Mengerikan, Ini Ciri Fisik Malaikat Penjaga Neraka

NERAKA dijaga oleh para malaikat yang besar fisiknya, kuat dan berperangai kasar. Mereka tidak pernah menyalahi dari perintah Sang Pencipta. Senantiasa patuh dan tunduk melaksanakan perintahNya.

Allah azzawajalla berfirman,

“Wahai orang-orang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari siksa neraka. Neraka itu bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kekar lagi kasar. Para malaikat tidak pernah menyalahi Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Mereka yang senantiasa mengerjakan apa yang diperintahNya” (QS. At-Tahrim: 6).

Jumlah penjaga neraka ada sembilan belas Malaikat. Sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya,

“Akan Aku lemparkan orang kafir itu ke dalam neraka Saqar. Tahukah kamu apakah neraka Saqar itu? Engkau tidak akan bertahan hidup di neraka Saqor, dan penghuninya tidak akan dibiarkan lepas tanpa siksa. Neraka Saqor menjadikan kulit penghuninya berganti baru, setiap kali hangus terbakar. Neraka Saqor dijaga oleh sembilan belas malaikat” (QS. Al-Muddatsir: 26-30).

Ternyata, Malaikat penjaga neraka yang hanya berjumlah sembilan belas ini, membuat orang-orang kafir terpedaya. Mereka mengira, bahwa sembilan belas adalah jumlah yang ringan. Sehingga dengan sombongnya mereka merasa mampu untuk melawan penjaga neraka tersebut.

Karenanya, setelah Allah mengabarkan jumlah malaikat penjaga neraka, dalam surat Al Muddatsir di atas, pada ayat selanjutnya Allah mengabarkan,

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai fitnah bagi orang-orang kafir” (QS. Al Muddatsir: 31).

Lihat kebodohan yang amat mengherankan ini. Sangkaan konyol yang semakin membuatnya merasa nyaman dalam gelapnya kekufuran. Demikian bila seorang tidak lagi dikehendaki kebaikan oleh Allah azzawajalla Nas-alullah al-aafiyah-. Orang-orang kafir itu jahil dan lalai, kalau malaikat adalah makhluk yang besar dan kuat. Satu malaikat penjaga neraka saja, bisa mengalahkan kekuatan yang dimiliki seluruh manusia di muka bumi.

Ibnu Rojab Al Hambali rahimahullah menerangkan, “Sudah masyhur di kalangan para ulama salaf dan khalaf, bahwa fitnah yang dimaksud dalam ayat, adalah fitnah berupa jumlah malaikat penjaga Neraka, yang telah membuat orang-orang kafir terpedaya. Mereka kira mampu melawan penjaga neraka (yang hanya berjumlah sembilan belas) itu. Orang-orang kafir itu tidak tahu, kalau satu malaikat saja, tidak mungkin terkalahkan oleh kekuatan seluruh manusia.” (Lihat: At-Takhwiif Minan Naar, hal. 174).

Allah subhanahu wataala menamai para malaikat penjaga neraka, sebagai “Khozanati Jahannam” (Artinya: Para penjaga Jahannam). Dalam surat Ghofir Allah Taala berfirman,

“Para penghuni Neraka berkata kepada Khozanati Jahannam (malaikat penjaga neraka Jahannam), “Mohonkanlah kepada Tuhan kalian supaya Tuhan meringankan azab bagi kami barang sehari saja”” (QS. Ghofir: 49). [muslimorid]

Referensi: Al Jannatu wan Naar, karya Prof. Dr. Umar Sulaiman Abdullah Al Asy-qar. Terbitan: Dar An Nafais. Cet. Th 1432 H.

INILAH MOZAIK

Hati Siapakah yang Menjadi Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 3)

Salah Satu Konsekuensi Kalimat Tauhid

Al-wala’ dan al-bara’  merupakan salah satu konsekuensi laa ilaaha illallah

Membenci dan memusuhi syirik, sangat terkait dengan aqidah yang saat ini telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin, yaitu aqidah al-wala’ wal bara’. Padahal di antara konsekuensi kalimat syahadat adalah seseorang mewujudkan aqidah al-wala’ wal bara’  ini. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa pada asalnya, al-wala’ berarti cinta dan dekat, sedangkan al-bara’  berarti benci dan jauh. [1]

Sehingga yang dimaksud dengan al-wala’ adalah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghormati, serta selalu merasa bersama dengan orang yang dicintainya baik secara lahir maupun batin. Adapun yang dimaksud dengan al-bara’ adalah menjauh, berlepas diri, membenci, dan memberikan permusuhan.

