Doa-Doa yang Dianjurkan untuk Muslim Menghadapi Hujan

Doa yang dipanjatkan selama hujan agar dijauhkan dari petaka.

Hujan pada dasarnya adalah anugerah dan rahmat dari Allah bagi seluruh makhluk di muka bumi. Karenanya ketika turun hujan, dianjurkan untuk membaca doa. 

Sebab, seorang Muslim seyogianya memohon kepada Allah agar ketika turun hujan menjadi bermanfaat dan tidak mendatangkan bahaya. 

Rasulullah SAW, bahwa berdoa di waktu turunnya hujan disebut menjadi waktu yang mustajab. Imam Syafi’i telah meriwayatkan dalam kitab al-Umm dengan sanad yang mursal, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Carilah doa yang dikabulkan, yaitu ketika bertemunya dua pasukan, waktu ikamah, serta ketika turunnya hujan. 

Imam an-Nawawi juga mengatakan, bahwa doa pada saat hujan tidak ditolak atau jarang ditolak karena pada saat itu tengah turun rahmat, khususnya curahan hujan pertama di awal musim.  Berikut ini sejumlah doa yang bisa dibaca tatkala hujan turun: 

Doa ketika turun hujan 

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Allahumma shayyiban nafi’an. (Ya Allah, curahkanlah air hujan yang bermanfaat).” (HR Bukhar dari Aisyah RA).   

Ketika takut bahaya hujan lebat, dianjurkan membaca doa ini:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Allahumma hawalaina wala ‘alaina, Allahumma ‘alal akami wa adhirabi, wa buthunil auwdiyati, wamanabitisyajari. (Ya Allah turunkan hujan ini di sekitar kami jangan di atas kami. Ya Allah curahkanlah hujan ini di atas bukit-bukit, di hutan-hutan lebat, di gunung-gunung kecil, di lembah-lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR Bukhari Muslim) 

Sementara doa setelah turun hujan: 

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللـهِ ورَحْمَتِهِ

“Muthirnaa bifadhlillahi wa rahmatihi (Diturunkan kepada kami hujan berkat anugerah Allah dan rahmat-Nya).” (HR Bukhari)

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Surah As-Sajadah Ayat 1-2: Kebenaran Al-Qur’an Sebagai Kitab Suci

Surah as-Sajadah ayat 1-2, sejatinya menguraikan tentang kebenaran Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah yang tak terhingga pengetahuan-Nya. Pengetahuan Tuhan meliputi pelbagai hal; zahir dan batin. Tak ada yang luput dari pengetahuan Allah.

Demikian itu tersurat dalam Alquran, Q.S. as-Sajadah; 1-2. Allah berfirman;

الٓمّٓ . تَنۡزِيۡلُ الۡكِتٰبِ لَا رَيۡبَ فِيۡهِ مِنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِيۡنَؕ

Alif-Laaam-Miiim, Tanziilul Kitaabi ‘laaraiba fiihi mir rabbil ‘aalamiin

Artinya; “Alif Lam Mim. Penurunan Al-Kitab tidak ada keraguan padanya, dari Tuhan semesta alam. 

Dalam Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (2017), Profesor M. Quraish Shihab mengatakan penafsiran Surah As-sajadah Ayat 1-2, menjelaskan Kebenaran Alquran Sebagai Kitab Suci.  Selanjut, ia menerangkan setidaknya terdapat  tiga  sisi unik unik yang terdapat dalam surah as-Sajadah ini. Lebih lanjut

Pertama, ayat ini dimulai dengan alfabetis (muqattha’ah). Lihat saja ayat pertama ; الٓمّٓ (alif, lam, mim). Lantas mengapa Allah memulai as-sajadah dengan ayat alfabetis? Apa hikmahnya?

Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menjelaskan, bahwa terjadi perselisihan pendapat ulama mengenai fawatihus suwar (baca; huruf alfabetis) di dalam Alquran. Para ulama ini kemudian merangkum pendapat mereka dalam kitab tafsirnya masing-masing.

Ibn Jarir Thabari, dalam  Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, menyebut bahwa alfabetis di dalam Alquran disebut sebagai pengenalan permulaan suroh.  Hikmah dibuat huruf-huruf alfabetis di awal, tambah Ibn Jarir  seyogianya sebagai strategi  awal pengenalan Alquran kepada orang kafir dan musyrik. Dengan mendengar kata-kata itu diharapkan timbul penasaran dalam hati mereka dan adanya dialog antara mereka terkait ayat pendek itu. Itulah strategi mereka. Kemudian, setelah mereka sudah siap untuk mendengar semuanya, barulah dibacakan kepada ayat selanjutnya.

