh. Ureung jameun menye ka ulama titah, nyan hana preh singeh le. Kadang menye geuyu grob lam krueng, di grop cit. Dumnan keu sayang ureung awai keu ulama (Orang lamno, kalau Abu Disabang bilang bantu, semua berlomba-lomba bantu. Ada yang jual itik, ayam, kebun bahkan ada yang jual rumah. Orang dulu kalau perintah ulama tidak nunggu besok lagi. Mungkin kalau ulama suruh loncat ke sungai, loncat juga),” ungkap Nyak Sandang.

Abu Disabang merupakan salah satu ulama kharismatik yang sangat disegani di Lamno. Pengaruhnya luar biasa pada saat itu. Ketika Rahmat mengkonfirmasi apakah Abu Disabang berasal dari Sabang (Pulau Weh), Nyak Sandang mengatakan kurang tahu terkait hal itu.

Ketika Soekarno meminta sumbangan kepada rakyat Aceh, beliau berjanji dalam 40 tahun sumbangan tersebut akan dikembalikan. Namun takdir berkata lain, belum sempat janji tersebut ditunaikan. Posisi Soekarno sudah tergantikan dengan naiknya Soeharto sebagai presiden kedua Indonesia.

Hingga detik ini, Nyak Sandang masih menyimpan dengan rapi tanda penerimaan uang darinya kepada pemerintah Indonesia, yang memuat keterangan bahwa sumbangan tersebut berbentuk hutang pemerintah Indonesia kepada rakyat Aceh.

Dalam tanda penerimaan tersebut memuat jenis hutang, jumlah, nama yang mendaftarkan, tahun dan tanda tangan penerima. Semua keterangan tersebut ditulis dalam ejaan lama, seperti jenis utang yang ditulis Matjam Hutang, jumlah utang yang ditulis Djumlah Hutang dan nama yang mendaftarkan dengan ejaan Nama Jang Mendaftarkan.

Penasaran, Rahmat menanyakan bagaimana Nyak Sandang bisa serapi itu dalam menyimpan suatu barang. Nyak Sandang menuturkan bahwa dari dulu ia memang punya kebiasaan menyimpan semua barang-barang lama dengan rapi. Semua dokumen seperti ijazah sekolah, sertifikat, beliau simpan dengan sangat apik.

“Sayangnya ketika banjir besar beberapa waktu silam, semua dokumen tersebut raib dan hanya menyisakan beberapa dokumen saja. Salah satunya adalah bukti penerimaan hutang pembelian pesawat yang telah beliau pres sedemikian rupa,” ujar Rahmat.

Melihat besarnya pengorbanan atau jasa orang tua beliau kepada Indonesia. Lantas Rahmat menanyakan apa yang beliau harapkan kepada pemerintah Indonesia, khususnya maskapai Garuda yang cikal-bakalnya adalah dari pesawat Seulawah 001 sumbangan rakyat Aceh. Mendapati pertanyaan demikian, beliau hanya tersenyum. Lalu menjawab bahwa beliau tidak mengharapkan apa-apa, pengorbanan orang tuanya, masyarakat gampong dan juga beliau kepada pemerintah Indonesia mutlak atas dasar ikhlas ingin membangun negeri.

Dengan kondisi kehidupannya sekarang yang bisa dibilang dalam kekurangan,  tapi Nyak Sandang tetap memegang prinsip untuk tidak pernah mengiba kepada siapa pun. Jiwa besar ini mungkin yang membuat Nyak Sandang selalu terlihat tenang dan berkharisma di usia senjanya.

 

REPUBLIKA

Syukur Bukan Hanya Mengucapkan Alhamdulillah

SYUKUR yang tepat, bukan hanya pandai mengucapkan alhamdulillah. Sudah semestinya, syukur itu diwujudkan dalam amalan.

Coba perhatikan ibarat syukur yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,

“Syukur itu dengan hati, dengan tunduk dan merasa tenang. Syukur itu dengan lisan, dengan memuji dan mengakui. Syukur itu dengan anggota badan, yaitu dengan taat dan patuh pada Allah.” (Madarij As-Salikin, 2:246)

Seorang yang dikenal zuhud di masa silam, yaitu Abu Hazim berkata,

“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, 2:84)

 

INILAH MOZAIK

Tiga Cara Allah Mengabulkan Doa Hamba-Nya

DENGAN sifat-Nya yang Agung, Allah akan senantiasa mengabulkan doa setiap hamba-Nya. Ada sebuah hadis yang menyampaikan dengan indah bahwa Allah mengabulkan doa dengan tiga cara: 1) Allah mengabulkan secara langsung doa yang dipanjatkan; 2) Allah menunda untuk mengabulkan doa tersebut; 3) Allah menggantikan doa tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.

Meski demikian, pernahkan kita merenung mengapa doa-doa kita tidak kunjung diijabah? Allah sungguh Maha Penyayang yang sangat mengerti keinginan setiap hamba-Nya. Namun, hendaknya tidak dikabulkannya doa juga menjadi bahan untuk muhasabah. Kisah pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib berikut ini insya Allah akan melimpahkan banyak hikmah yang dapat mengingatkan kepada kita tentang sebuah doa.

Dikisahkan pada masa Bani Israel, ada sepasang suami istri yang selalu berdoa kepada Allah swt, agar mereka segera dikaruniai seorang buah hati. Hingga tahun kelima yang sedih karena merasa Allah telah menjauh darinya bertanya kepada Khalifah Ali yang kebetulan sedang memberikan khutbah. “Ya Amirul Mukminin, mengapa doa kami tak diijabah? Padahal Allah swt berfiman bahwa berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan doamu.”

