Tiga Pesan Mulia Nabi Muhammad untuk Kita

Dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah bersabda kepadaku:

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada. Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya kebaikan akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Birri Washshilah, hadits no. 1987. At-Tirmidzi mengatakan: Hadits ini hasan shahih. Asy-Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Pesan-pesan mulia dalam hadis ini meskipun Nabi tujukan kepada sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah, namun sebenarnya juga diarahkan kepada seluruh umatnya. Karena telah maklum dalam kaidah ushul fiqih bahwa pembicaraan Allah dan Rasul-Nya (sebagai penentu syariat) bila diarahkan kepada seorang dari umat ini, maka itu sesungguhnya ditujukan pula kepada seluruh umat ini kecuali ada dalil yang menyatakan kekhususan. Seperti itu pula kaidah yang lainnya, bahwa dianggap adalah keumuman lafadz bukan kekhususan peristiwa.

Saudaraku, bila sahabat Nabi sebagai generasi terbaik umat ini perlu diberi arahan dan disampaikan kepadanya pesan, maka kita yang hidup di masa sekarang tentunya lebih membutuhkan.Tiga wasiat yang mulia ini adalah faktor utama seorang meraih kebahagiaan hidup di dunia yang fana ini dan akhirat yang abadi kelak.

Karena wasiat tersebut mengandung bentuk pelaksanakan hak-hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya. Seseorang akan dianggap baik bila bagus hubungannya dengan Allah dan bagus pergaulannya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, banyak sekali ayat Alquran yang memerintahkan untuk mendirikan salat dan memberikan zakat. Pada amalan salat terkandung kedekatan yang tulus antara hamba dengan Allah, sedangkan amalan zakat mencerminkan sikap belas kasihan kepada orang yang kesulitan dan membutuhkan. Oleh karena itu, Nabi kita banyak melakukan salat dan memberikan sedekah.

Wasiat pertama dan paling utama dalam hadis ini adalah takwa kepada Allah di manapun berada

– Takwa, seperti dikatakan Thalq bin Habib, adalah: “Kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah , di atas cahaya (ilmu) dari-Nya dengan mengharap pahala-Nya. Kamu (juga) meninggalkan bermaksiat kepada Allah, di atas cahaya (ilmu) dari-Nya dan karena takut siksa-Nya.”

Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Takwa kepada Allah adalah meninggalkan apa yang Allah l haramkan dan melaksanakan apa yang Ia wajibkan.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 1/400)

Allah berfirman dengan menyebutkan sifat-sifat orang yang bertakwa:Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)

Dari sini, maka takwa bukanlah kalimat yang sunyi dari makna dan bukan pula pengakuan yang kosong dari bukti. Takwa adalah kata yang sangat luas cakupannya. Takwa adalah melaksanakan apa yang dibawa oleh syariat Islam ini baik yang berupa aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak.

Karena takwa adalah bentuk pengabdian kepada Allah , dia tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Bukan orang bertakwa yang sebenarnya bila dia di hadapan orang terlihat taat, namun di saat sendirian dia bermaksiat. Seperti itu pula ketika berada di masjid terlihat ruku dan sujud namun di saat berada di pasar, di tempat kerja, dan tempat-tempat lainnya meninggalkan perintah Allah dan melanggar batasan-batasan-Nya. Bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa adalah dengan mensyukuri nikmat-Nya dan tidak mengkufuri serta mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya di saat lapang atau sempit, dalam kondisi senang ataupun sedih.

Bagi orang yang bertakwa adalah janji kemuliaan di dunia dan akhirat. Di antara yang akan diperolehnya di dunia adalah:

1. Dibukanya keberkahan, dimudahkan semua urusannya, dan diberikan dia rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Allah berfirman:”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-Araf: 96)

Juga firman-Nya:Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaaq: 2-3)

2. Memperoleh dukungan dan bantuan dari Allah .

3. Dijaga oleh Allah dari tipu daya musuh.

Allah berfirman: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (Ali Imran: 120)

Adapun di akhirat kelak, mereka mendapatkan surga dengan segala kenikmatannya, yang jiwa-jiwa mereka akan senantiasa bahagia dan mata pun sejuk karenanya. Allah berfirman:Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Rabbnya.” (Al-Qalam: 34)

Namun, ketakwaan yang sesungguhnya tidak akan diperoleh tanpa adanya ilmu. Dengan ilmu akan bisa dibedakan antara perintah dan larangan, kebaikan dan kejelekan. Bila ketakwaan telah menjadi baju bagi seseorang niscaya akan memunculkan sikap takut kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya.

Inilah diantara rahasia mengapa tindak kejahatan di tengah masyarakat kita seolah tak bisa diakhiri, bahkan setiap hari semakin bertambah kejelekannya. Semua itu tidak lain karena rasa takut kepada Allah melemah atau nyaris hilang. Memang, untuk tetap berada di atas ketakwaan tak semudah yang dibayangkan. Beragam bujuk rayu serta gangguan selalu menghadang. Akan tetapi manakala kita mengetahui manisnya buah yang akan dipetik dari ketakwaan, maka jalan untuk merealisasikannya terbuka lebar dan terasa mudah.

Wasiat atau pesan Nabi yang kedua adalah agar melakukan amal kebaikan setelah terpeleset melakukan dosa dan kesalahan. Diantara faedah amal kebaikan adalah menghapus kesalahan. Memang, tak bisa dimungkiri bahwa terkadang seseorang terjerumus dalam kenistaan karena sekian banyak faktor. Diantaranya, lingkungan yang jelek, bisikan jiwa yang tidak baik, dan bujuk rayu setan. Jika iman seseorang itu lemah dan faktor-faktor tersebut menyelimutinya, akan sangat mudah seseorang tergelincir. Tetapi, Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya daripada hamba terhadap dirinya sendiri. Diantara bentuk kasih sayang-Nya bahwa dosa bisa dihapus dan dampak negatif dari dosa bisa hilang dengan bertaubat, istighfar, dan amal kebaikan yang dilakukan hamba.

