Hukum Meminta-Minta di Dalam Masjid

Masjid adalah rumah Allah Ta’ala, yang dibangun dengan niat untuk berdzikir, berdoa, dan menegakkan ibadah kepada-Nya. Masjid tidak dibangun sebagai sarana untuk mengumpulkan harta dan perhiasan dunia. Oleh karena itu, aktivitas jual beli, mencari barang hilang di masjid, dan aktivitas sejenis lainnya itu dilarang untuk dilakukan di dalam masjid.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, masjid bukanlah tempat untuk meminta-minta harta. Hal ini ditambah dengan alasan bahwa hal itu bisa mengganggu orang-orang yang sedang shalat dan berdzikir, serta beribadah di masjid.
Hukum meminta-minta

Para ulama ijma’ (sepakat) bahwa meminta-minta itu terlarang jika bukan dalam keadaan darurat. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak ada sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)
Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

“Barangsiapa yang meminta-minta padahal dia tidak fakir, maka seakan-seakan ia memakan bara api.” (HR. Ahmad no. 17508, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At Targhib no. 802)

An-Nawawi rahimahullah mengatakan ketika beliau menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah”,

مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ

“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 127)

Dari penjelasan di atas, orang yang fakir dan dalam kondisi darurat dibolehkan minta-minta sekadar untuk keluar dari kondisi daruratnya. Dan inilah kondisi yang menjadi pembahasan kita selanjutnya.

Menggalang dana di masjid untuk kemaslahatan kaum muslimin

Larangan meminta-minta yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah jika untuk memperkaya diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi. Kriteria ini jelas sekali disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak harta, sesungguhnya dia telah meminta bara api. Terserah kepadanya, apakah dia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” (HR. Muslim no. 1041)

Adapun penggalangan dana di masjid untuk kemaslahatan masjid, hal ini tidak tergolong meminta-minta yang terlarang. Karena ini termasuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa (saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan). Dan ini juga kondisi yang masuk dalam pembahasan kita selanjutnya.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Kami memiliki kotak infaq untuk kemaslahatan masjid. Ada orang khusus yang memutarkan kotak ini di tengah-tengah shaf sebelum shalat dimulai. Terkhusus di hari Jum’at. Apa hukum perbuatan ini? Karena telah diketahui bahwa jama’ah mendapati sedikit kesulitan dengan adannya hal tersebut.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab,

هذا فيه نظر؛ لأن معناه سؤال للمصلين وقد يحرجهم ويؤذيهم بذلك ، فكونه يطوف عليهم ليسألهم حتى يضعوا شيئاً من المال في هذا الصندوق لمصالح المسجد : لو تَرك هذا يكون أحسن وإلا فالأمر فيه واسع ، لو قال الإمام : إن المسجد في حاجة إلى مساعدتكم وتعاونكم فلا بأس في ذلك ؛ لأن هذا مشروع خيري

“Perbuatan ini tidak tepat. Karena ketika dia meminta jamaah untuk menyumbang, dia telah mengganggu para jamaah, yaitu dengan memutari shaf hingga para jamaah memberikan sesuatu dalam kotak ini untuk kemaslahatan masjid. Andaikan ini ditinggalkan, itu lebih baik.

Dan ini perkara yang longgar. Imam bisa berkata: masjid ini sedang membutuhkan bantuan anda. MAKA INI TIDAK MENGAPA. Karena ini adalah upaya kebaikan.” (Sumber: https://www.binbaz.org.sa/mat/16368)
Penjelasan beliau ini menunjukkan bolehnya meminta sumbangan di dalam masjid selama itu untuk kemaslahatan masjid, selama tidak menimbulkan gangguan di masjid.

Memberikan harta di masjid tanpa didahului dengan meminta-minta

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya memberi harta kepada orang fakir, namun tidak didahului dengan meminta-minta. Jika kita mengetahui ada orang faqir dan kita tahu kemiskinan dan kebutuhannya, maka boleh kita beri harta dari sebagian harta zakat, sedekah, atau sejenis itu. Juga diperbolehkan membagi harta di masjid kepada orang-orang yang memang berhak menerimanya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَالٍ مِنَ البَحْرَيْنِ، فَقَالَ: «انْثُرُوهُ فِي المَسْجِدِ» وَكَانَ أَكْثَرَ مَالٍ أُتِيَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهِ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ، فَمَا كَانَ يَرَى أَحَدًا إِلَّا أَعْطَاهُ، إِذْ جَاءَهُ العَبَّاسُ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَعْطِنِي، فَإِنِّي فَادَيْتُ نَفْسِي وَفَادَيْتُ عَقِيلًا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خُذْ» فَحَثَا فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ ذَهَبَ يُقِلُّهُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اؤْمُرْ بَعْضَهُمْ يَرْفَعْهُ إِلَيَّ، قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَارْفَعْهُ أَنْتَ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» فَنَثَرَ مِنْهُ، ثُمَّ ذَهَبَ يُقِلُّهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اؤْمُرْ بَعْضَهُمْ يَرْفَعْهُ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» قَالَ: فَارْفَعْهُ أَنْتَ عَلَيَّ، قَالَ: «لاَ» فَنَثَرَ مِنْهُ، ثُمَّ احْتَمَلَهُ، فَأَلْقَاهُ عَلَى كَاهِلِهِ، ثُمَّ انْطَلَقَ، فَمَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتْبِعُهُ بَصَرَهُ حَتَّى خَفِيَ عَلَيْنَا – عَجَبًا مِنْ حِرْصِهِ – فَمَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَمَّ مِنْهَا دِرْهَمٌ

Seperti ditunjukkan dalam riwayat Anas bin Malik, ada harta dari Bahrain dikirim untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan, “Letakkan di masjid.”

Itu merupakan harta terbanyak yang pernah diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kemudian keluar untuk shalat tanpa menoleh ke arah harta benda tersebut. Seusai shalat, beliau datang lalu duduk di dekat harta benda tersebut. Setiap melihat seseorang, beliau pasti memberi bagian untuknya. Kemudian al ‘Abbas pun datang, Beliau berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku karena aku telah menebus diriku dan juga menebus seorang keluarga (anak Abu Thalib yang ditawan saat perang Badar).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bilang kepadanya, “Ambillah”.
‘Abbas kemudian menciduk dengan tangan dan meletakkannya di baju, setelah itu ia angkat hingga tidak kuat. Lalu al ‘Abbas bilang, “Wahai Rasulullah, mungkinkah anda perintahkan seseorang untuk mengangkatkan ini ke pundakku?”.

“Tidak,” kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al ‘Abbas mengatakan, “Kalau begitu, Engkau saja yang mengangkatkan ini ke pundakku.”

“Tidak”, kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al ‘Abbas kemudian meletakkan sebagiannya, baru ia panggul lagi, kemudian pergi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menatap al ‘Abbas hingga tidak kelihatan (karena beliau heran pada semangat al ‘Abbas). Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, di sana tidak tersisa satu dirham pun” (HR. Bukhari no. 421).

Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadits ini di dalam bab,

بَابُ القِسْمَةِ، وَتَعْلِيقِ القِنْوِ فِي المَسْجِدِ

“Bab pembagian harta dan meletakkan tandan kurma di masjid.”

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Maksud bab ini adalah masjid boleh digunakan sebagai tempat menyimpan harta fai’ (harta rampasan yang didapat tanpa melalui peperangan, pent.), harta seperlima ghanimah (harta rampasan perang, pent.), harta sedekah, dan sejenis itu dari harta-harta milik Allah yang dibagikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya”.

