Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 4)

KAIDAH KEEMPAT: Bantahan kita terhadap Mu’aththilah (para penolak Sifat).

Kaum Mu’aththilah itu terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok. Diantara mereka ada pihak yang mengingkari Nama dan Sifat Allah secara mutlak semacam kelompok Jahmiyah. Ada pula pihak yang mengingkari Sifat saja semacam kelompok Mu’tazilah. Ada pula yang mengingkari sebagian Sifat dengan tetap menetapkan Nama-Nama Allah semacam kelompok Asyaa’irah (yang mengaku-aku pengikut Imam Abul Hasan Al Asy ‘ari-pent). Diantara mereka ada yang terjerumus dalam sikap tafwidh (menyerahkan lafazh, makna dan kaifiyah Sifat hanya kepada Allah-pent). Ada yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang saling bertolak belakang seperti, “Allah itu tidak hidup juga tidak mati, tidak mendengar juga tidak melihat (mungkin maksud beliau tidak tuli, wallahu a’lam-pent), tidak bisu tapi juga tidak berbicara, dst.” Itu semua mereka lakukan dengan alasan untuk menghindar dari penyerupaan/tamtsil. Pendapat terakhir ini adalah madzhab orang-orang mulhid/atheis di kalangan sekte Bathiniyah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- menerangkan bagaimana cara membantah orang-orang semacam ini. Beliau mengatakan: “Pendapat-pendapat yang mereka lontarkan bertentangan dengan makna zhahir dari nash-nash yang ada, juga menyimpang dari manhaj/metode para Salaf, dan tidak ada dalil shahih yang mendukung pendapat mereka. Bahkan untuk membantah (kesalahan) mereka dalam beberapa Sifat tertentu bisa ditambahkan bantahan keempat bahkan bisa jadi lebih banyak dari itu.” Yang dimaksud oleh beliau (Syaikh ‘Utsaimin) ialah penambahan terhadap tiga bantahan yang telah diajukan tadi sangat mungkin untuk disampaikan sehingga jumlahnya menjadi empat bantahan dan bahkan bisa lebih banyak daripada itu tergantung Sifat mana yang sedang dibicarakan.

Faidah:

Apakah perbedaan tahrif dengan ta’thil?

Tahrif terjadi pada dalil (merubah lafazh maupun maknanya, lihat Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Al Wasithiyah hlm 6 oleh Syaikh Al Utsaimin-pent) sedangkan ta’thil terjadi pada madlul/makna yang ditunjukkan dalil. “Syaikh Utsaimin juga mendefinisikan ta’thil sebagai pengingkaran Nama atau Sifat yang seharusnya ditetapkan dimiliki Allah, dengan bentuk ta’thil kulli/total seperti yang dilakukan oleh Jahmiyah atau ta’thil juz’i/sebagian’ seperti yang dilakukan oleh Asy’ariyah” [yang ada dalam tanda petik adalah tambahan dari penterjemah]. (Sehingga setiap orang yang melakukan tahrif pasti melakukan ta’thil akan tetapi tidak setiap orang yang melakukan ta’thil itu mesti melakukan tahrif, lihatlah Syarah ‘Aqidah Wasithiyah Syaikh Shalih Al Fauzan hlm 15 -pent).

Misalnya, ada seseorang yang mengomentari firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang” dengan menyatakan “(dua Tangan) itu artinya dua Kekuatan-Nya.” Maka orang ini telah terjerumus dalam tindakan tahrif terhadap dalil dan sekaligus melakukan ta’thil terhadap madlul/makna yang ditunjukkan oleh dalil; yaitu Tangan yang hakiki. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kelompok Mufawwidhah/pelaku tafwidh (diantara mereka Syaikh Hasan Al Banna pendiri Jama’ah Al Ikhwan Al Muslimin, semoga Allah mengampuninya dan memberi hidayah taufiq kepada para pemujanya-pent) termasuk dalam jajaran penolak Sifat (Mu’aththilah).

Demikianlah kemudahan yang dianugerahkan Allah kepada saya guna menjelaskan kaidah-kaidah ini, semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Segala Puji dari awal sampai akhir bagi Allah Rabb penguasa alam semesta. Semoga shalawat dan barakah tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

(Diterjemahkan oleh Abu Muslih dengan sedikit perubahan tanpa menyertakan catatan kaki dari Penulis)

***

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 3)

Simak pembahasan sebelumnya: Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 2)

KAIDAH KETIGA: Kaidah tentang Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Seluruh Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifat yang Maha Tinggi).” (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat yang paling tinggi adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang seharusnya ditaruh di belakang (yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia Mengistimewakan Sifat tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa Al Qur’an yang sangat indah!!

Rabb Sesembahan yang berhak menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang kesempurnaan-Nya mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan. Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala-berhala dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang penuh kekurangan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?” (QS. Al Anbiyaa’: 66). Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari (memperhatikan) do’a mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do’a yang mereka serukan.

Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi beberapa bagian:

  1. Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
  3. Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’ (Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent) dalam konteks pembalasan.

Faidah:

Apakah semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta’ala juga menjadi sifat kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat kekurangan yang tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat kekurangan jika disandang oleh makhluk?

Jawabnya:

Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk. Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri Allah Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala. Serta kita wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.

2. Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash Al Kitab dan As Sunnah ada 2 macam yaitu:

  1. Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan (al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan (yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak diperbolehkan mensifati Allah Ta’ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlu bida’ wal ahwaa’ (para penyeru bid’ah dan pengekor hawa nafsu-pent) yang telah mensifati Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullahu Ta’ala dalam Al Qawaa’idul Mutsla. Beliau menerangkan:

  1. Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.
  2. Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, “Tembok itu tidak berbuat zhalim.” Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan kesempurnaan.
  3. Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati. Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.

Oleh karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2 perkara: Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta’ala dan Kedua, menetapkan lawan dari sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah Ta’ala.

Contohnya sifat Al ‘Ajz/lemah, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.” (QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini kita menolak keberadaan sifat lemah pada Diri Allah Ta’ala dan juga kita harus menetapkan kesempurnaan sifat lawannya yaitu ilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu tidak menganiaya/menzhalimi seorang juapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.

3. Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.

Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa dibagi menjadi dua:

A. Sifat Dzatiyah

Yaitu sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila dilihat dari kandungan isinya:

A1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah

Yaitu sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.

A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah

Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian dan anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.

B. Sifat Fi’liyah

Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait dengannya:

  1. Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.
  2. Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa’/bersemayam.

Faidah:

Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga sebagai Sifat Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya sifat Al Kalaam/berbicara. Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah, artinya Allah Ta’ala dapat berbicara kapanpun Dia kehendaki.

4. Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.

  1. Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?
  2. Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
  3. Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?

Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:

  1. Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
  2. Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan masalah Dzat.
  3. Sifat-Sifat Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?

Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik

Faidah Pertama:

Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, “Aku punya buku yang sifatnya demikian dan demikian.” Kalau perkataan ini anda teruskan dengan ungkapan, “(Bukuku) seperti bukumu”, maka inilah yang disebut dengan tamtsilTamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, “Tangan Allah seperti tanganku.”

Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat makhluk. Adapun takkyif tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-pent). Oleh karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat-Sifat Allah termasuk tindakan takyif.

Faidah Kedua:

Munculnya takyif akibat pertanyaan ‘Bagaimana?’ Kaum ahlul ahwaa’/pengekor hawa nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah -pent) dengan ungkapan semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid’ah mempertanyakan, “Bagaimana kaifiyah Sifat ini dan itu?” Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa jawaban berikut:

  1. Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi’ah. Suatu saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa’ (cara Allah bersemayam-pent). Beliau menjawab: “Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa’ bukanlah sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya) termasuk bid’ah.”
  2. Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta’ala. Apabila dia mempertanyakan misalnya, “Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?, bagaimana Tertawa-Nya?, dst.” Maka tanyakanlah kepadanya, “Bagaimanakah Dzat Allah?” atau “Bagaimanakah wujud-Nya?” Kalau dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah”, maka katakanlah kepadanya, “Begitu pula saya tidak mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi.” Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun di atas kaidah ‘Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat’.
  3. Atau dengan jawaban, “Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu, dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat-Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka.”

Faidah Ketiga:

Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, “Saya menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah” karena Sifat-Sifat Allah Ta’ala mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta’ala. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara ‘peniadaan kaifiyah‘ dengan ‘peniadaan ilmu tentang kaifiyah‘. Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong tindakan ta’thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!

Faidah Keempat:

Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya ungkapan ‘menolak tamtsil‘ itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan ‘menolak tasybih‘. Hal ini didukung beberapa alasan:

  1. Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Sedangkan kata tasybih bukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.
  2. Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta’thil/penolakan Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut, paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.
  3. Ahlul bid’ah semacam Jahmiyah dan Mu’aththilah terkadang menggunakan istilah Musyabbihah (pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat Allah; seperti sifat Ilmu, Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari kesalahpahaman dengan cara memakai istilah ‘tamtsil’ sebagai pengganti istilah ‘tasybih’.

