Ayam Dimasukkan ke Air Panas Setelah Disembelih

Banyak di pemotongan ayam, penyembelih ketika selesai menyembelih ayam, langsung dimasukkan ke dalam air panas. Padahal ayamnya belum mati, masih bergerak-gerak. Apakah dagingnya halal?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada asalnya, hewan sembelihan tidak boleh dipotong-potong atau dimasukkan ke dalam air panas, sebelum benar-benar mati.

Dalam Majmu’ Fatawa Lajnah Daimah terdapat pertanyaan,

“Ada banyak perusahaan pemotongan ayam, di mana para karyawan memasukkan ayam ke dalam air panas untuk menghilangkan bulunya. Dan itu dilakukan sebelum membersihkan isi perut ayam. Sehingga terkadang kotoran ayam bercampur dengan daging ayam. Apakah dagingnya halal dimakan?”

Jawaban Lajnah Daimah (Majlis Ulama Saudi),

يعتبر هذا اللحم حلال الأكل ولا تأثير لوضع الحيوان بعد ذبحه في الماء الحار على حل أكل لحمه، لكن، يجب أن يؤخر وضعه فيه حتى تنتهي حركته‏.‏

Daging ayam tersebut tetap halal untuk dimakan, dan memasukkan hewan yang telah disembelih ke dalam air panas, tidak mempengaruhi kehalalan makan dagingnya. Namun wajib untuk ditunggu sebelum dimasukkan ke dalam air, hingga hewan itu berhenti bergerak. (Fatwa Lajnah Daimah no. 5563)

Dimasukkan ke Air Panas Sebelum Mati

Bagaimana jika penyembelih ayam memasukkan ayam yang baru saja disembelih ke dalam air panas, sebelum benar-benar mati?

Sebagian ulama menegaskan bahwa selama proses penyembelihan yang dilakukan benar, dalam arti terputus tenggorokan, kerongkongan, dan urat leher, lalu setelah disembelih baru dimasukkan ke air panas, maka sembelihannya halal. Hanya saja, pelakunya melakukan kesalahan, karena terhitung sebagai perbuatan menyiksa binatang.

Dalam Fatwa Islam no. 10236 terdapat pertanyaan,

Ada orang setelah menyembelih, ayamnya langsung dimasukkan ke dalam air panas, sementara ayam masih hidup dan bergerak-gerak, dilempar ke periuk besar berisi air mendidih, agar nanti mudah dibersihkan bulunya. Bolehkah dagingnya dimakan?

Jawaban yang disampaikan Fatwa Islam:

عرضنا هذا السؤال على فضيلة الشيخ محمد بن صالح بن عثيمين ، فأجاب حفظه الله :

ما دام أنها ذبحت ، فلا بأس .

Kami pernah sampaikan pertanyaan ini kepada Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin, dan beliau menjawab, “Selama sudah disembelih (secara syar’i), tidak masalah.”

سؤال :لكن مازال فيها نفس وتتحرك وتضطرب ؟

Pertanyaan diulang, “Akan tetapi ayam masih hidup dan bergerak-gerak?”

Jawaban beliau,

إذا كان بعد ذبحها فلا بأس ( ويحلّ أكلها ) ، لكن لا يجوز أن يعذبوها هذا التعذيب .والله أعلم .

“Jika itu dilakukan setelah disembelih, maka tidak masalah (halal dimakan). Namun tidak boleh menyiksa binatang seperti ini.”

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Wudhu dengan Air yang Tidak Cukup

Jika ada orang yang hanya memiliki sedikit air, sehingga jika digunakan untuk wudhu, hanya bisa untuk sebagian anggota wudhu. Sementara anggota badan lainnya, tidak bisa dicuci. Apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ulama berbeda pendapat dalam menjawab kasus semacam ini,

Pendapat pertama, orang yang memiliki sedikit air, dia diwajibkan untuk berwudhu dengan air seadanya, meskipun tidak sempurna, dalam arti tidak cukup untuk semua anggota wudhu. Kemudian setelah itu, dia harus tayammum. Ini merupakan pendapat Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali.

Pendapat kedua, orang itu tidak diwajibkan wudhu, sehingga dia tidak perlu menggunakan air itu untuk bersuci. Sehingga statusnya seperti orang yang tidak menjumpai air. Karena itu, dia harus tayammum. Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali, serta pendapat mayoritas ulama.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

واختلف الفقهاء كذلك فيمن لم يجد من الماء إلا ما يكفي بعض أعضائه. فذهب الأحناف والمالكية وأكثر العلماء : إلى أنه يترك الماء الذي لا يكفي إلا لبعض أعضائه ، ويتيمم، وهذا أحد الوجهين عند الحنابلة .وذهب الشافعية في الأظهر إلى أنه يلزمه استعماله، ثم يتيمم، وهو الوجه الثاني عند الحنابلة.

