Ditangan-Mu Semua Menjadi Baik

Allah Swt Berfirman :

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Ali ‘Imran:26)

تَبَٰرَكَ ٱلَّذِي بِيَدِهِ ٱلۡمُلۡكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

“Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Mulk:1)

فَسُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيۡءٖ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ

“Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS.Ya-Sin:83)

Renungkan tiga ayat di atas perlahan-lahan.

Jika ditangan-Nya semua menjadi baik…

Jika segala sesuatu dibawah Kuasa-Nya…

Jika segala sesuatu bergantung pada Ketentuan-Nya…

Lalu mengapa kita mengeluh kepada sesama hamba ?

Mengapa kita mengharap pertolongan dari mereka ?

Mengapa kita menjulurkan tangan berharap belas kasih dari hamba ?

Kita adalah makhluk yang lemah, lalu mengapa kita bersandar kepada sesama makhluk yang sama-sama lemah ?

Putuskan harapanmu dari semua makhluk dan hadapkan hatimu hanya kepada-Nya. Karena Dia lah Sang Maha Kuasa dan Sang Maha Kuat yang mencintaimu dan peduli padamu melebihi siapapun.

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Mimpi Bertemu Rasulullah dan Hukum-hukum Berkenaan dengan Hal Itu

 JIKA seseorang mengalami bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ, apakah yang ia lihat harus sesuai dengan bentuk dan sifat-sifat beliau? Dan apakah yang disampaikan dalam mimpi itu wajib itu wajib untuk diamalkan? Para ulama telah menjelaskan hal itu semua.

Adapun perkara bertemu dengan Rasulullah ﷺ dalam mimpi, merupakan hal yang mungkin, sebagaimana tercantum dalam Hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي» (رواه البخاري: 6993, 9/ 33)

Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata,”Aku telah mendengar bahwasannya Nabi ﷺ bersabda,’Barang siapa telah melihatku di waktu tidur (mimpi) maka ia akan melihatku tatkala terjaga, dan syaitan tidak mampu menyerupakan diri terhadapku.’” (Riwayat Al Bukhari: 6993, 9/33)

Apakah Harus Sesuai dengan Sifat Rasulullah?

Sedangkan Ashim bin Kulaib mengisahkan, bahwasannya ayahnya suatu saat menyatakan kepada Ibnu Abbas bahwasannya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ atkala Ibnu Abbas bertanya mengenai ciri-ciri yang ia lihat, ia menyebutkan ciri-ciri Hasan bin Ali. Maka Ibnu Abbas pun berkata,”Engkau telah melihatnya.” ( dalam Fath Al Bari, 12/383)

Namun, ada khabar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abu Ashim dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda, ”Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka ia telah melihatku, sesungguhnya aku dinampakkan dalam setiap bentuk.” Ibnu Hajar menghukumi khabar ini sebagai khabar yang sanadnya dhaif. (dalam Fath Al Bari, 12/383).

Nah, apakah kalau mimpi bertemu Rasulullah ﷺ harus sesui dengan sifat yang dimiliki oleh beliau?

Ada ulama yang berpendapat bahwasannya mimpi bertemu dengan Rasululullah ﷺ  harus sesuai dengan sifat-sifat Rasulullah ﷺ di saat beliau wafat. Pendapat ini dikomentari oleh Ibnu Hajar,”Yang benar adalah hal itu bersifat umum, yakni seluruh kondisi beliau.” (dalam Fath Al Bari, 12/386).

Ibnu Sirin, ketika ada seseorang yang mengklaim bahwasannya ia bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ, maka ia mengatakan, ”Gambarkan kepadaku apa yang engkau lihat.” Jika gambaran itu tidak ia kenal, maka ia mengatakan, ”Engkau tidak melihatnya.” (dalam Fath Al Bari, 12/383).

Namun para ulama ada yang berpendapat bahwasannya bisa saja seseorang bertemu dengan Rasulullah ﷺ dalam mimpi. Namun dalam mimpi itu yang ia lihat berbeda dengan sifat-sifat beliau.

Ibnu Al Baqilani berkata, ”Terkadang seseorang melihat beliau dalam keadaan memiliki sifat yang berbeda dengan sifat beliau yang diketahui. Sebagaimana beliau berjanggut putih, dan bisa jadi dua orang melihat beliau di di suatau masa, di mana salah satunya berada di timur dan lainnya berada di barat. Dan keduanya melihatnya di tempatnya masing-masing.”  Lalu belau meneruskan, ”Adapun jika ia melihat tidak sesuai dengan sifatnya atau di dua tempat dalam satu waktu maka ia yang keliru terhadap sifatnya dan ia mengkhayal mengenai sifat itu berbeda dengan haikatnya. (dalam Syarh Shahih Muslim li An Nawawi, 15/25).

Qadhi Iyadh menyatakan bahwasannya ada kemungkinan arti sabda beliau, ”Maka ia telah melihatku sebenar-benarnya.” Yakni bahwasannya ketika orang yang bermimpi melihat beliau (Nabi ﷺ) sesuai dengan sifat beliau ketika hidup maka itu adalah mimpi yang benar, sedangkan ketika ia melihat sifat yang berbeda dengan bentuk beliau, maka itu adalah mimpi yang ditafsirkan. (dalam Fath Al Bari, 12/383).

Imam An Nawawi berkata, “Adapun yang shahih sesungguhnya ia melihatnya sebenar-benarnya, baik dengan sifatnya maupun tidak dengan sifatnya. Namun mimpi yang pertama tidak butuh untuk ditafsirkan sedangkan mimpi yang kedua butuh untuk ditafsirkan.” (dalam Fath Al Bari, 12/383).

Ibnu Abi Jamrah juga berkata, ”Barangsiapa melihatnya dengan bentuk yang baik, maka itu karena kebaikan diennya. Dan barangsiapa melihatnya dengan kekurangan di anggota badan, maka itu adalah kekurangan bagi dien yang melihatnya. Ini adalah pendapat yang haq.” (dalam Fath Al Bari, 12/387).

