Apakah Kita Bersungguh-Sungguh dalam Ibadah?

SEBAGAI Muslim, kita tentu patut meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan serius dan sungguh-sungguh, tanpa pernah bermain-main; terutama dalam urusan ibadah, dakwah, dan jihad.

Dalam urusan ibadah, kita tahu, Nabi Muhammad adalah orang yang paling banyak melakukannya. Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat malam, bahkan hingga kakinya sering bengkak-bengkak karena lamanya berdiri ketika shalat.

Nabi pun orang yang paling banyak berpuasa, bahkan puasa wishal, karena begitu seringnya Beliau tidak menjumpai makanan di rumahnya. Nabi juga adalah orang yang paling banyak bertobat, tidak kurang dari 100 kali dalam sehari. Padahal beliau adalah orang yang ma’shum (terpelihara dari dosa) dan dijamin masuk surga.

Meski tidak sehebat Rasulullah, para Sahabat adalah orang-orang yang paling istimewa ibadahnya setelah beliau, tidak ada yang melebihi mereka. Mereka, misalnya, adalah orang- orang yang paling banyak mengkhatamkan alquran, paling tidak sebulan sekali, bahkan ada yang kurang dari itu.

Menurut Utsman bin Affan, banyak Sahabat yang mengkhatamkan alquran seminggu sekali. Mereka antara lain Abdullah bin Mas ud, Ubay bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit. Ustman sendiri sering mengkhatamkan alquran hanya dalam waktu semalam. Itu sering ia lakukan dalam shalat malam.

Semua itu menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa serius dan bersungguh-sungguh dalam urusan ibadah; mereka tidak pernah main-main.

Bagaimana dengan dakwah mereka? Jangan ditanya Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang telah menjadikan dakwah sebagai jalan hidup sekaligus jalan kematian mereka. Dengan kata lain, mereka hidup dan mati untuk dakwah.

Sebagian besar usia mereka, termasuk harta dan jiwa mereka, diwakafkan di jalan dakwah demi menegakkan kalimat–kalimat Allah ‘Azza wa Jalla.

Bagaimana dengan jihad mereka? Para Sahabat, sebagaimana sering diungkap, adalah orang- orang yang mencintai kematian (di jalan Allah) sebagaimana orang-orang kafir mencintai kehidupan.

Amr bin Jamuh hanyalah salah seorang sahabat, di antara ribuan sahabat, yang mencintai kematian itu. Dikisahkan, ia adalah orang yang sering dihalang-halangi untuk berjihad oleh saudara-saudaranya karena kakinya pincang. Rasul pun telah membolehkannya untuk tidak ikut berjihad karena udzur-nya itu.

Namun, karena keinginan dan kecintaannya yang luar biasa pada syahadah (mati syahid), ia terus mendesak Rasulullah agar mengizinkannya berperang. Akhirnya, Rasul pun mengizinkannya. Dengan penuh kegembiraan, Amr pun segera berlari menuju medan perang, berjibaku dengan gigih melawan musuh, hingga akhirnya terbunuh sebagai syahid.

Itulah secuil fragmen keseriusan dan kesungguhan salafusshalih dalam menjalani kehidupannya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita serius dan bersungguh-sungguh dalam hidup ini? Ataukah kita masih mengisi hidup ini dengan main-main?

Na udzu billah min dzalik! Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

INILAH MOZAIK

Meneladani Semangat Para Ulama dalam Menuntut Ilmu

Sudah berapa juz Al Qur’an yang anda hafal?

Sudah berapa hadits yang anda hafal?

Berapa bab fiqih yang sudah anda kuasai?

Berapa kitab para ulama yang sudah khatam anda pelajari?

Sudah sejauh apa kita memahami agama kita ini..?

Semoga Allah menolong kita agar kita tidak termasuk orang-orang yang berpangku tangan, bermalas-malasan dan lalai dari mempelajari ilmu agama. Semoga juga kita bukan orang-orang yang belajar agama ala kadarnya dan seadanya, padahal ilmu agama ini begitu penting lebih penting dari makan dan minum. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Manusia lebih membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap waktu, sedangkan mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali atau dua kali dalam sehari” (Thabaqat Al Hanabilah, 1/390)

Kita perlu bercermin kepada para ulama salaf, yang telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, kita simak bagaimana mereka menuntut ilmu dan renungkanlah dimana kita dibanding mereka?

Semangat Mendatangi Majelis Ilmu

Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).

Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).

Semangat Belajar Dalam Keterbatasan

Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).

Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).

Semangat Mencari Ilmu Walaupun Harus Melakukan Perjalanan Jauh

Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).

Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).

Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz, 2/630).

Rela Membelanjakan Banyak Harta Demi Ilmu

Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209)

Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)

Ali bin Ashim bercerita, “ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi, 1/317).

Demikianlah para ulama kita. Semoga Allah membakar semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun tidak bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka. Allahumma yassir wa a’in.

