Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi tentang Hukum Imunisasi

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Ar-Rajihi hafidzahullah mengatakan,

“(Berkaitan) dengan imunisasi (untuk mencegah) penyakit sebelum terjadi, seperti imunisasi meningitis (radang selaput otak) dan kolera, yang (dalam bahasa Arab) disebut juga dengan “at-talqiih” dan “at-tautiin”, sebagian ulama bersikap tawaqquf (tidak berkomentar) dan sebagian lainnya berfatwa melarang imunisasi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Ad-Durarus Saniyyah (5: 79). (Ulama yang melarang imunisasi) memberikan alasan bahwa hal itu adalah pengobatan terhadap penyakit sebelum terjadi. Hal ini sama saja dengan mendatangkan penyakit itu sendiri. Dan terkadang orang bisa meninggal, sehingga hal itu adalah sebab membunuh diri sendiri. 

Pendapat yang benar, bahwa imunisasi itu diperbolehkan, tidak ada larangan (tidak masalah). (Imunisasi juga bukan termasuk dalam) mendatangkan penyakit dan tidak pula menyebabkan kematian.

Bisa jadi udzur (yang membuat kita bisa memaklumi) sebagian ulama yang tidak berkomentar (tawaqquf) dalam masalah imunisasi ini atau bahkan ulama yang melarang, adalah karena pada waktu itu, masih belum jelas bagi mereka bagaimanakah hakikat (deskripsi masalah) imunisasi; manfaat imunisasi yang sudah terbukti (secara ilmiah); dan bahaya (efek samping) dari imunisasi itu masih dalam batas aman (masih bisa diantisipasi). Sebagaimana hal itu yang menjadi realita (fakta) saat ini. Ini sudah sangat jelas bagi setiap orang. 

Dalil bolehnya imunisasi adalah berikut ini:

Pertama, hadits yang terdapat dalam ash-shahihain dari hadits Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Barangsiapa di pagi hari memakan tujuh butir kurma ajwa, maka dia tidak akan terkena racun dan sihir pada hari itu.” (HR. Bukhari no. 5769 dan Muslim no. 2047)

Ini termasuk dalam perbuatan seseorang yang menjaga diri dari racun dan sihir sebelum terjadi. Sedangkan (imunisasi) adalah menjaga diri dari penyakit sebelum terjadi. Sehingga imunisasi merupakan bentuk usaha (baca: mengambil sebab) yang diperbolehkan. 

Kedua, disyariatkannya membaca ta’awudz dan doa-doa syar’i di waktu pagi dan sore hari, dan juga ketika hendak tidur. Ini adalah perbuatan menjaga dan melindungi diri dari kejelekan makhluk dan bahaya mereka, baik itu jin dan manusia, sebelum (bahaya itu) terjadi. Ini sebagaimana perkataan guru kami. 

Ketiga, apa yang disepakati oleh manusia bahwa makan dan minum itu untuk menjaga dari bahaya (yang ditimbulkan dari) rasa lapar dan haus, atau memakai pakaian pelindung dan pakaian wol itu untuk menjaga dari bahaya kedinginan. Demikian juga seorang mujahid memakai baju besi dan menggunakan senjata untuk menjaga diri dari bahaya (serangan) musuh. Sedangkan (imunisasi) adalah menjaga diri dari penyakit sebelum terjadi. Semua orang sepakat tentang hal itu. Siapa saja yang tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dia akan sakit yang bisa jadi akan menyebabkan kematian.”

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57145-fatwa-syaikh-abdul-aziz-ar-rajihi-tentang-hukum-imunisasi.html

Empat Jenis Manusia ketika Menghadap Allah Ta’ala di Akhirat

Ada empat jenis manusia ketika menghadap Allah Ta’ala di akhirat, yaitu:

Pertama, orang-orang yang bersegera dalam kebaikan (as-saabiquun bil khairaat).

Kedua, al-muqtashid (hamba yang pertengahan)Disebut juga dengan ash-haabul yamiin (golongan kanan).

Ketiga, orang-orang yang menzalimi diri sendiri (azh-zhalimu li nafisihi).

Keempat, orang-orang kafir. Disebut juga dengan ash-haabul masy’amah.

Tiga kelompok pertama semuanya termasuk orang-orang yang beriman. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan warisan ilmu dari Al-Qur’an. Mereka secara umum juga hamba-hamba Allah yang terpilih. 

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (1) dan di antara mereka ada yang pertengahan (2) dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan (3) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Faathir [35]: 32)

Allah Ta’ala juga menyebutkan dua kelompok yang pertama (as-saabiq dan al-muqtashid) di awal dan di akhir surat Al-Waqi’ah, kemudian menyebutkan jenis ketiga yaitu orang-orang kafir. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً

“Dan kamu menjadi tiga golongan.” (QS. Al-Waqi’ah [56]: 7)

فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ ؛ وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ ؛ وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ؛ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ

“Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.” (QS. Al-Waqi’ah [56]: 8-11)

Di akhir surat kemudian disebutkan,

فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّتُ نَعِيمٍ ؛ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ؛ فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ ؛ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ ؛ فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ ؛ وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rizki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam jahannam.” (QS. Al-Waqi’ah [56]: 89-94)

Lalu, siapa sajakah mereka?