Simak pembahasan selanjutnya: Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 4)

***

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 2)

KAIDAH KEDUA: Ketentuan yang berkaitan dengan Nama-Nama Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Seluruh Asmaa’ Allah pasti husna.

Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-Nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Husna adalah bentuk mu’annats (lafazh berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentuk mu’annats dari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-Nama Allah adalah husna artinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang paling indah…” (QS. Al A’raaf: 180). Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikitpun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).

Semua Nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi Nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.

Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa’ Allah adalah setiap Nama dari Nama-Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al ‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al ‘Aliim merupakan salah satu Nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.

Faidah:

Dengan memahami kaidah ini kita bisa mengetahui letak kekeliruan Imam Ibnu Hazm dan orang-orang berpemahaman zhahiriyah/tekstualis yang sejalan dengan beliau ketika mereka menetapkan Ad Dahr (artinya ‘masa’) sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala. Sebab Ad Dahr adalah ism jamid/kata beku (bukan musytaq/pecahan) yang tidak mengandung sifat sama sekali. Ad Dahr hanya sebuah nama yang tidak ada keindahan sama sekali di dalamnya. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang terdapat di dalam Ash Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) yang memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku karena dia mencaci masa (Ad Dahr). Padahal Aku adalah Ad Dahr; semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Hadits ini tidaklah menunjukkan penetapan Ad Dahr sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala, ini didukung dengan alasan kuat yang bisa diketahui dari dua sisi argumentasi:

1. Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan, “Padahal Aku adalah Ad Dahr” telah dijelaskan maksudnya oleh firman-Nya, “Semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa semua urusan ditangan-Nya, Dia-lah yang mengatur silih bergantinya waktu siang dan malam. Sedangkan pergantian siang dan malam itulah yang disebut dengan Ad Dahr/masa. Karena kalau tidak dipahami demikian pastilah perkataan kaum Dahriyyiin dibenarkan oleh Allah, mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad Dahr/masa.” (QS. Al Jaatsiyah: 24). Akan tetapi ternyata Allah mendustakan perkataan mereka. Allah berfirman, “Mereka tidaklah memiliki ilmu tentang apa yang mereka ucapkan, hanyasanya mereka berprasangka (yang tidak ada buktinya-pent).”

2. Firman Allah Ta’ala, “Aku-lah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Di dalamnya terkandung penetapan objek yang dibolak-balikkan (muqallab-dengan fathah pada huruf lam) dan penetapan subjek yang membolak-balikkan (muqallib-dengan kasrah pada huruf lam). Mustahil kalau objek yang dibolak-balikkan (muqallab) itu juga sekaligus subjek yang membolak-balikkan (muqallib). Padahal siang dan malam adalah makna dari Ad Dahr sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jaatsiyah di atas (ketika Allah mendustakan perkataan kaum Dahriyyin-pent).

2. Asmaa’ Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo’a, “Hamba memohon kepada-Mu dengan perantara seluruh Nama yang Engkau namai Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, Nama yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan juga Nama yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak mengetahuinya.

Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas ulama’ bahwa Nama Allah tidak dibatasi jumlah bilangan tertentu, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Baari. Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi pemahaman mereka. Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah beralasan dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain. Di dalam hadits tersebut Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang apabila seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga.”

Ibnu Hazm -semoga Allah mengampuni kesalahan beliau- beralasan, “Seandainya Allah memiliki Nama selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka perkataan Nabi ‘seratus kurang satu’ menjadi perkataan yang tidak ada gunanya…” Sedangkan Jumhur ulama’ berpendapat tidak adanya pembatasan jumlah Nama Allah. Mereka memahami pembatasan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah itu terkait erat dengan janji balasan yang akan diperoleh orang yang menjaganya Nama-Nama tersebut, sehingga kalimat “apabila seseorang menjaganya” menjadi penyempurna yang erat kaitannya dengan kalimat sebelumnya.

Imam Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta’ala, hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99. Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya dia masuk Surga. Ini adalah kabar yang memberitakan bahwa orang yang menjaganya (melakukan ihsho’) Nama-Nama itu akan mendapat balasan masuk surga, sehingga hadits tersebut bukan memberitakan pembatasan jumlah Nama.

Al ‘Allamah Al Utsaimin memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan maksud hadits ini dengan kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh, jika anda mengatakan: “Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk shadaqah.” Dari kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih mempunyai uang selain jumlah itu.

Kata-kata “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nama-Nama itu sesuatu yang diketahui. Sedangkan kata-kata “Nama yang Engkau sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama Allah yang tidak bisa kita ketahui. Dengan dasar dua ungkapan hadits ini disimpulkan bahwa jumlah Nama Allah lebih dari sembilan puluh sembilan.

Faidah:

Sabda Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam“apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil bahwa Nama-Nama tersebut bisa diketahui. Dan jika anda telah mengerti bahwasanya tidak ada riwayat yang sah mengenai perincian Nama-Nama yang dimaksud (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari), lalu bagaimana mungkin seseorang yang ingin mendapatkan keutamaan tersebut dapat meraihnya sementara untuk menjaganya Nama-Nama Allah tidak terdapat perincian Nama-Nama yang dimaksud?

Para ulama’ memberikan 2 jawaban atas pertanyaan ini:

  1. Ketidaktahuan orang yang berdo’a terhadap rincian Nama-Nama Allah yang dimaksud dalam hadits akan mendorong dia untuk terus menerus berdo’a dengan menyertakan seluruh Nama Allah yang sah dalilnya dengan harapan bisa menepati Nama-Nama tertentu yang dikhususkan oleh hadits tersebut. Jawaban ini serupa dengan alasan mengapa Allah menyembunyikan waktu turunnya Lailatul Qadar.
  2. Alif lam ta’rif (pada kata al asmaa’) dalam firman Allah, “Dan hanya milik Allah Al Asmaa’ul Husna maka berdo’alah kalian dengan perantara menyebutkannya”, berfungsi untuk ‘ahd (menyebutkan makna yang sudah dipahami maksudnya oleh pendengar dan pembicara-pent). Dengan begitu pasti ada ma’huud-nya (objek yang dimaksud dalam konteks pembicaraan-pent) karena Allah memerintahkan kita untuk berdo’a dengan menyebutkan Nama-Nama itu. Sehingga Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Saya berpendapat Al Hawaalah (mencari Nama Allah yang ada dalam cakupan) Al Qur’an itulah yang lebih mendekati kebenaran.”

Al Hafizh Ibnu Hajar beserta beberapa ulama’ yang lain menerangkan maksud dari sabda Nabi tentang ihsho’/ menjaga Nama Allah dengan beragam penjelasan. Maka silakan anda merujuk kepada kitab Fathul Baari ketika Ibnu Hajar membahas syarah/keterangan hadits nomor 6410.

3. Nama-Nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan dalil syar’i.

Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi (penetapannya membutuhkan dalil syar’i-pent) yang penetapannya bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam memahami maksud penetapan Nama ini terdapat perbedaan pendapat:

  1. Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang tercantum dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
  2. Nama-Nama tersebut diambil dari dalil Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ sedangkan Qiyas tidak boleh digunakan.
  3. Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya tidak termasuk perkara tauqifi.
  4. Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri Allah maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah dan Karraamiyah.

Diantara beragam pendapat tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat. Sedangkan akal sekedar berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu Nama disandarkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai pertangungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)

Nama-Nama Allah hanya bisa diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau hadits-pent) bukan dari hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur ‘Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu ta’ala ‘anha, Nabi bersabda, “Maha Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu menyempurnakan ats tsanaa’/sanjungan terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan kepada Diri-Mu sendiri.” Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam cakupan tsanaa’/sanjungan (sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana Nabi tidak dapat menyempurnakan sanjungan terhadap Allah-pent). Hal ini sebagaimana kita tidak diperbolehkan memberi nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan nama yang bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga beliau, maka terhadap Allah Rabbul ‘Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengannya lebih tidak pantas untuk dilakukan.

Oleh karena itulah penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata. Kalau kita melakukan penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-Nya bagi Diri-Nya sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai Allah tanpa landasan ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama yang sudah disebutkan-Nya maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan penolakan. Karena Allah berhak menamai Diri-Nya dengan nama apa saja yang disukai-Nya. Sehingga tindakan menambah-nambahi atau menyembunyikan Nama Allah tergolong tindakan yang sangat jelek.

Faidah:

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam kitabnya Badaai’ul Fawaa’id: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah dalam permasalahan Asmaa’ dan Sifat adalah perkara tauqifi. Adapun penyandaran dalam bentuk berita tentang Allah bukan perkara tauqifi, contohnya memberitakan Allah sebagai Asy Syai’ (Sesuatu), Allah Maujud (ada), Qadiim (terdahulu), dan lain sebagainya. Kaidah inilah yang dikenal oleh ahli ilmu dengan ungkapan, “Cakupan penetapan berita lebih luas daripada penetapan Nama.” Jika anda menetapkan Nama dari semua Sifat Allah yang tercantum di dalam Al Kitab maupun As Sunnah sebagai pemberitaan tentang Nama-Nya seperti Al Jaa’i (yang datang), Al Aakhidz (yang menyiksa), Al Mumsik (yang menahan), Al Muriid (yang berkehendak), An Naazil (yang turun)… maka Allah Ta’ala tidak boleh dinamai dengan nama-nama tersebut tetapi kita diperbolehkan memberitakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut.”

