Penting! Ini 3 Makna Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H

Tahun baru Islam yang diperingati setiap tanggal 1 Muharram tentu terasa spesial bagi para umat Islam di seluruh dunia. Perlu diketahui, setidaknya ada 3 makna Tahun Baru Islam.

Jika pada umumnya, masyarakat merayakan tahun baru berdasarkan penanggalan masehi, Islam memperingati tahun baru berdasarkan penanggalan Hijriyah yang sudah diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 2020, Tahun baru Islam atau 1 Muharram 1442 H akan jatuh pada Kamis (20/8/2020). Mengutip dari laman resmi NU, Islam memiliki 12 bulan dalam satu tahun yang empat bulan di antaranya adalah bulan yang paling dimuliakan oleh Allah SWT atau yang kerap disebut bulan haram.

Keempat bulan haram tersebut ialah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa amalan ibadah selama bulan haram, pahalanya akan dilipatgandakan. Hal ini berlaku untuk amalan buruk di empat bulan haram tersebut juga akan dilipatgandakan.

Hal tersebut dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan, “Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan yang ada, bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga melipatgandakan perbuatan dosa di samping melipatgandakan perbuatan baik.”

Selain itu, tahun baru Islam juga memiliki makna mendalam dan spesial bagi umat muslim. Berikut tiga makna Tahun Baru Islam.

1. Hijrahnya Nabi Muhammad

1 Muharram juga diperingati sebagai pengingat peristiwa penting saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah yang kemudian melahirkan agama Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah, Islam mengalami perkembangan pesat dan semakin menyebar hingga ke Mekkah dan wilayah sekitarnya.

Nabi Muhammad SAW memutuskan hijrah setelah memperoleh wahyu dan perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat.

2. Bentuk Perjuangan Nabi Muhammad dan Para Sahabat

Tahun baru Islam juga dimaknai sebagai semangat perjuangan yang tak kenal lelah dan putus asa dalam menyebarkan agama Islam oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Meskipun banyak tantangan dan rintangan, Nabi Muhammad SAW dan sahabat tak pernah menyerah atau pesimis. Bahkan Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah meninggalkan tempat kelahirannya, saudara, dan harta bendanya hanya agar bisa memenuhi perintah dan wahyu yang diberikan Allah SWT.

3. Intropeksi diri

Pergantian tahun baru Islam juga dimaknai sebagai momen untuk intropeksi diri atau muhasabah. Seiring waktu yang terus berjalan dan berlalu, dengan adanya tahun baru Islam, diharapkan umat muslim lebih mawas diri, introspeksi dan bermuhasabah atas segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan selama 12 bulan.

Sekaligus memikirkan apa yang harus diperbaiki dan amalan apa yang harus ditinggalkan di tahun mendatang.

Itulah makna-makna Tahun Baru Islam yang perlu kalian ketahui.

SUARA


Muharram 1442: Spirit Hijrah di Masa Pandemi

Memasuki tahun 1442 Hijriyah, yang sarat dengan spirit hijrah tetaplah terus diingat meskipun saat ini kita berada di masa pandemi. Jadikan Muharram kali ini sebagai Spirit Hijrah di Masa Pandemi.

Marilah kita terus berupaya meningkatkan syukur dan taqwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh di seluruh satuan waktu dan di setiap kesempatan, nikmat Allah selalu membersamai kita. Dalam kondisi saat ini, dipanjangkan-Nya usia kita adalah nikmat besar. Disehatkan-Nya fisik kita adalah nikmat besar. Dan yang paling besar di antara nikmat-nikmat besar adalah ketika Dia menjaga kita sehingga iman tetap bersemayam dalam jiwa kita.

Spirit Hijrah dalam Kalender Hijriyah

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Awalnya umat Islam tidak memiliki angka tahun. Di masa Rasulullah, tahun-tahun dinamakan sesuai peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Misalnya tahun gajah, karena di tahun itu ada pasukan gajah pimpinan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah. Ada yang disebut tahun fijar karena di dalamnya terjadi Perang Fijar. Ada tahun nubuwah karena di tahun itu Rasulullah menerima wahyu.

Tidak adanya bilangan tahun memunculkan masalah baru, khususnya dalam administrasi pemerintahan Islam yang semakin maju. Maka Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat lainnya untuk menetapkan tahun penanggalan Islam.

Ada yang mengusulkan mengikuti tahun Romawi, tetapi usulan ini ditolak mentah-mentah. Para sahabat kemudian mengusulkan empat peristiwa sebagai tahun pertama dalam kalender Islam. Pertama, kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Rasulullah. Kedua, kalender Islam dimulai dari tahun nubuwwah. Ketiga, kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Dan keempat, kalender Islam dimulai dari tahun wafatnya Rasulullah.

Usulan pertama dan ketiga tidak diambil. Alasan terbesarnya, baik kelahiran maupun tahun nubuwah, keduanya adalah semata-mata anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada upaya atau perjuangan manusia (juhud basyari) sama sekali. Usulan keempat juga tidak diambil. Sebab dikhawatirkan mengulang suasana duka jika wafatnya Rasulullah dijadikan tahun pertama kalender Islam.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun hijrah ke Madinah. Banyak alasannya. Hijrah adalah dimulainya peradaban baru Islam. Hijrah adalah perubahan umat Islam dari yang semula tertindas di Makkah menjadi kekuatan di Madinah. Dan berbeda dengan kelahiran dan nubuwah Rasulullah yang sama sekali tak ada upaya manusiawi, hijrah merupakan perjuangan besar umat Islam yang dipenuhi dengan banyak sejarah pengorbanan (tadhiyah).

Maka ditetapkanlah tahun hijrah sebagai tahun pertama kalender Islam. Dan karenanya, penanggalan ini disebut sebagai kalender hijriyah. Spiritnya adalah spirit hijrah.

Makna Hijrah

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah,
Secara khusus, hijrah yang menjadi dasar penentuan tahun pertama kalender hijriyah adalah perpindahan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Perpindahan tempat dalam rangka menyelamatkan dan memperjuangkan agama. Hijrah makaniyah.

Namun hakikat hijrah jauh lebih luas dari itu. Ia bisa dilakukan oleh siapapun dan di manapun. Hijrah maknawiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari)

Hijrah maknawiyah inilah yang harus menjadi spirit dalam momentum tahun baru hijriyah. Kita meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hijrah dari syirik menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju kebenaran. Hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Hijrah dari kezaliman menuju keadilan. Hijrah dari yang haram menuju yang halal. Hijrah dari keburukan menuju kebaikan.

Spirit Hijrah di Masa Pandemi

Ma’asyiral muslimin haadakumullah,
Spirit hijrah tak pernah lekang di makan waktu. Ia senantiasa relevan di setiap masa. Termasuk di masa pandemi seperti saat ini. Justru ketika begitu banyak kematian datang tiba-tiba, saatnya bagi kita untuk hijrah dengan segera. Hijrah dalam makna yang seluas-luasnya. Sehingga kita berubah dari buruk menjadi baik dan dari baik menjadi lebih baik.

