Persiapan Makkah Sambut Jamaah Umrah Sepanjang Ramadhan

Emir Makkah Pangeran Khaled Al-Faisal meminta semua jajarannya dan pihak swasta yang terlibat layanan umrah untuk memberi pelayanan sempurna selama bulan suci Ramadhan. Dia menuturkan, instruksi ini berdasarkan arahan dari Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammad Bin Salman (MBS).

Seperti dilansir Saudi Gazette, Senin (6/5), ibadah umrah selama Ramadhan menjadi hal yang penting diperhatikan. Para jamaah umrah datang dari pelbagai kalangan, mulai dari warga negara dan ekspatriat setempat hingga umat Islam segala penjuru dunia. Dengan adanya pelayanan yang prima, lanjut Khaled al-Faisal, seluruh jamaah bisa beribadah dengan nyaman.

Sementara itu, Abdulrahman al-Sudais dari otoritas Hijaz menuturkan, pihaknya telah menyiapkan lebih dari 10 ribu staf untuk melayani jamaah Masjidil Haram. Kemudian, Kementerian Kesehatan Saudi telah mengerahkan lebih dari 11 ribu staf medis, serta memperkuat semua layanan di tiap rumah sakit dan pusat kesehatan di Makkah. Hal itu untuk memperluas layanan kesehatan bagi jamaah dan pengunjung umrah.

Pemerintah kota setempat juga mengerahkan 11.825 petugas kebersihan untuk membersihkan Masjidil Haram sepanjang waktu secara terjadwal. Otoritas Bulan Sabit Merah Arab Saudi mendirikan lebih dari 85 posko kesehatan di Makkah dengan 1.365 personel dan 170 unit mobil ambulans.

Pihaknya mengakui adanya potensi peningkatan jumlah jamaah umrah pada Ramadhan tahun ini. Karena itu, ada pula sinergi dengan Perusahaan Air Nasional Arab Saudi yang akan memompa air lima persen lebih banyak ke Makkah selama bulan suci ini.

Jumlah itu diketahui lebih banyak daripada kebutuhan tahun lalu. Perusahaan yang sama juga membuat persiapan untuk mengairi reservoir strategis di Makkah dan tempat-tempat lain dekat Masjidil Haram.

Terpisah, komandan pasukan keamanan khusus Haram, Yahya Al-Akeel menyatakan petugas keamanan akan mengidentifikasi dan memantau setiap orang yang sakit jiwa di antara para pengunjung. Pasukan siap membawa atau memindahkan pasien itu ke rumah sakit jiwa, jika dibutuhkan perawatan.

Dia mengatakan sekitar 2.500 kamera akan memantau pergerakan jamaah di dalam Masjid al-Haram dan daerah sekitarnya. Sembilan area parkir utama disiapkan selama bulan Ramadhan untuk pengunjung dan jamaah.

 

IHRAM

Umrah Ramadhan Diprediksi Padat, Saudi Tingkatkan Layanan

Emir Provinsi Makkah Pangeran Khaled al-Faisal memberikan arahan terkait alokasi mathaf (area pelataran thawaf) di Masjid al-Haram pada Ahad (5/5). Area mathaf dan area lain yang dirancang hanya untuk thawaf ialah di lantai dasar dan lantai pertama, area mezzanine serta bagian atap masjid.

Dilansir dari Saudi Gazette, Senin (6/5), karpet tidak akan digelar di area-area ini, kecuali hanya untuk melaksanakan shalat lima waktu. Ketentuan ini berlaku efektif sejak 1 Ramadhan.

Selain itu, al-Faisal juga meminta semua departemen publik dan pihak swasta yang terlibat dalam layanna umrah untuk memberikan layanan yang sempurna bagi jamaah selama Ramadhan ini.

Dia mengingatkan kembali soal instruksi dari Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman dan Putra Mahkota Bin Salman akan pentingnya memberikan layanan terbaik agar jamaah beribadah dengan mudah dan nyaman.

Ketua Kepresidenan Dua Masjid Suci, Abdurrahman as-Sudais, mengatakan lebih dari 10 ribu petugas dikerahkan untuk melayani jamaah dan pengunjung di Masjid al-Haram.

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Saudi telah mengerahkan lebih dari 11 ribu staf medis dan memperkuat semua rumah sakit dan pusat kesehatannya di Makkah. Hal demikian bertujuan untuk memperluas layanan kesehatan bagi jamaah umrah.

Pemerintah Kota Makkah juga telah mengerahkan 11.825 petugas kebersihan dan memperlengkapi mereka untuk membersihkan kota suci dan Masjid al-Haram sepanjang waktu.

Sejumlah layanan juga didukung oleh Otoritas Bulan Sabit Merah Saudi. Organisasi ini mendirikan lebih dari 85 pusat layanan di Makkah, dan mengerahkan 1.365 personel serta 170 ambulans.