4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta’addi.

Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:

Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:

  1. Beriman dengan Nama tersebut.
  2. Beriman dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
  3. Beriman dengan atsar yang timbul dari Nama tersebut.

Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- (memberikan ungkapan yang sedikit berbeda untuk rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al Qawaa’idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan konsekuensi Nama-Nama Allah” sebagai pengganti ungkapan “atsar yang timbul”. Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud dari penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin -pent) sama artinya dengan menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya dimana tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis dari penetapan Sifat. Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh Allah-pent). Rukun ketiga ini berlaku apabila Nama itu menunjukkan kepada sifat yang butuh objek/muta’addi.

Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta’addi maka kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus menunjukkan keberadaan Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang terkandung di dalamnya. Pada penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa Nama Allah bukan sekedar label/merek akan tetapi ia merupakan Nama yang paling indah. Dan salah satu bentuk keindahan tersebut ialah bahwasanya Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus Sifat.

Contoh dari penjelasan ini:

  1. Nama Allah yang menunjukkan sifat muta’addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum, Ar Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al ‘AliimAr Rahiim (Yang Maha Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah/kasih sayang sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Selain itu kita juga menetapkan bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, dan inilah yang disebut dengan atsar.
  2. Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta’addi: Seperti Al Awwal, Al Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al ‘Aali, Al Hayyu dan Al ‘Azhim. Al ‘Aali (Yang Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al ‘Uluww/Tinggi sebagai sifat bagi-Nya.

Simak pembahasan selanjutnya: Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 3)

***

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id

Penyimpangan Terhadap Al Asma Al Husna

Allah subhânahu wa ta’âla memiliki nama-nama yang indah. Di dalam bahasa Arab disebut dengan Al-Asmâ-ul-Husnâ (الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى). Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }

Artinya: “Hanya milik Allah Al-Asmâ-ul-Husnâ. Oleh karena itu, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmâ-ul-Husnâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’râf : 180)

Untuk mengenal nama-nama tersebut haruslah merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah kalâmullâh (perkataan Allah). Allah lebih tahu tentang diri-Nya daripada seluruh makhluk-Nya. Begitu pula dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lebih tahu tentang Allah daripada seluruh manusia.

Ada beberapa permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas ketika kita berbicara tentang Al-Asmâ-ul-Husnâ ini. Penulis rinci dengan membuat sub-sub judul berikut:

Al-Asmâ-ul-Husnâ Tidak Hanya Sembilan Puluh Sembilan

Banyak orang yang menyangka bahwa Allah hanya memiliki sembilan puluh sembilan nama, dengan dalil yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallâhu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة )

Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama/seratus dikurangi satu. Barang siapa yang dapat menghitung atau menghapalnya maka dia akan masuk surga.”1

Padahal, Allah memiliki banyak nama yang tidak kita ketahui dan disembunyikan di sisi-Nya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa, :

( …أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ …)

Artinya: “… Saya memohon dengan seluruh nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu atau yang Engkau sembunyikan di ilmu ghaib di sisi-Mu…2

Hadîts di atas sangat jelas menyatakan bahwa nama Allah subhânahu wa ta’ala tidak hanya sembilan puluh sembilan, karena ada nama-nama yang disembunyikan di sisi-Nya.

Seandainya ada seseorang mengatakan, “Saya punya uang Rp 10.000,00” Apakah kabar ini menunjukkan dia hanya punya uang Rp 10.000,00 saja? Tentu tidak. Bisa saja dia memiliki uang lebih dari itu. Begitu pula dengan penyebutan sembilan puluh sembilan pada hadits di atas.

Al-Qurthubi berkata, “Telah kami sebutkan bahwa nama-nama Allah ada yang telah disepakati oleh para ulama dan ada yang masih diperselisihkan. Yang kami dapatkan di buku-buku para imam kami, (nama-nama tersebut) mencapai lebih dari dua ratus nama.”3

Ibnu Katsîr berkata, “Al-Faqîh Al-Imâm Abu Bakr bin Al-‘Arabi –salah satu imam madzhab Mâliki menyebutkan di dalam kitabnya ‘Al-Ahwadzi fî Syarhi At-Tirmidzi’ Bahwasanya sebagian ulama mengumpulkan nama-nama Allah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebanyak seribu nama. Allâhu a’lam.”4

Arti ‘Barangsiapa Yang Menghitung/Menghafalnya, Maka Dia Akan Masuk Surga’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama/seratus dikurangi satu. Barang siapa yang dapat menghitung atau menghapalnya maka dia akan masuk surga.”5

Ihshâ’ (menghitung/menghapal) Al-Asmâ-il-Husnâ di dalam hadîts tersebut memiliki empat tingkatan, yaitu:

  1. Menghitung dan menghapal nama-nama tersebut.
  2. Memahami makna yang terkandung di dalamnya
  3. Berdoa dengan menggunakan nama-nama tersebut, seperti: Ya Razzâq (Yang Maha Memberi Rezeki)! Berilah aku rezeki, Ya Ghafûr (Yang Maha Pengampun)! Ampunilah dosa-dosaku.
  4. Menyembah Allah dengan seluruh kandungan nama-nama tersebut. Jika kita tahu bahwa Allah Ar-Rahîm (Maha Pemberi Rahmat), maka kita selalu mengharapkan rahmat atau kasih sayang-Nya. Jika kita tahu bahwa Allah Al-Ghafûr (Maha Pemberi Ampun), maka kita selalu memohon ampun kepadanya. Jika kita tahu bahwa Allah As-Samî’ (Maha Mendengar), maka kita selalu menjaga perkataan kita, jangan sampai membuat Dia marah. Jika kita tahu bahwa Allah Al-Bashîr (Yang Maha Melihat), maka kita selalu menjaga perbuatan kita agar tidak mengerjakan sesuatu yang tidak diridhainya. 6

Sembilan Puluh Sembilan Al-Asmâ-ul-Husnâ Di Dalam Satu Hadits?

Tidak ditemukan hadits yang shahîh yang menyebutkan dan mengumpulkan sembilan puluh sembilan Al-Asmâ-ul-Husna dalam satu hadîts. Adapun hadits yang diriwayatkan di dalam Sunan At-Tirmidzi, Mustadrak Al-Hakim dan yang lainnya, para ulama mendhaifkannya.

At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadîts yang terdapat di dalamnya Al-Asmâ-ul-Husna tersebut, beliau mengatakan, “Hadîts ini gharîb…hadîts ini diriwayatkan dengan jalan lain dari Abu Hurairah dan kami tidak mengetahui pada sebagian besar riwayat-riwayat tersebut yang menyebutkan nama-nama ini kecuali di hadîts ini…”7

Ibnu katsîr mengatakan, “Yang menjadi pegangan Jamâ’ah Al-Huffâdzh (para muhadditsîn) adalah hadîts tersebut mudraj8.”9

Bolehkah Seseorang Diberi Nama Dengan Salah Satu Nama Allah?

Nama-nama Allah subhânahu wa ta’âla terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Nama-nama yang mengandung sifat yang hanya khusus dimiliki oleh Allah subhânahu wa ta’âla, seperti: Ar-Rahmân, Al-Khâliq, Al-Bâri, Al-Qayyûm, Al-Ilâh, Ar-Razzâq, Ash-Shamad, dll. Nama-nama Allah yang seperti itu hanyalah milik Allah dan tidak boleh digunakan oleh makhluknya.
    Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang diberi nama dengan Malikul-Amlâk (Raja semua raja), dengan sabdanya:( إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ… لَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ )Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama Malikul-Amlâk (Raja semua raja)…Tidak ada raja kecuali Allah ‘azza wa jalla.”10Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan nama tersebut, karena di dalamnya terdapat suatu penyerupaan dengan Allah pada nama dan sifat-Nya. Ini semua untuk menjaga tauhid, menjaga hak Allah dan menutup pintu-pintu menuju kesyirikan pada ucapan-ucapan manusia. Karena bisa saja, dengan nama-nama yang sebenarnya hanya dikhususkan untuk Allah, seseorang menyangka bahwa selain Allah yang menggunakan nama tersebut juga memiliki sifat-sifat yang terkandung pada nama tersebut. Ini termasuk syirik.
    Mâlikul-Amlâk (Raja semua raja) adalah Allah. Tidak ada yang berhak memiliki gelar itu kecuali Allah. Oleh karena itu, para ulama sepakat akan terlarangnya menggunakan nama-nama jenis ini untuk makhluk-Nya11.
    Di negara kita banyak orang yang menggunakan nama-nama yang seperti ini atau dipanggil dengan nama-nama tersebut, seperti: Rahmân, Shamad, Khâliq, Razzâq dll. Hal ini tentu tidak diperbolehkan.
  2. Nama-nama yang mengandung sifat yang tidak dikhususkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, seperti: Al-Halîm, Ar-Rahîm, Ar-Ra-ûf, Al-‘Azîz, Al-Karîm, Al-Hakîm, Al-Hakam, Al-‘Aliy dll. Nama-nama Allah yang seperti itu boleh digunakan oleh makhluknya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an menamakan makhluknya dengan nama-nama tersebut, seperti pada ayat-ayat berikut:فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ“Kemudian kami berikan kabar gembira kepadanya (yaitu Ibrahim) dengan seorang anak yang (sabar/tenang).” (QS Ash-Shâffât : 101)
    Allah menamai Nabi Muhammad dengan Ra-ûf dan Rahîm,بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ“(Dia) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah : 128)
    Di dalam kisah Nabi Yûsuf ‘alaihis-salâm, Allah menyebut penguasa pada saat itu dengan Al-Azîz.قَالَتِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ“Istri Al-‘Azîz pun berkata.” (QS Yusuf : 51)
    Para sahabat banyak yang menggunakan nama-nama seperti ini dan tidak diingkari oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, seperti: ‘Ali, Karîm bin Al-Hârits bin ‘Amr As-suhami, setidaknya ada 10 orang bernama Hakîm dan setidaknya ada 30 orang yang bernama Al-Hakam.12

