Nasihat TGB Bagi Orang yang Tidak Mau Pakai Masker

Pandemi Covid-19 di Indonesia tak kunjung jua usai. Kian hari kian bertambah orang yang terjangkit. Pun korban yang meninggal akibat Covid-19, sepanjang bulan Juni-Juli terus bertambah. Pemerintah mengeluakan kebijakan PPKM sebagai upaya memutus mata rantai laju Covid-19.

Laju Covid-19 harus diakui kian semakin mengkhawatirkan. Terutama bagi mereka yang berada dalam zona hitam dan merah, seperti Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di tengah isu yang tak sedap ini, banyak masyarakat yang seolah kehilangan harapn. Sehingga muncul anekdot, “Sekarang menunggu gilaran untuk positif dan mati saja,”.

Bagaimana tidak? Rumah sakit telah mencapai kafasitasnya. Di sisi lain, oksigen sebagai alat bantu untuk pernapasan langka. Padahal ini dibutuhkan seseorag ketika terjangkit Covid-19.

Pun banyak juga masyarakat kehilangan mata pencaharian terlebih dengan adanya PPKM. Pedagang kaki lima banyak terkena imbas. Kafe-kafe banyak yang tutup. Belum lagi razia yang dilakukan oleh tim gabungan Polri, TNI, Pemda, dan Satpol PP agar tak terjadi kerumunan.

Masyarakat di tengah wabah ini seolah kehilangan harapan. Tinggal menunggu giliran; positif atau mati. Nah di tengah ketidakpastian nasib dan putus asa itu. Tampaknya kita sebagai masyarakat muslim dan orang beriman tak diperbolehkan Al-Qur’an untuk putus asa.

Nasihat Tuan Guru Bajang, Muhammad Zainul Majdi. Atau yang akrab disapa dengan TGB, patut kita jadikan renungan bersama. Terlebih dalam menghadpi wabah Covid-19 ini. Nasihat itu termaktub dalam Youtube Next Scene ID dengan judul Fatwa TGB Menghadapi Virus Corona.  Berikut nasihatnya;

Pertama, dalam menghadapi Virus Covid-19 seorang muslim jangan lupa kembali kepada pada Allah. Dalam Al-Qur’an  Q.S Adz Zariyat disebutkan seorang hamba diperintahkan untuk lari atau kembali kepada Allah. Terkait hal ini, Allah Swt. berfirman:

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

Artinya; Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.

Ada pun Imam Zamakhsyari dalam tafsirnya Al- Kasyaf  menyebutkan tafsir dari Q.S Adz Dzariyat ayat 50 ini adalah larilah atau mendekat kepada Allah dengan taat dan mengharapkan pahala darinya. Dan jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan apapun.

Imam Zamakhsyari berkata;

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ أى إلى طاعته وثوابه «1» من معصيته وعقابه، ووحدوه ولا تشركوا به شيئا،

Sementara itu Abu Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, atau yang populer dengan panggilan Ibnu Katsir dalam  kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,  menyebutkan bahwa maksud ayat 50 di atas adalah berlindunglah kepada Allah dan senantiasa berpegan kepada agama Allah dalam pelbagai urusan kalian.

Pada sisi lain,  menurut Imam Al Qurthubi  dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi  menerangkan secara lengkap makna  Q.S Adz Dzariyat atyat 50. Ia menukil pendapat ulama tentang arti farirru ilallah. Imam Qurtubi menafsirkan begini;

وقال أبو بكر الوراق :   فروا من طاعة الشيطان إلى طاعة الرحمن . وقال الجنيد :  الشيطان داع إلى الباطل ففروا إلى الله يمنعكم منه  وقال ذو النون المصري :   ففروا من الجهل إلى العلم ، ومن الكفر إلى الشكر.  وقال عمرو بن عثمان:  فروا من أنفسكم إلى ربكم

Artinya; Abu Bakar Al-Warraq berkata:  mereka  lari dari taat kepada setan menuju taat kepada Allah dzat yang maha pengasih. Sementara itu  Junaid berkata : Setan mengajak manusia pada jalan kebatilan/kemungkaran,  maka larilah kalian semua kepada allah dari pelbagai perkara yang dilarang.

Adapun Dzunnun Al-Mirsi berkata: maka larilah kalian dari kebodohan menuju pengetahuan (ilmu) dan lari dari kekufuran nikmat, kepada mensyukuri nikmat. Sementara Umar bin Utsman berkata : larilah kalian semua pada jalan Tuhanmu.