Hikmah Wajibnya Perkara Al-wala’ dan Al-bara’

Di antara pokok aqidah Islamiyyah adalah wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan al-wala’ dan al-bara’, sehingga dia mencintai sesama muslim lainnya dan membenci musuh-musuhnya. Dia mencintai orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka, serta membenci dan memusuhi pelaku syirik. Allah Ta’ala telah mengharamkan orang-orang beriman untuk mencintai dan loyal kepada orang-orang kafir, meskipun mereka adalah kerabat dan saudaranya sendiri. 

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali [yaitu, teman akrab, pemimpin, pelindung, atau penolong, pen.] dengan meninggalkan orang-orang mukmin lainnya. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)

Allah Ta’ala berfirman,

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

 “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya. Dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (QS. An-Nisa’ [4]: 89)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23) 

Konsekuensi Rasa Cinta pada Allah Ta’ala

Al-wala’ dan al-bara’ merupakan konsekuensi rasa cinta kita kepada Allah Ta’ala. Orang yang mencintai Allah Ta’ala, maka dia dituntut untuk membuktikan cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu dengan mencintai yang Allah Ta’ala cintai, dan membenci apa yang Allah Ta’ala benci. Di antara yang dicintai Allah Ta’ala adalah ketaatan dan orang-orang yang bertakwa, sedangkan di antara yang Allah Ta’ala benci adalah kemaksiatan, kekafiran, dan kemusyrikan. Sehingga Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أوثق عرى الإيمان : الموالاة في الله و المعاداة في الله و الحب في الله و البغض في الله عز و جل

“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyal dan memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Thabrani. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir  no. 4304)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أحِب في الله، وأبغِض في اللهِ ، ووالِ في اللهِ ، وعادِ في اللهِ ، فإنّما تُنالُ ولايةُ اللهِ بذلك ، ولن يَجِدَ عبدٌ طعمَ الإيمانِ – وإن كثُرَتْ صلاتُه وصومُه – حتّى يكونَ كذلك ، وقد صارَت عامَّةُ مُؤاخاة الناسِ على أمرِ الدُّنيا ، وذلك لا يُجدي على أهله شيئاً

“Mencintai karena Allah, membenci karena Allah, loyal karena Allah, memusuhi karena Allah, maka dengannya seseorang itu menjadi wali Allah. Dan tidaklah seorang hamba merasakan manisnya iman, meskipun dia banyak shalat dan berpuasa, sampai dia bisa seperti itu. Dan sungguh persaudaraan sebagian besar manusia dibangun di atas urusan dunia. Padahal yang demikian itu tidaklah memberikan manfaat kepada pemiliknya sedikit pun.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 125. Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal. 32-33)

Salah Satu Syarat Sahnya Persaksian “laa ilaaha illallah”

Bahkan, betapa pentingnya aqidah al-wala’ wal bara’  ini sampai-sampai Allah Ta’ala lebih mendahulukan pengingkaran kepada seluruh bentuk peribadatan kepada selain Allah Ta’ala daripada keimanan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Selain itu, di antara ulama bahkan ada yang berpendapat bahwa pengingkaran kepada sesembahan selain Allah Ta’ala merupakan salah satu syarat sah dari persaksian “laa ilaaha illallah”. [2]

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ 

“Barangsiapa yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’ dan mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka telah terlindung harta dan darahnya. Sedangkan perhitungan amalnya terserah kepada Allah.” (HR. Muslim no. 139)

Inilah prinsip utama agama Islam, yaitu beriman dan beribadah hanya kepada Allah dan menentang setiap peribadatan kepada selain-Nya. Sehingga setiap muslim yang benar-benar sebagai seorang muslim, pasti meyakini bahwa penyembahan kepada malaikat, nabi, binatang, benda, patung, atau setan, dan lain-lain adalah bentuk kemusyrikan yang harus diingkari dan diperangi. Karena itu semua bertentangan dengan keimanan dan merupakan kekufuran. [3]

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51967-hati-siapakah-yang-menjadi-marah-ketika-melihat-kesyirikan-bag-3.html

Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 2)

Membenci dan Memusuhi Syirik 

Bersihnya tauhid yang kita miliki haruslah disertai dengan kebencian, permusuhan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya. Apabila kita tidak membenci dan memusuhi perbuatan syirik dan pelakunya atau bahkan ridha serta merasa tenang-tenang saja dengannya, maka ketahuilah bahwa tauhid kita belum bersih dan harus dibenahi lagi.

Bahkan, para ulama menjadikan berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya sebagai bagian dari Islam dan tidak dapat terpisahkan darinya. Para ulama rahimahumullah mendefinisikan Islam dengan,

الاسْتِسْلامُ للهِ بِالتَّوْحِيدِ، وَالانْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ، وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ

“(Islam adalah) berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”

Syarat Terwujudnya Islam Seseorang

Berdasarkan definisi tersebut, maka Islam seseorang tidak akan terwujud kecuali dengan memenuhi tiga hal berikut ini:

1. Berserah Diri Hanya Pada Allah

Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya. Yaitu, seseorang berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dalam segala aktivitas ibadah. Penyerahan diri seperti inilah yang menyebabkan pelakunya dipuji dan mendapatkan pahala.

