Hukum Transgender Dalam Islam

Transgender Dalam Islam

Assalamualaikum ustadz….zaman ini marak transgender, bgmn hukum mnrt Islam ttg hal trsbt ya Ustadz? Syukron atas penjelasannya…

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Tercipta menjadi laki-laki atau perempuan, adalah takdir Allah, yang setiap keputusanNya selalu didasari rahmat, ilmu dan hikmah. Karena diantara sifat-sifat Allah adalah Ar-Rohim (Maha Penyayang), Al ‘Alim (Maha Mengetahui), Al Hakim (Maha Bijaksana). Setiap perbuatan Allah, adalah wujud dari sifat-sifatNya yang Maha Mulia.

Allah tahu mana makhlukNya yang lebih baik menjadi laki-laki dan mana yang lebih baik menjadi wanita. Maka kita sebagai manusia, yang sangat terbatas nalar dan ilmunya, sangat patut berserah diri kepada Tuhan kita, ridho sepenuhnya terhadap takdirNya.

Tekad Setan

Merubah-ubah ciptaan Allah, ternyata diantara visi yang direncanakan oleh setan dalam upayanya menyesatkan manusia.

Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa,

إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلاَّ إِناثاً وَإِنْ يَدْعُونَ إِلاَّ شَيْطاناً مَرِيداً لَعَنَهُ اللَّهُ وَقالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبادِكَ نَصِيباً مَفْرُوضاً وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذانَ الْأَنْعامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْراناً مُبِيناً

‘’Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka,yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya) dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa : 117-119)

Setan berjanji, akan membisikan kepada manusia, agar mereka mau merubah ciptaan Allah. Kemudian manusia itu, benar-benar akan merubahnya. Rencana Ini, tidak hanya isapan jempol saja, namun sudah nyata terjadi, setan benar-benar menunaikan tekadnya. Diantara buktinya adalah, adanya para lelaki yang merubah dirinya menjadi wanita. Dan sebaliknya, wanita yang merubah dirinya menjadi laki-laki, melalui berbagai upaya seperti operasi plastik dll.

Sebab Setan Senang

Mengapa yang seperti ini sangat diingankan oleh setan?

Jawabannya, terdapat di keterangan dalam Tafsir As-Sa’di berikut,

وذلك يتضمن التسخط من خلقته والقدح في حكمته واعتقاد أن ما يصنعون بأيديهم أحسن من خلقة الرحمن، وعدم الرضا بتقديره و بتدبيره

Perbuatan mengubah-ubah ciptaan Allah itu mengandung:

– Ketidak senangan terhadap penciptaan Allah.
– Celaan kepada hikmahNya.
– Keyakinan bahwa yang mereka ciptakan dengan tangan mereka sendiri, lebih baik dari penciptaan Allah.
– Serta tidak ridho kepada takdir Allah.
(Tafsir As-Sa’di / Taisir Kariim Ar Rahman, hal. 204)

Batasan Mengubah Ciptaan Allah

Dalam Fatawa Islam, dijelaskan batasan mengubah ciptaan Allah yang dilarang. Yaitu saat perubahan itu bersifat permanen.

وفي كلام القرطبي رحمه الله إشارة إلى ضابط ما يكون تغييرا لخلق الله ، وأنه التغيير الذي يبقى ويدوم

Pada pernyataan Qurtubi rahimahullah terdapat penjelasan batasan mengubah ciptaan Allah, yaitu perubahan yang sifatnya permanen. (https://islamqa.info/amp/ar/answers/129370)

Seorang selakukan operasi kelamin, untuk mengubah gendernya, jelaslah itu adalah termasuk merubah ciptaan Allah yang dilarang.

Jika Allah melaknat seorang yang merubah sedikit dari tubuhnya, dengan bertato, menyambung rambut atau menyambung alis matanya, padahal dia masih berstatus sebagai wanita, lantas bagaimana dengan mereka yang tidak hanya sekedar mengubah rambut atau alis mata, tapi sudah merubah status gendernya?!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari)

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

“Allah melaknat wanita yang menato, wanita yang minta ditato, wanita yang menghilangkan bulu di wajah, wanita yang merenggangkan giginya agar terlihat cantik, serta wanita yang mengubah ciptaan Allah” (HR. Bukhari)

Jika sekedar menyerupai lawan jenis dalam lahiriyah mereka, seperti meniru gerak-gerik, intonasi bicara atau berpakaian layaknya lawan jenis, itu dapat mengundang laknat Allah. Lantas bagaimana dengan perbuatan yang tidak hanya sekedar meniru, tapi sudah melakukan perpindahan kelamin?!