Ustadz dan ahli Al-Qur’an  yang berasal dari Nusa Tenggara Barat ini, sepantasnya orang beriman untuk berdoa pada Allah untuk dijauhkan dari wabah ini. Dan juga memohon perlindungan agar bangsa ini dijaga Allah.

Kedua, Islam mengajarkan manusia untuk taat pada wali ul amri (pemimpin)Untuk itu segala anjuran, seruan, pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan Covid-19 wajib untuk kita taati. Pasalnya ini untuk kebaikan kita semua. Termasuk berdiam diri di rumah. Tak keluar kecuali dalam hal darurat.

Ketika seseorang keluar, seyogianya ia menjaga jarak dari orang lain. selalu menjaga kebersihan diri, misalnya mencuci tangan.Pasalnya, taat pada pemerintah yang sah merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, Q.S an-Nisa ayat 59. Allah berfirman;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Menurut Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani al Hanafi, dalam kitab Bada’i ‘al-Sana’i’ fi Tartib al-Syara’i, bahwa mematuhi pemerintah hukumnya adalah wajib. Selama pemimpin tersebut tak menyuruh melaksanakan perbuatan maksiat.

Al Kasani dalam Bada’i ‘al-Sana’i’ fi Tartib al-Syara’i, jilid VII mengatakan;

طاعة الإمام فيما ليس بمعصيةٍ فرضٌ، فكيف فيما هو طاعةٌ؟

Artinya; Mematuhi pemimpin selama tidak menyuruh maksiat kepada Allah, merupakan kewajiban. Maka bagaimana kenapa tidak Taat?

Ketiga, seorang muslim dianjurkan untuk taat pada para ulama. Para ulama di pelbagai belahan dunia, Al Azhar, Kuwait, Turki, Arab Saudi, dan Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan panduan khususnya shalat jamaah di masjid dan shalat Jumat.

Dalam hal wabah seperti sekarang ini, para ulama dari pelbagai lintas negara Islam telah mengeluarkan fatwa bahwa adanya rukhsah, untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah dan shalat Jumat—diganti dengan Zuhur. Dan melaksanakan ibadah tersebut di dalam rumah, bersama dengan keluarga.

Fatwa ini dikeluarkan oleh ulama-ulama yang kompeten dalam ilmu Islam. Tujuannya untuk menghindarkan dari kemudharatan. Di samping itu juga, untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Pasalnya, salah satu tujuan syariah (maqashid ays syari’yah) adalah hifzd an nafs—menjaga kehidupan.

Keempat, selanjutnya nasihat bijak ditujukan pada orang-orang yang yang tak berkenan dalam memakai masker atau tak percaya Covid-19. Percaya itu merupakan hak pribadi. Tak bisa dipaksakan. Itu tak mengapa, tetapi silahkan itu diamalkan dalam ruang pribadi.

Artinya, seorang bisa saja menafikan adanya Covid-19 dan enggan memakai masker selama ia di rumah. Lain hukumnya, ketika ia telah keluar dari rumah. Itu bukan ranah privat lagi, tetapi sudah masuk lingkungan umum atau mua’malah.

Sementara itu, Islam mengajarkan manusia dalam pergaulan dan ranah sosial  untuk tidak jatuh kemudharatan dan juga jangan membuat kemudharatan. Rasulullah bersabda terkait larangan memperbuat kemudharatan ini;

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺقَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Artinya; Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.

Orang yang sudah keluar dari rumah (ruang privat), maka ia dikenakan adat. Kita tak boleh menimpakan keburukan pada manusia lain. Tergolong ranah umum atau mua’malah  itu ialah menggunakan jalur publik, masjid, pasar, mall, sekolah dan halte bus, terminal, dan stasiun.

Logikanya Anda tidak ingin mendapatkan penyakit, bukan? Tetapi kenapa Anda tak mau menjaga saudara Anda dari penyakit. Anda juga ingin tumbuh dan hidup sehat, tetapi kok Anda enggak peduli sama keadaan saudara Anda. Jadi ini semua, tanggung jawab di ruang muamalah atau sosial.