Referensi utama:  buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, terjemahan kitab “Kayfa tatahammas fi thalabil ‘ilmi asy syar’i” karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah, penerbit Elba Surabaya

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18868-meneladani-semangat-para-ulama-dalam-menuntut-ilmu.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu 5 : Jalur yang Tepat

Bismillah…

Setiap tempat tujuan memiliki jalur yang menghantarkan pelancong ke sana. Setiap cita-cita ada jalan yang menghantarkan para pejuang untuk meraihnya. Demikian pula ilmu. Syekh Sholih Al-‘Ushoimi (Pngajar di dua masjid suci : Masjidil Haram dan masjid Nabawi) menasehatkan,

وإن للعلم طريقا من أخطأها ضل ولم ينل المقصود, ربما أصاب فائدة قليلة مع تعب كثير

“Ilmu itu memiliki jalur, yang siapa keliru memilih jalur, dia tidak akan sampai tujuan. Sehingga bisa jadi dia telah banyak lelah, namun ilmu yang didapat sedikit.” (Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, hal. 19)

Seperti saat anda pergi ke suatu tempat, lalu tersesat. Sehingga berjalan berkali-kali lipat dari jalan yang sebenarnya. Lelah dan menghabiskan banyak waktu. Itulah gambaran akibat dari tidak mengetahui cara yang benar dalam belajar.

Apa Gerangan Jalan yang Tepat Meraih Ilmu?

Syekh Muhammad Murtadho bin Muhammad Az-Zubaidi, penulis kitab Tajul ‘Arus mengungkapkan metode yang tepat dalam menuntut ilmu agama dalam bait syair karyanya,

فما حوى الغاية في ألف سنة                شخص فخذ من كل علم أحسنه

بحفــظ متن جامعٍ للراجــــــحِ                تأخذه على مفيد ناصـــــــــــــحِ.

Tak mungkin semua cita-cita dapat seorang raih, meski berjuang seribu tahun.

Maka ambillah yang terbaik dalam setiap disiplin ilmu.

Dengan menghafal matan yang terbaik.

Lalu engkau pelajari di hadapan guru yang mufid dan nashih.

Maka jalur yang benar dalam belajar ilmu agama, ada di dua hal berikut :

Pertama, Menghafal matan – matan ilmiyah terbaik untuk setiap cabang ilmu. 

Matan adalah, kitab-kitab ringkas yang berkaitan disiplin ilmu agama. Seperti al Ajurrumiyah dalam ilmu nahwu, Ushul Tsalatsah dalam ilmu akidah, al Waroqot dalam ilmu Ushul Fikih, Nazom Al Baiquni dalam ilmu hadis dst.

Karena menuntut ilmu tak bisa lepas dari aktivitas menghafal. Sampai Syekh Sholih Al-‘Ushoimi rahimahullah menegaskan,

فمن ظن أنه ينال العلم بلا حفظ فغنه يطلب محالا

“Siapa yang menduga bahwa ilmu pengetahuan itu dapat diraih tanpa menghafal, makai a sedang mencari sesuatu yang mustahil.” Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, hal. 20)

Kedua, kuasai matan-matan ilmiyah itu dengan belajar di hadapan guru yang punya dua sifat ini :

  • Mufid / ifadah.

Artinya kapabel, atau benar-benar mengilmui ilmu yang akan kita ambil darinya.

  • Nashih / nashihah.

Artinya sosok guru yang padanya ada dua kriteria :

  1. Akhlaknya layak dijadikan teladan
  2. Mengetahui cara yang hikmah dalam mengajarkan ilmu. 

Dia menguasai metode menyampaikan ilmu yang mudah dipahami murid dan dia bisa mengajarkan ilmu yang paling susuai dibutuhkan anak didiknya. 

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa mencari ilmu itu harus dengan talaqi kepada guru yang mumpuni. Maksudnya talaqi, kita harus datang ke kajian, duduk menyimak mencatat memahami ilmu yang disampaikan oleh guru kita. Tidak bisa ilmu ini hanya di dapat memalui video singkat yang kita dapat di pesan sosmed, beranda sosmed atau di youtube. Meski tak bisa dipungkiri, di situ juga ada manfaat. Namun itu hanya penunjang belajar, bukan cara belajar yang pokok. Kecuali mereka yang berada di kindisi mendesak, seperti tak ada guru di tempat ia tinggal yang layak diambil ilmunya, itu lain cerita. Seorang untuk dapat benar-benar meraih ilmu, harus siap merendahkan hati dan berjuang, belajar di hadapan guru.

Dalil metode ini adalah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud no. 3659 dalam Sunannya, dengan sanad yang kuat. Dari Ibnu Abbad radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

تسمعون ويسمع منكم ويسمع ممن يسمع منكم

Sekarang kalian menyimak ilmu. Lalu nanti orang-orang akan menyimak ilmu dari kalian. Lalu orang-orang akan menyimak ilmu dari murid-murid kalian.

Demikian…

Smeoga diterima oleh Allah sebagai ilmu bermafaat yang menjadi pahala jariyah.

Jogja, 6 Jumadil Awal 1441 H

Penulis: Ustadz Ahmad Anshori, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53709-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-5-jalur-yang-tepat.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu 4: Jangan Mubadzirkan Semangat Belajarmu

Bismillah…

Mubadzir itu, saat kita kerahkan semua minat dan semangat belajar, hanya kepada ilmu-ilmu duniawi, tanpa sedikitpun dikerahkan untuk belajar ilmu agama.

Sangat merugi, ketika kita ahli di suatu bidang duniawi, bertahun-tahun giat mempelajari, tapi kita tidak tahu apa pentingnya tauhid? Apa bahayanya syirik? Apa makna Laa ilaa ha illallah? Bagaimana cara sholat yang benar? Zakat yang benar? Puasa yang benar? Apa hari kiamat, surga dan neraka?