As-saabiquun bil khairaat adalah al-muqarrabuun, orang-orang yang didekatkan oleh Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang suka berbuat kebaikan (ahlul ihsaan). Inilah kedudukan tertinggi seseorang di sisi Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan kewajiban (fardhu) dan meninggalkan perkara yang haram. Mereka juga semangat melaksanakan berbagai perkara sunnah. Mereka tinggalkan perkara yang haram dan makruh, juga meninggalkan perkara syubhat karena khawatir akan terjatuh dalam perkara yang haram.

Al-muqtashiduun, mereka disebut juga dengan ash-haabul yamiin atau ash-haabul maimanah. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan berbagai macam kewajiban dan meninggalkan perkara yang Allah Ta’ala haramkan. Mereka menjaga batasan-batasan syariat Allah Ta’ala. Akan tetapi, mereka tidak memiliki semangat untuk mengerjakan perkara-perkara sunnah, sebagaimana golongan as-saabiquun. Mereka juga terkadang terjatuh dalam perkara makruh. Mereka juga bermudah-mudah dalam mengerjakan perkara yang mubah. Tidak sebagaimana golongan pertama (as-saabiquun) yang berhati-hati meskipun dalam perkara mubah ketika khawatir akan berlebih-lebihan di dalamnya. 

Dua golongan pertama ini termasuk ahlul jannah (penghuni surga), dan akan masuk surga tanpa disiksa di neraka. 

Adapun golongan ketiga, yaitu azh-zhaalimu li nafsihi (orang yang menzhalimi diri sendiri), mereka adalah orang-orang beriman yang meninggalkan sebagian perkara yang wajib dan terjatuh dalam sebagian perkara yang haram. Mereka adalah orang-orang yang beriman sehingga pada akhirnya akan menjadi penduduk surga. 

Akan tetapi, mereka ini dikhawatirkan akan masuk neraka terlebih dahulu karena maksiat yang mereka kerjakan. Mereka ini tergantung pada kehendak Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Dan Allah mengampuni segala dosa selain syirik itu, bagi siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Terkadang, Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa mereka kemudian langsung memasukkan mereka ke dalam surga. Namun terkadang, Allah Ta’ala akan azab dulu mereka di neraka, kemudian mengeluarkan mereka dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga. 

Adapun golongan keempat adalah orang-orang kafir, mereka adalah ash-haabul masy’amah, ash-haabul syimaal, mereka adalah orang-orang yang mendustakan dan sesat. Orang-orang kafir ini bermacam-macam, baik dari golongan Yahudi, Nashrani, Majusi, orang-orang munafik, dan orang-orang musyrik. Mereka adalah orang-orang yang akan kekal di neraka, selama-lamanya. Nas’alullaaha as-salaamata wal ‘afiyaat.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57147-empat-jenis-manusia-ketika-menghadap-allah-taala-di-akhirat.html

Posisi Duduk yang Dimurkai Allah

AGAMA Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk urusan duduk. Untuk yang satu ini, memang kurang mendapat perhatian serius. Sebagian berpikir, bagaimana bisa duduk saja sampai diatur dalam agama.

Namun begitulah ajaran Islam, setiap sendi kehidupan bernapas dengan aturan yang sudah ditetapkan. Peraturan yang dibuat, bukan bermaksud memberatkan, namun justru berdampak positif baik dari segi sosial dan kesehatan.

Ternyata cara duduk juga diatur sedemikian rupa. Melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah mengabarkan Dia begitu murka dengan hamba-hamba-Nya yang duduk seperti ini. Sebagai muslim, sudah selayaknya kita menjauhi apa yang diperintahkan Rasul, termasuk menghindari duduk seperti berikut.

Ternyata duduk yang dimurkai Allah adalah dengan meletakkan tangan kiri di belakang dan dijadikan sandaran atau tumpuan. Bukankah ini sering kita lakukan? Terutama saat duduk di lantai saat menghadiri jamuan, saat bersantai bersama keluarga atau saat berada di dalam masjid.

Hadis Riwayat Abu Daud dari Syirrid bin Suwaid radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda yang artinya:

“Rasulullah pernah melintas di hadapanku sedang aku duduk seperti ini, yaitu bersandar pada tangan kiriku yang aku letakkan di belakang. Lalu baginda Nabi bersabda, “Adakah engkau duduk sebagaimana duduknya orang-orang yang dimurkai?” (HR. Abu Daud).

Syaikh Abdul Al Abbad mengatakan bahwa duduk seperti ini hukumnya haram, meski sebagian ulama lain mengatakan makruh.

“Makruh dapat dimaknakan juga haram. Dan kadang makruh juga berarti makruh tanzih (tidak sampai haram). Akan tetapi dalam hadits disifati duduk semacam ini adalah duduk orang yang dimurkai, maka ini sudah jelas menunjukkan haramnya.” (Syarh Sunan Abi Daud, 28: 49)

Sementara itu Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, duduk yang dimurkai sebagaimana yang disifati Nabi dengan menjadikan tangan kiri sebagai penumpu tubuh. Namun jika meletakkan kedua tangan sebagai tumpuan, atau tangan kanan saja menjadi tumpuan, maka hal itu tidak mengapa.