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Di dalam hadits tersebut terdapat dalil bolehnya membagi harta fai’ di masjid dan juga menyimpannya di dalam masjid. Inilah maksud Imam Bukhari dengan meriwayatkan hadits tersebut di bab ini.” (Fathul Baari li Ibni Rajab, 3: 154)

Jika ada pengemis di masjid

Adapun jika ada seseorang yang meminta-minta di dalam masjid, sebagian ulama melarang meminta-minta dan memberi uang kepada pengemis secara mutlak, tanpa terkecuali. Ulama yang memiliki pendapat tersebut bisa jadi melihat dalil-dalil umum yang menunjukkan terjaganya masjid dari semua aktivitas selain ibadah.

Permasalahan yang bisa digunakan sebagai bahan analogi dalam kasus ini adalah masalah mencari barang hilang di dalam masjid. Kedua kasus (masalah) ini memiliki persamaan, yaitu mencari dan meminta perkara duniawi. Alasan mencari barang hilang di dalam masjid itu jelas, karena dia mencari barang miliknya sendiri. Meskipun demikian, syariat memerintahkan agar mendoakan orang yang mencari-cari barang hilang miliknya di dalam masjid itu supaya barangnya tidak dikembalikan (tidak ditemukan). Adapun orang yang meminta-minta, dia tidak mencari harta miliknya sendiri, namun harta milik orang lain.

Sebagian ulama memberikan keringanan bolehnya meminta-minta di masjid jika memang betul-betul dalam kondisi terpaksa dan membutuhkan. Itu pun dengan persyaratan bahwa aktivitas meminta-mintanya tersebut tidak menimbulkan gangguan di dalam masjid, baik mengganggu orang yang sedang ibadah di masjid atau dengan lewat di depan orang yang sedang shalat. (Fathul Baari li Ibni Rajab, 3: 157; Al-Haawi, 1: 90; dan Ahkaamul Masaajid fil Islaam, hal. 269)

Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ أَطْعَمَ الْيَوْمَ مِسْكِينًا؟

“Apakah di antara kalian pada hari ini ada orang yang telah memberi makan seorang miskin?”.
Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menjawab,

دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا أَنَا بِسَائِلٍ يَسْأَلُ، فَوَجَدْتُ كِسْرَةَ خُبْزٍ فِي يَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَأَخَذْتُهَا مِنْهُ فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ

“Saya masuk masjid, dan ternyata saya mendapati seorang miskin yang sedang meminta-minta dan aku dapati sepotong roti di tangan ‘Abdurrahman. Maka aku mengambilnya dan aku berikan kepada orang miskin tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1670)

Dari hadits tersebut, terdapat dalil bahwa bersedekah kepada orang fakir di masjid bukanlah perkara yang makruh. Juga terdapat dalil bolehnya meminta-minta di dalam masjid. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan persetujuan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu atas tindakannya tersebut. Jika meminta-minta di masjid itu hukumnya haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan persetujuan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang peminta-minta tersebut untuk kembali datang mengemis di masjid. (Lihat Al-Haawi, 1: 89)

Akan tetapi, hadits tersebut, yang digunakan sebagai dalil dalam kasus ini, adalah hadits yang dha’if. Sehingga pendapat ulama yang melarang aktivitas meminta-minta (mengemis) di masjid itulah yang lebih kuat, dalam rangka menegaskan kehormatan masjid dari aktivitas duniawi. Hal ini juga mencegah orang-orang yang lemah jiwanya dari menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengemis mencari harta. Lebih-lebih di zaman kita sekarang ini, ketika banyak tersebar kebohongan dan tipu daya. Kecuali meminta sumbangan untuk kemaslahatan masjid, maka boleh di lakukan di dalam masjid, sebagaimana sudah dibahas di atas.

Adapun jika pengemis tersebut duduk di sudut luar masjid atau di depan pintu gerbang masjid, maka diperbolehkan jika ingin memberinya. Adapun jika pengemis tersebut mengganggu orang-orang yang sedang shalat, menghentikan aktivitas dzikir atau membaca Al-Qur’an jamaah, atau sampai lewat di depan orang shalat, maka sangat jelas sekali kalau kita melarang dan mencegahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hukum asal mengemis itu dilarang dilakukan di dalam dan di luar masjid, kecuali karena terpaksa (dharurah). Jika terdapat kondisi darurat, dan dia mengemis di masjid, namun tidak mengganggu seorang pun, baik dengan atau tanpa melangkahi pundak-pundak jamaah di masjid, tidak dusta dengan kondisi yang dia ceritakan ketika mengemis, tidak bersuara keras yang bisa mengganggu jamaah, misalnya dia meminta ketika khatib sedang berkhutbah, atau ketika jamaah sedang sibuk mendengarkan majelis ilmu, atau sejenis itu, maka diperbolehkan. Wallahu a’alam.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 1: 159)

Kesimpulan

Dari seluruh paparan di atas, kesimpulan dari masalah meminta-minta di masijd, kita perlu melihat dari dua sisi:
Pertama, dari sisi orang yang meminta-minta. Maka jika untuk kepentingan pribadi dan tidak dalam kondisi darurat, hukumnya terlarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama. Dibolehkan jika dalam dua kondisi: darurat (untuk kepentingan pribadi) atau untuk kemaslahatan kaum Muslimin.

Jika meminta-minta untuk kepentingan pribadi yang memang darurat, maka tidak boleh meminta-minta di dalam masjid. Hal ini karena dapat menimbulkan gangguan dan bisa menyibukkan orang-orang di masjid dengan perkara dunia. Dan boleh dilakukan di luar masjid selama tidak menimbulkan gangguan bagi para jamaah.

Adapun meminta sumbangan untuk kemaslahatan masjid, boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid, juga dengan syarat tidak boleh menimbulkan gangguan bagi para jamaah.

Kedua, dari sisi yang orang yang memberi. Baik yang meminta-minta itu dalam kondisi tidak darurat, atau dalam kondisi darurat, atau meminta untuk kepentingan kaum muslimin, maka mereka semua boleh diberi. Kecuali jika mereka memberikan gangguan di masjid, maka yang lebih tepat adalah menasihati mereka dan melarang mereka untuk meminta-minta di masjid. Wallahu a’lam.

[Selesai]

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:
[1] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 221-223 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
[2] Tulisan ini dimuraja’ah oleh Ustadz Yulian Purnama hafidzahullah.

Keutamaan Bulan Muharram dalam Agama Islam

Dalam Sumber Syariat Islam, jumlah bulan dalam satu tahun ada 12 bulan, dimana diantara bulan-bulan tersebut terdapat empat keutamaan bulan yang dianggap istimewa atau bulan yang disucikan, yakni Zulqaidah, Keutamaan Bulan Dzulhijjah, Bulan Muharram dan Keutamaan Puasa Rajab. Mengapa demikian? Lalu bagaimana dengan bulan-bulan yang lain seperti ramadhan yang dianggap sebagai bulan yang paling suci?(Baca : Fadhilah di Bulan Suci Muharram).

Pada dasarnya setiap bulan memiliki kesamaan dan tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dan tentunya ada alasan-alasan khusus mengapa ke empat bulan yaitu Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan bulan Rajab dianggap sebagai bulan yang disucikan atau istimewa dalam islam.(Baca : Menikah di Bulan Ramadhan)

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At- Taubah ayat 36 :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalah bersabda :

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ

Artinya:

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” (HR. Bukhari  dan Muslim).

Asal Usul Bulan Muharram atau yang kita kenal dengan Asyura merupakan salah satu dari keempat bulan yang diistimewakan dalam islam, dimana itu adalah bulan yang pertama dalam penanggalan hijriah. Nama muharram secara bahasa artinya adalah diharamkan. Menurut Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa, dinamakan muharram karena  pada bulan tersebut diharamkan terjadinya peperangan (jihad).

Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa

Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).

Jadi bisa dikatakan bahwa Keutamaan Bulan Muharram adalah bulan yang diberkahi dan diagungkan. Selain itu, sangat bagus untuk melaksanakan puasa sunnah pada bulan muharram. Lalu apa saja keistimewaan dan keutamaan bulan muharram tersebut?