Pendapat ini memiliki  sisi kelemahan. Hal itu bisa dilihat dari susunan awal Alquran, tak semua awal surah diawali dengan alfabetis. Selain itu, surah Ali Imron, dan al-Baqarah  yang menerapkan alfabetis diawal adalah suroh Madaniyah—yang notabenennya berisi perintah (khitob), dan bukan ditujukan kepada orang musyrik Mekah.

Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghayb, berpendapat, bahwa Alif Lam Mim diletakkan di awal suroh berfungsi sebagai argumen untuk menunjukkan kehebatan Alquran. Dengan kata lain, tak ada makhluk yang bisa membuat Alquran, meskipun dengan huruf-huruf alfabetis, padahal kata-kata itu sering mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari.

Pendapat ini didukung pula oleh Imam Zamakhsayari, dalam tafsir al- kasysyaf. Ia berkata, sesungguhnya huruf-huruf alfabetis itu diulang-ulang, tujuannya adalah untuk menunjukkan makna tantangan dan cemoohan kepada orang orang yang meragukan Alquran.

Pendapat Ini pula merupakan pendapat yang sangat kuat. Bagaimana tidak? Lihat saja pelbagai ayat-ayat yang dimulai dengan alfabetis, niscaya sesudahnya pasti menjelaskan keagungan Alquran.

Keunikan kedua mengenai surah as-Sajadah adalah ayat ini berkaitan erat dengan awal surah al-Baqarah. Sejatinya ayat ini menegaskan tentang kedahsyatan Alquran. Dengan tegas Allah dalam berbicara bahwa Alquran itu bukan produk manusia, Alquran itu firman Tuhan. Dan itu tak ada keraguan di dalamnya.

Tentang ke dahsyatan Alquran ini, Abdul Qadir Jailani dalam Tafsir al-Jailani  mengatakan bahwa Alquran sejatinya berasal dari Allah. Isi Alquran itu berisi tentang pelbagai peraturan agama Islam. Tak ada juga keraguan dalam Alquran, ia berasal dari Tuhan sekalian alam.

Bagi orang yang meragukan Alquran, Syekh Abdul Qadir menyebutnya sebagai orang sesat. Ia menulis;

يشكون و يترددون في نزوله من عنده سبحانه اولئك الطاعنون الضالون

Artinya: Orang-orang yang ragu dan menolak tentang Alquran bersumber dari Allah, maka mereka orang yang sangat sesat.

Terkait kata robbul Alamin yang ada dalam ayat as-Sajadah 1-2, Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Thabathabai, menjelaskan kata di atas  menunjukkan sebagai bantahan terhadap masyarakat jahiliyah—mereka percaya pada Allah sebagai pencipta— tetapi mereka meyakini bahwa Allah memberikan wewenang kepada Tuhan yang lain untuk mengatur alam semesta.  Dan Allah tidak mencampuri urusan Tuhan-Tuhan yang lain.

Dengan adanya robbul alamin dalam ayat di atas, jelaslah bahwa segala yang ada di alam berada dalam cakupan pemeliharaan dan pengaturan Allah.

Keunikan ketiga dari ayat awal as-Sajadah adalah, meskipun ada persamaan di awal dengan surah al-Baqarah, namun  terdapat juga beberapa perbedaan pada kedua surah ini. Perbedaan itu terdapat pada ujung ayat ini.  Bila dalam al-Baqarah berbunyi: hudal lil muttaqin, sedangakan dalam as-Sajadah menggunakan Min Robbil Alamin.

Mengenai persoalan ini, Quraish Shihab menjelaskan, sejatinya surah Al-Baqarah adalah surah Madaniah— turun setelah Nabi hijrah—, pada saat ayat ini turun komunitas muslim telah terbentuk di Madinah. Masyarakat Islam telah ada dalam sebuah komunitas utuh. Nah, penggunaan kata “hudal  lil muttaqin” sebagai pemantik agar masyarakat yang belum Islam, berpindah kepada Islam dan tertarik kepada ajarannya yang mulia.

Sedang berbeda dengan surah as-Sajadah, Allah menggunakan kata “Robbul Alamin (tuhan sekalian alam)”,  penyebabnya adalah ayat itu diturunkan kepada masyarakat Mekah, yang notabenenya  adalah orang-orang musyrik yang  tak mengesakan Allah, dan percaya adanya aneka Tuhan di alama raya mengendalikan bagian-bagian alam raya.