Nabi bersabda;

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Artinya; Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian nasihat TGB terhadap kondisi Covid-19 yang masih melanda Indonesia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengamalkan Sunnah Nabi ketika Banyak yang Meninggalkannya

Di akhir zaman, Islam akan kembali asing. Sampai-sampai kaum Muslimin tidak mengenal ajaran-ajaran agamanya sendiri. Mereka asing terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga sunnah Nabi banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin. Orang yang mengamalkan sunnah pun dianggap asing dan aneh. Maka di masa ketika itulah, orang yang istiqamah mengamalkan sunnah Nabi diuji kesabarannya. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita”[1].

Allah ta’ala juga berfirman,

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)”[2].

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

يأتي على النَّاسِ زمانٌ الصَّابرُ فيهم على دينِه كالقابضِ على الجمرِ

“Akan datang suatu masa, orang yang bersabar berpegang pada agamanya, seperti menggenggam bara api”[3].

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

بدأَ الإسلامُ غريبًا، وسيعودُ كما بدأَ غريبًا، فطوبى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah ghuraba (orang-orang yang asing)”[4].

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan hadis ini dengan mengatakan, “Artinya bahwa Islam dimulai dalam keadan asing sebagaimana keadaan di Mekkah dan di Madinah ketika awal-awal hijrah. Islam tidak diketahui dan tidak ada yang mengamalkan kecuali sedikit orang saja. Kemudian ia mulai tersebar dan orang-orang masuk (Islam) dengan jumlah yang banyak dan dominan di atas agama-agama yang lain.

Dan Islam akan kembali asing di akhir zaman, sebagaimana awal kemunculannya. Ia tidak dikenal dengan baik kecuali oleh sedikit orang dan tidak diterapkan sesuai dengan yang disyariatkan kecuali sedikit dari manusia dan mereka asing. Dan hadis lengkapnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فطوبى للغرباء

“Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing”.

dan dalam riwayat yang lain,

قيل يا رسول الله ومن الغرباء؟ فقال: الذين يصلحون إذا فسد الناس

Rasulullah- shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Wahai Rasulullah siapa yang asing itu (al-Ghuraba)?”. Rasulullah- shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Yaitu orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Dan dalam lafaz yang lain,

هم الذين يصلحون ما أفسد الناس من سنتي

”Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang dirusak manusia”[5]

Orang-orang yang bisa bersabar dan tetap istiqamah di masa itu, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kedudukan yang tinggi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ

“Beribadah di masa haraj (sulit), seperti berhijrah kepadaku”[6].

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

المراد بالهرج هنا الفتنة واختلاط أمور الناس

“Yang dimaksud dengan al-haraj adalah fitnah (kekacauan) dan kesemrawutan perkara di tengah manusia”[7].

Bahkan orang-orang yang istiqamah ketika itu dikatakan sebagai orang yang beruntung mendapatkan surga. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

بدأَ الإسلامُ غريبًا، وسيعودُ كما بدأَ غريبًا، فطوبى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah ghuraba (orang-orang yang asing)”[8].

Kata طوبى dalam hadis ini maknanya adalah surga. Dalam sebuah hadis disebutkan,

طوبى شجرةٌ في الجنَّةِ ، مسيرةُ مائَةِ عامٍ

“Tuba adalah pohon di surga, tingginya sepanjang perjalanan 100 tahun”[9].

Maka tidak mungkin bisa mendapatkan tuba ini kecuali orang yang masuk surga. Maka tetaplah istiqamah, dan bersabarlah. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67393-mengamalkan-sunnah-nabi-ketika-banyak-yang-meninggalkannya.html

5 Bahaya Harta Haram yang Diwanti-wanti Rasulullah ke Ali

Rasulullah SAW ingatkan Ali bin Abi Thalib bahaya harta haram

Dampak yang diakibatkan mengonsumsi atau menggunakan uang haram dalam kehidupan sehari-hari sangatlah besar. 

Bahaya penggunaan uang haram inilah, yang sangat diwanti-wantikan Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Washiyat Al-Musthafa karya Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syarani.