1. Salah satu bulan yang disucikan

Muharam merupakan salah satu bulan yang disucikan bagi umat islam, dimana dalam bulan tersebut Allah mengharamkan bagi umat islam untuk melakukan kedzaliman atau perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT seperti membunuh atau berperang.

Seorang ahli tafsir bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh pernah berkata,

Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”.

Perkataan tersebut mengartikan bahwa apabila pada bulan-bulan haram seperti bulan muharram manusia melakukan kedzaliman seperti berperang atau membunuh, maka ia akan mendapatkan dosa yang berlipat ganda dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalah Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 di atas.

2. Terjadi berbagai peristiwa penting dalam bulan tersebut

  • Tanggal 1 Muharram merupakan hari dimana Khalifah Umar Bin Khatab membuat penetapan kiraan bulan dalam hijrah untuk pertama kalinya.
  • Pada tanggal 10 Muharram, terjadi berbagai peristiwa penting (bersejarah) dalam islam, seperti :
  1. Muharram merupakan bulan dimana terjadinya penyelamatan Nabi Musa Alaihissalam dan kaum Bani Israil dari kejaran raja Firaun, dimana dalam peristiwa tersebut, Firaun dan keluarganya mati tenggelam di laut Merah.
  2. Hari dimana Allah menjadikan langit dan bumi
  3. Hari dimana Allah menciptakan Adam Alaihissalam dan Siti Hawa.
  4. Hari di mana Allah SWT menjadikan syurga
  5. Hari dimana Allah menerima taubat nabi Adam Alaihissalam dan memasukkannya ke surga
  6. Hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Nuh Alaihissalam diselamatkan dari bahtera setelah bumi tenggelam selama enam bulan dan merupakan hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api yang sengaja digunakan untuk membakar dirinya oleh raja Namrud.
  7. Hari di mana Nabi Musa menerima wahyu dari Allah SWT berupa kitab Taurat
  8. Hari di mana Allah telah membebaskan Nabi Yusuf Alaihissalam dari penjara
  9. Hari di mana Allah memulihkan Nabi Ayyub Alaihissalam dari penyakit kulit yang dideritanya
  10. Hari di mana Allah SWT telah memulihkan penglihatan Nabi Yakub Alaihissalam dari kebutaan
  11. Hari di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Yunus Alaihissalam dari dalam perut ikan setelah terkurung selama 40 hari 40 malam
  12. Hari di mana Allah SWT mengaruniakan kerajaan yang besar bagi Nabi Sulaiman Alaihissalam.
  13. Hari dimana Allah SWT menciptakan alam dan pertama kali menurunkan hujan.

3. Muharram telah disifatkan sebagai syahrullah (bulan Allah)

Muharam juga memiliki kedudukan istimewa dalam islam, dimana bulan tersebut merupakan satu-satunya bulan yang disebut sebagai syahrullah (bulan Allah). Mengapa demikian? Terdapat beberapa pendapat mengenai hal itu, seperti :

  • Para ulama menerangkan bahwa pada saat suatu makhluk mendapatkan gelar atau disandarkan padanya lafzhul Jalallah, maka itu berarti makhluk tersebut mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Misalnya saja pada kejadian pemberian nama pada ka’bah yaitu Baitullah (rumah Allah) yang merupakan Peninggalan Sejarah Islam di Dunia, maupun pada Unta yang dimiliki nabi Sholeh Alaihissalam yang mendapat julukan naqatallah (unta Allah)
  • As Suyuthi menyatakan bahwa pemberian nama Syahrullah pada bulan Muharram adalah dikarenakan nama Al-Muharram merupakan nama-nama islami, sedangkan nama-nama bulan yang lain telah ada sejak zaman jahiliyah. Dulu, sebelum kedatangan islam, bulan muharram bernama syafar awal.(Baca : Nama – Nama Nabi Dan Rasul)
  • Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menerangkan bahwa pemberian nama syahrullah kemungkinan dikarenakan pada bulan tersebut Allah telah mengharamkan terjadinya peperangan. Selain itu, muharram merupakan bulan yang pertama dalam penanggalan islam, oleh karena itulah disandarkan padanya lafadz Allah sebagai bentuk pengkhususan. Dan hanya pada bulan muharramlah Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam menyandarkan lafadz Allah.

Selain Syahrullah, Muharram juga sering disebut sebagai Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi) karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang sangat dihormati sehingga tidak diperbolehkan terjadi konflik maupun riak di bulan tersebut.

Begitulah keutamaan-keutamaan bulan Muharram, dan karena hal tersebut maka umat muslim sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan di bulan haram tersebut. Seperti yang dikutip dari perkataan Qatadah bahwasannya Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang melaksanakan amalan-amalan sholeh di bulan muharram, sehingga Segala macam bentuk kebaikan maupun amalan sholeh sangat dianjurkan untuk ditingkatkan di bulan tersebut. Dan salah satu bentuk amal  sholeh tersebut adalah dengan melakukan puasa.

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Artinya:

Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah Radiallahu Anhu berkata :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Artinya:

Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa setiap tanggal 10 Muharam (asyura) sebagai tanda syukur atas pertolongan dari Allah SWT yang untuk selanjutnya dikenal dengan sebutan puasa Asyura’.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ  هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya:

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ketika Rasulullah Sholallahu Alaihi wassalam sedang melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram, para sahabat bertanya kepada beliau “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”.

Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Artinya:

Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).“ (HR. Muslim)

Hal tersebut dilakukan sebagai pembeda antara puasanya orang Yahudi dengan umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam :

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Artinya:

Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[HR Ahmad, al-Baihaqi, dll)

Salah satu keutamaan melakukan puasa Asyura adalah Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya di tahun yang lalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Artinya:

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

DALAMISLAM




Jangan Menari di Atas Luka Orang Lain

ISLAM adalah agama yang lengkap, tidak bicara hanya tentang hukum mrlainkan juga tentang etika dan estetika. Salah satu ajaran Islam yang kini mulai pupus pelaksanaannya adalah kemampuan diri membahagiakan hati orang lain dan kehendak diri untuk ikut bahagia akan kebahagiaan orang lain. Yang banyak terlihat kini terutama di TV dan media sosial adalah saling hina dan saling caci, saling menyakiti dan membongkar aib orang lain.

Hari ini mari kita renungkan firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 53 yang artinya “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 53)

Kalau kita sempatkan baca uraian tafsirnya, maka kita simpulkan bahwa hamba Allah yang beriman harus merespon orang lain dengan respon terbaik, respon yang menyenangkan dan membahagiakan. Jangan pernah bangga jika mampu membuat orang lain sedih dan kecewa. Dunia ini berputar, wahai saudaraku dan sahabatku. Jangan suka menari di atas luka orang lain.

Bagaimana praktek nyatanya? Tampillah dengan sikap yang tak membuat orang lain sakit hati. Di hadapan anak yatim, jangan pamer kebanggaan karena orang tua kita hebat. Di depan orang fakir jangan pamer kekayaan dan gaya hidup mewah kita. Singkat uraian, lakukan apa yang membuat orang lain bersyukur akan hidupnya.

Dalam berkata-kata, pilihlah kata-kata yang tepat dengan intonasi yang sopan. Sertai dengan senyuman dan kalam motivasi. Antarkan orang lain untuk bahagia dan merasa beruntung. Jangan jadikan mereka merasa menderita dan bernasib buntung.

Kaidah harian dari nenek moyang kita adalah: “Kalau dicubit sakit, janganlah mencubit.” Pekakan rasa dan naluri kita, jangan hidup seenaknya sendiri. Dunia berputar, saudaraku dan sahabatku. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Apakah Nabi Ibrahim AS Seorang Yahudi, Nasrani, atau Muslim?

Banyak pertanyaan tentang apakah Nabi Ibrahim Muslim, Yahudi, atau Nasrani.

Semua nabi termasuk Ibrahim terpelihara atau dijaga oleh Allah dari kekufuran, syirik, serta melakukan dosa besar dan dosa kecil yang menghinakan. Maka, mustahil bagi seorang penyampai dakwah rabaniah dan pembawa misi ilahiah tidak mengenal Tuhan yang ia sembah.

