Ikhlas Doakan Sesama

SAUDARAKU, dalam bergaul sehari-hari mungkin kita pernah diminta oleh saudara, tetangga, teman maupun kenalan lainnya, untuk mendoakannya. “Tolong doakan, ya!” atau “Mohon doanya!” Entah saat itu dia sedang menghadapi ujian di sekolah, hendak mencari kerja, memulai sebuah usaha, atau pun bersyukur atas kelahiran anaknya.

Sebetulnya, tanpa diminta pun kita sudah semestinya melakukan. Misalkan ketika ada seseorang yang selalu berbuat baik kepada kita, maka doakanlah dia. Atau, dalam sebuah urusan kita terpaksa meminta bantuan seseorang, dan saat itu kita tidak mampu membalasnya. Maka, selain mengucap terima kasih, benar-benar doakanlah dia dengan ikhlas.

Terhadap orang yang baik atau rajin menolong, bahkan sering terbebani oleh kita, kalau bisa kita balas dengan yang lebih baik. Kalau tidak bisa, ucapkanlah terima kasih dengan tulus, serta serius dan ikhlas mendoakannya. Supaya kemuliaan (izzah) kita tetap terjaga, tidak lantas turun dengan menjadi beban bagi orang lain.

Misalkan setelah tahajud, doakanlah sebanyak-banyaknya bagi orang yang sudah membantu kita. Mohonkan kepada Allah SWT, kebaikan demi kebaikan maupun apa yang kira-kira sedang diperlukannya. Jadi tidak perlu di-sms. (KH Abdullah Gumnastiar)

Seperti mungkin kita pernah menerima sms pukul setengah tiga pagi, “Ya Allah, di saat yang mustajab, hamba mendoakan sahabatku ini. Balaslah semua kebaikannya. Engkaulah Yang Mahamendengar dan Mahamelihat. Kabulkanlah, ya Tuhanku Yang Mahapemurah.” Tapi mungkin kita tidak pernah mendapat sms begitu, karena kitalah yang biasa mengirimnya.

Saudaraku. Benarkah yang seperti itu kita sedang mendoakan? Atau, sebenarnya kita hanya memberi informasi, bahwa kita sedang tahajud dan kita teringat kepadanya. Lalu merasa kalau sering sms akan diartikan saleh, karena misalkan berharap dia mau menikah dengan kita. Bagaimana kalau sambil mengantuk ternyata salah kirim? Sudah berdoanya kepada sesama makhluk, dan yang dikirimi pun sama-sama lelaki misalnya.

Sekalipun seseorang meminta kita mendoakannya, maka doakan saja. Yang penting bukanlah dia tahu kalau kita sudah mendoakannya, tapi yang penting adalah diijabah.

“Apabila salah seorang mendoakan saudaranya sesama muslim tanpa diketahui oleh yang didoakan, maka para malaikat berkata: Amin dan semoga engkau memperoleh pula seperti apa yang engkau doakan itu.” (HR. Imam Muslim dan Abu Daud).

Jadi, tidak perlu diberi tahu. Baik lewat sms atau pun lainnya. Misalkan saat bertemu kita berkata, “Kang, semalam akang sudah saya doakan.” Mungkin si akang jadi senang, “Terima kasih, tapi doa apa?” “Doa lunas utang.” “Enak saja! Saya kan tidak punya utang.” Akhirnya malah jadi tersinggung.

Begitu kalau misalnya dia benar-benar sedang terlilit utang. Maka saat nanti utangnya sudah lunas dan usahanya terus maju, kita juga tidak perlu merasa berjasa. Walaupun doa kita memang kuat. Nanti jadi ujub.

Misalkan ada teman sedang mengikuti tes masuk kerja. Kita doakan karena dia sering menolong kita. Meski kita sering mendoakannya hingga berderai air mata, tapi saat dia diterima, kita tidak usah jadi ikut-ikutan keren. Karena merasa doa kita yang diijabah. Seperti mendadak berlagak tawadhu sambil menepuk-nepuk pundaknya, “Alhamdulillah, diterima kan?” Teman kita jadi bingung, “Kamu kenapa? Lagi sakit, ya?”

Jadi, saudaraku. Balaslah kebaikan orang dengan ikhlas. Walaupun yang bisa kita perbuat hanya mengucap terima kasih dan berdoa. Sesudah itu diam, dan terserah Allah saja. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Belajar Agama Kepada Siapa? Bag. 2

Metode Dalam Meraih Ilmu

Ada dua metode dalam meraih ilmu, yaitu:

1. Otodidak
Maksudnya adalah mempelajari ilmu dengan membaca buku saja tanpa bimbingan guru yang mumpuni. Orang yang mengambil langkah ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki kesalahan yang lebih banyak dibanding kebenarannya atau kekeliruannya akan mengalahkan kebenarannya. Barangsiapa yang mempelajari ilmu secara otodidak maka mayoritas akan tersesat karena di hadapannya terbentang laut yang tidak bertepi dan kedalaman yang tidak dapat diselami.

2. Mengambil ilmu dari guru
Metode ini lebih singkat, bebannya lebih sedikit dan lebih mengarah kepada kebenaran karena jika mempelajari ilmu dari guru yang ahli maka ia akan memberikan ilmu yang sudah matang dan jika guru tersebut amanah maka ia akan memerintahkan untuk muthala’ah dan muraja’ah.

Kriteria Guru Agama Yang Baik

Agar terhindar dari kesalahan dalam memahami ilmu maka perlu bimbingan dari guru dan ilmu adalah agama maka kita tidak boleh mengambil ilmu dari sembarang orang. Di antara kriteria guru agama yang baik adalah:

1. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan memahami keduanya dengan pemahaman para salaf

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berusaha memahami kandungan maknanya dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam memahami kandungan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Begitu pula dalam memahami penjelasan mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati, pengenalan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih dan meninggalkan riwayat-riwayat yang tidak shahih, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, hal. 6).