Akan tetapi, kita harus paham bahwa kesamaan nama dan sifat Allah dengan makhlukNya tidak berarti Allah sama dengan makhluknya. Seseorang bisa saja dijuluki Halîm (yang sabar dan tenang), tetapi hilm (kesabaran/ketenangan) yang dimilikinya tidak akan sama dengan hilm yang dimiliki oleh Allah. Allah memiliki sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan dan tidak ada yang bisa menandinginya.13

Meskipun menggunakan nama-nama jenis kedua diperbolehkan, tetapi tetap disunnahkan untuk menambahkan nama penghambaan di depannya, yaitu dengan menggunakan kata ‘Abd (عبد) untuk laki-laki, seperti: ‘Abdul-Halîm, ‘Abdul-Hakîm dll.14

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama seseorang yang bernama ‘Aziz menjadi ‘Abdurrahman sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Khaitsamah bin ‘Abdirrahman bin Abi Sabrah, dia menceritakan bahwa dulu bapaknya – yaitu ‘Abdurrahman- pernah pergi bersama kakeknya menuju ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa nama anakmu ini?” Kakekku pun menjawab, “’Azîz.” Nabi pun mengatakan, “Jangan kau namai dia dengan nama ‘Azîz. Tetapi, Namailah dia dengan ‘Abdurrahman.” Kemudian Nabi pun berkata, “Sesungguhnya nama-nama yang paling bagus adalah ‘Abdullâh, ‘Abdurrahmân dan Al-Hârits.15

Pada hadits ini tidak terdapat larangan menggunakan nama ‘Azîz, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikannya dengan yang lebih baik, yaitu ‘Abdurrahman.

Bentuk-Bentuk Penyimpangan Terhadap Al-Asmâ-ul-Husnâ

Penyimpangan terhadap Al-Asmâ-ul-Husnâ ada lima macam, yaitu16:

  1. Menamakan patung-patung yang diambil dari nama-nama Allah, seperti: Patung yang bernama Al-Lât (اللات) diambil dari nama Allah Al-Ilâh (الإله), Al-‘Uzzâ (العزى) dari nama Allah Al-‘Azîz (العزيز), Al-Manât (مناة) dari nama Allah Al-Mannân (المنان).
  2. Menamakan Allah dengan sesuatu yang tidak layak bagi Allah, seperti: para filosof menamakan Allah dengan Prime Cause (Sebab Utama) dan kaum Nashrâni (Kristen) menamakan Allah dengan Al-Abu (الأب) atau Tuhan Bapa.
  3. Menamakan Allah dengan sifat-sifat kekurangan, seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi bahwa Allah Faqîr (Miskin) atau tangan Allah terbelenggu.
  4. Mentiadakan/menolak nama-nama Allah (ta’thîl), seperti yang dilakukan oleh kaum Jahmiyah mereka mengatakan bahwa Al-Asmâ-ul-Husnâ hanya sekedar nama yang tidak memiliki makna dan arti. Mereka mengatakan, “Ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang), tetapi Allah tidak disifati dengan Rahmah (memberi kasih sayang), Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), tetapi Allah tidak disifati dengan hidup, As-Samî’ (Yang Maha Mendengar) dan Al-Bashîr (Yang Maha Melihat), tetapi Allah tidak disifati dengan memiliki pendengaran dan penglihatan.
    Ada juga orang-orang yang hanya menetapkan beberapa sifat yang terkandung pada nama-nama tersebut tetapi menolak sifat yang lainnya. Mereka menetapkan sifat berilmu pada Allah, karena Allah memiliki nama Al-‘Alîm (Yang Maha Berilmu), tetapi mereka tidak menetapkan sifat memberi kasih sayang (rahmah) pada Allah, padahal Allah memiliki nama Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm.
    Orang yang mentiadakan/menolak nama-nama Allah ada bermacam-macam. Di antara mereka ada yang keluar dari agama Islam dan ada juga yang belum keluar dari agama Islam, tergantung kepada seberapa besar tingkat kesesatannya.
  5. Menyerupakan Allah dengan makhluknya (tamtsîl), seperti mengatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah seperti penglihatan dan pendengaran manusia, hidup Allah seperti hidup makhluknya dll. Ini tidak diperbolehkan. Allah telah menyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah tidak serupa dengan segala apapun. Allah berfirman:{ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

    Artinya: “Tidak ada yang sesuatu apapun yang semisal dengan-Nya dan Dia adalah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Asy-Syûrâ : 11)

Nasehat

Mengenal Allah subhânahu wa ta’âla adalah suatu kewajiban. Salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mempelajari Al-Asmâ-ul-Husnâ dan Sifat-Sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seseorang tidak mungkin memahami dengan benar arti dari setiap nama dan sifat Allah kecuali dengan memahami bahasa Arab. Contohnya: Ar-Rahmân diterjemahkan dengan Yang Maha Pengasih dan Ar-Rahîm diterjemahkan dengan Yang Maha Penyayang, padahal kedua terjemahan tersebut kurang tepat dan memang tidak kita temukan kata yang sepadan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Begitulah halnya dengan sebagian besar Al-Asmâ-ul-Husnâ dan sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, sempatkanlah diri untuk benar-benar mempelajari bahasa Arab.

Demikian, mudahan bermanfaat.

Penulis: Ustadz Sa’id Yai Ardiansyah, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Apa itu Wakaf?

Apa yang terlintas dalam benakmu, ketika mendengar kata wakaf?

Istilah wakaf memang belum populer ditelinga masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan literasi wakaf yang masih minim. Bagi sebagian masyarakat pun, wakaf pun diidentikkan sebagai ibadahnya orang kaya dan hanya bisa ditunaikan dalam jumlah yang besar. Sehingga membuat masyarakat menunda untuk menunaikan wakaf.

Agar lebih jelas, yuk kita bahas secara lebih dalam !

Pengertian

Wakaf (bahasa Arab: وقف‎, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: أوقاف‎, awqāf; bahasa Turki: vakıf, bahasa Urdu: وقف) adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf merupakan Sedekah Jariyah. Harta Wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan. Karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat.

Dasar Hukum Wakaf

Berdasarkan Al-Qur’an & Sunnah

  • Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
  • Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?
  • Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.
  • Hadist lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”

Amalan yang di Gemari Para Sahabat Nabi

Peristiwa ini, kali pertama dikisahkan saat Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar. Rasulullah membeli tanah dari anak yatim, yang kemudian mewakafkan tanah tersebut untuk pembangunan masjid, yang saat ini dikenal dengan nama masjid Nabawi.

Wakaf yang dilakukan Rasulullah ini, diikuti oleh para sahabat, hingga berlomba-lomba untuk menunaikanya. Allah pun berfirman dalam Surat Al-Imran ayat 92:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”. Ayat inilah, yang membuat Abu Thalhah semangat untuk berwakaf, sekalipun harus mewakafkan kebun terbaik yang menjadi kesayangnya

Berkenaan dengan kisah tersebut, semakin banyak pula para sahabat yang bersedia dan merelakan harta miliknya untuk diwakafkan demi kemaslahan umat, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di makkah untuk anak keturunanya yang datang ke Makkah. Umar dengan kebunnya, Khaibar untuk disedekahkan. Kemudian Utsman bin Affan, membeli sumur yang dimiliki orang Yahudi, dari harta pribadinya.

Dengan beberapa kisah tersebut, menandakan bahwa wakaf telah ada dan diperkenalkan pada zaman Rasulullah. Bahkan, keutamaanya yang diperoleh dari berwakaf sudah terpaparkan secara jelas dalam Al-Qur’an. Sehingga, bagi Rasulullah dan sahabat menjadi ibadah yang tak ingin dilewatkan begitu saja

Wakaf, Pahala yang Mengalir Abadi

Berwakaf menjadi salah satu ibadah yang istimewa jika dilakukan, selain menunaikan zakat, sedekah dan infaq. Islam juga memberikan kesempatan untuk menjaga keberkahan dan kekekalan harta untuk mengapai kebaikan dan ridho-Nya melalui berwakaf.