Spirit hijrah harus ada mulai dari hal yang paling fundamental dalam diri kita. Yakni keyakinan, keimanan. Jika selama ini masih ada keraguan dalam keimanan kita, maka kita harus memiliki spirit hijrah sehingga iman kita kepada Allah benar-benar iman yang kuat. Iman yang menancap di hati. Dibuktikan dalam sikap dan perbuatan. Mewujud dalam perjuangan dan pengorbanan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al Hujurat: 15)

Keyakinan kita terhadap akhirat harus semakin kuat. Apalagi di masa pandemi kita dihadapkan pada fakta banyaknya teman dan tetangga yang tiba-tiba meninggal dunia. Baik terpapar virus corona maupun sakit lainnya. Keyakinan kita lantas membuahkan spirit hijrah berikutnya. Yakni kita berusaha semakin mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kita pun memperbaiki shalat kita. Memperbaiki dzikir dan doa-doa kita. Memperbaiki tilawah kita. Memperbaiki puasa dan infaq kita. Pendek kata, spirit hijrah harus membuat ibadah kita lebih baik, lebih khusyu’ lebih taqarrub ilallah.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah… (QS. Al Hadid: 16)

Spirit hijrah juga harus mewarnai akhlak kita. Di masa pandemi seperti ini, alangkah banyaknya orang yang tiba-tiba berpisah dengan keluarganya. Berpisah dengan kerabatnya. Berpisah dengan tetangganya. Berpisah dengan teman-temannya. Karena meninggal dunia.

Maka selagi kesempatan masih ada, perbaiki hubungan kita dengan keluarga. Perbaiki hubungan dengan kerabat dan handai taulan. Perbaiki hubungan dengan tetangga dan teman.

Spirit hijrah juga harus mewarnai semangat dan gaya hidup kita. Pandemi ini membawa dampak yang luas. Tak hanya kesehatan, tetapi juga ekonomi, sosial dan pendidikan. Maka spirit hijrah membuat kita lebih menjaga kebersihan dan kesehatan. Spirit hijrah mewujud dalam gaya hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Spirit hijrah mewujud dalam semangat pantang menyerah. Spirit hijrah mewujud dalam menyempurnakan ikhtiar demi mencapai karunia dan barokah-Nya.

Kita yakin, dengan menyempurnakan ikhtiar dan senantiasa bertawakal, pandemi akan segera berlalu. Kesulitan akan berganti dengan kemudahan.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al Insyirah: 5-6)

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


Meskipun kita tidak mendapat kesempatan hijrah makaniyah sebagaimana para sahabat yang hijrah dari Makkah ke Madinah, semoga dengan hijrah maknawiyah kita mendapat keutamaan yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 218)

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. Surat At-Taubah: 20)

Sumber: BERSAMADAKWAH

Doa Awal Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1442 H

Menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H yang jatuh pada hari Kamis (20/8/2020), umat muslim dianjurkan untuk membaca doa awal tahun. Berikut ini bacaan doa awal Tahun Baru Islam yang dapat kalian amalkan.

Sebelum membaca doa awal tahun ini kalian perlu memperhatikan waktu yang tepat untuk melafalkannya.

Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H memang jatuh pada hari Kamis (20/8). Tapi doa awal dan akhir tahun akan tepat dibaca saat hari terakhir pergantian tahun dalam kalender Hijriah.

Artinya, pada Rabu, 19 Agustus 2020 setelah memasuki waktu maghrib, umat Islam dianjurkan untuk membaca doa pada awal tahun.

Doa awal tahun ini dibaca sebanyak tiga kali setelah melakukan salat Maghrib pada malam 1 Muharram.

Intinya, doa awal tahun hijriah mengandung harapan yang akan dicapai atau diinginkan untuk satu tahun ke depan. Selain itu, doa tersebut juga berisi permohonan perlindungan dari Allah SWT.

Berikut bacaan doa awal tahun untuk menyambut Tahun Baru Islam:

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.

Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam.

Allaahumma antal-abadiyyul-qadiimul- awwalu, wa ‘alaa fadhlikal-’azhimi wujuudikal-mu’awwali, wa haadza ‘aamun jadidun qad aqbala ilaina nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa’ihi wa junuudihi wal’auna ‘alaa haadzihin-nafsil-ammaarati bis-suu’i wal-isytighaala bimaa yuqarribuni ilaika zulfa yaa dzal-jalaali wal-ikram yaa arhamar-raahimin, wa sallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihii wa sallam

Artinya:

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Semoga Allah tetap melimpahkan rahmat dan salam (belas kasihan dan kesejahteraan) kepada junjungan dan penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat Beliau.

Ya Allah! Engkau Dzat Yang Kekal, yang tanpa Permulaan, Yang Awal (Pertama) dan atas kemurahan-Mu yang agung dan kedermawanan-Mu yang selalu berlebih, ini adalah tahun baru telah tiba: kami mohon kepada-Mu pada tahun ini agar terhindar (terjaga) dari godaan syetan dan semua temannya serta bala tentara (pasukannya), dan (kami mohon) pertolongan dari godaan nafsu yang selalu memerintahkan (mendorong) berbuat kejahatan, serta (kami mohon) agar kami disibukkan dengan segala yang mendekatkan diriku kepada-Mu dengan sedekat-dekatnya.

Wahai Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, wahai Dzat Yang Maha Belas Kasih!

Kontributor : Muhammad Zuhdi Hidayat

SUARA


Kencenderungan Melebih-lebihkan Sesuatu

SUATU saat di sebuah kesempatan, Socrates sang filosof kenamaan itu berkata: “Manusia itu memiliki kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu, kecuali kesalahan-kesalahan mereka. Mereka memandang kesalahan-kesalahan dirinya sebagai sesuatu yang tak boleh diuji dan dikritik.” Tentu, kalimat itu tidak dimaksudkan meliputi semua manusia. Ada eksepsi, pengecualian, yakni manusia-manusia istimewa.

Kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu itu bisa jadi karena ada kekaguman, kejengkelan, cinta, kebencian, dan penghormatan atau penjelekan. Namun juga bisa jadi karena motif-motif tertentu yang bersifat personal. Lalu, bagaimanakah sikap terbaik menurut Islam dalam menyikapi dan menghadapi sesuatu itu? Jawabnya adalah yang fair saja, yang adil, yang moderat.

Melebih-lebihkan sesuatu itu sesungguhnya bermakna menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang sesungguhnya, yang sewajarnya. Dalam bahasa agama ini disebut dengan DZALIM. Kedzaliman adalah kegelapan. Gelap efeknya di dunia dan terlebih nanti di akhirat. Pasti ada ketaknyamanan di belakang hari dari aksi melebih-lebihkan itu. Ketaknyamanan itu ada berbagai bentuk. Tinggal menunggu waktu saja.

Inilah alasan mengapa ajaran tengah-tengah, tawassuth, itu penting. Jangan terlalu ke kanan, jangan terlalu ke kiri. Sabda Nabi yag sangat terkenal adalah: “Cintailah kekasihmu dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat berubah menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu juga dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat menjadi kekasihmu.” Ada banyak dalil dan maqalah yang mendukung sifat adil, fair, apa adanya. Salam AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram memiliki keutamaan.