Lantas jika ada yang bertanya, dimana logikanya? Sebagian mungkin mengatakan, ini tidak masuk akal dan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Allah dan Rasulullah sudah memerintahkan, maka ini sudah cukup bagi seorang muslim.

Masihkan kita butuh bukti lain? Jika ini perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kita tidak butuh bukti lain. Ini adalah perintah dan jika tidak ditaati merupakan tanda kesombongan seorang muslim. [Wiwik Setiawati]

INILAH MOZAIK

Saudaraku, Inilah Pentingnya Ilmu Agama

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Saudaraku yang dirahmati Allah, bagi seorang muslim belajar ilmu agama bukan sekedar kegiatan sampingan. Kalau ada waktu dikerjakan dan kalau tidak ada ya tidak mengapa ditinggalkan. Bukan demikian! Ilmu adalah kebutuhan kita sehari-hari…

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah, 

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). 

Sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud paling bagus amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar maksudnya mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan, tidak mungkin seorang bisa ikhlas dan mengikuti tuntunan kecuali jika berlandaskan dengan ilmu.

Dalil yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini sebagaimana telah diterangkan pula oleh para ulama menunjukkan bahwa paham tentang ilmu agama adalah syarat mutlak untuk menjadi baik. 

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menerangkan, diantara faidah hadits di atas adalah : 

  • Dorongan untuk menimba ilmu (agama) dan motivasi atasnya
  • Penjelasan mengenai keutamaan para ulama di atas segenap manusia
  • Penjelasan keutamaan mendalami ilmu agama di atas seluruh bidang ilmu
  • Pemahaman dalam agama merupakan tanda Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba

(lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 2/59)

Dengan demikian, ketika kita berbicara mengenai keutamaan belajar ilmu agama sesungguhnya kita sedang membahas mengenai pentingnya seorang muslim mencapai keridhaan Allah dan cinta-Nya. Karena tidak mungkin dia bisa mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan-Nya kecuali dengan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bagaimana mungkin dia akan bisa mengikuti ajaran jika dia tidak membangun agamanya di atas ilmu dan pemahaman?!

Allah berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١

“Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (rasul) niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Al-Imran: 31)

Allah berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah berfirman,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Ayat-ayat di atas dengan gamblang menunjukkan kepada kita bahwa setiap muslim harus :

  • Mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan bersih dari syirik
  • Melandasi amal salihnya dengan keimanan dan tauhid
  • Tunduk kepada syari’at Allah, menegakkan sholat dan membayar zakat
  • Menegakkan nasihat dan kesabaran

Sementara tidak mungkin melakukan itu semuanya kecuali dengan dasar ilmu dan pemahaman.

Maka sekali lagi, belajar ilmu agama ini bukan kegiatan sampingan. Ini adalah kebutuhan setiap insan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah akan mudahkan baginya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Setiap kita butuh bantuan Allah untuk bisa istiqomah dalam beragama hingga akhir hayat. Lantas bagaimana seorang hamba bisa istiqomah apabila dia tidak berpegang dengan ilmu agama?

Akar atau kunci istiqomah terletak pada keistiqomahan hati; sejauh mana hati itu tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah istiqomah  iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hadits ini menunjukkan bahwa keistiqomahan anggota badan tergantung pada keistiqomahan hati, sedangkan keistiqomahan hati adalah dengan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah, cinta terhadap ketaatan kepada-Nya dan benci berbuat maksiat kepada-Nya (lihat mukadimah Syarh Manzhumah fi ‘Alamati Shihhatil Qalbi, hal. 5-6)

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan:

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya. 

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. 

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya. 

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya. 

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

(lihat al-Fawa’id, hal. 36)

Demikian sekelumit cuplikan nasihat dan renungan, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. 

Yogyakarta, 23 Syawwal 1441 H / 15 Juni 2020 

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57143-saudaraku-inilah-pentingnya-ilmu-agama.html

Apa Makna Hikmah?

Apa Makna Hikmah?Allah Swt Berfirman :

يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS.Al-Baqarah:269)

Hikmah adalah pemberian Allah Swt yang terbesar. Karena Allah Swt menyebutnya dengan “Kebaikan yang Banyak”.

وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ

“Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak.”

Lalu apa sebenarnya hikmah tersebut?

Para Ahli Tafsir menyebutkan bahwa kata “Hikmah” memiliki banyak makna :

1. Ma’rifatullah (Mengenal Allah Swt)

2. Ilmu tentang hakikat-hakikat Al-Qur’an.

3. Ilmu tentang rahasia-rahasia di alam ini.

4. Sampai kepada kebenaran dengan perkataan dan perbuatan.

5. Memiliki ilmu tentang manusia.

6. Hikmah adalah cahaya Allah yang membedakan antara bisikan Setan dengan ilham dari Allah Swt.

Hikmah memang memiliki makna yang luas yang juga mencakup tentang berbagai perkara dalam agama ini. Termasuk juga tentang Kenabian sebagai penyambung ilmu dan hidayah kepada manusia. Bahkan dalam banyak ayat, Allah Swt menyebut para Nabi sebagai manusia-manusia yang mendapatkan hikmah.

Seperti ketika Allah Swt menyebutkan tentang Kekuasaan Nabi Daud as yang diberi hikmah oleh Allah Swt.