Jumlah jamaah umrah Ramadhan diperkirakan meningkat. Karena itu, Perusahaan Air Nasional Saudi telah memutuskan untuk memompa air 5 persen lebih banyak ke Makkah daripada Ramadhan tahun lalu.

Sementara itu, Kementerian Transportasi Saudi mengatakan bahwa bus umum akan mengangkut sekitar 45 juta orang menuju dan dari Masjid Al Haram. Tidak hanya itu, keamanan di Masjid al-Haram pun diperketat.

Komandan Pasukan Keamanan Khusus Haram, Yahya Al-Akeel, mengatakan petugas keamanan akan mengidentifikasi dan memantau setiap orang yang kemungkinan mengidap sakit jiwa di antara jamaah. Jika perlu, memindahkan jamaah bersangkutan ke rumah sakit untuk perawatan.

Dia mengatakan, sekitar 2.500 kamera akan memantau pergerakan jamaah di dalam Masjid al Haram dan sekitarnya. Sementara itu, pemerintah setempat juga menyediakan sembilan area parkir utama yang disiapkan bagi jamaah yang hendak melaksanakan umrah selama Ramadhan dari kota-kota lain di Kerajaan Saudi.

IHRAM

Iqra, Wahyu Yang Pertama Kali Turun

Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad bin Abdullah mengalami mimpi yang menjadi nyata. Setelah beberapa kali mimpi, ia memiliki kebiasaan baru, menyendiri di Gua Hira. Di saat itulah ada yang menyerunya dengan perintah, “Iqra!” (bacalah!). Ia menjawab, “Aku tak bisa membaca”. Nabi ﷺ mengatakan, “Kemudian ia mendekapku, hingga aku merasa sesak. Barulah ia melepaskanku. Ia kembali memerintah, ‘Bacalah!’. ‘Aku tak bisa membaca’, jawabku. Ia mendekapku untuk yang kedua kali hingga aku merasa sesak. Lalu ia melepaskanku. Dan berkata, ‘Bacalah!’ ‘Aku tak bisa membaca’ jawabku. Ia pun mendekapku untuk kali ketiga. Kemudian melepaskanku dan mengatakan,

{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 1-5]

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1-5). (Riwayat al-Bukhari Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi Ila Rasululillah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Mentadabburi 5 Ayat Surat al-Alaq

Wahyu pertama ini layak menjadi renungan dan dikaji maknanya. Terlebih kata pertama dari ayat ini. Sebuah kata yang mendapat penekanan, dan yang pertama menghujam di hati Rasulullah ﷺ. Allah ﷻ memilih kata ini dalam bentuk motivasi pada satu hal, yaitu ilmu. Dan Dia memilih satu metode kajian ilmu, yaitu membaca. Metode belajar Rabbani.

Alquran terdiri dari 77.000 kata lebih. Dari sejumlah kata tersebut, Allah ﷻ pilih kalimat “Iqra” (bacalah!) menjadi kalimat pertama yang diturunkan. Padahal di dalam Alquran terdapat ribuan kalimat perintah. Seperti:

  • {أَقِمِ الصَّلاَةَ} [هود: 114] (tegakkanlah shalat),
  • {آتُوا الزَّكَاةَ} [البقرة: 43] (tunaikanlah zakat),
  • {وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ} [البقرة: 218] (berjihadlah di jalan Allah),
  • {وَأْمُرْ بِالمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ} [لقمان: 17] suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
  • {أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ} [البقرة: 254](sedekahkanlah sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada kalian). Dll.

Dari sekian banyak kalimat, Allah pilih “Iqra” sebagai kalimat pertama yang Dia turunkan. Padahal Rasulullah ﷺ tidak bisa baca dan tulis. Keisitmewaan figur beliau adalah berhias dengan akhlak yang mulia. Jika Allah menghendaki, Rasulullah ﷺ bisa menyampaikan wahyu pertamanya tentang contoh-contoh akhlak mulia yang beliau miliki. Bukan malah sesuatu yang tak beliau mampui. Hal ini mengindikasikan bahwa permulaan membangun umat ini adalah dengan ilmu. Dan salah satu metode yang dituntunkan oleh Rabb kita untuk memperoleh ilmu adalah dengan membaca.

Di 5 ayat pertama, Allah menyebut kata ilmu (dengan perubahan tashrifnya) sebanyak 3 kali. Dan kata pena –alat tulis- sebanyak 1 kali. Menunjukkan betapa pentingnya ilmu dan membaca dalam kehidupan umat Islam.

Membaca adalah sesuatu yang diridhai Allah. Tentu bacaan yang baik dan bermanfaat. Bukan bacaan yang rendah, tidak bermanfaat, lagi menyimpang dari agama yang lurus.

Pada ayat ini juga disebutkan tentang sifat Allah ﷻ. Sebuah sifat yang tidak dimiliki oleh Tuhan-Tuhan masyarakat jahiliyah. Yaitu sifat al-Khalqu, mencipta. Tujuannya agar Rasulullah ﷺ tidak dikait-kaitkan dengan apa yang beliau saksikan di masyarakat jahiliyah.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1).