Jika Bermimpi Bertemu Rasulullah dan Ada Perintah, Apakah Wajib Dilaksanakan?

Imam An Nawawi menyatakan bahwasannya mimpi bertemu Rasulullah ﷺ adalah mimpi yang haq. Namun hal itu tidak bisa dijadikan pijakan hukum syariat. Hal itu disebabkan bahwasannya syarat kesaksian dan diterimanya khabar dari seseorang adalah bahwasannya periwayat itu sadar, dan tidak dalam kondisi lalai, tidak pula buruk hafalan, tidak pula banyak kekeliruan, tidak pula ketepatan hafalannya bermasalah, sedangkan orang yang sedang kondisi tidur tidak memiliki sifat-sifat ini.

Namun, jika dalam mimpi itu Rasulullah ﷺ memerintahkan perkara sunnah, atau melarang perkara yang dilarang atau perkara yang terkandung maslahat, maka tidak ada khilaf mengenai kesunnahan untuk melaksanaknnya. Karena hal itu dilakukan bukan karena memimpi saja, namun karena ada perintah asalnya. (dalam Syarh Shahih Muslim li An Nawawi, 1/115).*

HIDAYATULLAH

Kisah Allah Memberikan Obat Sakit Gigi pada Nabi Musa

Musa AS adalah salah satu nabi Allah yang wajib diketahui dan di-imani oleh setiap orang mukalaf. Beliau, saudara kandung nabi Harun adalah anak dari bapak Imran dan ibu Yuhanidz.

Seperti dikutip dari kitab Nur az-Zholām karya Syekh Nawawi al-Bantani al-Jāwī, pada suatu ketika, Nabi Musa As. mengalami sakit gigi. Bersamaan dengan itu, beliau mengadu kepada Allah Swt. agar nyeri tersebut segera disembuhkan. Kemudian Allah memberikan obat sakit gigi pada Nabi Musa dengan berfirman, “Ambillah rumput fulaniyah (nama jenis dari rumput) dan letakkan pada gigi yang sakit itu.” Nabi Musa pun melakukan apa yang disarankan-Nya. Ternyata, dengan seketika, obat itu bereaksi dan nyeri sakit gigi menjadi hilang.

Selang beberapa waktu setelah itu, rupanya nyeri sakit gigi kambuh lagi. Beliau tak berpikir lama, langsung saja mengambil rumput yang sebelumnya sudah menjadi obat herbalnya untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut. Kemudian, ia meletakkan pada gigi yang sakit. Dan ternyata, malah bikin tambah nyeri, bahkan berkali lipat dari rasa sakit yang semula.

Kemudian, Nabi Musa As. berujar meminta tolong kepada Allah sembari berkata,

 إلهى ألستَ أَمرتَنى بهذا ودَلَلتَنى عليه

“Wahai Tuhanku, bukankah Engkau memerintahkan berobat menggunakan ini (rumput fulaniyah) sebelunya, dan bukankah Engkau yang memberi petunjuk terhadap obat ini.”

Lalu Allah berfirman kepada Nabi Saw. ,

يا مُوسى أنا الشّافى وأنا المُعافى وأنا الضارّ وأنا النافع قصدتَنى فى المرّة الأولى فأزَلتُ مرَضك والآن قصدتَ الحشيشة وما قصدتَنى

“Wahai Musa, Aku-lah Dzat yang menyembuhkan, yang memberi sehat, yang memberi bahaya dan yang memberi manfaat. Engkau bermaksud kepada-Ku pada saat sakit yang pertama, sehingga Aku menghilangkan rasa sakit itu. Sementara sekarang, engkau bermaksud kepada rumput itu (yang bisa menyembuhkan), bukan Aku.”

Kisah diatas juga dapat ditemukan dalam kitab tafsir al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah karya Syekh Sulaiman bin ‘Umar al-‘Ajali as-Syāfi’i atau lebih dikenal dengan nama Sulaiman al-Jamal.

Pelajaran atau hikmah yang bisa diambil adalah, sudah sepantasnya bagi seorang hamba yang sedang diuji dengan suatu penyakit untuk selalu berdoa (meminta bantuan kepada Allah), yang kemudian diikuti dengan usaha (ikhtiar) untuk sembuh yaitu dengan cara mencari obat atau konsultasi kepada dokter. Bahkan, dua anjuran ini seyogyanya juga dilakukan ketika menghadapi segala urusan. Bukan hanya berdiam diri dengan berdalih sedang bertawakal kepada Allah tanpa berusaha, atau disisi lain merasa bahwa satu-satu yang menyebabkan kesembuhan adalah obat itu sendiri yang hakikatnya adalah bagian dari ciptaan Allah Swt. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Memutus Bacaan Al Quran karena Ingin Berbicara

Soal

Pertanyaan terakhir dari sejumlah pertanyaan Muhammad Yahya Ghazawi di hari kamis, dia mengatakan, “Apakah boleh berbicara dengan orang lain ketika tengah membaca Al-Quran? Aku mengharapkan kebaikan dengan mendapat faedah dan semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada engkau wahai Syaikh.”

Jawab

Kami tidak mengetahui ada hal yang bermasalah di situ. Tidaklah kami mengetahui ada suatu larangan jika seseorang berbicara sedangkan dia dalam kondisi membaca Al Quran. Akan tetapi, apabila dia menyibukkan diri dengan bacaan Al Qurannya dan tidak menyibukkan diri dengan berbicara, tentu kondisi ini lebih utama. Sehingga dia dapat menghadirkan hatinya dengan banyak mentadaburi dan memikirkan bacaan Al Qurannya. Maka ini tentu lebih utama apabila memang tidak ada kebutuhan untuk berbicara.

Adapun jika ada kebutuhan untuk berbicara, maka tidak mengapa –insyaAllah– dia menghentikan bacaannya, lalu berbicara. Jika telah selesai, maka ia kembali melanjutkan bacaan Al Qurannya. Contohnya dalam kondisi menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya atau dalam kondisi diam dan menjawab panggilan azan ketika dia mendengarkan azan seorang muazin. Karena ini adalah sunahnya, sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menerapkan sunah-sunah ini dalam kehidupannya dan tidak bermalas-malasan dalam mempraktekkannya.

Apabila dia mendengarkan azan, kemudian diam, lalu menjawab azan seorang muazin, kemudian dia melanjutkan bacaan Al Qurannya, maka ini lebih utama. Demikian juga ketika menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya atau dia mendengarkan orang yang bersin kemudian mengucapkan alhamdulillah, lalu dia mendoakannya atau meminta tolong kepada keluarganya karena ada kebutuhan atau seseorang datang kepada mu karena ada kebutuhan, maka tidak baik untuk menolaknya, semua kondisi ini tidak mengapa baginya untuk menghentikan bacaan Al Qurannya. Adapun berbicara yang tidak ada kebutuhan di dalamnya, maka yang lebih utama adalah meninggalkannya sehingga dia tetap menyibukkan diri dengan membaca Al Quran, mentadaburi, dan memikirkan isi kandungannya, dikarenakan ini adalah yang diinginkan. Allah Ta’ala berfirman,

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الأَلْبَابِ

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran” (QS. Shad: 29).

Adapun berbicara tanpa ada kebutuhan dapat menyibukkan hati dan juga menghalangi dari mentadabburi Al Quran, maka lebih utama untuk meninggalkannya.

* * *
Sumberhttps://binbaz.org.sa/fatwas/7964

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id

Amalan yang Pertama Diajarkan kepada Mualaf

Hadits-Hadits Tentang Sholat Lima Waktu : Amalan Yang Pertama Diajarkan Kepada Orang Yang Baru Masuk Islam

HADITS AYAH ABU MALIK:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَسْلَمَ الرَّجُلُ كَانَ أَوَّلُ مَا يُعَلِّمُنَا الصَّلَاةَ أَوْ قَالَ: عَلَّمَهُ الصَّلَاةَ 

Dari Abu Malik (Sa’ad bin Thoriq bin Asy-yam) Al-Asy’ja’iy, dari ayahnya, ia berkata;
“Kebiasaan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, jika ada orang masuk agama Islam, pertama kali yang beliau ajarkan kepada kami adalah sholat”. Perowi berkata, atau dia berkata, “beliau mengajarinya sholat”.
(HR. Al-Bazzar di dalam Al-Musnad, no. 2765. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shohihah, no. 3030)

HADITS FADHOLAH AL-LAITSIY:

عَنْ فَضَالَةَ اللَّيْثِيِّ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمْتُ، وَعَلَّمَنِي حَتَّى عَلَّمَنِي الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ لِمَوَاقِيتِهِنَّ قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ لَسَاعَاتٌ أُشْغَلُ فِيهَا، فَمُرْنِي بِجَوَامِعَ، فَقَالَ لِي: إِنْ شُغِلْتَ فَلَا تُشْغَلْ عَنِ الْعَصْرَيْنِ قُلْتُ: وَمَا الْعَصْرَانِ؟ قَالَ: «صَلَاةُ الْغَدَاةِ، وَصَلَاةُ الْعَصْرِ

Dari Fadholah Al-Laitsiy, ia berkata; Saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu saya  masuk agama Islam. Kemudian beliau mengajariku, sehingga beliau mengajariku shalat lima waktu beserta waktu-waktunya.
Maka saya pun berkata kepada beliau, “Sesungguhnya waktu-waktu ini merupakan saat-saat sibuk. Karena itu, perintahkanlah kepadaku dengan amalan-amalan yang (pahalanya; nilainya) menyeluruh.”
Maka beliau pun bersabda kepadaku: “Jika kamu benar-benar sibuk, maka jangan sampai kamu tersibukkan dari dua waktu.”
Saya bertanya, “Apakah kedua waktu itu?”
Beliau menjawab: “Yaitu, shalat subuh dan shalat Ashar.”
(HR. Ahmad, no. 19024, dan ini lafazhnya; Abu Dawud, no. 1813. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shohihah, no. 3030)

FAWAID HADITS:

Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits-hadits ini, antara lain:

• Kedudukan sholat di dalam agama Islam, karena sholat adalah amalan yang pertama kali diajarkan kepada orang yang baru masuk Islam.

• Pentingnya belajar tata cara sholat dan syarat-syarat sahnya, termasuk waktu-waktu sholat.

• Sebaiknya melakukan sholat lima waktu di awal waktu dan berjamaah di masjid. Jika benar-benar sibuk, maka sholat subuh dan ashar hendaklah dikerjakan di awal waktu dan berjamaah. (Lihat Silsilah Ash-Shohihah, no. 3030)

• Kedudukan sholat Subuh dan shalat Ashar dibandingkan dengan yang lain, sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perhatian yang lebih.

• Allah tidak membebani hamba-Nya dengan ibadah kecuali sesuai dengan kemampuannya.

• Hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam memberikan pengajaran kepada umatnya.

• Kemudahan ajaran agama Islam, namun orang tidak boleh menyepelekannya.

Inilah sedikit penjelasan tentang hadits-hadits yang agung ini. Semoga Alloh selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju ridho dan surga-Nya yang penuh kebaikan.

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Jum’at, 23 Muharrom 1442 H/ 11 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Sepuluh Adab dalam Menuntut Ilmu

Seseorang murid atau pencari ilmu atau yang sedang dalam proses menuntut ilmu, agar yang dicarinya bisa dipahami dan dicapai serta menjadi barokah maka harus mempunyai adab dalam mencari ilmu.

Dalam kitab Mustakhlis Tazkiyah an-Nafs, Said Hawa menerangkan tentang adab dan tugas yang harus dilakukan oleh seorang murid dalam menuntut ilmu. Mengapa beradab itu penting? Sebab, ilmu tanpa adab sama saja sia-sia. Proses menuntut ilmu yang dilakukan hanya menjadi kesia-siaan semata.

Pertama, seorang murid mesti menyucikan jiwanya dari akhlak yang tercela saat akan mencari ilmu. Hal ini dimaksudkan agar ada niat yang benar-benar tulus untuk menuntut ilmu sebagai upaya untuk menghilangkan kebodohan.

Jika akhlak tercela masih menyelimuti jiwa sang murid, maka ilmu akan sulit masuk pada dirinya. Mengapa demikian? Sebab, ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa dan peribadatannya batin pada Allah Swt.

Kedua, seorang murid dianjurkan untuk mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia. Kesibukan dunia akan menjadikan seseorang lebih sibuk dengan dunia dan memalingkannya dari ilmu. Jika pikiran terpecah, maka seorang murid tidak akan bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada.

Oleh karena itu, ada sebuah adagium yang berbunyi: “Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya, sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu. Jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya, tapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu, maka kamu sedang dalam bahaya.”

Pikiran yang bercabang saat sedang menuntut ilmu bisa dikarenakan berbagai hal. Pikiran bagaikan sungai kecil yang airnya bercabang kemana-mana, sehingga sebagiannya dengan mudah diserap tanah dan sebagian lagi dihirup udara. Sehingga, tidak ada yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman yang utama.

Ketiga, para penuntut ilmu mesti bersikap tawadhu’ dan tidak sombong. Sikap tawadhu’ ini juga berlaku untuk orang yang bodoh atau orang yang berilmu. Para penuntut ilmu juga tidak boleh sewenang-wenang kepada sang guru, meskipun tingkat keilmuan sang guru berada di bawah sang murid.

Ilmu enggan takluk kepada pemuda yang congkak, sebagaimana banjir enggan berada di tempat tinggi. Oleh karena itu, seorang murid mesti mendengarkan nasehat-nasehat dari gurunya dan patuh kepadanya.

Keempat, orang yang sedang mencari atau menekuni ilmu pada tahap awal sudah semestinya menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia. Baik itu ilmu yang ditekuni tersebut ilmu dunia atau bisa juga ilmu akhirat. Hal tersebut akan membingungkan akal dan pikiran, serta akan membuat putus asa seseorang untuk melakukan kajian dan tela’ah yang mendalam terhadap ilmu.

Kelima, adab dalam menuntut ilmu selanjutnya adalah bagi para penuntut ilmu mestinya tidak meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji atau salah satu jenis ilmu. Sebab, ilmu pengetahuan akan saling mendukung dan terkait antara satu dengan lainnya. Maka, dalam menuntut ilmu, manusia tidak dianjurkan untuk membenci satu cabang ilmu meskipun ilmu tersebut sangat sulit dipelajari.

Keenam, seorang murid tidak dianjurkan untuk menekuni semua bidang keilmuan secara sekaligus. Tapi, menekuni sesuai urutan dan dimulai dengan yang paling penting.

Hal ini akan membuat ketidakfokusan dan pemahaman terhadap ilmu yang setengah-setengah, serta bisa menimbulkan pemahaman yang salah. Sebab, tidak mungkin juga seseorang menekuni semua bidang keilmuan, sebab ilmu itu begitu luas sedangkan umur manusia begitu terbatas.

Ketujuh, penuntut ilmu tidak dianjurkan untuk memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Sebab, ilmu telah tersusun secara berurutan, dan sebagiannya adalah jalan bagi sebagian yang lain. Orang yang mendapat taufiq dalam menuntut ilmu adalah orang yang menjaga urutan dan tahapan yang telah ada.

Kedelapan, dalam menuntut ilmu, sudah semestinya penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab seseorang bisa mengetahui ilmu yang paling mulia. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang bisa membawa manfaat untuk sesama, baik itu ilmu dunia atau juga ilmu akhirat.

Kesembilan, tujuan menuntut ilmu semestinya adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan ilmu. Tujuan menuntut ilmu di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan para makhluk ciptaan-Nya yang mempunyai derajat tinggi.

Maka dari itu, dalam menuntut ilmu, para murid tidak dianjurkan untuk mempunyai tujuan tak terpuji seperti untuk mendapatkan kekuasaan, harta, pangkat, atau mengelabuhi orang-orang bodoh, atau membanggakan diri kepada sesama orang berilmu.

Kesepuluh, adab dalam menuntut ilmu yang terakhir adalah hendaknya mengetahui kaitan ilmu dengan tujuannya agar bisa mengutamakan yang lebih tinggi ketimbang yang rendah, dan yang lebih penting daripada yang lainnya. Perlu dicatat, ilmu yang dipelajari tersebut mesti mampu membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.[]

BINCANG SYARIAH

Lakum Dinukum Waliyadin

Akhir-akhir ini kita seringkali mendengar perkataan toleransi yang cenderung terkesan menghilangkan batasan-batasan yang telah diatur oleh syariat islam. Ingin menyatukan semua agama dalam kata saudara kenegaraan, namun lupa atau sengaja lupa bahwa ada aturan yang telah ditetapkan dalam islam, yang para ulama menamakannya wala’ dan bara’ (الولاء والبراء), kepada siapa kita boleh atau tidaknya memberikan loyalitas.

Dan lebih lucunya lagi ketika “oknum-oknum” tersebut berdalil dengan firman Allah ﷻ dalam surat al-kafirun:

لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ  

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. Al-kafirun :6).

Mereka berdalil dengan ayat tersebut untuk memproklamirkan kebebasan dalam beragama, dan seringkali membuat mereka mempromosikan sebuah perkataan bahwasanya setiap agama itu baik, cuma berbeda cara. Sehingga kita mendengar perkataan, mengucapkan dan merayakan natal tidak akan menganggu keimanan.

Mereka lupa atau memang tidak tahu esensi dari surat al-kafirun tersebut. Padahal jikalau kita mau belajar dan mencoba membuka tafsir para ulama, kita akan mendapati ayat-ayat pada surat al-kafirun tersebut malah menjelaskan hakikat dan konsekwensi dari ketauhidan seorang mukmin, yaitu dengan berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan, dan itu berarti membantah syubhat mereka sendiri.

Dalam tafsir imam Thabari disebutkan bahwa sebab Allah ﷻ menurunkan surat ini adalah karena kaum musyrikin dahulu memberikan penawaran kepada rasulullah ﷺ agar mereka bersatu dalam peribadatan, kaum musyrikan akan menyembah Rabb nabi Muhammad ﷺ selama setahun, namun tahun depannya, mereka bersama rasulullah ﷺ menyembah berhala-berhala jahiliyyah.
Maka, Allah ﷻ pun menurunkan firmanNya dalam surat al-kafirun, yang mana Allah ﷻ memerintahkan nabi Muhammad ﷺ untuk menjelaskan kepada mereka bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi, karena tidak mungkin bisa tauhid dipertemukan dengan kesyirikan, dan alhaq dengan kebatilan.
(Lihat tafsir Thabari : 24/702).

Imam Ibnu Katsir menukilkan pendalilan Imam Syafi’I dengan ayat ini, bahwasanya:

إن الكفر كله ملة واحدة تورثه  اليهود من النصارى، وبالعكس؛ إذا كان بينهما نسب أو سبب يتوارث به؛ لأن الأديان -ما عدا الإسلام-كلها كالشيء الواحد في البطلان.

“semua bentuk kekufuran adalah satu ajaran yang diwarisi yahudi dari nashrani begitupun sebaliknya. Antara keduanya ada hubungan nasab dan saling mewarisi. Karena semua agama, selain islam, semuanya seperti satu kesatuan dalam kesesatan.”
(Tafsir Ibnu Katsir : 8/508).

Hanya agama islam yang berjalan di atas tauhid, dan semua agama selain islam berjalan diatas kesyirikan dan kesesatan.

Syaikh As – Sa’di berkata ketika menafsirkan ayat:

لا أعْبُدُ ما تَعْبُدُونَ

“ Aku tidak akan menyembah berhala yang kalian sembah”

تبرأ مما كانوا يعبدون من دون الله، ظاهرًا وباطنًا

“Berlepas dirilah dari semua yang mereka sembah selain Allah, baik secara zhahir maupun secara bathin.”
(Tafsir Assa’dy hal. 936).

Begitu pula perkataan syaikh Amin As-Syinqithi dalam membantah orang yang mengatakan kebebasan beragama dengan berdalilkan surat ini:

وليس في هذا تقريرهم على دينهم الذي هم عليه، ولكن من قبيل التهديد والوعيد: كقوله

“Ayat ini bukanlah bentuk persetujuan kebenaran agama mereka, namun sebagai bentuk ancaman. Ini serupa dengan firmanNya:

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ….  ٢٩

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…….
( QS. Al-kahfi : 29).

Sehingga, pada asalnya surat al-kafirun adalah bantahan untuk orang yang meyakini kebebasan beragama, ataupun yang berpegang kepada toleransi tanpa batas, karena surat ini mengajarkan untuk berlepas diri secara total dengan segala ajaran yang bertentangan dengan tauhid.

Dalam ayat lain, lebih tegas lagi Allah ﷻ berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ٢٢

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”
(QS. Al-mujadilah : 22).

Tidak berloyalitas bukan berarti menganggu, menyakiti ataupun menzhalimi.

Islam adalah agama yang sempurna dan penuh dengan kebaikan, sekalipun kita dituntut untuk tidak berloyalitas alias berlepas diri secara total dari kesyirikan dan orang yang berbuat kesyirikan, namun kita tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan kezhaliman, Allah ﷻ berfirman:

وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-maidah : 8).

Begitu pula islam tidaklah melarang umatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang musyrik selama mereka tidak memerangi kaum muslimin, Allah ﷻ berfirman:

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Mumtahinah : 8).

Bahkan, Allah ﷻ melarang kita untuk membunuh orang kafir yang berada di wilayah kaum muslimin ataupun yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin, dan Allah mengancam pelakunya dengan keras, rasulullah ﷺ bersabda:

من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة، وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما

“Siapa yang membunuh seseorang yang memiliki perjanjian (dengan kaum muslimin), maka dia tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga bisa tercium sejauh 40 tahun perjalanan”.
(HR. Bukhari : 6914).

Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, kita dilarang untuk mengganggu orang-orang kafir, namun jangan sampai pula hal tersebut membawa seseorang melewati rambu-rambu yang sudah ditetapkan dalam syariat.

Disusun oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Rabu, 22 Jumadal Ula 1442 H/ 06 Januari 2021 M

BIMBINGAN ISLAM

Keistimewaan para Rasul (Bag. 2)

Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan lima poin keistimewaan para Rasul; diantaranya mendapatkan wahyu, Al-‘Ishmah, matanya tertidur namun hatinya tetap terjaga, mereka dimakamkan di tempat mereka meninggal, dan diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit. Silahkan simak pembahasan tersebut pada artikel Keistimewaan para Rasul (Bag. 1).

Pada penjelasan selanjutnya, akan kami lanjutkan poin keenam sampai kedelapan; diantaranya, jasad para nabi tidak bisa dimakan tanah, setiap nabi memiliki haudh (telaga), dan para nabi tetap hidup di kubur mereka. Silahkan menyimak ketiga ulasan berikut.

Keenam, jasad para nabi tidak bisa dimakan tanah

Dari sahabat Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

“Sesungguhnya hari Jumat adalah di antara hari-hari kalian yang terbaik. Maka perbanyaklah selawat kepadaku pada hari itu, karena sesungguhnya selawat kalian disampaikan kepadaku.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana selawat kami disampaikan kepadamu, sementara Anda telah meninggal?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan jasad para nabi atas tanah” (HR. Abu Dawud no. 1531 dan An-Nasa’i no. 1374, dinilai shahih oleh Al-Albani).

Ketujuh, setiap nabi memiliki haudh (telaga)

Dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوْضًا وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةً وَإِنِّي أَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً

“Sesungguhnya tiap-tiap nabi itu memiliki telaga, dan sesungguhnya mereka saling membangga-banggakan telaga siapakah di antara mereka yang paling banyak pengunjungnya. Dan sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling banyak pengunjungnya” (HR. Tirmidzi no. 2443).