Ini kenyataan yang harus disesali dan segera diakhiri. Karena seharusnya kita tersindir dengan ayat ini…

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai. (QS. Ar-Rum : 7)

Pesan ini bukan untuk melemahkan semangat belajar ilmu-ilmu duniawi.(1)
Namun… untuk mengingatkan tentang skala prioritas dalam belajar. Jangan abaikan Ilmu yang menjadi kewajiban mu. Ilmu yang akan membantumu dapat menjawab pertanyaan kubur nanti.

Karena kita menyadari bahwa dunia ini sebentar, umur kita di dunia terbatas. Yang kekal dan perlu bekal banyak adalah kehidupan setelah ini. Tak mungkin kita bisa maksimal dan efektif dalam mengumpulkan bekal itu, kalau tidak pakai ilmu.

Maka sangat diperlukan ilmu untuk mengetahui jalan yang Allah ridho dan yang tidak. Ilmu yang akan membentuk takwa, khosyah (rasa takut kepada Allah), mengharap rahmadNya, akhlak kepada Tuhan dan kepada sesama makhluk, cinta serta pengagungan kepada Tuhan semesta alam, dalam jiwa kita, melalui wahyu-wahyu yang Allah turunkan.. yang dengan karakter-karakter iman inilah, menjadi modal kita mengumpulkan bekal. Bahkan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jadi, silahkan belajar ilmu apa saja asal manfaat dan tidak menyelisihi syariat. Namun, jangan abaikan Ilmu tentang mengenal Tuhanmu, Nabimu dan agamamu. Berikan juga porsi minat dan semangat yang besar untuk ilmu ini.

Karena ilmu agama sebenarnya adalah sumber semua ilmu yang manfaat. Dan itu yang pokok dan wajib. Adapun selain ilmu itu, statusnya sebagai tambahan atau sarana membantu memantapkan agamamu. Maka bukan sikap yang bijak, saat seorang sibuk pada yang statusnya tambahan, lalu dia melalaikan yang pokok.

Syekh Sholih bin Abdullah Al ‘Ushoimi menegaskan,

إن كل علم نافع مرده إلى كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم، وباقي العلوم : إما خادم لهما فيؤخذ منه ما تتحقق به الخدمة أو أجنبي عنهما فلا يضر الجهل به

Semua ilmu yang manfaat, sumbernya adalah firman Allah (Alqur’an) dan sabda RasulNya shalallahu alaihi wa sallam (As-Sunnah). Adapun ilmu yang lain fungsinya adalah :
– bisa menjadi pembantu bagi ilmu Al Qur’an dan Sunnah, sehingga dipelajari sekadar tercapainya fungsi tersebut.
– Atau ilmu yang samasekali tidak berkaitan dengan Al Qur’an dan as Sunnah. Sehingga tidak mengetahuinya, tak membahayakan.

(Lihat : Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, hal. 19)

Ilmu yang Dominan Di Masa para Salaf

Dalam mencari teladan cara beragama, yang paling tepat adalah memutar waktu ke belakang, menengok bagaimana para sahabat, tabi’in dan para ulama klasik dahulu beragama. Karena mereka berada tidak jauh dari masa keemasan iman; masanya Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

Tepat sekali isi wasiat Imam Malik rahimahullah ini,

لن يُصلِحَ آخرَ هذه الأمة إلا ما أصلَحَ أولَها

Umat ini tidak akan menjadi baik, kecuali dengan sarana yang dapat menjadikan baik umat pertama mereka baik.

Karena orang yang cerdas dan bijak, selalu belajar dari yang terbaik.

Jika kita kaji sejarah hidup mereka, maka akan terlihat bahwa mereka memegang prinsip indah : memberi porsi yang besar untuk ilmu agama. Ilmu yang akan membentuk akidah, iman, takwa dan akhlak mereka.

Bukan berarti mengabaikan sama sekali ilmu duniawi. Namun sekali lagi, ini soal skala prioritas dalam belajar, tidak boleh diabaikan.

Syekh Sholih bin Abdullah Al ‘Ushoimi menegaskan,

وقد كان هذا هو علم السلف -عليهم رحمة الله- ثم كثر الكلام بعدهم فيما لا ينفع, فالعلم في السلف أكثر والكلام فيمن بعدهم أكثر

Inilah ilmunya para salaf dahulu -semoga Allah merahmati mereka- (pent, mereka memprioritaskan ilmu agama). Kemudian, tibalah zaman dimana yang banyak (prioritas) adalah ucapan yang tak manfaat (pent, memprioritaskan ilmu lain). Maka di masa salaf dahulu, ilmu lebih mendominasi, adapun setelah generasi mereka, ucapan kurang manfaat yang mendominasi.

(Lihat : Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, hal. 19)

“Kemudian, tibalah zaman dimana yang banyak (prioritas) adalah ucapan yang tak manfaat.”

Ungkapan ini menyinggung kondisi sebuah generasi dimana ilmu agama dikucilkan, ilmu dunia diprioritaskan. Sehingga karena prioritas yang tertukar ini, ilmu dunia yang bisa jadi pada asalnya mengandung manfaat, karena dia mengabaikan yang lebih wajib, menjadi ilmu yang ibaratnya ucapan yang tak manfaat. Artinya ilmu itu tak lagi dianggap untuk pelakunya, saat dia mengabaikan ilmu yang wajib diketahui tentang agamanya.