2. Mengajak ke jalan Allah

Guru agama yang baik adalah yang mengajak pada Allah bukan mengajak pada organisasinya, partainya dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri).” (Q.S Fushshilat: 33)

3. Memiliki keahlian dan amanah

Menuntut ilmu sebaiknya dilakukan secara ta’shil dan ta’sis, hal ini hanya bisa didapatkan dengan mengambil ilmu kepada guru yang ahli bukan kepada guru yang sedikit tingkatan ilmunya di atasnya. Sebagian orang jika melihat pelajar lain memiliki kelebihan darinya dalam beberapa masalah ilmu maka ia akan menjadikannya guru, hal ini merupakan tindakan yang keliru. Yang benar ialah seharusnya ia memilih guru yang memiliki keahlian jauh di atasnya dan amanah. Keahlian adalah kekuatan dan kekuatan membutuhkan amanah. Jika mengambil ilmu dari seorang ‘alim yang memiliki keahlian, ilmu yang luas, kemampuan untuk memetakan dan membagi masalah dan lain sebagainya akan tetapi ia tidak amanah maka mungkin saja ia akan menyesatkan tanpa disadari.

4. Tidak menuntut ilmu agama kepada ahlul bid’ah

Imam Malik rahimahullah berkata : “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang :
a. Orang bodoh yang nyata kebodohannya,
b. Shahibu hawa’ (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya,
c. Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walau pun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
d. Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih (2/821) no. 1542 dengan sanad yang hasan dan ia meriwayatkan pula di al-Tamhid (1/66)).

Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah, bahkan ilmu yang tidak ada kaitannya dengan kebid’ahannya, karena dapat menyebabkan dua kerusakan yaitu :

  • Ahlul bid’ah tersebut akan tertipu dengan dirinya sendiri, ia akan mengira dirinya berada dalam kebenaran
  • Orang awam akan tertipu dengan si ahlul bid’ah karena melihat banyak orang yang mengambil ilmu kepadanya.

Orang yang mempelajari ilmu agama hakikatnya ia sedang membangun ideologi. Jika ia mengambil ilmu dari sumber yang salah maka salah pula ideologinya begitu pun sebaliknya-biidznillah-. Oleh karena itu pandai-pandailah dalam memilih sumber ilmu.

Wallahu a’lam.

**

Penulis: Atma Beauty Muslimawati

Referensi :
– Terjemah Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Akbar Media, Jakarta
– Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Addarul ‘Alamiyyah, Mesir
– Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, Imam Badruddin Ibnu Jama’ah, Addarul ‘Alamiyyah, Mesir

– https://konsultasisyariah.com/28473-hati-hati-mengambil-sumber-ilmu.html

– https://muslim.or.id/18980-keutamaan-ilmu-yang-bermanfaat.html
https://quran.com

Muraji’: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11813-belajar-agama-kepada-siapa-bag-2.html

Belajar Agama Kepada Siapa? Bag. 1

Bismillahirrahmanirrahim
Ilmu syar’i adalah bagian dari agama, sehingga kita harus selektif dalam memilih dari siapa kita memperolehnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tabi’in yang merupakan murid Anas bin Malik rahimahullah yaitu Muhammad bin Sirin rahimahullah,

إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذون دينك

Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu perhatikan, dari mana kalian mengambil agama kalian” (Siyar A’lam an-Nubala’, 4/606).

Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu
Ilmu adalah agama sehingga setiap ada lafaz ilmu dalam nash al-Qur’an atau as-Sunnah, maka itu mengarah pada ilmu agama. Ilmu adalah cahaya yang menerangi seorang hamba, sehingga ia bisa mengenal Rabbnya dan mengetahui cara beribadah yang baik dan benar. Ilmu adalah cahaya yang dapat menunjuki manusia kepada perkara agama dan dunianya.

Allah mengangkat derajat manusia yang berilmu di dunia dan akhirat
Sebagaimana firman Allah Ta’ala

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ

Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujadilah: 11)

Allah menggandengkan persaksian Allah dan malaikat dengan persaksian para ahli ilmu.
Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 18-19,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ * إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan yang haq selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan yang haq selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya”.
Allah memulai menyebutkan persaksian dengan diri-Nya kemudian yang kedua dengan malaikat dan yang ketiga dengan ahli ilmu, Allah mencukupkan dengan mereka. Hal ini menunjukkan betapa mulia, utama dan agungnya mereka.

Allah memudahkan jalan penuntut ilmu menuju surga
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجن

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699).

Kita ketahui bersama bahwa ada banyak sekali ibadah-ibadah yang dapat mengantarkan menuju surga, seperti berjalan menuju masjid, berhaji ke Baitullah, dan masih banyak lagi. Akan tetapi mengapa di sini yang disebutkan adalah menuntut ilmu? Yaitu karena menuntut ilmu adalah jalan tercepat untuk sampai pada surga dan untuk melakukan ibadah yang lainnya tentu perlu didasari dengan ilmu.

Ada banyak sekali dalil tentang keutamaan ilmu dan ahli ilmu yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, adapun yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja.

Bersambung insyaallah.

Penulis: Atma Beauty Muslimawati

Muraji’: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11811-belajar-agama-kepada-siapa-bag-1.html

Memahami Asma’ dan Kerahiman-Nya

Bagaikan dua mata sisi uang, iman seseorang seperti sepasang.

“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu (Muhammad), maka katakanlah: “Salamun ‘alaikum,” (keselamatan atas kamu). Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-An’am 6: 54)

Bagaikan dua mata sisi uang, iman seseorang seperti sepasang. Kadang baik ketika iman sedang naik; sebaliknya, kadar iman bisa turun ketika setiap nafas yang terhirup dilalui dengan  perbuatan khilaf dan dosa. Surat al-An’am  6: 54  di atas seperti memberikan energi! Allah secara langsung, melalui Rasulullah Saw menyapa orang-orang beriman, “Salaamun ‘alikum” yang  artinya mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu. Maksudnya lafadz ini ialah agar Allah telah berjanji sebagai kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat kepada mahluk-Nya— untuk siapa? Yaitu untuk mereka, orang yang berbuat (‘amila) maksiat (su’u) dengan tidak mengetahui (jahil).