2. Tunduk Patuh Pada Allah

Tunduk patuh kepada Allah dengan penuh ketaatan. Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Karena ketaatan mencakup menaati perintah-Nya dengan melaksanakannya dan menaati larangan-Nya dengan meninggalkannya.

3. Berlepas Diri dari Kesyirikan dan Pelakunya

Berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya. Karena seseorang yang mengikrarkan tauhid kepada Allah, mau tidak mau dia juga harus berlepas diri dan membenci kesyirikan dan para pelakunya. Kebenciannya itu pertama-tama mendorongnya untuk memusuhi dan memeranginya. Kemudian kafir (ingkar) kepada kesyirikan itu. Apabila seseorang mencintai Islam dan ahlinya, mencintai tauhid dan ahlinya, akan tetapi tidak membenci syirik dan ahlinya, maka dia bukanlah termasuk seorang muslim. Tauhid kita juga tidak akan sempurna sampai kita berlepas diri dari syirik dan dari orang-orang musyrik. Serta memisahkan diri, mengingkari, memusuhi, dan membenci mereka. 

Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis salam sebagai pemimpin orang-orang yang bertauhid,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ’Sesungguhnya kami berlepas diri kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4) 

Bahkan meskipun pelaku syirik itu adalah kerabat kita, atau bapak kita sendiri, kita tetap harus berlepas diri darinya. Allah Ta’ala juga mengisahkan tentang Ibrahim ketika berkata kepada ayahnya, Azar, 

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

”Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.” (QS. Maryam [19]: 48) [1]

[Bersambung]

***

PeAnulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51901-hati-siapakah-yang-marah-ketika-melihat-kesyirikan-bag-2.html

Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 1)

Sungguh merupakan suatu kebahagiaan apabila kelak kita dapat tinggal di surga dan merasakan segala kemewahan yang ada di dalamnya. Merasakan berbagai kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga atau bahkan tidak pernah terbetik dalam hati setiap manusia. Merasakan nikmatnya sungai dari susu dan madu, mendapatkan isteri yang cantik jelita, diberi umur muda dan hidup kekal, abadi selama-selamanya. Dan kenikmatan yang lebih dari itu semua, kita dapat memandang wajah Allah Ta’ala, pandangan yang menyejukkan mata-mata kita dan dapat membuat kita lupa dengan berbagai kenikmatan lainnya yang telah kita rasakan. Duhai … siapakah yang tidak ingin merasakannya? Lalu bagaimana kita dapat meraihnya?

Janji Surga bagi Ahli Tauhid

Di antara keistimewaan tauhid adalah bahwa Allah Ta’ala telah menjanjikan surga dengan segala kemewahan di dalamnya bagi para ahlinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Misykatul Mashabih no. 1621)

Dari hadits ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa barangsiapa yang konsekuen dengan syahadat laa ilaaha illallah, baik secara ilmu dan amal, maka dia adalah ahli tauhid yang mendapatkan jaminan kepastian untuk masuk surga.

Rasulullah juga telah menjanjikan bahwa ahli tauhid akan terbebas dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ 

”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang berkata, ’laa ilaaha illallah’, dengan mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah.” (HR. Bukhari no. 425, 1186, 5401 dan Muslim no. 1528)

Namun, yang penting untuk menjadi catatan adalah bahwa yang dimaksud dengan “perkataan” dalam hadits di atas bukanlah sekedar perkataan belaka, yang sangat ringan dan mudah untuk diucapkan. Tetapi yang dimaksud adalah perkataan yang memenuhi syarat dan rukunnya, melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, serta tidak melakukan pembatal-pembatalnya. 

Masuknya seseorang ke dalam surga ini bisa jadi setelah Allah Ta’ala meng-hisab amal-amal kita terlebih dahulu, kemudian Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita kemudian langsung memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Namun bisa jadi Allah Ta’ala tidak mengampuni dosa-dosa kita tersebut, sehingga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam neraka terlebih dahulu sebelum akhirnya Allah membebaskan kita kemudian memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Oleh karena itu, terdapat keistimewaan yang lebih dari itu semua, yaitu bahwa Allah Ta’ala akan langsung memasukkan kita  ke dalam surga tanpa harus dihisab atau bahkan diadzab terlebih dahulu. Lalu bagaimana meraihnya?