Berikut ini efek harta haram yang disampaikan Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib:          

1. Syubhat berakibat pada terkontaminasinya agama dan gelap hatinya 

يا علي، من اكل الشبها ت اشتبه عليه دينه واظلم قلبه ومن اكل الحرام مات قلبه وخف دينه وضعف يقينه و حجب الله دعوته وقلت عبادته

“ Wahai Ali, barang siapa yang makan makanan syubhat, maka agamanya akan syubhat dan hatinya akan menjadi gelap (maksudnya orang yang makan syubhat hatinya tidak akan bisa menerima nasihat agama sehingga gelap hatinya). Dan barang siapa yang makan makanan haram maka akan mati hatinya, ringan agamanya (menyepelekan agama), lemah keyakinannya, doanya akan terhalang dan sedikit ibadahnya.”

2. Harta haram bisa memicu murka Allah SWT

يا علي، اذا غضب الله على احد رزقه مالا حراما. فاذل اشتد غضبه عليه وكل به شيطانا. يبارك له فيه ويصحبه ويشغله بالدنيا عن الدن. ويسهل له امور دنياه ويقول: الله غفور رحيم

“Wahai Ali, Jika Allah marah kepada seseorang maka Allah akan memberinya rezeki yang haram. Dan ketika Allah semakin marah kepada seseorang hamba maka Allah akan mewakilkan (memberi kuasa) kepada setan untuk menambah rezekinya dan menemaninya, menyibukannya dengan dunia  serta melupakan agama. Memudahkan urusan dunianya dan setan berkata (menggoda dengan kalimat): Allah Mahapengampun dan Mahapenyayang.”  

3. Setan akan senantiasa membuntutinya 

ياعلي ماسافر احد طالبا الحرام ماشيا الا كان الشيطان قرينه، ولاراكبا الا كان رديفه، ولا جمع احد ما لا حراما الا اكله الشيطان. ولا نسى احد اسم الله تعالى عند الجماع الا شاركه الشيطان في ولده. وذلك قوله تعالى: وشاركهم في الاموال والاولاد وعدهم. الاسراء: ٦٤

“Wahai Ali, tidaklah seseorang berjalan kaki untuk mencuri perkara yang haram, kecuali setan akan menemaninya Jika ia berkendara maka setan akan mengikutinya. Dan tidaklah seseorang mengumpulkan harta haram, kecuali setan ikut memakannya. Dan jika lupa menyebut nama Allah ketika berhubungan suami istri, maka setan akan menemani anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah pada surat Al Isra ayat 64:

  وشاركهم في الاموال والاولاد وعدهم “Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah (janji palsu) mereka.”

4. Harta haram bisa menghentikan keberkahan dalam agama 

يا على، لا يزال المؤمن في زيادة في دينه مالم ياكل الحرام. ومن فارق العلما ء مات قلبه وعمى عن طاعة الله تعالى

“Wahai ali orang mukmin akan selalu bertambah (kuat) agamanya selama ia tidak memakan yang haram. Dan barangsiapa meninggalkan (menjauhi) ulama, maka hatinya akan mati, dan buta dalam melaksanakan taat kepada Allah.”    

5. Bacaan Alquran pemakan harta haram tak akan berdampak apapun bagi dirinya

ياعلى، من قرا القران ولم يحل حلاله ولم يحرم حرامه كان من الين  نبذوا كتاب الله وراء ظهورهم ghalalkan apa yang dihalalkan dalam Alquran dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan dalam Alquran maka orang tersebut termasuk orang-orang yang melemparkan kitab Allah (Alquran) ke belakang punggungnya.”   

KHAZANAH REPUBLIKA

Pengurus Masjid Diminta Sosialisasikan SE Idul Adha – Kurban

Warga Diminta Cegah Munculnya Klaster Keluarga

Masyarakat diingatkan untuk patuh terhadap protokol kesehatan selama perayaan Idul Adha pekan depan. Peringatan ini disampaikan pemerintah demi mencegah munculnya klaster keluarga, seperti yang sempat terjadi pasca-libur Lebaran lalu. Bahkan buntut dari lonjakan kasus justru semakin tinggi saat ini.

“Hindari kegiatan yang memicu kerumunan sehingga klaster keluarga bisa dicegah,” kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, Kamis (15/7). 

Selain itu, pemerintah pusat juga meminta Satgas Penanganan Covid-19 di daerah agar memasifkan sosialisasi panduan pelaksanaan ibadah Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban. Wiku menyebutkan, sosialisasi perlu dilakukan agar masyarakat tidak bingung dan upaya pemutusan rantai penularan Covid-19 benar-benar optimal. 