Terkait surah di atas, Ibn Katsir membagi golongan jahil ini menjadi tiga bagian yaitu; pertama, mereka yang tidak atau belum mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat. Kedua, orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. Ketiga, orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu (emosi).

Untuk golongan ketiga, Allah menghimpunnya ke dalam orang-orang yang merugi karena surga (seluas langit dan bumi) tidak diwarisi bagi mereka yang sukar menahan emosi (silahkan buka Qs. A>li Imra>n/3: 133)—ayat tersebut mengelompokkan orang-orang yang mampu menahan amarah (ka>dzhimi>na al-ghayz) sebagai salah satu golongan (dari tiga golongan) pewaris surga yang luasnya seluas langit dan bumi. MasyaAllah!

Kembali ke Qs. Al-An’am 6: 54, rahmah Allah berlaku tatkala dua syarat dari pendosa itu mampu dilakukan; pertama, taba bertaubat dengan sebenar-benarnya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu kembali dan kedua, ashlaha. Ashlaha menggunakan ism tafdhil (shaliha- ashlaha/ baik- lebih baik) yang memiliki makna bahwa seseorang yang terlanjut melakukan kekhilafan harus memiliki keinginan kuat untuk menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya.

Dua syarat ini setidaknya harus dilakukan; agar rahmah (kasih sayang) yang dimaksud  Allah dalam Qs. Al-An’am 6: 54 bisa dicapai. Selain itu, dalam ayat lain yakni surah  az-Zumar 39:  53) Allah pun sebenarnya berikrar dan memberikan dukungan penuh untuk siapapun yang telah “terpelosok” jatuh ke dalam dosa dan kesalahan, untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat tersebut secara khusus sangat menekankan pada pentingnya berhusnuzhan pada ke-rahiman Allah. Sifat rahim-Nya melampaui apa yang hamba-Nya pikirkan. Maaf-Nya seluas samudera dan tiada hingga selagi hamba tersebut mau mengakui dosa-dosanya dan berikrar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Sesungguhnya, Allah mengampuni (yaghfiru—menggunakan fi’il mudhari) semua dosa (adz-dzunub) baik dosa-dosa besar, apalagi dosa kecil, sebagai bukti bahwa maaf, ampunan dan rahmat-Nya selalu dan selamanya berlaku dan melingkupi seluruh hamba-hamba-Nya yang terlanjut melakukan khilaf pada-Nya.

Jika kita cermati kedua ayat di atas, yakni Qs. Al-an’am/6: 54 dan Qs. Az-zumar/39: 53, kata kunci dari kedua ayat di atas ialah ‘rahmat’. Rahmat  yang memiliki kata dasar ra-ha-mi>m, yarhamu (fi’il mudhari/ kata kerja) dan rahmah/ rahmat (mashdar) tersebar di 37 surah dalam Alquran. Rahmah di dalam Alquran terbagi menjadi lima kategori yakni pertama, dalam bentuk lafadz (kata). Kedua, berdasarkan urutan mushaf. Ketiga, tertib turunnya ayat (tartib an-nuzu>), berdasarkan tempat turunnya; Mekkah (Makiyyah). Terakkhir, kelima, kategori Madinah (Madaniyyah).

Bentuk rahmah dan perubahannya di dalam Alquran pun sangat bermacam-macam. Rahmah terdiri atas 327 kata yang terbagi atas  enam bentuk; dalam bentuk fiil madhi (disebutkan 8x), fiil mudhari (15x), fiil amr (5x), ism fa’il (113x), masdar (173x) dan terakhir dalam bentuk ism tafdhil (13x). Jika kita cermati, beberapa derivasi kata ra, ha, mim, maka tersurat bentuk yang paling banyak ialah bentuk masdar (rahmah) sebanyak 173x. Tentu, hal ini bukan secara kebetulan. Makna tersembunyi dari bentuk rahmah yang paling banyak dari kelima bentuk lain (fiil madhi dan lain sebagainya) memiliki makna bahwa rahmah (kasih saying Allah) selalu melingkupi semua hamba-hamba-Nya terlebih mereka yang berbuat dosa.

Bermacam-macam ahli kosa kata Alquran berusaha mengartikan makna rahmah. Ibn Faris dalam al-Maqa>yis menyebutkan, kata yang terdiri atas ra-ha-mim bermakna  kelembutan hati, belas kasih, kehalusan, yang pada akhirnya kata ini juga dimaknai ikatan darah, persaudaraan, hubungan kerabat. Penamaan rahim; dalam organ tubuh perempuan juga bermakna bahwa rahim adalah tempat terbaik, ternyaman dan teraman untuk janin, sebab disitulah sumber kasih sayang Allah Sang Khaliq juga sang ibu yang mengandungnya.

Sedangkan Syaikh ar-Raghib al-Ashfahani memaknai rahmah dari Allah sebagai al-in’am (karunia/ ni’mat), anugerah dan fadhl (keutamaan/ kelebihan) untuk siapapun hamba-Nya yang ia kehendaki, tanpa batas. Sedangkan rahmah dari manusia ialah ar-riqqah  (belas kasih) yang sifatnya terbatas.

Sedangkan Ibn Mandzhur dalam Lisan  al-‘Arab, memaknai rahim sebagai kelembutan sifat-sifat Allah dan takdir-Nya,juga kebaikan-kebaikan dan limpahan rezeki-Nya.

