Saladin, Sang Jenderal yang Unik

Saladin adalah seorang jenderal yang unik. Selain bakatnya sebagai komandan, pengatur strategi dan perencana, Saladin mempunyai kesopanan yang tidak perlu diragukan.

Meskipun ia bisa menjadi tidak fleksibel dan bahkan kejam, dia tidak me nyu kai pertumpahan darah. Satu-satunya noda dalam catatannya adalah eksekusi sekitar 300 kesatria dari dua klan militer utama, Templar dan Hospitaler, di Tiberias, beberapa bulan sebelum ia merebut Yerusalem.

Namun, dilihat dari konteks saat itu, eksekusi tersebut bukanlah suatu kejahatan. Bandingkan dengan perbuatan tentara salib ketika pertama kali menduduki Yerusalem pada 1099. Mereka membunuh 70 ribu warga Muslim dan Yahudi, termasuk perempuan dan anak-anak. Ketika Saladin merebut kembali kota itu, tidak ada penodaan tempat-tempat suci. Para peziarah Kristen diizinkan memasuki tempattempat ibadah me reka.

Sang sultan tampaknya merasa tang gung jawab barunya menuntut untuk lebih menahan diri. Beberapa tahun kemudian, saat pengepungan Acre yang terkenal, Raja Inggris Richard the Lion Heart melanggar kesepakatan dan membantai seluruh 3.000 penjaga kota.

Saladin me maafkan kejahatan Richard ini. Selama pertempuran di Jaffa, kuda Richard te was di hadapannya. Saladin lalu me ngiriminya kuda pengganti disertai pesan, “Tidak benar prajurit yang begitu berani harus bertempur tanpa kuda.”

Saladin lebih memilih negosiasi dan diplomasi daripada pertempuran. Perang baginya adalah sarana terakhir yang diperlukan untuk mencapai tujuan setelah usaha lain gagal. Berulang kali ia menemukan dirinya dalam kesulitan karena usahanya mengobarkan perang yang manusiawi. Meskipun di Barat ia digambarkan sebagai lonceng kematian Kristen dan musuh terburuk, ia tampaknya memiliki pendekatan bertingkat terhadap Kristen.

Semangatnya tidak pernah goyah untuk mengusir kaum Franka keluar dari Tanah Suci. Tapi, ketika berhadapan dengan orang Kristen, ia menunjukkan rasa hormat dan bahkan mengagumi keyakinan mereka. Hal ini dapat dilihat pada keputusannya untuk tidak meruntuhkan Gereja Makam Suci (Hoy Sepulchre). Para pendeta diberi keleluasaan untuk menerima peziarah.

Manajemen Emosi

Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib –Karramallahu wajhah– terlibat duel dengan salah satu jawara kaum musyrik. Ia berhasil menjatuhkan lawannya. Ketika Ali hendak membunuhnya, sang musuh meludahi Ali dan mengenai wajahnya. Atas hal itu, Ali mengurungkan niatnya dan berlalu meninggalkannya.

Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Ali. “Hendak ke manakah engkau?” ujarnya. Ali menjawab, “Mulanya, aku berperang karena Allah, namun ketika engkau melakukan apa yang telah engkau lakukan terhadapku (meludahiku), aku khawatir membunuhmu hanya sebagai balas dendam dan pelampiasan kemarahanku. Jadi, aku membebaskanmu karena Allah.”

Orang itu pun berkata, “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu hingga engkau segera membunuhku. Jika agama yang kalian anut sangat toleran, maka sudah pasti ia adalah agama yang benar.”

Sekelumit kisah tersebut menunjukkan setidaknya empat nilai akhlak mulia. Pertama, menjaga ketulusan niat dan komitmen. Niat suci untuk berjihad karena Allah SWT yang sudah dibulatkan dalam hati yang bersih tidak boleh dinodai oleh niat lain yang dapat menggugurkan kesucian niat awal.