Membersihkan Tauhid

Puncak keistimewaan bagi orang-orang yang bertauhid adalah Allah Ta’ala akan memasukkannya ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Hal ini hanya Allah Ta’ala janjikan bagi orang-orang yang benar-benar membersihkan dan memurnikan tauhidnya. Yang dimaksud dengan membersihkan tauhid (baca: men-tahqiq tauhid) adalah seseorang mewujudkan dua kalimat syahadat dengan meninggalkan segala macam syirik, baik syirik akbar, syirik ashghar, atau pun syirik khofi (syirik yang samar/tersembunyi) sebagai konsekuensi dari syahadat “laa ilaaha illallah”. Dia juga harus meninggalkan bid’ah dan maksiat dengan segala jenisnya sebagai konsekuensi dari syahadat “Muhammad rasulullah”.

Membersihkan dan memurnikan tauhid ini memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan yang wajib dan tingkatan yang sunnah. Tingkatan wajib adalah meninggalkan segala sesuatu yang wajib untuk ditinggalkan, yaitu syirik, bid’ah, dan maksiat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Inilah tingkatan minimal untuk mendapatkan predikat sebagai orang yang bersih tauhidnya. Namun ada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih utama lagi dari itu. Yaitu tingkatan sunnah, di mana hati seseorang seluruhnya hanya menghadap kepada Allah Ta’ala dan tidak pernah condong atau berpaling kepada selain Allah Ta’ala. Maka perkataannya adalah semata-mata karena Allah, perbuatan dan amalnya hanya untuk Allah, dan bahkan setiap gerak-gerik hatinya hanya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata. Dia juga meninggalkan sesuatu yang sebenarnya pada asalnya bukan perbuatan dosa, namun hanya semata-semata karena takut bahwa perbuatan tersebut akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan nikmat yang akan dia peroleh di akhirat. (Lihat At-Tamhiidhal. 33)

Namun, orang yang sempurna bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah dan dosa. Orang yang sempurna adalah orang yang apabila berbuat salah dan dosa dia segera menyesal, berhenti, dan bertaubat dari dosa-dosanya. Allah Ta’ala berfirman, 

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 135)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ 

”Setiap manusia pasti berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 4521)

Bagaimana Jalan untuk Membersihkan Tauhid?

Untuk membersihkan dan memurnikan tauhid kita, harus terpenuhi tiga hal. Pertama, memiliki ilmu yang sempurna tentang tauhid. Karena tidak mungkin seseorang membersihkan sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui dan memahami sesuatu tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah saja.” (QS. Muhammad [47]: 19) 

Maka dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan untuk meng-ilmui terlebih dahulu, sebelum mengucapkan kalimat tauhid.

Ke dua, meyakini kebenaran tauhid yang telah diilmuinya. Apabila seseorang hanya mengilmui (mengetahui) saja, akan tetapi tidak meyakininya dan bahkan mengingkarinya, maka dia tidaklah membersihkan tauhidnya. Allah Ta’ala berfirman tentang kesombongan orang-orang kafir yang tidak meyakini keesaan Allah sebagai satu-satunya sesembahan –padahal mereka telah memahami makna laa ilaaha illallah-,

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

”Mengapa ia (Muhammad) menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja? Sungguh ini adalah suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5) 

Ke tiga, mengamalkan tauhid tersebut dengan penuh ketundukan. Jika kita telah mengilmui dan meyakini akan tetapi kita tidak mau mengamalkannya dengan penuh ketundukan, maka kita belum bersih tauhidnya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ

”Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ’laa ilaaha illallah’, mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 35)

Apabila ketiga hal ini telah terpenuhi dan seseorang benar-benar membersihkan serta memurnikan tauhidnya, maka jaminan surga tersedia menjadi miliknya tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam hal ini, kita tidak perlu mengatakan”Insya Allah” karena hal tersebut adalah hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at. (Lihat Al-Qoulul Mufiid1: 91)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51862-marah-ketika-melihat-kesyirikan-1.html

Akhlak Milenial

Menjadi orang tua di zaman now tidaklah mudah.

”Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak” (HR Bukhari). Hadis ini memberikan peringatan kepada kita, betapa persoalan akhlak di zaman now menjadi sangat penting dan utama.

Mengapa? Karena, kita sadar, problematika dari dulu sampai sekarang yang muncul ke permukaan itu lebih karena tiadanya akhlak karimah (akhlak mulia). Inilah pekerjaan rumah kita bersama.

Peristiwa demi peristiwa, kejadian demi kejadian yang mewarnai kehidupan kita akhir-akhir ini, sering kali tidak masuk akal sehat. Seperti orang tua membunuh anaknya, anak membunuh orang tuanya; dakwah di mana-mana, tapi korupsi makin merajalela; industrialisasi kebohongan makin subur, dan lain sebagainya.

Maka, wajar jika Alquran menyebut mereka yang berbuat melampaui batas sebagai “generasi bal hum”, yaitu generasi manusia yang perilakunya lebih buruk dibanding binatang sekalipun. (QS al-A’raf: 179). Lalu, bagaimana kita menyikapi hal ini?