Ulama berbeda pendapat tentang orang yang tidak menjumpai air, selain sedikit air yang hanya cukup untuk sebagian anggota wudhunya. Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan mayoritas ulama, bahwa orang ini harus membiarkan air yang tidak cukup itu, dan dia harus bertayammum. Dan ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali. Sementara menurut pendapat yang lebih kuat dalam madzhab Syafiiyah, menyatakan bahwa orang ini harus menggunakan air itu. kemudian dia bertayammum. Dan ini merupakan pendapat kedua dalam madzhab Hambali. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 8/125)

Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat dalam madzhab Hambali,

وإن وجد ماء لا يكفيه: لزمه استعماله، وتيمم للباقي إن كان جنبا، لقول الله تعالى: ( فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا )؛ وهذا واجد. وقال النبي – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (إِذَا أَمَرتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأتُوا مِنهُ مَا اسْتَطَعْـتُمْ) رواه البخاري. وقال: (إِذَا وَجَدْتَ المَاءَ فَأَمسِهِ جِلْدَكَ)

Jika orang tersebut menjumpai air namun tidak cukup, dia harus tetap menggunakannya, dan harus bertayammum untuk sisa anggota badan lainnya, jika dia junub. Berdasarkan firman Allah – Ta’ala – (yang artinya), “Jika kalian tidak menjumpai air, maka lakukanlah tayammum.” Sementara orang ini menjumpai air. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila aku perintahkan kalian maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Jika kamu menjumpai air, gunakan untuk membersihkan kulitmu (untuk bersuci).” (al-Kafi, 1/119)

Tarjih

InsyaaAllah pendapat yang lebih mendekati dalam hal ini adalah pendapat jumhur (Hanafiyah + Malikiyah), bahwa bagi orang yang tidak memiliki air yang cukup untuk wudhu, maka dia biarkan air itu dan bertayammum.

Dengan alasan:

[1] Jika air yang terbatas itu digunakan untuk wudhu, sementara ada anggota wudhu yang tidak terkena air maka wudhu batal. Dan melakukan wudhu yang jelas batal, percuma saja.

[2] Jika tidak memungkinkan melakukan ibadah asal, maka dilakukan ibadah penggantinya. Sehingga ketika tidak memungkinkan berwudhu yang sah, maka cukup lakukan tayammum.

Demikian.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Bagaimanakah Para Salaf Menjaga Takbiratul Ihram Bersama Imam

Keutamaan membersamai imam dalam takbiraul ihram

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

“Barangsiapa shalat berjamaah selama empat puluh hari dengan mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram) ikhlas karena Allah, akan dicatat baginya terbebas dari dua hal, yaitu terbebas dari api neraka dan terbebas dari sifat munafik.” (HR. Tirmidzi no. 241, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani)

Hadits yang mulia ini menjelaskan betapa besarnya pahala bagi siapa saja yang menjaga takbiratul ihram dan memberikan perhatian besar agar bisa senantiasa membersamai imam dalam takbiratul ihram dan tidak terluput darinya. Bukanlah maksud di atas bahwa seseorang membersamai takbiratul ihram bersama imam selama empat puluh hari, setelah itu berhenti. Akan tetapi, yang dimaksud adalah jika hal itu bisa dilakukan selama empat puluh hari, maka seseorang akan merasakan manis dan nikmatnya ibadah, hilanglah beban ketika beribadah, sehingga dia akhirnya bisa istiqamah dan konsisten dalam kondisi seperti itu seterusnya. Tentunya dengan hidayah dan taufik dari Allah Ta’ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Dalam masa empat puluh hari, seseorang berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lainnya. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits di Ash-Shahihain, dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan di perut ibunya selama empat puluh hari. Kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu pula (empat puluh hari, pent.). Lalu menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya.” (Jaamiul Masaail, 6: 134)

Membersamai imam dalam takbiratul ihram adalah sunnah yang ditekankan. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ

maksudnya, dia benar-benar ikhlas dari dalam hatinya, bukan karena riya’ ataupun karena sum’ah (ingin dilihat atau didengar oleh orang lain).

التَّكْبِيرَةَ الأُولَى

Maksudnya, takbiratul ihram bersama imam.

بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ

Maksudnya, dia terbebas dan selamat dari api neraka.

وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Maksudnya, di dunia dia akan terbebas dari beramal sebagaimana amal orang-orang munafik. Juga terbebas dari adzab sebagaimana adzab yang ditimpakan kepada orang-orang munafik ketika di akhirat.

Bagaimanakah para salaf menjaga takbiratul ihram bersama imam

Para ulama salaf sangat memperhatikan takbiratul ihram bersama imam ini, dan menempatkannya dalam kedudukan yang tinggi dan mulia.

Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata,

كان الأعمش قريبا من سبعين سنة لم تفته التكبيرة الأولى ، واختلفت إليه قريبا من ستين ، فما رأيته يقضي ركعة

“Dulu Al-A’masy rahimahullah hampir selama tujuh puluh tahun tidak pernah terluput takbir pertama (dalam shalat jama’ah). Aku sering mondar-mandir ke tempat beliau sekitar enam puluh tahun. Dan aku tidak pernah melihatnya terluput satu rakaat sekalipun.” (Hilyatul Auliya’, 5: 49)

Ghassaan Al-Ghulabi rahimahullah berkata, “Anak laki-laki saudaraku, Bisyr bin Manshur, mengabarkan kepadaku, dia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat pamanku tertinggal dari takbiratul ihram (bersama imam).’” (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 360)

Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah tertinggal takbiratul ihram sejak lima puluh tahun. Dan aku tidak pernah melihat tengkuk orang lain ketika shalat selama lima puluh tahun.” (Hilyatul Auliya’, 2: 163)

Hal ini karena beliau selalu berada di shaf pertama.

Muhammad bin Sama’ah rahimahullah berkata, “Aku tinggal selama empat puluh tahun, dan aku tidak pernah tertinggal dari takbiratul ihram bersama imam. Kecuali pada satu hari ketika ibuku meninggal dunia, maka aku tertinggal satu shalat jamaah.” (Tarikh Baghdad, 3: 298, Siyar A’laam An-Nubalaa’, 10: 646)

Abu Daud rahimahullah berkata,

كَانَ إِبْرَاهِيمُ الصَّائِغُ رَجُلًا صَالِحًا، قَتَلَهُ أَبُو مُسْلِمٍ بِعَرَنْدَسَ، قَالَ: وَكَانَ إِذَا رَفَعَ الْمِطْرَقَةَ فَسَمِعَ النِّدَاءَ سَيَّبَهَا

“Ibrahim Ash-Shaigh adalah orang shalih. Dia dibunuh oleh Abu Muslim di ‘Arandas. ‘Atho` berkata, “Apabila dia mengangkat palu kemudian mendengar suara azan, maka ia meninggalkannya (untuk segera pergi ke masjid, pent.).” (Sunan Abu Dawud no. 3254)

Ibrahim At-Taimi rahimahullah berkata, “Jika Engkau melihat ada seseorang yang meremehkan takbiratul ihram bersama imam, maka bersihkanlah tanganmu darinya (jauhilah dia, pent.).” (Tarikh Baghdad, 4: 215, Siyar A’laam An-Nubalaa’, 5: 62)

Nasihat untuk para penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi)

Di antara wasiat yang berharga bari para penuntut ilmu adalah wasiat Imam Abu Hanifah rahimahullah ke salah seorang muridnya, yaitu Abu Yusuf rahimahullah,

“Jika muadzin sudah mengumandangkan adzan, bersegeralah menuju masjid, agar tidak ada orang awam yang mendahuluimu.” (Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 467, karya Ibnu Nujaim rahimahullah)

Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah berkata,

“Kakekku adalah seorang hamba yang shalih, semoga Allah Ta’ala merahmatinya dan menempatkannya di surga Firdaus. Beliau memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hal ini (yaitu membersamai imam ketika takbiratul ihram). Sejak kami mengetahui keadaannya, dia setiap hari masuk masjid sebelum adzan shalat ashar. Demikian pula setiap kali shalat isya dia keluar (menuju masjid), demikian pula dia ke masjid untuk shalat subuh dan dzuhur.

Aku ingat bahwa beberapa penuntut ilmu bertanya kepada ayahku (yaitu Syaikh ‘Abdul Muhsin hafizhahullah), dan ketika itu kakekku juga hadir, tentang status keshahihan hadits tersebut.  Ayahku menjawab bahwa hadits tersebut shahih.

Lalu salah seorang di antara mereka mengatakan, “Siapa yang mampu melakukannya?”

Ketika kakekku keluar dari majelis tersebut, dan aku berjalan bersama kakekku, kakekku berulang kali mengatakan (dengan nada heran), “Siapa yang mampu melakukannya?”

Kakekku pun bertakbir karena heran ada perkataan semisal itu, lebih-lebih perkataan itu diucapkan oleh seorang penuntut ilmu agama (thalibul ‘ilmi).” (Ta’zhiim Ash-Shalaat, hal. 70)

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah dan taufik agar senantiasa menjaga shalat dan bisa membersamai imam ketika takbiratul ihram.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Larangan Mendahului Imam ketika Shalat

Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ – أَوْ: لاَ يَخْشَى أَحَدُكُمْ – إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ، أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ

“Tidakkah salah seorang dari kalian takut, atau apakah salah seorang dari kalian tidak takut, jika dia mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan menjadikan kepalanya seperti kepala keledai, atau Allah akan menjadikan rupanya seperti bentuk keledai?” (HR. Bukhari no. 691 dan Muslim no. 427)

Hukuman ini karena dia telah berbuat jelek (melakukan pelanggaran) dalam shalat, yaitu mendahului imam dengan sengaja. Seandainya dia shalat dalam rangka mengharap pahala, namun tidak takut dengan hukuman ini, maka Allah Ta’ala akan mengubah kepalanya seperti kepala keledai.