Jika kesucian niat sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak mulia, niscaya dapat merusak amal kebaikan dan menjadikannya tidak bermakna, sia-sia di mata Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, menahan diri untuk tidak terprovokasi dan melakukan balas dendam merupakan akhlak yang sangat terpuji, terutama dalam suasana permusuhan dan peperangan. Manusia sering kali tidak bisa mengendalikan diri (emosi) jika dimusuhi.

Dalam hal ini, Ali justru tidak sudi membunuh musuh yang terang-terangan telah meludahinya, meskipun beliau dapat melakukannya terhadap musuh yang sudah tidak berdaya. “Orang yang kuat bukanlah karena kehebatan kekuatannya, akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.” (Muttafaq ‘alaih).

Ketiga,  mengelola kemarahan dengan tidak mendendam merupakan energi positif untuk memberi ruang bagi munculnya sikap arif dan mau memaafkan orang lain. Memberi maaf jauh lebih baik daripada melampiaskan balas dendam.

Alquran mengajarkan kepada kita untuk membela diri jika diperlakukan secara zalim. Namun, memberi maaf lalu berdamai itu pasti lebih indah dan damai. (QS as-Syura [42]: 39-40).

Keempat, sikap lapang dada dan besar hati untuk hidup damai merupakan kata kunci toleransi dan kerukunan hidup.  Kemarahan pada dasarnya wajar (manusiawi), tetapi membiarkan kemarahan tanpa kendali adalah awal dari sikap dan perilaku disharmoni.

Karena itu, ketika ada seorang sahabat menemuni Nabi dan meminta nasihat kepadanya, beliau menyatakan, “Jangan marah …! (beliau mengulanginya sampai tiga kali).” (HR Muslim).

Manajemen emosi dan kemarahan dapat diterapi dengan berwudhu, karena marah itu ibarat bara api yang bergejolak dan hanya dapat padam jika disiram dengan air. Manajemen emosi bisa berfungsi lebih efektif dan optimal jika dibarengi dengan zikrullah (mengingat Allah), beristighfar kepada-Nya, mengingat kematian,  berbaik sangka, berpikir positif, dan bersabar. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

KHAZANAH REPUBLIKA

Menyiapkan Bekal

Hidup di dunia ini ibarat sebuah perjalanan, yang setiap orang pasti akan bertemu dengan tantangan. Misalnya, bertemu dengan laut yang tenang dan terempas oleh ombak yang bergelombang. Menjelajah hingga ke atas bukit dan kadang terperosok hingga ke lembah curam. Semua silih berganti dan akan menghampiri.

Sebagai seorang pengembara (musafir) dan penakluk kehidupan, manusia pasti sangat membutuhkan perbekalan. Tujuannya supaya siap jika seandainya kehidupan langsung berhadap-hadapan dengan ombak yang bergelombang. Atau tetap tenang kalau jalan yang dilalui menuju turunan lembah yang curam.

Seseorang yang mempersiapkan bekal, jauh lebih siap dan tentu akan lebih tegar seandainya keadaan yang tidak diinginkan menyergapnya lebih pagi. Ia sadar, masih ada proses kehidupan yang akan berlangsung. Kehidupannya saat ini dengan berbagai riaknya tersebut hanya keadaan transit. Bukan akhir dan hanya sementara.

Sayangnya, kehidupan yang memesona ini kerap membuat seseorang lupa akan hakikat hidup di dunia. Ia lalai bahwa hidup di dunia ini bukan sebenarnya tujuan. “Dunia dengan segala isinya ini tak lebih hanya permainan dan senda gurau belaka.” (QS Muhammad [47]: 36).

Tak heran bila kemudian Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya untuk menyikapi hidup di dunia ini sebagai ladang berbekal. “Dan, sebaik-baiknya bekal adalah takwa kepada Allah SWT.” (QS al-Baqarah [2]: 197).

Ibnu Umar RA meriwayatkan wasiat Rasulullah tentang pentingnya perbekalan. ”Jika kamu berada pada masa sore, jangan menunggu waktu pagi. Dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan menunggu masa sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Bukhari).