Allah berfirman: “Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Hud: 114)

Sahabat Ibnu Masud berkisah bahwa dahulu ada seorang lelaki mencium seorang perempuan (yang tidak halal baginya). Kemudian lelaki itu datang kepada Nabi dan menyebutkan perbuatannya. Maka turunlah kepadanya ayat tersebut. Orang itu berkata, “(Wahai Nabi), apakah hal ini khusus bagiku?” Nabi menjawab, “Bagi orang yang mengamalkannya dari umatku.” (Shahih Al-Bukhari no. 4687)

Hadis ini menunjukkan bahwa cahaya ketaatan mampu melenyapkan gelapnya kemaksiatan. Diantara ketaatan terbesar untuk menghapus dosa dan kesalahan adalah tobat dan istighfar kepada Allah. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, sebesar apapun kesalahan yang dilakukannya. Bila suatu saat seseorang digoda oleh setan sehingga terjatuh ke dalam lumpur dosa, maka bersegeralah kembali kepada Allah pasti dia akan mendapati-Nya Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Bergegaslah untuk memperbaiki diri dengan melakukan kebaikan karena satu kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah menjadi sepuluh.

Banyak hadis yang diriwayatkan dari Nabi yang menerangkan bahwa amal kebaikan akan menghapus kesalahan. Diantaranya sabda beliau:

“Barangsiapa puasa Ramadan karena dorongan iman dan mengharap pahala maka diampuni baginya apa yang telah lalu dari dosanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, dosa yang bisa dihapus dengan amal kebaikan adalah dosa kecil. Adapun dosa besar dihapuskan dengan cara seseorang bertaubat kepada Allah darinya. Ini pendapat jumhur (kebanyakan) ulama seperti dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Rajab . (Jamiul Ulum 1/429)

Termasuk kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya, bila seseorang tidak memiliki dosa kecil, amal shalih yang dia lakukan dapat meringankan dosa besarnya sekadar menghapusnya dia terhadap dosa kecil. Jika dia tidak punya dosa kecil dan dosa besar, maka Allah akan melipatgandakan pahala kepadanya. (Al-Wafi Syarh Arbain hlm. 118)

Saudaraku, perlu diingat bahwa dosa yang kita lakukan akan berdampak negatif terhadap keimanan, kejiwaan, rezeki, dan seluruh keadaan kita. Sungguh tiada suatu bala (musibah) turun menimpa manusia kecuali karena dosa. Petaka tidaklah dicabut kecuali dengan taubat dan amal shalih. Mari kita banyak-banyak mengaca diri dengan memperbaiki kondisi. Semoga Allah l akan mengubah keadaan menjadi baik dan diberkahi.

Wasiat ketiga: Menggunakan akhlak yang mulia dalam pergaulan dengan sesama. Dengan menjalankan pesan ini, keserasian hidup bermasyarakat akan terwujud dan ketenteraman akan menebar. Adalah Rasulullah seorang yang memiliki budi pekerti yang baik. Segala akhlak mulia dan perangai terpuji ada pada diri beliau sehingga kita diperintah untuk mencontohnya.

Allah berfirman:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)

Karena akhlak mulia termasuk pokok peradaban dalam kehidupan manusia, Islam telah menjunjung tinggi kedudukannya dan sangat memerhatikannya. Banyaknya ayat Al-Quran dan hadits Nabi adalah bukti terbaik atas pentingnya hal ini. Rasulullah menyebutkan sabdanya:

“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya dalam Shahih Al-Adab)

Baiknya akhlak adalah bukti atas baiknya keimanan seseorang. Pemiliknya akan memetik janji surga dan dekat majelisnya dengan Nabi di hari kiamat. Berbudi pekerti yang luhur juga sebab utama seseorang meraih kecintaan dari manusia.

Seharusnya kita banyak menghiasi diri dengan akhlak mulia. Misalnya, dengan silaturahmi, memaafkan kesalahan, rendah hati, dan tidak menyombongkan diri serta bertutur kata yang lembut.

Ibnul Mubarak t mengatakan, “(Salah satu) bentuk akhlak mulia adalah wajah yang selalu berseri, memberikan kebaikan, dan mencegah diri dari menyakiti orang.” (Jamiul Ulum wal Hikam 1/457)

Telah terbukti bahwa apa yang disebutkan oleh Ibnul Mubarak adalah akhlak mulia yang cepat mendatangkan kecintaan dari manusia.Cerahnya wajah saat berjumpa dengan saudaranya, diiringi senyuman dan ucapan salam, akan memunculkan suasana keakraban tersendiri. Akan tersebar diantara mereka ruh kasih sayang.

Memberi kebaikan kepada orang lain, artinya seseorang mencurahkan sebagian yang dimilikinya untuk kebaikan orang lain. Pemberian itu bisa berupa harta, tenaga, saran, dan bahkan dukungan dalam kebaikan. Sebab, biasanya orang akan mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.

Menahan diri dari menyakiti orang, adalah karena setiap individu masyarakat menginginkan berlangsungnya kehidupan mereka dengan nyaman dan damai. Sehingga bila ada yang menimpakan gangguan kepada mereka dalam bentuk apa pun, ketenangan menjadi terusik dan keretakan di tengah masyarakat tak bisa dihindarkan.

Untuk bisa berhias diri dengan akhlak mulia tentu ada beberapa cara, diantaranya:

1. Menelaah sejarah kehidupan Nabi Muhammad berikut apa yang terkandung di dalamnya berupa perangai-perangai beliau yang terpuji.

2. Memilih lingkungan dan teman yang baik.

3. Duduk di majelis ulama untuk menimba ilmu mereka serta bersuri tauladan dengan mereka.

Demikianlah sekelumit penjelasan seputar tiga pesan Rasulullah yang mulia, semoga Allah memberikan karunia-Nya kepada kita untuk menjalankannya. Wallahu alam bish-shawab. [Asysyariah]

INILAH MOZAIK

Hati-hati terhadap Ujub dan Riya’

“KEBAJIKAN apa pun yang kamu peroleh adalah dari Sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu itu dari kesalahan dirimu sendiri.” (QS. an-Nissa [4]: 79)

Jadi, pada suatu waktu, saya ditakdirkan berdakwah ke Singapura. Di sana disuguhi sejumlah makanan. Tapi hampir semua makanan itu merupakan pantangan. Yang tersisa hanya cumi-cumi kecil. Maka disantap lah terus cumi-cumi itu.Tanpa terasa sudah tidak bersisa. Tidak lama kemudian efeknya mulai terasa, dan ternyata asam urat.