Umat Islam sebentar lagi akan memasuki tahun baru 1 Muharram 1442 Hijriah yang jatuh pada 20 Agustus 2020. Biasanya Muslim melakukan introspeksi dan evaluasi diri di momen pergantian tahun, meskipun introspeksi dan evaluasi sebaiknya dilakukan setiap hari.

Di dalam agama Islam ada yang disebut dengan istilah bulan-bulan haram, yakni bulan-bulan mulia yang memang dimuliakan oleh Allah SWT dalam wahyu-Nya. Rajab adalah salah satu bulan dari empat bulan yang disebut dengan bulan haram.

Ustaz Ahmad Zarkasih Lc dalam buku Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan empat bulan yang dimuliakan Allah SWT. Di antaranya bulan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” ( QS At-Taubah: 36 ).

Empat bulan yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut dijelaskan dan dirincikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya.

“Dari Abu Bakrah r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda: Setahun itu ada 12 bulan, dan di antaranya ada empat bulan mulia, tiga berurutan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang ia itu berada antara jumada dan sya’ban.” (Muttafaq ‘alaiyh).

Pemuliaan yang diberikan syariat ini tentunya membuat empat bulan haram menjadi berbeda dengan bulan-bulan lainnya, termasuk dalam hal adab dan hukumnya. Jadi bulan-bulan haram adalah Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Disebutkannya Rajab Mudhar dalam hadis itu, bukan berarti Rajab ada banyak jenisnya. Rajab hanya satu, disebutkan demikian karena dahulu ada dua suku yakni Mudhar dan Rabi’ah yang masing-masing sangat memuliakan beberapa bulan Hijriyah.

“Kaum Rabi’ah sangat menyukai dan mengagungkan bulan Ramadhan, sedangkan kaum Mudhar sangat menaruh cinta yang dalam kepada Rajab. Sehingga Rajab menjadi bulan yang sangat dimuliakan oleh kaum ini. Karena itulah, orang-orang dahulu, menyebut Rajab dengan sebutan Rajab Mudhar.” (Syarhu Muslim li an-Nawawi 11/168).

Imam al-Thabari dalam tafsirnya menukil perkataan sahabat Ibnu Abbas r.a. perihal kemuliaan yang Allah SWT berikan untuk bulan-bulan haram ini. Di bulan haram ini menurutnya dosa yang diperbuat akan semakin besar ganjaran dosanya, sebaliknya amal ibadah yang diperbuat akan semakin besar ganjaran pahalanya.

“Allah SWT memberikan keistimewaan untuk empat bulan haram di antara bulan-bulan yang ada, dan diagungkan kemuliaannya bulan itu, dan menjadikan dosa yang terbuat serta amal ibadah yang dilaksanakan menjadi lebih besar ganjaran dosa dan pahalanya.” (Tafsir al-Thabari 14/238).

KHAZANAH REPUBLIKA

5 Koin Era Awal Islam Dilelang Rp 14 M, Apa Istimewanya?

5 koin era awal Islam berasal dari sejumlah dinasti Islam.

Lima koin Islami yang sangat penting yang berasal dari abad ke-7 M menjadi salah satu sorotan dari penjualan Koin Penting Dunia Islam Morton dan Eden berikutnya di London pada 22 Oktober 2020 mendatang.

Secara kolektif, lima koin ini memberikan bukti sejarah penting untuk kelahiran mata uang murni Islam dan diperkirakan bernilai sekitar 700 ribu poundsterling atau sekitar Rp 14 miliar.

Spesialis koin Islam Morton & Eden, Stephen Lloyd, menjelaskan bahwa koin langka yang sangat dicari ini, dua di antaranya emas dan tiga perak, menceritakan kisah dekade pertama Islam dengan cara yang unik.

“Mereka menunjukkan bagaimana kekaisaran Islam berkembang ke arah timur dan barat pada abad ke-7 M, tidak hanya tanah yang ditaklukkan disatukan melalui aturan dan budaya Islam, sistem koin pan-Islam memberikan kohesi tambahan,” kata Lloyd dilansir di Art Daily, Selasa (18/8).

Lloyd menjelaskan, pada tahun-tahun awal penaklukan besar Muslim tidak ada tradisi pembuatan koin sehingga para penguasa hanya mengadaptasi atau mengambil inspirasi dari apa yang digunakan koin untuk tujuan mereka sendiri.  Namun setelah tiga dekade berbagai bentuk koin hibrida, pada 77 jam dinar emas Umayyah pertama dihujani dan menandai lahirnya mata uang baru yang murni Islam.

“Morton & Eden dengan senang hati mempersembahkan lima koin yang luar biasa ini, yang dengan jelas menunjukkan bagaimana koin-koin Islam berevolusi,” katanya.

Pasar saat ini untuk koin-koin Islam yang sangat langka, sangat melambung seperti yang dibuktikan dengan rekor harga yang luar biasa sebesar 3,72 juta pound yang dibayarkan untuk sebuah koin emas Islam dari ‘Tambang Panglima Umat Beriman di Hijaz’, yang mana dijual dalam lelang koin Islam pada bulan Oktober tahun lalu.

“Hal ini didukung hasil yang kuat dalam penjualan Eropa baru-baru ini.  Demikian pula pameran bertajuk “Koin Islam: Sejarah Terungkap”, yang dipamerkan di Abu Dhabi awal tahun ini semakin menarik minat.” jelasnya.

Koin pertama adalah solidus emas, kemungkinan dibuat pada tahun 680-an / 60-an. Ini adalah koin emas pertama yang dikeluarkan oleh Muslim, yang telah merebut sebagian besar Kekaisaran Bizantium termasuk Suriah, Yordania, Lebanon, dan Mesir. 

Lloyd menjelaskan, orang-orang yang tinggal di provinsi-provinsi ini telah menggunakan koin emas seperti ini selama berabad-abad dan kaum Muslim yang menang menunjukkan sedikit kecenderungan untuk membuat perubahan yang signifikan.

“Ketika sampai pada koin emas baru yang mencolok, prototipe Bizantium yang ada digunakan tetapi simbolisme Kristen yang terbuka seperti salib dihapus begitu saja,” jelas Stephen Lloyd. 

Sangat sedikit contoh solidi ‘salib yang dimodifikasi’ seperti kelangkaan ini yang masih bertahan. Signifikansinya melampaui statusnya sebagai salah satu koin emas pertama yang dipukul oleh umat Islam, jenisnya berfungsi sebagai asal mula dan pendahulu untuk koin emas epigrafi, ‘murni Islam’ yang direformasi yang datang setelahnya.  (Lot 1 – perkiraan harga 60 ribu-80 ribu pound). 

Kedua, berikutnya dalam urutan kronologis adalah drachm perak Arab-Sasanian ‘Khalifah Berdiri’. Disebut demikian karena sebaliknya menunjukkan sosok Khalifah yang berdiri dengan pedang di tangan menghadirkan ekspresi yang mencolok dari kekuatan Islam, meskipun ada  adalah kesamaan yang jelas dalam citra antara penggambaran kontemporer Kaisar Bizantium.  