Catatan kaki :

  1. Bahkan para ulama pun memandang mempelajari ilmu duniawi bisa menjadi fardu kifayah. Artinya, harus ada sejumlah kaum muslimin yang mempelajari ilmu tersebut, demi terwujudnya maslahat orang banyak. Bila tidak seorangpun yang mempelajari, maka semua akan berdosa.

***

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/44188-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-4-jangan-mubadzirkan-semangat-belajarmu.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu #3: Optimalkan Minat Belajar

Bismillah…

Menuntut ilmu itu berat. Perlu berbekal minat yang kuat untuk dapat meraih ilmu. Karena, sebenarnya gerak-gerik manusia dinahkodai oleh minat yang bersemayam hatinya. Kalau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, membahasakan minat sebagai cinta. Hampir tidak berbeda, antara minat dan cinta. Beliau pernah menuliskan nasehat yang sangat terkenal,

وأصل كل فعل وحركة في العالم من الحب والإرادة فهو أصل كل فعل ومبدؤه

Sumber semua tindakan di alam ini adalah cinta dan keinginan. Dialah asal semua perbuatan dan juga prinsipnya.

(Lihat : Qoidah Fil Mahabbah 2/193. Dikutip dari kitab Mughnil Murid Jami’ As-syuruh Li Kitab At Tauhid 1/2098)

Tak ada minat yang besar atau rasa haus ilmu yang mendalam, perjuangan seorang dalam menuntut ilmu tak akan bisa bertahan lama. Ia akan cepat kandas. Ibarat pepatah,

Hangat-hangat tahi ayam…

Bagaimana Menumbuhkan Minat Tinggi dalam Menuntut Ilmu?

Syaikh Sholih Al Ushoimi -hafidzohullah- menjelaskan kiatnya, bahwa seorang akan dapat menumbuhkan minat yang besar dalam belajar, jika dia melakukan tiga hal ini :

Pertama, semangat juang yang tinggi, dalam meraih segala yang manfaat di dunia dan akhirat.

Kedua, meminta pertolongan kepada Allah agar disukseskan dalam menuntut ilmu.

Ketiga, tidak patah semangat untuk terus berjuang meraih mimpinya.

Tiga hal ini, terkumpul dalam satu sabda yang mulia Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

احرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ …

“Semangatlah dalam meraih sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah (mudah putus asa)!”

(HR. Muslim, no. 2664, dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu)

Pesan ini telah dibuktikan oleh para ulama. Sehingga kita dapati petuah-petuah indah dari lisan mereka yang menguatkan hadis di atas.

Diantaranya Al-Junaid rahimahullah pernah berpetuah,

ما طلب أحد شيئا بجد وصدق إلا ناله، وإن لم ينله كله نال بعضه

“Tidaklah seseorang berjuang meraih sesuatu dengan kesungguhan dan kejujuran, melainkan dia akan dapat memperolehnya. Jika dia tidak dapat meraih seluruhnya, dia akan dapat meraih sebagiannya.”

Dan, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga pernah berpesan dalam kitab Al-Fawaid,

إذا طلع نجم الهمة في ظلام ليلة البطالة، وردفه قمر العزيمة، أشرقت الأرض بنور ربها

“Jika telah terbit ‘bintang’ semangat di gelapnya malam, ditemani oleh ‘rembulan’ tekad, niscaya keduanya dapat menyinari dunia dengan cahaya Tuhannya.”

Belajar dari Kisah Menuntut Ilmu Para Ulama

Mereka orang-orang yang unggul dalam ilmu dan takwa itu, ternyata hasil dari perjuangan yang tidak ringan. Siang dan malam tanpa kenal lelah dan putus asa, mereka berjuang mendapatkan ilmu. Bukti bahwa ambisi mereka besar dalam menuntut ilmu.

Berikut kisah-kisah manusia hebat itu yang ditulis oleh guru kami Syaikh Sholih Al Ushoimi -hafidzohullah- dalam buku beliau : Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi :

Kisah Imam Ahmad rahimahullah, di masa kecil, sebelum fajar subuh tiba, Ibunya menyiapkan perlengkapan belajar putra kesayangannya sebelum menghadiri pengajian para ulama di masanya. Sambil memakaikan baju sang anak, Ibu Imam Ahmad berpesan,

حتى يؤذن الناس أو يصبحوا

“Tunggulah di masjid (tempat kajian), sampai orang-orang mengumandangkan azan subuh atau melakukan sholat subuh.

Khotib al-Baghdadi pernah membaca seluruh isi kitab Shohih Bukhari, di hadapan guru beliau Ismail Al Hurri, selama 3 pertemuan. Dua diantaranya di dua malam hari, dimulai dari Maghrib sampai subuh. Kemudian pertemuan ketiga, dari siang hari sampai tiba waktu Maghrib. Lalu dilanjutkan kembali dari Maghrib sampai subuh.

Abu Muhammad bin Tabban di awal masa belajarnya, beliau menggunakan seluruh malam untuk belajar. Sampai Ibu beliau melarang membaca di malam hari, karena sayang dan ibanya. Abu Muhammad lantas menuruti perintah ibunya. Namun, sebelum tidur, beliau menyembunyikan lampu sentir di dalam mangkuk besar. Kemudian saat dia sudah tertidur beberapa saat dan sang Bunda sudah terlelap tidur, beliau nyalakan lampu itu untuk belajar kembali.