Begitulah, saudaraku. Kalau kita tidak hati-hati, nafsu bisa mengendalikan. Seperti menghabiskan suguhan cumi-cumi sampai ke sisa-sisanya. Padahal, tanpa cumi-cumi itu saya bisa hidup seperti biasa. Tapi nafsu membuatnya hanya enak di lidah. Sedangkan sebagian anggota badan tidak bisa bergerak, sehingga harus diobati dokter.

Kemudian, saya berangkat menuju teman-teman marinir di Cilandak. Membicarakan tentang acara tabligh yang akan diadakan di sana. Setelah pembicaraan selesai, lalu teman-teman di sana mengajak, “Aa’, itu akan ada perlombaan menembak, ayo ikut!” Karena dulu memang pernah latihan menembak di sana, dan tembakannya dianggap jitu.Tapi anggapan jitu ini pula yang membuat lupa, sehingga ingin memperlihatkan. Meskipun dokter sudah berpesan agar hati-hati menjaga sakit yang baru mulai sembuh.

Dan benar. “Duar! Duar! Duar!”Tidak ada yang mengenai sasaran. Di samping menahan malu karena biasanya kena menjadi tidak kena, juga rasa sakit yang kambuh lagi. Mengganti baju tidak bisa, memegang sarung dan sikat gigi pun tidak memungkinkan. Itu hanya, maaf, disebabkan ingin memperlihatkan jitu yang dulu. Ternyata oleh Allah dibuat pelurunya ke mana-mana. Na’udzubillah.

Tapi yang pasti kena adalah hati,”Ya Allah, Mahasuci Engkau. Engkau Mahatahu niat yang tersembunyi. Engkau mengetahui hamba ini ada ujubnya, dan ingin pamer kemampuan. Tidak cocok dengan ceramah. Ampunilah hamba-Mu ini.”

Nah, hati-hatilah kalau ingin kemampuan kita diketahui orang lain, ujub dan riya’. Seperti menembak tadi. seandai mengenai sasaran pun tidak mengubah apa-apa. Karena saya juga bukan tentara.

Memang terkadang kita lupa dan ingin memperlihatkan siapa diri ini. Beruntunglah ketika itu diberi peringatan oleh Allah dengan tidak satu pun peluru yang mengenai sasaran.

Saudaraku. Mari kita ikhtiar bersama-sama menjaga hati. Mungkin di suatu waktu kita terlanjur ujub atau riya’. Tapi ketika sadar, harus langsung bertafakur tentang apa yang telah diperbuat. Tentang apa sebetulnya tujuan yang asli di hati kita? Misalnya yang menjadi imam salat Isya di masjid sebelum pengajian. Selesai mengimami bertanyalah pada hati, ‘Mengapa dan apa tujuan saya tadi membaca ayat ini? Apa karena ingin memamerkan hafalan serta kelembutan suara?” Atau, yang azan, “Mengapa tadi saya bersikeras ingin azan? Apa karena sedang ada mertua?’

Harus kita periksa supaya bisa bertemu kesalahannya. Lalu, bertobat. Dengan begitu nantinya kita bisa semakin peka. Ketika melakukan kesalahan serupa. maka bisa langsung ingat dan lebih berhati-hati. Jangan sampai sesudah kejadian kita malah merasa biasa saja. Jika tidak mengevaluasi diri dan tidak bertobat. maka ujub dan riya’ tidak akan berkurang.

Dengan hati yang semakin bersih dan peka nanti akan ada semacam ‘radar’ yang berbunyi di sekitar amal perbuatan kita. Kalau hati makin bersih nurani atau suara hati yang selalu jujur bisa berbisik “Hush riya’, ujub!” Yang menutupi suara hati adalah nafsu kita sendiri.Tapi kalau bisa menahan nafsu dan semakin hati menjadi bersih, nurani pun bisa semakin nyaring dan kuat pengaruhnya dalam diri ini.

Nah, mudah-mudahan seperti itu. Yang penting bagaimana hati ini bisa bersih. Kalau mau hati bersih, kita harus benar-benar serius mengupayakannya. Seperti cerita menembak yang tidak kena tadi, saya harapkan dapat menjadi bahan ulasan tema tulisan ini. Tetapi, bercerita begitu, secara halus bisa saja ada ujub dan riya’ nya. Karenanya, mari masing-masing lebih sering memeriksa hati kita dan bertafakur! [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Ini Keadaan Manusia Ketika Sangkakala Ditiup

ALQURAN telah menyebutkan banyak nama tentang Hari Kiamat. Kali ini kita akan berhenti pada satu nama dalam Surat An-Naba, Allah berfirman, “Sungguh, hari pemisah (Hari Kiamat) adalah suatu waktu yang telah ditetapkan.” (QS.An-Naba:17)

Salah satu nama Hari Kiamat dalam Alquran adalah Yaumul Fasl (Hari Pemisah). Mengapa disebut demikian?

Karena pada hari itu akan terpisah antara mukmin dan kafir serta orang-orang baik dan durjana. Hari itu juga memisahkan orangtua dengan anaknya, suami dengan istrinya dan saudara dengan sanak kerabatnya. Semua sibuk dengan nasibnya masing-masing.

Bukankah Allah berfirman,

“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (QS.Abasa:34-37)

Di hari itu ada pos-pos yang harus dilewati setiap manusia. Ada suatu saat di mana tidak ada lagi kata keluarga, kenalan atau kerabat. Semua akan berpikir tentang dirinya masing-masing. Walaupun pada pos-pos lain mereka dapat bertemu kembali dan bisa memberi syafaat kepada saudaranya jika mendapat Izin Allah swt.