Menjadi orang tua di zaman now tidaklah mudah. Menjadi anak pun juga akan mengatakan hal yang sama tidak mudah. Mereka harus siap dan berpacu dengan derasnya arus informasi yang bisa membentuk perilaku dan kebiasan.

Gadget, televisi, internet, dan lingkungan pergaulan menjadi ancaman jika tidak tegas dan hati-hati menyikapinya. Saya, sebagai orang tua pun merasakan hal yang sama. Betapa anak kita telah berubah menjadi anak zaman milenial. Yang cara mengasuh dan mendidiknya pun harus cerdas dan tegas.

Saya ambil contoh, soal manajemen waktu antara sekolah, kursus tambahan di luar, dan belajar di rumah. Jika tidak hati-hati, orang tua akan berhadapan dengan sikap anak yang boring alias bosan dengan rutinitas. Mereka akan cenderung berpura-pura patuh, tapi sebenarnya tidak. Maka, harus dicari keseimbangannya. Parahnya lagi, orang tua membiarkan anak-anaknya begitu saja dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Sehingga, akhlak anak-anak milenial tumbuh bebas tanpa kendali. Bahkan, ada orang tua yang berpikiran untuk memasukkan anak-anak nya ke pesantren sebagai “obat” agar kena kalan anakanak dan remaja itu bisa diredam sejak dini. Betulkah cara tersebut? Sepintas betul.

Namun, bukankah tanggung jawab mendidik akhlak generasi milenial itu tugas bersama. Mulai dari orang tua, guru di pesantren maupun lingkungan masyarakat sekitar. Agar, akhlak milenial yang tidak baik bisa diperbaiki. Harus diakui, tayangan film layar lebar, sinetron televisi, dan internet telah membuat generasi milenial jauh dari agama. Akibatnya, perilaku dan sikapnya pun mencerminkan jauh dari tuntunan agama.

Saya mengajak para orang tua untuk tidak abai akan masa depan anak-anak kita generasi milenial. Kitalah orang tua yang menjadi “wakil” Rasul Muhammad untuk menyempurnakan dan mendidik anak-anak kita agar memiliki akhlak milenial yang mulia: jujur, berani berkata benar, amanah, dan tangung jawab. Anak adalah amanah dan sekaligus cobaan. (QS al-Anfaal: 28). Karena itu, jaga betul amanah itu agar cobaan tidak menjadi siksaan. 

Oleh: Abdul Muid Badrun

KHAZANAH REPUBLIKA


Merindukan Keadilan

Bangsa ini sangat merindukan keadilan hukum dan tampilnya hakim teladan

Syuraih bin al-Harits al-Kindi, seorang tabi’in, hakim agung, mempunyai seorang anak yang beperkara dengan suatu kaum. Ia kemudian mengadukan perkaranya kepada sang ayah. “Ayahku, jika kebenaran itu ada padaku, adililah dan menangkanlah perkaraku; sebaliknya jika kebenaran itu ada pada kaum itu, kompromikan dan damaikan saja dengan mereka,” pinta sang anak.

Sebagai hakim yang adil, Syuraih tidak langsung menuruti kemauan anaknya. Syuraih pantang diajak kolusi. “Kita hadir saja dan selesaikan perkara ini di pengadilan dengan mereka!” pinta sang ayah. Setelah sampai di pengadilan dan kedua belah pihak saling mem beri keterangan, Syuraih justru memenangkan perkara kaum itu. Sang anak merasa kecewa dengan keputusan ayahnya. “Engkau telah mempermalukan diriku di hadapan mereka. Kalau saja aku tahu keputusan akhirnya seperti itu, demi Allah, aku tidak akan mengadukan perkaraku itu kepadamu, wahai ayahku.”

“Wahai ananda, demi Allah aku lebih mencintaimu daripada bumi dan segala isinya. Akan tetapi, cintaku kepada Allah tidak bisa dikalahkan oleh cintaku kepadamu. Allah jauh lebih mulia dan patut dicintai dari segalanya, termasuk dirimu. Sungguh aku lebih takut menginformasikan kepadamu bahwa kebenaran itu ada pada mereka, lalu engkau mengajak mereka berkolusi dan ‘main mata’ sehingga hak-hak mereka dizalimi. Aku hanya bisa mengatakan dan memutuskan apa yang seharusnya aku putuskan.”

Setelah perkara itu diputuskan, putra Syuraih yang lain mengajukan dan memberi jaminan seorang laki-laki kepada ayahnya agar anaknya yang diputus “kalah” di pengadilan itu tidak ditahan atau dipenjara. Sang ayah menerima seorang itu sebagai jaminan. Namun, orang yang dijaminkan itu ternyata kabur dari tahanan peradilan. Lalu, Syuraih pun memenjarakan anaknya sebagai “hukuman” terhadap kaburnya orang itu.