Pemaknaan rahmah menurut ahli kosa kata Alquran di atas sesungguhnya menjadi isyarat bahwa cinta, kasih saying, ampunan, rezeki Allah sesungguhnya luas  dan maha tak terbatas, terbukti dalam petikan lafadz Qs. Al-An’am 6: 54 di atas, “.. kataba rabbukum ‘ala nafsihi ar-rahmah..,”—Tuhanmu telah menuliskan dalam diri/ zat-Nya  (sifat) kasih sayang,”, sehingga, memaknai asma’ husna (ar-Rahim) tak cukup hanya terulang lima kali kali saat shalat fardhu saja, namun juga harus melahirkan dan meneladani sifat-sifat rahim Allah; penuh kasih sayang, santun, mudah memaafkan dan tidak mudah tersulut emosi. Jika rahmah Allah melingkupi seluruh nafas dan hidup kita; maka, sebagai manusia yang tak luput dari dosa, harus mudah memaafkan bukan menyimpan rasa dendam.

Harus mudah bersikap ramah, bukan menjadi muslim pemarah. Harus bisa menjadi agen perbaikan dan perdamaian, bukan sebagai agen penebar hoax yang akhirnya menyebabkan perpecahan. Demikian, wallahu a’lam. 

Oleh: Ina  Salma Febriany

KHAZANAH REPUBLIKA

12 Sifat Paripurna yang Diteladankan Rasulullah SAW

Sifat paripurna sebagai perilaku utama seorang Muslim.

Karakter manusia paripurna telah dicontohkan Rasulullah SAW. Rasulullah memberikan teladan sepanjang masa kepada umatnya. Kesempurnaan tersebut terlihat jelas dari akhlak Rasulullah, yang digambarkan dalam hadis Aisyah RA, sebagaimana Alquran itu sendiri.

Hal ini menunjukkan betapa perilaku adalah sangat utama dalam Islam. Perilaku juga menjadi kunci bagaimana seorang hamba bisa diterima tidak hanya dalam ridha Allah SWT, tetapi juga makhluknya. 

Berikut ini beberapa akhlak yang penting dimiliki oleh seorang Muslim. Pertama, berbicara yang baik saja. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (jika tidak demikian) hendaklah diam” (HR Bukhari dan Muslim). Sebuah pembicaraan dikatakan baik apabila isinya bermanfaat, mengandung kebajikan, membuat senang pendengarnya, atau tidak menyakiti hati orang lain. 

Pembicaraan yang baik juga bercirikan penggunaan kata-kata yang benar atau sesuai kaidah bahasa yang berlaku (qaulan sadida, QS  4:9), kata-kata yang tepat sasaran, komunikatif, atau mudah dimengerti (qaulan baligha, QS  4:63), serta mengunakan kata-kata yang santun, lemah-lembut, atau tidak kasar (qaulan karima, QS  17:23). Pembicaraan yang baik juga harus penuh kejujuran atau kebenaran (shidqi).

Kedua, malu (haya’). Malu adalah perasaan untuk tidak ingin direndahkan atau dipandang buruk oleh pihak lain. Jadi, malu adalah persoalan harga diri atau gengsi. Malu yang paling utama adalah malu kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan-Nya. 

Malu kepada manusia harus dalam konteks malu kepada-Nya. “Sesungguhnya sebagian yang didapatkan manusia dari perkataan nabi-nabi terdahulu ialah ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!'” (HR Bukhari).

Ketiga, rendah hati (tawadhu), yaitu perasaan lemah dan kecil di hadapan Allah. Sifat ini akan membuat seseorang tidak berlaku sombong, tidak memandang dirinya mulia apalagi merasa paling benar. Fadhil bin Iyadh mengatakan, tawadhu’ ialah tunduk kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun kebenaran itu datang dari seorang anak kecil.

Keempat, senyum atau bermanis muka. Senyum adalah suatu kebajikan dan sama dengan ibadah sedekah. Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya agar murah senyum, atau bermuka manis. Menyenangkan, senyum dapat kita rasakan tatkala melihat keramahan orang lain pada kita. Sebaliknya, sukakah kita melihat orang cemberut dan bermuka masam terhadap kita? Rasulullah bersabda, “Kamu tidak bisa meratai (memberi semua) manusia dengan harta-hartamu, tetapi hendaklah bermanis muka dan perangai yang baik dari kamu meratai mereka” (HR Abu Ya’la).

Kelima, sabar. Bersabar dalam pergaulan adalah sifat mukmin sejati. Dalam bergaul kita menemui banyak orang dengan ragam watak dan perilakunya: ada yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan. 

Terhadap yang tidak menyenangkan, kita diharuskan bersabar menghadapi sikap mereka. “Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Imam al-Ghazali mengatakan, “Sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama”. Menurut Nabi SAW ada beberapa tingkatan sabar, yaitu (1) sabar dalam menghadapi musibah, (2) sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT, dan (3) sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Sabar yang pertama merupakan kesabaran terendah, yang kedua merupakan tingkat pertengahan, dan yang ketiga merupakan kesabaran tertinggi (HR Ibnu Abi Ad-Dunia).

Keenam, kuat atau tahan banting. Kuat artinya memiliki ketahanan mental dan fisik yang tinggi. Tidak mudah putus asa, tidak suka mengeluh, dan sehat jasmani-rohani. Kuat juga bisa dimaknai unggul dan berkualitas. Janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir (QS 12:87).

Ketujuh, pemaaf, tidak pendendam. Memaafkan kesalahan manusia dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa (QS 3: 134). “Allah tidak akan menambah seseorang yang suka memberi maaf melainkan dengan kemuliaan” (HR Muslim).

Kedelapan, menahan amarah. Marah dapat membawa malapetaka. Orang sedang marah dikuasai hawa nafsu dan setan. Pikirannya menjadi tidak jernih, tidak bersih. Akalnya menjadi tidak berfungsi normal. “Bukanlah orang yang gagah perkasa namanya ia yang kuat bergulat, tetapi yang disebut gagah perkasa itu ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya (dirinya) ketika sedang marah” (HR Bukhari Muslim).

Kesembilan, zuhud. Ketika seorang sahabat meminta nasihat tentang amal yang disukai Allah dan manusia, Nabi SAW menegaskan: “Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah menyukaimu dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia, niscaya manusia menyukaimu” (HR Ibnu Majah). 