Dalam ayat yang sama Allah menyebut hari ini sebagai Miqot yaitu hari yang telah ditentukan. Waktunya tak akan pernah mundur atau maju. Namun yang akan jadi fokus kita pada kali ini adalah pada ayat selanjutnya dari Surat An-Naba.

Allah berfirman, “(yaitu) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berbondong-bondong.” (QS.An-Naba:18)

Seperti yang kita ketahui bahwa peniupan terompet sangkakala akan terjadi dua kali. Pertama sebagai pertanda habisnya waktu dan semua makhluk akan mati. Lalu tiupan kedua akan dibunyikan sebagai pertanda dimulainya kehidupan baru.

“Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah).” (QS.Az-Zumar 68)

Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah kata Afwaaja (berbondong-bondong). Apakah manusia akan datang secara berkelompok di Hari Kiamat?

Ayat ini juga dikuatkan dengan ayat yang lain dalam Firman-Nya, “(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami Panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (QS.Al-Isra: 71)

Dua ayat ini menyebutkan bahwa manusia akan datang berbondong-bondong dan berkelompok. Bahkan mereka akan dikelompokkan dengan pemimpinnya masing-masing.

Tapi bukankah dalam ayat lain Allah Berfirman bahwa manusia akan datang sendiri-sendiri di Hari itu?

“Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sendiri pada hari Kiamat.” (QS.Maryam:25)

Mengapa keterangan ayat ini berbeda dengan ayat sebelumnya. Apakah keduanya kontradiksi? Tentu jawabannya Tidak! Karena tidak ada yang kontradiksi didalamnya. Namun sekali lagi kita katakan bahwa di Hari Kiamat manusia akan melalui pos-pos. Di saat itu mereka terkadang datang berkelompok dan kadang harus datang sendiri-sendiri, seperti misalnya ketika berhenti di Pos Perhitungan Amal, mereka harus menghadap sendiri.

Jadi kedua ayat ini tidaklah kontradiktif, hanya waktunya saja yang berbeda. Semoga kita semakin banyak mengenal kedalaman makna Alquran sehingga bisa menjadi lentera hidayah bagi hidup kita. [khazanahalquran]

INILAH MOZAIK

Hukum Orang Kafir Masuk Masjid

Masjid adalah tempat yang paling Allah cintai. Di dalamnya terdapat kaum muslimin beribadah kepada Allah Ta’ala, mengagungkan Allah dan berdzikir kepada Allah. Masjid adalah tempat yang mulia dan penuh keberkahan. Lalu bagaimana jika orang kafir memasuki masjid? Apakah diperbolehkan? Masalah ini telah dibahas oleh para ulama, dan pada artikel ini akan kami uraikan secara ringkas.

Kisah Tsumamah bin Utsal

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘amhu, beliau menceritakan,

بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed, kemudian pasukan tersebut kembali dengan membawa tawanan seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Kemudian laki-laki itu diikat di salah satu tiang masjid.” (HR. Bukhari no. 469 dan Muslim no. 1764).

Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya orang kafir masuk masjid. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui perbuatan para sahabat yang mengikat Tsumamah bin Utsal di masjid. Ketika itu, Tsumamah (yang masih dalam agama kaum musyrikin), berupaya untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun digagalkan oleh Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia pun diikat di masjid.

Pada hari ke tiga, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya dan bertanya,

مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ

“Apa yang Engkau miliki wahai Tsumamah?” (HR. Bukhari no. 2422, 4372 dan Muslim no. 1764). 

Maksudnya, beliau bertanya kepada Tsumamah apakah dia sudah makan atau belum? Hal ini mencerminkan tingginya sifat rahmah (penyayang) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun kepada orang yang hendak membunuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ini menjadi salah satu sebab masuk Islamnya Tsumamah setelah itu.

Syarat-Syarat Bolehnya Mengizinkan Orang Kafir Masuk Masjid

Mayoritas ulama memberikan batasan atau persyaratan dalam masalah ini. Di antaranya adalah hal itu memiliki tujuan yang bermanfaat, misalnya untuk mendengarkan Al-Qur’an; untuk mendengarkan ilmu agama yang bermanfaat; atau orang kafir tersebut diharapkan masuk Islam; atau orang kafir tersebut sedang meminta keadilan hukum. Atau kondisi-kondisi lain yang memang ada manfaat di dalamnya. Namun, jika tidak ada manfaatnya, maka mereka tidak boleh memasuki masjid. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah dalam salah satu riwayat madzhab tersebut. 

Sebagian ulama mengatakan, orang kafir boleh memasuki semua masjid kecuali masjidil haram. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi’i, juga menjadi pendapat Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (QS. At-Taubah [9]: 28)

Hal ini berdasarkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa najinsya orang-orang musyrik adalah najis yang melekat di badan (najis yang sifatnya konkret). Dilarangnya orang kafir untuk memasuki masjidil haram adalah pendapat yang kuat, berdasarkan cakupan makna umum dari ayat di atas. Wallahu a’lam.

Dari dalil-dalil tersebut, orang kafir boleh memasuki masjid -selain masjidil haram- dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Selain itu, terdapat maslahat ketika orang kafir masuk masjid, terutama ketika mereka melihat shalat yang dilakukan oleh kaum muslimin, dan juga mendengarkan bacaan Al-Qur’an, sebagaimana hal ini terjadi pada Tsumamah bin Utsal. 

Akan tetapi, terdapat syarat bahwa hal itu adalah benar-benar ada maslahat dan juga ada izin dari pihak yang memiliki kewenangan. Hal ini karena semua perkara yang terjadi pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu perkara yang berkaitan dengan maslahat orang banyak, maka hal itu harus dengan izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini terjadi pada kasus diikatnya Tsumamah bin Utsal. 

Kisah Jubair bin Muth’im

Dalil yang lain dalam masalah ini sebagaimana yang diceritakan oleh Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ketika itu beliau menyiapkan tebusan untuk tawanan perang Badar dan masih musyrik. Beliau mengatakan,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ

“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Maghrib membaca  Ath-Thur.” (HR. Bukhari no. 765)

Dan peristiwa itu adalah sebab beliau radhiyallahu ‘anhu mendapatkan hidayah.