Menjadikan hidup di dunia hanya sebagai ladang berbekal akan menimbulkan perasaan bahwa hakikat manusia adalah asing di dunia dan tidak mungkin menetap selamanya. Durasi dunia teramat singkat. Karena itu, Muslim yang beriman akan memanfaatkan setiap waktunya sebagai upaya mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya.

Coba simak dengan iman pesan Nabi SAW berikut. ”Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut.” (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, bersegeralah melakukan kebaikan sebelum tidak lagi mampu melakukannya, baik karena sakit atau karena kematian yang menjemput. Karena nanti yang ada hanya penyesalan. ”Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka (orang-orang kafir), dia berkata, ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan, di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan.” (QS al-Mukminun [23]: 99-100).

Oleh: M Arifin Ilham

Resep ‘Obat Kuat’ Hadapi Musibah

MENYAKSIKAN  musibah yang terjadi belakangan, kiranya tak berlebih menyebut Indonesia sebagai negeri darurat musibah. Betapa tidak, bencana terus menimpa bumi pertiwi secara maraton. Belum lekang duka atas musibah gempa bumi yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat, disusul peristiwa serupa di Palu, Banten dan kemudian Sukabumi.

Belum selesai proses pemulihan, fisik maupu psikis dari korban, kembali bangsa ini ditimpa musibah, Tsunami di selat Sunda, khususnya Lampun dan Banten. Sama dengan dua kejadian sebelumnya, bencana ini telah memporak-porandakan bangunan-bangunan, dan merenggut nyawa ratusan orang.

Sebagai orang beriman, tentulah memaknai musibah ini secara bijak dan benar. Sebab kalau tidak, keadaan ini bisa menggiring diri kepada pribadi yang merugi. Seperti bersikap putus asa. Karena merasa tidak ada lagi daya untuk meneruskan hidup. Tersebab, segala yang dimiliki, mulai dari harta, hingga sanak keluarga secara sekejap hilang dari sisi. Merasa tak mendapat lagi tumpuan hidup.

Lebih jauh dari, bahkan bisa menjerumuskan diri kepada kekufuran kepada Allah. Menganggap Dia Dzat yang tidak adil. Bahkan zholim, karena telah menimpakan musibah yang telah memusnah segala hal yang dipunyai. Seperti sindiran Allah yang tertera dalam suran al-Fajr;

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ

وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Maka adapun manusia, apa bila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apa bila Tuhan mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinaku.” (QS: al-Fajr: 15-16)

Na’udzubillah min dzalik. Jangan sampai ada kaum muslimin yang tengah terkena musibah, terjerembab dalam hal ini. Karena sungguh Allahberlepas dari segala tuduhan buruk itu. Hanya kerugian nan berlipat ganda bagi mereka bersikap demikian.

Pertama; ia telah kehilangan apa-apa yang dimiliki. Yang kedua, ia semakin jauh dari sumber keselamatan (dunia dan akhirat); Allah. Tuhan semesta alam. Ibarat kata pepatah; sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Teladan Hamba Shalih

Dalam kitab ‘Qishashu al-Anbiya,’ pada bab Kisah Nabi Ayyub as, Ibnu Katsir mengutip, al-Lait telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa pada hari kiamat nanti Allah swt akan berhujah dengan Nabi Sulaiman as kepada orang-orang kaya. Dengan Nabi Yusuf  as kepada hamba sahaya. Dan dengan Nabi Ayyub as, kepada orang-orang tertimpa musibah. Dijelaskan, Ibnu Asakir juga meriwayatkan hal serupa.

Kita fokuskan pembahasan pada ketetapan dijadikannya Nabi Ayyub as, sebagai hujjah bagi orang-orang tertimpa musibah di dunia. Itu tidak lain, karena Ayyub merupakan hamba Allah yang pernah diuji dengan musibah yag sangat berat.

Seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ; “Orang yang mendapat cobaan yang paling berat adalah para nabi kemudian orang-orang sholih, kemudian orang-orang semisalnya, dan seterusnya.” (HR. Ahmad)

Apa cobaan yang menimpa Nabi Ayyub??