وَشَدَدۡنَا مُلۡكَهُۥ وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡحِكۡمَةَ وَفَصۡلَ ٱلۡخِطَابِ

“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara.” (QS.Shad:20)

Begitupula Allah Swt menyebut Al-Qur’an itu sendiri sebagai Kitab yang penuh hikmah.

يسٓ – وَٱلۡقُرۡءَانِ ٱلۡحَكِيمِ

“Ya Sin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah.” (QS.Ya-Sin:1-2)

Al-Qur’an adalah Kitab yang penuh hikmah karena di dalamnya termuat berbagai ilmu dan pengetahuan. Sebuah mukjizat yang tak pernah usang di tengah zaman yang terus berubah. Kebaikan dan keburukan telah dijelaskan didalamnya sehingga menjadi buku panduan bagi manusia dalam menjalani kehidupan.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Ketentuan Syariat Daging Kurban Boleh Diawetkan

Dewan Pengawas Syariah Rumah Zakat KH Kardita Kintabuana memastikan program Superqurban tidak bertentangan dengan syariat. Superqurban Rumah Zakat ini adalah mengolah daging kurban yang diolah menjadi berbagai macam produk salah satunya kornet.

KH Kardita mengatakan, dasar hukum dibolehkannya daging kurban diawetkan, untuk diasinkan menjadi beberapa olahan adalah seperti disampaikan hadits riwayat Imam Bukhari yang diterima dari Aisyah Radhiyallahu Anha.

”Dahulu kami biasa mengasinkan daging udhhiyah (kurban) sehingga kami bawa ke Madinah, tiba-tiba Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian menghabiskan daging kurban kecuali dalam waktu tiga hari” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun,  setelah itu Rasulullah saw memperbolehkan untuk menyimpan atau mengawetkan daging kurban.

Larangan ini bukan untuk mengharamkan, melainkan agar banyak orang miskin yang mendapat bagian darinya dalam rangka membantu kelangsungan hidup mereka akibat paceklik, hal ini sebagaimana dijelaskan pada hadits Salamah bin al-Akwa, berkata: Nabi SAW bersabda, ”Siapa yang menyembelih kurban maka jangan ada sisanya sesudah tiga hari di rumahnya walaupun sedikit. Tahun berikutnya orang-orang bertanya: Ya Rasulullah apa kami harus berbuat seperti tahun lalu?  Nabi saw menjawab, ”Makanlah dan berikan kepada orang-orang dan simpanlah sisanya. Sebenarnya, tahun lalu banyak orang yang menderita kekurangan akibat paceklik, maka aku ingin kalian membantu mereka.”

Artinya Rasulullah pada saat itu melarang daging kurban disimpan jangan lebih dari tiga hari itu ada alasannya yang ketika itu musim paceklik. Di mana orang membutuhkan makanan oleh karena itu daging kurban harus langsung dibagikan dan daging kurban harus habis hari itu juga.

“Akan tetapi tahun berikutnya karena memang keadaan sudah berangsur baik akhirnya diperboleh untuk disimpan, untuk diawetkan,” katanya.

Hadits lain dari Jabir bin Abdillah sesungguhnya Dulu kami tak makan daging kurban lebih dari tiga hari di Mina, kemudian Nabi saw mengizinkan dalam sabdanya, ”Makanlah dan bekalilah dari daging kurban.” Maka kami pun makan dan berbekal. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tentang larangan memakan daging kurban yang telah disimpan lebih dari tiga hari dan sekarang membolehkan daging kurban disimpan berdasarkan HR Muslim, Rasulullah bersabda, “Aku dahulu pernah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah kalian.”

Bahkan mayoritas ulama itu di antaranya seperti disampaikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslimbeliau mengatakan yang benar adalah menghapuskan hadis hadits yang melarang penyimpanan daging kurban melewati tiga hari tasyrik secara mutlak. Artinya membolehkan daging kurban disimpan dan dimakan sesuai waktu yang dikehendaki.

Begitu juga kata KH Dirta menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Bari Juz 10 jl 29 menjelaskan hal yang serupa, beliau berkata yang tepat adalah menghapuskan larangan secara mutlak maka menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari dan memakannya kapan saja hukumnya mubah atau boleh.

“Demikian juga  menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menyampaikan hal yang serupa,” katanya.

Untuk itu masyarakat yang ingin berkurban tidak perlu ragu berkurban di Rumah Zakat yang nanti daging kurbannya akan diawetkan atau diolah menjadi beberapa produk olahan seperti kornet, rendang dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan masyarakat yang lebih luas.

IHRAM

Dosa Yang Lebih Besar Dari Dosa Syirik

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dosa syirik adalah dosa yang paling besar dan larangan yang paling besar dalam agama. sebagaimana hadits yang mengurutkan dosa yang paling besar yaitu dosa kesyirikan sebagai urutan yang paling pertama.

Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu berkata,

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَوْ قَوْلُ الزُّورِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ

Suatu ketika kami berada di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa-dosa besar yang paling besar?”-beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali-. “Berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, dan bersaksi palsu atau berkata dusta.” Saat itu beliau bersandar kemudian beliau duduk. Beliau masih saja mengulang-ulang sabdanya sampai-sampai kami berkata kalau seandainya beliau diam. (HR. Muslim, no 126)

Syaikh Muhammad At-Tamimi berkata,

وأعظم ما أمر الله به: التوحيد، وهو إفراد الله بالعبادة وأعظم ما نهى عنه: الشرك وهو دعوة غيره معه. والدليل قوله تعالى: {وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً}

“Perintah Allah yang besar adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, dan larangan Allah yang terbesar adalah syirik, yaitu beribadah kepada selain Allah dan menyamakannya dengan beribadah kepada-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: ‘Dan beribadah hanya kepada Allah, dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun (An-Nisa: 36).” [Tsalatsatul Ushul, hal. 8]

Dalam AL-Quran disebutkan juga bahwa kesyirikan merupakan kedzaliman yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa ada dosa yang lebih besar dari dosa kesyirikan yaitu berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala ,

قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan

[1] Perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan

[2] Perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)

[3] Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan(mengharamkan)

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu).“ (Al A’raf: 33)”

Mengapa dosanya di atas dosa kesyirikan? Karena dosa syirik sumbernya adalah berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah  berkata menjelaskan ayat ini,

فرتب المحرمات أربع مراتب، وبدأ بأسهلها وهو الفواحش، ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم، ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه، ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم، وهذا يعم القول عليه سبحانه بلا علم في أسمائه وصفاته وأفعاله وفي دينه وشرعه

“Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”[I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan bahwa bahaya dosa berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu bisa mengubah agama Allah dan bahkan menempatkan dirinya sejajar dengan Pembuat syariat –wal’iyadzu billah-. Beliau berkata menafsirkan ayat,

في أسمائه وصفاته وأفعاله وشرعه، فكل هذه قد حرمها اللّه، ونهى العباد عن تعاطيها، لما فيها من المفاسد الخاصة والعامة، ولما فيها من الظلم والتجري على اللّه، والاستطالة على عباد اللّه، وتغيير دين اللّه وشرعه

“(Berkata-kata atas nama Allah) pada asma’ dan sifat-Nya, pada perbuatan dan syariat-Nya. Semua hal ini telah Allah haramkan dan Allah larang hamba-Nya untuk melakukannya, karena menimbulkan mafsadat umum dan khusus, merupaan kedzaliman dan kelancangan kepada Allah, melampui batas dan mengubah agama dan syariat Allah.” (Tafsir As-Sa’diy)

Mengubah agama Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal kemudian mengatakan ini adalah agama dan syariat Allah. Perbuatan ini memposisikan dan menjadikan orang tersebut sebagai Rabb. Sebagaimana firman Allah.

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah : 31)

Maksud ayat ini adalah mereka mentaati rahib dan pendeta secara taqlid buta padahal mereka telah mengubah agama dan berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu. Perhatikan hadits yang menafsirkan ayat tersebut.

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةَ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ)) قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ

Dari ‘Adi bin Hatim, dia berkata, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku ada (kalung) salib yang terbuat dari emas. Maka beliau bersabda, ‘Hai ‘Adi, buanglah berhala itu darimu!” Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an) dalam surat Bara’ah (at-Taubah, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka). Akan tetapi jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap halal. Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap haram”. (HR. Tirmidzi, no: 3095; dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

Semoga kita dijauhkan dari berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu dan dijauhkan dari berbagai jenis kesyirikan dan maksiat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik.html

Apakah Syirik Kecil Lebih Dahsyat dari Dosa Besar?

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang termasuk kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja.

Dosa syirik kecil lebih dahsyat daripada dosa besar

Sejumlah perkataan ulama menyatakan bahwa dosa syirik kecil lebih dahsyat daripada dosa kemaksiatan yang tercakup dalam dosa-dosa besar (al-kabaair). Di antara perkataan itu adalah:

  • Perkataan Ibnu al-Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan perihal dosa bersumpah atas nama selain Allah yang merupakan syirik kecil, beliau menuturkan,

وصاحب الشرع يجعله شركاً فرتبته فوق رتبة الكبائر

“Allah Ta’ala menyatakan bahwa bersumpah atas nama selain Allah adalah kesyirikan, sehingga tingkatannya melampaui tingkatan dosa-dosa besar.” [I’lam al-Muwaqqi’in 6/572]

  • Perkataan Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alu asy-Syaikh rahimahullah ketika mengomentari atsar yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud lebih memilih bersumpah dusta dengan menyebut nama Allah daripada bersumpah jujur tapi dengan menyebut nama selain Allah. Beliau menyatakan,

وفيه دليل على أن الشرك الأصغر أكبر من الكبائر

“Dalam atsar ini terdapat dalil bahwa tingkatan syirik kecil lebih parah daripada dosa-dosa besar.”

  • Perkataan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh ketika menyebutkan bahwa salah satu contoh syirik kecil adalah memberikan putusan hukum pada suatu kasus berdasarkan hawa nafsu dengan tetap meyakini kebenaran hukum Allah dan Rasul-Nya. Beliau berkata,

وهذا وإن لم يخرجه كفره عن الملة، فإنه معصية عظمى أكبر من الكبائر

  • “Perbuatan ini meski kekufurannya tidak mengeluarkan pelaku dari agama Islam, tapi ia adalah kemaksiatan yang sangat besar yang melebihi perbuatan dosa besar.” [Tahkim al-Qawanin hlm. 8]

Mengapa tingkatan dosa syirik kecil dianggap lebih tinggi? 