Demikian pula kisah Dhimam bin Tsa’labah, dimana beliau masuk masjid dan mengikatkan untanya di masjid, kemudian bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, kemudian beliau pun masuk Islam. (HR. Bukhari no. 63).

Bolehkah Orang Kafir Menjadi Pengurus Masjid?

Jika masuknya orang kafir tersebut bersyarat, yaitu adanya maslahat, maka orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid atau membuat batas-batas pendirian masjid, karena terdapat kaum muslimin yang mampu mengurusnya. Hal ini karena orang kafir dikhawatirkan akan melakukan tipu daya ketika membuat batas-batas masjid dan juga ketika membangunnya. 

Oleh karena itu, siapa pun yang akan membangun masjid, baik itu perorangan atau yayasan, hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala berkaitan dengan harta dan diri mereka. Jangan sampai mereka menyerahkan urusan pembangunan masjid tersebut kepada orang-orang kafir dengan alasan bahwa mereka lebih ahli dan profesional atau alasan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

“Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221).

Wallahu Ta’ala a’lam.

 [Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54639-hukum-orang-kafir-masuk-masjid.html

Apakah Tidak Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Termasuk Kedurhakaan?

Pertanyaan :

Apakah tidak menziarahi kuburan kedua orang tua termasuk kedurhakaan ?

Jawaban :

Segala puji bagi Allah.

Pertama : [Hukum-hukum Seputar Ziarah Kubur]

[Ziarah Kubur Merupakan Perkara Sunnah, bagi Laki-laki]

Ziarah kubur merupakan perkara sunnah yang disyariatkan bagi laki-laki; dengan maksud mengambil pelajaran, dan mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin yang telah meninggal. Hal tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (977) dari shahabat Buraidah bin Hushoib Radhiyallaahu ‘anhu, dimana dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda: 

قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Sungguh aku dulu telah melarang kalian dari ziarah kubur. Akan tetapi sekarang, silahkan kalian menziarahi kubur, karena kubur mengingatkan (kalian) kepada Akhirat.

Imam Nawawi Rahimahullaah mengatakan: 

أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ زِيَارَتهَا سُنَّة للرِّجَال

“Mereka (yaitu para ulama) telah sepakat bahwasanya ziarah kubur merupakan perkara yang sunnah bagi laki-laki.”

[Maksud-Maksud Syar’i dari Ziarah Kubur]

Syaikh al-Fauzan Hafidzahullaah mengatakan, 

زيارة القبور مشروعة في حق الرجال دون النساء بقصد الدعاء للأموات والاستغفار لهم والترحم عليهم إذا كانوا مسلمين ، وبقصد الاتعاظ والاعتبار وتليين القلوب بمشاهدة القبور وأحوال الموتى

“Ziarah kubur merupakan perkara yang disyariatkan bagi laki-laki, bukan (bagi) perempuan; dengan maksud mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin yang telah meninggal, memintakan ampunan bagi mereka, dan meminta supaya Allah merahmati mereka. Selain itu, juga dengan maksud untuk mengambil pelajaran, dan melunakkan hati dengan menyaksikan kuburan dan keadaan-keadaan orang yang telah meninggal.” (al-Muntaqaa min Fataawaa al-Fauzaan, 15/41)

Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullaah mengatakan, “Apabila seseorang menziarahi kubur, hendaklah dia menziarahinya dengan maksud mengambil pelajaran, bukan karena kecintaan (kepada yang dikubur). Sebagian orang menziarahi kuburan bapaknya, atau ibunya; dalam rangka kasih sayang, kecintaan (kepada orang yang dikubur). Perkara ini, walaupun sudah menjadi tabiat manusia, akan tetapi yang paling utama adalah menziarahi kuburan mereka karena alasan yang telah disebutkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu untuk mengingat akhirat, dan mengingat kematian. Mereka yang sekarang telah di dalam kubur, dahulu mereka adalah sepertimu di atas muka bumi. Dan sekarang, mereka berada di dalam perut bumi, dalam keadaan tergadaikan dengan amalan-amalan mereka, tidak memiliki kemampuan untuk menambah kebaikan, dan juga tidak mampu menghilangkan keburukan. Maka hendaklah kamu mengingat (perkara-perkara ini)!” (Duruus wa Fataawaa al-Haram al-Madaniy 51)

[Larangan Safar untuk Ziarah Kubur]

Dipersyaratkan bolehnya ziarah kubur, tidak adanya safar ke kuburan tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد : المسجد الحرام ، ومسجدي هذا ، والمسجد الأقصى

Tidak boleh mempersiapkan bekal (yaitu safar dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid : (1) Masjidil Haram, (2) Masjid ini (yaitu masjid Nabawi, dan (3) Masjid al-Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaih)

Para ulama al-Lajnah ad-Daaimah mengatakan, “Disyariatkan ziarah kubur bagi laki-laki, bukan bagi perempuan; apabila kuburan tersebut masih di dalam negeri penziarah (yaitu tanpa safar), dengan maksud untuk mengambil pelajaran dan mendoakan kebaikan kepada kaum muslimin diantara mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها ، فإنها تذكركم الآخرة

Aku dulu telah melarang kalian dari ziarah kubur. Akan tetapi sekarang, silahkan kalian menziarahi kubur, karena kubur mengingatkan (kalian) kepada Akhirat.” 

(Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah 434/1)

Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullaah mengatakan, 

لا يجوز للإنسان أن يشد الرحل لزيارة قبر من القبور أياً كان صاحب هذا القبر

“Seseorang tidak diperbolehkan untuk melakukan safar dalam rangka menziarahi kuburan siapapun.” (Fataawaa Nuur ‘alad Darb 196/7)

Kedua: [Hukum-hukum Seputar Berbakti kepada Kedua Orang Tua Setelah Mereka Wafat]

[Tetap Berbakti kepada Orang Tua Setelah Mereka Wafat, dan Bentuk-bentuknya]

Berbakti kepada kedua orang tua tetap berlangsung setelah mereka berdua wafat, adalah dengan cara mendoakan kebaikan bagi mereka berdua, menyambung kekerabatan dari mereka berdua, menuaikan wasiat mereka berdua, memuliakan teman-teman dekat mereka berdua, bersedekah (yang pahalanya) untuk mereka berdua, menghajikan dan mengumrahkan mereka berdua (apabila mereka belum berhaji dan belum berumrah), melunasi hutang mereka berdua, dan menunaikan hak-hak yang menjadi tanggungan mereka berdua kepada pemilik hak-hak tersebut.

Para ulama al-Lajnah ad-Daaimah lil Iftaa’ mengatakan, 

دلت السنة على مشروعية بر الوالدين بعد وفاتهما ؛ بالدعاء لهما وتنفيذ وصيتهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما وإكرام صديقهما

“Sunnah menunjukkan atas disyariatkannya berbuat baik kepada kedua orang tua setelah mereka meninggal, dengan mendoakan kebaikan bagi mereka berdua, menunaikan wasiat mereka berdua, menyambung kekerabatan yang tidak tersambung kecuali melalui mereka berdua, dan memuliakan teman dekat mereka berdua.” (Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah 182/25)

Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullaah mengatakan, 

من بر الوالدين : الصدقة عنهما ، والدعاء لهما ، والحج والعمرة عنهما

“Diantara bentuk berbakti kepada kedua orang tau adalah bersedekah (yang pahalanya) untuk mereka berdua, mendoakan kebaikan bagi mereka berdua, serta menghajikan dan mengumrahkan mereka berdua (apabila mereka belum berhaji dan belum berumrah).” (Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baaz 344/8)

Beliau Rahimahullaah juga mengatakan, “Lima perkara :

[1] Mendoakan kedua orang tua

Diantaranya adalah dengan shalat jenazah, mendoakan kedua orang tua, yaitu meminta kepada Allah supaya Dia merahmati mereka berdua; merupakan hak yang paling utama, dan termasuk bentuk berbakti yang paling agung, baik ketika mereka berdua masih hidup, maupun ketika sudah wafat. 

Demikian juga [2] memintakan ampunan untuk mereka berdua, yaitu supaya Allah menghapus kesalahan-kesalahan mereka berdua. Ini juga merupakan bentuk berbakti yang agung, baik ketika mereka berdua masih hidup, maupun setelah mereka wafat.

Dan [3] menunaikan perjanjian mereka berdua setelah mereka meninggal, berupa wasiat yang telah mereka wasiatkan. Maka wajib atas anak, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menunaikan wasiat mereka, apabila wasiat tersebut sesuai dengan syariat (islam) yang suci.

[4] Perkara keempat ‘memuliakan teman dekat mereka berdua’ yaitu, apabila bapakmu atau ibumu memiliki teman-teman dekat, orang-orang yang  mereka cintai; maka kamu berbuat baik kepada mereka. Kamu juga menghormati mereka karena persahabatan mereka kepada kedua orang tuamu, dan janganlah kamu melupakan hal itu. Kamu berbuat baik kepada mereka dengan ucapan yang baik, dan membantu mereka apabila mereka memiliki keperluan. Hal ini mencakup seluruh jenis kebaikan yang mampu kamu usahakan. Ini adalah berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat.

[5] Perkara kelima ‘menyambung kekerabatan yang tidak tersambung kecuali melalui mereka berdua’, yaitu dengan berbuat baik kepada paman, bibi, dan kerabat-kerabat kedua orang tua. Ini merupakan bentuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua, dengan cara berbuat baik kepada saudara-saudara mereka berdua, dan anak-anak mereka. Berbuat baik kepada mereka, dan menyambung kekerabatan dengan mereka. Semua ini termasuk menjalin hubungan dengan kedua orang tua, dan memuliakan mereka berdua.” (Majmuu’ Fataawaa Ibnu Baaz 368 – 369 / 25)

[Ziarah Kuburan Mereka Bukanlah Syarat dalam Berbakti]

Sedangkan ziarah kubur (kedua orang tua), bukanlah syarat dalam berbakti kepada mereka berdua. Seorang anak memungkinkan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya dengan mendoakan mereka, dan selainnya; dalam keadaan dia jauh dari kedua (kuburan)nya.

[Larangan Safar untuk Menziarahi Kuburan Mereka]

Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullaah pernah ditanya :

Bapakku telah meninggal lama, dan dia jauh dariku. Saya tidak mampu menziarahi (kuburan)nya kecuali setelah dua atau tiga tahun kemudian. Apakah yang dapat saya lakukan untuk berbakti kepadanya, padahal saya jauh dari (kuburan)nya ?

Beliau menjawab :

‘Maksud dari ziarah kubur adalah mendoakan kebaikan bagi orang yang telah meninggal. Dan mendoakan mereka, sampai (kepada mereka) dimanapun tempat dia berdoa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علمٌ ينتفع به ، أو ولدٌ صالحٌ يدعو له

Apabila seseorang meninggal, maka amalannya terputus; kecuali dari tiga perkara : (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang dimanfaatkan dengannya, dan (3) anak shalih yang mendoakan kebaikan baginya.” 

Maka hendaklah kamu berdoa kepada Allah dimanapun kamu berada, baik dekat maupun jauh (dari kuburannya), dan tidak perlu menziarahi kuburannya (untuk mendoakannya).’

(Syaikh ‘Utsaimin melanjutkan)

نعم ، لو كنت في نفس البلد جئت لحاجة وذهبت تزور أباك فلا بأس به ، أما أن تشد الرحل إلى قبره لتزوره فهذا منهيٌ عنه

“Memang benar, jika kuburannya masih dalam satu negeri (tidak perlu safar ke sana), kamu datang untuk suatu keperluan dan (sekaligus) pergi menziarahi kuburan bapakmu, maka ini tidak mengapa. Namun jika bersafar menuju kuburannya, untuk menziarahinya; maka ini adalah perkara yang terlarang.”