Dan Rasulullah ﷺ menyendiri di Gua Hira merenungi penciptaan alam semesta dan tentang pecinptanya. Kemudian Allah mengutus Malaikat Jibril. Berbicara tentang Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Yang menciptakan segala sesuatu.

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS:Az-Zumar | Ayat: 62).

Iqra, Wahyu Yang Pertama Kali Turun

Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad bin Abdullah mengalami mimpi yang menjadi nyata. Setelah beberapa kali mimpi, ia memiliki kebiasaan baru, menyendiri di Gua Hira. Di saat itulah ada yang menyerunya dengan perintah, “Iqra!” (bacalah!). Ia menjawab, “Aku tak bisa membaca”. Nabi ﷺ mengatakan, “Kemudian ia mendekapku, hingga aku merasa sesak. Barulah ia melepaskanku. Ia kembali memerintah, ‘Bacalah!’. ‘Aku tak bisa membaca’, jawabku. Ia mendekapku untuk yang kedua kali hingga aku merasa sesak. Lalu ia melepaskanku. Dan berkata, ‘Bacalah!’ ‘Aku tak bisa membaca’ jawabku. Ia pun mendekapku untuk kali ketiga. Kemudian melepaskanku dan mengatakan,

{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 1-5]

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1-5). (Riwayat al-Bukhari Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi Ila Rasululillah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Mentadabburi 5 Ayat Surat al-Alaq

Wahyu pertama ini layak menjadi renungan dan dikaji maknanya. Terlebih kata pertama dari ayat ini. Sebuah kata yang mendapat penekanan, dan yang pertama menghujam di hati Rasulullah ﷺ. Allah ﷻ memilih kata ini dalam bentuk motivasi pada satu hal, yaitu ilmu. Dan Dia memilih satu metode kajian ilmu, yaitu membaca. Metode belajar Rabbani.

Alquran terdiri dari 77.000 kata lebih. Dari sejumlah kata tersebut, Allah ﷻ pilih kalimat “Iqra” (bacalah!) menjadi kalimat pertama yang diturunkan. Padahal di dalam Alquran terdapat ribuan kalimat perintah. Seperti:

  • {أَقِمِ الصَّلاَةَ} [هود: 114] (tegakkanlah shalat),
  • {آتُوا الزَّكَاةَ} [البقرة: 43] (tunaikanlah zakat),
  • {وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ} [البقرة: 218] (berjihadlah di jalan Allah),
  • {وَأْمُرْ بِالمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ} [لقمان: 17] suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
  • {أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ} [البقرة: 254](sedekahkanlah sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada kalian). Dll.

Dari sekian banyak kalimat, Allah pilih “Iqra” sebagai kalimat pertama yang Dia turunkan. Padahal Rasulullah ﷺ tidak bisa baca dan tulis. Keisitmewaan figur beliau adalah berhias dengan akhlak yang mulia. Jika Allah menghendaki, Rasulullah ﷺ bisa menyampaikan wahyu pertamanya tentang contoh-contoh akhlak mulia yang beliau miliki. Bukan malah sesuatu yang tak beliau mampui. Hal ini mengindikasikan bahwa permulaan membangun umat ini adalah dengan ilmu. Dan salah satu metode yang dituntunkan oleh Rabb kita untuk memperoleh ilmu adalah dengan membaca.

Di 5 ayat pertama, Allah menyebut kata ilmu (dengan perubahan tashrifnya) sebanyak 3 kali. Dan kata pena –alat tulis- sebanyak 1 kali. Menunjukkan betapa pentingnya ilmu dan membaca dalam kehidupan umat Islam.

Membaca adalah sesuatu yang diridhai Allah. Tentu bacaan yang baik dan bermanfaat. Bukan bacaan yang rendah, tidak bermanfaat, lagi menyimpang dari agama yang lurus.

Pada ayat ini juga disebutkan tentang sifat Allah ﷻ. Sebuah sifat yang tidak dimiliki oleh Tuhan-Tuhan masyarakat jahiliyah. Yaitu sifat al-Khalqu, mencipta. Tujuannya agar Rasulullah ﷺ tidak dikait-kaitkan dengan apa yang beliau saksikan di masyarakat jahiliyah.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1).

Dan Rasulullah ﷺ menyendiri di Gua Hira merenungi penciptaan alam semesta dan tentang pecinptanya. Kemudian Allah mengutus Malaikat Jibril. Berbicara tentang Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Yang menciptakan segala sesuatu.

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS:Az-Zumar | Ayat: 62).