Bagian depan, dengan patung Sasanian King Khusraw II yang memakai mahkota, terlihat drachm perak yang ada, yang beredar di timur. Pada saat ini penaklukan Muslim telah menyatukan tanah dari Bizantium di Barat dengan bekas Kekaisaran Sasan di Timur, kedua wilayah tersebut sudah memiliki mata uang yang berbeda dan sangat berbeda. 

Koin yang sangat langka ini kemungkinan besar ditemukan di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Abd al-Malik sekitar 75 jam.  Damaskus, ibu kota Umayyah, terletak di perbatasan kedua wilayah ini. Jadi, koin perak Damaskus yang baru, tidak mengherankan, menunjukkan dirinya sebagai hibrida, mengambil inspirasi dari koin tradisional Kerajaan Sasan dan Bizantium. (Lot 2 perkiraan harga 150 ribu-200 ribu pound).

Ketiga, contoh luar biasa lain dari seri Arab-Sasanian ini adalah drachm ‘Mihrab dan’ Anaza ‘. Koin perak yang signifikan ini anehnya kurang mengacu pada tanggal, meskipun kemungkinan berasal dari sekitar 75 jam dan telah dibuat di Damaskus. Bagian depan menggambarkan patung lapis baja, pedang bersarung di tangan kanannya.  Prasasti yang ditulis dalam Pahlawi menyatakan patung tersebut adalah penguasa Sasanian Khusraw. Gambar sebaliknya menunjukkan sebuah lengkungan yang ditopang pada tiang (mihrab) di tengahnya adalah tongkat tombak, yang sejak itu telah diidentifikasi sebagai ‘anaza’ Nabi sendiri. Ini dipuji sebagai penggambaran paling awal dari fitur arsitektur Islam yang penting ini.

Para ahli juga berpendapat bahwa koin itu mungkin telah berperan dalam apa yang disebut perang gambar antara Muslim dan Kristen, atau teori lain adalah bahwa patung itu mengenakan baju besi adalah fakta bahwa citra tersebut secara terang-terangan bersifat militer, koin-koin ini mungkin telah memainkan peran praktis sebagai mata uang militer.

Sementara itu terus menarik para sarjana dan sejarawan koin Islam, namun semua sepakat bahwa ini adalah salah satu kelangkaan terbesar dan paling dicari dari jenisnya. (Lot 3 perkiraan harga 100 ribu-120 ribu).

Keempat, ikonografi militer bahkan lebih menonjol dalam drachm perak ini, salah satu drachm Arab-Sasanian terakhir yang dikeluarkan. Dipukul di Anbir pada 84h selama kekhalifahan Yazid B. Al-Muhallab, bagian depan menunjukkan patung Sasanian mengenakan helm sebagai lawan dari mahkota yang lebih biasa. Kebalikannya menunjukkan penyimpangan yang lebih jelas dari prototipe sebelumnya karena menggambarkan seorang pejuang yang mengancam. 

Prajurit itu memakai baju besi berantai dan dipersenjatai dengan pedang dan tombak. Sedangkan pendekar tidak secara eksplisit diidentifikasi; dia mungkin Khalifah atau mungkin gambaran ideal seorang pejuang Muslim, ini menunjukkan bahwa koin ini bukan hanya benda praktis, dipukul dari perak yang diambil selama kampanye di Timur, itu dapat dianggap sebagai tanda yang sangat simbolis dari superioritas militer Muslim. Dari perspektif sejarah, ini juga memberikan kesan akurat dan naturalistik dari senjata dan perlengkapan abad pertama Hijriah.  (Lot 4 perkiraan harga120 ribu -150 ribu pound).

Koin kelima dan terakhir dalam kelompok ini adalah dinar emas yang sangat langka dari 77h, tahun pertama di mana koin murni Islami dibuat.

“Pengenalan mata uang emas Islam yang tunggal, terpadu, dan khas oleh Abd al-Malik b Marwan telah benar dilihat sebagai tengara dalam sejarah awal Islam. Dinar emas itu indah dalam kesederhanaannya yang mencolok dan jelas dan tanpa kompromi Islami.” jelas Lloyd. 

Koin Islam baru membuat terobosan bersih dengan segala sesuatu yang telah digunakan sebelumnya. Hilang sudah salib yang dimodifikasi dan gambar figural kekaisaran Bizantium dan Kerajaan Sasanian, dinar emas baru murni dalam desain, membawa kutipan dari Alquran, yang menekankan keesaan Tuhan berbeda dengan doktrin Kristen tentang Tritunggal.  

Dinar ini menjadi dasar dari mata uang emas stabil yang diproduksi sesuai dengan ajaran Alquran. Jenis ini tidak berubah sampai jatuhnya Kekhalifahan Umayyah di 132h. Merupakan penghormatan penting bagi kekuatan abadi rancangan Abd al-Malik bahwa tiga dari empat prasasti yang digunakan pada dinar Islam pertama ini juga ditemukan pada koin terakhir Abbasiyah yang dikeluarkan hampir enam abad kemudian. (Perkiraan Lot 5 harga 180 ribu- 220 ribu pound). 

Lelang Morton & Eden pada 22 Oktober juga akan menampilkan banyak barang langka dan berharga lainnya, termasuk pilihan koin yang bagus dari Kota Suci Makkah dan Madinah.

Sumber: https://artdaily.cc/index.asp?int_sec=11&int_new=127427#.XztZv2kxcwA 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jalan Kemuliaan Umat Simak

  • Bismillah.

Islam adalah agama yang sempurna. Tiada kebaikan kecuali diajarkan dan tiada keburukan kecuali diperingatkan. Allah Ta’ala menerangkan jalan-jalan yang mengantarkan manusia menuju bahagia dan mulia. Sebagaimana Allah juga menjelaskan jalan-jalan yang menjerumuskan ke dalam kesengsaraan dan kehinaan.

Di antara jalan utama yang harus ditempuh apabila manusia menghendaki kemuliaan adalah dengan iman dan amal salih. Allah berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan dia beriman, maka benar-benar Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang mereka kerjakan. (QS. an-Nahl: 97)

Iman dan amal salih yang dimaksud adalah keimanan yang bersih dari kotoran syirik dan kekafiran. Inilah keimanan yang akan mengantarkan menuju kemuliaan.