“Menag telah keluarkan dua surat edaran, satu untuk pelaksanaan Idul Adha dan qurban di luar wilayah PPKM darurat, satu lagi untuk wilayah PPKM darurat. Tujuannya untuk memastikan protokol kesehatan berjalan dengan baik selama rangkaian ibadah,” kata Wiku.

Satgas daerah, ujar Wiku, perlu segera berkoordinasi dengan pengurus masjid, ulama di daerah, panitia kurban, dan pihak lain yang terlibat dalam ibadah Idul Adha nanti. Masyarakat perlu menjalankan pelaksanaan ibadah Idul Adha, termasuk penyembelihan hewan qurban, sesuai dengan aturan PPKM darurat atau pun PPKM diperketat. 

“Kepada pengurus masjid, diminta untuk dapat mensosialisasikan ketentuan dalam SE ini kepada jamaah di wilayah masing-masing,” kata Wiku. 

Sebagai informasi, Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan dua surat edaran sekaligus. Pertama, edaran Menteri Agama Nomor SE 16 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Malam Takbiran, Sholat Idul Adha, dan Pelaksanaan Qurban Tahun 1442 H/ 2021 M di Luar Wilayah Pemberlakuan PPKM Darurat. 

Kedua, edaran Menteri Agama Nomor SE 17 tahun 2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbiran, Sholat Idul Adha, dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Qurban Tahun 1442 H/2021 M di Wilayah Pemberlakuan PPKM Darurat. 

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan, khusus di wilayah yang diberlakukan PPKM darurat, maka peribadatan di tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, wihara dan klenteng, serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah yang dikelola masyarakat, pemerintah, maupun perusahaan, ditiadakan sementara. 

Semua kegiatan peribadatan, selama pemberlakuan kebijakan PPKM darurat, dilakukan di rumah masing-masing. 

“Jadi, saat kebijakan diberlakukan, kegiatan peribadatan di wilayah yang menerapkan PPKM darurat, dilakukan di rumah masing-masing,” ujar Menag.

Menag mengatakan, penyelenggaraan malam takbiran di masjid/ mushola, takbir keliling, baik dengan arak-arakan berjalan kaki maupun dengan arak-arakan kendaraan, dan Sholat Hari Raya Idul Adha di masjid/mushola yang dikelola masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan atau tempat umum lainnya, juga ditiadakan di seluruh kabupaten/ kota dengan level asesmen 3 dan 4 yang diterapkan PPKM darurat.

Untuk wilayah yang berada di luar pemberlakuan PPKM darurat, Sholat Hari Raya Idul Adha hanya dapat diselenggarakan pada daerah yang masuk zona hijau dan zona kuning berdasarkan ketetapan pemerintah daerah dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 setempat. 

“Adapun kabupaten/ kota yang masuk zona merah dan zona oranye, meskipun tidak termasuk kabupaten/ kota yang diterapkan kebijakan PPKM darurat, Sholat Hari Raya Idul Adha ditiadakan,” ujarnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Saya Gak Takut Covid, Hanya Takut pada Allah, Benarkah Pernyataan Itu?

Tepat dua hari lalu saya telah menyelesaikan isolasi mandiri di pesantren setelah sebelas hari sebelumnya dinyatakan positif virus Covid-19. Sebenarnya, saya adalah tipe orang yang sangat jarang sakit. Bahkan, saya tidak ingat entah berapa tahun lalu terakhir merasakan sakit. Teman-teman sampai punya candaan jangan-jangan saya ini cucu Fir’aun yang terkenal tak pernah sakit. Hanya takut pada Allah, jangan takut pada covid-19.

Di seberang tempat saya berbaring, terdengar suara ustadz kondang dari salah satu smartphone santri yang bilang begitu, hanya takut pada Allah sajalah, jangan takut sama Covid-19. Ustadz kondang tersebut tengah terengah-engah menyampaikan pemikirannya itu dengan nada khas sedikit berapi-api.

Jujur saja, selama menjalani isolasi mandiri saya merasakan sakit luar biasa. Padahal, saya tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Terbayang sudah, bagaimana rasa sakit mereka yang sebelum terkena Covid telah tercatat memiliki riwayat penyakit berat.

Saya hanya tersenyum mendengar pendapat ustadz tersebut. Pikiran saya tiba-tiba entah mengapa menolak. Padahal, seperti yang pembaca pikirkan, pendapat ustadz tersebut sangat dapat diterima. Kemudian saya teringat nasehat Al-Imam al-Syafi’i bahwa penerimaan akal pikiran menjadi kunci.