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari 5885).

Adanya ancaman laknat, adalah diantara ciri dosa besar. Para ulama menerangkan,

كل ما لعن الله ورسوله فهو كبيرة

Setiap dosa yang diancam laknat Allah dan RasulNya, adalah dosa besar. (Lihat : Ad-Da’ wad Dawa’ hal. 293)

Dari paparan di atas, kita bisa menyimpulkan jelas, bahwa hukum transgender dalam Islam sangat diharamkan. Pengharaman ini semata karena sayang dan cinta kepada manusia. Bukan untuk mengekang atau merebut kebahagiaan mereka. Agar mereka kembali kepada jati dirinya yang sesungguhnya.

Allah berfirman,

طه ، مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ

Thoha, Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu bukan untuk membuatmu susah. (QS. Thoha : 2)

Bukan untuk menyusahkanmu, artinya Al-Qur’an diturunkan, untuk membuatmu hidup bahagia.

Manusia makhluk yang banyak kekurangan. Seringkali nalar kita keliru dalam menilai sesuatu. Kita pandang baik namun ternyata berbahaya untuk kita. Kita pandang menaikkan martabat, namun ternyata justeru menghinakan kita. Oleh karenanya, kita perlu bimbingan Tuhan yang maha hikmah, maha tahu dan maha sayang kepada kita. Kita, layaknya anak kecil yang senang bermain api. Namun sang ayah yang sayang dan tahu bahaya api, akan menegur sang anak dengan penuh kelembutan.

Demikian.
Wallahua’lam bis showab..

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35610-hukum-transgender-dalam-islam.html

Pekerjaan Paling Utama di Mata Rasulullah

PEKERJAAN apakah yang paling baik dan paling mulia? Melalui empat hadis sahih ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkannya kepada kita.

Dari Said bin Umair dari pamannya, dia berkata,

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua pekerjaan yang baik.” (HR. Baihaqi dan Al Hakim; shahih lighairihi)

Dari Khalih, ia berkata,

“Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab, “perniagaan yang baik dan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri” (HR. Al Bazzar dan Thabrani dalam Al Mujam Kabir; shahih lighairihi)

Dari Ibnu Umar, ia berkata,”

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perniagaan yang baik.” (HR. Thabrani dalam Al Mujam Kabir; shahih)

Dari Rafi bin Khadij, ia berkata,

“Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.” (HR. Ahmad dan Al Bazzar; shahih lighairihi)

Dari keempat hadis tersebut, meskipun kadang Rasulullah ditanya dengan istilah “pekerjaan yang paling baik” dan kadang ditanya dengan istilah “pekerjaan yang paling utama”, ternyata jawaban beliau hampir sama. Yakni pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan perniagaan yang baik.

Pekerjaan dengan tangan sendiri maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang tanpa meminta-minta. Pekerjaan itu bisa berupa profesi sebagai tukang batu, tukang kayu, pandai besi, maupun pekerjaan lainnya. Dalam hadis yang lain dicontohkan pekerjaan seseorang yang mencari kayu bakar. Profesi dokter, arsitek, dan sejenisnya di zaman sekarang juga termasuk dalam hadis ini.

Sedangkan perniagaan yang baik maksudnya adalah perniagaan atau perdagangan yang bersih dari penipuan dan kecurangan. Baik kecurangan timbangan maupun kecurangan dengan menyembunyikan cacatnya barang yang dijual.

Jadi, dalam Islam, pekerjaan apapun baik. Pekerjaan apapun bisa menjadi pekerjaan paling baik. Asalkan halal dan bukan meminta-minta. Baik menjadi karyawan, profesional, pebisnis maupun pengusaha, semua punya peluang yang sama. []

Sumber : bersamadakwah/ Shahih At-Targhib wa At-Tarhib dan Maktabah Syamilah

INILAH MOZAIK

Yang Jadi Pembantu Rasulullah Sejak Usia 9 Tahun

ANAS bin Malik radhiallahu anhu, adalah diantara daftar pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Selama hampir 9 tahun lamanya, sejak di usia 10 tahun, beliau melayani Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Berikut testimoni sahabat Anas:

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak), beliau menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat. Sementara batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah.