Imam al-Qadli ‘Iyadl (W. 544 H/ 1149 M) mengatakan dalam kitabnya asy-Syifa: ”Sesungguhnya para Nabi itu ma’shum (terjaga), baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi–dari kebodohan, keraguan (walau sedikit saja) dan ketidakmengenalan terhadap Tuhan dan sifat-sifat-Nya.” 

Allah berfirman dalam QS Al-Anbiya’ ayat 51: 

لَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim Rusydahu (hidayah petunjuk kebenaran) sebelum ia mencapai umur balig.” (tafsir Imam Mujahid W. 104 H). Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Ibrahim berdakwah, ia telah diberikan iman yang kokoh dan ma’rifat/pengetahuan bahwa hanya Allah Tuhannya yang layak disembah, bukan bulan, bintang, ataupun matahari.

Sedangkan konteks surat Al-An’am ayat 76-78 tersebut di atas adalah disebabkan kondisi (medan dakwah) kaum Nabi Ibrahim, yakni kaum Harran yang gandrung terhadap ilmu astronomi, bahkan mereka sampai menyembahnya (bintang, bulan, dan matahari).

Oleh sebab itu, Allah mengutus Nabi Ibrahim kepada mereka dengan membawa hujjah qawiyah (argumentasi yang kuat). Bahwa, Apakah layak sesuatu yang terbit lalu tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan mudarat untuk dijadikan Tuhan? Oleh karena itu, Ibrahim berkata kepada kaumnya La uhibbul afilin (Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam). 

Dalam tafsir Jalalain (karya Jalaluddin al-Mahalli W. 864 H/ 1459 M dan Jalaluddin as-Suyuthi W. 911 H/1505 M) dijelaskan: ”Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam untuk dijadikan Tuhan, sebab Tuhan itu tidak patut mempunyai sifat yang berubah-rubah, bertempat, dan berpindah-pindah. Karena, sifat-sifat itu hanya pantas disandang oleh makhluk.”

Adapun dalil lain yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah mencari-cari Tuhan atau kebingungan dan mengeluh siapa Tuhannya di antaranya; QS Al-An’am ayat 79: 

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”

QS Ali Imran ayat 67: 

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/lurus lagi Muslim (seorang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik sama sekali baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya).”

Sejatinya, tafsir makna surat Al-An’am 76-78 berdasarkan keterangan tersebut di atas adalah sebagaimana berikut: ”Ketika malam telah menjadi gelap, Nabi Ibrahim melihat sebuah bintang lalu ia menyatakan, ”Inikah Tuhanku? sebagaimana kalian kira?”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia menyatakan, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam” yakni layakkah sesuatu yang terbenam dijadikan Tuhan sebagaimana yang kalian yakini? Maka, ketika kaumnya tidak memahami maksud pernyataan Nabi Ibrahim tersebut, bahkan mereka tetap menyembah bintang, Nabi Ibrahim menyatakan untuk kedua kalinya ketika ia melihat bulan dengan pernyataan yang sama ”Inikah Tuhanku?”.

Demikian Nabi Ibrahim mengulangi kembali pernyataannya ketika melihat matahari ”Inikah Tuhanku?”. Lalu, ketika Nabi Ibrahim tidak dapat memberikan kesadaran/hidayah terhadap kaumnya, ia menyatakan kepada kaumnya, inni bariun mimma tusyrikun (Sungguh, aku berlepas diri [tidak bertanggung jawab dan tidak ikut menyembah bintang] dari apa yang kalian persekutukan).

Kesimpulannya, Ibrahim sebagai nabi dan rasulullah telah mengenal dan beriman kepada-Nya jauh-jauh hari sebelum menjadi nabi sebagaimana para nabi lainnya. Tidak pernah ada keraguan sedikit pun akan keberadaan Allah Sang Pencipta Semesta. Dan, ketuhanan hanya layak disandang oleh Allah. Tiada pencipta yang berhak disembah kecuali Allah.

Bukan seperti asumsi sebagian orang bahwa Nabi Ibrahim, suatu ketika, pernah kebingungan, ragu, lalu mencari siapa Tuhannya. Karena, semua para nabi mustahil melakukan atau jatuh dalam kesesatan, kekufuran, syirik, dosa besar, dan dosa kecil yang menghinakan, baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi. Karena, para nabi dan rasul diutus sebagai Hudatan Muhtadin (orang yang mencerahkan dan tercerahkan) guna menyampaikan risalah kebajikan kepada seluruh alam semesta. 

KHAZANAH REPUBLIKA  

Alasan Mengapa Rasulullah SAW Doa 3 Permintaan di Pagi Hari

Rasulullah SAW memanjatkan 3 permintaan doa pada pagi hari.

Pagi menjadi waktu yang utama bagi setiap Muslim untuk berdzikir dan bermunajat kepada Allah SWT.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah menyebutkan, dzikir siang (an-nahar) yang paling utama adalah di waktu pagi usai Subuh. Bahkan, di antara doa dan dzikir Nabi Muhammad SAW yang paling banyak adalah berdzikir di waktu pagi, selain juga waktu sore. 

Ini menunjukkan bahwa pagi merupakan waktu yang baik untuk mengawali hari dengan bermunajat kepada Allah. Sebab, doa akan berpengaruh terhadap perilaku kita.

Di antara doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di waktu pagi, salah satunya adalah doa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. 

Dia meriwayatkan bahwa tatkala pagi Rasulullah SAW berdoa: 

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا أصبَح قال: اللَّهمَّ إنِّي أسأَلُكَ عِلمًا نافعًا، ورِزْقًا طيِّبًا، وعمَلًا مُتقَبَّلًا  

Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan 

“(Ya Allah, sungguh aku mohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima).” (HR Ibnu Majah).

Doa yang dimunajatkan Nabi di atas berisi tiga permohonan yang sangat penting digapai oleh setiap Muslim. 

Pertama, ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’an). Siapa pun kita, terutama yang sedang menuntut ilmu, tentu sangat menginginkan kemanfaatan ilmunya. Ilmu yang bermanfaat tidak sekadar ilmu yang banyak, tetapi lebih dari itu, pengetahuan yang diperoleh dapat memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan agamanya.

Kemanfaatan ilmu itu dapat diukur dengan seberapa besar kebaikan ilmu dapat dirasakan oleh diri dan orang lain. Bukan ilmu yang merusak dan menyengsarakan umat, apapun dalih dan profesinya.   

Kedua, rezeki yang baik (rizqan thayyiban). Hampir setiap kita, di saat pagi tiba, diawali untuk mencari rezeki. Dan, ajaran Nabi adalah bagaimana kita mencari rezeki yang baik. 

Tentu saja, rezeki yang baik adalah yang diambil melalui cara dan proses yang benar dan dibelanjakan dengan jalan yang benar pula. Cara-cara haram, seperti korupsi, hanya akan menjauhkan diri kita dari keberkahan rezeki dan kebaikan nikmat.  

Ketiga, amal perbuatan yang diterima oleh Allah SWT (‘amalan maqbulan). Menurut ulama, kriteria aktivitas amal kita dapat diterima Allah jika amal perbuatan itu benar (ash-shawab) dan dilandasi dengan keikhlasan (al-ikhlash). 

Jika kita menginginkan amal baik diterima oleh Allah, maka kita harus mendasarkan amal kita dengan parameter kebenaran dan keikhlasan. 

Semoga hari kita senantiasa dinaungi ilmu, rezeki, dan amal yang baik sebagaimana yang dimunajatkan Nabi SAW di waktu pagi. 