Dari sahabat Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ، حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا، ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH”, tidak ada seorang pun dari kami yang membungkukkan punggungnya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar (meletakkan kepalanya) bersimpuh dalam sujud, barulah setelah itu kami bersujud.” (HR. Bukhari no. 690 dan Muslim no. 474)

Dulu, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menunggu di belakang Nabi yang bertindak sebagai imam, dalam kondisi mereka tetap berdiri (i’tidal). Sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membungkukkan badan dan bertakbir, kemudian meletakkan dahinya di lantai (sudah benar-benar dalam posisi sujud), barulah mereka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk turun sujud.

Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

لا وحدك صليت، ولا بإمامك اقتديت

“Engkau tidak shalat sendirian, dan tidak pula menjadikan seseorang sebagai imam yang diikuti.”

Orang yang dinilai tidak shalat sendirian dan juga tidak shalat berjamaah, berarti shalatnya tidak sah.

Juga terdapat riwayat dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau melihat seseorang yang mendahului imam dengans sengaja, kemudian berkata kepadanya,

لا صليت وحدك، ولا صليت مع الإمام، ثم ضربه، وأمره أن يعيد الصلاة

“Engkau tidak shalat sendirian, tidak pula shalat bersama imam. Kemudian Ibnu ‘Umar memukulnya dan memerintahkannya untuk mengulang shalat.”

Seandainya shalat orang itu sah, tentu sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memerintahkannya untuk mengulang shalat.

Dari Hiththan bin ‘Abdullah bin Ar-Raqasyi dia berkata, “Saya shalat bersama Abu Musa Al-Asy’ari dengan sebuah shalat. Pada waktu duduk (tahiyat), seorang laki-laki dari kaum tersebut berkata, “Shalat diidentikkan dengan kebaikan dan mengeluarkan zakat.”

Ketika Abu Musa selesai melaksanakan shalat dan salam, dia berpaling seraya berkata, “Siapakah di antara kalian yang mengucapkan kalimat demikian dan demikian?”

Perawi berkata, “Lalu mereka diam kemudian dia bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang mengucapkan kalimat demikian dan demikian?” Mereka pun tetap diam.

Lalu dia bertanya lagi, “Boleh jadi kamu wahai Hiththan, yang telah mengucapkannya?”

Hiththan menjawab, “Aku tidak mengatakannya. Dan aku khawatir kamu menghardikku dengannya.”

Lalu seorang laki-laki dari kaum tersebut berkata, “Akulah yang mengatakannya dan tidaklah aku bermaksud mengatakannya melainkan suatu kebaikan.”

Lalu Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Tidakkah kalian mengetahui bagaimana kalian (seharusnya) mengucapkan (zikir) dalam shalat kalian? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi khutbah kepada kita, lalu menjelaskan kepada kita sunnah-sunnahnya, dan mengajarkan kepada kita tentang shalat kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذْ قَالَ {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] ، فَقُولُوا: آمِينَ، يُجِبْكُمُ اللهُ فَإِذَا كَبَّرَ وَرَكَعَ فَكَبِّرُوا وَارْكَعُوا، فَإِنَّ الْإِمَامَ يَرْكَعُ قَبْلَكُمْ، وَيَرْفَعُ قَبْلَكُمْ

“Apabila kalian shalat, luruskanlah shaf-shaf kalian, kemudian hendaklah salah seorang dari kalian mengimami kalian. Apabila dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Dan apabila dia mengucapkan, “Ghairil maghdhubi ‘alaihim wala adh-dhallin (Bukan jalan orang yang dimurkai dan tidak pula jalan orang yang sesat)”, maka katakanlah, “Amin.” Niscaya Allah mencintai kalian. Apabila dia bertakbir dan rukuk, maka bertakbir dan rukuklah kalian, karena imam harus rukuk sebelum kalian dan mengangkat (kepala) dari rukuk sebelum kalian.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَتِلْكَ بِتِلْكَ وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ. فَقُولُوا: اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ يَسْمَعُ اللهُ لَكُمْ، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، قَالَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَإِذَا كَبَّرَ وَسَجَدَ فَكَبِّرُوا وَاسْجُدُوا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَسْجُدُ قَبْلَكُمْ وَيَرْفَعُ قَبْلَكُمْ

“Lalu gerakan demikian diikuti dengan gerakan demikian. Apabila dia berkata, “Sami’allahu liman hamidah (Semoga Allah mendengar kepada orang yang memujinya)”, maka katakanlah, ‘Allahumma Rabbana laka al-hamdu’ (Ya Allah, Rabb kami, segala puji untuk-Mu), niscaya Allah akan mendengarkan kalian. Karena Allah berkata melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sami’allahu liman hamidah.” Dan apabila imam bertakbir dan sujud, maka bertakbir dan sujudlah kalian, karena imam sujud sebelum kalian, dan bangkit sebelum kalian.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi,

فَتِلْكَ بِتِلْكَ، وَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْقَعْدَةِ فَلْيَكُنْ مِنْ أَوَّلِ قَوْلِ أَحَدِكُمْ: التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Lalu gerakan tersebut diikuti dengan gerakan tersebut. Dan apabila sedang duduk tahiyat, maka hendaklah doa pertama kalian adalah, “At-tahiyyatut-thayyibaatus-shalawaatu lillahi … (sampai akhir doa tasyahhud).” (HR. Muslim no. 404)

Banyak orang awam salah dan keliru dalam memahami hadits ini. Sesaat ketika imam mulai bertakbir, mereka pun langsung ikut takbir, dan ini adalah suatu kesalahan. Tidak sepatutnya makmum bertakbir, sampai dia menunggu imam betul-betul selesai bertakbir dan diam. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا

“Apabila dia (imam) bertakbir, maka bertakbirlah kalian.”

Imam itu tidak dikatakan bertakbir sampai mengatakan, “Allahu akbar.” Seandainya imam baru mengatakan, “Allah”, kemudian diam, itu belum dikatakan bertakbir, sampai imam mengatakan, “Allahu akbar.” Makmum baru bertakbir setelah imam mengatakan, “Allahu akbar.”

Ketika mereka takbir berbarengan dengan imam, mereka pun salah dan meninggalkan perkataan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandanya Engkau mengatakan,

إذا صلى فلان فكلمه

“Jika fulan (selesai) shalat, bicaralah dengannya.”

Maksudnya, Engkau harus menunggunya ketika shalat, dan jika dia selesai shalat, Engkau baru bisa bicara dengannya. Bukanlah maknanya, “Engkau berbicara dengannya ketika dia sedang shalat.”

Demikian pula makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا

“Apabila dia (imam) bertakbir, maka bertakbirlah kalian.”

Terkadang, imam bertakbir agak lama karena ketidaktahuannya. Sedangkan makmum di belakangnya bertakbir secara singkat, sehingga dia (makmum) sudah selesai takbir, sebelum imam selesai takbir. Siapa saja yang bertakbir sebelum imam takbir, shalatnya tidak sah. Karena dia memulai shalat sebelum imam memulai shalat, dan bertakbir sebelum imam. Maka tidak sah shalatnya.

Ketahuilah bahwa mayoritas manusia pada hari ini, tidak sah salatnya karena mereka mendahului imam dengan sengaja, baik ketika rukuk dan sujud, baik ketika mengangkat ataupun membungkukkan badan. Seandainya aku shalat di seratus masjid, aku tidak melihat satu pun orang yang shalat di masjid itu mendirikan shalat sebagaimana contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semuanya. Maka bertakwalah kepada Allah Ta’ala, dan lihatlah shalat kalian dan shalat orang-orang yang shalat bersama kalian. [1] [2]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Kembangkan Kemampuan dan Potensimu!

Dalam Surat Thoha diceritakan dialog antara Allah Swt dengan Nabi Musa as. Allah Swt menanyakan apa yang dipegang oleh Nabi Musa as.

Beliau pun menjawab seperti dalam Firman-Nya :

قَالَ هِیَ عَصَایَ أَتَوَكَّؤُا۟ عَلَیۡهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِی وَلِیَ فِیهَا مَـَٔارِبُ أُخۡرَىٰ

Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” (QS.Tha-Ha:18)

Nah, kali ini kita akan berhenti pada penggalan akhir dari ayat ini, yaitu :

وَلِیَ فِیهَا مَـَٔارِبُ أُخۡرَىٰ

“dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.”

Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk jangan pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang kita miliki. Kembangkan semua potensi yang ada padamu.

Masih banyak potensi terpendam yang perlu di gali dari dalam diri kita. Dan masih terlalu sedikit kemampuan diri yang kita manfaatkan. Karena Allah menanamkan kelebihan yang luar biasa dalam diri manusia.

Seringkali seseorang merasa cukup dengan apa yang telah ia raih. Merasa cukup dengan kemampuan yang bisa ia manfaatkan. Padahal sebenarnya kemampuannya masih jauh lebih besar dari itu.

Penggalan terakhir dari ayat di atas mengingatkan kita untuk jangan berhenti menjadi lebih baik. Jangan berhenti menggali potensi.

Kembangkan semua yang ada hingga menjadi luar biasa.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Tiga Tingkatan Shalat Malam

Melaksanakan ibadah pada sepertiga terakhir malam sangat dianjurkan, sebab pada waktu itu merupakan saat di mana Allah turun ke langit dunia dan akan mengabulkan semua permintaan hamba-Nya.

Waktu malam dihitung dari sejak terbenam matahari sampai terbit fajar, kemudian terbagi menjadi enam bagian, tiga bagian pertama disebut setengah malam pertama. Sunnah bangun pada seperenam keempat dan kelima, ini dihitung sepertiga. Kemudian boleh tidur lagi pada seperenam terakhir. Lalu kapan seseorang mendapatkan waktu turunnya Allah, atau kapan tepatnya sepertiga malam terakhir itu?

Jika waktu malam dibagi dalam 6 bagian, maka waktu sepertiga malam setelah tengah malam adalah pada seperenam kelima malam. Nabi Saw telah menunjukkan kita waktu tersebut dalam hadis berikut ini

أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ ، وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Daud, dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Daud, ia tidur setengah malam, lalu bangun pada sepertiganya dan tidur pada seperenamnya, ia puasa satu hari dan berbuka satu hari.” (HR. Bukhari&Muslim)

Berdasarkan pembagian waktu malam dalam hadis di atas, maka dalam melaksanakan shalat malam ada tiga tingkatan:

Tingkatan pertama: Tidur setengah malam pertama kemudian bangun pada sepertiga malam dan tidur pada seperenamnya. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Amr, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Daud, dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Daud, ia tidur setengah malam, lalu bangun pada sepertiganya dan tidur pada seperenamnya, ia puasa satu hari dan berbuka satu hari.” (HR. Bukhari&Muslim)

Kedua, bangun pada sepertiga malam terakhir. Sebagaimana dikatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia saat tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta pada-Ku maka Aku akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari&Muslim)

Jika khawatir tidak bangun malam, maka berpindah pada tingkatan ketiga.

Tingkatan ketiga: Shalat pada awal malam atau kapan saja pada waktu malam sesuai kemudahan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bahwa Rasulullah bersabda,

Barang siapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam, hendaknya ia shalat witir pada awalnya. Barang siapa yang bertekad untuk bangun pada akhirnya maka hendaknya ia shalat witir pada akhir malam , sesungguhnya shalat pada akhir malam itu disaksikan dan itu lebih utama.” (HR. Bukhari)

Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH

Jangan Sembarangan Panggil ‘Kafir’ ke Sesama Muslim

Takfiri atau memvonis orang lain sebagai kafir merupakan persoalan dalam umat Islam. Ada konsekuensi syariat atas seseorang yang dinyatakan sebagai kafir.

Di antaranya adalah, batalnya status pernikahan, tidak ada hak asuh anak, tidak memiliki hak untuk mewariskan dan mewarisi, serta  tidak boleh dikubur di permakaman Islam saat meninggal.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan, takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan orang per orang atau lembaga yang tidak memiliki kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.

Nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan umatnya agar tidak sembarangan menuding sesama Muslimin sebagai kafir. Sebab, imbasnya akan sangat berat, baik bagi si penuduh maupun tertuduh.

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang berkata ‘kafir’ kepada saudaranya, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”

Dalam hadis lain, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang berkata kepada orang lain, ‘kafir’, maka kafirlah salah satu dari keduanya.

Apabila orang yang dikatakan kafir itu (memang) kafir keadaannya, maka ia telah (berucap) benar.

Namun, apabila orang itu keadaannya tidak seperti yang ia katakan, maka ucapan kafir yang ia katakan kepada orang tersebut kembali kepadanya.”

Sejarah pun mencatat kisah Usamah bin Zaid. Setelah suatu pertempuran jihad fii sabilillah usai, sahabat Nabi SAW itu berkata kepada beliau.

“Aku bertemu seorang laki-laki. Aku hendak menghujamkan tombak, tetapi laki-laki itu mengucapkan syahadat. Aku tetap saja menusuk dan membunuhnya,” tutur Usamah.

Wajah Rasulullah SAW kemudian tampak tidak senang.

“Celakalah engkau wahai Usamah!” kata beliau, “bagaimana nasibmu kelak dengan ucapan la ilaha illallah?”

Demikian Rasul SAW berulang kali mengulangi perkataannya. Mengapa engkau membunuhnya, padahal orang itu telah mengucapkan laa ilaaha illa Allah? Apakah engkau bisa mengetahui isi hati orang itu? Mengapa tetap memvonisnya sebagai kafir?

Akhirnya, Usamah amat sangat menyesali perbuatannya. Rasanya, ia ingin dirinya saja yang mati terbunuh sebelum peristiwa itu terjadi.

Sejak itu, ia berjanji tak akan pernah lagi membunuh orang ataupun musuh yang telah mengucapkan syahadat. Sikap itu ia pegang teguh bahkan ketika terjadi fitnah besar antara kubu Khalifah Ali dan Mu’awiyah. Usamah berusaha netral dan berdiam diri di rumah selama pertikaian berlangsung.

KHAZANAH REPUBLIKA

6 Perkara yang Sepatutnya Ditakuti Seorang Mukmin di Dunia

Terdapat enam perkara yang patut ditakuti mukmin di dunia

Orang mukmin merupakan seorang muslim yang dapat memenuhi  kehendak Allah dan memiliki iman kuat dalam hatinya. Jika disebut nama Allah SWT, maka orang-orang yang beriman itu akan gemetar hatinya.

Dikutip dari Kitab “Nashaihul ‘Ibad” karya Syekh Nawawi, Khalifah Utsman Affan bertutur bahwa hendaknya orang mukmin takut terhadap enam perkara.

Pertama, yaitu takut kepada Allah SWT apabila Dia mencabut iman dari dirinya pada saat sakaratul maut. Karena itu, Ibnu Mas’ud selalu berdo’a:

اللَّهمَّ إنِّي أسألُك إيمانًا لا يرتَدُّ ونعيمًا لا ينفَدُ ومرافقةَ محمَّدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في أعلى جنَّةِ الخُلدِ

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keimanan yang tak tergoyahkan, kenikmatan yang tak berkesudahan, kebahagiaan hati yang tiada terputus dan kenikmatan bersanding dengan Nabi Muhammad  SAW di dalam surga yang paling tinggi dan abadi.”

Kedua, orang mukmin hendaknya takut kepada para malaikat pencatat amal apabila mereka mencatat perbuatan yang sangat memalukan untuk dibeberkan pada Hari Kiamat. Nabi bersabda: “Malu di dunia lebih ringan daripada malu di akhirat.” (HR at-Thabrani dari Fadh).

Ketiga, takut kepada setan manakala merusak pahala amalnya yang baik. Keempat, orang mukmin hendaknya juga takut kepada Malaikat Izrail jika mencabut nyawanya secara tiba-tiba dalam keadaan lalai terhadap Allah.

Kelima, orang mukmin hendaknya takut kepada dunia (kesenangan dan segala perhiasannya) manakala akan memperdaya dan menyibukkannya dari mengingat akhirat atau melupakan kondisi-kondisi mencekam di akhirat.

Ketakutan orang mukmin yang terakhir atau keenam adalah takut terhadap  keluarga manakala urusan mereka akan menyibukkannya, sehingga melupakannya dari mengingat Allah dan ketaatan kepada Allah SWT.  

KHAZANAH REPUBLIKA



Hutang Riba, Tapi Nutupi Dengan Hutang Riba Lagi, Apa Solusinya?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hutang riba, tapi nutupi dengan hutang riba lagi, apa solusinya?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bagaimana jika kita terperosok di hutang riba. Mau dibayarkan belum punya dana. Terpaksa masih utang riba untuk tutup utang riba lainnya. Sebenarnya sudah tidak mau dan benar-benar bertobat. Tapi cari pinjaman tanpa bunga sekarang susah. Bagaimana solusinya ?

(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari grup Hijrah Diaries Putri)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Bismillah walhamdu lillah wash shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi waman waalaah.

Solusinya adalah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesungguh-sungguhnya. Bermuhasabahlah, perhatikan tingkat keimanan dan ketakwaan Anda.
Apakah Anda sudah sebenar-benarnya beribadah dan menghambakan diri kepada Allah Ta’ala?
atau masih banyak perintah yang Anda abaikan dan kemaksiatan yang Anda kerjakan?

Yakinlah akan janji Allah Ta’ala,

 وَمَن یَتَّقِ ٱللَّهَ یَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجࣰا • وَیَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَیۡثُ لَا یَحۡتَسِبُۚ وَمَن یَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَیۡءࣲ قَدۡرࣰا 

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.
[Surat Ath-Thalaq, Ayat 2-3]

Yakinlah akan firman-Nya,

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan”.
[Surat Al-Insyirah, Ayat 5]

Jangan lupa untuk berdoa!

di antara doa yang bisa kita panjatkan adalah;

اللهمَّ اكفِني بحلالِكَ عن حرامِكَ، وأغنِني بفضلِكَ عمَّنْ سِواكَ.

‘Ya Allah, cukupkanlah diriku dengan rezeki-Mu yang halal dari rezeki-Mu yang haram, dan cukupkanlah diriku dengan keutamaan-Mu dari selain-Mu.’
(HR. Tirmidzi no. 3563, Ahmad no. 1318. Lihat al-Silsilah ash-Shahihah no. 266).