(Nuur ‘alad Darb 7/196)

Wallaahu a’lam. 

Diterjemahkan dari : https://islamqa.info/ar/answers/137688

Penerjemah : Prasetyo

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54584-apakah-tidak-menziarahi-kuburan-kedua-orang-tua-termasuk-kedurhakaan.html

Hakikat Iman Menurut Ibnu Quddamah dan Sabda Rasulullah SAW

Rasulullah SAW menegaskan ada 70 manifestasi keimanan,

Definisi iman adalah keyakinan yang diteguhkan dalam hati, diikrarkan dalam lisan, dan dibuktikan dalam tindakan nyata sehari-hari. Itu adalah definisi iman dalam pengertian syariah. 

Namun, apa sebenarnya hakikat iman? Dalam karyanya, kitab Lum’at al-I’tiqad, Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi menjelaskan hakikat iman tersebut.

Tokoh yang terkenal ahli fikih dan zuhud kelahiran tahun 541 Hijriyah tersebut mengatakan iman adalah ucapan lisan, perbuatan anggota badan dan keyakinan hati. Iman akan bertambah kuat dengan ketaatan kepada Allah SWT dan akan berkurang dengan berbuat maksiat.  

Terkait hal ini Imam Ibnu Quddamah mengutip surah al-Bayyinah ayat ke-5 yaitu sebagai berikut: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” 

Sementara itu, Ibnu Qudamah mengutip hadis Rasulullah SAW: “Iman ada 70 cabang lebih. Yang paling tinggi adalah syahadat dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR Muslim) 

Rasulullah SAW bersabda: “Akan keluar dari neraka siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada iman meskipun seberat butir gandum atau biji atau dzarrah.”(HR Al-Bukhari).

KHAZANAH REPUBLIKA


Fenomena Kerajaan Baru dan Peringatan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW memberikan peringatan bahaya nafsu di balik kerajaan baru.

Terdapat tiga perkara yang menghancurkan manusia. Hal ini antara lain disebutkan dalam sebuah riwayat dari Rasulullah SAW. 

“Rasulullah SAW pernah menyampaikan dalam salah satu riwayatnya, ada tiga perkara yang menghancurkan diri manusia,” ujar Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Suparto, dalam pengajian umum di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta Pusat, akhir pekan lalu, Jumat (14/2) malam. 

Hadis yang dimaksud Suparto tersebut diriwayatkan Imam Thabrani, yang berbunyi: “Ada tiga perkara yang dapat membinasakan manusia, yaitu; sikap bakhil (kikir) yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang kepada diri sendiri.” (HR  Thabrani). 

Dalam pengajian bertema ‘Fenomena Kerajaan Baru’ tersebut, Suparto kemudian menjelaskan tentang perkara hawa nafsu. Karena, menurut dia, ada keterkaitan antara hawa nafsu dan munculnya kerajaan baru di Indonesia  

“Maka relevansi dari acara malam ini sesungguhnya kemunculan kerajaan-kerajaan baru itu karena orang cenderung menuhankan hawa nafsunya,” ucap Suparto. 

Munculnya kerajaan baru tersebut telah menghebohkan masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu lalu, khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten. Di antaranya, munculnya Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Kerajaan Jipang di Blora, Sunda Empire, dan King of The King di Tangerang-Bandung. 

Selain itu, Suprapto juga menjelaskan bahwa munculnya kerajaan-kerajaan baru tersebut dikarenakan adanya sikap manusia yang kagum terhadap dirinya sendiri atau ujub. 

“Jadi kemunculan kerajaan-kerajaan ini karena ada orang-orang yang kemudian ujub tentang dirinya, lalu mengklaim mendakwahkan dirinya sebagai raja,” kata Suparto. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hai Manusia Apa yang Kalian Banggakan?

SERING Alquran menegaskan bahwa kita ini tidak ada di hadapan Allah swt. Kita tidak memiliki apa-apa bahkan tak bisa melakukan apapun.

Sampai pada suatu ayat disebutkan:

“Kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya” (Abasa 21)

Kita tau bahwa Allah yang mematikan manusia namun kitalah yang menguburkan jasad tersebut. Tapi dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia-lah yang mematikan manusia bahkan menguburkannya juga. Seakan Allah ingin menjelaskan bahwa manusia tak akan bisa memasuki liang kubur jika bukan karena Allah.

Juga kita mengetahui ketika Rasulullah menang mutlak di perang badar, Allah tetap mengabarkan bahwa Dia-lah Sang penentu kemenangan:

“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.” (Al-Anfal 17)

Bahkan seorang konglomerat bernama Qorun pernah menyombongkan dirinya dengan menganggap semua kekayaan ini adalah hasil dari buah pikiran dan kerja kerasnya, dia berkata:

Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.”(Al Qashas 78)

Lalu apa yang Allah lakukan kepadanya?

“Maka Kami Benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah”. (Al Qashas 81)

Begitu pula yang terjadi pada Iblis, para ahli Irfan (ilmu gabungan antara filsafat dengan tasawuf) berpendapat bahwa Iblis terkutuk bukan hanya karena tidak mau sujud kepada Adam, namun karena dia menganggap dirinya ada di hadapan Allah. Dia selalu mengatakan saya dan saya. Saya lebih baik dari Adam.

(Iblis) berkata, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Shad 76)

Siapa dirimu wahai Iblis sehingga berani membanggakan diri dan menganggap dirimu ada di hadapan Allah.

“Tetapi kamu tidak mampu menghendaki kecuali apabila Dikehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (Al-Insaan 30)

“Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila Dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.”(At-Takwir 29)

Sebenarnya ayat-ayat di atas adalah pintu untuk membuat hidup manusia menjadi tenang. Manusia hanya wajib berusaha. Nanti Allah-lah yang akan memberinya. Sehingga manusia tak perlu lagi pesimis dan takut menjalani hidup. Karena selalu ada Allah yang mengiringi semua usaha kita. [khazanahalquran]

INILAH MOZAIK


Hidup di Dunia Sangat Singkat seperti Pagi ke Sore

MANUSIA akan merasakan dahsyatnya Hari Kiamat. Hari itu mereka sungguh kebingungan. Tak ada yang peduli dan tak ada yang membantu. Manusia berlarian berusaha menyelamatkan diri masing-masing.