Dengan berwakaf, kita tak perlu khawatir dapat menghabiskan harta yang kita miliki. Justru, kita akan memperoleh nilai manfaatnya yang tak hanya dapat dinikmati selama kita di dunia, namun bisa kita tuai hingga akhirat nanti. Meskipun pewakifnya telah tiada, bulir kebaikan dan manfaatnya akan terus mengalir

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah 261, yang berbunyi “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang dikendaki, dan Allah Maha Kuasa (karuania-Nya) lagi Maha Mengetahui”

Jika ditelaah, manfaat berwakaf terus dapat dirasakan oleh orang banyak, bahkan lintas generasi. Karena wakaf bisa dimanfaat dalam jangka waktu yang panjang dan tidak terputus hingga generasi mendatang, tanpa harus merugikan generasi sebelumnya, sekalipun wakif sudah meninggal dunia

Bahagiakan Hidup, dengan Berwakaf

Dalam harta yang kita miliki saat ini, terdapat hak orang lain. Melalui gerakan wakaf inilah, harta yang kita miliki bisa dijadikan nilai kebermanfaatan bagi banyak orang.

Bukankah manusia yang paling beruntung adalah manusia yang memiliki banyak manfaatnya untuk orang lain?

Rasulullah pun bersabda, yang dijelaskan dalam riwayat HR Tharbani, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.”

Dalam hal ini, bukan mengesampingkan keutamaan dalam beritikaf, melainkan Allah menggambarkan bahwa ketika kita menebar kebahagiaan, membantu dalam kesulitan sangat besar manfaat yang bisa kita peroleh.

Wakaf Produktif

A. Kenapa Wakaf Produktif?

Wakaf masih dipandang sebagai sebuah ibadah yang identik dengan 3M (makam, masjid, madrasah). Kurangnya literasi masyarakat menyebabkan wakaf masih dipandang sebelah mata. Padahal, potensinya di Indonesia sangat besar dan bisa menjadi alat untuk pemerataan ekonomi.

Pandangan masyarakat terhadap wakaf pun cenderung menyalurkan wakaf melalui aset tidak bergerak (wakaf sosial). Padahal, wakaf produktif sangat memiliki peran bukan hanya kebermanfaatan pada masyarakat, melainkan juga mengembangkan surplus investasi wakaf.

Memasuki era revolusi industri 4.0, sudah semestinya wakaf produktif menjadi sebuah gerakan yang mampu membuat masyarakat lebih sadar terhadap pentingnya wakaf dalam percepatan pertumbuhan ekonomi.

Perlu kita akui, bahwa institusi yang dikenal sebagai pemain inti dalam sejarah dunia Islam adalah wakaf. Hal-hal dasar yang telah diberikan oleh wakaf adalah pendidikan, kesehatan, dan sandang pangan.

Namun banyak institusi yang bergerak di bidang ini tidak mengelolanya dengan baik dan tidak efektif. Maka dari itu, perlu ada perubahan yang dilakukan di dalam institusi yang bergerak di bidang ini, dengan tujuan menjadikan sebuah lembaga yang dibangun oleh orang-orang professional, dikelola dengan manajemen yang baik, dan digunakan untuk hal-hal yang produktif (Sadeq, 2002). Terutama bisnis yang mampu menciptakan peluang besar lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan mengurangi angka kemiskinan.

B. Bukti Nyata Wakaf Produktif 

Institusi yang sangat terkenal di dunia Islam yang telah menjalankan fungsi wakaf dengan baik adalah Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Lembaga ini telah memberikan pelayanan pendidikan gratis kepada dunia Islam. Dari beberapa sejarah menyatakan bahwasanya Lembaga Al Azhar telah menyelamatkan ekonomi Mesir dan membantu pemerintah ketika mengalami permasalahan ekonomi.

Menurut Rashid (2002), wakaf juga memiliki sejarah dalam membangun peradaban Muslim. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Imam Syafii, wakaf mulai dikembangkan secara bertahap oleh para nabi-nabi terdahulu dan dilanjutkan oleh para sahabat rasul. Ternyata lembaga ini sudah muncul pada zaman sahabat di tahun ke 7 Hijriyah dan sampai saat ini mereka masih eksis dan bertahan lebih dari 1000 tahun lamanya (Rashid, 2002). Lembaga Al Azhar telah menghasilkan jutaan ulama di berbagai dunia yang telah membuat banyak perubahan di negara mereka berada.

Di Pakistan, pemerintah mengatur wakaf pada tahun 1959 untuk menghindari mismanagement dan moral hazard. Di Islamabad dikelola oleh departemen wakaf yang memiliki dua hal penting. Pertama, sayap masjid dan kedua sayap sakral. Hal ini berarti tanah-tanah wakaf tidak diperuntukkan untuk tujuan bisnis dan menghasilkan keuntungan. Maka dari itu, pengelolaan wakaf ini tergantung dana yang masuk ke lembaga dari para donaturnya. Sedangkan gaji orang-orang yang bekerja di sini diambil dari infaq para donatur. Begitu juga dana untuk perayaan festival, pelaksanaan kompetisi Al-Quran, memberikan makan anak-anak yang tidak mampu, dan termasuk biaya perawatan masjid serta tempat-tempat sakral lainnya (Sukmana et al, 2009).

Di Inggris (UK), Islamic Relief telah berhasil mengelola dana wakaf yang dikumpulkan melalui program wakaf tunai. Lembaga ini menggunakan cara dengan menjual saham wakaf yang sahamnya bernilai 890 setiap lembarnya. Pemegang saham memiliki hak yang tidak tertulis untuk menentukan ke mana dana ini akan disalurkan. Meskipun Islamic Relief sendiri menyukai dana yang dimasukkan dalam wakaf secara general, agar dana tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

C. Fakta di Indonesia

Di Indonesia, pada umumnya, konsep wakaf dibangun dengan paradigma bahwasanya wakaf dapat digunakan untuk masjid dan aktifitas ibadah lainnya. Namun pada kenyataannya tidak berdampak banyak terhadap kemajuan sosial dan ekonomi daerah tersebut. Dari data yang kita miliki, ada 330 hektar tanah wakaf yang ada di Indonesia, 68% diantaranya digunakan untuk pembangunan masjid, 9% untuk pendidikan, 8% untuk kuburan, dan 15% lainnya digunakan untuk hal yang lain (Wakafpro99, 2011).

Dari data ini, sangat disayangkan sekali kebanyakan tanah wakaf tidak digunakan untuk tujuan produktif, bahkan banyak sekali dari tanah ini yang masih menganggur tanpa jelas harus dipergunakan untuk apa. Perlu adanya sebuah lembaga yang mulai mempelopori konsep wakaf dengan tujuan pengembangan bisnis produktif, sebagaimana sebagian keuntungannya bisa digunakan untuk keperluan konsumtif masyarakat kurang mampu.

D. Solusi? Rubah Mindset

Dompet Dhuafa mencoba mengubah mindset masyarakat tentang wakaf dengan program “Wake Up Wakaf”. Dengan program ini Dompet Dhuafa mengedukasi masyarakat bahwa wakaf bisa dilakukan dengan nilai yang tidak besar, hanya dengan Rp 10.000 saja ketika satu juta orang di Indonesia memiliki komitmen berwakaf , maka 10 milliar akan diperoleh setiap bulannya.

Dompet Dhuafa memiliki portofolio baik dibidang wakaf produktif. Rumah Sakit, Kebun, Sekolah, Ruko, Kantor, Kampus dan masih banyak lagi. Produktif bukan hanya dari segi finansial, tapi juga value kebermanfaatannya yang tak pernah putus.

Hartamu, Tidak dibawa Mati

Pada akhirnya, pahamilah berapapun harta yang kita miliki selama di dunia hanyalah sementara. Harta bisa membuat kita bahagia. Namun, bukankah kebahagiaan itu menjadi semu, tak bermakna, ketika kita hanya genggam begitu saja, tanpa bermanfaat untuk kemaslatahan bersama untuk membantu sesama.

Hal ini pula ditegaskan dalam hadist riwayat Muslim: “Bukankah harta itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna,  yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu, akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan”

Memberikan makna pada harta yang kita miliki, agar dapat meraih kebahagiaan sementara, namun peroleh kebahagiaan kelak. Hanyalah Allah yang memberikan rahmah, taufik dan hidayahNya

Dalam hal ini, jika disimpulkan bahwa wakaf adalah harta yang kita berikan, untuk kemaslahatan umat, dalam jangka waktu yang panjang bahkan manfaatnya bisa kita tuai untuk bekal kehidupan di akhirat. Mari raih keutamaan berwakaf sekarang juga. Klik dibawah untuk luaskan manfaat hidupmu.