Dan disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita membaca doa berikut setiap hendak tidur,

اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ مُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ أَنْتَ الْأَوَّلُ لَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ لَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ لَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ لَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ.

‘Wahai Allah Penguasa Langit, Penguasa ‘Arsy yang agung, dan Penguasa Segalanya. Wahai Dzat Yang Menurunkan Taurat, Injil dan Alquran. Wahai Dzat Yang Membelah Biji dan Benih (menjadi tanaman). Tiada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Engkau.
Aku berlindung kepada-Mu dari setiap kejahatan manusia yang jahat, sebab Engkau-lah yang menguasai ubun-ubunnya. Engkaulah yang pertama, yang tiada apa pun sebelum-Mu; dan Engkau-lah yang terakhir, yang tiada apa pun setelah-Mu. Engkau-lah yang dhahir, yang tiada apa pun di atas-Mu; dan Engkau-lah yang batin, yang tiada apa pun yang menghalangi-Mu. Lunasilah utang kami dan entaskan kami dari kefakiran.’
(HR. Muslim No. 2713)

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ.

‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan hutang.’
(HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589)

Sampai kapan Anda akan melakukan hal itu? gali lubang tutup lubang. Hal itu tidak menyelesaikan masalah, tapi hanya menundanya dan bahkan dapat menjerumuskan Anda pada hal-hal yang lebih buruk.

Rantai keburukan tersebut haruslah secepatnya diputus. Anda bisa menjual aset-aset yang Anda miliki, kalaupun mau berhutang lagi maka Anda tidak boleh berhutang dengan cara riba.
Insya Allah akan ada jalan keluar.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah adalah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan”.
[Surat Al-A’raf, Ayat 56]

Semoga bermanfaat.
Wallahu Tabaaraka wa Ta’ala A’lam.
Wa Akhiru da’waanaa anil hamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Dijawab oleh:
Ustadz Fajar Basuki, Lc. حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Masjid Wakaf Dibongkar Untuk Renovasi, Apakah Pahala Masih Mengalir?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang masjid wakaf dibongkar untuk renovasi, apakah pahala masih mengalir?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ustadz, jika kita berwakaf kemudian hasil dari wakafnya itu dibongkar dan direnovasi. Apakah kita tidak mendapatkan pahala lagi? Apakah pahalanya hilang karena diganti dengan renovasi itu? Terimakasih

(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari grup Hijrah Diaries Putri)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Bismillah walhamdu lillah wash shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi waman waalaah.

Berwakaf adalah termasuk amalan mulia, bahkan akan mengiringi seseorang walau dia sudah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

‘Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya’.
[HR Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إنَّ مِمّا يلحقُ المؤمنَ من عملِهِ وحسناتِه بعدَ موتِه عِلمًا علَّمَه ونشرَه وولدًا صالحًا ترَكَه ومُصحفًا ورَّثَه أو مسجِدًا بناهُ أو بيتًا لابنِ السَّبيلِ بناهُ أو نَهرًا أجراهُ أو صدَقةً أخرجَها من مالِه في صِحَّتِه وحياتِه يَلحَقُهُ من بعدِ موتِهِ.

‘Sesungguhnya kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah; ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf Alquran yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, sungai yang ia alirkan, sedekah yang ia keluarkan dari hartanya di masa sehat dan masa hidupnya, semuanya akan mengiringinya setelah meninggal.’
[Lihat Shahih Ibnu Majah no. 200 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Nah, bagaimana kalau misalkan bangunan yang diwakafkan itu direnovasi? apakah waqif (yang berwaqaf) sudah tidak mendapatkan pahala lagi darinya?

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi mengatakan,

لا مانع من هدم المسجد القديم وتعميره على الطراز الحديث ؛ لما في ذلك من المصلحة العامة لأهل القرية وغيرهم ، وأما الذين بنوا الأول فأجرهم كامل ولا ينقطع بتجديده.

‘Tidak mengapa untuk merobohkan Masjid yang lama untuk dibangun dengan model yang baru. Karena ada maslahat di dalamnya baik untuk penduduk desa tersebut maupun yang selain mereka. Dan adapun mereka yang membangun bangunan yang pertama, maka pahala mereka adalah sempurna dan tak terputus karena adanya renovasi tersebut’.
[Fatawa Lajnah Daimah 6/232-233]

Maka hendaknya dijelaskan dengan baik-baik kepada waqif bahwa renovasi tersebut Insya Allah tidaklah memutus pahalanya.

Semoga bermanfaat.
Wallahu Tabaaraka wa Ta’ala A’lam.
Wa Akhiru da’waanaa anil hamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Dijawab oleh:
Ustadz Fajar Basuki, Lc. حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Wakafkan Jam Masjid untuk masjid dan musholah. Dapatkan jam masjid itu di sini!