Zuhud adalah sikap tidak terlalu mencintai dunia, bahkan membencinya dalam batas-batas yang wajar. Menurut Rasulullah SAW, “Zuhud di dunia tidak mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta…” (HR Tirmidzi).

Kesepuluh, qanaah, yaitu merasa cukup dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Sikap demikian membuatnya tenang dan senantiasa mensyukuri pemberian-Nya, sedikit ataupun banyak. “Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, melainkan yang kaya jiwanya (hatinya)” (HR Bukhari dan Muslim).

Kesebelas, wara, yakni menjauhi hal syubhat karena takut jatuh kepada keharaman. Syubhat artinya tidak dapat dipastikan halal-haramnya (berada antara halal dan haram). Nabi SAW mengatakan, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan termasuk pada hal haram (HR Muttafaq ‘Alaih).

Keduabelas, suka menolong, yaitu membantu orang yang sedang dalam kesulitan, selama berada pada garis kebaikan dan takwa. Termasuk menolong orang lain adalah menutupi aibnya sehingga tidak membuatnya malu. 

“Siapa yang menutupi aib orang mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan tetap menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” (HR Muslim).

KHAZANAH REPUBLIKA

Air Mata Rasulullah SAW Antarkan Kepergian Sang Putra

Rasulullah SAW menangis atas kepergian sang putra, Ibrahim.

Rasulullah SAW begitu sedih dengan kematian putranya itu. Rasul pun dipapah oleh Abdurrahman bin Auf saat ke rumah Ibrahim. 

Beliau kemudian meletakkan Ibrahim di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam sembari bersabda, “Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah.” 

Rasulullah membiarkan ibunya, Mariyah dan adiknya Sirin, menangis tersedu-sedu di sampaing jenazah Ibrahim. Semuanya larut dalam kesedihan bersama Rasulullah dan keluarganya. 

“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rab kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR Bukhari). 

Melihat air mata Nabi yang bercucuran, Abdurrahman bin Auf bertanya, “Engkau juga menangis Rasulullah?, Rasulullah menjawab ini adalah tangisan kasih sayang.”

Melihat kesedihan Rasulullah SAW, kaum Muslimin turut berduka-cita. Beberapa orang sahabat menyinggung larangan berbuat demikian.

Namun Nabi SAW bersabda, “Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang Aku larang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang adalah pengaruh cinta kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya.” 

Namun Rasulullah kemudian menguatkan hati mereka. Rasulullah pun mengatakan bahwa Ibrahim memiliki pengasuh yang menyusuinya di surga. Kemudian, setelah dimandikan Ummu Burdah, sumber lain menyebutkan oleh Fadl bin Abbas, Ibrahim dibawa Nabi SAW dengan diantarkan sejumlah kaum Muslimin menuju ke Baqi’.

Di tempat itu dia dimakamkan setelah dishalatkan Nabi Muhammad SAW. Setelah makamnya ditutup, Nabi kemudian meratakan kuburan anaknya dengan tangannya sendiri.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Jika Haidh Datang dan Belum Shalat Wajib

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: 

Jika seorang wanita mengalami haid pada waktu shalat tertentu, misalnya di waktu dzuhur, sedangkan dia dalam kondisi belum shalat dzuhur. Apakah dia wajib meng-qadha’ shalat dzuhur tersebut setelah suci (dari haid)?

Jawaban:

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa wanita tersebut tidak perlu meng-qadha’ shalat tersebut. Hal ini karena wanita tersebut tidaklah dinilai ceroboh (tafriith) dan tidak berdosa, karena memang diperbolehkan untuk menunda shalat sampai di akhir waktunya (selama belum keluar dari waktunya, pen.). 

Sebagian ulama yang berpendapat bahwa wanita tersebut wajib (harus) meng-qadha’, yaitu meng-qadha’ shalat tersebut (dalam contoh ini adalah shalat dzuhur, pen.). Hal ini berdasarkan cakupan makna umum dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Siapa saja yang mendapati satu raka’at shalat, maka dia telah mendapati shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)

Oleh karena itu, sikap yang lebih hati-hati adalah hendaknya dia meng-qadha’ shalat tersebut, karena hanya satu shalat saja, sehingga tidak ada kesulitan (masyaqqah) dalam meng-qadha’-nya. 

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53229-jika-haidh-datang-dan-belum-shalat-wajib.html

Doa Ketika Sendawa

Assalamu alaikum.
Apa yang kita ucapkan ketika sendawa, baik itu karna kenyang atau sebab lain? dan bagaimana tentang balasan ucapan ketika seseorang mengucapkan Alhamdulillah…kemudian kita balas yarhamukallah…apakah ini berlaku khusus untuk orang bersin saja atau setiap orang yg mengucapkan Alhamdulillah. wassalam

Dari: Dewi Khadijah

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, ada dua jenis dzikir yang perlu kita bedakan,

1. Dzikir mutlak, dzikir yang tidak terikat waktu dan tempat.

Kita disyariatkan memperbanyak dzikir mutlak semacam ini, kapanpun, di manapun, selama tidak di tempat yang terlarang. Anda bisa membaca Laa ilaaha illallaah sebanyak yang bisa anda lakukan, atau membaca alhamdulillah, atau istighfar sesering yang anda bisa.

2. Dzikir muqayad, dzikir yang terikat waktu atau tempat tertentu. Misalnya, dzikir setelah shalat wajib, dzikir ketika hendak tidur, atau doa ketika masuk masjid, dst.

Untuk jenis dzikir kedua ini, kita hanya bisa lakukan sesuai aturan yang berlaku. Baik cara membacanya atau teks yang diajarkan. Tidak boleh berbeda dari apa yang telah dituntunkan. Karena itu, kita hanya bisa mengamalkan dzikir muqayad, jika ada dalilnya. Tanpa dalil, kita tidak mungkin bisa mengamalkannya. Karena dalil itulah aturan.