Di saat seperti ini, manusia melihat kehidupan dunia begitu singkat. Hidupnya hanya seperti pendeknya waktu pagi ke sore.

“Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.”(An-Naziat 46)

Ketika kita sudah berpindah ke alam akhirat, kita baru sadar bahwa masa di dunia sangatlah singkat.

Dia (Allah) Berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.” Dia (Allah) Berfirman, “Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui.”(Al-Muminun 112-114)

Lalu, masihkah kita akan bertengkar untuk masa sesingkat pagi dan sore ini? Akankah kita akan berebut untuk menumpuk bekal demi kehidupan yang akan segera berakhir ini?Apakah demi masa singkat ini, akan kita korbankan kehidupan akhirat yang abadi?

Sungguh tidak, ini adalah kebodohan terbesar. Dan tidak akan dilakukan oleh seorang yang mau mendengar dan melihat.

“Manusia itu tidur, saat mati baru ia tersadar”(Sayidina Ali bin Abi tholib).

INILAH MOZAIK

Ketika Shalat Dipanggil Ibunda Kita, Harus Bagaimana?

Ulama berbeda pendapat terkait harus membatalkan atau tidak shalat kita.

Seringkali kita mengalami kondisi, tatkala sedang shalat lalu ibunda kita tiba-tiba memanggil untuk satu keperluan. 

Apa yang harus dilakukan? Dan manakah yang harus diutamakan: memenuhi panggilan ibu atau tetap melaksanakan shalat?  

Para ulama berbeda pandangan. Wafa binti Abdul Aziz as-Suwailim dalam Fikih Ibu Kumpulan Hukum Islam Khas Umahat mengatakan, ada dua pendapat terkait masalah ini. 

Pendapat pertama dikemukakan ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Syafii, dan Hanbali. Menurut mereka, ketika ibu memanggil anaknya sementara dia tengah shalat, maka anak tidak diharuskan menghentikan shalat ketika yang dikerjakan itu shalat fardhu. Namun, jika anak itu mengerjakan adalah shalat nafilah atau shalat sunah, maka dia harus menghentikan shalat dan memenuhi panggilan ibunya.  

Pendapat kedua sebagian Mazhab Syafi’i sebagaimana dituturkan ar-Rauyani. Shalat harus dihentikan secara mutlak untuk memenuhi panggilan ibu, baik itu shalat fardhu ataupun shalat sunat. 

Sementara itu ada tiga penjelasan lagi dalam Mazhab Syafi’i yang dituturkan ar-Rauyani. Pertama si anak tidak memenuhi panggilan ibu, kedua wajib memenuhi panggilan ibu dan shalatnya batal, ketiga  wajib memenuhi panggilan ibu dan shalatnya tidak batal.  

Pendapat pertama ini, kata Wafa binti Abdul Aziz As-Suwailim, bisa diartikan sebagai shalat fardhu sementara pendapat kedua dan ketika diartikan sebagai shalat sunat seperti yang dijelaskan dalam pendapat pertama.       

Wafa mengatakan, Mazhab Hanafi berpendapat, tidak boleh menghentikan salat fardhu untuk memenuhi panggilan Ibu, entah si Ibu tahu anaknya sedang shalat atau tidak. Hanya saja ketika ibu meminta tolong si anak wajib menghentikan shalat saat itu. “Pendapat ini juga secara tegas disampaikan ulama Mazhab Maliki Malikiyah,” katanya. 

Namun kata Wafa, Abu Bakar ath-Thurthusi menutur, tidak ada ketaatan untuk kedua orang tua dalam hal meninggalkan amalan fardhu. 

Pada bagian lain ath-Thurthusi menyatakan anak tidak boleh memenuhi panggilan ibu, kecuali jika anak tahu ibunya tengah mengalami masalah serius. Dalam keadaan demikian, dia boleh menghentikan shalat. 

Wafa mengatakan, pernyataan ath-Thurthusi ini bisa diartikan begini, ketika sedang melakukan salat fardhu anak tidak boleh memenuhi panggilan ibu.  

Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat, ketika anak sedang shalat fardhu dan waktunya tidak panjang, Dia tidak wajib memenuhi panggilan ibunya.  namun jika waktunya masih panjang, wajib menghentikan shalat ini menurut Imam al-Haramain.  

Sementara ulama Mazhab Syafi’i lainnya tidak sependapat dengan pendapat itu, karena ketika shalat fardhu sudah dilakukan maka tidak boleh dibatalkan. 

Sementara pendapat Mazhab Hanbali menyebutkan tidak boleh menghentikan, shalat fardhu untuk memenuhi panggilan Ibu. Imam Ahmad menyatakan, ketika seorang anak tengah melakukan shalat sunat, kemudian salah salah satu di antara kedua orang tuanya memanggil, dia harus menghentikan shalat untuk memenuhi panggilan orang tua.  

Konteksnya, kata Wafa, anak tidak boleh menghentikan shalat fardhu untuk memenuhi panggilan orang tua, seperti  ditunjukkan dalam jawaban Imam Ahmad ketika ditanya tentang seseorang yang dilarang ayahnya untuk salat berjamaah. “Kewajiban taat pada orang tua tidak berlaku ketika berbenturan dengan amalan fardhu,” katanya. 

Penjelasan kedua, menghentikan shalat sunat. Shalat sunat untuk memenuhi penggilan ibu. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat, ketika sedang  shalat sunat seseorang tidak terlepas dari dua kondisi berikut.  

Pertama, ibu tahu anaknya tengah shalat. Jika seperti itu keadaannya, anak tidak apa-apa jika tidak memenuhi panggilan ibu. Kedua ibu tidak tahu kalau si anak sedang shalat. Jika seperti itu keadannya, anak harus memenuhi panggilan ibu.  

KHAZANAH REPUBLIKA