Aku pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang tengkukku dari belakang. Aku lihat beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda: “Hai Anas, berangkatlah seperti yang aku perintahkan.” “Ya, saya pergi sekarang ya Rasulullah.” Jawab Anas.

Beliau memberi kesan: Demi Allah, aku telah melayani Nabi shallallahu alaihi wa sallam selama 7 atau 9 tahun. Saya belum pernah sekalipun beliau berkomentar terhadap apa yang aku lakukan: “Mengapa kamu lakukan ini?”, tidak juga beliau mengkritik: “Mengapa kamu tidak lakukan ini?” (HR. Muslim 2310 dan Abu Daud 4773).

Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap kebutuhan pembantunya. Bahkan sampai pada menyemangati untuk menikah.

INILAH MOZAIK

Rajinlah Membaca: Yaa Dzal Jalaali wal Ikram

Ya dzal jalali wal ikram bisa digunakan dalam doa, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintah demikian.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Ad-Da’awaaat (16. Kitab Kumpulan Doa)

بَابُ الأَمْرِ بِالدُّعَاءِ وَفَضْلِهِ وَبَيَانِ جُمَلِ مِنْ أَدْعِيَّتِهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –

Bab 250. Perintah untuk berdoa dan keutamaan berdoa serta penjelasan beberapa doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hadits #1491

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( أَلِظُّوا بِـ ( يَاذا الجَلاَلِ والإكْرامِ ) )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَرَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ رِوَايَةِ رَبِيْعَةَ بْنِ عَامِرٍ الصَّحَابِي ، قَالَ الحَاكِمُ : (( حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الإِسْنَادِ )) .

(( أَلِظُّوا )): بِكَسْرِ اللاَّمِ وَتَشْدِيْدِ الظَّاءِ المُعْجَمَةِ ، مَعْنَاهُ : اِلزَمُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ وَأكْثِرُوا مِنْهَا .

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Selalulah kalian membaca dengan doa, ‘YAA DZAL JALAALI WAL IKROM (wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan).’” (HR. Tirmidzi dan An-Nasai dari riwayat sahabat Rabi’ah bin ‘Amir. Al-Hakim berkata sanadnya sahih) [HR. Tirmidzi, no. 3525. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syawahidnya, karena ada penguatnya].

Lafal alizhzhu dengan kasrahnya lam dan tasydidnya zha’ mu’jamah, artinya: jagalah selalu doa ini dan sering-seringlah mengucapkannya.

Faedah hadits

  1. Kita diperintahkan untuk memperbanyak dan menjaga bacaan ini karena di dalamnya mengandung pujian yang sempurna pada Allah Ta’ala dan sifat yang mulia bagi Allah.
  2. “Yaa dzal jalaali wal ikrom” mengandung sifat rububiyah dan uluhiyah, artinya Allah itu agung dan mulia dalam segala perbuatannya, sehingga Allah yang layak untuk disembah.
  3. Sebagian ulama menyatakan bahwa “Yaa dzal jalaali wal ikrom”, nama yang disebut termasuk dalam al-ismu al-a’zhom (nama Allah yang Agung). Namun Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly hafizhahullah tidaklah menyetujui hal ini.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22933-rajinlah-membaca-yaa-dzal-jalaali-wal-ikram.html

Hadis Maudhu (Palsu) dan Larangan Mengamalkannya

Ustadz Apa itu hadis maudhu dan ciri2nya, apakah hadis maudhu yg secara matan shahih bisa diamalkan ? Syukron

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya . Amma Ba’du:

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada berita bombastis tentang sepeda Nabi Adam yang dijadikan pajangan di kota Jeddah, Saudi Arabia. Dikatakan oleh sebagian yang berkunjung ke kota tersebut, bahwa itulah sepeda Nabi Adam, begitu ceritanya. Cukup satu pertanyaan untuk menjelaskan, sejak kapan sepeda dibuat?