Termasuk aturan dalam dzikir muqayad, tidak boleh membuat dzikir tertentu untuk aktivitas tertentu tanpa dalil. Misalnya, seseorang menganjurkan untuk membaca hamdalah setiap kali sendawa. Sikap semacam ini butuh dalil. Adakah dalil yang menjelaskan, dianjurkan membaca hamdalah ketika sendawa? Mari kita simak keterangan para ulama berikut,

Hukum Membaca Hamdalah ketika Sendawa

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum membaca hamdalah ketika sendawa, jawaban beliau,

وأما الحمد عند التجشؤ فهذا أيضاً ليس بمشروع؛ لأن الجشاء معروف أنه طبيعة بشرية، ولم يقل النبي عليه الصلاة والسلام: إذا تجشأ أحدكم فليحمد الله. أما في العطاس فقد قال: (إذا عطس فليحمد الله) وفي الجشاء لم يقلها.

Membaca hamdalah ketika sendawa, bukanlah sesuatu yang disyariatkan. Karena semua orang tahu bahwa sendawa termasuk bagian rutinitas manusia. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensabdakan, ‘Apabila kalian bersendawa, maka bacalah alhamdulillah.’ Berbeda dengan bersin. Beliau bersabda tentang bersin, “Apabila kalian bersin, bacalah alhamdulillah.” Sementara untuk sendawa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyarankan demikian.

Kemudian beliau melanjutkan,

نعم لو فرض أن الإنسان مريض بكونه لا يتجشأ فأحس بأنه قدر على هذا الجشاء فهنا يحمد الله؛ لأنها نعمة متجددة.

Hanya saja, jika diandaikan ada orang yang sakit disebabkan tidak bisa bersendawa, kemudian suatu saat dia merasakan bisa bersendawa, maka ketika itu dia boleh bisa hamdalah. Karena itu nikmat baru yang dia dapatkan.

[Liqaat Bab Al-Maftuh, volume 89, no. 10]

Hal yang sama juga difatwakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad – pengajar hadis di masjid nabawi –. Beliau ditanya tentang hukum membaca hamdalah setiap kali bersendawa. Jawaban beliau,

لا يوجد شيء يدل عليه، لكن كون الإنسان يحمد الله على كل حال، وأن هذا الشبع الذي حصل له من نعمة الله عز وجل لا بأس بذلك، لكن كونه يعتقد أن هذا أمر مشروع في هذه المناسبة، فليس هناك شيء يدل عليه فيما أعلم

Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan anjuran hal itu. Namun jika seseorang memuji Allah dalam setiap keadaannya, dan dia merasa bahwa keadaan kenyang yang dia alami termasuk nikmat Allah, maka tidak masalah dia membaca hamdalah. Namun jika dia meyakini bahwa membaca hamdalah ketika sendawa adalah hal yang disyariatkan, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, menurut apa yang saya ketahui.

[Syarh Sunan Abu Daud, volume 492, pertanyaan no. 10].

Demikianlah yang dijelaskan ulama, mereka merinci bacaan hamdalah ketika sendawa

Karena latar belakang syukur, syukur bisa bersendawa, syukur karena merasa lega, atau syukur atas nikmat kenyang, hukumnya dibolehkan. Hanya saja, untuk pertama ini, anda harus menghadirkan perasaan syukur dulu, baru membaca hamdalah.

Membaca hamdalah karena semata sendawanya. Semacam ini tidak ada dalil dan tidak pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua dzikir muqayad yang tidak ditopang dalil, tidak selayaknya dilakukan.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/19904-doa-ketika-sendawa.html

Zakat Profesi Sesuai Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Berdasarkan fatwa MUI bahwa “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperbolehkan pekerjaan bebas lainnya. MUI merupakan lembaga yang mewadahi para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia,

Zakat profesi (maal mustafad) ini bukan bahasan baru, para ulama fikih sudah menjelaskan di kitab-kitab klasik, di antaranya adalah kitab al-Muhalla (Ibnu Hazm), al-Mughni (Ibnu Quddamah), Nail al-Athar (asy-Syaukani), maupun di kitab Subul as-Salam (ash-Shan’ani).

Menurut mereka setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib zakat (wajib ditunaikan zakatnya). Diantara para ulama yang mewajibkan zakat profesi adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiah, ash-Shadiq, al-Baqir, an-Nashir, Daud Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, dan al-Auza’i.

Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-Maal al-Mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nishab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, olahragawan, artis, seniman dan sejenisnya.

Dan di Indonesia sejak tahun Juni 2003, Komisi Fatwa MUI sudah memfatwakan bahwa penghasilan itu termasuk wajib zakat. Hal ini mengacu pada pendapat MUI mengenai revisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ijtima’ Komisi Fatwa MUI merekomendasikan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat agar diubah menjadi Undang-Undang tentang Zakat.

Setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib ditunaikan zakatnya, karena ayat-ayat yang mewajibkan zakat terhadap setiap harta tanpa memilah jenis dan bentuknya, sesuai dengan maqasid ; semangat berbagi dan memenuhi hajat dhuafa. Sesuai dengan kaidah umum bahwa zakat diberlakukan untuk hartawan yang telah memenuhi nishab. Adapun pola penghitungannya bisa dihitung setiap bulan dari penghasilan kotor menurut pedapat Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad Ghazali, dan lain-lain.

Sebagaimana juga disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan “Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya.” Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memberi upah kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya .. “

Pengertian Zakat Profesi
Profesi adalah pekerjaan di bidang jasa atau pelayanan selain bertani, berdagang, bertambang, beternak, dengan imbalan berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap atau tidak, baik pekerjaan yang dilakukan langsung ataupun bagian lembaga, baik pekerjaan yang mengandalkan pekerjaan otak ataupun tenaga.

Zakat Profesi disebut juga zakat pendapatan adalah zakat harta yang dikeluarkan dari hasil pendapatan seseorang atau profesinya bila telah mencapai nishab. Seperti pendapatan karyawan, dokter, notaris dan lain-lain.