إذا ذكرت لكم دليلا أو برهانا لم تقبله عقولكم فلا تقبله لأن العقل مضطر لقبول الحق.

Jika aku menyampaikan argumenku kepada kalian lantas akal pikiran kalian menolak, jangan kalian terima karena akal menjadi kunci niscaya penerimaan kebenaran”.

Lalu, apa sebenarnya alasan saya menolak pemikiran ustadz kondang tadi? Semua berawal dari diskusi dengan sesama teman pondok sekaligus guru pribadi sesama mahasiswa jurusan tafsir. Unik memang, sepertinya hanya di pondok pesantren ada seseorang yang mengangkat teman seangkatannya sendiri sebagai mahaguru pribadi.

Dia memulai diskusi dengan menceritakan hasil bacaannya dari buku terjemahan The Message of The Quran karya Muhammad Asad. Teman sekaligus guru saya ini berujar bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah menyatakan tidak akan merusak suatu kelompok masyarakat hanya karena dzalim dengan catatan masyarakat tadi berbuat kebaikan terhadap sesama.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ.

Karena, Pemeliharamu tidak akan pernah membinasakan suatu masyarakat karena [kepercayaan] zalim [semata], selama penduduknya berbuat kebajikan [satu sama lain]. (Hud [11] : 117)

Dzalim pada ayat ini biasa diartikan oleh kebanyakan mufasir klasik sebagai kemusyrikan. Akan tetapi Muhammad Asad berpendapat agak unik. Dia menyatakan bahwa dzalim di sini tidak hanya musyrik, melainkan juga perilaku buruk terhadap sesama manusia.

Untuk menyokong argumennya, Asad mengutip pendapat mufasir klasik lain daripada yang lain. Mufasir yang dikutip oleh Asad adalah al-Razy pemilik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib. Setelah berdiskusi, saya mengecek pendapat al-Razy yang dikutip Asad. Benar saja, saya mengangguk takjub atas apa yang disampaikan oleh al-Razy.

والمَعْنى أنَّهُ تَعالى لا يُهْلِكُ أهْلَ القُرى بِمُجَرَّدِ كَوْنِهِمْ مُشْرِكِينَ إذا كانُوا مُصْلِحِينَ في المُعامَلاتِ فِيما بَيْنَهم، والحاصِلُ أنَّ عَذابَ الِاسْتِئْصالِ لا يَنْزِلُ لِأجْلِ كَوْنِ القَوْمِ مُعْتَقِدِينَ لِلشِّرْكِ والكُفْرِ، بَلْ إنَّما يَنْزِلُ ذَلِكَ العَذابُ إذا أساءُوا في المُعامَلاتِ

Ayat tadi bermakna bahwa Allah tidak akan menghancurkan masyarakat “hanya” karena musyrik dengan catatan mereka berbuat baik terhadap sesama (manusia dan alam). Karenanya, sungguh adzab Allah yang membinasakan tidak akan turun hanya karena masyarakatnya berkeyakinan musyrik dan kafir. Malah, Allah menurunkan adzab tadi disebabkan jika suatu masyarakat berbuat buruk dalam bergaul terhadap manusia lain dan alam (mu’amalat).”

Menurut saya, pendapat al-Razy ini sangat logis dan masuk akal. Bahwa meskipun -mohon maaf-  suatu masyarakat tidak takut kepada Allah (musyrik, kafir) akan tetapi berbuat ishlah kebaikan terhadap sesama, Allah tidak akan membinasakannya.

Kita bisa berkaca pada peradaban Eropa yang tidak menakuti Allah karena kebanyakan dari mereka non-muslim akan tetapi menakuti Covid karena mereka sadar bahwa Covid akan mengacaukan kondisi ekonomi, sosial mereka. Lalu mereka berbahu-bahu mulai dari pemerintahan sampai masyarakat kelas bawah untuk menangani virus ini dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengembangkan teknologi canggih menciptakan vaksin.

Hasilnya? Apakah Allah mengadzab mereka karena tidak beriman? Yang ada adalah karena penanganan dari pemerintah maksimal lalu berefek positif kepada masyarakat, sekarang mereka sudah bisa memadati stadion sepak bola dan berkurumun hanya untuk merayakan tim nasional mereka sukses di turnamen Euro. Turnamen sepak bola empat tahunan di Eropa.