Iqra, Wahyu Yang Pertama Kali Turun

Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad bin Abdullah mengalami mimpi yang menjadi nyata. Setelah beberapa kali mimpi, ia memiliki kebiasaan baru, menyendiri di Gua Hira. Di saat itulah ada yang menyerunya dengan perintah, “Iqra!” (bacalah!). Ia menjawab, “Aku tak bisa membaca”. Nabi ﷺ mengatakan, “Kemudian ia mendekapku, hingga aku merasa sesak. Barulah ia melepaskanku. Ia kembali memerintah, ‘Bacalah!’. ‘Aku tak bisa membaca’, jawabku. Ia mendekapku untuk yang kedua kali hingga aku merasa sesak. Lalu ia melepaskanku. Dan berkata, ‘Bacalah!’ ‘Aku tak bisa membaca’ jawabku. Ia pun mendekapku untuk kali ketiga. Kemudian melepaskanku dan mengatakan,

{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 1-5]

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1-5). (Riwayat al-Bukhari Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi Ila Rasululillah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Mentadabburi 5 Ayat Surat al-Alaq

Wahyu pertama ini layak menjadi renungan dan dikaji maknanya. Terlebih kata pertama dari ayat ini. Sebuah kata yang mendapat penekanan, dan yang pertama menghujam di hati Rasulullah ﷺ. Allah ﷻ memilih kata ini dalam bentuk motivasi pada satu hal, yaitu ilmu. Dan Dia memilih satu metode kajian ilmu, yaitu membaca. Metode belajar Rabbani.

Alquran terdiri dari 77.000 kata lebih. Dari sejumlah kata tersebut, Allah ﷻ pilih kalimat “Iqra” (bacalah!) menjadi kalimat pertama yang diturunkan. Padahal di dalam Alquran terdapat ribuan kalimat perintah. Seperti:

  • {أَقِمِ الصَّلاَةَ} [هود: 114] (tegakkanlah shalat),
  • {آتُوا الزَّكَاةَ} [البقرة: 43] (tunaikanlah zakat),
  • {وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ} [البقرة: 218] (berjihadlah di jalan Allah),
  • {وَأْمُرْ بِالمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ} [لقمان: 17] suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
  • {أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ} [البقرة: 254](sedekahkanlah sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada kalian). Dll.

Dari sekian banyak kalimat, Allah pilih “Iqra” sebagai kalimat pertama yang Dia turunkan. Padahal Rasulullah ﷺ tidak bisa baca dan tulis. Keisitmewaan figur beliau adalah berhias dengan akhlak yang mulia. Jika Allah menghendaki, Rasulullah ﷺ bisa menyampaikan wahyu pertamanya tentang contoh-contoh akhlak mulia yang beliau miliki. Bukan malah sesuatu yang tak beliau mampui. Hal ini mengindikasikan bahwa permulaan membangun umat ini adalah dengan ilmu. Dan salah satu metode yang dituntunkan oleh Rabb kita untuk memperoleh ilmu adalah dengan membaca.

Di 5 ayat pertama, Allah menyebut kata ilmu (dengan perubahan tashrifnya) sebanyak 3 kali. Dan kata pena –alat tulis- sebanyak 1 kali. Menunjukkan betapa pentingnya ilmu dan membaca dalam kehidupan umat Islam.

Membaca adalah sesuatu yang diridhai Allah. Tentu bacaan yang baik dan bermanfaat. Bukan bacaan yang rendah, tidak bermanfaat, lagi menyimpang dari agama yang lurus.

Pada ayat ini juga disebutkan tentang sifat Allah ﷻ. Sebuah sifat yang tidak dimiliki oleh Tuhan-Tuhan masyarakat jahiliyah. Yaitu sifat al-Khalqu, mencipta. Tujuannya agar Rasulullah ﷺ tidak dikait-kaitkan dengan apa yang beliau saksikan di masyarakat jahiliyah.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1).

Dan Rasulullah ﷺ menyendiri di Gua Hira merenungi penciptaan alam semesta dan tentang pecinptanya. Kemudian Allah mengutus Malaikat Jibril. Berbicara tentang Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Yang menciptakan segala sesuatu.

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS:Az-Zumar | Ayat: 62).

Nabi Muhammad ﷺ merima pesan itu dengan jelas, dalam keadaan sadar, dan bukan mimpi. Beliau bisa memahaminya secara utuh dalam keadaan nyata. Bukan khayal atau sangka.

Daftar Pustaka:
– al-Utsaimin, Muhamma bin Shalih. TT. Terj: Tafsir Juz ‘Amma. Solo: At-Tibyan.
– http://islamstory.com/ar/اقرا-اول-ما-نزل-من-القران

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/5554-iqra-wahyu-yang-pertama-kali-turun.html

Peringatan untuk Orang Malas Berpuasa

PUASA dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan.

Sebagaimana makna ini dapat kita lihat pada firman Allah Taala,

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).

Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]

Puasa Ramadan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/ perjalanan jauh)[2]. Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadan adalah wajib adalah dalil Alquran, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma ulama)[3].

Di antara dalil dari Alquran adalah firman Allah Taala,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadan.”[4]

Hal ini dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang badui ini datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam,”Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

” (Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa Ramadan. Jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunah (maka lakukanlah).”[5]

Wajibnya puasa ini juga sudah malum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena ia bagian dari rukun Islam[6]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[7]

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa

Pada zaman ini kita sering melihat sebagian di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban puasa yang agung ini. Bahkan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, ada yang mengaku muslim, namun tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.

