Hafalkanlah Al-Qur’an dan Hadits

Selain berusaha mempelajari Al Qur’an dan hadits dengan bimbingan para ulama, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan Al Qur’an dan hadits. Karena pondasi dari ilmu adalah Al Qur’an dan hadits.

Menghafalkan Al Qur’an

Ibnu ‘Abdl Barr rahimahullah mengatakan:

طلب العلم درجات ورتب لا ينبغي تعديها، ومن تعداها جملة فقد تعدى سبيل السلف رحمهم الله، فأول العلم حفظ كتاب الله عز وجل وتفهمه

“Menuntut ilmu itu ada tahapan dan tingkatan yang harus dilalui, barangsiapa yang melaluinya maka ia telah menempuh jalan salaf rahimahumullah. Dan ilmu yang paling pertama adalah menghafal kitabullah ‘azza wa jalla (Al Qur’an) dan memahaminya” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/1129).

Menghafalkan Al Qur’an juga kita lakukan dalam rangka upaya agar menjadi shahibul qur’an (pecinta Al Qur’an). Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ

“bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an” (HR. Muslim no.804).

Siapa itu shahibul qur’an? Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan, “Ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

يؤمُّ القومَ أقرؤُهم لِكتابِ اللَّهِ

“hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap Kitabullah” (HR. Muslim no. 673, dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu).

Makna aqra’ adalah: yang paling hafal. Sehingga derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “menghafal Al Qur’an adalah mustahab (sunnah)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.89906). Namun yang rajih insya Allah, menghafal Al Qur’an adalah fardhu kifayah, wajib diantara kaum Muslimin ada yang menghafalkan Al Qur’an, jika tidak ada sama sekali maka mereka berdosa (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 17/325).

Semakin banyak hafalan seseorang, akan semakin tinggi pula kedudukan yang didapatkan di surga kelak. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يُقالُ لصاحبِ القرآنِ اقرأْ وارتقِ ورتِّلْ كما كنت تُرتِّلُ في الدنيا فإنَّ منزلَك عند آخرِ آيةٍ تقرؤُها

“Akan dikatakan kepada shahibul qur’an (di akhirat) : bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia. karena kedudukanmu tergantung pada ayat terakhir yang engkau baca” (HR. Abu Daud 2240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Menghafalkan Al Qur’an hendaknya dimulai dari yang paling mudah dulu. Urutannya sebagai berikut:

  1. Hafalkan juz 30, lalu
  2. Hafalkan juz 29, lalu
  3. Hafalkan juz 28, lalu
  4. Hafalkan juz 1 – 27

Dan hendaknya dalam menghafalkan Al Qur’an, juga dibimbing oleh seorang guru yang bisa mengoreksi bacaannya dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah ia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama. Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al Mishri, “salah satu adab penuntut ilmu adalah: memberi perhatian untuk mengoreksi pelajarannya yang sudah ia hafal sebelumnya secara mutqin (sempurna) di depan syaikh (guru). Atau di depan orang lain yang bisa membantunya. Kemudian dengan cara demikian ia bisa memiliki hafalan yang mutqin. Kemudian setelah itu ia ulang-ulang hafalannya dengan baik. Kemudian dia menjadwalkan waktu-waktu untuk mengulang hafalan yang telah berlalu. Sehingga menjadi hafalan yang kokoh dan kuat” (Al Mu’lim bi Adabil Mu’allim wal Muta’allim, hal. 83).

Menghafalkan hadits-hadits Nabi

Selain menghafalkan Al Qur’an, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al Qur’an.

Menghafalkan hadits-hadits juga memiliki keutamaan yang besar. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نضَّرَ اللَّهُ امرأً سمِعَ مَقالتي فبلَّغَها فربَّ حاملِ فقهٍ غيرِ فقيهٍ وربَّ حاملِ فقهٍ إلى من هوَ أفقَهُ مِنهُ

“Allah akan memberikan nudhrah (cerahnya wajah) kepada seseorang (di dunia dan di akhirat) yang mendengarkan sabda-sabdaku, lalu menyampaikannya (kepada orang lain). Karena betapa banyak orang yang membawa ilmu itu sebenarnya tidak memahaminya. Dan betapa banyak orang disampaikan ilmu itu lebih memahami dari pada yang membawakan ilmu kepadanya” (HR. Ibnu Majah no. 2498, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi rahimahullah menjelaskan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi umat untuk menghafalkan hadits. Bahkan beliau menegaskan kepada kita untuk menghafalnya dengan mutqin, sehingga kita tidak menyampaikan hadits secara makna. Beliau bersabda dalam riwayat lain:

فحفظها فأداها كما سمعها

“… sehingga ia bisa menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya”.