Sebelum masuk ke bagian itu, ada baiknya, sedikit digambarkan profil nabi Ayyub sebelum mendapat ujian. Sehingga tergambar secara utuh, bagaimana pedih dan berat ujian yang menimpa.

 

Seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir pada buku di atas. Mulanya Nabi Ayyub adalah orang terpandang di kaumnya. Ia memiliki kekayaan nan melimpah ruah. Baik berupa peternakan, maupun lahan pertanian yang terbentang luas di daerah Huruan. Kehidupan keluarganya pun diliputi suka-cita dan kebahagiaan. Ia memiliki beberapa anak.

Keadaan ini berjalan sekian lama. Sampai 70 tahunan. Namun, atas kehendak Allah swt, musibah demi musibah secara bergilir menyapa Nabi Ayyub. Seluruh anak dan ternaknya mati. Usahanya pertaniannya guling tikar, hingga akhirnya jatuh miskin. Tidak hanya itu, dirinya pun tertimpa satu penyakit, di mana tidak ada secuil daging dari tubuhnya pun selamat, kecuali lidah dan hatinya.

Penyakit ini berjalan begitu lama, hingga ia disingkirkan oleh kaumnya di tempat pembuangan sampah. Ia hanya ditemani oleh sang istri yang setia. Sedangkan orang-orang disekitarnya, pada menjauh, tak terkecuali sanak saudaranya.

Mereka jijik menyaksikan perawakan Ayyub yang tengah tergerogoti penyakit. Dan mereka khawatir tertular. Semakin hari penyakit Ayyub bertambah parah. Di sisi yang lain, sang istri mulai kepayahan untuk mencukup konsumsi. Sebab, ia sulit mendapat pekerjaan, karena terus ditolak. Hingga akhirnya beliau berinisiatif menjual kepang rambutnya. Menjadi gundullah sang istri.

Tergambar dengan jelas, betapa kondisi nabi Ayyub saat itu, berubah 180 derajat, dari keadaan sebelum. Mulanya hidup penuh dengan kemuliaan, kebahagiaan, dan kehormatan, kini berganti dengan kesengsaraan yang sangat. Pelecehan, pengucilan, penistaan, serta pengasingan dari masyarakat.

 

Lalu, patah harapkah Nabi Ayyub dengan kondisi demikian? Tidak sama sekali. Dan itu tercermin dari jawabannya, ketika suatu hari, sang istri meminta agar sang suami memunajatkan doa kepada Allah, agar disembuhkan.

“Duhai Ayyub, seandainya engkau berdoa memohon kepada Tuhan-Mu, niscaya Dia akan menyembuhkanmu.” Terhadap permintaan ini, Ayyub menjawah;

“Aku telah menjalani hidup dalam keadaan sehat selama tujuh puluh tahun. Oleh sebab itu, tidak sewajarnyakah jika aku bersabar kepada Allah dalam menjalani ujian yang lebih pendek dari tujuh puluh tahun?”

Laa haula wa laa quwwata illa billah.Alangkah dahsyat jawaban yang diberikan Nabi Ayyub di atas. Dan perkataan itu hanya bisa keluar dari lisan orang-orang yang relung hatinya dipenuhi keimanan. Ia jadikan musibah sebagai wahana pendekatan diri kepada Allah. Dan itu yang dilakukan oleh Nabi Ayyub. Dengan lisan dan hatinya yang masih ‘sehat,’ ia terus berdzikir kepada Allah.

Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ

Pada akhirnya, Nabi Ayyub as sukses melalui ujian berat itu. Sebagai imbalan, Allah kemudian mengembalikan seluruh apa yang tadinya hilang. Bahkan melipat gandakannya. Turun hujan emas dan perak memenuhi dua lumbung milik nabi Ayyub. Tubuhnya kembali segar, bahkan jauh lebih muda. Ia pun kembali dikaruniai anak, yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya.