Syaikh Sholih Al Ushoimi -hafidzohullah- menutup kisah-kisah indah di atas dengan ungkapan yang sangat berkesan,

فكن رجلا رجله على الثرى ثابتة، وهامة هامته فوق الثريا سامقة، ولا تكن شاب البدن أشيب الهمة، فإن همة الصادق لا تشيب

“Jadilah kamu orang yang kakinya menginjak di muka bumi, akan tetapi cita dan mimpinya setinggi bintang kejora. Jangan menjadi anak muda yang hanya muda fisiknya, namun tua semangatnya. Sesungguhnya, tekad yang jujur itu, tidak akan pernah menua (meskipun fisik sudah menua).”

_____

Rujukan :– Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, halaman 14-16, Karya Syaikh Sholih bin Abdullah Al Ushoimi

****

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/43285-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-3-optimalkan-minat-belajar.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu: #2 Ikhlaskan Niatmu

Bismillah..

Kita semua menyadari, bahwa ikhlas adalah syarat yang tak bisa ditawar agar amal ibadah kita diterima Allah, disamping juga harus bersama syarat yang kedua yaitu sesuai tuntunan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- (Mutaaba’ah). Dan tak ada seorang muslimpun yang meragukan, bahwa menuntut ilmu agama, mempelajari ilmu untuk mengenal syariat Allah, adalah amal ibadah yang luar biasa istimewa. Bagaimana tidak, sementara seluruh ibadah butuh pada ilmu?! Tanpa ilmu, kita buta dalam beribadah. Bisa-bisa seorang meyakini suatu amalan adalah ibadah, padahal tak sedikitpun bernilai ibadah di mata Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ

Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

Menuntut ilmu adalah jalan menuju surga, kemudian masih diragukan sebagai ibadah?!

Mustahil…!

Maka sepatutnya para penuntut ilmu menyadarkan hatinya, menghiasi hatinya, dengan semerbak niat dan rasa, bahwa saat ia sedang berjuang menuntut ilmu, saat itulah ia sedang berada dalam ibadah yang sangat agung. Ini sebenarnya dapat menjadi motivasi yang sangat manjur, agar selalu bisa semangat dan istiqomah dalam menuntut ilmu.

Setelah kita meyakini, bahwa menuntut ilmu adalah ibadah, maka ketahuilah sahabat sekalian, bahwa menuntut ilmu juga butuh keikhlasan. Agar lelah letih yang kita jalani dalam masa belajar ini, berbuah pahala dan rahmad Allah yang agung. Berbuah surganya yang mulia.

Allah berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan segala ibadah hanya untuk-Nya (Ikhlas), dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-bayyinah : 5)

Dan.. ilmu yang kita peroleh terberkahi.

Syaikh Sholih Al-Ushoimi -hafidzahullahا- menasehatkan,

وما سبق من سبقو ولا وصل من وصل من السلف الصالحينو الا بالاخلاص لله رب العالمين

Tidaklah para salafussholih itu unggul dan sampai pada derajat ilmu (yang tinggi), melainkan karena sebab ikhlasnya mereka saat menuntut ilmu, karena mengharap pahala Allah tuhan semesta alam.

(Lihat : Khulashoh Ta’dhiimil ‘Ilmi, hal. 11)

Anda ingin benar dimuliakan oleh ilmu, ternyata ikhlaslah kuncinya.

Bahkan, Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi masih dihalaman yang sama dari kitab Khulashoh Ta’dhiimil ‘Ilmi, sampai mengatakan,

وانما ينال المرء العلم على قدر اخلاصه

Seorang itu mendapatkan jatah ilmu, sebanyak kadar ikhlasnya.

Bagaimana Cara Ikhlas Dalam menuntut Ilmu?

Pertanyaan sangat bagus. Setelah kita tahu bahwa ikhlas adalah syarat mutlak diterimanya ibadah menuntut ilmu kita di sisi Allah, dan menjadi sebab berkahnya ilmu yang kita dapat, iman dalam hati kita membuat jiwa ini penasaran,

Apa gerangan cara agar menuntut ilmuku ikhlas?

Berikut ini caranya :

Niatkanlah menuntut ilmu anda untuk :

Pertama, Mengusir kebodohan dari diri sendiri,

Kedua, Mengusir kebodohan dari orang lain, dengan mengajari mereka ilmu yang dapat memperbagus agama dan akhirat mereka.

Ketiga, Niatkan untuk menjaga kelestarian ilmu.

Keempat, Niatkan untuk mengamalkan ilmu.

(Lihat : (Lihat : Khulashoh Ta’dhiimil ‘Ilmi, hal. 12)

Empat hal di atas, juga sudah menjadi niat kita dalam menuntut ilmu, saat itulah anda telah ikhlas dalam menuntut ilmu.

Mereka Tak Merasa Telah Ikhlas

Membaca kisah-kisah para salafussholih terdahulu memang menyimpan pesan-pesan unik dan mulia. Kita tak meragukan bagaimana ikhlas dan takwanya mereka -wala nuzakki ‘alallahi ahada-. Namun, sangat menarik sekali, mereka selalu saja meras belum ikhlas. Tak seorangpun diantara mereka yang berani bicara, “Aku sudah ikhlas..!!”

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah anda telah menuntut ilmu ikhlas karena Allah?”