Sebagai peringatan bagi saudara-saudaraku yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu anhu.

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[8]

Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadis ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!

Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[9].

Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”[10]

Adapun hadis,

“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya”; adalah hadits yang dhoif sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.[11][Muhammad Abduh Tuasikal/muslimorid]/Mozaik

Beberapa Kesalahan yang Tersebar di Bulan Ramadhan (Bag. 2)

Mengucapkan kata-kata dusta dan perbuatan sia-sia

Perkataan dusta, serta semua ucapan dan perbuatan yang haram hendaknya dijauhi sejauh-jauhnya, apalagi di bulan Ramadhan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang haram, juga berperilaku seperti perilaku orang-orang bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari no. 6057)

Sehingga wajib bagi orang yang berpuasa untuk menjauhi ucapan-ucapan kotor, caci maki, juga akhlak-akhlak yang jelek, seperti ghibah (menggunjing), adu domba, dusta atau kebohongan, dan penyakit-penyakit lisan yang lainnya.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

”Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ’Setiap amal anak adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah, ’Saya sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ

“Tidaklah puasa itu hanya sekedar menahan dari makan dan minum. Akan tetapi, hakikat puasa adalah menahan diri dari ucapan kotor dan sia-sia. Jika ada seseorang yang mencacimu dan berbuat usil kepadamu, maka ucapkanlah, ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1996)

Orang yang sedang berpuasa wajib untuk menghindari semua hal di atas, demikian pula ketika sedang tidak berpuasa. Akan tetapi, hal ini lebih ditekankan lagi saat puasa Ramadhan mengingat keutamaan bulan Ramadhan dan ibadah puasa di bulan itu.

Mengumbar pendengaran dan penglihatan terhadap hal-hal yang diharamkan

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36)

Anggota badan yang dipercayakan kepada seorang hamba, semua akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuat. Sebagian kaum muslimin terbiasa mendengar dan melihat hal-hal yang haram, seperti melihat wanita-wanita yang berdandan yang mengajak kepada fitnah. Ini semua wajib ditinggalkan, baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Tentu saja, pada bulan Ramadhan lebih ditekankan lagi, karena bulan ini adalah bulan ketaatan dan bulan ampunan.

Betapa indahnya kondisi seorang muslim jika dia menjadikan bulan Ramadhan sebagai sarana untuk meninggalkan berbagai syahwat pendengaran dan penglihatan yang haram, dan juga semua syahwat lainnya. Sebagaimana dalam hadits qudsi,

يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Dia menjauhi makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 9112, shahih)

Mendengarkan musik, baik di bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan

Hal ini karena adanya dalil-dalil dai Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan haramnya musik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman [31]: 6)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

الْغِنَاءُ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia semata, (yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’) adalah nyanyian.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan shighat jazm (ungkapan tegas).

Dzahir hadits di atas menunjukkan haramnya alat-alat musik. Hal ini karena “menghalalkan” atau “menganggap halal” tentu tidak akan terjadi kecuali pada hal-hal yang pada asalnya diharamkan. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita jumpai orang-orang yang menganggap alat-alat musik itu halal.

Sebagian kaum muslimin hobi memainkan alat-alat musik, mereka seakan berpaling dan tidak peduli terhadap larangan ini. Mereka habiskan waktunya di bulan Ramadhan untuk mendengarkan musik demi menunggu waktu berbuka puasa. Padahal, kewajiban kita adalah mengikuti petunjuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjauhi segala hal yang Allah Ta’ala haramkan, lebih-lebih jika kita berada di bulan Ramadhan.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih-lebih ketika kita berada di bulan yang mulia ini.

[Selesai]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39999-beberapa-kesalahan-yang-tersebar-di-bulan-ramadhan-bag-2.html

Beberapa Kesalahan yang Tersebar di Bulan Ramadhan (Bag. 1)

Di antara akibat dari jauhnya kaum muslimin dari perhatian terhadap perkara agamanya, kita jumpai beberapa kesalahan yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin di bulan Ramadhan ini. Dalam tulisan ini, kami jabarkan beberapa kekeliruan tersebut sebagai bentuk nasihat, terutama bagi penulis pribadi, dan juga kaum muslimin secara umum.

Melafadzkan niat puasa

Melafadzkan niat puasa tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula tidak dicontohkan oleh para sahabat, tabi’in, dan tidak pula oleh salah satu pun dari imam madzhab yang empat. Jika memang melafadzkan niat puasa itu baik dan sangat penting dan urgen untuk menuntun tekad dan kemantapan hati, tentu hal itu tidak akan luput dari penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun hanya satu hadits saja. Lebih-lebih hal itu berkaitan dengan aspek yang sangat fundamental dalam puasa, yaitu rukun ibadah, bukan sekedar hal yang sunnah saja. Jika hal-hal yang sunnah dalam puasa saja beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan, bagaimana mungkin beliau terluput dari menjelaskan hal esensial dalam rukun puasa, yaitu melafadzkan niat?