Kemudian perkataan [Allah akan memberikan nudhrah], maksudnya adalah nadharah, yaitu: bagusnya wajah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah mereka pada hari itu dalam keadaan nadhirah (cerah), memandang kepada Rabb mereka” (QS. Al Qiyamah: 22-23).

Karena ketika para hamba memandang kepada wajah Allah, maka wajah mereka pun bertambah indah dan bagus. Nadharah yang disebutkan dalam hadits di atas diperselisihkan oleh para ulama maknanya dalam dua pendapat:

Pertama, mereka akan dikumpulkan di hari Kiamat dalam keadaan wajah mereka memancarkan cahaya, seperti matahari. Dikarenakan ia menghafalkan as sunnah (hadits). Semakin banyak hadits yang ia hafalkan, semakin Allah tambahkan cahaya di wajahnya dan Allah akan menerangi dia dengan cahaya sunnah. Oleh karena itu, Ahlussunnah di wajah mereka ada cahaya.

Kedua, sebagian ulama mengatakan, pada wajah orang-orang Ahlussunnah terdapat cahaya yang ini terjadi di dunia. Karena Allah menjadikan para wajah mereka ada cahaya dan kecerahan wajah. Maka wajah mereka adalah wajah-wajah kebaikan. Jika engkau melihat wajah salah seorang dari Ahlussunnah, maka akan tenang hati anda. Anda akan mengetahui bahwasanya itu adalah wajah orang yang baik dan shalih. Karena ubun-ubun dan wajah itu mengikuti amalan. Allah ta’ala berfirman:

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ

“Ubun-ubun (orang) yang pendusta dan berbuat dosa” (QS. Al ‘Alaq: 16)” (Syarh Zaadil Mustqani’, 30/368).

Menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga dimulai dari yang mudah-mudah yang ringkas terlebih dahulu. Yang paling disarankan adalah:

  1. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Al Arba’in An Nawawiyah, karya Imam An Nawawi rahimahullah, lalu
  2. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Umdatul Ahkam, karya Abdul Ghani Al Maqdisi rahimahullah, lalu
  3. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al Asqalani, lalu
  4. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Al Adabul Mufrad, karya Imam Al Bukhari.

Setelah itu baru bisa menghafalkan Kutubus Sittah dan kitab-kitab hadits yang lebih tebal lagi. Dan ini pun hendaknya dibimbing oleh seorang guru yang bisa bacaannya dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah ia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama.

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga menjadi motivasi bagi kita semua. Wallahu waliyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Dua Hukum Islam yang Sangat Penting

Allah Swt berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS.an-Nisa’:58)

Kali ini kita akan mengkaji dua hukum Islam yang sangat penting, yaitu :

1. Menyampaikan amanat.
2. Adil dalam bersikap.

Dengan keduanya, masyarakat akan meraih ketentraman dan keamanan.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”

Jelas bahwa amanat ini memiliki makna yang luas, mencakup urusan materi ataupun maknawi. Dan setiap muslim wajib menyampaikan amanat kepada yang berhak tanpa terkecuali. Kepada saudara muslim ataupun non-muslim.

Karena masalah ini adalah salah satu komitmen Islam dalam menjaga hak-hak manusia.

Perkara kedua yang tak kalah penting adalah keadilan dalam bersikap dan menetapkan hukum.

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْل

“Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”

Islam juga mewasiatkan agar kita memperhatikan keadilan dalam menetapkan sikap dan hukum di antara manusia.

Kemudian ayat di atas memberi penekanan kembali :

إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ

“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.”

Karena setiap pesan dari Allah Swt untuk manusia pasti demi kemaslahatan dan kebaikan hamba-Nya.

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (QS.an-Nisa’:66)

Dan sebagai penutupnya, ayat ini kembali memberi penekanan :

إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dia selalu memantau setiap perbuatan kita, mendengar pembicaraan kita dan melihat semua perilaku kita.

Dan yang penting untuk di ingat, masalah menyampaikan amanat lebih didahulukan daripada masalah keadilan, seakan ini menjadi pesan bahwa masalah keadilan dalam hukum seringkali tertabrak oleh “pengkhinatan”.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Wasiat Allah Kepada Manusia

Di masa yang penuh dengan berbagai ujian, musibah, pandemi dan berbagai kesulitan ini, tidak ada pilihan bagi kita kecuali kembali kepada pesan dan wasiat dari Allah Swt. Karena Dia-lah Sang Pencipta yang paling mengerti kebutuhan hamba-Nya. Tentunya kembali kepada pesan-pesan dari Sang Pencipta adalah satu-satunya jalan agar kita bisa merasa tenang dan menemukan jalan keluar dari berbagai masalah yang kita hadapi

Lalu apa pesan dan wasiat dari Allah kepada hamba-Nya?

Allah Swt berfirman :

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ ۚ

dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. (QS.an-Nisa’:131)

Wasiat Allah kepada hamba-Nya adalah takwa. Takwa adalah perisai dan pelindung. Takwa adalah pakaian bagi jiwa dan ruh yang menjaga keduanya.

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS.al-Haj:32)

Adapun sifat-sifat dari ketakwaan adalah :

1. Takwa adalah tolok ukur kemuliaan di sisi Allah.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. (QS.al-Hujurat:13)

2. Takwa adalah salah satu syarat terkabulnya amal.

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS.al-Ma’idah:27)

3. Takwa adalah sebaik-baik pakaian.

وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ

Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. (QS.al-A’raf:26)

4. Takwa adalah kunci datangnya hidayah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS.al-Anfal:29)

5. Takwa adalah sebaik-baik bekal.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa (QS.Al-Baqarah:197)

6. Takwa adalah kunci yang membuka berkah dari langit dan bumi.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS.al-A’raf:96)

7. Takwa mengundang rezeki dan jalan keluar.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا- وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. at-Thalaq:2-3)

8. Takwa merontokkan dosa dan kesalahan serta menambah pahala.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (QS.ath-thalaq:5)

9. Takwa membawa manusi menuju surga Allah.

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ – فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa. (QS.al-Qamar:34-35)

Itulah ayat-ayat yang membicarakan tentang takwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang yang bertakwa.

KHAZANAH ALQURAN

Kemenag: Jamaah Haji Minimal Tiga Kali Tes Swab

Penerapan protokol kesehatan (prokes) menjadi ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan haji di masa pandemi. Salah satu prokes yang wajib dipatuhi terkait pemeriksaan swab PCR.

“Jika Saudi mengizinkan keberangkatan haji Indonesia, maka setidaknya jemaah akan melakukan tiga kali swab PCR,” ujar Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Ramadhan Harisman, dikutip di laman resmi Kemenag, Rabu (31/3).

Ramadhan menyebut swab PCR pertama dilakukan paling lambat 2×24 jam sebelum terbang ke Arab Saudi. Tes swab kedua dilakukan saat tiba di Arab Saudi. Dan terakhir, swab PCR dilakukan jelang kepulangan jamaah ke Tanah Air.

Selain swab PCR, jamaah juga harus melakukan swab Antigen. Swab Antigen ini dilakukan jelang masuk asrama haji. Sebab, jamaah saat akan masuk asrama harus membawa bukti negatif hasil swab antigen.

Ramadhan menegaskan, semua jamaah dan petugas haji 1442H/2021M wajib divaksinasi. Kemenag telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait vaksinasi jamaah haji yang sudah melunasi biaya haji 2020.

“Alhamdulillah, jamaah yang sudah melunasi biaya haji 2020 dan usianya di atas 60 tahun, sudah masuk prioritas vaksinasi untuk kategori lansia. Targetnya 31 Maret, dua kali dosis vaksin sudah disuntikkan ke jemaah,” ujarnya.

Terkait jamaah yang sudah melunasi biaya haji 2020 dan usianya di bawah 60 tahun, berdasarkan hasil koordinasi dengan Kemenkes, mereka akan masuk kategori rentan. Sebab, mereka akan melakukan perjalanan jauh ke luar negeri.

“Insya Allah jemaah yang sudah melunasi biaya haji 2020, akan divaksin dan dijadwalkan pada akhir Mei semua sudah divaksinasi,” kata dia.

IHRAM

Imam Abu Hanifah dan Khawarij

 Khawarij adalah salah satu sekte keagamaan dalam komunitas Muslim. Ia lahir pascaarbitrase (tahkim), atau perundingan damai, antara dua kelompok yang berperang: kelompok yang dipimpin Ali bin Abi Thalib versus kelompok pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Sebelum perundingan, orang-orang Khawarij ini adalah pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Tetapi keputusan Ali yang menyetujui arbitrase sangat mengecewakan mereka. Menurut mereka, keputusan Ali menerima perundingan itu bertentangan dengan keputusan Tuhan. Berunding dengan orang-orang yang menentang kekuasaan yang sah adalah sebuah kesalahan. Ali adalah penguasa yang sah. Karena kekecewaan itu, mereka keluar dan melakukan perlawanan bukan hanya terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, tetapi juga terhadap Ali bin Abi Thalib yang menyetujui perundingan tersebut.

Salah satu ajaran Khawarij yang sangat terkenal adalah bahwa orang-orang yang terlibat dalam perundingan (arbitrase) adalah kafir, karena mereka tidak mengikuti hukum Allah. Menurut mereka, kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah sah. Maka penentangan terhadapnya adalah penentangan terhadap kekuasaan yang sah. Itulah hukum Allah. Jadi barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka dia kafir, zalim dan fasik.  Dewasa ini Khawarij diidentikkan sebagai kelompok Islam radikal. Kelompok ini dikenal menolak dan menentang setiap pandangan di luar pandangan dirinya. Mereka tak mau berunding dan bertoleransi kepada pandangan yang berbeda.

Nah, ini ada salah satu kisah yang menarik hati. Suatu hari Dhahhak bin Qais, salah seorang pengikut Khawarij, menemui Imam Abu Hanifah yang sedang berada di masjid Kufah, Irak. Dia sengaja menemuinya karena mengetahui Abu Hanifah, tokoh dan ulama besar yang sangat berpengaruh, menyetujui arbitrase. Dengan wajah yang tampak garang, dia bilang:

Dhahhak (D): “Hai, Abu Hanifah, bertobatlah segera!” katanya tegas.

Abu Hanifah (AH): “Untuk apa saya harus tobat?”

D: “Karena kamu membenarkan dua pihak yang berunding itu.”

AH: “Jadi, kamu mau membunuh saya atau berdebat?”

D: “Berdebat!”

AH: “Baik. Jika kita berbeda pendapat, siapa yang akan menengahi kita berdua?”

D: “Sila tunjuk orang lain yang kamu suka.”

Abu Hanifah kemudian mencari orang yang ada di dalam masjid dan teman Dhahhak, lalu menghadirkannya untuk menjadi moderator mereka.

AH: “Sila duduk. Kami memintamu menjadi moderator dalam perdebatan kami,” ujar Abu Hanifah kepada si teman tadi.

AH: “Dhahhak, kamu setuju orang ini menengahi perdebatan kita?”

Melihat si moderator adalah anggota jamaahnya, Dhahhak segera mengangguk dengan wajah cerah. “Baik, aku setuju!”

AH: “Nah, jelas sekarang kamu menyetujui arbitrase, bukan?”

Dhahhak diam, membisu, tak berkutik dan benar-benar terpukul. Abu Hanifah lalu meninggalkannya dengan melenggang-tenang.

[Tulisan ini disadur dari buku Lawaamii’ al-Hikmah ‘Pendar-pendar Kebijaksanaan’]

BINCANG SYARIAH

Khawarij, Kaum Ekstrimis pada Masa Awal Islam

Dalam sejarah Islam banyak sekali aliran dan kelompok teologis yang berkembang. Banyak yang bertahan, namun ada pula yang telah sirna ditelan zaman. Di antara yang menarik banyak perhatian para pengkaji teologi Islam adalah khawarij. Dalam konteks sekarang, kelompok yang menamakan dirinya khawarij bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Akan tetapi secara sikap dan pandangan yang ekstrimis barangkali masih ada sampai kapanpun.

Secara etimologis, khawarij adalah bentuk plural dari kharij yang berarti orang yang keluar. Dalam bentuk plural, Khawarij bermakna orang-orang yang keluar. Kelompok ini menganggap dirinya sebagai orang yang mendaku sebagai paling islami. Kelompok khawarij dalam konteks klasik diterjemahkan oleh al-Syahrastani sebagai kelompok yang keluar dari sikap keberagamaan mayoritas (al-Aswad al-A’zham) di masa kekhalifahan al-Rasyidin, atau generasi tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi) atau umat Islam di setiap zaman. Hal ini ditandai oleh sikap keberpalingan dan pemunggungan dari sikap yang menampilkan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Khawarij sebagaimana dijelaskan al-Syahrastani dalam karya al-Milal wa al-Nihal lahir dari konteks ‘politis’, yaitu adanya ketidakpuasan atas sikap Ali bin Abi Thalib yang melakukan al-Tahkim (perundingan bersama) dengan kelompok yang awalnya memeranginya. Kejadian al-Tahkim ini terjadi ketika terjadi peperangan antara kelompok Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abi Sufyan yang dikenal dengan perang shiffin.

Pihak Muawiyyah kemudian minta perundingan bersama dengan pihak Ali dengan mengangkat al-Quran sebagai jaminan. Ali bin Abi Thalib pun menyetujuinya. Akan tetapi di sisi lain, kaum Khawarij yang awalnya merupakan pengikut setia Ali, berubah membelot dan menentang sikap Ali di atas. Dengan menunjukkan sikap arogan dan antagonis, kelompok ini kemudian mengatakan La Hukma Ila Lillah yang berarti tidak ada hukum kecuali hukum Allah.

Pemahaman kaum khawarij ini didasarkan atas pemahaman tekstualisme terhadap ayat Allah

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

Dan ayat lain

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang kafir.”

Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin umat Islam saat itu dianggap oleh kaum khawarij sebagai orang kafir.

Pemahaman kaum Khawarij sekaligus pembelotannya dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ini, ditanggapi langsung oleh sang Amirul Mukminin,  ia berkata, Kalimatu Haqqin Urida biha Bathilun” kalimat (ayat) itu benar akan tetapi dimaksudkan dan dipahami secara bathil, salah. Dalam Bahasa lain, nassun makhtutun baina dafatai  al-Mushafla yatakallamu wa innama yatakallamu bihi al-Rijal, al-Quran itu adalah teks tertulis yang terletak di antara dua lembaran (papan, karena waktu itu al-Quran ditulis di atasnya).

Ali bin Abi Thalib ingin  mengatakan bahwa al-Quran itu perlu dijelaskan karena ia tidak bisa berbicara sendiri. Tidak diragukan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling berilmu. Dalam sebuah hadis nabi dikatakan, Ana Madinatul Ilmi wa ‘Ali Babuha, saya adalah kotanya ilmu dan Ali adalah gerbangnya.

Secara benih-benih pemikiran, khawarij ini sudah pernah ada dalam konteks awal Islam. Ia dikenal dengan nama Dzu al-Khuwaishir. Tokoh ini adalah sahabat nabi yang paling rajin beribadah, dikenal tak pernah meninggalkan solat dan puasa. akan tetapi, ketika ikut berjihad bersama Rasulullah dan Nabi membagikan harta rampasan perang, ia malah menyanggah Nabi. Dengan lantang ia berkata ‘Ya Nabi, bagikanlah secara adil’. Lantas Nabi pun berkata, ‘jika aku tidak berlaku adil, lantas siapa yang paling bisa bersikap adil’.

Al-Syahrastani mengatakan setelah terjadinya konflik al-Tahkim, kelompok ini menetap di daerah yang bernama Harura’, salah satu daerah di Kufah (sekarang Irak). Kelompok Khawarij ini dinahkodai oleh Abdullah bin al-Kawa’ dengan beberapa nama seperti ‘Attab bin al-A’war, Yazid bin ‘Ashim al-Muharibi dan selainnya. Saat  itu diperkirakan mereka berjumlah 12000 orang. Mereka mengklaim dirinya orang yang paling taat melaksanakan ibadah salat dan puasa.

Di antara beberapa pemikiran kaum khawarij adalah mereka mencela sahabat Nabi seperti Utsman dan pengikutnya yang ikut andil dalam perang Shiffin. Pemikiran mereka yang paling ekstrim adalah tidak segan-segan untuk menyebut kafir orang-orang yang berbeda pendapat dari mereka. Muhammad Abu Zahrah dalam buku Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah (sejarah berbagai aliran Islam) menyebut kelompok ini bahkan tidak segan-segan membunuh orang Islam. Konon, di kalangan mayoritas masyarakat Islam saat itu dikenal bahwa orang-orang Kufah sebagai orang-orang yang tidak bisa dipercaya.

BINCANG SYARIAH

Adakah Ciri-ciri Khawarij di Masyarakat Muslim Hari Ini?

Para pemikir dari kalangan Islam moderat banyak yang menuding ideologi Khawarij (Khawarijisme) sebagai biang kerok pecahnya ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam saat ini. Sebagai golongan, kaum Khawarij memang sudah lama lenyap namun sebagai sebuah gerakan pemikiran, Khawarij masih tetap hidup sampai sekarang. Khawarij memang tidak pernah masuk ke Indonesia karena keburu lenyap. Tetapi ideologi puritannya sering dijadikan inspirasi bagi sebagian ormas-ormas Islam di Indonesia.

Kita boleh tidak setuju dengan asumsi demikian. Kita mungkin bisa mempertanyakan apakah betul semua mazhab di Indonesia tingkat fanatismenya dapat disamakan dengan Khawarij. Apakah betul fanatisme mazhab keagamaan ini sudah ada sejak lama atau hanya muncul menjelang Pilpres baru-baru ini? Tentu sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus lebih dulu mengetahui ciri-ciri Khawarij di masa lalu agar kita dapat membaca karakteristik pemikirannya di masa sekarang dan kita dapat berusaha menjauhi dampak negatifnya.

Ciri Khawarij yang pertama ialah mereka sangat patuh kepada teks-teks formal Alquran dan hadis. Mereka menafsirkan Alquran secara literal dan tanpa ada usaha untuk melihat konteks dan maksud dari ayat yang bersangkutan. Mereka tidak dapat menangkap makna yang tersirat dan mereka hanya mengandalkan makna yang tersurat.

Bagi kaum Khawarij, wanita yang haid wajib berpuasa. Hal demikian karena dalam pandangan mereka Alquran tidak memasukkan wanita yang haid sebagai kategori orang yang dibebaskan dari kewajiban berpuasa. Wanita haid tidak termasuk ke dalam kategori orang yang sakit, atau bepergian atau yang tidak mampu berpuasa.

Ketika ada seorang perempuan mengatakan di depan Aisyah bahwa perempuan haid harus berpuasa, Aisyah bertanya apakah wanita tersebut seorang Khawarij. Aisyah kemudian menegaskan, “Kami diperintah untuk meng-qadha puasa tetapi tidak diperintah untuk meng-qadha shalat.”

Khawarij memang merasa paling berpegang kepada Alquran hanya karena sudah mengutip sepotong ayat yang menunjang pendapat mereka.

Ciri Khawarij yang kedua ialah mereka memang sangat patuh menjalankan ibadat ritual, paling merasa bahwa mereka sendirilah yang paling sesuai dengan ajaran Nabi namun mereka sangat kaku dalam hubungan sosial, terutama kepada kaum Muslim sendiri.

Bila ayat-ayat mengenai neraka sampai di telinga mereka berguncanglah tubuh mereka seolah-olah mereka berada di pinggir api neraka. Dahi mereka menghitam karena bekas sujud. Tidak jarang mereka menangis terisak-isak dalam salat mereka. Dalam musnad Ahmad bin Hanbal dikisahkan di depan Nabi tentang seorang laki-laki yang terkenal khusyuk dalam ibadah, tetapi Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membunuhnya bila menemukannya. Nabi menyebutkan bahwa orang tersebut akan menjadi sumber perpecahan di kalangan umat Islam. Para ulama hadis menyebutkan bahwa orang itu kelak akan menjadi pimpinan kaum Khawarij.

Orang yang begitu patuh menjalankan shalat, yang tidak mau disentuh dengan makanan haram, ternyata dengan dingin membunuh saudaranya sesama Muslim hanya karena berbeda pendapatnya dengan kelompok mereka.

Kita mungkin bertanya-tanya apakah betul fenomena Khawarij seperti ini ada di sekitar kita? Adakah di antara kita yang secara kaku berpegang kepada Alquran dan hadis hanya dalam kerangka pemikiran kelompok kita dan tidak menghormati penafsiran dan pemahaman kelompok yang lain? Apakah dengan mudah kita mengkafirkan sesama Muslim hanya karena berbeda pendapat dengan kita lalu kita menghalalkan darahnya untuk dibunuh? Atau kita halalkan segala hal – fitnah, kebohongan, tirani, penyalahgunaan kekuasaan untuk menjatuhkan orang yang tidak sepaham dengan kita?

Bila kita menjawab “ya” untuk pertanyaan-pertanyaah ini, Khawarij masih hidup di sekitar kita. Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Mencela Pemimpin Ciri Kaum Khawarij

Mencela pemimpin merupakan ciri khas manhaj yang ditempuh oleh kaum khawarij. Awalnya hanya sekadar mengkritik dan membeberkan aib pemimpin di atas mimbar, seminar, koran dan medsos tetapi membengkak hingga tiada lain terminal akhirnya kecuali memberontak pemimpin. Jelas kiranya, metode ini menyelisihi petunjuk Nabi dalam mengingkari penguasa dan merupakan sumber segala fitnah/kerusakan sepanjang sejarah sebagaimana dikatakan imam Ibnu Qayyim dalam Ilam Muwaqqiin (3/7).

Sebagai bukti bahwa metode seperti itu adalah metode yang diterapkan kaum khawarij adalah riwayat imam Tirmidzi dan selainnya dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi, katanya: “Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya”” (Lihat Shahih Sunan Tirmdzi: 1812 oleh Al-Albani).

Imam Dzahabi berkata: “Abu Bilal namanya adalah Mirdas bin Udiyyah, seorang khawarj tulen. Karena kejahilannya, maka dia menganggap pakaian tipis bagi kaum pria adalah pakaiannya orang fasiq” (Siyar Alam Nubala 14/508 oleh imam Dzahabi). Demikianlah khawarij sepanjang zaman, mereka salah kaprah dalam metode mengingkari dan jahil akan hal yang diingkari.

Satu hal lagi yang perlu sekali saya sampaikan di sini bahwa hanya sekedar menghujat pemimpin muslim -sekalipun fasiq- merupakan ciri khas manhaj khawarij, sebab manusia tidak akan memberontak pemimipin tanpa ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka walau dengan dalih menegakkan pilar amar maruf nahi mungkar. Oleh karenanya, para ulama menilai bahwa para penggerak pemberontakan, pengkritik dan pencela pemimpin adalah khawarij sekalipun sepanjang sejarah mereka tidak pernah memberontak. Dalam kitab sejarah dan firaq (kelompok dan golongan) mereka disebut Al-Qaadiyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mensifati sebagian jenis khawarij: “Dan kaum Al-Qaadiyyah yaitu kelompok yang melicinkan pemberontakan terhadap pemerintah sekalipun tidak langsung memberontak”. Bahkan, kadang-kadang orang yang mengompori untuk berontak lebih jelek daripada yang langsung memberontak sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam Masail Ahmad hal. 271 dar Abdullah bin Muhammad berkata: “Khawarij jenis Al-Qaadiyyah adalah sejelek-jeleknya kelompok khawarij!”. Para ulama masa kini juga telah membendung dan memerangi pemikiran-pemikiran khawarij model Al-Qaadiyyah ini.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tatkala menjelaskan hadits Dzil Huwaishiroh: “Hadits ini merupakan dalil yang sangat mendasar bahwa berontak pada pemimpin bukan hanya dengan pedang semata tapi bisa juga dengan perkataan dan ucapan. Perhatikanlah, orang ini (Dzul Huwaishrah), dia tidak mengangkat pedang guna membunuh Nabi tapi dia hanya mengingkarinya (dengan terang-terangan). Apabila dijumpai dalam sebagian kitab ahli sunnah yang menyatakan bahwa berontak itu adalah dengan pedang, maka maksudnya adalah puncak pemberontakan”.

(Lihat Fatawa Ulama Al-Akabir hal. 94-96 dan Madarik An Nadhar hal. 272-275 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani). [Ust. Abu Ubaidah As Sidawi]

INILAH MOZAIK

Pelajarilah Bahasa Arab Agar Memahami Agama

Mempelajari bahasa Arab memiliki peranan penting dalam menuntut ilmu agama. Karena Al Quran, hadis, perkataan para salaf, dan kitab-kitab para ulama, semuanya dalam bahasa Arab. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” (QS. Az-Zukhruf: 3-4).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا

“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang” (QS. Maryam: 97).

Dan lisan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam juga merupakan lisan Arab yang jelas dan mudah dipahami, bagi yang memahami bahasa Arab. Allah ta’ala berfirman:

لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

“Padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya ia berbahasa ‘Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang” (QS. An Nahl: 103).

Sehingga tidak mungkin bisa memahami agama dengan sempurna kecuali dengan memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, para ulama salaf maupun khalaf memotivasi kita untuk mempelajari bahasa Arab.

Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:

تعلَّموا العربيةَ؛ فإنها من دينِكم

“Pelajarilah bahasa Arab karena itu adalah bagian dari agama kalian”

Perkataan ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (11/234), juga Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kabir (6/209), namun sanadnya munqathi’ (terputus). Namun secara makna, perkataan ini sahih. Oleh karena itu, riwayat ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim (hal. 470) ketika beliau membahas pentingnya belajar bahasa Arab.

Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

مَا جَهِلَ النَّاسُ، وَلاَ اخْتَلَفُوا إلَّا لِتَرْكِهِم لِسَانَ العَرَبِ، وَمِيلِهِمْ إِلَى لِسَانِ أَرْسطَاطَالِيْسَ.

“Tidaklah manusia itu menjadi jahil (dalam masalah agama), kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan lebih condong pada perkataan Aristoteles” (Siyar A’lamin Nubala, 8/268).

Beliau rahimahullah juga mengatakan:

من تبحّر في النحو اهتدى إلى جميع العلوم

“Siapa yang mahir ilmu nahwu, maka ia akan mendapat petunjuk untuk memahami semua ilmu (agama)” (Syadzarat adz-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, Ibnu ‘Imad Al Hambali, 2/407).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim sangat tegas menjelaskan pentingnya belajar bahasa Arab. Beliau mengatakan: “Demikian juga, bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama. Dan mempelajarinya wajib hukumnya. Karena memahami Al-Qur’an dan As+Sunnah itu wajib, dan keduanya tidak bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Kaidah mengatakan “jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan suatu sarana, maka sarana tersebut hukumnya wajib“. Namun mempelajari bahasa Arab ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah. Inilah makna dari riwayat yang disebutkan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah, Isa bin Yunus telah menuturkan kepada kami, dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, ia berkata, Umar bin Khathab menulis surat kepada Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang isinya: Amma ba’du, hendaknya kalian mempelajari as-Sunnah, hendaknya kalian mempelajari bahasa Arab, dan i’rab-lah Al Qur’an karena ia dalam bahasa Arab” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, hal. 269 – 270).

Dengan mempelajari bahasa Arab, kita juga bisa menyelami penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Dan terbuka pintu jutaan referensi-referensi ilmu yang telah dikaji para ulama. Sehingga dalam hal ini, keuntungan yang akan didapatkan dengan memahami bahasa Arab adalah:

  • Kita membaca langsung penjelasan ulama dari referensi aslinya. Sehingga tidak terjadi distorsi informasi yang kadang terjadi ketika perkataan ulama disampaikan oleh orang lain.
  • Tidak taqlid pada terjemahan kitab, yang terkadang terjemahan kitab tergantung pemahaman dan kecenderungan dari penerjemahnya.
  • Seolah sedang bicara dengan ulama penulis kitabnya.
  • Lebih yakin dengan materi, karena tahu yang dibaca adalah perkataan ulama, bukan sekedar ustaz atau dai.
  • Lebih menyelami makna-makna dari dalil dan penjelasan ulama karena terkadang kata dalam bahasa Indonesia tidak mewakili makna secara sempurna.

Dan masih banyak lagi keuntungan lainnya. Oleh karena itu, hendaknya kita bersemangat untuk belajar bahasa Arab agar dapat memahami agama kita dengan baik.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id