Allah berfirman,
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong. (QS. al-Maidah: 72)

Kemuliaan yang didambakan, tidak bisa diraih kecuali dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, setiap hari kaum muslimin selalu membaca kalimat iyyaka nabudu wa iyyaka nastaiin; hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. Karena Allah adalah Rabb; penguasa, pencipta dan pengatur alam ini. Allah muliakan siapa yang Dia kehendaki dan Allah akan hinakan siapa yang Dia kehendaki.
Allah akan memuliakan umat Islam ketika mereka berpegang-teguh dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)

Dan demikianlah, ketika generasi terdahulu dari umat ini berpegang-teguh dengan Islam yang murni dan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun menjadi bahagia dan mulia. Karena Allah telah menjanjikan hal itu dalam Kitab-Nya. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Allah berfirman tentang para sahabat generasi terdepan umat ini,
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Dan Allah telah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal berada di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang sangat besar. (QS. at-Taubah: 100)

Sebaliknya, siapa yang lebih memilih jalan kesesatan dan mencari jalan lain yang tidak ditempuh oleh generasi terbaik umat ini, maka Allah akan lemparkan mereka ke dalam kehinaan dan siksa neraka Jahannam. Allah berfirman,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman; Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami pun akan memasukkan dia ke dalam neraka Jahannam; dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisaa: 115)

Karena itulah tidak heran jika para ulama kita mengatakan bahwa setiap kebaikan itu adalah dengan mengikuti orang-orang terdahulu (salafus shalih) dan setiap keburukan disebabkan perbuatan mengada-ada yang dilakukan oleh orang-orang belakangan (khalaf).
Imam Malik rahimahullah berkata, Tidak akan bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.
Imam al-Auzai rahimahullah berkata, Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak orang yang terdahulu (para sahabat nabi) meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal-akal manusia walaupun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.
Mengikuti jalan yang ditempuh para sahabat bukanlah perkara sepele. Karena ini adalah pilar dan rambu-rambu yang akan membawa kepada kemuliaan. Sementara jalan kemuliaan itu kerapkali diliputi oleh berbagai rintangan dan hambatan. Seperti yang telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak disenangi oleh syahwat/hawa nafsu, dan neraka itu diliputi hal-hal yang disukai syahwat.” (HR. Muslim)

Begitu pula keadaan orang-orang yang pemperjuangkan nilai-nilai Islam, mau tidak mau dia akan mendapatkan penolakan dan hambatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan terasing dan ia akan kembali pula dalam keadaan terasing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim)

Di antara perkara paling pokok yang harus diikuti oleh kaum muslimin dari para sahabat itu adalah perkara aqidah dan tauhid. Karena inilah pokok di dalam agama Islam. Karena tauhid itulah manusia dan jin diciptakan. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Akcu ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Banyak kita jumpai pada hari ini orang-orang yang membanggakan dirinya sebagai umat Islam tetapi dalam hal keyakinan dan tauhidnya amat sangat jauh dari apa yang diajarkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta apa yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu’anhum. Ini adalah musibah dan malapetaka besar yang menimpa kaum muslimin di zaman ini. Musibah berpalingnya manusia dari ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga banyak orang terpikat oleh pemikiran filsafat, pemahaman liberal dan syubhat-syubhat yang menyesatkan. Musibah ini jelas lebih membahayakan daripada terpaan wabah Corona yang kini melanda dunia …

Jalan para sahabat inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah as-Sunnah atau manhaj salaf. Itulah yang diungkapkan oleh Imam Malik; pemuka ulama di kota Madinah di kala itu, tatkala beliau mengatakan, “as-Sunnah ini adalah kapal Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka dia akan tenggelam.”

Karena itulah para ulama kita sangat memuliakan dan mengagungkan para sahabat nabi. Karena kecintaan kepada mereka adalah bagian tak terpisahkan dari agama ini. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat ini dari mencela dan mencaci maki para sahabat. Sebab itu mereka itulah generasi terbaik umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian sesudah mereka, kemudian yang setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat ada orang yang sengaja menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa dia itu adalah orang zindik/sesat.”

Di mana kah kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; apabila para sahabat dan pembela dakwahnya justru kita lecehkan dan kita bodoh-bodohkan. Padahal mereka itulah orang yang paling bersih hatinya dan paling dalam ilmunya. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk mengikuti jalan mereka secara lahir dan batin. Wallahul musta’aan.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Jawaban Bagi Yang Mengingkari Sifat Nuzul

Dalil Tentang Sifat Nuzul

Penetapan aqidah mengenai sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia) telah diterangkan oleh banyak hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencapai derajat mutawatir (melalui jalur yang banyak). Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

 “ Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir, kemudian berfirman : “ Barang siapa berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Hadits ini secara jelas  dan gamblang menunjukkan penetapan sifat nuzul bagi Allah, yakni Allah turun ke langit dunia.

Keyakinan Yang Benar tentang Sifat Nuzul

Makna nuzul dalam hadits di atas yaitu bahwa Allah turun secara hakiki ke langit dunia. Wajib bagi kita mengimaninya dan membenarkannya. Allah turun ke langit dunia yang merupakan langit yang paling dekat dengan dunia. Turun-Nya Allah adalah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak seperti turunnya makhluk. Allah Ta’ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.” (Asy-Syura: 11).

Oleh karena itu kita menetapkan nuzul dari sisi makna dan bukan dari sisi kaifyah (bagaimana cara turun). Kita menetapkannya tanpa tamsil (menyerupakan dengan sifat makhluk) dan Allah turun sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Tidak boleh menolak sifat ini ataupun menyelewengkan maknanya dengan makna yang lain. 

Baca Juga:

Jawaban Global Bagi Yang Menolak Sifat Nuzul

Sudah menjadi kebiasaan ahlul bid’ah bahwasanya mereka akan menolak atau menyelewengkan sifat-sifat Allah yang tidak mereka imani, termasuk sifat nuzul ini. Mereka menolak sifat nuzul dengan berbagai alasan yang sebenarnya merupakan syubhat yang lemah.

Jawaban secara global terhadap setiap penolak sifat Allah, termasuk bagi yang mengingkari sifat nuzul, adalah sebagai berikut :

  1. Ketika mereka menolak dan menyelewengkan makna nuzul maka ini menyelisihi dhohir nash, bahwa yang dimaksud nuzul dari dalil-dalil yang menyebutkan sifat nuzul adalah turun-Nya Allah secara hakiki sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah dan tidak sama dengan turunnya makhluk.
  2. Yang mereka lakukan ketika menolak atau menyelewengkan makna sifat nuzul adalah menyelisih jalannya para sahabat dan para salafus shalih sesudahnya dalam memahami dan mengimani sifat nuzul. Tidak ada satupun dari salafus shalih yang menolak dan menyelewengkan makna nuzul dengan makna yang lain. Bahkan mereka telah ijma’ dalam masalah ini.

Baca Juga:

Berbagai Syubhat Penolak Sifat Nuzul dan Jawabannya 

Berikutnya akan kita bahas perincian beberapa syubhat yang dilontarkan untuk menolak sifat nuzul dan jawaban atas batilnya alasan dari syubhat tersebut. 

Syubhat 1 : Menetapkan Allah turun bertentangan dengan akal dan turun adalah perbuatan makhluk. 

Jika ada yang mengatakan : “Mengapa engkau katakan Allah turun? Jika Allah turun, bagaimana dengan ke-Maha Tinggian Allah ? Jika Allah turun, bagaimana dengan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy ? Jika Allah turun, maka turun adalah bergerak dan berpindah. Jika Allah turun, maka turun adalah perbuatan makhluk. ”

Kita katakan bahwa itu semua itu adalah anggapan yang batil dan itu semua tidak bertentangan dengan hakikat turun-Nya Allah. Apakah kalian lebih tahu tentang hakikat turun-Nya Allah  daripada sahabat Rasulullah?. Para sahabat tidak pernah sama sekali mengatakan kemungkinan-kemungkinan seperti yang kalian katakan. Mereka semua (para sahabat) mengatakan. : kami mendengar, kami beriman, kami menerima, dan kami membenarkan. Sedangkan ahlu ta’thil (para penolak sifat) mereka memperdebatkan dengan perdebatan yang batil dengan bertanya mengapa begini dan mengapa begitu. Cukuplah kita katakan Allah Ta’ala turun dan kita tidak perlu memperdebatkan tentang apakah ‘arsy Allah kosong atau tidak. Adapun sifat ke-Maha Tinggian Allah, kita katakan bahwa Allah turun akan tetapi Allah tetap di atas para makhluk-Nya, karena bukanlah makna dari turun-Nya Allah akan diliputi dan dinaungi langit, karena tidak ada satu makhluk pun yang dapat meliputi Allah Ta’ala.

Syubhat 2 : Kalau Allah turun berarti Allah akan dilingkupi langit yang merupakan makhluk dan akan berada di bawahnya.

Perlu kita camkan baik-baik, bahwa ketika kita menetapkan sifat bagi Allah, maka sifat tersebut adalah sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah dan sama sekali berbeda dengan sifat yang ada pada makhluk. Demikian pula dengan sifat nuzul. Ketika kita menetapkan Allah turun, maka turun-Nya Allah tidak sama dengan makhluk. Turun yang bermakna berpindah dari atas ke bawah sehingga tempat yang di atas akan melingkupi dzat yang telah turun ke tempat yang lebih rendah, ini adalah sifat turun yang ada pada makhluk. Adapun Allah berbeda dengan makhluk, karena Allah sendiri yang berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.” (Asy-Syura: 11).

Anggapan yang dilontarkan syubhat ini akan terjadi pada turunnya makhluk. Adapun Allah tidak sama dengan makhluk. Maha suci Allah dari keserupaan dengan makhluk. Allah turun ke langit dunia dan sama sekali tidak ada satu pun makhluk yang melingkupinya. Oleh karena itu kita wajib menetapkan sifat nuzul bagi Allah, kita tetapkan maknanya tanpa menentukan kaifiyah-nya dan tanpa menyerupakan dengan turunnya makhluk. 

Syubhat 3 : Yang turun adalah malaikat Allah

Memaknai hadits di atas bahwa yang turun adalah malaikat Allah adalah makna yang batil. Lafadz hadits menunjukkan penyandaran perbuatan turun kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Ini menunjukkan bahwa yang turun adalah Allah sendiri. Jika yang turun adalah malaikat, apakah masuk akal jika malaikat berkata : “Barang siapa berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni ?”. Tidak mungkin ada yang mengatakan dengan perkataan seperti ini kecuali hanya Allah saja. Dengan ini jelaslah kebatilan penyelewengan makna seperti ini.

Syubhat 4 : Yang Turun Adalah amrullah

Ada pula yang memaknai bahwa yang turun adalah  amrullah (urusan/perintah Allah) yang Allah tetapkan. Ini juga makna yang batil. Karena turunnya urusan Allah akan senantiasa ada pada setiap waktu, tidak khusus pada sepertiga malam terakhir saja . Allah Ta’ala berfirman :

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ

” Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya “(As Sajadah :5)

وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ

Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya” (Huud: 123)

Syubhat 5 : Yang Turun Adalah Rahmat Allah 

Dikatakan pula yang turun adalah rahmat Allah Ta’ala ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Ini juga merupakan makna yang batil. Apakah rahmat Allah tidak turun kecuali hanya pada waktu itu saja?! Ini sama saja dengan membatasi rahmat Allah, padahal Allah berfirman :

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (An Nahl : 53).

Seluruh nikmat Allah merupakan buah dari rahmat Allah dan itu turun pada setiap waktu. Selain itu jika yang turun adalah rahmat Allah, apa faidahnya dengan turunnya rahmat Allah hanya sampai ke langit dunia dan tidak sampai ke bumi ?!

Syubhat 6 : Bukankah Bumi Itu Bulat ?

Lain lagi dengan pertanyaan orang-orang zaman sekarang. Mereka mempertentangkan masalah ini dengan pengetahuan bahwa bumi ini bulat. Mereka mengatakan bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir? Sepertiga malam jika berpindah dari satu tempat akan terjadi selanjutnya di daerah dekatnya dan seterusnya sesuai arah berputarnya bumi. Jika demikian, Allah akan selalu turun ke langit dunia karena akan ada dalam setiap waktu bagian bumi yang mengalami sepertiga malam?

Kita katakan bahwa kita mengimani Allah turun ke langit dunia pada tiap sepertiga malam terakhir. Jika kita sudah beriman dengan yakin, tidak ada lagi keraguan sedikit pun di balik keyakinan tersebut. Kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya bagaimana dan mengapa. Kewajiban kita beriman jika sepertiga malam terjadi di satu daerah, maka ketika itu pula Allah  turun. Jika sepertiga malam terakhir terjadi di daerah lain, maka ketika itu pula Allah turun di daerah tersebut. Jika telah terbit fajar di daerah tersebut maka berakhir sudah waktu turun-Nya Allah di daerah tersebut.

Kesimpulan

Ahlus Sunnah menetapkan tentang sifat turun-Nya Allah Ta’ala ke langit dunia setiap malam sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Kewajiban kita adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya tanpa menyelewengkan dari maknanya yang hakiki. Demikian pula sifat nuzul, wajib kita beriman bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia secara hakiki pada sepertiga malam terakhir dan tidak sama dengan turunnya makhluk. 

Pada saat turun, Allah akan mengabulkan orang yang berdoa, akan memberi orang yang meminta, dan akan mengampuni orang yang memohon ampun. Oleh karena itu  hendaknya kita senantiasa mencari waktu yang mulia ini untuk mendapatkan karunia Allah Ta’ala dan rahmat-Nya, melaksanakan ibadah kepada Allah dengan khusyu’, memohon ampunan kepada-Nya, dan memohon kebaikan di dunia dan di akhirat. Tidak selayaknya seorang muslim melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Inilah buah keimanan yang benar terhadap sifat turun-Nya Allah Ta’ala. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa memanfaatkan waktu yang mulia ini. Wallahu a’lam.

Penulis : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Iman kepada Allah

Iman kepada Allah mengandung empat unsur (Syarah Ushul Iman, hlm. 13–22):

Pertama: Mengimani Wujud Allah ta’ala.

Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah manusia, akal manusia, syariat, dan indra manusia.

  • Bukti fitrah tentang wujud Allah.

Secara fitrah, manusia telah mengakui adanya pencipta, pengatur, dan pemilik alam semesta ini. Tidak ada orang yang mengingkari hal ini selain orang ateis yang sombong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam). Ibu-bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari, no. 1292)

  • Bukti akal.

Bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Mereka tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri, dan tidak pula tercipta secara kebetulan. Allah ta’ala menyebutkan dalil akal tentang keberadaan Sang Pencipta dalam surat Ath-Thur, yang artinya, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur:35)

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, maka dia–yang tatkala itu masih musyrik–berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari, no. 4573)

  • Bukti syariat.

Bukti syariat tentang wujud Allah sangat banyak. Semua ayat Alquran yang berbicara tentang Allah dan segala sifat-Nya menunjukkan keberadaan Allah ta’ala.