Dan sekarang ini bisa kita lihat, mulai sabun cuci sampai mesin suci ada label syar’i, mulai dari tanah sampai rumah mendapat stempel sunnah; mengingatkan pada zaman dulu bahwa salah satu sumber hadits-hadits palsu adalah para pedagang. Diantara hadits palsu yang banyak disebut para penuntut ilmu waktu itu adalah hadist tentang keutamaan terong.

Untuk memahami hadits palsu, kita harus memahami apa arti hadits yang asli dengan baik, sehingga kita bisa membedakan hadits asli dari yang palsu.

Hadits adalah perkataan, perbuatan, persetujuan (perkataan atau perbuatan shahabat disetujui oleh Nabi) dan sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits palsu artinya menisbatkan (menyandarkan) suatu perkataan, berbuatan, pengakuan atau sifat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal itu tidak dikatakan, tidak dilakukan, bukan merupakan persetujuan dan bukan merupakan sifat Nabi. Jadi, menisbatkan sesuatu kepada Nabi yang bukan merupakan darinya adalah hadits palsu.

Bagaimana kalau perkataan itu adalah perkataan yang baik dari seorang shahabat atau seorang ulama kemudian disandarkan kepada Nabi?

Tetap hadist palsu walaupun maknanya baik, karena yang palsu disini adalah penisbatan (penyandaran).

Berbeda halnya dengan Hadist Dhoif, yaitu hadits yang lemah penyandaran kepada Nabi, dan penisbataannya kepada Nabi adalah salah atau tidak kuat, dan hal itu karena kesalahan bukan kesengajaan. Bedanya dengan hadits palsu adalah bahwa hadits palsu diketahui bahwa itu bukan dari Nabi, akan tetapi tetap dinisbatkan kepada Nabi dengan sengaja

Maka hendaklah hati-hati yang menyandarkan sesuatu dengan sengaja kepada Nabi atau kepada sunnah (Nabi) padahal itu bukan darinya walaupun maknanya benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di Neraka” (Hadits Mutawatir diriwayatkan Bukhari no. 1229, dll.).

Darimana kita mengetahui bahwa hadits itu palsu?

Kita mengetahui hadits itu palsu adalah dari penjelasan para ulama, diantaranya Imam Ibnul Jauzi mengarang kitab Al-Maudhu’at, kumpulan hadist-hadits palsu, untuk menjelaskan hal itu. Dan hadits menjadi palsu karena rawi di dalam sanadnya diketahui pernah sengaja berdusta atas nama Nabi, atau hadits tersebut tidak ada asal usulnya atau haditsnya dengan jelas bertentangan dengan al-Quran atau hadits shohih yang jelas, sehingga tidak mungkin bersumber dari Nabi.

Ibnu Qayyim al-jauziyah menyebutkan di dalam kitabnya al-Manar al-Munif 19 ciri-ciri hadits palsu, di antaranya adalah:

  1. Bertentangan dengan ayat al-Quran secara jelas, seperti hadits palsu: “Umur Dunia 7000 tahun, dan kita berada pada tahun yang ke-7000”. Bertentangan dengan ayat-ayat yang menjelaskan hanya Allah ta’ala yang mengetahui tentang waktu kejadian Hari Kiamat.
  2. Bertentangan dengan hadits yang shohih, seperti hadits palsu yang menjelaskan bahwa yang bernama Muhammad atau Ahmad tidak akan masuk Nereka, padahal sangat jelas di dalam hadits Nabi bahwa yang menyelamatkan seseorang itu adalah amalannya.
  3. Memiliki makna yang terlalu berelebihan, seperti Allah menciptakan seekor burung  yang memiliki 70 ribu lisan, setiap lisan bisa berbicara dalam 70 ribu Bahasa.
  4. Bertentangan dengan realita, seperti hadits palsu:”Terong menyembuhkan segala jenis penyakit”
  5. Maknanya tidak pantas dan hanya menjadi bahan ejekan, seperti hadits palsu:”Seandainya beras itu adalah seorang laki-laki, maka dia adalah seorang yang lembut, tidak ada yang memakannya kecuali menjadi kenyang”.
  6. Menyerupai resep dokter, seperti hadits palsu:”Al-Harisah (makanan) menguatkan punggung”

Ini adalah sebagian ciri yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya.

Apakah hadits palsu bisa diamalkan kalau maknanya shohih?