Mungkin ada yang bertanya, mengapa tingkatan dosa syirik kecil dinilai oleh sebagian ulama lebih tinggi daripada dosa besar, padahal bukankah syirik besar juga merupakan dosa besar, bahkan dosa besar yang paling besar?

Perlu diketahui bahwa dosa besar itu sendiri terbagi ke dalam dua jenis, yaitu (a) dosa besar yang terkait dengan keyakinan syirik kepada selain Allah sehingga melahirkan aktivitas amal ibadah dan (b) dosa besar berupa aktivitas yang tidak diiringi keyakinan kepada selain Allah.

Dosa besar jenis pertama seperti aktivitas beristighatsah kepada selain Allah; menyembelih atau berkurban (memberi sesajen) kepada selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, dan semacamnya. Aktivitas fisik ini merupakan dosa besar yang diiringi suatu keyakinan yang menjadikannya tergolong sebagai syirik akbar karena telah memalingkan ibadah kepada selain Allah. Kesyirikan dilakukan karena terdapat pengagungan kepada makhluk sehingga menjadikannya saingan bagi Allah dan dianggap layak diibadahi, entah dijadikan tujuan atau perantara.

Adapun dosa jenis kedua adalah aktivitas dosa besar yang tidak diiringi keyakinan kepada selain Allah seperti berzina, meminum khamr, mencuri, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari perang, dan dosa besar yang lain.

Pada jenis yang kedua inilah dikatakan bahwa syirik kecil memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi daripada dosa besar. Dengan demikian, syirik kecil meski berupa perkataan seperti ucapan “terserah Allah dan terserah kamu”; bersumpah dengan menyebut nama selain Allah; menisbatkan nikmat kepada selain Allah; mengikatkan jimat; atau yang semisalnya, dari segi jenis memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi  daripada dosa besar jenis kedua tadi, yaitu dosa besar yang tidak diiringi keyakinan syirik kepada selain Allah. 

Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pada dosa besar seperti berzina, mencuri, meminum khamr tidak terjadi prasangka buruk kepada Allah atau pemalingan ibadah kepada selain-Nya. Faktor yang memotivasi semata-mata adalah mengikuti syahwat. Berbeda halnya dengan syirik kecil, dimana dalam aktivitas tersebut terdapat unsur menjadikan makhluk sebagai saingan dan tandingan Allah ta’ala. Telah diketahui bersama bahwa dosa terbesar adalah ketika seseorang mengada-adakan saingan bagi Allah ta’ala padahal Dia-lah yang telah menciptakannya. [at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid 2/359-360]

Tapi, apakah hal ini berlaku mutlak?

 Syaikh Dr. Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah mengatakan,

“والظاهر أيضًا: أنّ قول السّلف “الشرك الأصغر أكبر من الكبائر” يعني مما هو من جنسه كالحلفِ، فالحلفُ بغير الله أكبر مِن الحلف بالله كذبًا كما في أثر ابن مسعود، وجنس الشّرك أكبر مِن جنس الكبائر، ولا يلزم مِن ذلك أن يكون كلما قيل: إنّه شرك أصغر يكون أكبر مِن كلّ الكبائر، ففي الكبائر ما جاء فيه مِن التغليظ، والوعيد الشّديد ما لم يأت مثلُه في بعض أنواع الشرك الأصغر، كما تقدم في قول الرجل: ما شاء الله وشئت. والله أعلم”

“Apa yang nampak dari ucapan Salaf bahwa syirik kecil memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi daripada dosa besar,  yaitu berlaku pada dosa besar yang sejenis dengan syirik kecil tersebut. Hal ini seperti perbuatan bersumpah dengan menyebut nama selain Allah yang tingkatan dosanya lebih besar daripada bersumpah dusta dengan menyebut nama Allah sebagaimana yang disebutkan dalam atsar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. 

Jenis syirik besar juga termasuk dalam dosa besar, sehingga bukan berarti setiap kali suatu perbuatan dikategorikan sebagai syirik kecil lantas perbuatan itu memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi dari seluruh dosa besar. Sebagian dosa besar justru ditegur dan diancam dengan ancaman yang sangat keras, sementara ancaman yang serupa tidak dinyatakan untuk sebagian syirik kecil seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terkait ucapan seseorang “terserah Allah dan terserah kamu.” [الشرك الأصغر والأكبر, diakses dari: https://sh-albarrak.com/article/383]

Contoh lain akan hal ini adalah perbandingan antara seorang yang bersumpah dengan menyebut nama orang tua karena saking hormat dengan mereka dan seorang yang membunuh orang tua dengan sengaja. Perbuatan pertama adalah syirik kecil, sedangkan perbuatan kedua adalah dosa besar. Apakah akan dikatakan bahwa dosa perbuatan pertama lebih besar daripada perbuatan kedua, karena status perbuatan pertama adalah syirik kecil? Perbuatan pertama lebih besar dosanya karena telah menciderai akidah, sedangkan yang kedua tidak?