Setiap hari Syuraih mengantarkan makanan untuk anaknya yang dipenjara. Sebagai orang tua, sang hakim agung tetap menyayangi anaknya; sementara sebagai hakim, ia harus berlaku adil, arif, bijaksana, antikolusi, antirasuah, tidak memperkaya diri, apalagi jika perkara yang ditanganinya jelas-jelas tidak benar. Setiap kali mengantarkan makanan itu, ia selalu menasihati anaknya untuk tidak menaruh rasa dendam kepada ayahnya.

“Wahai ananda, sungguh aku memutuskan perkara dengan memenangkan mereka itu bukan karena aku tidak sayang kepadamu, tetapi aku lebih menyakini bahwa kesaksian mereka itu benar. Aku tidak mengambil keputusan karena prasangka atau intervensi penguasa (posisiku sebagai orang tuamu), tetapi karena kesaksian para saksi yang dapat dipercaya. Aku kira engkau telah berbuat aniaya (zalim) kepada mereka.”

Kata-kata bijak yang selalu disampaikan dalam proses peradilan juga dinasihatkan kepada sang anak. Katanya, “Esok orang zalim akan mengetahui bahwa ia termasuk orang yang merugi. Sungguh orang zalim itu sedang menanti hukuman; sedangkan orang yang dizalimi itu menanti keadilan. Demi Allah, tidak seorang pun membiarkan sesuatu karena Allah kemudian merasakan tidak adanya rasa keadilan.”

Kisah tersebut menarik dan patut diteladani bahwa penegakan hukum itu harus benar-benar adil, tanpa tebang pilih, tanpa pandang bulu, tanpa “main mata”, dan antikolusi. Supremasi hukum, keadilan, dan kebenaran hukum itu harus ditegakkan, betapa pun yang beperkara itu anak sendiri. “Seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, akulah sendiri yang akan memotong tangannya,” ujar Nabi SAW menegaskan (HR Muslim). Keadilan hukum dan bersihnya pengadilan dari mafia hukum atau “jual beli perkara” merupakan sendi tegaknya keadilan sosial, demokrasi, dan supremasi hukum.

Bangsa ini sangat merindukan keadilan hukum dan tampilnya hakim teladan seperti Syuraih, yang memutus perkara di pengadilan secara profesional, adil, dan jujur, meskipun terhadap anak sendiri (QS al-Ma’idah[5]:8).

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

KHAZANAH REPUBLIKA

Dua Jenis Tabungan dalam Kehidupan

ADA dua jenis tabungan dalam hidup kita, tabungan kebahagiaan untuk kebahagiaan kita di akhirat kelak dan tabungan kesedihan untuk kesedihan di akhirat kelak.

Tabungan kebahagiaan adalah berisikan seluruh jenis amal kebaikan. Sementara tabungan kesedihan adalah berisi segala amal kejelekan atau kejahatan yang kita lakukan.

Bisakah kita membuat saldo tabungan kesedihan kita itu NOL dan terus mengisi tabukan kebahagiaan saja untuk selalu bertambah?

Agar tabungan kesedihan itu menjadi NOL, buanglah jauh-jauh niat jelek, prasangka jelek, kebencian, dendam, iri hati dan dengki dari dalam hati kita. Mulai tabung sebanyak-banyaknya niat baik, prasangka baik, kasih sayang dan cinta serta kemauan menolong semakin banyak orang. Salam pagi, AIM. [*]

INILAH MOZAIK

Izinkan Aku Merawat Ibuku Sebelum Engkau Meminangku

Seorang anak gadis tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Sebelum dipersunting oleh calon suami, ia mensyaratkan kepada siapapun yang hendak meminangnya, agar dibiarkan tinggal bersama ibunya untuk merawat dan berbakti kepadanya sampai sang ibu meninggal dunia.

Calon suaminya pun menyetujui persyaratan tersebut. Ia tetap tinggal bersama sang ibu, ia merawat ibunya dan berbakti kepadanya. Selang beberapa tahun kemudian, sang ibu akhirnya meninggal dunia. ‘Semoga Allah senantiasa merahmatinya’. Gadis tersebut terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Betapa ia sangat paham tentang pahala berbuat baik kepada orang tuanya. Ia masih saja terduduk sambil menangis, lalu ia berkata, “Telah tertutup bagiku satu pintu dari sekian pintu surga”. Sebab ia sangat menghargai keberadaan ibunya, ia sangat membutuhkan keberadaannya dan bukan sebaliknya.