Sumber Syariat Islam adalah Al Quran dan Sunnah, kalau ada kata atau makna yang bagus bukan dari keduanya maka bukan bagian dari Islam dan tidak boleh diamalkan sebagai ibadah.

Akan tetapi kalau yang dimaksud bahwa hadits palsu tapi secara makna shohih, dalam arti makna yang terkandung di dalamnya adalah sesuai atau serupa dengan Ayat atau hadits yang lain. Hadits palsu tersebut tetap tidak boleh diamalkan, tapi kita beramal dengan ayat atau hadits shohih yang menunjukkan kepada makna tersebut.

Kita ulangi lagi, bahwa hadits palsu itu adalah palsu walau kandungan isinya bagus, karena maksud dari palsu itu adalah palsu penisbatan (penyandaran) kepada Nabi.

Hendaklah kita terus belajar, karena di zaman sekarang hadits palsu tersebar dengan mudah, dan banyaknya hadits-hadits palsu baru yang bermunculan.

Semoga Allah taala selalu memberi taufik kepada kita untuk mengamalkan hadits yang shohih dan mengetahui hadits-hadits palsu, dan mampu menjelaskan tentang hadits palsu kepada umat. Amiin…!!

Read more https://konsultasisyariah.com/36006-hadis-maudhu-palsu-dan-larangan-mengamalkannya.html

Menghadiri Undangan Natal

Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 11427: http://islamqa.com/ar/11427

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19237-menghadiri-undangan-natal.html

Abu Darda Menyesal Terlambat Menjadi Muslim

Setelah menjadi Muslim, gaya hidup Abu Darda berubah total

Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman akrab tersebut berbeda jalan.

Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.

Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.

“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.

Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.

Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya. Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.

Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.

Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda  bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”

Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”

Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”

“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.”

Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus.

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Dada Rasulullah SAW Pernah Dibelah?

Kisah dada Rasulullah SAW dibelah diperdebatkan antarulama.

Umat Islam pasti mendengar kisah pembelahan dada Nabi Muhammad SAW, baik ketika masih kecil maupun saat malam Miraj. 

Namun, menurut pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, yang juga pakar tafsir Indonesia, Prof M Quraish Shihab, kesahihan sumber-sumber kisah itu diperdebatkan dan perincian kandungannya berbeda pula.  

Dalam kitab  Musnad Imam Ahmad, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, Abdullah Putra Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa sahabat Nabi SAW, Ubay bin Ka’ab menuturkan, Abu Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?”  

Rasulullah Menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, (dan kulihat) ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia!’.

Kedua orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah kulihat dipakai sebelumnya.  

Mereka berdua menghampiriku hingga memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu salah seorang berkata kepada temannya, ‘Berbaringlah!’. Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik (dengan keras) dan tidak juga mematahkan.  

Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’. Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, ‘keluarlah kedengkian dan iri hati!’. Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak.”  

Dalam buku berjudul “M Quraish Shihab Menjawab” dijelaskan bahwa tidak sedikit ulama yang menilai hadis tersebut sebagai hadits dhaif atau lemah. Di sisi lain ada sebagian ulama yang memahami ayat 1 dalam surah al-Insyirah sebagai ayat yang berbicara tentang pembelahan dadan Nabi Muhammad SAW.   

Ayat tersebut berbunyi: “Alam nasyrah laka shadrak.”  Bagi mereka, terjemahan ayat itu adalah, “Bukankah Kami telah membelah dadamu?”   

Seorang ulama tafsir, an-Naysaburi, memahami kata “nasyrah” itu dalam arti “pembedahan” yang menurutnya pernah dilakukan  para malaikat pada diri Nabi Muhammad SAW, baik ketika beliau remaja maupun ketika beberapa saat sebelum beliau melakukan Isra dan Miraj.  

Namun, Prof Quraish, cenderung tidak memahaminya demikian. Berdasarkan pengamatannya terhadap penggunaan kata “syaraha” yang terulang sebanyak lima kali dalam Alquran, ternyata tidak mendukung penafsiran yang demikian.  

Menurut Quraish, tidak ada ayat Alquran yang mengandung penafsiran pasti terkait pembedahan tersebut. Hadis Nabi pun hanya bersifat informasi perorangan. Karena itu, menurut dia, tidaklah wajib bagi seorang Muslim untuk mempercayai kisah pembelahan dada Nabi Muhammad tersebut.  