Apabila kita menyetujui hal itu, maka konsekuensinya adalah tingkatan dosa segala bentuk syirik kecil melebihi dosa besar. Padahal kita tahu ada perbedaan yang nyata antara sikap yang ditunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah dan sikap beliau kepada orang yang membunuh orang lain yang telah mengucapkan kalimat tauhid meski di bawah ancaman pedang. Teguran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih keras terhadap pelaku perbuatan kedua daripada pelaku perbuatan pertama. Bukti yang menunjukkan bahwa perbuatan kedua meskipun berstatus dosa besar, tapi memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi daripada perbuatan pertama yang berstatus syirik kecil.

Kesimpulan

Tibalah kesimpulan dari uraian di atas yang dirangkum dalam beberapa poin sebagai berikut:

  1. Terdapat ucapan sebagian Salaf yang menyatakan bahwa syirik kecil memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi daripada dosa besar.
  2. Ucapan itu dilatarbelakangi oleh penilaian bahwa dalam perbuatan syirik kecil terdapat unsur pemalingan ibadah kepada selain Allah, pengadaan saingan dan tandingan bagi-Nya, yang tidak ditemui pada kemaksiatan yang tergolong dosa besar.
  3. Dosa besar itu sendiri terbagi dua, yaitu (a) dosa besar yang bersumber dari keyakinan kepada selain Allah sehingga melahirkan amal berupa syirik besar; (b) dosa besar berupa aktivitas yang nihil dari keyakinan kepada selain Allah. ucapan sebagian Salaf pada poin (1) berlaku pada dosa besar jenis kedua (poin b).
  4. Ucapan sebagian Salaf di atas tidak berlaku mutlak. Artinya dengan tetap melihat kasus per kasus, terdapat kemaksiatan yang tergolong sebagai dosa besar yang secara nyata memiliki tingkatan dosa yang lebih tinggi daripada dosa syirik kecil. Contohnya adalah dosa membunuh seorang muslim dengan sengaja lebih besar daripada dosa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.

Demikianlah yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat.

[Selesai]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57068-apakah-syirik-kecil-lebih-dahsyat-dari-dosa-besar.html

10 Cara Rasulullah SAW Menjemput Rahmat Allah SWT

Suatu hari Baginda Nabi Muhammad SAW didatangi Jibril, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang berada di tengah-tengah lautan. Di situ Allah SWT mengeluarkan sumber air tawar yang sangat segar sebesar satu jari, di situ juga Allah SWT menumbuhkan satu pohon delima, setiap malam delima itu berbuah satu delima.

Setiap harinya, hamba Allah tersebut mandi dan berwudhu pada mata air tersebut. Lalu ia memetik buah delima untuk dimakannya, kemudian berdiri untuk mengerjakan shalat dan dalam shalatnya ia berkata: “Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan bersujud dan supaya badanku tidak tersentuh oleh bumi dan lainnya, sampai aku dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud”.

Maka Allah SWT menerima doa hambanya tersebut. Aku (Jibril) mendapatkan petunjuk dari Allah SWT bahwa hamba Allah itu akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud. Maka Allah SWT menyuruh: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”. Untuk yang ketiga kalinya Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut pun berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah SWT tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah SWT berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu. (HR Sulaiman Bin Harom, dari Muhammad Bin Al-Mankadir, dari Jabir RA).

Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga karena rahmat Allah SWT, bukan karena banyaknya amal ibadah. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal ibadah yang kita lakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, puasa, dan amalan-amalan lainnya tidak ada arti? Jangan salah persepsi. Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia, amal ibadah adalah sebuah proses atau alat untuk menjemput rahmat Allah SWT. Karena rahmat Allah tidak diobral begitu saja kepada manusia. Akan tetapi, harus diundang dan dijemput.

Rasulullah SAW mengajarkan kepala umatnya beberapa cara agar rahmat Allah itu bisa diraih. Pertama, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah SWT dengan menyempurnakan ibadah kepada-Nya dan merasa diperhatikan (diawasi) oleh Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Kedua, bertakwa kepada-Nya dan menaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (QS al-A’raf [7]: 156-157). Ketiga, kasih sayang kepada makhluk-Nya, baik manusia, binatang. maupun tumbuhan.

Keempat, beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah (QS al-Baqarah [2]: 218). Kelima, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Rasulullah SAW (QS an-Nur [24]: 56). Keenam, berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkannya dengan bertawasul dengan nama-nama-Nya yang Mahapengasih (ar-Rahman) lagi Mahapenyayang (ar-Rahim). Firman Allah SWT, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS al-Kahfi [18]: 10).

Ketujuh, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran (QS al-An’am [6]: 155). Kedelapan, menaati Allah SWT dan Rasul-Nya (QS Ali Imran [6]: 132). Kesembilan, mendengar dan memperhatikan dengan tenang ketika dibacakan Alquran (QS al-A’raf [7]: 204). Kesepuluh, memperbanyak istigfar, memohon ampunan dari Allah SWT. Firmannya, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS an-Naml [27]: 46).

Oleh Suprianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Keturunan Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memiliki anak:

Anak pertama: Ismail yang lahir dari kandungan Hajar Al-Qibthiyah Al-Misthiyah.