ZAKATorid

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 1)

Kaidah-kaidah ini pada awalnya ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan beliau menempatkannya di bagian awal kitab Syarah Lum’atul I’tiqaad. Adapun Syaikh Abdur Razzaaq adalah salah seorang pengajar yang menyertai dakwah Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah di Daarul Hadits As Salafiyah Yaman. Beliau menjelaskan kaidah-kaidah ini sebagai pengantar Syarah Lum’atul I’tiqaad dengan merujuk kepada penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Al Qawaa’idul Mutsla serta keterangan dari ulama’ lain yang juga sangat bermanfaat seperti Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar -semoga Allah merahmati mereka semua-.

KAIDAH PERTAMA: Sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al Kitab dan As Sunnah yang berbicara tentang Nama dan Sifat Allah.

Dalam menyikapi nash-nash Al Kitab dan As Sunnah kita wajib membiarkan penunjukannya sebagaimana zhahir nash tanpa perlu menyimpangkan maksudnya. Ini adalah kaidah yang sangat penting. Penetapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah termasuk perkara ghaib sehingga hal itu tidak bisa dijangkau dengan akal dan rasio semata.

Makna zhahir dari Nama dan Sifat tersebut hanya bisa dipahami melalui bahasa Arab, karena Al Qur’an turun dengan bahasa ini. Begitu pula Rasul yang kepada beliau diturunkan Al Qur’an adalah orang yang berbahasa Arab. Orang-orang yang diajak bicara oleh beliau di masa itu juga orang-orang yang berbahasa Arab. Mereka bisa memahami Al Qur’an dengan bahasa tersebut.

Allah Ta’ala berfirman, “Dia (Al Qur’an) dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’: 193-195)

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az Zukhruf: 3)

Maka setiap muslim wajib memahami nash-nash sesuai dengan makna zhahirnya yaitu menurut bahasa Arab selama tidak ada dalil dari syar’i yang menghalanginya.

Yang dimaksud dengan makna zhahir dari pembicaraan adalah makna yang bisa langsung tergambar di dalam benak pikiran ketika mendengarnya. Dengan demikian makna zhahir itu bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan kalimat dan menyesuaikan konteks pembicaraan serta kepada siapa ucapan tersebut disandarkan.

Contoh penerapannya adalah dalam firman Allah Ta’ala, “Tak ada suatu negeripun/qoryah (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya…” (QS. Al Israa’: 58)

Bandingkan dengan firman Allah yang berikut ini, “Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk (Sodom)/ahlul qoryah ini.” (QS. Al Ankabuut: 31). Di dalam kedua ayat ini kata ‘qoryah’ memiliki perbedaan maksud.

Begitu pula firman Allah Ta’ala, “Dan supaya kamu (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku (‘alaa ‘ainy).” (QS. Thahaa: 39). Orang yang berakal tentu tidak akan mengatakan bahwa makna zhahir yang bisa langsung ditangkap dari ayat ini adalah Nabi Musa diciptakan di atas Mata Allah Ta’ala, tetapi makna zhahir yang pasti benar adalah Musa ‘alaihi salam dipelihara dan diciptakan Allah sementara Mata Allah senantiasa mengawasi dan melindunginya.

Begitu pula apabila ada orang yang berkata, ‘Si Fulan ‘alaa ‘ainy (di mataku)’ atau mengatakan ‘Dia tahta ‘ainy (di bawah penglihatanku)’. Maka tidak pernah anda dapatkan ada orang yang memahaminya dengan arti si fulan itu masuk di dalam matanya atau dibawah bola matanya.

Orang-orang yang mensikapi kaidah ini terbagi menjadi beberapa golongan:

Golongan pertama

Ahlu Sunnah wal Jama’ah As Salafiyyuun (pengikut Salaf). Mereka bersikap sebagaimana kaidah yang telah diterangkan.

Golongan kedua

Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah mengarah kepada tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-pent). Sehingga apabila dia membaca firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang.” (QS. Al Maa’idah: 64). Maka dia akan berkata, “Saya tidak memahami makna ‘Tangan’ kecuali dengan bentuk sebagaimana tangan saya ini, karena yang dinamai sama” (yaitu tangan-pent). Namun alasan ini terbantahkan oleh firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11)

Sebagaimana diketahui bahwa terkadang sesuatu yang namanya sama akan tetapi bentuk/kaifiyah-nya bisa jadi berbeda-beda. Seperti contohnya apabila anda menyebut ‘tangan manusia, tangan tikus, tangan gajah dan lain sebagainya…’ bukankah sesuatu yang dinamai sama (yaitu tangan-pent) sedangkan kaifiyahnya jelas berbeda-beda, sebagaimana hal itu bisa kita saksikan. Perbedaan semacam ini amat jelas terbukti ada pada sesama makhluk, lalu bagaimana pula dengan perbedaan yang ada antara Al Khaaliq (Pencipta) dengan makhluk?

Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim bersya’ir tentang permasalahan ini,

Kami (Ahlu Sunnah) tidaklah menyerupakan antara sifat Allah dan sifat ciptaan Adapun orang yang menyerupakan sebenarnya merekalah penyembah berhala pujaan

Golongan ketiga

Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah merupakan bentuk penyerupaan/tamtsil. Pemahaman seperti ini mendorong mereka untuk melakukan penolakan/ta’thil. Kemudian mereka berusaha menentukan makna lain yang bisa diterima oleh akal mereka, dan mereka pun berselisih dalam menentukannya. Mereka menyebut tindakan ini sebagai ta’wil/tafsir, padahal sesungguhnya mereka telah melakukan tahrif/penyimpangan. Alangkah benar ungkapan orang yang mengomentari tingkah mereka ini: Mereka itu bukan menolong Islam, tapi menghancurkan filsafat juga tidak.

Golongan ketiga ini telah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia sendiri tidak mensifati Diri-Nya dengannya, mereka juga mensifati Allah dengan sifat-sifat yang maknanya sama sekali tidak ditunjukkan oleh bahasa Arab. Ambil contoh firman Allah Ta’ala, “(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam/istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Thahaa: 5). Orang-orang yang melakukan ta’thil itu mengatakan, “Istiwa itu maksudnya istaula.” (berkuasa setelah berhasil menaklukkan lawan-pent). Mereka menolak makna yang benar dari lafazh istiwa’ yaitu: tinggi dan menetap dan inilah sifat yang pantas bagi Allah Ta’ala kemudian mereka justru menetapkan makna baru yang tidak benar dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Ini termasuk perkataan tentang Allah tanpa ilmu. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36). Allah Ta’ala juga berfirman, “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS. Al Baqarah 140)

Golongan keempat

Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak mengetahui keinginan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada lafazh, makna maupun kaifiyah Nama dan Sifat Allah. Mereka mengatakan, “Saya menyerahkan itu semua kepada Allah Ta’ala.” Mereka ini adalah golongan terjelek.

Konsekuensi dari pendapat mereka ini adalah para Sahabat tidak bisa memahami nash-nash yang ditujukan kepada mereka, sehingga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak bicara mereka dengan sesuatu yang tidak mereka pahami, bahkan ini juga berarti sesuatu itupun tidak dipahami oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau jauh sekali dari tuduhan semacam ini!

Kalau kita mau merujuk kepada Kitabullah niscaya kita jumpai bahwa Allah senantiasa memerintahkan kita untuk memikirkan, merenungkan dan memahami Al Qur’an. Allah juga telah memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2). Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44). Madzhab golongan ini merupakan madzhab yang batil, yang membuka celah yang lebar bagi munculnya berbagi macam kesesatan dan penyimpangan. Bacalah kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wa Naql (Menepis dakwaan pertentangan antara akal dan dalil naql) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalamnya beliau telah membongkar kebatilan golongan ini.

Bagaimanapun juga, tidak mengikuti madzhab salaf radhiyallahu ‘anhum termasuk dalam kategori penyimpangan/tahrif terhadap Kalam Allah ‘Azza wa Jalla dari maksud yang sebenarnya. Orang-orang yang melakukan tahrif ini sangat tercela, sebagaimana Allah Ta’ala telah mencela orang-orang Yahudi karena mereka mengubah-ubah/melakukan tahrif terhadap firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka (Yahudi) percaya kepadamu (Muhammad), padahal segolongan dari mereka mendengar Firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 75)

Simak pembahasan selanjutnya: Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 2)

***

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id

Mengenal Nama dan Sifat Allah

Pembaca yang budiman, ilmu tentang mengenal Alloh dan Rosul-Nya merupakan ilmu yang paling mulia. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang dipelajarinya.” Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam.

Ilmu Tentang Alloh Adalah Pokok dari Segala Ilmu

Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Alloh, dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya dia akan lebih jahil terhadap yang selainnya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19). Ketika seseorang lupa terhadap dirinya, dia pun tidak mengenal hakikat dirinya dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya. Bahkan ia lupa dan lalai terhadap apa saja yang merupakan sebab bagi kebaikan dan kemenangannya di dunia dan di akhirat. Maka, jadilah dia seperti orang yang ditinggalkan dan ditelantarkan, yang berstatus seperti binatang ternak yang dilepas dan dibiarkan pergi sekehendaknya, bahkan mungkin saja binatang ternak lebih mengetahui kepentingan dirinya daripadanya.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah seorang yang beribadah kepada Alloh dengan semua nama dan sifat-sifat Alloh yang diketahui oleh manusia”. Beliau juga berkata, “Yang jelas, bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah Daaris Sa’aadah).