Kebahagiaan dan keberkahan hidup pun menaungi nabi Ayyub dan keluarga. 

 

Kokohkan Iman

Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, bahwa iman kepada Allah menjadi kata kunci keberhasilan Nabi Ayyub menghadapi musibah. Untuk itu, memperkokoh iman menjadi keniscayaan, agar juga ikut jejak Nabi Ayyub, sukses dalam melalui musibah.

Jaminan kebahagiaan, jelas dijanjikan Allah untuk mereka yang bersabar dalam menghadapi musibah. Tidak meraung-raung. Menyakar-nyakar wajah dan pipi. Apa lagi sampai menuduh Allah yang bukan-bukan. Namun, sekali lagi, hal buruk ini hanya bisa dihindari oleh mereka yang bersabar. Dan kesabaran itu hanya diperoleh oleh mereka yang hatinya diterangi cahaya iman.

Sabda Rasulullah ﷺ; “Sungguh menakjubkan (‘ajaban) urusan orang beriman itu. Sesungguhnya setiap urusannya baginya ada kebaikan. Dan perkara itu tidak berlaku melainkan kepada orang mukmin. Sekiranya ia diberi sesuatu yang menggembirakan lalu dia bersyukur, maka kebaikan baginya. Dan sekiranya apa bila dia ditimpa kesusahan lalu dia bersabar, maka kebaikan baginya.” (HR. Muslim.)

Inilah resep ‘obat kuat’ yang ditawarkan Islam bagi kaum mukminin, dalammenghadapi musibah itu. Wallahu ‘alamu sish-shawab.*/

 

 Khairul HibriPengajar di STAI Luqman al-Hakim, Surabaya, dan kordinator PENA Jatim       

HIDYATULLAH

Empat Hal yang Ditanya Malaikat di Hari Kiamat

MENURUT Syaikh Al Qaradhawi, masa muda adalah periode kekuatan yang berada di antara dua periode kelemahan. Hal ini seperti firman Allah Swt berikut:

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS Ar Rum: 54)

Dikatakan bahwa masa muda adalah masa yang penuh dengan kekuatan dan dinamisme yang bergelora. Masa di mana dorongan untuk berbuat kebaikan dan keburukan sama kuatnya. Karena itu, Rasulullah berkata dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, bahwa di antara tujuh golongan yang memperoleh naungan pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya di hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt.

Sudah seharusnya kita sebagai muslim menghabiskan waktutermasuk masa mudadengan maju dan berubah menjadi lebih baik. Senantiasa ingat dan menyadari bahwa waktu tidak akan pernah terulang. Kita harus memanfaatkan masa muda sebelum datangnya masa tua, masa sehat sebelum masa sakit, masa lapang sebelum masa sempit, dan masa terang sebelum masa gelap. Dengan demikian kita berharap bisa masuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, dan bukan merugi.

Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap masa ini jauh lebih besar. Pada hari kiamat nanti, setiap dari kita akan diberi pertanyaan tentang empat hal pokok, dan dua di antaranya adalah menyangkut usia umum. Termasuk di dalamnya adalah masa muda.

Rasulullah bersabda, “Tidaklah bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia dipertanyakan tentang empat perkara tentang usianya untuk apa dihabiskan; tentang masa mudanya untuk apa dipergunakan; tentang hartanya dari mana didapat dan untuk apa dinafkahkan; dan tentang ilmunya untuk apa diamalkan.” (HR Al Baihaqi)

Semoga ini bisa menjadi bahan pengingat dan refleksi agar kita bisa menghabiskan masa muda dengan berbagai kebaikan, bahkan bisa turut serta menegakkan dan menyampaikan ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasul-Nya. Allahualam bi shawwab[An Nisaa Gettar]

 

 

Jumpa Rasulullah di Raudah: Kalau Cinta Ya Bersabar

“Allâhumma salli alâ Muhammad…,” terus saya deraskan shalawat begitu lampu-lampu gantung yang khas mulai terlihat dari kejauhan.