Ali bin Abi Thalib balik bertanya, “Apakah engkau sudah menjaga pintu-pintu doamu?”

Sang suami mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti ucapanmu, wahai Amirul Mukminin.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan melaksanakan kewajibanmu sebagai hambaNya? Kau beriman kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Apakah kau menjaga pintu doamu dengan beriman kepada Rasulullah? Kau beriman kepada Rasul-Nya, tetapi kau menentang sunah dan mematikan syariatnya.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan mengamalkan ayat-ayat Alquran yang kau baca? Ataukah kau juga belum sadar tatkala mengaku takut kepada neraka, tetapi kau justru mengantarkan dirimu sendiri ke neraka dengan maksiat dan perbuatan sia-sia? Ketika kau menginginkan surga, sebaliknya kau lakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari surga,” Tanya Ali bin Abi Thalib bertubi-tubi. “Apakah kau telah menjaga pintu doamu dengan bersyukur kepada-Nya saat Dia memberikan kenikmatan? Sudahkah engkau memusuhi setan atau malah sebaliknya kau bersahabat dengan setan? Apakah kau pernah menjaga pintu doamu dari menjauhi mencela dan menghina orang lain?” lanjut sang khalifah.

Sang suami terdiam mendengarnya. Khalifah Ali kembali berucap, “Bagaimana doa seorang hamba akan diterima sementara kau tidak menjaga, bahkan menutup pintu doa tersebut? Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah amalanmu, ikhlaskanlah batinmu, lalu kerjakanlah amar makruf nahi munkar. Insya Allah, Dia akan segera mengabulkan doa-doamu.”

 

INILAH MOZAIK

Berlebihan dalam Berdoa Melampaui Batas

“BERDOALAH kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al-Araaf : 55).

Imam As-Sadi menjelaskan maksud firman Allah Ta’ala di atas,

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” maksudnya, melampaui batas dalam segala hal. Termasuk tindakan melampaui batas adalah meminta sesuatu yang tidak pantas, berlebihan dalam berdoa atau mengeraskan suara dalam berdoa. Semua ini termasuk bentuk melampaui batas yang dilarang.” (Tafsir As-Sadi, hlm. 291)

Dari Abu Nuamah bahwasanya Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu mendengar anaknya membaca doa, “Ya Allah berilah kami istana putih di sisi kanan Surga”.

Mendengar ini, ayahnya spontan memberi nasihat kepada anaknya, “Wahai anakku mintalah kepada Allah Surga dan berlindunglah kepadaNya dari api Neraka, sebab saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

“Akan muncul dari umatku sekelompok kaum yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa” (HR. Ahmad 20554, Abu Daud 96, Ibnu Majah 3864, Syuaib Al-Arnauth menilai hadis ini hasan).

Imam Al-Munawi menjelaskan hadis ini. Makna: “berlebihan dalam berdoa” adalah melampaui batas, dengan meminta sesuatu yang tidak boleh atau mengeraskan suara ketika berdoa atau memaksakan lafazh bersajak dalam berdoa. Kemudian beliau menukil keterangan At-Turbasyti,

Imam Turbusyti mengatakan, yang dimaksud berlebihan dalam berdoa bisa memiliki banyak pengertian. Intinya dia melanggar batasan dari kondisi merasa butuh menjadi tidak butuh sama sekali, termasuk doa dengan sikap ekstrim: berlebihan atau meremehkan.

Untuk kepentingan dirinya maupun orang lain. Baik doa kebaikan maupun doa keburukan.

Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu melarang anaknya berdoa seperti itu karena permintaan tersebut tidak sesuai dan tidak mungkin bisa diraih oleh amal perbuatannya. Dimana dia meminta kedudukan para nabi dan para wali.

Beliau memahami permintaan seperti itu termasuk berlebihan dalam berdoa, serta tidak pantas karena menganggap sempurna terhadap diri sendiri. [Faidhul Qadir 4/130]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diantara bentuk doa yang terlarang adalah bersikap melampaui batas ketika berdoa.”

Seperti memohon sesuatu yang tidak selayaknya, yang menjadi keistimewaan para nabi padahal dia bukan seorang nabi atau memohon sesuatu yang menjadi keistimewaan Allah subhanahu wa taala.

Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan beberapa contoh bentuk melampaui batas dalam berdoa,

Misalnya memohon agar dia menduduki posisi wasilah, yang hanya boleh dimiliki oleh salah satu hamba Allah, atau memohon agar dia diberi kemampuan untuk bisa mengetahui segala sesuatu, atau berkuasa atas segala sesuatu atau memohon agar diperlihatkan sesuatu yang ghaib. [Majmu Fatawa 10/713-714]

Termasuk berlebihan dalam berdoa, membatasi kebaikan hanya untuknya, dan tidak boleh untuk yang lain. Misalnya, seseorang berdoa, Ya Allah, berikanlah aku karunia dan jangan Engkau berikan yang lainnya.

Kasus semacam ini pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu bahwa ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata:

“Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad dan janganlah Engkau memberi rahmatMu kepada selain kami. Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Kamu telah menyempitkan yang luas.” Maksud beliau adalah rahmat Allah. (HR. Bukhari 6010)

Doa di atas diucapkan oleh seorang badui karena ketidak tahuannya dan baru mengenal Islam. Seharusnya seseorang berdoa untuk dirinya dan teman-temannya agar pahalanya bertambah. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK