5 Cara Melindungi Jiwa dari Godaan Setan

Setiap Muslim memiliki potensi untuk dipengaruhi atau dikuasai setan. Sehingga sudah sepantasnya jika seorang Muslim untuk selalu memohon kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dari godaan setan yang terkutuk.

Setidaknya ada lima amalan yang bisa dilakukan sebagai cara untuk terlindungi dari setan, sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo.

Pertama, tidak henti-hentinya memohon perlindungan kepada Allah SWT dari godaan setan. Karena memohon perlindungan kepada Allah SWT punya dampak yang luar biasa besar dalam menahan dan mengendalikan godaan setan.

Allah SWT telah memerintahkan hambanya untuk terus memohon perlindungan dari setan sehingga dijauhkan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Araf ayat 200: 

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Mahamendengar, Mahamengetahui.” 

Kedua, adalah berkomitmen tidak lalai menunaikan ibadah sholat dan mengerjakannya tepat waktu. Sholat adalah ibadah yang utama dan memiliki pengaruh terhadap diri seorang Muslim. Setan pun tidak punya kekuatan merasuki jamaah Muslim yang sedang mengerjakan sholat.  

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Ibn Hibban melalui jalur Abu Ad-Dar, Nabi Muhammad SAW memberi peringatan soal keutamaan sholat berjamaah. Nabi SAW bersabda: 

ما مِن ثلاثةٍ في قريةٍ ولا بدوٍ لا تُقامُ فيهم الصَّلاةُ إلَّا استحوذ عليهم الشَّيطانُ فعليك بالجماعةِ فإنَّما يأكُلُ الذِّئبُ القاصيةَ

“Tiga orang berada di suatu kampung atau perkampungan badui dan mereka tidak melaksanakan sholat berjamaah. Maka setan telah merasuki mereka. Karena itu, lakukan sholat berjamaah, karena serigala hanya memakan kambing yang memisahkan diri dari jamaah.” 

Ketiga, istiqamah dalam membaca Alquran seperti membaca permulaan dan akhir surat Al-Baqarah, ayat Kursi, dan konsisten mengucapkan dzikir pagi, sore, dan menjelang tidur. Jika Muslim melakukan ini; Dia membentengi dirinya dan keluarganya dari setan.

Keempat, konsisten mencari pertolongan dari Allah SWT dan berpegang teguh pada-Nya serta menjalankan perintah-Nya baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dalam surat Al-Hijr Ayat 39-40, dinyatakan bahwa:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas beribadah kepada-Mu'”.

Kelima, taat dan patuh menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Dalam hadits shahih riwayat Ibnu Hibban dari jalur Abu Hurairah, disebutkan, Rasulullah SAW berkata:

إذا قرَأ ابنُ آدَمَ السَّجدةَ فسجَد اعتزَل الشَّيطانُ يبكي ويقولُ: يا ويلَه أُمِر ابنُ آدَمَ بالسُّجودِ فسجَد فله الجنَّةُ وأُمِرْتُ بالسُّجودِ فأبَيْتُ فلِيَ النَّارُ

“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celakalah aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Shalat Wajib di Atas Kendaraan

Kaum muslimin yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, ketahuilah bahwa hukum shalat di atas kendaraan itu ada rinciannya. Hukum asalnya tidak boleh dan tidak sah, namun dibolehkan dalam keadaan tertentu.

Wajib Shalat Di Darat Jika Masih Bisa

Sebagaimana kita ketahui bersama, menghadap kiblat adalah syarat sah shalat, tidak sah shalatnya jika tidak dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)

Maka pada asalnya, shalat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan karena sulit menghadap kiblat dengan benar.

Berbeda dengan shalat sunnah, boleh dikerjaan di atas kendaraan jika sedang safar, karena banyak dalil yang menunjukkan kebolehahnnya. Adapun jika tidak sedang safar, maka tidak ada keperluan untuk shalat wajib atau sunnah di atas kendaraan. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim membuat judul “bab bolehnya shalat sunnah di atas binatang tunggangan dalam safar kemana pun binatang tersebut menghadap“, yaitu ketika menjelaskan hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ نَاقَتُهُ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat sunnah kemana pun untanya menghadap” (HR. Muslim 33).

dalam riwayat lain:

إن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كان يوترُ على البعيرِ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat witir di atas unta” (HR. Al Bukhari 999, Muslim 700).

Imam An Nawawi lalu berkata: “hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya shalat sunnah kemana pun binatang tunggangan menghadap. Ini boleh berdasarkan ijma kaum Muslimin”. Dan di tempat yang sama, beliau menjelaskan: “hadits ini juga dalil bahwa shalat wajib tidak boleh kecuali menghadap kiblat, dan tidak boleh di atas kendaraan, ini berdasarkan ijma kaum Muslimin. Kecuali karena adanya rasa takut yang besar” (Syarah Shahih Muslim, 5/211).

Udzur Yang Membolehkan Shalat Di Kendaraan

Islam itu mudah. Ketika ada kesulitan, maka muncul kemudahan. Demikian juga dalam hal shalat ketika berkendaraan, seseorang diberikan kemudahan jika memang ada kesulitan. Para ulama menyebutkan udzur-udzur atau penghalang-penghalang yang membuat seseorang boleh shalat di atas kendaraan. Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “jika orang yang sedang berkendara itu mendapatkan kesulitan jika turun dari kendaraannya, misal karena hujan lebat dan daratan berlumpur, atau khawatir terhadap kendaraannya jika ia turun, atau khawatir terhadap harta benda yang dibawanya jika ia turun, atau khawatir terhadap dirinya sendiri jika ia turun, misalnya karena ada musuh atau binatang buas, dalam semua keadaan ini ia boleh shalat di atas kendaraannya baik berupa hewan tunggangan atau lainnya tanpa turun ke darat” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 235).

Diantara udzur yang membolehkan juga adalah khawatir luputnya atau habisnya waktu shalat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hukum shalat di pesawat beliau menjelaskan: “shalat di pesawat jika memang tidak mungkin mendarat sebelum berakhirnya waktu shalat, atau tidak mendarat sebelum berakhirnya shalat kedua yang masih mungkin di jamak, maka saya katakan: shalat dalam keadaan demikian wajib hukumnya dan tidak boleh menundanya hingga keluar dari waktunya”. Beliau juga mengatakan: “adapun jika masih memungkinkan mendarat sebelum berakhir waktu shalat yang sekarang, atau sebelum berakhir waktu shalat selanjutnya dan memungkinkan untuk dijamak, maka tidak boleh shalat di pesawat karena shalat di pesawat itu tidak bisa menunaikan semua hal wajib dalam shalat. Jika memang demikian keadaannya maka hendaknya menunda shalat hingga mendarat lalu shalat di darat hingga benar pelaksanaannya” (Majmu’ Fatawa War Rasa-il, fatwa no.1079).

Tata Cara Shalat Di Kendaraan

Pada asalnya, tata cara shalat dikendaraan sama dengan shalat seperti biasanya di darat. Tidak boleh seseorang menggugurkan salah satu rukun shalat, jika masih memungkinkan, kecuali ada udzur syar’i.

Dalam sebuah hadits shahih, Ibnu Abbas bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

يا رسولَ اللهِ كيف أُصَلّي في السفينَةِ قال صلّ فيها قائما إلا أن تخافَ الغرقَ

wahai Rasulullah, bagaimana cara shalat di atas perahu? beliau bersabda: ‘shalatlah di dalamnya sambil berdiri, kecuali jika engkau takut tenggelam‘” (HR. Ad Daruquthni 2/68, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami 3777).

Syaikh Al Albani berkata: “hukum shalat di atas pesawat sama seperti shalat di atas perahu. Shalat dilakukan sambil berdiri jika mampu, jika tidak mampu maka sambil duduk, rukuk dan sujudnya dengan isyarat” (Ikhtiyarat Imam Al Albani, 117).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam fatwa beliau di atas juga menjelaskan tata cara shalat di atas pesawat: “shalat dilakukan dengan menghadap kiblat sambil berdiri, jika masih memungkinkan, dan juga rukuk seperti biasa jika bisa. Sujud dilakukan sambil duduk atau dengan isyarat karena sepengetahuan saya tidak mungkin melakukan sujud ketika di pesawat. Karena jarak antar tempat duduk sangat dekat. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ‏

bertaqwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghabun: 16)

dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم

apa yang aku perintahkan kepada kalian, kerjakanlah sesuai kemampuan kalian” (HR. Al Bukhari 7288, Muslim 1337)

Allah Ta’ala juga berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ‏

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk” (QS. Al Baqarah: 238)

(Majmu’ Fatawa War Rasa-il, fatwa no.1079).

Syaikh Musthafa Al Adawi juga ketika ditanya mengenai shalat di mobil (termasuk bus dan semacamnya) beliau menjelaskan caranya: “jika anda bersafar untuk jarak yang jauh dan tidak memungkinkan untuk berhenti, shalatlah sambil duduk, karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‏صل قائماً، فإن لم تستطع فقاعداً، فإن لم تستطع فعلى جنب

shalatlah sambil berdiri, jika tidak bisa maka sambil duduk, jika tidak bisa maka sambil berbaring” (HR. Al Bukhari 1117)

jika tidak ada tempat wudhu dan tidak ada air maka bertayamumlah lalu shalat” (Sumber: http://mostafaaladwy.com/play-9716.html).

Demikian, semoga bermanfaat, wabillahi at taufiq.

Penulis: Yulian Purnama

MUSLIMAH

Kenapa Masuk Islam?

Bagi saya, termasuk nikmat besar dari Allah yang didapatkan di Masjid Nabawi ini, kita akan dapati kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia.

Seringkali saya menyapa, berkenalan, mengajak mereka berbicara, mengenal mereka lebih mendalam, mencoba mencari tahu bagaimana Islam di negeri mereka.

Suatu saat saya bertemu dengan seorang pemuda Kaukasian. Rambutnya pirang matanya biru. Namun dia menggunakan kurta, seperti yang sering dipakai oleh saudara-saudara kita di India, Pakistan dan Bangladesh.

Ketika itu kami duduk bersebelahan. Setelah berkenalan, kami pun larut dalam perbincangan hangat.

Nama beliau Michael. Asalnya dari Houston, Texas. Usianya 30-an tahun. Beliau masuk Islam dari sekitar lima tahun yang lalu. Sebelumnya beliau beragama Kristen Protestan.

Michael bekerja di bidang IT. Dulu dia pernah bekerja di perusahaan besar macam IBM. Michael pun sudah menikah dan berputra satu. Istrinya juga orang Amerika, tapi keturunan Bangladesh. Ini menjelaskan kenapa Michael mengenakan kurta.

Saya bertanya kepada Michael tentang apa yang membuat dia masuk Islam. Faktor apa yang menarik dia untuk bersyahadat.
Michael kemudian bercerita tentang latar belakang keluarganya. Beliau lahir di keluarga yang taat beragama.

“Anda mungkin pernah dengar, Texas itu termasuk daerah bible belt. Di sana masih banyak orang yang pergi ke gereja. Berbeda dengan tempat lainnya di Amerika.
Keluarga kami termasuk keluarga yang aktif di gereja…”

American bible belt (sabuk injil Amerika) adalah istilah yang dipakai untuk menamakan area di selatan Amerika Serikat yang pengaruh Kristen Protestan Evangelical masih sangat kuat. Tingkatan kunjungan ke gereja di area ini lebih tinggi daripada daerah lainnya di Amerika Serikat.

Michael kemudian melanjutkan ceritanya,
“Ketika kuliah, saya berteman dengan seorang muslim, a nice person, seorang yang baik…”

Seingat saya Michael menyebutkan bahwa temannya ini adalah seorang muslim dari Pakistan, wallahu a’lam.

Michael kemudian banyak bertanya kepada temannya ini tentang Islam.

Actually, saya suka mempelajari agama-agama. Saya juga baca buku-buku tentang Budhisme dan Hinduisme..

Kawan saya yang muslim kemudian memberikan Al Qur’an untuk saya pelajari. Begitu saya membacanya, saya dapati antusiasme yang demikian besar pada diri saya. Setelah selesai dari satu halaman, halaman berikutnya seakan-akan memanggil saya untuk membuka dan membacanya. Setelah cukup lama membaca Al Qur’an dan berdiskusi dengan kawan muslim saya tadi, saya pun memutuskan untuk menjadi seorang muslim..”

Saya kemudian bertanya kepada Michael, “Dari apa yang kamu baca dan kamu pelajari dari Islam, apa yang paling kuat menarikmu untuk menjadi seorang muslim?”

Michael kemudian terdiam sejenak. Dia lalu menjawab, “Saya kira ada dua faktor utama yang menarik saya untuk bersyahadat.

Yang pertama, konsep tauhid, monoteisme dalam Islam. It’s very clear. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlash).

Dia bukan merupakan satu dari yang tiga. Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Its very simple.

Adapun yang kedua, di dalam Islam kita hanya bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Yang beramal baik maka dia dibalas dengan kebaikan, yang beramal buruk maka keburukannya akan dibalas. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

Di dalam Islam kita tidak menanggung dosa orang lain. Kita hanya bertanggung jawab atas dosa kita. Allah ta’ala berfirman:

وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

Dan orang-orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Fathir: 18).

Ini dua perkara yang saya kira merupakan faktor terkuat yang menarik saya ke dalam Islam.

Saya kemudian bertanya tentang kedua orang tuanya. Bagaimana respon mereka ketika dia masuk Islam.

“Awalnya mereka terkejut. Apakah kamu yakin mau masuk Islam? Namun setelah itu mereka pun menerima keislaman saya. Demikian juga menerima istri saya. Bahkan ayah saya sangat sayang dengan putra kami yang kami beri nama Jibreel.”

Setelah shalat, kami pun berpisah dan saling mendoakan agar Allah mewafatkan kami dalam keislaman.

Demikian sedikit kisah yang bisa kami tuturkan.

Dari sini banyak faidah yang bisa kita dapatkan. Di antaranya:

1. Islam adalah agama universal. Dia diperuntukkan kepada seluruh manusia tanpa melihat suku bangsa dan warna kulit.

2. Akhlak yang mulia dari seorang muslim bisa menjadi pembuka hidayah bagi manusia untuk masuk Islam. Ingat masuknya Islam ke nusantara, dia bermula dari akhlak yang baik dari para dai dan pedagang muslim yang berkunjung ke negeri kita.

3. Mengajak seseorang ke dalam Islam bisa melalui diskusi, apa yang menjadi penghalang atau membuat ragu seseorang untuk masuk Islam didiskusikan dengan baik dan di atas ilmu Al Qur’an dan Sunnah.

4. Al Qur’an merupakan sebab hidayah. Betapa banyak orang-orang non muslim setelah membaca Al Qur’an, walaupun hanya terjemahan, dia menyadari bahwa apa yang dia baca bukanlah bacaan biasa, namun ucapan Allah rabbul ‘alamin.

5. Konsep tauhid dalam Islam yang demikian sempurna. Kaum muslimin hanya menyembah satu Tuhan. Tuhan yang maha Esa, yang Maha Kuasa menciptakan dan mengatur alam semesta. Yang tidak beranak dan diperanakkan. Yang tiada sesuatu apapun yang setara dengan Nya.

6. Keadilan dalam Islam di mana tidaklah seseorang diganjar melainkan sesuai dengan amalannya. Yang beramal baik akan dibalas dengan kebaikan, yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan pula.

Wallahu a’lam.

***

Ditulis di kota Nabi

Jumat 9 Rabiul Awwal 1441 H – 6 November 2019.

Ustadz Wira Mandiri Bachrun

MUSLIMAH

Dua Golongan yang Terhalang dari Allah

Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam menjelaskan bahwa orang-orang  yang terhalang dari Allah (mahjûb) adalah golongan yang menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu; kaum awam dan para sâlik (yang meniti jalan menuju Allah) yang belum mencapai maqâm ahli syuhûd (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu).

Kedua qolongan ini merupakan orang-orang yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah. Mereka menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhûl) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yang sudah diketahui (ma’lûm), menggunakan ketiadaan (‘adam) untuk membuktikan keberadaan (wujûd), atau menggunakan perkara yang tersembunyi (khafiyy) untuk membuktikan hal yang lahir dan nyata.

Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab-sebab daripada mencari Sang Pembuat Sebab. Hal itu menurut Ibnu Athaillah sungguh aneh, sebab sejak kapan Allah gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan Allah jauh sehingga alam semesta inilah yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhûd.

Sedangkan kebalikan dari dua golongan di atas adalah manusia yang paling kuat tanda didekatkannya mereka kepada Allah (jadzab) yaitu para nabi dan rasul. Mereka yang menggunakan Allah sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah sebagai wujud yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah semata. Inilah perbedaan mencolok antara dua kelompok tersebut.

Menurut golongan yang terakhir, benda-benda yang hâdits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hâdits berasal dari wujud asal, yaitu Allah swt. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk bersumber dari wujud Khaliq yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhûd.

BINCANGSYARIAH

Memahami Makna Al-Ghaffar dalam Asmaulhusna

Al-Ghaffar adalah salah satu sifat Allah Swt. dalam Asmaulhusna yang biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti “Maha Pengampun”.

Quraish Shihab dalam program Mutiara Hati SCTV mengajak untuk memahami kembali makna dari Al-Ghaffar yang terdapat dalam Asmaulhusna.

“Marilah kita tafakuri sifat Al-Ghaffar ini lebih dalam lagi. Kata Ghaffar terambil dari akar kata Ghafara yang artinya menutup. Allah Al Ghaffar, Allah Maha Menutupi. Lantas apakah yang Allah tutup?” Ujarnya.

Ia lalu menjelaskan bahwa secara umum orang mengartikan Al Ghaffar dengan makan bahwa Allah Swt. menutupi dosa hamba-hamba-Nya, yakni mengampuninya.

Ada juga yang menerangkan bahwa Al-Ghaffar terambil dari akar kata Ghafara yang adalah sejenis tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat dari suatu penyakit. Apabila memakai pendekatan, maka arti dari Al Ghaffar adalah bahwa Allah Swt. mengobati penyakit-penyakit kejiwaan manusia.

Imam Al-Ghazali memiliki pandangan yang lebih luas tentang sifat Allah Al Ghaffar. Menurut beliau, Allah menutupi, banyak yang Allah tutupi yang mana kesemuanya itu menjadi kemaslahatan untuk umat manusia.

Maksudnya adalah antara lain Allah Swt. menutupi sisi dalam organ tubuh manusia sehingga tidak terlihat kekotoran-kekotoran yang ada di balik perut kita ini. Kalau kekotoran itu terlihat maka tentu alangkah buruknya.

Yang kedua, menurut penjelasan Imam Al Ghazali, Allah Swt. menutupi isi hati seseorang. Jika saja orang lain mengetahui isi hati kita yang kebetulan sedang ada rasa benci terhadap seseorang, maka tentu betapa repotnya hidup ini. Namun, Allah Swt. menutupi isi hati kita sehingga orang lain tidak tahu apa yang ada di dalam hati kita.

Yang ketiga, Allah Swt. menutupi kesalahan-kesalahan manusia. Alangkah banyaknya orang yang berdosa di dunia ini, alangkah banyaknya orang yang berbuat maksiat, tetapi Allah Swt. menutupi aib-aib itu.

Menurut Quraish Shihab, ada lagi pemaknaan Al Ghaffar yang keempat, yaitu Allah Swt. menutupi kesedihan-kesedihan manusia dengan datangnya hari-hari pengganti yang menggantikan hari-hari kesedihan tersebut.

Sehingga, lambat laun, kita mampu beranjak dari kesedihan itu kepada kegembiraan yang baru, bahkan kita berhasil melupakan kesedihan itu. Jika saja Allah tidak menutupi hari-hari kesedihan kita, atau Allah biarkan kita terus-menerus berada dalam kesedihan maka tentu hidup ini terasa sengsara.

“Allah Swt. menutupi keburukan kita adalah kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri. Allah Swt. tutupi dosa-dosa adalah kesempatan bagi kita untuk bertaubat. Allah Swt. tutupi kesedihan kita adalah kesempatan bagi kita untuk tidak berputus asa terhadap pertolongan-Nya. Dialah Allah, Al Ghaffar.” Pungkasnya mengakhiri penjelasan tentang Al-Ghaffar.[]

BINCANG SYARIAH

Korban Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 Termasuk Syahid, Mengapa?

Berita duka kembali datang menghampiri negara Indonesia. Belum selesai dengan kasus wabah yang melanda, kini muncul berita baru mengenai jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182. Pesawat ini jatuh di kepulauan Seribu pada tanggal 9 Januari 2021. Mengenai korban yang terjatuh apakah termasuk kategori mati syahid?

Kategori syahid yang sering kita dengar adalah seseorang yang mati karena membela agama islam. Namun, jika syahid hanya berlaku kepada orang yang berperang saja niscaya sedikit sekali umat nabi Muhammad SAW yang masuk dalam kategori syahid. Hal ini sebagaimana hadis yang tercantum dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir al-Thabrani juz 11 halaman 263,

 عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه و سلم قال يوما لأصحابه : ما تعدون الشهداء فيكم ؟ قالوا : من يقتل في سبيل الله صابرا محتسبا مقبلا غير مدبر شهيد قال : إن شهداء أمتي إذن لقليل المقتول في سبيل الله شهيد والمرء يموت على فراشه في سبيل الله شهيد والمبطون شهيد واللديغ شهيد والغريق شهيد

Artinya : “Dari Ibnu abbas sesungguhnya Nabi SAW bertanya kepada sahabatnya di suatu hari ‘Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?’ Mereka menjawab ’ Muslim yang gugur di medan perang dalam keadaan sabar itulah syahid ya Rasulullah’.’Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.’ jawab Nabi SAW. Beliau lalu bersabda ‘Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah juga syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, orang yang mati karena digigit syahid, orang yang tenggelam adalah syahid

Dalam hadis yang diiriwayatkan oleh Abu Hurairah nabi mengklasifikasi syahid menjadi lima macam,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” الشهداء خمسة : المطعون والمبطون والغريق وصاحب الهدم والشهيد في سبيل الله ” متفق عليه

Para syahid itu ada lima yaitu orang yang kena wabah (thaun) orang yang mati karena sakit perut, orang yang tenggelam, korban yang tertiban reruntuhan, dan orang syahid di jalan Allah. ” (Riyadus shalihin li abi zakariya al-Dimisqy juz 2 halaman 45)

Melihat dari beberapa redaksi hadis diatas dapat diketahui bahwa syahid tidak hanya tertentu pada orang yang berperang di jalan Allah. Orang yang terkena wabah, orang yang mati karena kecelakaan, dan orang yang terkena bencana juga masuk dalam kategori syahid. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa korban pesawat jatuh sriwijaya juga masuk dalam kategori syahid.

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim Li al-Nawawi membedakan antara orang yang syahid karena berperang dan lainnya dalam hal penanganan jenazahnya. Orang yang syahid karena kecelakaan mendapatkan pahala sebagaimana orang yang berperang di jalan Allah tetapi jenazahnya tetap dimandikan dan disalati berbeda dengan orang yang mati karena berperang. Hal ini sebagaimana dalam keterangan beliau,

قال العلماء المراد بشهادة هؤلاء كلهم غيرالمقتول في سبيل الله انهم يكون لهم في الآخرة ثواب الشهداء وأما في الدنيا فيغسلون ويصلى عليهم

Berpendapat segolongan ulama ‘Orang yang syahid bukan lantaran berperang akan mendapatkan pahala orang yang mati syahid. Namun, jenazahnya tetap dimandikan dan disalati’.”

Semoga korban pesawat Sriwijaya Air SJ 182 mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah dan dikumpulkan bersama orang-orang yang syahid di jalan Allah. Amin

BINCANG SYARIAH

Tingkatan Keutamaan para Nabi dan Rasul

Sebagian Nabi lebih utama dibandingkan dengan Nabi yang lain

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan adanya tingkatan keutamaan di antara para Nabi dan Rasul. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 253)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَى بَعْضٍ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain). Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. Al-Isra’ [17]: 55)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Rasul itu lebih utama daripada para Nabi. Dan di antara para Rasul, yang lebih utama adalah Rasul ulul ‘azmi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5: 87)

Oleh karena itu, keutamaan para Nabi itu bertingkat-tingkat. Sebagian Nabi itu lebih utama dibandingkan Nabi yang lain.

Mengkompromikan dalil yang menunjukkan adanya larangan untuk melebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain

Terdapat beberapa hadits yang tampaknya menunjukkan larangan melebih-lebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini.

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bermajelis. Tiba-tiba seorang Yahudi datang seraya berkata, “Wahai Abu Al-Qasim, seorang sahabatmu telah memukul wajahku.” Lalu dia menyebutkan seseorang dari kalangan Anshar.

Maka beliau berkata, “Panggillah.” Kemudian beliau bertanya, “Apakah benar kamu memukulnya?”

Orang itu berkata, “Aku mendengar di pasar dia bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa untuk seluruh manusia.” Aku katakan, “(Apakah kamu bermaksud untuk mengatakan) “Aku benci Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka kemarahanku memuncak lalu aku pukul wajahnya.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ العَرْشِ، فَلاَ أَدْرِي أَكَانَ فِيمَنْ صَعِقَ، أَمْ حُوسِبَ بِصَعْقَةِ الأُولَى

“Janganlah kalian banding-bandingkan (lebihkan) sesama para Nabi. Karena nanti saat seluruh manusia dimatikan pada hari kiamat, akulah orang yang pertama kali dibangkitkan dari bumi. Namun saat itu di hadapanku telah ada Musa ‘alaihis salam yang sedang berpegangan pada salah satu tiang ‘Arsy. Dan aku tidak tahu apakah dia termasuk orang yang dibangkitkan (lebih dahulu) atau termasuk orang yang dihisab (sehingga diselamatkan) dengan hari kegoncangan yang pertama?” (HR. Bukhari no. 2412)

Demikian pula dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ

“Janganlah kalian banding-bandingkan (lebihkan) sesama para Nabi.” (HR. Muslim no. 2374)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ أَنَا خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتَّى

“Tidak sepatutnya seorang hamba berkata, aku lebih baik dari Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari no. 3395)

Terdapat beberapa penjelasan dari para ulama dalam mengkompromikan hadits-hadits di atas dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sebagian Nabi atau Rasul itu lebih utama dibandingkan dengan Nabi atau Rasul yang lain. Di antara penjelasan yang paling bagus adalah,

Pertama, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak melebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain adalah apabila hal itu kemudian menyebabkan seseorang merendahkan atau melecehkan kedudukan sebagian Nabi tersebut.

Kedua, larangan tersebut lebih karena sisi ketawadhu’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini jelaslah bahwa sebagian Nabi atau Rasul memang Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dibandingkan dengan Nabi atau Rasul yang lain.

Jadi, kita meyakini bahwa Nabi yang paling utama dan mulia adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para Rasul yang termasuk dalam ulul ‘azmi, yaitu yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzab [33]: 7)

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa.” (QS. Asy-Syuura [42]: 13)

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 27 Jumadil Ula 1442/11 Januari 2021

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD

Artikel: Muslim.or.id

Permintaan Umar bin Khattab Kepada Nabi Muhammad Soal Dakwah

Umar bin Khattab RA, ketika ia memeluk Islam, beliau membujuk Nabi untuk dakwah terbuka sebab ia meyakini bahwa Islam merupakan ajaran yang baik dan benar berasal dari Allah SWT.

Pakar Ilmu Tafsir, Prof Quraish Shihab, dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, bahkan Islamnya Umar mengundang keikutsertaan sekian banyak pemeluk Islam baru. Sehingga hal ini semakin membuat kaum Quraisy kebakaran jenggot. Apalagi setelah keislaman mereka efek Islamnya Umar, kaum Muslim telah lebih berani melaksanakan shalat di Ka’bah.

Maka demikian, Umar bertanya kepada Nabi Muhammad: “Bukankah kita dalam kebenaran, baik kita hidup maupun kita mati?”. Nabi pun menjawab: “Benar. Kalian dalam kebenaran, baik mati ataupun hidup,”.

Mendengar hal itu, Umar bertanya lagi: “Jika demikian, mengapa kita bersembunyi? Mengapa kita menyembunyikan agama kita padahal kita dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan?”. Nabi pun menjawab lagi: “Kita masih sedikit, engkau lihat sendiri bagaimana kita (umat Islam) diperlakukan,”.

Kemudian Umar menjawab: “Demi Allah yang mengutusmu, tidak ada satu tempat yang aku pernah duduki di sana dalam kekufuran, kecuali aku akan duduk lagi di sana dalam keimanan,”.

Maka atas desakan Umar, Nabi Muhammad dan kaum Muslimin keluar menuju Masjid Al-Haram dalam dua barisan. Satu barisan di barisan Sayyidina Umar, dan barisan kedua di barisan Hamzah. Maka ketika mereka memasuki Masjid Al-Haram, kaum musyrik terperanjat dan sangat bersedih melihat dua orang tokoh yang disegani itu masuk Islam.

Di Masjid Al-Haram itu jugalah, Nabi Muhammad SAW memberikan gelar Al-Faruq kepada Umar karena sikapnya. Yakni yang mampu memisahkan (membedakan) antara yang hak dengan yang batil. Kala itu, usia Sayyidina Umar diperkirakan baru menginjak 26 tahun.

IHRAM

Bertakwalah dan Damaikan Perselisihan

Allah Swt Berfirman :

يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَنفَالِۖ قُلِ ٱلۡأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.Al-Anfal:1)

Ayat ini menjelaskan perselisihan yang terjadi di antara kaum muslimin setelah perang badar. Karena di waktu itu ada perselisihan tentang pembagian harta rampasan perang.

Ayat ini memberi contoh bagaimana kita harus mendahulukan takwa dan berupaya untuk mendamaikan ketika terjadi perselisihan dan konflik.

Perselisihan itu memang pasti ada, bahkan tak jarang kita berselisih dalam urusan agama. Kita harus sadari bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang biasa, namun seringkali perbedaan pendapat itu membuat kita emosi dan bersikap buruk. Kita lupa bahwa perselisihan dan sikap yang buruk itu lebih besar dosanya disisi Allah dari hal-hal yang sedang kita perdebatkan.

Dalam perselisihan, setiap orang ingin memenangkan pendapatnya. Akhirnya mereka mengorbankan persaudaraan, rela menyakiti dan berbuat tak pantas hanya demi menjadi “pemenang”.

Padahal seringkali yang diperselisihkan adalah hal-hal remeh yang tak terlalu penting, tapi hawa nafsu membuatnya merusak segalanya.

Nah, disini Islam memberikan solusi yang paling tepat untuk masalah ini. Islam memiliki suatu pondasi utama yang tidak boleh didahulukan dengan yang lain ketika menghadapi perselisihan.

Pondasi utama tersebut adalah takwa, kasih sayang dan mendamaikan antar saudara. Perkara-perkara ini harus kita dahulukan dari semua masalah yang ada, bahkan dalam contoh di atas, urusan pembagian harta rampasan perang tidak lebih penting dari tiga hal ini.

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ

“Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.”

Maka Al-Qur’an mengajari solusi dari banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari. Seakan ayat ini sedang berkata kepada kita :

“Tinggalkan urusan pembagian harta rampasan perang, biarkan itu menjadi ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Tugas anda yang lebih penting adalah bertakwa dan memdamaikan antar kalian.”

Maka dalam setiap perselisihan jangan sampai tujuan kita adalah memenangkan pendapat kita dan mengalahkan pendapat orang lain. Karena seringkali masalah yang diperselisihkan tidak sebesar efek yang ditimbulkan dari perselisihan kita.