KHAZANAH REPUBLIKA

 

Rasa Takutmu dengan Akhirat adalah Ukuran Keimananmu

Allah Swt Berfirman :

يَسۡتَعۡجِلُ بِهَا ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِهَاۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مُشۡفِقُونَ مِنۡهَا وَيَعۡلَمُونَ أَنَّهَا ٱلۡحَقُّۗ أَلَآ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُمَارُونَ فِي ٱلسَّاعَةِ لَفِي ضَلَٰلِۭ بَعِيدٍ

“Orang-orang yang tidak percaya adanya hari Kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh.” (QS.Asy-Syura:18)

Kita semua tau bahwa keimanan dan ketakwaan manusia itu naik turun. Dan bila kita perhatikan, salah satu faktor yang mempengaruhi keimanan dan ketakwaan seseorang adalah rasa takutnya kepada Akhirat.

Setiap kali rasa takut dan khawatir terhadap kehidupan akhirat itu bertambah, maka itu adalah pertanda bahwa ketakwaan seseorang sedang naik. Begitupula sebaliknya !

Al-Qur’an pun sering menceritakan kepada kita bahwa orang-orang yang berpaling dari jalan Allah dan lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsunya adalah mereka yang LUPA dengan akhirat dan lalai dari Hari Pembalasan.

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ

“Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS.Shad:26)

Karena itu pula di ayat lain Allah Swt menyebut orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang takut dengan Allah dan takut dengan akhirat.

Allah Swt Berfirman :

لِّلۡمُتَّقِينَ – ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ وَهُم مِّنَ ٱلسَّاعَةِ مُشۡفِقُونَ

“Bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang takut (azab) Tuhannya, sekalipun mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari Kiamat.” (QS.Al-Anbiya’:48-49)

Dan Al-Qur’an juga mengabarkan bahwa para penghuni Neraka yang abadi dengan siksaan-Nya adalah mereka yang tidak meyakini kehidupan di akhirat.

كَلَّاۖ بَل لَّا يَخَافُونَ ٱلۡأٓخِرَةَ

“Tidak! Sebenarnya mereka tidak takut kepada akhirat.” (QS.Al-Muddatstsir:53)

Maka meyakini akhirat dan rasa takut terhadapnya adalah salah satu syarat utama yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Kepahlawanan Abu Bakar ash-Shiddiq di Saat Hijrah

Bercerita tentang pribadi Abu Bakar ash-Shiddiq seolah-olah tiada kata yang bisa menutupnya dan tiada tinta pena yang tercelup yang mampu mengakhirinya. Ia bukanlah seorang nabi, namun sosoknya adalah profil manusia yang luar biasa. Pada dirinya tergabung sifat kelemah-lembutan dan ketegasan, kasih sayang dan keberanian, ketenangan dan cepat serta tepat dalam mengambil keputusan, rendah hati dan kewibawaan, serta toleran namun mampu menghancurkan musuh. Beliau adalah orang yang paling kuat keimanannya setelah para nabi dan rasul. Dan beliau juga adalah orang yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kecintaan dan kesetiaannya kepada Nabi sangat tampak pada saat ia menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah.

Pada saat Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengizinkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, para sahabat pun bersegera menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah. Mereka tinggalkan kampung halaman mereka menuju daerah yang sama sekali belum mereka kenal sebelumnya. Para sahabat, baik laki-laki atau perempuan, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak, mereka beranjak dari Mekah menempuh perjalanan kurang lebih 460 Km menuju Madinah. Mereka melintasi pada gurun yang gersang dan tentu saja terik menyengat.

Di antara mereka ada yang menempuh perjalanan secara sembunyi-sembunyi, ada pula yang terang-terangan. Ada yang memilih waktu siang dan tidak sedikit pula yang menjadikan malam sebagai awal perjalanan.

Ibnu Hisyam mencatat, Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang bersegera memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah. Ia meminta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَعْجَلْ، لَعَلَّ اللهُ يَجْعَلُ لَكَ صَاحِبًا

“Jangan terburu-buru. Semoga Allah menjadikan untukmu teman (hijrah).”

Rasulullah berharap agar Abu Bakar menjadi temannya saat berhijrah menuju Madinah. Kemudian Jibril datang mengabarkan bahwa orang-orang Quraisy telah membulatkan tekad untuk membunuh beliau. Jibril memerintahkan agar tidak lagi menghabiskan malam di Mekah.

Nabi segera mendatangi Abu Bakar dan mengabarkannya bahwa waktu hijrah telah tiba untuk mereka. Aisyah radhiallahu ‘anha yang saat itu berada di rumah Abu Bakar mengatakan, “Saat kami sedang berada di rumah Abu Bakar, ada seorang yang mengabarkan kepada Abu Bakar kedatangan Rasulullah dengan menggunakan cadar (penutup muka). Beliau datang pada waktu yang tidak biasa”.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk masuk, dan Abu Bakar mengizinkannya. Beliau bersabda, “Perintahkan semua keluargamu untuk hijrah”. Abu Bakar menjawab, “Mereka semua adalah keluargamu wahai Rasulullah”.

Rasulullah kembali mengatakan, “Sesungguhnya aku sudah diizinkan untuk hijrah”. Abu Bakar menanggapi, “Apakah aku menemanimu (dalam hijrah) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu malam datang.

Pada malam hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya yang sudah terkepung oleh orang-orang kafir Quraisy. Lalu Allah jadikan mereka tidak bisa melihat beliau dan beliau taburkan debu di kepala-kepala mereka namun mereka tidak menyadarinya. Beliau menjemput Abu Bakar yang tatkala itu sedang tertidur. Abu Bakar pun menangis bahagia, karena menemani Rasulullah berhijrah. Aisyah mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini, aku tidak pernah sekalipun melihat seseorang menagis karena berbahagia. Aku melihat Abu Bakar menangis pada hari itu”. Subhanallahu! Perjalanan berat yang mempertaruhkan nyawa itu, Abu Bakar sambut dengan tangisan kebahagiaan.

Kepahlawanan Abu Bakar Saat Hijrah

Pertama: Saat berada di Gua Tsaur.

Dalam perjalanan hijrah, Rasulullah tiba di sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Tsur atau Tsaur. Saat sampai di mulut gua, Abu Bakar berkata, “Demi Allah, janganlah Anda masuk kedalam gua ini sampai aku yang memasukinya terlebih dahulu. Kalau ada sesuatu (yang jelek), maka akulah yang mendapatkannya bukan Anda”. Abu Bakar pun masuk kemudian membersihkan gua tersebut. Setelah itu, Abu Bakar tutup lubang-lubang di gua dengan kainnya karena ia khawatir jika ada hewan yang membahayakan Rasulullah keluar dari lubang-lubang tersebut; ular, kalajengking, dll. Hingga tersisalah dua lubang, yang nanti bisa ia tutupi dengan kedua kakinya.

Setelah itu, Abu Bakar mempersilahkan Rasulullah masuk ke dalam gua. Rasulullah pun masuk dan tidur di pangkuan Abu Bakar. Ketika Rasulullah telah tertidur, tiba-tiba seekor hewan menggigit kaki Abu Bakar. Ia pun menahan dirinya agar tidak bergerak karena tidak ingin gerakannya menyebabkan Rasulullah terbangun dari istirahatnya. Namun, Abu Bakar adalah manusia biasa. Rasa sakit akibat sengatan hewan itu membuat air matanya terjatuh dan menetes di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah pun terbangun, kemudian bertanya, “Apa yang menimpamu wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Aku disengat sesuatu”. Kemudian Rasulullah mengobatinya.

Kedua: Melindungi Nabi dari teriknya matahari.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Bakar menceritakan hijrahnya bersama Nabi. Kami berjalan siang dan malam hingga tibalah kami di pertengahan siang. Jalan yang kami lalui sangat sepi, tidak ada seorang pun yang lewat. Kumelemparkan pandangan ke segala penjuru, apakah ada satu sisi yang dapat kami dijadikan tempat berteduh. Akhirnya, pandanganku terhenti pada sebuah batu besar yang memiliki bayangan. Kami putuskan untuk istirahat sejenak disana. Aku ratakan tanah sebagai tempat istirahat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu kuhamparkan sehelai jubah kulit dan mempersilahkan beliau untuk tidur di atasnya. Istirahatlah wahai Rasulullah. Beliau pun beristirahat.