Oleh karena itu, tidak adanya penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula tidak adanya praktek dari para sahabat, hal ini menunjukkan bahwa melafadzkan niat puasa tidak termasuk dalam perkara yang disyariatkan dalam agama ini.

Tempat niat adalah di dalam hati, yaitu keinginan atau tekad untuk melaksanakan suatu ibadah. Terdapat hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan untuk memasang niat di malam hari sebelum terbit fajar untuk berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Maksudnya adalah sebagai niat, tekad dan keinginan di dalam hati untuk berpuasa di keesokan harinya.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda Hafshah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit, maka puasanya tidak sah. ” (HR. An-Nasa’i no. 2331, Ahmad 1/69, shahih).

Meneruskan makan minum ketika sudah terbit fajar dan mendengar adzan subuh

Sebagian kaum muslimin tetap melanjutkan makan dan minum (makan sahur) sampai muadzin selesai melantunkan adzan subuh. Bahkan, sebagian mereka meremehkan adzan subuh sehingga tetap melanjutkan makan dan minum sampai semua masjid yang dia dengar selesai mengumandangkan adzan. Kalau masih ada suara adzan yang dia dengar, meskipun dari satu masjid yang agak jauh, mereka tetap makan dan minum.

Ini adalah kesalahan yang nyata, dan bisa jadi membatalkan puasa. Allah Ta’ala berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

”Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]:187)

Waktu “yang jelas” sebagaimana dimaksud dalam ayat di atas adalah awal waktu fajar, yaitu awal waktu dikumandangkannya adzan.

Jika muadzain sudah memulai adzan ke dua, yaitu adzan setelah terbitnya fajar, maka wajib untuk berhenti dari makan minum dan mulai berpuasa.

Hal ini sebagaimana hadits riwayat ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari. Maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari no. 617, 622, 2656 dan Muslim no. 1092)

Dalam riwayat Bukhari (no. 1918) disebutkan,

فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ

“Sesungguhnya dia (Ibnu Ummi Maktum) tidaklah beradzan sampai fajar terbit.”

Hadits di atas adalah dalil wajibnya menahan diri dari makan dan minum (mulai berpuasa) setelah mendengar adzan ke dua, yaitu setelah terbitnya fajar.

Meskipun demikian, terdapat keringanan (rukhshah) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang mendengar adzan, namun di tangannya masih terdapat makanan (misalnya sesendok nasi di tangan) dan wadah minuman, untuk melanjutkannya. Adapun makanan dan minuman yang tidak ada di tangannya, tidak boleh dihabiskan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

”Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan wadah minuman masih ada di tangan kalian, maka janganlah meletakkannya sampai dia menyelesaikan minumnya.” (HR. Abu Dawud no. 2350, shahih)

Meremehkan shalat berjamaah karena lebih memilih tidur atau menggabungkan (menjamak) shalat tanpa udzur

Kemunkaran besar yang terjadi di bulan Ramadhan adalah meremehkan shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki. Padahal, shalat adalah rukun Islam yang agung setelah dua kalimat syahadat.

Oleh karena itu, tidak boleh bermudah-mudah meninggalkan shalat berjamaah di masjid karena lebih memilih tidur atau sejenisnya. Demikian pula, tidak boleh menggabungkan (menjamak) shalat tanpa ada keperluan yang bisa dibenarkan oleh syariat.

Menjadi kewajiban seorang muslim untuk mendahulukan atau memprioritaskan shalat atas aktivitas yang lainnya. Juga menjadi kewajiban seorang muslim untuk saling menolong dalam melaksanakan ketaatan, saling memberikan nasihat terhadap kemunkaran yang muncul di bulan Ramadhan berkaitan dengan diremehkannya shalat berjamaah di masjid.

Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)

Tidak perhatian terhadap hukum-hukum terkait puasa Ramadhan

Telah kita ketahui bersama adanya kewajiban atas setiap muslim untuk mengetahui (berilmu) hukum-hukum terkait puasa, misalnya kapan waktu berbuka, kapan berhenti makan dan minum, berbagai macam pembatal puasa, syarat sah puasa, dan hukum-hukum terkait lainnya. Sehingga seorang muslim dapat beribadah kepada Allah Ta’ala di atas keutamaan ilmu.

[Bersambung]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/39997-beberapa-kesalahan-yang-tersebar-di-bulan-ramadhan-bag-1.html

Kemenag Susun Buku Pengelolaan Penyelenggaraan Umrah di Indonesia

Bintaro (Kemenag) — Kementerian Agama akan menyusun buku pengelolaan penyelenggaraan umrah di Indonesia. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar menilai penyusunan buku ini penting dalam konteks penyelenggaraan umrah masa kini.