Hadis ini diperselisihkan status sahihnya. Dan di antara ulama yang menilai hadis ini hasan adalah Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani Rahimahumullah. Sehingga kita katakan bahwa nabi-nabi yang lain juga memiliki telaga. Meskipun demikian, telaga yang paling istimewa adalah telaga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapatkan suplai air dari surga.

Kedelapan, para nabi itu tetap hidup di kubur mereka

Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون

“Para Nabi itu tetap hidup di kubur-kubur mereka, mereka shalat di dalamnya” (HR. Abu Ya’ala dalam Musnad no. 3425).

Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ

“Aku melewati Musa pada malam aku di isra’-kan, yaitu di samping bukit merah, beliau  sedang salat di dalam kuburnya” (HR. Muslim no. 2375).

Jika telah diketahui bahwa para nabi itu tetap hidup dalam kubur mereka berdasarkan dalil wahyu (dalil naql), hal itu pun bisa dikuatkan dari sisi logika. Hal ini karena para syuhada juga hidup (di dalam kuburnya) berdasarkan dalil dari Al Quran. Sedangkan kedudukan para nabi itu lebih tinggi daripada kedudukan para syuhada (Fathul Baari, 6: 488).

Meskipun demikian, tidak boleh bagi kita untuk meminta sesuatu dari mereka, meskipun mereka tetap hidup di kubur mereka. Karena hal ini tidak pernah dilakukan sama sekali oleh para salaf. Perbuatan itu termasuk sarana menuju kemusyrikan dan juga menujukan ibadah kepada mereka, selain kepada Allah Ta’ala.  Berbeda halnya meminta kepada para Nabi ketika mereka masih hidup di dunia, hal ini bukanlah sarana menuju kemusyrikan (Qa’idah Jalilah fi At-Tawassul wal Wasilah, hal. 289).

Kehidupan para nabi di alam kubur adalah kehidupan di alam barzakh, yang kita tidak mengetahui bagaimanakah hakikatnya. Hal itu termasuk perkara gaib yang tidak Allah Ta’ala kabarkan kepada kita. Sehingga, kehidupan mereka di alam kubur itu berbeda dengan kehidupan mereka di alam dunia.

Dalam masalah ini, terdapat sekelompok orang yang tersesat, karena mereka menyangka bahwa kehidupan para nabi di alam kubur itu sebagaimana kehidupan mereka di alam dunia. Hal ini bisa dibantah dari beberapa aspek:

Pertama, seandainya para nabi itu hidup di alam kubur sebagaimana hidupnya mereka di alam dunia, maka seharusnya mereka berada di atas bumi (di atas tanah), bukan di bawahnya. Ini adalah sunnatullah yang berlaku atas makhluknya, bahwa orang hidup di dunia itu berada di atas bumi, sedangkan orang yang sudah meninggal di bawah bumi.

Kedua, terjadi perselisihan pendapat di kalangan sahabat dalam beberapa masalah, demikian pula umat Islam setelah generasi sahabat. Demikian pula, berbagai bidah muncul sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya nabi itu hidup sebagaimana hidupnya di dunia, akan mudah bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berfatwa, menjelaskan kepada umat manakah yang sunah, dan manakah yang bidah, menjelaskan pekara manakah yang halal dan manakah yang haram.

Atau jika tidak demikian, maka ada kemungkinan yang lain, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu untuk berbicara atau tidak mampu menjawab pertanyaan. Atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu bangkit dari kuburnya. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari kesesatan semacam ini.

Ketiga, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa para rasul itu manusia biasa, mereka mati sebagaimana manusia juga mati. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)” (QS. Az-Zumar [39]: 30).

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 34).

Dan tidak terdapat dalil dari Al Quran dan As Sunnah bahwa mereka akan diutus kembali setelah meninggal dunia.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Orang yang Sudah Wafat Disebut Almarhum? Ini Makna Almarhum

Saat ada seorang muslim – boleh jadi kerabat atau kenalan kita, atau bukan siapapun – wafat, di Indonesia khususnya kita sering mendengar sebelum menyebut namanya dengan ungkapan Almarhum. Sementara, karena ungkapan tersebut juga merupakan kata berbahasa Arab, biasanya jika yang meninggal adalah perempuan, maka kata Almarhum ditambahkan ta’ marbuthoh di akhirnya sehingga menjadi al-Marhumah. Dalam bahasa Arab, huruf ta’ marbuthoh untuk kata nomina (al-ism) memang menjadi penanda nomina feminim (mu’annats). Tapi, adakah penjelasan mengapa orang yang sudah wafat disebut almarhum ?

Kata Almarhūm secara kebahasaan merupakan bentuk objek dari asal kata kerja rahima yang berarti kasih. Sehingga, kata Almarhūm atau Almarhūmah secara bahasa memiliki yang dikasihi atau yang disayangi oleh Allah Swt.

Lalu mengapa orang yang sudah wafat disebut sebagai almarhūm atau almarhūmah? Sebenarnya, ungkapan ini merupakan ungkapan yang menggambarkan harapan dari kita yang masih hidup agar seorang muslim yang wafat ini senantiasa dikaruniai rahmat oleh Allah Swt. di kehidupan setelah dunia. Bahkan, Nabi Saw. sangat fokus kepada pengajaran bahwa kematian pada hakikatnya merupakan kasih Allah Swt. kepada seluruh makhluk-Nya. Karena hakikatnya, kehidupan di alam dunia ini adalah kehidupan yang sementara dan bukan yang inti dari perjalanan kehidupan manusia. Agar seorang muslim mendapatkan rahmat-Nya kelak di alam akhirat, ia harus tetap menjadi seorang muslim sampai akhir hayatnya. Itu sebabnya, Nabi Saw. sampai bersabda,

لقنوا موتاكم بقول لا إله إلا الله

talqinlah jenazah di sekitar kalian dengan perkataan Lā Ilāha Illā Allāh (Tiada Tuhan Selain Allah).