Setelah itu, aku melihat keadaan sekitar. Apakah ada seseorang yang bisa dimintai bantuan. Aku pun bertemu seorang penggembala kambing yang juga mencari tempat untuk berteduh. Aku bertanya kepadanya, “Wahai anak muda, engkau budaknya siapa?” Ia menyebutkan nama tuannya, salah seorang Quraisy yang kukenal. Aku bertanya lagi, “Apakah kambing-kambingmu memiliki susu?” “Iya.” Jawabnya. “Bisakah engkau perahkan untukku?” pintaku. Ia pun mengiyakannya.

Setelah diperah. Aku membawa susu tersebut kepada Nabi dan ternyata beliau masih tertidur. Aku tidak suka jika aku sampai membuatnya terbangun. Saat beliau terbangun aku berkata, “Minumlah wahai Rasulullah”. Beliau pun minum susu tersebut sampai aku merasa puas melihatnya.

Lihatlah! Rasa-rasanya kita tidak terbayang, seorang yang kaya, mau bersusah dan berpeluh, menjadi pelayan tak kenal lelah seperti Abu Bakar. Ia ridha dan puas apabila Rasulullah tercukupi, aman, dan tenang.

Ketiga: perlindungan Abu Bakar terhadap Rasulullah selama perjalanan.

Diriwayatkan al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Umar bin al-Khattab, ia menceritakan. Ketika Rasulullah dan Abu Bakar keluar dari gua. Abu Bakar terkadang berjalan di depan Rasulullah dan terkadang berada di belakang beliau. Rasulullah pun menanyakan perbuatan Abu Bakar itu. Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah, kalau aku teringat orang-orang yang mengejar (kita), aku berjalan di belakang Anda, dan kalau teringat akan pengintai, aku berjalan di depan Anda”.

Apa yang dilakukan Abu Bakar ini menunjukkan kecintaan beliau yang begitu besar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak ingin ada sedikit pun yang mengancam jiwa Nabi. Jika ada mara bahaya menghadang, ia tidak ridha kalau hal itu lebih dahulu menimpa Nabi.

Demikianlah dua orang sahabat ini. Rasulullah ingin bersama Abu Bakar ketika hijrah dan Abu Bakar pun sangat mencintai Rasulullah. Inilah kecocokan ruh sebagaimana disabdakan oleh Nabi

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). Jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berpisah (tidak cocok).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai Abu Bakar.

عن عمرو بن العاص أن رسول الله بعثه على جيش ذات السلاسل، يقول: فأتيته فقلت: أي الناس أحب إليك؟ قال: “عَائِشَةُ”. قلت: من الرجال؟ قال: “أَبُوهَا”. قلت: ثم من؟ قال: “عُمَرُ”. فعد رجالاً

Dari Amr bin al-Ash, Rasulullah mengutusnya bergabung dalam pasukan Perang Dzatu Salasil. Amr berkata, “Aku mendatangi Nabi dan bertanya kepadanya, ‘Siapakah orang yang paling Anda cintai?’ Beliau menjawab, ‘Aisyah’. Aku kembali bertanya, ‘Dari kalangan laki-laki?’ Beliau menjawab, ‘Bapaknya (Aisyah)’. (HR. Bukhari dan Muslim).

Beliau juga bersabda,

إِنَّ مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَيَّ فيِ صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُوْ بَكْرٍ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلاً غَيْرَ رَبِّيْ لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِن أُخُوَّةُ الْإِسْلاَمِ وَمَوَدَّتُهُ، لاَ يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلاَّ سُدَّ إِلاَّ بَابُ أَبِيْ بَكْرٍ

“Sesungguhnya orang yang paling besar jasanya padaku dalam persahabatan dan kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan mengangkat seseorang menjadi kekasihku selain Rabbku, pastilah aku akan memilih Abu Bakar, namun cukuplah persaudaraan seislam dan kecintaan karenanya. Maka tidak tersisa pintu masjid kecuali tertutup selain pintu Abu Bakar saja.” (HR. Bukhari).

Semoga kita dapat meneladani Abu Bakar dalam kecintaan dan pengorbanannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridhai beliau dan menempatkannya di surga yang penuh dengan kenikmatan.

Sumber:
– Hisyam, Ibnu. as-Sirah an-Nabawiyah. 2009. Beirut: Dar Ibnu Hazm.
– Mubarakfuri, Shafiyurrahman. ar-Rahiq al-Makhtum. 2007. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa-sy Syu-uni al-Islamiyah.
– islamstory.com

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Catatan Hijrah dari Mekah Menuju Madinah

Setelah baiat aqabah ke-2 ditunaikan, umat Islam di Madinah pun siap menyambut kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota mereka. Jumlah umat Islam di Madinah yang sudah cukup banyak membumbungkan optimisme untuk menjadi Anshar, penolong dan pelindung Rasulullah dan para sahabat Muhajirin. Dan Maha Sempurna Allah dengan segala ketetapan takdir-Nya. Dialah yang menyiapkan kondisi Kota Madinah setelah sebelumnya membekali ketangguhan iman dan mental umat Islam dengan kondisi Mekah yang sulit dan mengancam nyawa. Dialah pula yang menentukan waktu yang tepat bagi Rasul-Nya dan umat Islam untuk memulai fase madani. Allah izinkan Nabi dan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib, Madinah al-Munawwarah.

Semua para sahabat yang mampu untuk hijrah, maka wajib bagi mereka berhijrah. Yang lemah dan yang kuat, yang miskin dan yang kaya, laki-laki maupun wanita, dari kalangan merdeka atau hamba sahaya, semua menyambut perintah Allah Ta’ala.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا * إِلاَّ المُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً * فَأُولَئِكَ عَسَى اللهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا * وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إلى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 97-100).

Hijrah Bukan Sekedar Berpindah

Saat ini, sebagian umat Islam, ketika mendengar kata hijrah atau peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah ke Madinah, menganggapnya sebagai suatu perpindahan biasa, layaknya migrasi penduduk dengan segala kerepotannya. Padahal tidaklah semudah itu. Ini adalah perjuangan yang besar. Bentuk perlawanan terhadap kaum musyrikin Mekah bahkan Jazirah Arab secara umum. Kehilangan nyawa sebuah resiko yang begitu terpapar di depan mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Hijrah bukanlah melarikan diri. Hijrah adalah persiapan membekali diri untuk kehidupan akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ * لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُدْخَلاً يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللهَ لَعَلِيمٌ حَلِيمٌ

“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka di bunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki. Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Hajj: 58-59).

Ditambah lagi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam barulah berhijrah tatkala semua sahabatnya telah berangkat menuju Madinah. Hal ini semakin menguatkan bahwa hijrah bukanlah bentuk melarikan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih mementingkan keselamatan dan keamanan umatnya dibanding keselamatan dirinya. Inilah jiwa seorang pemimpin. Seorang nahkoda bukanlah orang yang pertama meninggalkan kapal saat ia akan karam. Ia akan menjadi yang terakhir keluar setelah memastikan awak dan penumpangnya selamat terlebih dahulu. Tidaklah tersisa di Mekah kecuali Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib sebagai orang-orang yang paling akhir menempuh perjalanan.

Ada beberapa hal yang bisa dicermati dari peristiwa hijrah:

Pertama, hijrahnya umat Islam secara menyeluruh terjadi setelah pintu dakwah sudah tertutup di Mekah.