Secara umum ayat ini Tafsir Surah As-sajadah Ayat 1-2: Kebenaran Alquran Sebagai Kitab Suci. Sebagai kitab suci yang berasal dari Tuhan, tak ada keraguan di dalamnya. Kemukjizatan Alquran pun telah banyak terbukti.

BINCANG SYARIAH

Cinta Kepada Allah Adalah Fondasi Islam

Cinta kepada Allah Swt. bisa diwujudkan dengan banyak hal, bahkan hal yang sangat sederhana. Sesungguhnya cinta kepada Allah Swt. adalah fondasi yang mendasari ajaran agama Islam.

Adanya cinta kepada Allah Swt. itulah yang membuat agama seorang Muslim menjadi sempurna. Apabila cinta kepada Allah Swt. seorang Muslim berkurang, maka ketauhidan seseorang pun menjadi berkurang. Allah Swt. berfirman:

Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 165:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ

Wa minan-nāsi may yattakhiżu min dụnillāhi andāday yuḥibbụnahum kaḥubbillāh, wallażīna āmanū asyaddu ḥubbal lillāhi walau yarallażīna ẓalamū iż yaraunal-‘ażāba annal-quwwata lillāhi jamī’aw wa annallāha syadīdul-‘ażāb

Artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

Wujud Cinta Kepada Allah

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: Tiga perkara yang apabila terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya keimanan: Allah dan RasulNya lebih dicintainya dari selain keduanya, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekpuruan sama seperti kebencian dirinya dicapakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa ada sepuluh perkara yang bisa mendatangkan kecintaan kepada Allah Swt. di mana salah satunya adalah dengan membaca Al-Qur’an dan memaknainya, memahami dan merenungkan makna ayat-ayatnya dan apa-apa yang dimaksudkan oleh ayat-ayat tersebut.

Allah Swt. berfirman dalam dua ayat berikut:

Qur’an Surat Shad Ayat 29:

 كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Kitābun anzalnāhu ilaika mubārakul liyaddabbarū āyātihī wa liyatażakkara ulul-albāb

Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

Qur’an Surat Muhammad Ayat 24:

 أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ

A fa lā yatadabbarụnal-qur`āna am ‘alā qulụbin aqfāluhā

Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”

Abdulah bin Mas’ud berkata: “Janganlah kalian menaburkannya (membaca al quran) sama seperti menaburkan biji-bijian (gandum), dan jangan pula melantunkannya sama seperti melantunkan syai’ir, berhentilah pada keajaiban-keajaibannya, getarkanlah hati dengannya dan janganlah semangat kalian hanya tertuju untuk mengakhiri suatu surat”. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 2/256 no: 8733).

Cinta kepada Allah Swt, bisa dibuktikan dengan membaca dan memaknai Al-Qur’an. Tak heran apabila banyak ulama yang menganjurkan agar kita senantiasa membaca Al-Qur’an di mana pun dan kapan pun.

Kebiasaan membaca Al-Qur’an mesti diterapkan kepada anak-anak sejak dini, terutama di waktu setelah shalat Subuh dan usai shalat Maghrib. Saat bulan Ramadhan, membaca Al-Qur’an adalah salah satu ibadah yang diutamakan.

Namun selain membaca Al-Qur’an, seperti apa yang diuraikan di atas, membaca Al-Qur’an juga mesti disertai dengan pemaknaan dan pemahamannya. Membaca Al-Qur’an memang mendapatkan pahala, tapi mambaca sekaligus memahaminya tentu lebih utama.

Caranya sangat mudah. Kita hanya butuh kitab tafsir yang tepat. Pilih salah satu mufasir atau ahli tafsir Qur’an yang mumpuni sehingga bisa membimbing kita untuk memahami Al-Qur’an lebih dalam.

Rasa Cinta Kepada Allah

Ada banyak cara untuk menanam cinta kepada Allah Swt. Pertama, bisa dengan cara bertaqarrub kepada Allah Swt. dengan ibadah-ibadah yang sunnah usai melaksanakan yang wajib. Ada sebuah riwayat dari Imam Bukhari dalam kitab shahihnya sebagai berikut:

“Nabi saw bersabda: Allah Swt. berfirman barangsiapa yang memusuhi hambaKu maka aku telah mengumumkan perang terhadapnya, dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepadaku dengan suatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah aku wajibkan baginya,

dan hambaku senantisa beribadah kepadaku dengan ibadah-ibadah yang sunnah sehingga aku mencintainya, maka jika aku mencintainya maka aku menjadi pendengaran yang dipergunakannya untuk mendengar, menjadi pandangannya yang dipergunakannya untuk melihat,

menjadi tangannya yang dipergunakan untuk memegang, dan menjadi kaki yang dipergunakan untuk melangkah, jika dia meminta kepadaku niscaya aku mengasihinya dan jika meminta ampun kepadaKu niscaya Aku akan mengampuninya dan jika dia berlindung denganKu niscaya Aku pasti melindunginya,

dan tidaklah aku pernah ragu melakukan sesuatu seperti keraguan diriku mengambil nyawa seorang yang beriman, dia membenci kematian dan Aku tidak suka berbuat buruk kepadanya.” (H.R. Bukhari Muslim: 6502)

Kedua, selalu melaksanakan dzikir kepada Allah Swt. dalam setiap kesempatan baik dengan lisan dan hati disertai dengan amal perbuatan. Maka, ia akan mendapatkan kecintaan dari Allah Swt. sesuai dengan firmanNya sebagai berikut:

Qur’an Surat Ar-Ra’d Ayat 28

 ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

Allażīna āmanụ wa taṭmainnu qulụbuhum biżikrillāh, alā biżikrillāhi taṭmainnul-qulụb

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Ketiga, mengutamakan apa yang dicintaiNya ketimbang apa yang engkau cintai pada saat hawa nafsu menguasai. Allah Swt. berfirman:

Qur’an Surat At-Taubah Ayat 24

 قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

Qul ing kāna ābāukum wa abn</i></em><em><i>ā</i></em><em><i>ukum wa ikhwānukum wa azwājukum wa ‘asyīratukum wa amwāluniqtaraftumụhā wa tijāratun takhsyauna kasādahā wa masākinu tarḍaunahā aḥabba ilaikum minallāhi wa rasụlihī wa jihādin fī sabīlihī fa tarabbaṣụ ḥattā yatiyallāhu biamrih, wallāhu lā yahdil-qaumal-fāsiqīn

Artinya: “Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Seseorang mesti mengutamakan apa-apa yang dicintai dan diinginkan oleh Allah Swt. dari apa-apa yang dicintai dan diinginkan oleh seorang hamba sebagai bentuk cinta kepada Allah Swt. Seorang hamba harus mencintai apa yang dicintai oleh Allah Swt. dan membenci apa-apa yang dibenci oleh Allah Swt.

Keempat, cinta kepada Allah Swt. bisa diwujudkan dengan hati yang menyadari makna dalam asma dan sifat Allah Swt., dan bersaksi atas kebenaran dari Allah Swt. serta melandasi hidupnya dengan kesadaran dan cakupan asma dan sifat ini. Allah Swt. berfirman:

Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 180

 وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Wa lillāhil-asmāul-ḥusnā fad'ụhu bihā wa żarullażīna yul-ḥidụna fī asmāih, sayujzauna mā kānụ ya’malụn

Artinya: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”[]

BINCANG SYARIAH

Agar Ibadah Tetap Bermakna di Hidup yang Serba Cepat

Gaya hidup yang serba cepat dapat mengancam kehidupan manusiawi dan iman kita.

Sekarang menjadi tetap sibuk merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Istirahat sejenak dianggap hanya sebagai hadiah setelah seharian bekerja keras.

Ini tidak baik. Coba ingat kapan terakhir kali Anda fokus ketika berdoa? Hidup serba cepat merampas banyak kebajikan Islam dari kita.

Rasa syukur

Rasulullah SAW berkata, “Siapa pun yang tidak bersyukur untuk hal-hal kecil tidak akan bersyukur untuk hal-hal besar.” (Shahih At-Targheeb oleh Al-Albani 976).

Para ahli menemukan jika kita sibuk dengan pekerjaan kita dan menerapkan hidup serba cepat terlalu sering, kita hanya berfokus pada kerjaan. Ini berarti, kita tidak lagi memperoleh kesenangan yang sama dari hubungan dan pengalaman yang lebih kecil.

Refleksi yang dalam

Para peneliti mencatat dorongan hidup serba cepat dapat mengubah cara berpikir orang. Ini mengarah pada pembodohan dalam menerima informasi sehingga orang-orang cenderung tidak menggalinya lebih dalam.