  • Bukti indrawi.

Bukti indrawi tentang wujud Allah ta’ala dapat dibagi menjadi dua:

  • Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa, serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah ta’ala.
  • Mukjizat para nabi dan rasul, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang. Ini merupakan bukti yang jelas tentang wujud Dzat yang memelihara para nabi tersebut, yaitu Allah ta’ala. Karena hal itu terjadi di luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi para rasul.

Kedua: Mengimani rububiyah Allah ta’ala

Mengimani rububiyah Allah ta’ala maksudnya ‘mengimani sepenuhnya bahwa Dialah satu-satunya Rab, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya’.

“Rab” adalah ‘Dzat yang menciptakan, memiliki, serta mengatur semesta alam’. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada yang bisa mengatur alam semesta, menghidupkan, serta mematikan, selain Allah ta’ala. Allah berfirman, yang artinya, “Ingatlah, menciptakan dan mengatur hanya milik Allah. Mahasuci Allah ….” (QS. Al-A’raf:54)

Tidak ada makhluk yang mengingkari ke-rububiyah-an Allah ta’ala, kecuali orang yang sombong. Pada hakikatnya pula, dia sendiri tidak meyakini kebenaran ucapannya. Bahkan, pada diri Fir’aun sekali pun, meskipun dia mengaku tuhan, namun hatinya yakin bahwa yang benar adalah dakwah Musa, yang mengajak untuk mengesakan Allah.

Allah ta’ala berfirman menceritakan keadaan batin Fir’aun dan pengikutnya ketika mendengar dakwah Musa dan Harun, yang artinya, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka. Padahal, hati mereka meyakini (kebenaran) dakwah Musa.” (QS. An-Naml:14)

Demikian juga, perkataan Musa kepada Fir’aun, yang Allah sebutkan dalam Alquran, yang artinya, “Sesungguhnya, kamu telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rab yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti nyata, dan sesungguhnya aku menganggap kamu, wahai Fir’aun, seseorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’:102)

Oleh karena itu, sebenarnya, orang-orang musyrik Quraisy juga mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Empunya langit yang tujuh dan Empunya ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mu’minun:84–89)

Ketiga: Mengimani uluhiyah Allah ta’ala.

Artinya, mengimani dan mengamalkan konsekuensi bahwa Dialah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia; yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah:163)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia; yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia; yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran:18)

Dakwah para rasul mengajak kaumnya untuk hanya beribadah kepada Allah. Allah berfirman menceritakan ajakan mereka, yang artinya, “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian! Sekali-kali, tidak ada Tuhan selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al-Mu’minun:32)

Meski demikian, orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan (sesembahan) selain Allah ta’ala. Mereka menyembah serta meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu. Itulah bentuk menyekutukan Allah.

Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:

  • Tuhan-tuhan yang mereka sembah tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak menguasai kehidupan dan kematian, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan di langit, serta tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun. Bahkan, mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun, dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan, tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan:3)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Katakanlah, ‘Panggil mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, serta sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya untuk memperoleh syafaat.” (QS. Saba’:22–23)

  • Sebenarnya, orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Rab, Pencipta, yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan adanya pengesaan uluhiyah (penghambaan) Allah, sebagaimana mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai manusia, sembahlah Rabmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan hujan itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:21–22)

Keempat: Mengimani nama dan sifat Allah ta’ala.

Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala adalah dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam Alquran atau sunah Rasul-Nya, sesuai dengan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan kaifiyahnya), dan tamtsil (penyerupaan).

Allah ta’ala berfirman, yang artinya, “Allah mempunyai asma`ul husna (nama-nama yang indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asma`ul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Kelak, mereka akan mendapat balasan terhadap perbuatan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf:180)

Dia juga berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura:11).

Kelompok sesat terkait nama dan sifat Allah

Terkait dengan iman terhadap nama dan sifat Allah, ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

Pertama: Golongan Mu’aththilah.

Yaitu golongan yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, atau mengingkari sebagian nama dan sifat Allah, misalnya: menganggap bahwa Allah tidak memiliki wajah, Allah tidak memiliki tangan, dan sebagainya. Padahal, Allah telah menyebutkan dalam Alquran dan hadis bahwa Dia memiliki tangan, wajah, dan kaki yang berbeda dengan makhluknya, sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah.

Menurut anggapan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni penyerupaan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:

1. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang batil atau salah, karena Allah ta’ala telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk diri-Nya, serta telah menafikan segala sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata penetapan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam firman Allah.

2. Kesamaan dalam nama atau sifat tidak menunjukkan adanya persamaan secara hakikat. Anda melihat ada dua orang yang keduanya adalah manusia yang mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi sifat kemanusiaan, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan mereka tidaklah sama. Apabila di antara makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja jelas ada perbedaan hakikat, maka tentu perbedaan antara Khalik (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

Kedua: Golongan Musyabbihah.

Yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah, lalu mereka menyamakannya dengan sifat makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nas-nas Alquran, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru, ditinjau dari beberapa hal berikut:

1. Menyerupakan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang batil, menurut akal maupun syariat. Padahal, tidak mungkin jika nas-nas kitab suci Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan pengertian yang batil.

2. Allah ta’ala berbicara kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Akan tetapi, hakikat makna informasi tentang Dzat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar. Kata “mendengar” sudah diketahui dari sisi maknanya, yaitu ‘menangkap suara’, tetapi hakikat pendengaran Allah hanya diketahui oleh-Nya. Contoh lain: Allah ta’ala memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia ber-istiwa’ di atas Arsy-Nya. Kata “istiwa’”, dari sisi asal maknanya, adalah satu hal yang sudah dipahami, yaitu ‘berada di atas sesuatu’, tetapi hakikat keberadaan Allah tidak diketahui oleh siapa pun kecuali oleh Dia sendiri.

Buah iman kepada Allah

  1. Mengesakan Allah ta’ala, sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
  2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang Mahatinggi.
  3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
  4. Semakin mengagungkan Allah.

Referensi:

  • Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Mukhtashar. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dar Ibnu Katsir. Beirut, 1407 H.
  • Syarah Ushul Iman. Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Dar Al-Qasim. Arab Saudi. 1419 H.

Artikel www.Yufidia.com

Iman kepada Kitabullah

Kata “kitab” secara bahasa artinya ‘sesuatu yang ditulis’ atau ‘sesuatu yang dikumpulkan’. Asal kata ini memiliki keterkaitan bahwa “kitab” adalah kumpulan data dan informasi yang disatukan. Sedangkan makna kitabullah secara istilah adalah kitab-kitab yang diturunkan Allah Ta’ala kepada para rasul-Nya, sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Mengenal kitab-kitab Allah

1. Taurat

Adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al Qashash: 43)

Allah menurunkan Taurat kepada Musa dalam bentuk tulisan di lembaran sekaligus satu kitab. Allah berfirman, yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami tuliskan segala sesuatu kepada Musa di dalam lembaran-lembaran (Alwah) sebagai pelajaran dan penjelasan tentang segala sesuatu.” (QS. Al A’raf: 145). Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Maksudnya adalah lembaran-lembaran Taurat.”

Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, tentang kisah dialog antara Nabi Musa dengan Nabi Adam ‘alaihimas salam. Nabi Adam mengatakan, “Hai Musa, Allah telah memilihmu bisa berbicara langsung dengan-Nya dan Allah tuliskan untukmu kitab taurat dengan Tangan-Nya.” (HR. Al Bukhari no. 6240 dan Muslim no. 13)

Taurat adalah kitab utama dan paling agung bagi Bani Israil. Di dalam taurat terdapat rincian syariat dan hukum-hukum mereka, yang Allah turunkan kepada Musa. Syariat dan hukum ini juga dilaksanakan oleh para nabi di kalangan Bani Israil yang diutus setelah Musa. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS. Al Maidah: 44)

Pelajaran penting yang juga bisa diambil dari surat Al Maidah: 44 adalah bahwa penjaga kitab taurat Allah serahkan kepada pendeta-pendeta Bani Israil. Sebagaimana penggalan ayat: “disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah.” Inilah diantara alasan mengapa taurat bisa mengalami perubahan, tidak sebagaimana Alquran.

2. Zabur

Zabur adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya, “Kami telah memberikan Zabur kepada Daud.” (QS. An Nisa’: 163)

Kitab Zabur berbeda dengan Taurat. Zabur hanya berisi do’a, wirid, pujian-pujian kepada Allah, dan dzikir lainnya, yang Allah ajarkan kepada Nabi Daud ‘alaihis salam. Tidak terdapat keterangan tentang hukum halal-haram dan hukum-hukum lainnya. Sebagaimana keretangan Imam Qatadah, ketika menafsirkan surat An Nisa: 163, beliau mengatakan, Kami (para tabi’in) menyatakan bahwa Zabur hanya berisi do’a yang Allah ajarkan kepada Daud, pujian dan pengagungan untuk Allah ta’ala. Tidak memuat tentang halal dan haram, kewajiban-kewajiban, dan hukuman.

Syariat dan hukum yang dipraktekkan semasa Daud adalah syariat dan hukum yang ada pada taurat. Sehingga syariat Nabi Daud sama dengan syariatnya Nabi Musa ‘alaihis salam.

3. Injil

Adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihis salam sebagai pembenar bagi Taurat dan sesuai dengan isi Taurat. Allah berfirman, yang artinya, “Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Maidah: 46)

Para ulama menjelaskan, injil tidak berbeda dengan taurat, kecuali dalam permasalahan sedikit tentang hukum, yang diperselisihkan Bani Israil, sebagaimana yang Allah beritakan tentang perkataan Nabi Isa, yang artinya, “Agar aku mengahalalkan beberapa hal yang dulu diharamkan untuk kalian (di taurat).” (QS. Ali Imran: 50)

4. Suhuf Musa dan Ibrahim

Ada dua ayat yang menyebutkan hal ini. Ayat pertama, firman Allah di surat ayat 36 – 37, yang artinya, “Belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An Najm: 36 – 37)

Kedua, firman Allah di surat Al A’la, yang artinya, “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam suhuf-suhuf yang terdahulu (yaitu) suhuf-suhuf Ibrahim dan Musa.” (QS. Al A’la: 18 – 19)

5. Alquran

Para ulama mendefinisikan Alquran sebagai berikut: Firman (kalam) Allah, yang dibawa Malaikat Jibril, kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbahasa arab, agar disampaikan kepada seluruh umat manusia, berisi tentang hidayah agama, bernilai pahala jika dibaca, tidak ada kesalahan dan kekurangan sejak dulu hingga masa yang akan datang.

Keterangan:

  • Firman Allah: selain firman Allah bukan Alquran, misalnya perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Dibawa Malaikat Jibril : firman Allah yang dibawa malaikat selain Jibril bukan Alquran disampaikan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam : kalam Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi sebelumnya bukan Alquran
  • Berbahasa arab : terjemah Alquran ke bahasa lain bukan Alquran disampaikan kepada seluruh umat manusia : petunjuk yang dibawa untuk semua manusia tanpa pandang perbedaan agama.
  • Berisi hidayah tentang agama: untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
  • Bernilai pahala jika dibaca: hadis qudsi tidak termasuk Alquran karena membaca hadis qudsi tidak bernilai pahala.
  • Tidak ada kesalahan sejak dulu hingga sekarang: Alquran tidak akan mengalami perubahan.

Allah turunkan Alquran kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur. Allah berfirman, yang artinya, “Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra: 106)

Di antara hikmah Alquran diturunkan secara berangsur-angsur adalah:

  • Menguatkan semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam mendakwahkan islam, karena jika diturunkan secara berangsur maka beliau akan sering bertemu dengan Jibril.
  • Menjawab pertanyaan masyarakat, baik dari kalangan sahabat maupun orang kafir.
  • Memberikan solusi dan pemecahan ketika terjadi masalah, baik terkait dengan hubungan antara sesama kaum muslimin maupun hubungan dengan orang kafir.
  • Memudahkan para sahabat untuk menghafal dan menulis Alquran.
  • Memudahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah. Karena terkadang ada beberapa hukum yang disampaikan secara bertahap, seperti pengharaman khamr.
  • Memungkinkan untuk terjadinya nasakh dan mansukh (penghapusan) hukum, sebagaimana hikmah dan keadilan Allah. Allahu a’lam.

Iman kepada kitab-kitab mengandung enam unsur

  1. Mengimani bahwa kitab-kitab ini benar-benar diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihis Sallam, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihis sallam, dan Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud ‘alaihi sallam. Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.
  3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita yang ada di dalam Alquran, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.
  4. Melaksanakan seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta pasrah dan rela terhadap hukum tersebut, baik kita memahami hikmahnya atau tidak.
  5. Meyakini bahwa kitab-kitab yang Allah turunkan saling membenarkan dan tidak ada pertentangan. Yang ada hanya menghapus hukum atau melengkapi.
  6. Meyakini bahwa semua kitab Allah berisi kebaikan, petunjuk, dan keadilan. Tidak ada sedikitpun kandungan yang berisi tentang kejahatan, ajakan untuk merusak, kedzaliman, dan kesesatan.

Adapun seluruh kitab terdahulu (sebelum Alquran) telah dinasakh oleh Alquran, sebagaimana Allah berfirman, yang artinya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu” (QS. Al Maidah: 48)

Oleh karena itu tidak dibenarkan mengerjakan hukum apapun dari kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Alquran.

Buah iman kepada kitabullah

  1. Mengetahui perhatian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap kaum.
  2. Mengetahui hikmah Allah dalam syariat atau hukum-Nya sehingga menetapkan hukum yang sesuai dengan tingkah laku setiap umat. Allah berfirman, yang artinya, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al Maidah: 48)
  3. Semakin mensyukuri nikmat Allah.

Referensi:

  1. Al Jami’ Ash Shahih Al Mukhtashar, Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Beirut, 1407 H.
  2. Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj An Naisaburi, Dar Ihya’ At Turats, Beirut.

Artikel www.yufidia.com