KHZANAH REPUBLIKA


Karena Tidak Ikhlas

SAUDARAKU, salah satu sebab yang membuat hidup kita terasa berat adalah keikhlasan. Bagi orang yang tidak ikhlas, pekerjaan kecil pun menjadi terasa berat.

Seperti sekadar memindahkan cangkang permen yang tergeletak sembarangan ke dalam tempat sampah. Ini pekerjaan ringan, namun jika tidak ikhlas maka berat rasanya. Orang yang tidak ikhlas akan berharap-harap ada orang lain melihatnya ketika dia memindahkan cangkang permen itu, sehingga ia pun terlihat sebagai orang baik. Namun, ketika tenyata tidak ada orang yang melihatnya, ia merasa rugi dan menyesal telah melakukan hal tersebut.

Betapa berat hidup ini rasanya bagi orang yang tidak ikhlas. Ke mana-mana yang dicari adalah penilaian makhluk. Amal yang dilakukan berharap mendapatkan imbalan. Kebaikan yang dilakukan berharap balas jasa. Sedekah yang dikeluarkan berharap sanjungan. Ketika yang diharapkan itu tidak ada, maka hati pun resah gelisah jauh dari rasa bahagia.

Selain membuat hidup ini terasa berat, ketidakikhlasan juga mendatangkan dosa karena tidak ikhlas atau riya (ingin amal dilihat orang lain) adalah salah satu ciri kemunafikan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisaa [4]: 142)

Riya sungguh hal yang sangat merugikan bagi kita. Membuat hidup ini terasa sempit, dan amal perbuatan menjadi sia-sia tidak bernilai. Sebesar apa pun amal kita jika dilakukan dengan tidak ikhlas, mencari penghargaan makhluk, maka tidak ada catatan kebaikan baginya.

Tentunya kita masih ingat pesan dari Rasulullah tentang tiga orang yang kelak akan diperiksa amal perbuatannya di hadapan Allah. Ketiga orang ini adalah sosok-sosok yang luar biasa ketika di dunia. Mereka adalah seorang yang mati di medan perang ketika membela agama Allah, yang kedua adalah seorang yang berilmu dan pembaca al-Quran, dan yang ketiga adalah orang kaya yang gemar bersedekah. Di hadapan Allah, ketiganya mengakui mereka berbuat secara ikhlas mengharap rida-Nya.

Tetapi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Ternyata mereka beramal dengan tidak ikhlas. Mereka ingin dipandang oleh orang lain sebagai orang yang hebat, orang yang baik, berilmu, dan dermawan. Yang mereka cari adalah rasa cinta dari manusia, bukan dari Allah SWT. Maka, ketiga orang ini pun dimasukkan ke dalam neraka. Betapa besar bahayanya jika kita tidak ikhlas.

Saudaraku, pondasi dari akhlak mulia seseorang adalah ikhlas. Ikhlas wajib kita miliki. Karena tanpa keikhlasan, sehebat apa pun amal, maka bagaikan jasad tanpa ruh. Tidak ada nilainya sama sekali.

Ikhlas adalah bukti ketauhidan. Orang yang yakin kepada Allah, maka ia merasa hanya cukup mendapatkan pemberian dan penilaian dari Allah semata. Semakin ia yakin kepada Allah, maka ia semakin ikhlas dalam beramal kebaikan. Sebaliknya, kalau semakin tipis keyakinan kepada Allah, maka semakin besar pengharapan kepada penilaian dan pemberian makhluk. Padahal semakin seseorang berharap kepada makhluk, semakin jauh dia dari Allah SWT, semakin jauh dia dari kebahagiaan, dan semakin kering setiap amalnya.

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk belajar ikhlas. Wajib bagi kita untuk berlatih sekuat tenaga agar ikhlas. Dan, wajib bagi kita menjaga keikhlasan. Ada lima langkah yang bisa kita lakukan untuk melatih keikhlasan:

Pertama, jangan berharap diketahui orang lain jika kita beramal. Namun, kalau memang ada yang tahu atau ada yang melihat, maka tidak apa-apa. Hanya saja pastikan di dalam hati kita untuk puas hanya dengan penilaian Allah SWT. Tidak perlu berharap orang lain tahu, apalagi sengaja mendramatisir keadaan supaya orang lain mengetahui. Memang benar, ada amal yang pada keadaan tertentu perlu diketahui orang lain, tetapi dalam keadaan demikian pun tancapkanlah dalam hati bahwa cukup penilaian Allah yang memuaskan kita.