Jawaban beliau,

لله! عزيز, ولكنه شيء حبب إلي فطلبته

“Karena Allah?! Itu perkara besar!! Hanya saja, aku telah dibuat cinta kepada belajar. Sehingga aku terus menuntut ilmu.”

Ikhlas dalam menuntut ilmu, bukan perkara sepele. Kata Imam Ahmad, “ Aziiiz! Besaaar…!” Beliau tak sampai hati mengklaim diri beliau telah ikhlas.

Kenapa?

Ternyata justeru dengan merasa belum ikhlas seperti inilah, kita dapat ikhlas, dan dapat menjaga ikhlas.

Hati kita lemah, syahwat cinta pujian, cinta popularitas (riya’, ‘ujub dan sum’ah), begitu kuat menyambar-nyambar. Dia buas dan siaga, untuk mengoyak-oyak keikhlasan kita. Sampai seorang terkena ancaman megerikan ini :

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan hanya mengharap wajah Allâh ‘Azza Wa Jalla, namun ternyata ia tidak menuntut ilmu kecuali untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium bau Surga pada hari Kiamat.

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Shahîh ath-Targhib, no. 105)

Lagi…!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mewanti-wanti :

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Siapa menuntut ilmu untuk menandingi para ulama, atau mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan pandangan-pandangan manusia kepadanya, maka Allâh akan memasukkannya ke neraka.

(HR. At-Tirmidzi, Shahîh at-Targhîb, no. 106)

Na’udzubillah min dzaalik…

Dengan menghadirkan perasaan inilah (merasa belum ikhlas), kita dapat selalu siaga dan waspada, terhadap musuh-musuh ikhlas, yaitu riya, ‘ujub dan sum’ah.

Imam Sufyan Ats-Tsauri (wafat pada th 161 H), sampai pernah mengatakan,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب عليَّ

“Aku tak pernah mengobati sesuatu yang lebih berat daripada memperbaiki niatku. Karena niatku terus berubah-ubah.”

Sulaiman Al Hasyimi mengungkapkan pengalamannya,

“Terkadang, saat aku menyampaikan satu hadits, dalam diriku hanya ada satu niat saja (ikhlas). Setelah aku beralih pada bagian hadits yang lain (masih dalam hadis yang sama), berubahlah niatku. Ternyata, untuk menyampaikan satu hadits saja butuh banyak perbaikan niat.”

(Lihat : (Lihat : Khulashoh Ta’dhiimil ‘Ilmi, hal. 13)

Lihatlah bagaimana waspadanya mereka…

Semoga Allah memberi kita taufik untuk dapat ikhlas dalam menuntut ilmu dan setiap ibadah.

Baca juga serial pertama tulisan ini : https://muslim.or.id/41419-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-1-bersihkan-wadah-ilmu-hati.html

***

Ditulis oleh : Ahmad Anshori Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42469-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-2-ikhlaskan-niatmu.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu : #1 Bersihkan Wadah Ilmu, Hati

Bismillah..

Menulis tema ini jujur saja sebenarnya berat. Karena yang menulis ini belumlah layak untuk dikatakan sukses menuntut ilmu, bahkan untuk mendapat gelar penuntut ilmupun masih sangatlah berat. Namun, saya berharap dari menulis tema ini, melalui petuah-petuah dan kisah-kisah haru para ulama dalam menuntut ilmu, dapat menjadi nutrisi yang menguatkan semangat dan tekad dalam menjalani proses menuntut ilmu, untuk penulis dan pembaca sekalian.

Aslinya tema ini adalah materi yang kami sampaikan di salah satu program acara di radio muslim Jogja 1467 AM, setiap Jumat pagi 08.30 s/d selesai. Yang kami sarikan dari kitab salah seorang guru kami, yang mulia Syaikh Sholih bin Abdullah bin Muhammad Al-‘Ushoimi –hafizhahullah, pengajar di masjidil Haram dan masjid Nabawi, dan anggota Hai-ah Kibar Ulama (Majelis Ulama) Kerajaan Saudi Arabia.

Baiklah, bismillah, mari kita mulai memasuki bab pertama : Bersihkan Wadah Ilmu, Hati.

______

Para pedagang atau pengoleksi barang-barang berharga, sebelum ia memulai berdagang atau mengoleksi, ia akan pikirkan tempat yang cocok untuk menyimpan barang-barang antik atau berharga itu. Emas, berlian, perak, batu mulia, mobil mewah atau bahan-bahan makanan yang mahal… tidak mungkin disimpan di tempat sampah, atau tempat-tempat lusuh dan jorok. Pasti ia akan siapkan tempat yang aman, membuat awet barang, dan pertimbangan-pertimbangan lain.

Bahan makanan akan cepat basi, emas perak berlian akan mudah hilang diraup pencuri, saat ditempatkan pada tempat-tempat yang tidak semestinya. Demikian juga ilmu! Ia tidak akan betah tinggal kecuali di hati-hati yang bersih. Iya, hati… itulah wadahnya ilmu.

Kata Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi hafizhahullah :

“Bersihkan wadah ilmu, yaitu hati. Karena sesuai kadar sucinya hati, sebesar itupula kadar ilmu yang akan masuk kepadanya. Jika semakin bertambah sucinya hati, maka akan semakin bertambah penerimaannya terhadap ilmu.