Beberapa ulama ada yang berpendapat kalau menisbatkan kata al-Marhūm atau al-Maghfūr lahu yang masing-masing berarti yang dikasihi atau yang diampuni tidak diperbolehkan. Pasalnya, hal tersebut berarti memastikan bahwa sosok yang meninggal tersebut, laki-laki atau perempuan tersebut sudah pasti dikasihi atau diampuni oleh Allah Swt. Padahal, tidak ada yang mengetahui dengan pasti kalau seseorang itu benar-benar dikasihi atau diampuni kecuali hal tersebut benar-benar ditegaskan oleh Allah Swt. atau pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw. Sehingga pernyataan al-Marhūm itulah seolah seperti bersaksi kalau seseorang yang meninggal itu sudah pasti masuk surga, atau al-Maghfūr lah berarti pasti sudah pasti akan masuk neraka. Diantaranya yang berpendapat demikian diantaranya adalah Syekh Abdullah bin Baz, mantan Mufti Arab Saudi. Ia kemudian menjelaskan bahwa sebaiknya ungkapan yang digunakan bukan al-maghfūr lah atau al-marhūm, namun rahimahu Allāh atu ghofara Allāh, yang diantara maknanya adalah “semoga Allah senantiasa mengasihinya” dan ‘semoga Allah senantiasa mengampuninya. Namun, jika mengatakan al-maghfūr lah atau almarhūm tersebut hanya merupakan harapan atau doa agar yang meninggal mendapatkan ampunan atau kasih dari Allah Swt., maka menyebut almarhūm atau almaghfūr lahu boleh-boleh saja bahkan disunahkan karena bagian dari mendoakan sesama muslim.

Selain kita sendiri dalam shalat tahajud, atau doa-doa dalam shalat kita membaca doa agar mengampuni atau mengasihi sesama muslim baik yang masih hidup atau sudah wafat, dalam banyak riwayat Rasulullah Saw. sendiri mencontohkan bagaimana menunjukkan sikap kasihnya yang begitu kuat tidak hanya kepada yang hidup, tapi yang sedang menghadapi ajal atau sudah wafat. Salah satu kisahnya misalnya ketika Rasulullah Saw. mendatangi sakaratul maut salah seorang cucunya. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zayd,

كنا عند النبي إذ جاءه رسول إحدى بناته، يدعوه إلى ابنها في الموت، فقال النبي: «ارجع إليها فأخبرها أن لله ما أخذ وله ما أعطى، وكل شيء عنده بأجل مسمى، فمرها فلتصبر ولتحتسب»، فأعادت الرسول أنها قد أقسمت لتأتينها، فقام النبي وقام معه سعد بن عبادة، ومعاذ بن جبل، فدفع الصبي إليه ونفسه تقعقع، كأنها في شن، ففاضت عيناه، فقال له سعد: يا رسول الله ما هذا؟! قال: «هذه رحمة جعلها الله في قلوب عباده، وإنما يرحم الله من عباده الرحماء

“(Usamah bin Zayd berkata) Suatu ketika kami bersama Nabi Saw. saat ada utusan salah seorang anak perempuan Nabi Saw. (Zaynab), yang meminta agar Nabi Saw. menemui cucunya yang sedang mendekati ajal. Nabi Saw. lalu mengatakan kepada utusan itu: “kembalilah kepadanya dan katakan kalau Allah berhak mengambil dan memberi yang Dia mau. Seluruhnya disisi-Nya itu untuk sudah ditakdirkan. Pergilah, dan bilang agar ia sabar dan merenung.” Utusan itu kemudian kembali lagi menemui Rasulullah dan mengatakan kalau ia sudah bersumpah kepada yang mengutusnya untuk bisa membawa Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. pun pergi bersama Sa’ad bin ‘Ubadah dan Mu’adz bin Jabal. Lalu, anak itu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Lalu tubuh anak itu tiba-tiba bergetar seolah-olah ia sedang terkaget. (Anak itu lalu wafat) dan air mata Rasulullah Saw. basah. Sa’ad lalu bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasul, kenapa ini (kok engkau malah sedih) ?!” Rasulullah Saw. lalu bersabda: “ini (sesungguhnya) adalah rasa kasih yang Allah tetapkan di hati para hamba-Nya. Dan Allah sungguh sayang pada para hamba-Nya yang memiliki jiwa kasih.”

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 6)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 5).

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Penyebab perpecahan

Termasuk sebab terbesar perpecahan di tengah masyarakat adalah ketika sebagian kaum muslimin melanggar hak saudaranya yang seiman, dengan menodai kehormatannya, menuduhnya tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat, berprasangka buruk terhadapnya, menzaliminya, mengadu domba, dan memecah belah.

Ancaman bagi orang yang memusuhi wali Allah

Para ulama dan orang-orang saleh di sebuah masyarakat adalah orang-orang yang kita berprasangka baik bahwa mereka termasuk wali Allah yang dimaksud dalam hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya’” (HR. Al-Bukhari).

Saudaraku, perhatikanlah hadis mulia di atas – semoga Allah merahmati anda – bagaimana Allah membela wali-wali-Nya dan orang-orang yang dicintai-Nya serta menolong mereka. Di sisi lain, perhatikanlah bagaimana Allah mengancam orang yang memusuhi wali-wali-Nya dengan menyatakan peperangan kepadanya. Allah Ta’ala tidak akan membiarkan wali-wali-Nya tanpa pertolongan-Nya. Hanya saja, tentunya pertolongan dan pembelaan Allah terhadap wali-wali-Nya terkait erat dengan sunnah kauniyyah-Nya. Dan diantara sunnatullah adalah Allah tidak segera mengazab orang yang memusuhi wali-wali-Nya, tentunya Allah Maha Bijaksana dalam setiap keputusan-Nya.