Karena itu, ketika sang ibu meninggal dunia ia tidak bergembira seraya berucap “Alhamdulillah”. Dan ini adalah sesuatu yang sangat baik. Sebab, ketika sang ibu meninggal dunia, ia ridha kepada anak perempuannya (sang gadis) tersebut. Dan selanjutnya, dikemudian hari sang gadis ini dikarunia oleh Allah ta’ala dua anak laki-laki yang menjadi orang-orang shalih lagi pilihan (dikutip dari buku Ummi, Izinkan Aku Menangis, Abu `Uyainah As-Sahaby, hal. 2, 33-234).

Subhanallah… sebuah fakta betapa di dunia ini masih ada sosok anak yang mengikuti fitrah lurus lagi sangat lembut dan santun dalam mengamalkan kebaktian tulus kepada orang tua. Dia begitu yakin dengan janji dan pahala yang akan diberikan Allah ketika menjadikan orang tuanya sebagai pintu mengetuk surga-Nya. Hanya hamba-hamba-Nya yang diberi karunia dan taufik dari Allah lah yang mampu menjalani ritme kehidupan yang membutuhkan kesabaran, perjuangan, limpahan cinta dan kekuatan iman hingga ia mampu mengemban amanah mulia ini.

Terkadang jiwa ini sangat lemah hingga butuh motivasi luar yang kuat agar semangat beramal muncul dan mampu terinspirasi ketika membaca serta merenungkan kisah nyata sebagaimana cerita menakjubkan gadis shalihah di atas. Sungguh indah wasiat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang derajat seorang ibu di sisi Allah. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:

يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ

Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).

Orang tua akan tersenyum bahagia ketika anak-anaknya bergaul dengannya dengan baik dalam perkataan ataupun tingkah laku. Dia akan ikhlas mendoakan kebahagiaan serta keberkahan hidup bagi anak-anaknya di dunia dan akhirat. Dan sesungguhnya anak-anak yang shalihahlah yang sejatinya butuh doa orang tua agar senantiasa dirahmati Allah dan kelak ketika ia selalu mengamalkan birul walidain insyaallah anak-anak kita pun akan berbakti kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tua.

Mukmin sejati harus selalu bersyukur kepada Allah, senantiasa bermuamalah dan mentaati orang tua dalam perkara yang dibenarkan syariat. Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra’ : 23).

Semoga Allah mudahkan kita meniti jejak indah orang-orang terdahulu yang sangat antusias dalam birul walidain hanya demi ridha Allah semata. Semoga jiwa ini tergetar dan menangis tatkala menelusuri kembali lembaran menakjubkan generasi emas para salafuna shalih dalam menjalin hubungan yang serasi, harmonis dan islami dengan orang tuanya. Yaa Rabbi kumpulkan kami dengan para nabi, shidiqin, dengan kaum muslimin yang taat, dengan para sahabat, orang tua tercinta, kerabat dan anak-anak keturunan kami dalam istana surga. Aamiin…

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11663-izinkan-aku-merawat-ibuku-sebelum-engkau-meminangku.html

Akhlak Para Salaf dalam Berbicara

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah figur teladan dalam berbicara. Tutur kata beliau ringkas dan mudah dipahami. Ungkapannya lembut penuh tawadhu dan tidak berlebih-lebihan sehingga menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Orang-orang terdahulu yang shalih dianugerahi oleh Allah kekuatan lisan untuk selalu menyampaikan kebenaran berdasarkan ilmu, bukan berbantah-bantahan atau berdebat yang lebih didominasi oleh hawa nafsu. Terlebih lagi ketika mereka membahas permasalahan yang ada kaitannya dengan agama, mereka sangat memuliakan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menjadikan keduanya sebagai sumber petunjuk dalam segala permasalahan kehidupan.

Sebagaimana yang dikatakan Al-Hasan ketika dia mendengar suatu kaum yang saling berbantah-bantahan “Mereka telah bosan beribadah, ringan perkataan bagi mereka dan sedikit wara’ mereka sehingga mereka bicara”. (Dikeluarkan oleh Ahmad di dalam Az-Zuhd, hal 272).

Sebagian ulama salaf berkata: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba maka Dia bukakan baginya pintu amalan dan Dia tutup darinya pintu jidal (perdebatan), dan jika Allah menghendaki kejelekan pada seorang hamba maka Dia tutup darinya pintu amalan dan Dia bukakan baginya pintu jidal” (Al-Hilyah, 8/361).

Demikianlah diantara akhlak generasi terdahulu yang sangat berhati-hati dalam berbicara, mereka menyadari betapa lidah tidak bertulang yang bisa menjerumuskannya pada neraka ketika ia berbicara tanpa kendali syariat. Di zaman fitnah dimana bendera-bendera Dajjal telah bermunculan, saat ini begitu menjamur orang-orang yang berbicara tanpa ilmu, mereka pandai bersilat lidah dalam memutarbalikkan kebenaran. Menjadikan agama sebagai ajang perdebatan padahal telah jelas ditegaskan dalam Kitab dan Sunnah.