Sementara banyak ayat Alquran memanggil kita untuk iqraa atau membaca dan merenungkan. Kehidupan modern telah membuat kita percaya kemajuan itu sama dengan cepat dan sukses. Misal, orang kota berjalan lebih cepat bukan untuk berolahraga, tapi untuk menghemat waktu.

Penelitian menunjukkan jika dikaitkan dengan peningkatan depresi, kecemasan, dan psikosis, sebanyak 39 persen orang menderita gangguan mood dan gangguan kecemasan 21 persen.


Rentang perhatian kita lebih buruk daripada ikan mas

Bayangkan ketika duduk di taman sambil menatap burung, berapa lama Anda akan melakukannya sampai berkata, “Aku bosan ayo lakukan sesuatu?”

Studi pada 2015 oleh Microsoft Kanada menemukan rentang perhatian rata-rata dalam jumlah waktu terkonsentrasi pada suatu tugas tanpa terganggu adalah 12 detik pada 2008. Lima tahun kemudian, hanya delapan detik atau satu detik kurang dari rentang perhatian ikan mas.

Tanpa fokus, iman kita dalam bahaya

Jika kita memiliki masalah global dengan fokus, doa kita juga bermasalah karena kekurangan kekhusyukan. Khusyuk adalah jiwa dari doa. Ibn Katheer berkata, “Khusyuk terjadi ketika seseorang mengosongkan hatinya untuk itu (ibadah) dan berfokus padanya untuk mengesampingkan yang lainnya …”

Jika kita tidak fokus, khusyuk tidak ada dalam sholat. Jika kita berdoa tanpa khusyuk, kita tidak dapat terhubung dengan Allah dengan benar. Namun, ada cara meningkatkan khusyuk dari perspektif psikologis.

Menurut psikologis, berdoa adalah salah satu bentuk meditasi yang menempatkan otak pada kondisi gelombang otak alfa (khusyuk). Keadaan ini meningkatkan konsentrasi, menginspirasi kreativitas, dan menyebabkan keadaan relaksasi yang dalam.

Klien dalam terapi membutuhkan kondisi mental ini (khusyuk) untuk terhubung dengan pikiran bawah sadar mereka. Terapis memfasilitasi proses ini melalui teknik sederhana.

Keheningan

Tanpa keheningan dan perasaan nyaman, pintu menuju pikiran bawah sadar dan kecerdasannya tetap tertutup. Oleh karena itu, terapis meminimalisir impuls luar yang dapat mengambil perhatian. Sama halnya, kita perlu memilih tempat yang tenang untuk berdoa.

Jadi, Anda bisa memberitahu keluarga untuk mematikan TV ketika akan berdoa atau meminta suami menggendong bayi sampai Anda selesai berdoa. Ciptakan keheningan sebelum berdoa agar Anda lebih khusyuk.

Gerakan lambat

Selama terapi, postur tubuh klien menunjukkan relaksasi. Mereka sering memusatkan perhatian pada titik tertentu, biasanya di suatu tempat di lantai saat mereka menjangkau lebih dalam ke diri mereka. Ucapan dan gerak tubuh mereka juga melambat.

Tanda-tanda ini menunjukkan klien telah memasuki ruangan pikiran bawah sadarnya. Jadi saat Anda berdoa, bergerak perlahan.

Sholat bukanlah rutinitas olahraga. Perbaiki mata Anda pada satu titik di atas sajadah. Luangkan waktu di setiap posisi. Bacalah doa perlahan, rumuskan kata-katanya dengan hati-hati, dan berhentilah untuk mengambil napas dalam-dalam setelah setiap ayat.

Dilansir About Islam, teknik meditasi dalam mengontrol pernapasan juga bisa dilakukan ketika berdoa. Terapis mengajarkan kliennya untuk mengembangkan cara yang sehat dalam merespons stres.

Salah satu cara adalah membangkitkan respons relaksasi. Cara termudah untuk membangkitkan respons dengan menarik napas dalam-dalam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bacaan Dua Kalimat Syahadat dan Keutamaannya

Syahadat berasal dari bahasa Arab syahida yang memiliki arti “ia telah menyaksikan”. Syahadat menduduki posisi penting dalam Islam. Begitu pentingnya syahadat, hingga kalimat kesaksian ini dijadikan rukun Islam yang pertama.Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bacaan Dua Kalimat Syahadat

Seperti yang termaktub dalam Hadis tersebut, syahadat tersusun atas dua kalimat kesaksian yang berbunyi sebagai berikut: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِAsyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullahArtinya:”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.Dengan mengucapkan kalimat syahadat yang pertama, seseorang telah berikrar bahwa ia akan mengabdi sepenuh hati hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat syahadat yang kedua menjadi pernyataan seorang muslim bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan utusan Allah yang patut dijadikan teladan dalam kehidupan.