Kedua, jangan ingin dilihat orang lain saat beramal. Orang lain melihat atau tidak, itu bukanlah masalah. Karena yang terpenting dari semua itu adalah kita hanya berharap pandangan Allah SWT. Sehingga kita bisa nilai hati kita ikhlas ataukah tidak dengan cara begini; kalau kita semangat beramal saat dilihat orang lain dan tidak semangat saat tidak dilihat orang lain, maka itu ciri kita tidak ikhlas.

Ketiga, jangan ingin dipuji orang lain saat beramal. Pujian dan cacian itu sama saja dengan suara ember yang jatuh. Hanya berupa getaran udara yang sampai ke gendang telinga kita. Tidak ada apa-apanya sama sekali. Bahkan malah bisa mengotori hati kalau kita tidak hati-hati. Orang yang hanya mendambakan pujian dari Allah, ia akan ringan menjalani hidup ini.

Keempat, jangan ingin dihargai orang lain. Penghargaan manusia adalah cobaan. Sedangkan penghargaan dari Allah SWT adalah karunia.

Kelima, jangan ingin diberi balasbudi. Karena sesungguhnya karunia Allah tidak akan meleset! Allah Maha Melihat siapa di antara hamba-Nya yang tulus berbuat baik, tulus beramal. Allah Maha Mencatat setiap kebaikan sekecil apa pun, dan Allah Maha Membalas. Jika Allah menghendaki, apa yang memang untuk kita, pasti akan sampai kepada kita, tanpa bisa dihalangi oleh apa dan siapa pun.

Allah SWT berfirman, “Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. al-Fath [48]: 28)

Cukuplah Allah sebagai saksi bagi setiap amal kita. Cukuplah Allah sebagai penjamin rezeki kita. Selamat menikmati kebahagiaan karena hati yang penuh keikhlasan. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kita petunjuk dan pertolongan dalam menjalani hidup di dunia ini. Aamiin yaa Rabbalaalamiin. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Makna Hadis “Bukan Bagian dari Golonganku”

Apa arti dari ungkapan dalam hadis, “bukan termasuk golonganku”

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat banyak hadis yang menyebutkan ancaman dalam bentuk kalimat semacam ini. Diantaranya,

hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ

“Bukan bagian dari golonganku, orang yang menipu” (HR. Ahmad 7292, Abu Daud 3454, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan masih banyak hadis lainnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna kalimat, “bukan bagian dari golonganku..

[1] Bukan pengikut sunahku.

[2] Tidak di atas agama yang sempurna.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan makna kalimat ini,

ليس منا: أي من أهل سنتنا وطريقتنا، وليس المراد به إخراجه عن الدين، ولكن فائدة إيراده بهذا اللفظ المبالغة في الردع عن الوقوع في مثل ذلك، وقيل المعنى ليس على ديننا الكامل أي أنه خرج من فرع من فروع الدين وإن كان معه أصله.

‘Bukan bagian dari goloanganku’ artinya bukan termasuk orang yang mengamalkan ajaranku dan mengikuti jalanku. Dan bukan maksudnya mengeluarkan pelakunya dari agama. Namun manfaat adanya lafadz ini adalah memperkeras calaan, agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran semacam ini. Ada juga yang mengatakan, makna kalimat ini adalah dia tidak berada di atas agamaku yang sempurna. Artinya, dia telah meninggalkan salah satu cabang agama, meskipun bagian yang paling prinsip dalam agama tetap ada pada dirinya. (Fathul Bari, 3/163)

Disini kita perlu memahami perbedaan antara ancaman dan konsekuensi ancaman. Ketika orang tua mengingatkan kepada anak-anaknya, siapa yang tidak pulang saat idul fitri, bukan anakku.

Ketika ada anak yang tidak hadir ke rumah ortu saat idul fitri, bukan berarti hubungan dia dengan ortunya menjadi putus. Dalam arti, anak tetap anaknya. Hanya saja, kalimat ini menunjukkan kalimat celaan yang sangat tegas.

Demikian. Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/36042-makna-hadis-bukan-bagian-dari-golonganku.html