“Minat umrah masyarakat Indonesia terus meningkat. Selain manasik, mereka perlu bahan bacaan yang lebih komprehensif dalam penyelenggaraan umrah,” terang Nizar dalam diskusi bersama tim penyusun buku yang dikomandani Sirajuddin Abbas, di Bintaro,  Senin (06/05).

Hadir dalam diskusi ini, staf ahli Menteri Agama bidang komunikasi Oman Fathurahman, staf khusus Menag bidan media Hadi Rahman, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim bersama jajarannya.

Menurut Nizar,  data Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, pada tahun 2018, ada lebih satu juta jemaah umrah asal Indonesia. Sampai April 2019, sudah 850ribu jemaah Indonesia yang beribadah umrah. Minat masyarakat pelajari umrah juga meningkat seiring adanya kesadaran akan potensi ekonominya yang tinggi.

“Buku ini diharapkan jadi literatur juga bagi mahasiswa program studi Manajemen Haji dan Umrah di sejumlah kampus Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,” lanjut Nizar.

Nizar menjelaskan, ada dua konsentrasi Manajemen Haji dan Umrah. Pertama, konsentrasi bimbingan konseling haji dan umrah. “Out put lulusan prodi ini adalah mahasiswa yang memiliki kompetensi sebagai pembimbing manasik haji dan umrah,” tuturnya.

“Ini adanya di Fakuktas Dakwah,” lanjutnya.

Kedua, konsentrasi pada proses bisnis umrah. Prodi ini menyiapkan lulusan yang punya kompetensi menjalankan proses bisnis umrah, baik dalam bidang travel, layanan katering, akomodasi, dan lainnya.

“Ini adanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam,” jelasnya.

Nizar berharap, buku ini juga memotret dinamika pembenahan penyelenggaraan umrah yang dilakukan Kementerian Agama. Juga, merespon perkembangan penyelenggaraan umrah di Arab Saudi.

“Saudi telah menyiapkan infrastruktur kereta dan membuka jalur wisata ziarah,  bagi pengembangan umrah,” terangnya.

“Ke depan, akan dibuka juga e Umrah,” lanjutnya.

Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim menambahkan bahwa tim menyepakati isi buku mencakup enam bab bahasan pokok. Setelah pendahuluan, buku diawali dengan bahasan tentang umrah dalam literatur Islam. “Bingkai bahasan bab ini terkait  keragaman teks dan pandangan mazhab tentang umrah. Tentunya, dalam perspektif moderasi,” jelas Arfi.

Bab berikutnya membahas sejarah umrah di Indonesia, lalu umrah sebagai kebudayaan. “Di sini akan dipotret fenomena umrah sebagai life style,” ujar Arfi.

“Dibahas juga umrah dan bisnis ziarah, bagaimana potret penyelenggaraan umrah masa kini,” lanjutnya.

Bagian akhir, lanjut Arfi, dibahas terkait ekosistem dan tata kelola umrah. Ekosistem akan memotret perbedaan sudut pandang orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan umrah, mulai dari jemaah hingga pelaku biro travel. Bahasan buku ini akan ditutup dengan penjelasan tentang tantangan dan inovasi kebijakan umrah yang sudah dan perlu dilakukan Kemenag.

“Buku ini diharapkan bisa diselesaikan pada Agustus 2019,” tandasnya.

 

KEMENAG RI 

Sedih Apabila Amalan Tidak Diterima di Bulan Ramadhan

Hendaknya kita tidak terlalu percaya diri sekali merasa amalan kita di bulan Ramadhan diterima oleh Allah. Dalam ibadah harus seimbang antara rasa harap dan takut. Berharap Allah menerima dan merasa takut juga apabila amal tidak diterima.

Perhatikan rasa takut para salafus shalih yang khawatir amal mereka tidak diterima selama bulan Ramadhan.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر ، فيقال له : إنه يوم فرح وسرور !
فيقول : صدقتم ؛ ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا ؛ فلا أدري أيقبله مني أم لا

Sebagian salaf menampakkan kesedihan pada hari idul fitri, kemudian dikatakan pada mereka: ‘Hari ini adalah hari kegembiraan dan kesenangan’!
Mereka menjawab: ‘Kalian benar, akan tetapi aku hanyalah seorang hamba yang diperintahkan oleh Rabb agar beramal. Aku tidak tahu apakah Rabb menerima amalku atau tidak‘”. [Latha-if Al-Ma’arif 1/209]

Perhatikan pula bagaimana rasa harap para salafus shalih yang mereka berdoa sampai selama 6 bulan agar amalan di bulan Ramadhan (yang pahalanya sangat banyak sekali) diterima oleh Allah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْنَ اﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan).”[Latha’if Al-Ma’arif hal. 232]

Hendaknya kita mengikuti dan meneladani nabi Ibrahim dalam hal beramal, menjaga keikhlasan dan berharap agar amal pahala diterima oleh Allah. Nabi Ibrahim:

1. Beliau seorang Nabi
2. Beliau membangun ka’bah rumah Allah
3. Beliau membangun atas perintah Allah

Akan tetapi beliau tetap berdoa memohoon agar amalnya diterima oleh Allah.