Kategori dan Karakteristik Profesi

Ada dua kategori pekerjaan yang menghasilkan upah/pendapatan, yaitu:
Setiap pekerjaan yang dilakukan (al-Mihan al-Hurrah), baik pekerjaan yang mengandalkan otak, seperti pengacara, penulis, intelektualitas, dokter, konsultan, pekerja kantoran dan sejenisnya (al-Mihaniyyun). Pekerjaan yang mengandalkan tangan atau tenaga, misalnya para perajin, pandai besi, tukang las, mekanik bengkel, tukang jahit buruh bangunan dan sejenisnya (ashabul hirfah)

Setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari lembaga, baik pemerintahan maupun swasta (kasb al-‘amal), seperti karyawan dan lain sebagainya.

Jadi karakteristik profesi adalah: “Segala jenis pekerjaan selain bertani, berdagang, bertambang, berternak. Pekerjaan yang lebih banyak bergerak di bidang jasa atau pelayanan, pekerjaan itu pada umumnya dilaksanakan berdasarkan basis ilmu dan teori tertentu.”

Imbalan atau penghasilannya berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap maupun tidak tetap. Semua jenis penghasilan yang didapatkan oleh para tenaga profesional tersebut, bila memenuhi syarat nishab dan haul, maka harus dikeluarkan zakatnya.

Landasan Syar’i Zakat Profesi

Berikut ini adalah dalil yang bermakna kewajiban zakat secara umum, yaitu:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At Taubah: 103)

Berikut ini juga terdapat dalil yang menjelaskan kewajiban zakat terhadap harta tertentu, yaitu:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, …”. (Q.S Al Baqarah: 267)

Ayat pertama di atas menunjukkan lafadz atau kata yang masih umum ; dari hasil apa saja, “.. infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, ..” dan dalam ilmu fiqh terdapat kaidah “Al “ibrotu bi Umumi lafdzi laa bi khususi sabab”, “bahwa ibroh (pengambilan makna) itu dari keumuman katanya bukan dengan kekhususan sebab.” Dan tidak ada satupun ayat atau keterangan lain yang memalingkan makna keumuman hasil usaha tadi, oleh sebab itu profesi atau penghasilan termasuk dalam ketegori ayat di atas.

Kesimpulan
1. Zakat profesi disebut juga zakat pendapatan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil pendapatan seseorang atau profesinya bila telah mencapai nishab.
2. Zakat profesi bukan bahasan baru
3. Zakat profesi sesuai fatwa MUI sejak tahun 2003

———————
Referensi Berdasarkan :

(1) Fatwa MUI tentang zakat penghasilan, dikeluarkan sejak tahun 2003
(2) Hukum Zakat hal. 469-472 dan 480-481 oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Cendikiawan Muslim Internasional, Presiden International Union of Muslim Scholars, Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian, dan Penerima Penghargaan Malaysia’s Hijra Award)
(3) Fikih Zakat Kontemporer oleh Dr. Oni Sahroni, dkk

Ditulis oleh:
Lembaga Amil Zakat Nasional Inisiatif Zakat Indonesia (IZI)
Jalan Raya Condet No 54 D-E Batu Ampar Jakarta Timur

Website: www.izi.or.id
Facebook: Inisiatif Zakat
Instagram: @inisiatifzakat
Twitter: @InisiatifZakat
Situs bayar zakat online termudah www.zakatpedia.com

KIBLAT NET

Fatwa Seputar Zakat Profesi

Menanggapi masukan dari pembaca muslim.or.id di Jakarta, menyatakan perlunya menampilkan bahasan tentang zakat profesi mengingat begitu maraknya pembicaraan tentang zakat ini dengan tidak disertai pemahaman dan ilmu yang mendasarinya. Berikut ini kami nukilkan fatwa-fatwa ulama berkaitan dengan zakat profesi diambil dari Majalah As-Sunnah edisi 006 tahun VIII 1424 H dikarenakan mendesaknya pembahasan tentang hal tersebut.

Zakat Gaji

Soal:
Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)?

Jawab:
Bukanlah hal yang meragukan, bahwa di antara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan.

Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebagai persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.

Berdasarkan itu maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.

Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’

Ketua:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Wakil ketua Lajnah:
Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah

Anggota:
Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
Syaikh Abdullah bin Mani’

Soal:
Saya seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dalam negeri. Gaji saya setiap bulan sebesar empat ribu riyal saudi. Termasuk uang sewa rumah sebesar seribu riyal Saudi. Apakah saya wajb mengeluarkan zakat harta? Jika wajib, berapakah jumlahnya? Perlu diketahui, bahwa tidak ada pemasukan sampingan bagi saya, kecuali gaji tersebut.

Jawab:
Apabila anda telah memiliki kecukupan atau kelebihan dari gaji bulanan Anda tersebut, maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab. Yaitu sekitar empat ratus riyal Saudi. Hal itu jika jumlah nishab tersebut telah berlalu satu haul (satu tahun). Apabila anda menyisihkan sejumlah uang dari gaji bulanan untuk ditabung, maka yang terbaik dan paling selamat adalah Anda mengeluarkan zakat dari uang yang Anda tabung itu pada bulan tertentu setiap tahunnya. Jumlahnya adalah dua setengah persen dari harta yang dimiliki. Semoga Allah memberi taufik kepada kita. (Fatwa Syaikh Bin Jibrin).

Zakat dari Gaji yang Sering Terpakai

Soal:
Apabila seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadangmasih tersisa sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya?

Jawab:
Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri ataupun ketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati.

Tetapi, apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu merupakan hal yang baik saja Insya Allah.

Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’

Ketua:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Wakil ketua Lajnah:
Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah

Anggota:
Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
Syaikh Abdullah bin Qu’ud

Zakat Harta dari Sumber yang Berbeda-Beda

Soal:
Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul?

Jawab:
Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing, pent).