Hijrah ke Madinah bukanlah hijrah yang pertama dialami umat Islam. Sebelumnya sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh dua kali hijrah ke negeri Habasyah. Kesempatan untuk berdakwah di Mekah begitu kecil atau bahkan tertutup. Mengapa tertutup? Karena orang-orang kafir Quraisy berencana untuk membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, tiga tahun sebelum hijrah. Saat itulah, strategi hijrah mulai disusun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sejak mula, dakwah di Mekah memang sudah sulit. Namun Allah Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk berhijrah. Hingga akhirnya pintu tersebut mulai dirasa begitu rapat, barulah Allah perintahkan Rasul-Nya dan umat Islam untuk berhijrah. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran yang begitu mendalam, ketika pintu dakwah masih terbuka walaupun dirasa sulit, maka kita hendaknya berusaha mengajak orang-orang kepada kebenaran.

Kedua, saat seluruh umat Islam melakukan hijrah, maka Madinah yang dipilih menjadi tujuan bukan Habasyah.

Kota tujuan hijrah bisa saja bukan Kota Madinah jika Bani Syaiban atau Bani Hanifah atau Bani Amir beriman. Namun Allah Ta’ala menginginkan Madinah seabgai tempat hijrah Nabi-Nya. Kultur masyarakat Madinah yang merupakan bangsa Arab, tidak jauh berbeda dengan masyarakat Mekah sehingga para sahabat tidak begitu kesulitan untuk beradaptasi.

Jaminan keamanan di Madinah pun lebih besar dibandingkan di Habasyah. Di Habasyah, hanya An-Najasyi yang beriman, jika ia wafat, maka keselamatan kaum muslimin kembali terancam. Selain itu, terbentuknya negara Islam lebih besar peluangnya di Madinah dibanding Habasyah.

Ketiga, umat Islam diperintahkan menuju tempat yang sama untuk berhijrah.

Dalam syariat hijrah kali ini. Komunitas umat Islam Mekah diperintahkan menuju daerah yang satu bukan dibebaskan menuju daerah manapun yang mereka inginkan. Banyak sekali faidah dari hal ini. Di antaranya kebersamaan dan kekeluargaan tetap terjaga. Keselataman lebih terpelihara dibandikan satu orang menuju satu negeri lainnya. Lebih mudah beradaptasi. Keimanan juga terjaga dengan berkumpulnya mereka dengan orang-orang beriman lainnya. Dll.

Penutup

Inilah sekelumit catatan yang melatar-belakangi hijrahnya Nabi dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Sebuah tempat yang belum dikunjungi oleh para sahabat. Negeri yang tidak mereka kenal tabiat penduduknya. Sebuah tempat dimana terdapat komunitas besar Yahudi yang juga belum pernah mereka jumpai. Yang mereka tahu tentang kaum itu hanyalah dari wahyu, bahwa mereka adalah kelompok yang jelek, yang suka menyelisihi para nabi dan rasul Allah. Dan di Madinah yang masih bernama Yatsrib itu pula Yahudi menguasai ekonomi masyarakatnya.

Demikianlah pembuka kisah hijrah, yang mengawali kisah-kisah hijrah lainnya ini kami susun. Semoga bermanfaat.

Sumber: islamstory.com

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Hijrah Muhammad SAW: Mengenang Film Legendaris The Message

Salah satu film yang patut dikenang oleh kaum Muslim salah satu adalah film ‘The Message (bahasa Arab: الرسالة Ar-Risālah). Pada awal pembuatan film sempat berbagai nama akan disematkan pada film ini seperti ‘Mohammad hinga  Messenger of God. Namun akhirnya film ini dinamakan ‘The Message’.

Jenis film ini drama epik Islam tahun. Dibuat pada 1976 dan  disutradarai serta diproduksi oleh Moustapha Akkad. Kisah dalam film ini menceritakan masa awal dakwah Muhammad SAW, yakni dengan mencatat kehidupan dan sosok Muhammad melalui perspektif pamannya Hamzah ibn Abdul-Muttalib dan anak angkat Zayd ibn Harithah.

Film ini dirilis dalam versi bahasa Arab dan bahasa Inggris yang difilmkan secara terpisah. Melalui kisah  The Message sejarah Islam di masa awal dicoba diceritakan.

Para pemeran dalam film ini juga tak sembarang. Mereka telah berkali-kali mendapat pengharaan internasional. Sosok itu antara lain seperti sang aktor legendaris Anthony Quinn, Irene Papas, Michael Ansara, Johnny Sekka, Michael Forest, André Morell, Garrick Hagon, Damien Thomas, dan Martin Benson. Uniknya film ini merupakan produksi bersama internasional karena ada keterlibatan banyak negara misalnya Libya, Maroko, Lebanon, Suriah, Arab Saudi, dan Inggris.

Film The Message dinominasikan untuk mendapat penghargaan ‘Skoring Film Asli Terbaik di Academy Awards ke-50, yang disusun oleh Maurice Jarre. Sayangnya film ini tetapi kalah dari Star Wars (disusun oleh John Williams) yang kala itu sedang top-topnya.

Sedangkan mengenai alur cerita The Message adalah sebagai berikut. Film ini dimulai dengan sepenggal gambaran mengeia surat Muhammad SAW mengirimkan undangan untuk menerima Islam kepada penguasa sekitarnya seperti Heraclius, Kaisar Bizantium; Patriark dari Alexandria, hingga Kaisar Sasanian di Persia.

Sebelumnya surat dibuat, Muhammad SAW kala itu telah dikunjungi malaikat Jibril, yang sangat mengejutkannya. Malaikat memintanya untuk memulai dan menyebarkan Islam. Lambat laun, hampir seluruh kota Makkah mulai berpindah agama. Akibatnya, lebih banyak musuh akan datang dan memburu Muhammad dan teman-temannya dari Makkah dan menyita harta benda mereka. Beberapa dari pengikut ini melarikan diri ke Abyssinia untuk mencari perlindungan dengan perlindungan yang diberikan oleh raja di sana.

Setelah dari hijrah ke Abisina, kaum Quraisy tetap pengganas kepada par a pengikut Islam awal. Karena terus diburu untuk dibantai mereka menuju berangkat mengungsi ke kota yang ada disebelah utara Makkah, yakni Madinah.

Ternyata kedatangan Muhammad Saw dan pengikutnya di Madinah oleh warga kota tersebut disambut hangat. Di Madinah kemudian Rasullah Saw membangus masjid yang pertama kali, kini disebut Masjid Nabawi.

Dan di Madinah Muhammad SAW bisa memilih kehidupan damai meski itu hanya sejenak. Sebab, ancaman serangan dari suku Quraiys tetap eksis dan bisa muncul setiap saat. Quraisy belum bisa pernag karena mereka belum mendapat izin untuk menyerang. Akhirnya terjadilah perang yang pertama dalam kazanah Islam yang disebut perang Badr. Tak disangka Muslim menang meski jumlah tentara hanya kecil saja.

Selanjutnya dendam kesumat orang Quraisy kepada pengikut Islam pada masa itu  ingin balas dendam. Mereka kemudian menyerang balik dengan tiga ribu orang pasukan dalam Pertempuran Uhud. Dalam pertempuran itu Hazmah terbunuh. Sementara kaum Muslim yang pada awal perang Uhud dalam posisi menang, namun ini sontak berunah dibabak akhir perang Uhud tersebut. Merasa menang orang Makkah meninggalkan kamp tanpa perlindungan. Keadaan ini sangat disadari oleh panglima pasukan Makkah, yakni Khalid bin Walid. Tentara Muslim di-‘bokong’-nya habis-habisan sehingga kalah. Namun setelah perang ini kemudian ada kesepakatan antara orang Makkah dan Madinah untuk melakukan gencatan senjata selama 19 tahun.

Beberapa tahun kemudian, Khalid ibn Walid, seorang jenderal Mekah yang telah membunuh banyak Muslim, masuk Islam. Sementara itu, kamp Muslim di gurun pasir diserang pada malam hari. Kaum Muslimin percaya bahwa orang Makkah bertanggung jawab. Abu Sufyan datang ke Madinah karena takut akan pembalasan dan mengklaim bahwa bukan orang Mekah, tapi para perampok yang melanggar gencatan senjata.