Beliau berdoa,

ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠِﻴﻢُ

Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127).

Tentunya kita yang bukan nabi dan tidak mendapatkan wahyu yang merupakan perintah Allah, lebih layak berdoa dan memohon agar amal kita diterima. Oleh karena itu pada waktu subuh/dzikir pagi kita berdoa,

ﺍﻟﻠّﻬﻢَّ ﺇﻧّﻲ ﺃﺳﺄﻟﻚ ﻋﻠﻤﺎً ﻧﺎﻓﻌﺎً، ﻭﺭﺯﻗﺎً ﻃﻴﺒﺎً، ﻭﻋﻤﻼً ﻣُﺘﻘﺒّﻼً

Ya Allah sesungguhnya saya memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima” [HR. Ibnu Majah]

Sebagai penutup, perhatikan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berikut,

روي عن علي رضي الله عنه أنه كان ينادي في آخر ليلة من شهر رمضان: يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنيه ومن هذا المحروم فنعزيه

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bahwasanya beliau menyeru pada malam terakhir bulan Ramadhan: “Aduhai seandainya aku tahu siapakah yang diterima amalannya pastilah kami akan mengucapkan selamat kepadanya, dan siapa yang diharamkan darinya, kami akan berbela sungkawa padanya.” [Lathaiful Ma’arif: hal, 210]

Demikian semoga bermanfaat.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40463-sedih-apabila-amalan-tidak-diterima-di-bulan-ramadhan.html

Apakah Puasa Batal Bila Melihat Aurat Wanita?

Apakah melihat gambar porno saat puasa dapat membatalkan puasa? Bagaimana dengan lawan jenis yang mengumbar aurat di jalanan atau di kelas, apakah juga membatalkan puasa?

Yang jelas melihat aurat seperti melihat gambar porno termasuk dosa.

Cukup dua hadits berikut jadi alasan hal itu adalah dosa.

“Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata, Al-Fadhl bin ‘Abbas pernah berboncengan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datanglah seorang wanita dari Khats’am ingin meminta fatwa pada beliau. Saat itu Al-Fadhl terus memandangi wanita tersebut. Wanita tersebut pun melihat Al-Fadhl. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah Al-Fadhl ketika itu ke sisi yang lain.” (HR. Abu Daud, no. 1809, shahih menurut Syaikh Al-Albani)

Ibnul Qayyim berkata, “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan larangan dan pengingkaran dengan praktik. Seandainya memandangi wanita seperti itu dibolehkan, tentu tidak dibiarkan seperti itu.” Dinukil dari Raudhah Al-Muhibbin.

Sama halnya ketika ada yang nongkrong di pinggir jalan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingatkan untuk menundukkan pandangan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ » . فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ ، إِنَّمَا هِىَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا . قَالَ « فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا » قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ « غَضُّ الْبَصَرِ ، وَكَفُّ الأَذَى ، وَرَدُّ السَّلاَمِ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ »

Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan”. Mereka bertanya, “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama”. Beliau bersabda, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut”. Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan di jalan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar”. (HR. Bukhari no. 2465)

Perintah menundukkan pandangan itu ada demi terselamatkan kita dari pikiran untuk berbuat mesum hingga akhirnya berujung pada zina. Karena awalnya zina adalah dari memandang.

Dari sini apakah jadi halal jika seorang muslim memandang video porno dan gambar telanjang?

Lantas yang tidak menutup aurat juga berdosa, diancam sebagaimana hadits di bawah ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim, no. 2128).

Dua perbuatan di atas yang jelas dosa, bagaimana jika dilakukan di saat berpuasa di bulan Ramadhan?

Mala ‘Ali Al-Qari rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6:308).

Dua dalil berikut yang menunjukkan bermaksiat saat berpuasa mengakibatkan pahala puasa bisa jadi hilang, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari, no. 1903).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

,لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah 3: 242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

Intinya, puasa jadi sia-sia jika seseorang bermaksiat di bulan Ramadhan. Semoga Allah menjauhkan kita dari setiap maksiat, baik saat berpuasa, maupun tidak berpuasa.


Your brother: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel RemajaIslam.Com

Sumber : https://remajaislam.com/1224-apakah-puasa-batal-bila-melihat-aurat-wanita.html?

Niat Puasa Ramadhan, Setiap Hari atau Sekali dalam Sebulan?

Pertanyaan:

Apakah dalam bulan Ramadhan kita perlu berniat setiap hari ataukah cukup berniat sekali untuk satu bulan penuh?

Jawaban:

Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Tetapi jika puasanya terputus di tengah bulan, baik karena bepergian, sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakan puasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

 

Read more https://konsultasisyariah.com/5747-niat-puasa.html