Hampir Setiap Ayat Dalam Al-Qur’an Menyebutkan Nama dan Sifat Alloh

Alloh telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rosul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap ayat Alqur’an yang kita baca selalu berakhir dengan peringatan atau penyebutan salah satu dari nama-nama Alloh atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh, firman Alloh yang artinya, “…Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) dan juga firman-Nya yang artinya, “…Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17)

Hal ini semua disebabkan karena nama-nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya pengaruh dan membekas dalam hati seorang yang mengetahui-Nya, hingga ia selalu merasa terawasi oleh Alloh dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya dari bermaksiat kepada Alloh.

Yang Paling Takut Kepada Alloh Adalah yang Paling Mengenal Alloh

Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Robb-nya, maka ia akan semakin takut kepada-Nya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (Faathir: 28)

Orang yang paling mengenal dan paling mengetahui Alloh adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau senantiasa dalam keadaan takut dari perbuatan durhaka terhadap Robb-nya, dan tentu kita telah mengetahui siapa beliau. Karena Alloh telah memerintahkannya untuk mengatakan, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Robbku’.” (Al-An’aam: 15)

Sebab, ahli tauhid yang benar-benar mengenal Alloh memandang bahwa kemaksiatan itu, meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat besar. Karena mereka mengetahui keagungan Dzat (Rabb) yang Maha Esa serta Maha Kuasa dan mengenal hak-hak-Nya, oleh sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang paling takut kepada-Nya di antara manusia.

Kebodohan Akan Keagungan Alloh Adalah Induk Kemaksiatan

Dari Abul ‘Aliyah, beliau pernah bercerita bahwa para Shahabat Rosululloh mengatakan, “Setiap dosa yang dikerjakan seorang hamba, penyebabnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir, dengan sanad yang shahih)

Imam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada Alloh. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Alloh sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”

Syirik merupakan kemaksiatan yang terbesar di antara maksiat yang ada. Tidaklah manusia berbuat syirik kecuali memang karena ia bodoh dalam pengenalannya terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, ketika Nabi Nuh ‘alaihis salaam mengajak kaumnya (kepada tauhid) lalu mereka menolaknya, maka beliau pun mengetahui bahwa penolakan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan kebesaran Alloh. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Alloh?” (Nuuh: 13). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Kalian tidak mengetahui keagungan atau kebesaran-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui beberapa jalan yang saling menguatkan)

Apa yang dikatakan di atas sangat beralasan, karena seandainya manusia mengenal Alloh dengan sebenarnya, niscaya mereka tidak terjerat dalam kesyirikan mempersekutukan Alloh dengan sesuatu. Sebab, segala kebaikan berada di tangan-Nya, maka bagaimana mungkin mereka bersandar kepada selain-Nya?

Nama Alloh Semuanya Husna

Nama-nama Alloh semuanya husnaa, maksudnya, mencapai puncak kesempurnaannya. Karena nama-nama itu menunjukkkan kepada pemilik nama yang mulia, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dan juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada cacat sedikit pun ditinjau dari seluruh sisinya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Hanya milik Alloh-lah nama-nama yang husna.” (Al-A’roof: 180)

Kewajiban kita terhadap nama-nama Alloh ada tiga, yaitu beriman dengan nama tersebut, beriman kepada makna (sifat) yang ditunjukkan oleh nama tersebut dan beriman dengan segala pengaruh yang berhubungan dengan nama tersebut. Maka, kita beriman bahwa Alloh adalah Ar-Rohiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat rahmah (kasih sayang) yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua hamba-Nya.

Nama dan Sifat Alloh Tidak Dibatasi Dengan Bilangan Tertentu

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, shahih). Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Alloh dan menjadi perkara yang ghaib.

Adapun sabda beliau, “Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya, niscaya masuk syurga.” (HR. Bukhari-Muslim) tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Alloh dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Alloh yang 99 itu, mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menghafal dan memahaminya akan masuk syurga.

Demikianlah, semoga kita benar-benar mengenal Alloh dengan sebenar-benar pengenalan dan mengagungkan Alloh dengan sebenar-benar pengagungan sehingga bisa menyelamatkan kita dari berbuat syirik kepada-Nya.

***

Penulis: Abu Ibrohim M. Saifudin Hakim
Artikel www.muslim.or.id

Makna Tauhid

auhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

Pentingnya mempelajari tauhid

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).

Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Menyambut Muharram dengan Menyayangi Anak Yatim

Tak masalah menyambut Muharram dengan lebaran anak yatim.

Sebagian Muslim mungkin ada yang menganggap bulan Muharram sebagai lebarannya anak yatim. Lantas bagaimana awal mulanya dan apa yang mendasari anggapan bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari lebaran untuk anak yatim. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis memberi penjelasan.

Kiai Cholil memaparkan, keidentikkan bulan Muharram dengan lebaran anak yatim didasarkan pada sebuah hadis yang disebut dalam kitab Tanbighul Ghafiliin. “Penyebutan tanggal 10 Muharram sebagai lebaran anak yatim karena ada hadis yang disebutkan dalam kitab Tanbighul Ghafiliin. Man masaha yadihi ala ro’si yatiim yaum asyuro rofa’allah ta’ala bi kulli sya’rotin darojah,” jelasnya.

Hadis tersebut menyampaikan, siapa yang menyantuni anak yatim pada hari Asyuro atau tanggal 10 Muharram, maka derajatnya akan dinaikkan oleh Allah SWT. Namun, hadis itu dianggap dhaif atau lemah oleh para ulama.

Sebagian ulama bahkan memberi penilaian bahwa hadis itu maudhu alias palsu. Sebab, di dalam sanad (jalur) hadisnya ada perawi yang kurang dipercaya. Meski dhaif atau bahkan palsu, hadis itu diposisikan untuk menjaga perilaku sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu mengasihi anak yatim.

“Sebagian ulama berpendapat ini (untuk) akhlak saja. Bahwa di hari Asyuro, hari yang baik bagi umat Islam, dijadikan momentum untuk kita mengenang dan mengikuti Rasulullah, yaitu menyayangi anak yatim,” paparnya.

Kiai Cholil pun mengingatkan, Rasulullah adalah sosok penyayang anak yatim. Karena itu pula, hari baik Asyuro dipakai sebagai momentum untuk menyantuni anak yatim. Hadis tersebut untuk mengasah akhlak umat Muslim agar senantiasa memberi kasih sayang kepada anak yatim.

Hadis yang disebutkan dalam kitab Tanbighul Ghafiliin itu,  terang Kiai Cholil, sekadar untuk memotivasi sekaligus mengajarkan kepada setiap Muslim untuk berbuat baik kepada anak yatim dengan menyantuninya.

Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF, menjelaskan, amal saleh termasuk menyayangi anak yatim itu adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. “Saya kurang tahu persis apa itu hadisnya. Tetapi yang namanya menyayangi anak yatim, kapan pun harinya, hari apapun, itu sesuatu perbuatan yang terpuji,” tutur dia.

Hasanuddin menambahkan, meski itu bersumber dari hadis dhaif, kandungan perbuatan baik yang ada di dalamnya tetap bisa dilakukan. Misalnya perbuatan baik yang hubungannya antara hamba dengan Allah SWT (hablumminallah), dengan manusia (hablumminannas), maupun dengan alam sekitar (hablumminal alam).

“Hadis dhaif sekalipun, karena dalam rangka fadhail a’mal, itu bisa diterima hadisnya, untuk meningkatkan amal kita, apalagi terhadap anak yatim. Ini amal saleh kalau kita berbuat sesuatu yang positif dan bermanfaat,” ujarnya.

Jadi, lanjut Hasanuddin, sikap seorang Muslim terhadap bulan Muharram yang diidentikkan dengan lebaran anak yatim itu tidak masalah meski didasarkan pada hadis dhaif. “Karena dalam rangka mendorong perbuatan amal baik. Itu suatu hal yang patut dilakukan, saya kira gak masalah,” ucapnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Perhatikan Dari Mana Engkau Mengambil Akidah

Di antara permasalahan penting yang telah dibahas oleh para ulama’ adalah apa saja sumber yang shahih untuk mengambil ilmu dan akidah. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama’, kesalahan dalam menentukan sumber ilmu akan berakibat pada kesalahan dalam banyak masalah akidah dan manhaj. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari apa saja sumber ilmu dan akidah menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, sehingga kita bisa memiliki pondasi yang kuat untuk menentukan mana akidah yang benar dan mana yang salah.

Sumber untuk mengambil ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah, yang sering diistilahkan sebagai mashdar talaqqiy dalam literatur para ulama’, menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah ada dua jenis:

Pertama: Sumber primer atau utama, yaitu dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah, dan ijma’ para ulama’.