Tak satu pun Muslim yang memberinya audiensi atas klaim suku Quraisy. Akibanya kemudia mereka mengklaim bahwa dia “tidak mematuhi perjanjian dan tidak membuat janji.” Kaum Muslimin menanggapi dengan menyerang Mekah dengan pasukan yang sangat banyak dan “orang-orang dari setiap suku”.

Abu Sufyan mencari pertemuan dengan Muhammad pada malam penyerangan. Orang Mekah menjadi sangat ketakutan tetapi diyakinkan bahwa tidak ada yang akan disiksa di rumah mereka, oleh Ka’bah, atau di rumah Abu Sufyan akan aman. Mereka menyerah dan Mekah jatuh ke tangan kaum muslimin. Gambar pagan dewa di Ka’bah dihancurkan, dan azan pertama di Mekah disebut di Ka’bah oleh Bilaal Ibn Rabaah. Khotbah Perpisahan juga disampaikan.

Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=ylreSmRi3bg#action=share

KHAZANAH REPUBLIKA

Faktor-Faktor Yang Dapat Merusak Keistiqamahan

Bismillahirrahmanirrahim
Faktor-faktor yang bisa merusak keistiqamahan hamba sangatlah banyak. Secara umum dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal

1. Kejahilan, lawan dari ilmu

Ilmu adalah sumber dari segala kebaikan dan kejahilan atau kebodohan adalah sumber segala keburukan.

Kejahilan yang ada pada seorang hamba bisa menyeretnya kepada kehancuran dan akibat yang buruk. Pelakunya bisa saja terjerumus kepada dosa dan maksiat, menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus, serta mengikuti syahwat dan syubat. Kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya petunjuk untuk kembali kepada jalan yang lurus.

Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memberinya ilmu agama yang bermanfaat serta menganugerahkan padanya pemahaman kepada agama yang benar. Sebaliknya, siapa saja yang tidak Allah kehendaki kebaikan atas dirinya maka Allah akan membiarkannya kepada kebodohan. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon agar diberikan ilmu yang bermanfaat dan melindungi kita dari kejahilan.

2. Lalai, berpaling dari kebenaran, dan lengah

Kelengahan yaitu kelalaian yang muncul karena kurangnya kewaspadaan dan kesadaran, hal ini merupakan penyakit yang berbahaya jika menimpa pada seseorang. Karenanya, seorang hamba tidak akan menyibukkan dirinya pada ketaatan dan hal yang tidak bermanfaat. Siapa yang dikuasai oleh kelengahan, disibukkan dengan kelalaian, dan selalu berpaling dari kebenaran, niscaya akan berkurang imannya, serta akan melemah istiqamahnya. Bahkan bisa juga mematikan hati karena berkuasanya syahwat atas dirinya.

Kelengahan adalah sifat yang tercela dan termasuk sifat orang-orang kafir dan munafik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperigatkannya dengan keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)

3. Hawa Nafsu yang Selalu Mendorong Berbuat Kejahatan

Hawa nafsu adalah jiwa tercela yang Allah jadikan pada setiap manusia. Jiwa yang tercela ini bisa mendorong seseorang berbuat kejahatan dan mengajaknya pada keburukan. Ini memang tabiat dan watak dasarnya. Kecuali jiwa yang telaah mendapat taufik dari Allah. Tidaklah jiwa seseorang bisa selamat kecuali hanya dengan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا

“… Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya padamu, niscaya tidak seorangpun diantara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya …. (Q.S An-Nur: 21)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menerangkan : “ Hawa nafsu itu selalu mengajak kepada kebinasaan. Suka membantu musuh-musuh dan berambisi kepada semua perbuatan jelek. Suka mengikuti tiap keburukan serta berjalan dengan tabiatnya yang suka melakukan pelanggaran dan penyelisihan. Nikmat yang tiada taranya ialah keluar dari belitan hawa nafsu dan melepaskan diri dari perbudakannya. Karena hawa nafsu itu merupakan hijab terbesar yang menghalangi seorang hamba dengan Rabbnya. Orang yang paling tahu tentang hawa nafsu adalah yang paling merendahkannya dan yang paling mengutuknya.” (Ightsatul Lafhan (I/103))

#. Faktor Eksternal

1. Syaitan

Pengaruh syaitan adalah pengaruh dari luar terkuat yang bisa menyebabkan berkurangnya iman dan rusaknya istiqamah.
Keinginan dan tujuannya hanyalah ingin menggoyahkan keimanan yang ada dalam hati orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang mengikuti was-was dan bisikan dari syaitan serta tidak memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala, maka akan melemahlah imannya dan berkurang istiqamahnya.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita tentang bahaya dan akibat yang buruk apabila mengikuti syaitan, serta menjelaskan bahwa syaitan adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُوا۟ حِزْبَهُۥ لِيَكُونُوا۟ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Sungguh, syaitan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)

2. Dunia dan godaannya

Ini adalah faktor dari luar yang cukup mempengaruhi keimanan dan keiistiqamahan seorang hamba.
Termasuk hal yang bisa menyebabkan berkurang dan melemahnya iman serta keistiqamahan seorang hamba adalah terlalu menyibukkan dirinya dengan kehidupan dunia yang fana. Menghabiskan waktu hanya untuk mengurus segala hal tentang dunia. Mengikuti dan menikmati berbagai macam kelezatan dunia. Maka, semakin besar ambisi dan cita-cita seorang hamba kepada dunia dan semakin terpaut hatinya dengan dunia, semakin melemahlah semangat untuk mengerjakan berbagai macam ketaatan dan semakin berkurang semangatnya untuk terus istiqamah di atas jalan yang benar.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Berat tidaknya seorang hamba dalam melaksanakan ketaatan dan dalam mengejar akhirat bergantung kadar ambisi dan kepuasan seorang hamba terhadap dunia.”(Al-Fawa-id (hal 180))

Ada dua hal yang bisa kita lakukan agar tidak tertipu dengan godaan dunia

Pertama: Melihat bahwa dunia begitu cepat hilang, fana dan akan musnah, serta melihat kekurangan dan kerendahannya. Hingga akhirnya hilang dan terputus yang disertai dengan penyesalan. Siapa yang terlalu mengejar dunia maka akan sering merasa sedih ketika tidak mendapatkannya, sedih ketika yang didapatkannya akan hilang, dan sedih ketika terlepas darinya

Kedua: Melihat bahwa akhirat adalah pasti, abadi, akan segera datang, dan kemuliaan apa-apa yang didalamnya berupa berbagai macam keindahan. Serta dengan melihat perbedaan dari dunia dan akhirat yang sangat mencolok, Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 17)

3. Teman-teman yang jahat

Teman-teman yang jahat merupakan perusak yang paling berbahaya. Larangan bergaul dengan teman-teman yang buruk adalah karena manusia yang memiliki tabiat suka meniru dan mengikuti teman-teman dekatnya.

Bergaul dengan para penuntut ilmu akan mengajak jiwanya untuk ikut menuntut ilmu. Sedangkan, bergaul dengan para pelaku maksiat atau ahli bid’ah bisa menjadikan jiwanya mengikuti hal tersebut. Demikianlah seterusnya.

Karena itulah, hendaknya seorang mukmin memilih teman yang bisa mengajaknya kepada kebaikan, mengingatkan tentang akhirat, dan dia mendapatkan manfaat lainnya bila bergaul dengannya. Serta berhati-hati dari dan menjauhi teman yang kita tidak bisa mengambil kebaikan darinya dan sebaliknya begitupun dari teman-teman yang jahat.

Wallahu a’lam

(Diketik ulang dengan sedikit perubahan dari buku “Futur?? Jangan Gundah ini Solusinya” “terjemahan”, Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.)

Sahabat muslimah, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

R