Jangan sampai kita keluar dari adab Islam hanya demi memenangkan pendapat dalam perselisihan. Merujuklah dengan akhlak Al-Qur’an. Karena Allah Swt Berfirman :

إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ

“Sungguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus.” (QS.Al-Isra’:9)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Akhlak Mulia, antara Tabiat (Bawaan) dan Usaha Manusia

Ada dua jalan meraih akhlak yang mulia: (1) secara tabiat (alamiah atau bawaan) memang dia memiliki akhlak mulia; dan (2) usaha keras untuk memiliki akhlak mulia. Yang pertama lebih afdhal daripada yang kedua, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mundzir Asyaj bin ‘Abdul Qais radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ، الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya Engkau mempunyai dua tabiat yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu santun dan sabar.”

Al-Mundzir bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمُ اللَّهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا؟

“Wahai Rasulullah, memang aku berakhlak demikian atau Allah yang memberikan itu kepadaku?”

Beliau menjawab,

بَلِ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا

“Allah yang memberikan itu kepadamu.”

Al-Mundzir berkata,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ

”Segala puji milik Allah yang telah memberiku dua tabiat yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 17, Abu Dawud no. 5225, dan At-Tirmidzi no. 2011)

Ketika akhlak mulia itu sudah menajadi tabiat (bawaan), maka akan sulit hilang dari diri seseorang. Berbeda halnya dengan akhlak mulia sebagai hasil dari usaha dan latihan, yang terkadang akan hilang dalam beberapa kesempatan. Hal ini karena dia membutuhkan usaha ekstra, kerja keras, dan butuh selalu diingatkan.

Seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, berilah aku nasihat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,

لَا تَغْضَبْ

“Jangan marah.”

Orang tersebut mengulangi beberapa kali. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan,

لَا تَغْضَبْ

“Jangan marah.” (HR. Bukhari no. 6116 dan At-Tirmidzi no. 2020)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Orang yang paling kuat bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan oleh orang lain. Tetapi orang yang paling kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika dia sedang marah.” (HR. Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609)

Salah satu akhlak mulia adalah ketika seseorang bisa menguasai diri ketika sedang marah. Dia tidak memperturutkan amarahnya. Akan tetapi, dia berusaha menghilangkan amarahnya dengan segera berlindung kepada Allah Ta’ala dari godaan setan yang terkutuk.

Kiat-kiat meraih akhlak mulia

Seseorang haruslah berusaha keras untuk meraih akhlak mulia, yaitu dengan berlatih dan bersungguh-sungguh dalam mewujudkannya. Seseorang dapat meraih akhlak mulia melalui beberapa jalan, di antaranya:

Pertama, dengan merenungi Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seseorang merenungi dalil-dalil yang menunjukkan pujian terhadap akhlak mulia yang dia inginkan untuk bisa mewujudkannya. Karena ketika seorang mukmin melihat ada dalil yang memuji suatu akhlak atau perbuatan, tentu dia akan terdorong dan termotivasi untuk mewujudkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat tentang hal ini dalam sabda beliau,

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ، وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ، كَحَامِلِ الْمِسْكِ، وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Hanyalah perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk itu ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak wangi atau Engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak, Engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) akan mengenai (membakar) pakaianmu. Dan kalaupun tidak, Engkau tetap mendapatkan bau asap yang tidak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Kedua, berteman dengan orang-orang yang memiliki akhlak mulia dan menjauh dari berteman dengan orang-orang yang memiliki akhlak buruk. Dia jadikan teman dengan akhlak mulia tersebut sebagai tempat latihan yang membantu dan menuntunnya agar memiliki akhlak mulia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah siapa yang menjadi sahabat kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4833 dan Tirmidzi no. 2378. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.)

Ketiga, merenungkan akibat jika memiliki akhlak yang buruk.

Dia harus senantiasa ingat bahwa orang dengan akhlak buruk akan dijauhi, dikucilkan dari pergaulan manusia, juga akan senantiasa disebut-sebut dan diingat dengan sebutan yang jelek. Oleh karena itu, jika seseorang merenungkan akibat dari akhlak yang buruk, tentu dia akan berusaha untuk menjauhinya.

Keempat, senantiasa mengingat bagaimanakah kemuliaan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika seseorang senantiasa mengingat bagaimanakah akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik dan mulia, maka ringanlah jiwanya dan akhirnya akan terdorong untuk memiliki akhlak mulia.

Demikian pembahasan ini, semoga bisa menjadi bahan renungan dan diamalkan.

[Selesai]

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Artikel: Muslim.or.id