Degub jantung kian cepat. Dug-dug-dug-dug. Suaranya terdengar nyaring bagaikan beduk puasa. Tanpa sebab, air mata mulai mengembang. Mulut saya makin komat-kamit menderaskan shalawat:
Yaa Rasulullah. Yaa Nabiyullah. Yaa Habibullah….
“Aku datang dengan segenap rindu. Masukkan aku ke dalam barisan umatmu. Izinkan berjumpa denganmu di tepi telaga Kautsar, bersama para sahabat, syuhada, dan orang-orang sholeh,” pinta saya berulang.

Raudah. Sekeping taman surga yang ada di bumi. Selalu disesaki para peziarah setiap hari. Semua datang untuk menuntaskan rindu. Mengharap syafaat dari manusia terkasih.

Saya pertama kali datang ke Raudah saat haji tahun 2006 lalu. Karena ikut gelombang kedua dengan kloter yang nyaris paling akhir, jadilah saya masuk kota Madinah dalam kondisi yang sudah sangat sepi. Hampir tiap hari ba’da Subuh selalu ikut berlari-lari supaya bisa masuk Raudah begitu pintu dibuka pertama kali.

Tidak seperti jamaah pria yang kapan saja bisa masuk Raudah. Jamaah perempuan dibatasi waktunya. Sehari hanya dua kali: ba’da Subuh sampai jam 11.00 dan ba’da Isya.

Jadilah pengalaman ke Raudah bagi jamaah perempuan sangat dramatis. Di antara derap langkah yang menderu, ditingkahi jerit tangis di sana-sini, ribuan perempuan dari berbagai bangsa berebut untuk shalat di secuil taman surga yang ditandai dengan karpet berwarna hijau.

Sebagai informasi, seluruh karpet yang digunakan di Masjid Nabawi berwarna merah. Kecuali karpet di Raudah yang berwarna hijau.

Bermacam pengalaman saya rasakan di taman surga ini. Sewaktu haji, saya pernah berdesak-desakan menahan arus manusia yang terus mendorong dari belakang. Sementara di depan saya ada orang yang sedang shalat. Berkali-kali saya berteriak, “Shali… shaliii… shaliii,” namun arus manusia tak juga berhenti.

Sampai akhirnya, khawatir terjatuh karena tak sanggup lagi menahan dorongan, saya langkahi orang yang sedang shalat tadi. Tepat saat saya melangkah, ia bangun dari sujudnya. Dan tubuhnya yang besar itu ternyata sanggup mengangkat saya yang berada di atasnya. Kalau pernah melihat reog Ponorogo, kurang lebih seperti itulah gambarannya. Saya pegang erat tubuhnya, sampai diturunkan lagi!

Kali lain, saat saya bangun dari sujud, pemandangan di depan terlihat gelap semua. Ternyata saya berada di dalam abaya seorang perempuan Arab yang sedang melangkahi saya.
Berulang umrah pun pengalaman yang saya rasakan berbeda-beda. Saya pernah menyaksikan perempuan Asia Selatan yang terpelanting jatuh menggelosor beberapa meter. Sampai panik saya berteriak, “Help her… Sister, help her!” Karena khawatir perempuan itu terinjak-injak.

Saya juga pernah mendengar suara tangisan yang begitu menyayat hati seorang perempuan berkerudung merah jambu. Entah apa yang ditangisinya. Tapi sampai sekarang pun hati saya masih pedih kalau mengingat tangisan pilunya.
Kalau ingin membaca cerita lengkapnya, semua ada di timeline saya tahun-tahun sebelumnya.

Biasanya saya selalu ke Raudah “kloter pertama”. Alias begitu pintu dibuka langsung ikut berebut berlari. Baru kemarin saya merasakan masuk Raudah menjelang pintu ditutup untuk perempuan sekitar pukul 11.00.

Ternyata, Subhanallah! Saya baru tahu kalau satu “kloter” sebelum “kloter” terakhir, jamaah justru diberi keleluasaan untuk berlama-lama di Raudah, karena akses pintu masuk telah ditutup, sementara yang di dalam belum disuruh keluar.