Siapa yang ingin meraih ilmu, maka perindahlah batinnya, sucikanlah hatinya dari segala najis.” (Lihat : Khulashoh Ta’dhimil ilmi, hal 9)

Beliau mengutip ungkapan yang sangat indah:

فالعلم جوهر لطيف لا يصلح الا للقلب النظيف

“Ilmu adalah permata mulia. Tidak akan cocok bertempat kecuali di hati yang bersih.”

***

Maka tolak ukur ilmu sebenarnya bukan kecerdasan, bukan cepat lambatnya menghafal, bukan banyak sedikitnya hafalan. Bukan itu tolak ukur ilmu. Tapi ilmu diukur dari keindahan hati. Sudahkah hatinya terhiasi oleh cinta dan penghormatan kepada Allah dan Rasul-Nya?

Sudahkah hatinya terwarnai oleh takut kepada murka dan siksa Allah? Sudahkah ilmu yang dia peroleh menjadikan hatinya ikhlas dalam setiap langkah ibadahnya? Karena kalau kita resapi firman Allah dan petuah-petuah para wali Allah, seperti para sahabat, maka kita akan tahu bahwa sebenarnya ilmu ini adalah amalan hati.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّـهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesunggunya hamba Allah yang paling takut kepadanya adalah ulama (orang-orang berilmu)” (QS. Fatir: 28).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,

كفى بخشية الله علما, وكفى بالاغترار بالله جهلا

Cukuplah rasa takut kepada Allah adalah ilmu, dan cukuplah merasa aman dari azab Allah adalah kebodohan.

ليس العلم بكثرة الرواية, ولكن العلم الخشية

Ilmu itu bukan pada banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu itu adalah khasyyah (rasa takut kepada Allah).

Cara Membersihkan Hati

Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi menerangkan, “Kebersihan hati kembali kepada dua hal:

  1. Sucinya hati dari najis syubhat.
  2. Sucinya hati dari najis syahwat.”

***

Noda hati sangat banyak. Namun, bila kita kerucutkan, noda-noda itu sumbernya dua ini ; noda syahwat dan noda syubhat.

Syubhat akan membuat seorang berada dalam lingkaran setan sementara dia tidak sadar. Bahkan sampai tahap dia menyangka berada dalam kebenaran, padahal dia sedang tenggelam di lautan kesesatan. Sehingga ilmu yang bermanfaat itu, akan sangat sulit masuk.

Allah berfirman,

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِ كَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُم

Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (QS. Muhammad: 14).

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّـهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّـهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah beralasan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya” (QS. Az-Zumar: 3).

Adapun syahwat, penyakit inilah yang akan mendorong seorang berbuat maksiat. Melihat kepada yang haram, berdusta, ghibah, menfitnah, dengki, mengadudomba, berjudi dan seluruh maksiat, sumbernya di syahwat.

Orang yang syahwat menjadi pemimpin di setiap gerak geriknya, akan susah untuk menyerap ilmu. Karena dosa-dosa akan mempergelap hati, sehingga hati menjadi temapat yang lusuh, kotor, tidak nyaman untuk ditinggali ilmu.

Allah Ta’ala,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka” (QS. Al Muthaffifin: 14).

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’” (HR. Tirmidzi).

Antara dua noda di atas, noda syubhat lebih parah dalam mempergelap hati daripada noda syahwat. Karena hati yang mengidap penyakit syubhat, akan susah bertaubat, karena bahkan seringkali mereka mengira berada di atas kebenaran. Berbeda dengan hati yang mengidap penyakit syahwat, ia akan lebih mudah bertaubat, karena nalurinya tetap menyadarkan, bahwa yang dia lakukan adalah salah.

Oleh karena itu iblis lebih semangat menyesatkan manusia melalui pintu syubhat daripada pintu syahwat. Karena kegelapan syubhat berpeluang lebih bisa langgeng mempergelap hati, daripada kegelapan syahwat. Makanya para pengidap syuhbat lebih disukai Iblis daripada pengidap syahwat. Meski memang keduanya adalah keburukan.

***

Kemudian Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi -hafidzohullah- menuliskan dalil yang sangat indah, menunjukkan bahwa hati adalah tempatnya ilmu.

“Disebutkan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم

Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian. Akantetapi Allah melihat pada hati dan amalan kalian” (HR. Muslim).

Beliau melanjutkan,

ومن طهر قلبه فيه العلم حل, ومن لم يرفع منه نجاسته ودعه العلم وارتحل

Siapa yang hatinya bersih, maka ilmu akan betah menetap di dalamnya. Siapa yang tidak berusaha mengusir kotoran hati, ilmu akan meninggalkannya dan pergi.

Sahl bin Abdullah –rahimahullah– berkata,

حرام على قلب أن يدخله النور وفي شيء مما يكره الله عز وجل

“Haram bagi hati yang padanya bersemayam sesuatu hal yang dimurkai Allah, untuk dimasuki cahaya ilmu..”

((Lihat : Khulashoh Ta’dhimil ilmi, hal 10)

Sekian.. Berlanjut insyaallah.

***

Ket: paragraph di bawah tanda ***, setelah perkataan Syaikh, adalah penjelasan (syarah) dari penulis.

Penulis : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41419-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-1-bersihkan-wadah-ilmu-hati.html

Mereguk Hikmah dari Musibah

Musibah meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan manusia.