Anak kedua: Ishaq yang lahir dari kandungan Sarah, putri pamannya.

Selanjutnya Nabi Ibrahim menikah dengan Qathura binti Yaqthan Al-Kan’aniyah yang melahirkan enam anak:

  • Madyan
  • Zamran
  • Saraj
  • Yaqsyan
  • Nusyuq
  • Yang keenam tidak diketahui namanya

Kemudian Ibrahim menikah dengan Hajun binti Amin yang melahirkan lima anak:

  • Kisan
  • Suraj
  • Amin
  • Lathan
  • Nafis

Demikianlah diungkapkan oleh Abul Qasim As-Suhaily dalam kitabnya At-Ta’rij wa Al-I’lam.

Tentang Ismail

Ismail adalah satu-satunya anak Ibrahim selama kurang lebih tiga belas tahun. Ismail dibawa hijrah oleh Ibrahim dan ibunya Hajar. Ismail kala itu adalah bayi yang masih menyusui.

Ismail adalah orang yang pertama kali menaiki kuda. Sebelumnya, kuda adalah binatang buas, kemudian Ismail menjinakkannya dan menaikinya.

Ismail juga adalah orang yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab yang fasih dan indah.

Ismail awalnya menikah dengan Imarah binti Sa’d bin Usamah bin Akil Al-Amaliqiy. Lalu Ibrahim meminta menceraikannya. Selanjutnya Ibrahim menikah dengan As-Sayyidah binti Madhadh bin ‘Amr Al-Jurhumiy. Ada yang mengatakan bahwa wanita ini adalah istri ketiga Ismail. Dari dia lahirlah 12 anak laki-laki dari Ismail. Nama-nama anak dari Ismail adalah Nabit, Qaidzar, Izbil, Maisiy, Masma’, Masy, Dusha, Ayar, Yathur, Nabisy, Thima, dan Qadzama.

Ismail adalah seorang rasul yang diutus ke Bani Jurhum, Al-‘Amaliq, dan penduduk Yaman.

Di saat ajal dekat, Ismail berwasiat kepada saudaranya Ishaq untuk menikahkan putrinya, Nismah dengan keponakannya Al-‘Aish bin Ishaq. Dari keduanya, lahirlah bangsa Romawi atau yang disebut Bani Ashfar (ashfar artinya kuning), dikarenakan Al-‘Aish itu berkulit kuning. Darinya pula lahirlah bangsa Yunani. Di antara keturunan Al-‘Aish adalah bangsa Spanyol.

Ismail dikubur di Hijr bersama ibunya, Hajar (yang saat ini disebut dengan Hijr Ismail). Ketika wafat, Ismail berusia 136 tahun.

Tentang Ishaq

Ishaq menikah dengan Rifqa binti Batwayil. Usia Ishaq saat menikah adalah 40 tahun. Awalnya Rifqa itu mandul. Kemudian Ishaq berdoa kepada Allah agar diberi keturunan. Akhirnya doanya terkabul. Rifqa hamil, lalu Ishaq mendapat keturunan anak kembar yang bernama:

  1. ‘Ish
  2. Ya’qub*

*Diberi nama Ya’qub karena saat lahir Ya’qub memegang tumit saudaranya.

Ishaq lebih senang pada ‘Ish. Sedangkan Rifqa lebih senang pada Ya’qub.

Saat tua Ishaq sudah sulit melihat ‘Ish ingin membunuh Ya’qub karena cemburu. Kemudian Ya’qub pindah ke Harran ke tempat pamannya yaitu Laban untuk meredam marah saudaranya (‘Ish). Laban mempunyai dua anak perempuan yaitu Laya dan Rahil. Rahil lebih cantik dari Laya. Kemudian Ya’qub menikahi Laya. Setelah tujuh tahun, Ya’qub kemudian menikahi Rahil. Awalnyan Rahil mandul. Kemudian Rahil menyerahkan budaknya yang bernama  Bilha kepada Ya’qub sebagai istri ketiga. Laya juga menyerahkan budaknya (Zulfa) sebagai istri keempat. Kemudian semua istrinya memiliki anak kecuali Rahil. Tak lama kemudian, akhirnya Rahil melahirkan Yusuf dan yang terakhir adalah Binyamin.

Istri Ya’qub:

  1. Laya memiliki 7 anak, ada yang menyebut 6 anak.
  2. Rahil memiliki 2 anak, Yusuf dan Binyamin.
  3. Bilha memiliki 1 anak.
  4. Zulfa memiliki 2 anak.

Total anaknya ada 12 dari 4 istri (bani israil). Nama lain Ya’qub adalah Israil.

Ishaq meninggal dunia pada usia 180 tahun.

Referensi:

  1. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan Tahun 1436 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
  2. Ringkasan Al-Bidayah wa An-Nihayah. Ibnu Katsir. Penerbit Insan Kamil.
  3. Kisah Para Nabi dan Rasul. Al-Hafizh Ibnu Katsir. Penerbit Pustaka As-Sunnah Jakarta.

Disusun oleh:

  1. Rumaysho Fathmah Tuasikal
  2. Ruwaifi’ Tuasikal

Dikoreksi ulang oleh:

Muhammad Abduh Tuasikal