Saya bisa shalat berulang-ulang. Berdoa sangat lama. Menderaskan air mata sepuasnya sampai hilang sesak di dada. Merenungi dosa-dosa yang memberatkan langkah selama ini.

Sungguh, saya belum pernah berada di Raudah sepuas ini.
Maka benarlah pepatah, ketika cinta bersabar, akan berbuah berlama-lama di taman surga.

Raudah, 30/12/2018
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller

IHRAM

Perayaan Tahun Baru Tak Laku di Tanah Suci

Karena selalu pergi di akhir tahun, saya beberapa kali melewati pergantian tahun di Tanah Suci dan beberapa negara lain dalam perjalanan lanjutan usai umrah. 2014 di Maroko, 2015 di Istanbul, 2016 di Kairo, dan 2017 di Uzbekistan.

Sewaktu haji tahun 2006, malah tak hanya tahun baru Masehi. Namun, tahun baru Hijriyah pun posisi saya masih ada di Makkah. Tak ada yang istimewa dari keduanya.
Semua aktivitas berjalan seperti biasa. Bahkan, tak banyak yang menyadari kalau hari itu tahun berganti.
Di Saudi hanya ada tiga hari besar yang dirayakan: Idul Fitri, Idul Adha, dan belakangan National Day atau semacam 17 Agustus kita.

Tahun 2013 saya merasakan meriahnya 1 Syawal di sini. Sejak sebelum Subuh, jamaah umrah dan penduduk lokal sudah berduyun-duyun ke masjid. Itu shalat Ied terpagi yang pernah saya alami, karena keluar dari kamar hotel jam 3.00 dini hari.

Setelah shalat Ied, di pelataran masjid orang-orang saling bersalaman memaafkan. Beberapa anak muda membuat atraksi untuk memeriahkan suasana. Kacang goreng yang saya bawa dari Jakarta diserbu jamaah dari berbagai negara.

Perayaan Idul Adha ditandai dengan muktamar akbar di jamarat. Tanggal 10 Dzulhijjah jamaah haji bergerak ke Mina untuk melaksanakan jumrah Aqabah. Beberapa kali momen ini menjadi duka, karena adanya insiden Mina.

Lalu, apa istimewanya tahun baru di Tanah Suci? Tidak ada!

Sarah, perempuan cantik asal Turki yang datang bersama ibunya mengeryitkan dahi ketika saya tanya tentang pergantian tahun semalam. “New year? Today? I didn’t remember at all,” jawabnya.

Begitupun dengan Suryati, jamaah asal Semarang, “Mboten kemutan Mbak, wong ket wingi fokus ngibadah -enggak ingat, Mbak, dari kemarin fokus ibadah-. Mumpung sedang di Tanah Suci, ngibadah sebanyak-banyaknya,” jawabnya dengan logat Jawa yang medok.

Saripah, petugas kebersihan pintu 17 asal Purwakarta yang selalu saya jumpai saat berada di Madinah pun mengungkapkan hal yang sama. “Tidak ada perayaan apapun Bu Hajjah.”

Kemarin sore memang ada kemeriahan, tapi karena bertepatan dengan hari Senin. Setiap Senin dan Kamis ada buka bersama atau iftar jami’an di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Namun, suasananya lebih menyenangkan di Masjid Nabawi karena penduduk Madinah yang merupakan keturunan sahabat Anshar tersohor dengan kedermawanannya dalam menerima para tamu Allah.

Jadi, percaya kan, tak ada perayaan tahun baru di Tanah Suci. Pesta itu tak laku di sini.

Madinah, 1/1/2019

 

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller dari Madinah

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Membaca Tasbih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

laa ilaaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ’ala kulli syai-in qodiir

[Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu]

dalam sehari sebanyak 100 kali;
• maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan),
• dicatat baginya 100 kebaikan,
• dihapus darinya 100 kejelekan,
• dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya,
• serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.”

[HR. Bukhari dan Muslim]