Keutamaan Kalimat Syahadat

Dua kalimat syahadat menjadi syarat mutlak untuk memeluk agama Islam. Selain dibaca saat seseorang hendak masuk Islam, syahadat juga dibaca ketika azan dan sholat. Kalimat syahadat ternyata juga memiliki keutamaan yang luar biasa, yakni sebagai kunci surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:”Barang siapa mengucapkan: ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah SWT semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya dan bersaksi pula bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya’, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim).


KUMPARAN

Yakin Peristiwa Isra’ Mi’raj Terjadi di Bulan Rajab?

Pada hari ini kita sudah menginjakkan kaki di bulan Rajab. Bulan ini merupakan bagian dari asyhurul hurum yang di dalamnya ada sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu Isra’ dan Mi’raj. Sudah masyhur kita ketahui Isra’ dan Mi’raj umumnya diperingati pada tanggal 27 Rajab, karena populernya Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal tersebut. Bahkan negara kita ini secara khusus menyediakan libur Isra’ dan Mi’raj secara nasional setiap tahun pada tanggal Masehi yang bertepatan dengan tanggal 27 Rajab.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah bisa dipastikan jika peristiwa besar dalam sejarah Islam tersebut memang benar-benar terjadi pada tanggal 27 Rajab? Ulama masih berbeda pendapat apakah peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi benar terjadi pada bulan ini. Mari kita simak ulasan berikut.

Syaikh Sofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitab fenomenalnya Rakhiqil Makhtum menyebutkan enam macam pendapat yang menjelaskan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Oleh karena itu, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Hal ini didukung oleh Al-Aini dalam karyanya Umdatul Qari dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan beberapa tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tahun kedua pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi.

Kedua, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tahun kelima pasca diutusnya Nabi. Pendapat ini diamini oleh Imam Nawawi dan Qurthuby.

Ketiga, pendapat yang dipilih oleh Al-Manshur Faury, yakni pendapat yang lumrah dan populer di kalangan masyarakat, 27 Rajab tahun kesepuluh pasca diutusnya Nabi.

Keempat, pendapat Imam Baihaqi yang menyitir pendapat Az-Zuhri, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada Rabi’ul Awal tahun ketiga belas pasca diutusnya Nabi, yakni satu tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah.

Kelima, menurut pendapat yang dikemukakan oleh As-Sadi, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada sembilan belas bulan sebelum peristiwa Hijrah, yakni bertepatan dengan bulan Dzul Qa’dah.

Keenam, menurut Sayyid Al-Harby, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabiul Akhir satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.

Ketujuh, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedua belas pasca kenabian, yakni enam belas bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Kedelapan, Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Muharram 13 tahun pasca kenabian, yaitu bertepatan dengan satu tahun dua bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Selain beberapa pendapat di atas, ada juga pendapat yang sangat lemah, yaitu terjadinya Isra’ dan Mi’raj sebelum Rasulullah diutus dan diangkat sebagai Nabi.

Hal ini dibantah oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj-nya. Imam Nawawi menuturkan bahwa pada malam Isra’ dan Mi’raj tersebut Nabi diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Dan tidak mungkin hal itu terjadi jika Nabi belum mendapatkan wahyu. Hal ini juga dibuktikan dengan pendapat Ibnu Hisyam dalam karyanya Tarikh Ibnu Hisyam bahwa pada saat terjadinya Isra’ dan Mi’raj, Islam sudah tersebar di Kota Mekkah.

Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada hari Jumat pertama bulan Rajab. Karena pada malam itu merupakan malam renungan atau malam kesedihan di mana Nabi merasa sedih karena ditinggalkan oleh paman dan istri tercintanya, Sayyidah Khadijah. Namun menurut Al-Aini, pendapat ini tidak ada dasar sumbernya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, manakah yang paling benar atau minimal mendekati benar? Secara sharih (jelas) memang belum bisa disimpulkan pendapat mana yang paling benar. Namun, semua pendapat tersebut berlabuh kepada dua hal, yakni Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Perbedaan ini dipengaruhi gaya perhitungan yang berbeda oleh masing-masing pendapat.