Kedua: Sumber sekunder atau penguat, yaitu akal yang lurus, dan fithrah yang selamat.

Sumber utama pertama: Dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah

Adapun Qur’an dan Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib bagi kita untuk berpegang teguh pada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعوا ما أُنزِلَ إِلَيكُم مِن رَبِّكُم وَلا تَتَّبِعوا مِن دونِهِ أَولِياءَ ۗ قَليلًا ما تَذَكَّرونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”[1]

فَإِن تَنـٰزَعتُم فى شَىءٍ فَرُدّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسولِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّـهِ وَاليَومِ الـٔاخِرِ ۚ ذٰلِكَ خَيرٌ وَأَحسَنُ تَأويلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

Sebagian orang ada yang hanya ingin mengambil al-Qur’an saja sebagai dalil, akan tetapi tidak mau menjadikan as-Sunnah sebagai hujjah. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

قُل إِن كُنتُم تُحِبّونَ اللَّـهَ فَاتَّبِعونى يُحبِبكُمُ اللَّـهُ وَيَغفِر لَكُم ذُنوبَكُم ۗ وَاللَّـهُ غَفورٌ رَحيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤمِنونَ حَتّىٰ يُحَكِّموكَ فيما شَجَرَ بَينَهُم ثُمَّ لا يَجِدوا فى أَنفُسِهِم حَرَجًا مِمّا قَضَيتَ وَيُسَلِّموا تَسليمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[5]

فَليَحذَرِ الَّذينَ يُخالِفونَ عَن أَمرِهِ أَن تُصيبَهُم فِتنَةٌ أَو يُصيبَهُم عَذابٌ أَليمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa ‘adzab yang pedih.”[6]

Yang dimaksud dengan fitnah (cobaan) pada ayat ini adalah menganggap perkara yang baik sebagai buruk dan menganggap perkara yang buruk sebagai baik. Maka itulah yang memang terjadi pada orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkara yang tidak disyari’atkan mereka anggap disyari’atkan dan mereka pertahankan, sementara perkara yang disyari’atkan tidak mereka pedulikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما: كتاب الله وسنتي، ولن يتفرقا حتى يردا عليَّ الحوض.

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di al-haudh.”

Imam asy-Syafi’iy rahimahullah berkata,

لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وأن ما سواهما تبع لهما.

“Tidak ada perkataan yang wajib diikuti dalam setiap keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang selain keduanya maka hanya mengikuti keduanya.”

Akan tetapi, tidak boleh bagi kita untuk memahami Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman kita sendiri. Wajib bagi kita untuk memahami keduanya sebagaimana pemahaman as-salafush-shalih atau generasi terdahulu. Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

من كان منكم متأسيا فليتأس بأصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا، وأعمقها علما، وأقلها تكلفا، وأقومها هديا، وأحسنها حالا، اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan maka teladanilah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit sikap berlebih-lebihannya, paling lurus bimbingannya, dan paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk membersamai Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jalan mereka, karena sesungguhnya mereka itu berada di atas petunjuk yang lurus.”

Sumber utama kedua: Ijma’ para ulama’

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya beliau pada sebuah zaman atas sebuah perkara. Perhatikan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid. Adapun orang awam maka pendapat mereka tidak dianggap dalam penetapan adanya ijma’. Walaupun misalnya mayoritas orang awam meyakini suatu pendapat dan para ulama’ mujtahid yang jumlahnya sedikit itu meyakini pendapat yang berbeda, pendapat orang awam walaupun mereka mayoritas maka tidaklah teranggap.

Wajib bagi kita untuk mengikuti ijma’, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَن يُشاقِقِ الرَّسولَ مِن بَعدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الهُدىٰ وَيَتَّبِع غَيرَ سَبيلِ المُؤمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلّىٰ وَنُصلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَساءَت مَصيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”[7]

Yakni, wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya orang-orang mukmin, dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah yang paling berhak dan paling utama untuk dimaksudkan dalam ayat ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق، لا يضرهم من ناوأهم حتى تقوم الساعة.

“Akan selalu ada kelompok dari umatku yang senantiasa membela kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, hingga datang hari kiamat.”

Yakni, tidak mungkin seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu zaman itu semuanya bersepakat di atas kesalahan, dengan cara mereka semua mengambil pendapat yang salah dan meninggalkan pendapat yang benar. Maka, kita menyimpulkan dari hadits ini bahwa jika seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni, para mujtahid di antara mereka, sebagaimana telah dibahas sebelumnya) telah bersepakat atas suatu pendapat, maka tidak mungkin pendapat ini adalah pendapat yang salah, yang tidak diridhai dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sumber penguat pertama: Akal yang lurus

Akal bukanlah sumber primer dan utama untuk mengambil ilmu dan akidah. Akan tetapi, akal adalah alat untuk memahami dalil-dalil syar’iy dan menangkap makna dan kandungan dari dalil-dalil tersebut. Itu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كِتـٰبٌ أَنزَلنـٰهُ إِلَيكَ مُبـٰرَكٌ لِيَدَّبَّروا ءايـٰتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الأَلبـٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”[8]

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ أَم عَلىٰ قُلوبٍ أَقفالُها

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[9]

Akal yang lurus itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy. Tidak mungkin bagi akal yang lurus untuk bertentangan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih dan dipahami dengan pemahaman yang benar. Jika tampak bertentangan, maka bisa jadi akal yang digunakan tersebut tidak lurus, atau dalilnya tidak shahih, atau pemahaman terhadap dalilnya tidak benar.

Demikian pula, akal itu terbatas. Tidak boleh bagi kita untuk memahami perkara-perkara ghaib, seperti sebagian besar dari perkara akidah, dengan akal kita yang terbatas tersebut. Tidak boleh bagi kita untuk memahami kaifiyyah (bagaimananya) Sifat-Sifat Allah dengan akal, karena tidak ada jalan untuk memahami kafiyyah Sifat-Sifat Allah tersebut. Tidak ada dalil yang menerangkannya di Qur’an dan Sunnah, dan akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Sifat Allah sebagaimana akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Dzat Allah.

Imam al-Barbahariy rahimahullah berkata,

واعلم رحمك الله أن من قال في دين الله برأيه وقياسه وتأويله من غير حجة من السنة والجماعة، فقد قال على الله ما لا يعلم، ومن قال على الله ما لا يعلم فهو من المتكلفين.

“Ketahuilah, semoga engkau dirahmati oleh Allah, bahwa barangsiapa yang berkata mengenai agama Allah dengan akalnya, qiyasnya, dan ta’wilnya, tanpa hujjah dari Sunnah dan Jama’ah, maka dia telah berkata tentang Allah tanpa ilmu. Dan barangsiapa yang berkata tentang Allah tanpa ilmu, maka dia termasuk orang-orang yang menyusahkan diri.”

Sumber penguat kedua: Fithrah yang selamat

Fithrah adalah kondisi asli, bawaan, dan kecenderungan untuk menerima akidah yang benar. Fithrah yang selamat itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy, sehingga secara asalnya dengan fithrah tersebut seluruh manusia menegaskan adanya Allah dan mentauhidkan-Nya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانه أو ينصِّرانه أو يمجِّسانه، كما تُنتَج البهيمة بهيمة جمعاء، هل تحسُّون فيها من جدعاء

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat, maka apakah kalian merasakan adanya cacat?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وإني خلقت عبادي حنفاء كلهم، وإنهم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم، وحرَّمت عليهم ما أحللت لهم، وأمرتهم أن يشركوا بي ما لم أنزل به سلطانا

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku seluruhnya sebagai orang-orang yang hanif. Akan tetapi, para syaithan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agamanya, mengharamkan apa yang Aku halalkan untuk mereka, dan memerintahkan mereka untuk berbuat kesyirikan terhadap-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak pernah menurunkan hujjah tentangnya.”

Oleh karena itu, seluruh manusia termasuk orang kafir bahkan Fir’aun sekalipun, sebenarnya mengakui kepada kebenaran secara bathin mereka, akan tetapi mereka mengingkarinya karena kesombongan dan kezhaliman mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَلَمّا جاءَتهُم ءايـٰتُنا مُبصِرَةً قالوا هـٰذا سِحرٌ مُبينٌ * وَجَحَدوا بِها وَاستَيقَنَتها أَنفُسُهُم ظُلمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانظُر كَيفَ كانَ عـٰقِبَةُ المُفسِدينَ

“Maka tatkala mu’jizat-mu’jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka (Fir’aun dan kaumnya), berkatalah mereka, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’ Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”[10]

Inilah empat sumber ilmu dan akidah (atau mashdar talaqqiy) menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, di mana dua sumber yaitu dalil syar’iy (Qur’an dan Sunnah) dan ijma’ sebagai sumber utama, dan dua sumber yaitu akal dan fithrah sebagai sumber penguat. Wajib bagi kita untuk mengambil dari sumber-sumber ini agar kita bisa mendapatkan ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah.

@ Dago, Bandung, 28 Dzul-Hijjah 1441 H

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.Or.Id