Allah telah berjanji bahwa setiap kesulitan ataupun musibah yang diberikan kepada seorang hamba, tak akan melebihi kapasitas kemampuan dari hamba yang bersangkutan tersebut. Bahkan ada kalanya, dari musibah muncul hikmah dan faedah yang dapat dipetik oleh setiap pribadi.

Syaikh Aidh Al-Qarni dalam kitabnya La Tahzan jilid 1 menjabarkan, sejatinya sebuah musibah mampu mengeluarkan nilai-nilai ubudiyah doa yang selama ini terpendam. Beliau menyebut, sesungguhnya Allah menurunkan ujian kepada seorang hamba yang saleh dari hamba-hambaNya. Dan kepada Malaikat, Allah berkata bahwa diturunkannya musibah serta ujian tersebut agar Allah mendengar suara doa dan permintaan dari manusia.

Di sisi lain, menurut beliau, diturunkannya musibah serta ujian dari Allah kepada manusia agar kesombongan dan keangkuhan yang kerap terpatri di jiwa manusia itu runtuh. Sebab, musibah dapat menggugah empati sesama manusia untuk saling merekatkan rasa cinta terhadap sesama. Tak hanya itu, manusia juga kerap kali saling mendoakan kepada yang sedang tertimpa musibah.

Sejatinya, musibah dapat membukakan mata mereka kepada hal yang lebih besar. Selama ini, menurut beliau, manusia hanya melihat hal-hal kecil jika dibandingkan dengan musibah lain yang lebih besar. Umumnya manusia menerima bahwa itu semua merupakan penebusan dosa dan kesalahan, sekaligus pahala dan ganjaran di sisi Allah.

Maka, beliau berpendapat, apabila setiap manusia menyadari bahwa semua musibah dan ujian adalah buat yang dapat dipetik dan dinikmati, maka sudah pasti manusia akan menghadapi musibah tersebut dengan senang dan tenang. Bukankah ketenangan merupakan representasi dari keimanan? Maka, mereguk hikmah dari musibah merupakan hal yang patut menjadi sikap yang perlu dilakukan setiap Muslim.

KHAZANAH REPUBLIKA


Inilah Sebab Lemahnya Kekuatan Doa

DOA adalah sebab terkuat dalam menolak perkara-perkara yang tidak disukai (seperti musibah dan bencana), dan doa juga merupakan sebab terkuat dalam usaha meraih cita-cita. Namun pengaruh yang dihasilkan dari kekuatan doa setiap hamba, berbeda-beda.

Berikut ini adalah beberapa perkara yang sepatutnya diilmui oleh setiap mukmin dalam berdoa kepada Allah, agar doa yang dipanjatkannya memberikan pengaruh yang luar biasa ampuhnya baik di kehidupan dunia maupun di akhirat.

Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda:

“Berdoalah kepada Allah, disertai keyakinan kalian akan ijabah (terkabulnya doa), dan ketahuilah oleh kalian, bahwa Allah tidak menerima doa dari hati yang lupa lagi lalai” (Hadits Hasan, lihat ash-Shahihah: 596)

Doa yang dipanjatkan seorang hamba tidak akan memberikan pengaruh apa-apa baginya, selama hatinya hampa dari mengingat Allah. Lalai dari Allah (sebagai Dzat yang menjadi tujuan doanya), justru akan membatalkan dan melemahkan kekuatan doanya. [al-Hujjah]

INILAH MOZAIK

Obat Ketika Mendapat Musibah

Nasehat Ibnul Qayyim berikut bisa mengobati kita ketika dirundung musibah. Hal-hal berikut yang patut jadi renungan.

  1. Renungkanlah bahwa manusia dan hartanya semuanya milik Allah, semuanya hanya titipan di sisi kita.
  2. Setiap orang akan kembali pada Allah dan akan meninggalkan dunia.
  3. Allah akan memberi yang semisal dan yang lebih baik bagi yang telah hilang.
  4. Ingatlah bahwa mengeluh dan menggerutu hanya menambah derita, bukan menghilangkan musibah.
  5. Jika mau bersabar dan yakin semuanya kembali pada Allah, maka itu lebih besar pahalanya dibanding dengan tidak sabar.
  6. Berkeluh kesah hanya membuat musuh kita senang dan membuat Allah murka.
  7. Sabar dan mengharap pahala itu lebih besar ganjarannya daripada mengharap yang telah hilang itu kembali.
  8. Jika kita ridho terhadap musibah, Allah pun senang dengan sikap kita. Sebaliknya jika kita benci, Allah pun akan murka.
  9. Ketahuilah bahwa Allah yang menurunkan musibah Maha Hakim dengan hikmah yang ia beri, Penuh Rahmat dengan kasih sayang yang ia beri. Allah tidaklah menimpakan cobaan untuk membinasakan hamba, bahkan untuk menguji seberapa kuat imannya.
  10. Musibah itu datang untuk menhindarkan diri kita dari penyakit jelek yaitu ujub dan sombong.
  11. Ingatlah bahwa mending merasakan pahit di dunia namun dapat merasakan lezatnya kehidupan akhirat.

Diringkas dari penjelasan Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad, penjelasan tentang petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengobati musibah.

Semoga hal-hal di atas menjadi obat. Hanya Allah yang mendatangkan kemudahan.

Referensi: Mukhtashor Zaadul Ma’ad, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan keempat, 1429 H, hal. 265-267.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18226-obat-ketika-mendapat-musibah.html