Allah memerintahkan umat-Nya agar ‘mengerem’ sikap terlalu banyak berbicara yang membuat kehebohan di tengah manusia. Terkadang ‘diam itu emas’ ketika seseorang terlalu mengumbar kata-kata tanpa kebutuhan penting. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47).

Dengan mengendalikan pembicaraan niscaya lisan akan terjaga dari ketergelinciran. Terlebih lagi dengan menyibukkan lisan pada perdebatan yang bertujuan agar pendapatnya diterima orang lain tanpa landasan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Sikap seperti ini bukan akhlak mukmin yang mulia.

Ja’far bin Muhammad berkata: “Jauhilah diri kalian dari debat dalam agama karena hal tersebut menyibukkan hati dan menumbuhkan nifaq” (Dikeluarkan oleh Al-Ajury dalam “Asy-Syariah” hal 58).

Orang yang diberi taufiq oleh Allah niscaya ia akan bersungguh-sungguh memanfaatkan lisan dengan baik. Dia paham kapan akan diam dan kapan akan bicara. Mampu melihat situasi dan kondisi serta dengan siapa ia berbicara.

Setiap mukmin hendaknya menyadari bahwa setan senantiasa memotivasi, membisik-bisiki orang untuk berbuat melampaui batas termasuk dalam pembicaraan. Setan berambisi menjerumuskan lisan agar tergelincir yang pada akhirnya membuat manusia binasa.

Imam Ahmad mengeluarkan begitu juga Tirmidzi dari hadits Abu Umamah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Rasa malu dan diam karena takut salah adalah termasuk keimanan, dan kejelekan lidah dan banyak bicara adalah dua cabang dari kemunafikan” (Dihasankan oleh Tirmidzy dan dikeluarkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya).

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11632-diantara-akhlak-para-salaf-dalam-berbicara.html

Mencuri Waktu

Beragam sikap orang dalam menyikapi waktu.

Beragam sikap orang dalam menyikapi waktu. Ada yang sangat efisien dan optimal dalam menggunakan waktu, ada yang biasa-biasa saja, ada pula yang justru menghambur-hamburkan waktu dalam kesia-siaan. Sikap inilah yang melahirkan kesan seseorang terhadap waktu menjadi berbeda. Ada yang menangkap waktu yang dijalaninya cukup lama, ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang merasakan waktu itu amat cepat berlalu dan terkesan begitu sempit dalam kehidupannya.

Kesan terakhir ini biasa dirasakan oleh orang-orang yang sehari-harinya begitu sibuk dalam menunaikan tugas-tugasnya sehingga jatah waktu yang dimilikinya seolah-olah tidak cukup untuk menangani berbagai kewajiban yang tak pernah selesai. Maka, “mencuri waktu” menjadi formula yang paling niscaya dalam me nyiasati semua itu. Prinsip “me nyelam sambil minum air” menjadi relevan sekali.

Dalam hal ini, Rasulullah telah memberikan banyak contoh yang ma nis sekali perihal “mencuri waktu” ini. Ketika Rasulullah dikejar-kejar oleh kafir Quraisy, beliau masih sem pat menunaikan tugas dakwah, yaitu mengislamkan Abu Buraidah dan kaumnya yang berjumlah 70 orang.

Padahal, pemimpin kaum ini keluar justru untuk memburu Rasulullah dan Abu Bakar dengan harapan dapat meraih hadiah yang ditawarkan oleh orang-orang Quraisy. Namun, begitu Abu Buraidah berjumpa dengan Nabi dan diajak bicara, dia malah memeluk Islam. Kemudian, ia melepas kerudung kepalanya seraya mengikatkannya di tombaknya, lalu dijadikan sebagai bendera, seraya berseru bahwa pemimpin yang membawa keamanan dan perdamaian telah datang untuk memenuhi dunia dengan keadilan.

Perihal “mencuri waktu” ini, kita juga bisa belajar dari Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Meski ia telah mendekam dalam penjara, lantaran dituduh—maaf—berselingkuh dengan istri al-Aziz, ia tetap bisa menjalankan tugas sucinya, yaitu mengajarkan prinsip tauhid melalui jawaban yang diberikan kepada dua teman sepenjaranya yang bertanya tentang takwil mimpi.

Ujarnya: “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhantuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?” (Yusuf: 39). Dalam arena kehidupan kita yang luas ini, tentu begitu banyak model kegiatan yang bisa kita terapkan dari hanya satu waktu. Misalnya ketika masuk masjid, waktunya hanya sekali, tetapi kita bisa meraih banyak pahala dengan serangkaian niat yang kita pancangkan: niat shalat jamaah, niat taklim, iktikaf, silaturahim, dan lain-lain. ¦ 

Oleh: Makmum Nawawi

KHAZANAH REPUBLIKA