Masing-masing dari pendapat diatas ada yang mendasarkan pada sebuah kejadian, seperti sudah tersebarnya Islam di Mekkah dan lain sebagainya. Ada pula yang mengacu pada jumlah bulan pasca diutusnya nabi maupun sebelum hijrahnya Nabi. Sehingga wajar jika menimbulkan banyak pendapat. Kapan seharusnya kita memperingati Isra’ dan Mi’raj?

Yang terpenting dan paling inti pada momen peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah semangatnya, yaitu semangat untuk selalu mengingat usaha dan jerih payah Nabi Muhammad untuk umatnya. Lebih-lebih dalam hal bilangan shalat fardhu. Serta kisah-kisah pertemuan nabi dengan berbagai kejadian yang mengiringi Isra’ dan Mi’raj. Karena yang paling penting adalah belajar dari kejadian-kejadian tersebut dan muhasabah (introspeksi diri) agar menjadi umat Nabi Muhammad yang taat terhadap semua tuntunan-tuntunannya.

Wallahua’lam Bis Shawab.

BINCANG MUSLIMAH

Manfaat Besar Tasbih, Tahmid, dan Takbir Usai Sholat 5 Waktu

Terdapat manfaat yang sangat besar membaca tasbih, tahmid, dan takbir

Ada banyak amalan sehari-hari yang bisa dijadikan sebagai perantara untuk meminta kelancaran rezeki kepada Allah SWT. Dan ternyata salah satunya sederhana dilakukan dan lekat dengan sholat sehari-hari yaitu membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah sholat lima waktu. 

Hal ini sebagaimana hadits riwayt Abu Hurairah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ، وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ قَالَ « أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ » . فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ . فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ « تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ

“Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi. Mereka berkata, orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka sholat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. 

Nabi lantas bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir sholat sebanyak tiga puluh tiga kali.”

Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (HR Bukhari, no 843). Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata: 

فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ  

“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah, mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah ﷺ kemudian mengatakan, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (HR Muslim).

Sumber: rumahfiqih

KHAZANAH REPUBLIKA

Kemunafikan Yahudi tentang Kebenaran Nabi Muhammad

Yahudi memilih menjadi munafik daripada mengakui Nabi Muhammad.

Pada masa diturunkannya Alquran kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW, Nabi dan wahyu yang penuh kebenaran itu nyatanya juga diakui umat Yahudi. Hanya saja, mereka enggan mengakui dan memilih menjadi munafik.

Imam As-Suyuthi dalam kitab Asbabun Nuzul menjabarkan mengenai kemunafikan umat Yahudi itu. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya ia berkata, “Beberapa orang dari agama Yahudi datang kepada Rasulullah SAW lalu beliau bersabda kepada mereka: Sesungguhnya aku bersumpah demi Allah bahwasannya aku mengetahui bahwa kalian mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah.”

Mendengar hal itu, beberapa orang Yahudi itu kemudian menjawab, “Kami tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.” Sejatinya, mereka hanya enggan untuk mengakui kebenaran Nabi dan juga wahyu yang disampaikan.

Untuk itu, Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah an-Nisa ayat 166, “Lakinillahu yasyhadu bimaa anzala ilaika anzalahu bi’ilmihi wal-malaaikatu yasyhaduuna wakafaa billahi syahida.” Artinya: (Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Alquran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkan Alquran dengan ilmu-Nya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi. Cukuplah Allah mengakuinya.

Kemunafikan umat Yahudi akan kebenaran ajaran Islam melalui Nabi dan juga wahyu yang diabadikan dalam Alquran menjadi bukti jahil dan keras kepalanya mereka. Maka, sikap jahil inilah yang kemudian Allah abadikan di dalam Alquran dengan adanya peristiwa tersebut.

Lima Pesan Nabi Muhammad Untuk Diamalkan

Nabi Muhammad pernah menyampaikan lima pesan.

Nabi Muhammad SAW telah menunjukan jalan yang baik dan benar untuk umat manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Dengan mematuhi ajaran agama Islam yang dibawa dan diajarkan Rasulullah SAW, umat manusia akan selamat di dunia dan akhirat.

Semasa hidupnya, Rasulullah SAW pernah memberi lima pesan kepada umat manusia melalui Abu Hurairah. Lima pesan Nabi Muhammad SAW ini untuk diajarkan dan diamalkan.

