SAUDARAKU, dalam buku Hayatush Shahabah, ada sebuah riwayat mengenai khalifah Umar bin Khatab ra. Suatu malam, Umar berjalan bersama Abdullah bin Masud memeriksa keadaan kota Madinah. Tiba- tiba, mata beliau melihat sebuah rumah yang diterangi cahaya dari bagian dalamnya. Kemudian, Umar menghampiri sumber cahaya itu sehingga ia melihat ke dalam rumah tersebut.
Ternyata di rumah itu, ada seorang lelaki tua sedang minum arak dan menari- nari bersama budak perempuan yang menyanyi untuknya. Kemudian, Umar masuk sendirian dan menghardik lelaki tua itu, Wahai fulan, tidak pernah aku saksikan pemandangan yang lebih buruk dari ini, orang tua yang sudah tua meminum arak dan menari- nari!
Lelaki tua itu menjawab, Wahai Amirul Mukminin, apa yang engkau sampaikan adalah lebih buruk dari apa yang kau saksikan. Engkau telah memata- matai pribadi orang, padahal Allah telah melarangnya dan engkau telah masuk rumahku tanpa seizinku!
Umar membenarkan ucapannya kemudian ia keluar dari rumah itu dengan menyesali perbuatannya. Umar berucap Sungguh telah celakalah Umar apabila Allah tidak mengampuninya. Umar menyadari kesalahannya yang telah mengendap-endap melihat aib orang lain dan memasuki rumah orang lain tanpa seizing penghuninya. Kedua perbuatan ini adalah hal yag dilarang oleh Allah Swt melalui firman-Nya dalam surat Al- Hujurat ayat 12 dan surat An Nur ayat 27.
Lelaki tua itu merasa sangat malu kepada Umar karena kepergok melakukan maksiat. Dia khawatir akan dihukum atau setidaknya akan diumumkan dihadapan banyak orang oleh Umar. Sehingga ia tidak datang ke majelis Umar dalam waktu yang cukup lama.
Sampai pada suatu hari lelaki itu diam-diam datang ke majelis Umar secara diam-diam. Dia duduk di paling belakang sambil menundukan kepala agar tidak terlihat oleh Umar. Tiba-tiba Umar memanggilnya dengan usara yang agak keras, Wahai Fulan mari duduk di dekatku!
Lelaki tua itu merasa gentar. Tubuhnya gemetar. Dia mengira akan dipermalukan di depan umum. Dengan wajah pucat pasi, dia pasrah menghampiri Umar. Kepalanya menunduk, tegang membayangkan apa yang akan terjadi kemudian.
Setelah lelaki itu duduk di dekatnya, Umar berbisik, Wahai fulan, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, tidak akan aku beritahu seorangpun tentang apa yang aku lihat di dalam rumahmu, meskipun kepada Abdullah bin Masud yang saat itu ikut bersamaku.
Lelaki itu takjub sekaligus heran kemudian ia menjawab dengan berbisik, Wahai Amirul Mukminin, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, sejak malam itu sampai saat ini aku telah meninggalkan perbuatan maksiatku.
Salah satu pelajaran berharga dari kisah di atas adalah tentang larangan memata-matai sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Hujurat ayat 12 seperti disampaikan pada bagian awal.
Kegiatan memata-matai dalam ayat ini disebut dengan istilah Tajassus. Yaitu kegiatan atau aktifitas mengorak- ngorek suatu berita dengan tujuan meneliti lebih dalam. Sedangkan jika suatu berita didapatkan secara alami, atau sekedar dikumpulkan lalu diinformasikan kembali, maka itu tidak termasuk aktifitas memata- matai
Memang ada kegiatan memata-matai yang diperbolehkan. Yaitu kegiatan mematai-matai pihak yang memusuhi dan memerangi Islam. Sedangkan di luar itu, maka tidak diperbolehkan. Baik terhadap non muslim yang hidup di tengah- tengah umat Islam dan tidak memerangi umat Islam.
Jika demikian, apalagi perbuatan memata-matai kehidupan saudara kita sendiri, sesama muslim, atau tetangga kita. Setiap orang tentu tidaklah sempurna. Selalu ada kekurangan dan kesalahan. Terlebih lagi di dalam tempatnya yang privat semisal di dalam rumahnya, di tengah keluarganya.
Memata- matai kehidupan orang lain adalah hal yang diharamkan dan sangat dikecam oleh Rasulullah Saw. Apalagi jika setelah memata- matai itu, informasi yang didapatkan kemudian dibicarakan disebarkan kepada orang lain. Tentu ini lebih besar lagi dosanya.
Saking besarnya kecaman Rasulullah Saw terhadap perbuatan memata- matai ini, sampai- sampai dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, beiau bersabda, Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa seizinmu, lalau engkau membutakan kedua matanyadengan lemparan batu, maka tidak ada celaan atas perbuatanmu itu. (HR. Muslim, shahih).
Apa yang dimaksud dengan keadaan tanpa pakaian dalam hadits diatas adala aurat. Aurat ini tidak hanya bermakna aurat fisik, melainkan kiasan juga yang maksudnya adalah aib atau kekurangan pada diri seseorang.
Dalam Raudhah Al Uqala, Abu Hatim bin Hibban Al Busti menerangkan bahwa orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan memata-matai saudaranya, dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri
Karena sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan diri sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, hatinya akan tentram dan tidak akan lelah. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan serupa ada pada saudaranya.
Sementara orang yang selalu sibuk mencari kejelekan orang lain dan lupa pada kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta. Ia akan merasa letih dan sulit meninggalkan kejelekan dirinya sendiri.
Demikianlah betapa buruknya perbuatan memata- matai, mengorek- ngorek informasi tentang diri orang lain tanpa kita berhak melakukannya. Apalagi perbuatan itu dilakukan sekedar untuk mengetahui aib orang lain kemudian memperbincangkan dan menyebarluaskannya. Sungguh betapa busuknya perilaku yang demikian itu. Tak hanya bertentangan dengan keteladanan suri tauladan kita, Rasulullah Saw. Namun juga bertentangan dengan kehendak Allah Swt. Semoga kita terhindar dari perbuatan demikian. [smstauhiid/bersambung]
KH Abdullah Gymnastiar
INILAH MOZAIK