Diantara hikmah tidak disegerakan azab bagi musuh-Nya adalah Allah beri kesempatan musuh tersebut untuk bertaubat. Maka jika ia bertaubat, Allah pun menerima taubatnya. Namun jika ia tetap bersikeras memusuhi wali-wali-Nya dan bahkan bertambah kezaliman dan kesewenang-wenangannya, maka Allah biarkan mereka bergelimang dalam kezaliman untuk sementara waktu, lalu pada saat tertentu Allah mengazabnya dengan azab yang keras. Ketika itulah Allah memenangkan wali-wali-Nya dan menjadikan musuh-musuh mereka jadi kalah dan hina dina.

Siapakah wali Allah itu?

Allah Ta’ala menyebutkan syarat seseorang sebagai wali Allah dalam firman-Nya,

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ٦٣

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS. Yunus: 62-63).

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata,

من كان مؤمناً تقيّاً ، كان لله وليّاً

“Barangsiapa yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali Allah.”

Kedudukan ulama yang saleh

Berikut ini kedudukan ulama yang saleh sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala.

Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia , Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali-Imran: 18).

Ulama adalah sosok penjaga agama Islam

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

“Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu/ulama. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim” (QS. Al-Ankabut: 49).

Ulama adalah orang yang takut kepada Allah didasari ilmu yang benar

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut (dengan dasar ilmu yang benar) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Faathir : 28).

Ulama adalah penasehat hamba-hamba Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ

“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu/ulama, ‘Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’” (QS. Al-Qasas: 80).

Ulama adalah orang yang memiliki derajat tinggi

Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu/ulama. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Ulama adalah penjelas kebenaran sampai pun di akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُخْزِيهِمْ وَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ فِيهِمْ قَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ إِنَّ الْخِزْيَ الْيَوْمَ وَالسُّوءَ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman, ‘Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kalian selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mukmin)?’ Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu/ulama, ‘Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir’” (QS. An-Nahl: 27).

Ulama, orang-orang saleh (wali-wali Allah) adalah tokoh kunci dan pilar kesuksesan umat Islam. Maka barangsiapa yang berniat buruk, menzalimi dan memusuhi mereka, berarti ia telah berusaha menghancurkan pilar dan kunci umat Islam dan upaya mematikan cahaya Islam yang diajarkan dan diperjuangkan oleh para ulama tersebut. Allah Ta’ala  berfirman,

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya” (QS. Ash-Shaff: 8).

Pantaslah jika kehormatan dan darah ulama serta orang-orang saleh benar-benar menjadi target musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, orang-orang munafik serta orang-orang yang hasad kepada kaum muslimin.

Orang-orang yang beriman menjadi target musuh Islam dan musuh kaum muslimin dari masa ke masa

Musuh-musuh Allah mengawali permusuhannya terhadap sebaik-baik makhluk, yaitu para nabi Alaihimush shalatu was salam.

Musuh-musuh Allah mengalirkan darah mereka dan menodai kehormatan mereka, dan yang paling berat menerima permusuhan adalah sebaik-baik utusan Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang kafir dan orang-orang munafik berusaha membunuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tatkala mereka tak berhasil membunuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berusaha merusak kehormatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul yang menghembuskan berita dusta yang menodai kehormatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Target musuh-musuh Allah setelah para nabi Alaihimush shalatu was salam adalah sebaik-baik umat, yaitu para shahabat Radhiyallahu ‘anhum, dimulai dari golongan Khulafa’ Rasyidin, musuh-musuh Allah pun membunuh Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu (menurut salah satu versi), Umar Bin Al-Khathtab Radhiyallahu ‘anhu, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.

  • Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menurut salah satu versi dibunuh dengan cara diracun [1].
  • Umar Bin Al-Khathtab Radhiyallahu ‘anhu wafat dibunuh oleh seorang majusi Abu Lu’luah dengan cara pengecut.
  • Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh pemberontak.
  • Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh seorang penganut aliran sesat khawarij, Ibnu Muljam.

Dan demikianlah dari masa ke masa, ulama dan orang-orang saleh menjadi target permusuhan musuh-musuh Islam dan musuh kaum muslimin.

Renungan

Jika melanggar hak dan menzalimi kaum muslimin secara umum itu perkara yang dilarang, apalagi melanggar hak dan menzalimi orang-orang saleh dan para ulama mereka (wali-wali Allah), tentu lebih dilarang, karena merekalah tokoh kunci dan pilar kesuksesan umat Islam. Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan Islam, baik melalui ilmu maupun amal serta dakwah. Disamping itu, melanggar hak dan menzalimi orang-orang saleh dan para ulama adalah tindakan yang disukai setan dan merupakan ciri khas perilaku musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, orang-orang munafik, dan orang-orang yang hasad kepada kaum muslimin. Maka wajib berprasangka baik kepada kaum muslimin secara umum, apalagi kepada orang-orang haleh dan para ulama mereka. Oleh karena itu, apabila diantara mereka ada yang terjatuh kedalam kesalahan, hendaklah kita mencari uzur permakluman, karena meski terjatuh dalam kesalahan, biasanya seorang yang benar-benar bertakwa tidak menyengaja menyelisihi Al Quran dan As Sunnah dan kebenaran.

Meskipun disisi yang lain, seorang yang saleh apalagi dai dan ulama tentunya diharapkan benar-benar menerapkan akhlak yang santun, jujur, adil meskipun kepada orang yang membencinya dan ilmiah dalam seluruh sikapnnya serta taat kepada pemerintah kita selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Betapa indahnya jika masing-masing pihak memenuhi kewajiban masing-masing sehingga dengan demikian akan terpenuhi hak masing-masing pula, bukan justru sibuk dengan hak masing-masing sampai melupakan kewajiban. Semoga Allah menjaga NKRI ini sehingga benar-benar menjadi negara yang makmur dengan rezeki tauhid, iman, dan amal saleh, serta rezeki yang halal dan diberkahi-Nya. Aamiin.

Wallahu a’lam.

* * *

[Selesai]

Diolah dari :

https://www.alukah.net/sharia/0/95333/#ixzz6gzbbsBOy

Penulis: Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/60328-antara-berlebihan-dan-merendahkan-orang-shalih-bag-6.html