Apabila sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil gabungannya.

Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal di antara kaidah yang ada dalam Islam adalah:

“……Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan……” (Qs. al Hajj: 78)

Sebab, seseorang – terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau pedagang – akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya, misalnya: hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun. Demikian seterusnya…, tentu hal itu akan sangat menyulitkan. (Fatwa Syaikh al Bani dari majalah as Shalah no. 5/15 Dzulhijjah 1413 dalam rubrik soal-jawab)

Soal:

1) Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul (satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya?

2) Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap kali menerima gaji, ia simpan di lemarinya. Dia memenuhi kebutuhan belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan, akan tetapi dengan jumlah yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana cara mengukur haul dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus ini? Padahal sebagaimana telah diterangkan di muka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun?

Jawab:
Karena pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada kasus-kasus senada, maka Lajnah Da’imah (lembaga fatwa ulama di Saudi Arabia), memandang perlu memberikan jawaban secara menyeluruh, supaya faidahnya dapat merata.

Barangsiapa yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang karenanya dikenai kewajiban zakat), kemudian memiliki tambahannya berupa uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang pertama, tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah (seperti uang yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang hasil warisan, hi ah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya).

Apabila ia ingin teliti menghitung haknya dan ingin teliti untuk tidak membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar perhitungan khusus bagi tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung masa haul(satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya, ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masing-masing, pada setiap kali mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikian harta tersebut.

Namun, apabila ia ingin enak dan menempuh cara longgar serta lapang diri untuk lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya, ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih menjaga hak-hak fakir miskin serta seluruh golongan penerima zakat.

Sedangkan jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab), uang yang sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di muka bagi uang yang belum mencapai haul.

Lajnah Da’imah li al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’

Wakil ketua Lajnah:
Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah

Anggota:
Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
Syaikh Abdullah bin Mani’

Zakat dari Harta yang disiapkan untuk Pernikahan (Suatu Keperluan)

Soal:
Saya adalah seorang pegawai di salah satu kantor pemerintahan (pegawai negeri). Setiap bulan saya menerima gaji sebesar empat ribu riyal. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, saya telah mengumpulkan uang sebanyak tujuh belas ribu riyal. Saya simpan uang tersebut di sebuah bank syari’at. Pada bulan Syawal, uang itu akan saya gunakan untuk biaya pernikahan- Insya Allah. Bahkan, saya terpaksa meminjam uang berkali-kali lebih banyak dari jumlah tabungan saya itu untuk keperluan acara pernikahan. Pertanyaan saya, apakah uang tabungan saya sebesar tujuh belas ribu riyal itu harus dibayarkan zakatnya? Sebagaimana dimaklumi, uang tersebut telah berlalu satu haul. Jika wajib dikeluarkan, berapakah jumlahnya?

Jawab:
Anda wajib mengeluarkan zakat dari uang tabungan anda itu. Sebab telah berlalu satu haul atasnya. Sekalipun anda menyiapkan uang itu untuk biaya nikah, untuk membayar hutang ataupun untuk renovasi rumah dan keperluan lainnya. Berdasarkan dalil-dalil umum yang berkenaan zakat emas dan perak serta yang sejenis dengan keduanya. Jumlah yang wajib dikeluarkan ialah dua setengah persen. Yaitu dua puluh lima riyal untuk setiap seribu riyal. (Syaikh bin Baz)

Soal:
Apakah uang tabungan dari gaji bulanan wajib dikeluarkan zakatnya? Sementara sudah sempurna satu haul atasnya. Perlu juga diketahui, bahwa uang tersebut tidak dibungakan dan akan digunakan untuk nafkah keluarga. Apakah wajib dikeluarkan zakatnya?

Jawab:
Benar, wajib dikeluarkan zakatnya jika telah sempurna satu haul. Sebab setiap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, tidak disyaratkan harus diniatkan untuk perniagaan. Oleh sebab itu pula, buah-buahan dan biji-bijian wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun tidak dipersiapkan untuk diperdagangnkan. Hingga sekiranya seseorang memiliki beberapa pohon kurma di rumahnya untuk dikonsumsi sendiri dan hasil buahnya telah mencapai nishab, tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula halnya, hasil pertanian dan lainnya yang wajib dibayarkan zakatnya. Begitu pula binatang ternak yang digembalakn di tempat-tempat penggembalaan, wajib dibayarkan zakatnya meskipun si pemilik tidak mempersiapkannya untuk diperjualbelikan.

Hasil tabungan dari gaji bulanan yang dipersiapkan untuuk nafkah juga wajib dikeluarkan zakatnya, bila telah mencukupi satu haul dan mencapai nishab.

Namun dalam hal ini, ada permasalahan rumit bagi kebanyakan orang. Uang yang mereka terima dari gaji bulanan atau dari penyewaan rumah atau toko yang harganya naik setiap bulan atau sejenisnya, disimpan dalam tabungan atau di bank. Kadang kala ia memasukkan uang dan kadangkala mengambilnya, sehingga sulit baginya menentukan manakah yang telah berlalu satu haul dari uang tabungannya itu.

Dalam kondisi demikian – menurut pendapat kami – bila sepanjang satu tahun tersebut uang tabungannya tidak kurang dari jumlah nishab, maka yang terbaik baginya ialah menghitung haul mulai dari awal jumlah uang tabungannya mencapai nishab. Kemudian mengeluarkan zakatnya bila telah genap satu haul.

Dengan demikian, ia telah mengeluarkan zakat uang tabungannya, baik yang sudah genap satu haul maupun yang belum. Dalam kondisi ini, uang tabungan yang belum genap satu haul, terhitung telah didahulukan zakatnya. Mendahulukan pembayaran zakat tentunya dibolehkan. Cara seperti ini tentu lebih mudah daripada setiap bulan menghitung haul uang tabungan. (Syaikh Ibn Utsaimin)

***

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/364-fatwa-seputar-zakat-profesi.html