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ هِلَالٍ الصَّوَّافُ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي طَارِقٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَأْخُذُ عَنِّي هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ فَيَعْمَلُ بِهِنَّ أَوْ يُعَلِّمُ مَنْ يَعْمَلُ بِهِنَّ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَعَدَّ خَمْسًا وَقَالَ اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَلَا تُكْثِرْ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ وَالْحَسَنُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ شَيْئًا هَكَذَا رُوِيَ عَنْ أَيُّوبَ وَيُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ وَعَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ قَالُوا لَمْ يَسْمَعْ الْحَسَنُ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَرَوَى أَبُو عُبَيْدَةَ النَّاجِيُّ عَنْ الْحَسَنِ هَذَا الْحَدِيثَ قَوْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Nabi Muhammad SAW bersabda “Siapa yang mau mengambil kalimat-kalimat ini dariku lalu mengamalkannya atau mengajarkan kepada orang yang mengamalkannya?” 

Abu Hurairah menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah SAW meraih tangan Abu Hurairah lalu menyebut lima hal. (Pertama) jagalah dirimu dari keharaman-keharaman, niscaya kamu menjadi orang yang paling ahli ibadah. (Kedua) terimalah pemberian Allah dengan rela, niscaya kamu menjadi orang terkaya.

(Ketiga) berbuat baiklah terhadap tetanggamu, niscaya kamu menjadi orang mumin. (Keempat) cintailah sesama seperti kamu mencintai dirimu sendiri, niscaya kau menjadi orang Muslim. (Kelima) jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati. (HR At-Tirmidzi)  

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Menolong Sesama Muslim

Di antara jawāmi’ulkalim – yakni ucapan Nabi yang ringkas namun sarat makna- adalah sabda beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,

اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ

Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Hadits ini adalah salah satu motivasi bagi kita untuk memberi pertolongan kepada sesama muslim. Mari simak di antara penjelasan para ulama tentang hadis yang agung ini.

Syekh ‘Abdulmuhsin al-‘Abbad al-Badr hafiẓahullāh menjelaskan,

“Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk memberikan pertolongan kepada saudara sesama muslim. Setiap pertolongan yang diberikan kepada saudaranya, niscaya dia akan mendapat balasan berupa pertolongan dari Allah. Kalimat dalam hadis ini adalah bagian dari jawāmi’ulkalim. “ (Fathu al-Qawiyyi al-Matīn)

Syekh Shalih bin ‘Abdul’aziz Alu Syekh hafiẓahullāh menjelasakan,

“Hadis ini memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk memberikan pertolongan kepada saudaranya. Tatkala dia menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya Jika Engkau membantu kebutuhan saudaramu, niscaya Allah akan memberikan bantuan kepadamu.  Ini adalah keutamaan yang agung dan balasan yang sangat besar bagi hamba.” (Syarh al-Arba’īn al-Nawawiyyah)

Syekh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafiẓahullāh menjelaskan bahwa makna hadis ini bersifat umum. Jika Engkau memberi pertolongan kepada saudaramu dengan pertolongan apapun bentuknya yang dia butuhkan, maka sungguh Allah akan senantiasa memberi pertolongan kepadamu. Demikianlah, karena balasan akan sesuai dengan perbuatan. Jika Engkau ingin Allah menolongmu, maka hendaknya Engkau menolong saudaramu sesuai kadar kemampuan yang Engkau mampu berikan kepadanya, baik itu dengan harta, kedudukan, ataupun bantuan yang lainnya. (Al-Minhatu al-Rabbaniyyah fī Syarhi al-Arba’īn al-Nawawiyyah)

Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin raḥimahullāh memberi catatan penting tentang hadis ini. Beliau menjelaskan bahwa hadis ini merupakan motivasi untuk memberi pertolongan kepada sesama muslim. Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa hal ini terbatas untuk perkara kebaikan dan takwa. Karena Allah taala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.“ (QS. Al-Mā’idah: 2)

Adapun jika memberi pertolongan dalam perbuatan dosa, maka hukumnya haram. Karena Allah berfirman,

 وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“ Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “ (QS. Al-Mā’idah: 2)

Hadis ini menunjukkan bahwa balasan akan sesuai dengan perbuatan. Bahkan balasan dari Allah lebih baik dari amal perbuatan hamba. Jika Engkau menolong saudaramu, maka Allah akan memberi pertolongan kepadamu. Dan jelas bahwa pertolongan yang datang dari Allah adalah balasan yang lebih besar dari amal hamba itu sendiri.  (Syarh al-Arba’īn al-Nawawiyyah)

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat, dapat menambah ilmu bagi kita dan menjadi penyemangat untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan kepada sesama muslim.

***

Penyusun : dr. Adika Mianoki, Sp.S.

Artikel: Muslim.or.id