Sementara itu, di belahan dunia lain, masyarakatnya kesulitan berkerumun padahal tujuannya sangat penting, untuk beribadah. Ironis memang, di saat stadion sepak bola mulai padat, Masjidil Haram tempat Ka’bah berada masih harus kosong melompong. Karena untungnya, pemerintah Saudi masih sadar diri bahwa penanganan virus negara-negara mayoritas muslim masih kalah jauh dengan penanganan di Eropa.

Ini akibat, secara mu’amalah atau hubungan antara sesama manusia dalam konteks penanganan Covid di negara muslim sangat rendah jika dibandingkan dengan di wilayah Eropa. Padahal, hal semacam ini sudah sangat jelas terang benderang dalam al-Qur’an kitab suci yang katanya menjadi pedoman hidup masyarakat muslim. Anehnya, cahaya al-Qur’an lebih terang di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Al-Razy menambahkan, sebab ayat ini para ahli fikih klasik mewanti-wanti dengan ungkapan bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu lebih ketat dibanding pergaulan kepada Allah.

 قالَ الفُقَهاءُ إنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعالى مَبْناها عَلى المُسامَحَةِ والمُساهَلَةِ، وحُقُوقَ العِبادِ مَبْناها عَلى الضِّيقِ والشُّحِّ.

 Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

12 Adab yang Harus Diperhatikan Saat Membaca Alquran Digital

Adab membaca Alquran digital sama seperti mushaf biasa

Alquran digital kini banyak digunakan Muslim di Indonesia, terutama di kalangan milenial. Berbagai platform aplikasi Alquran digital yang dapat diunduh di smartphone makin memudahkan mereka membaca Alquran di manapun, kapan pun. Namun, bagaimana adab memperlakukan Alquran digital ini? 

Pendakwah sekaligus Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL), Ustadz Rakhmad Zailani Kiki, menjelaskan adab membaca Alquran digital sama dengan adab membaca mushaf Alquran. Habib Utsman bin Yahya dalam kitabnya Iqdul Juman menjelaskan sejumlah adab membaca Alquran yaitu sebagai berikut:  

Pertama bagi yang membaca Alquran adalah adab yang fardhu ain, yaitu dia wajib membaca Alquran, baik mushaf maupun digital, dengan tajwid. Maka, bagi seseorang yang membaca Alquran tanpa tajwid dia menjadi fasik.

Kedua, membaca Alquran digital dengan sungguh-sungguh dan sunnahnya dalam keadaan berwudhu, menghadap kiblat, menundukkan kepala sebagai bentuk hormat kepada Alquran, dan jangan duduk dengan bersandar. 

“Serta jangan duduk seperti kelakuan orang yang takabur mengangkat dirinya,” kata Ustadz Kiki kepada Republika.co.id, belum lama ini. 

Ketiga, seseorang yang membaca Alquran digital wajib merendahkan diri dan berperangai lemah lembut. Maka, jangan berangas dan jangan suka merasa lebih unggul dari yang lain dalam masalah bacaan atau membaca Alquran dengan suara yang berlawanan dari pembaca yang lain.

Keempat, orang yang membaca Alquran digital dan orang yang mendengarkan Alquran digital dengan sedih hati, meskipun dia tidak mengetahui akan artinya. 

Kelima, seseorang wajib membaca Alquran digital dengan ikhlas.

Keenam, seseorang yang membaca Alquran digital wajib telah mengamalkan setiap amal ibadah yang kewajibannya tertera di dalam Alquran, seperti sholat, puasa, dan beribadah dengan ikhlas. 

“Dan dia juga telah menjauhi setiap larangan Allah SWT yang tertera di dalam Alquran, seperti riya, takabur, dengki, mengumpat, mengadu satu sama lainnya, mencela orang, makan barang yang haram, dan lain-lain,” kata Ustadz Kiki.

Ketujuh, sunnah bagi seseorang yang membaca Alquran digital untuk membaguskan suaranya dengan lagu atau langgam. 

Kedelapan, hukumnya sunah untuk berdoa dan meminta rahmat apabila dibacakan ayat yang menyebutkan rahmat. Mintalah surga jika ayat yang dibaca terkait dengan surga dan mintalah dijauhkan dari api neraka jika ayat yang dibacakan terkait dengan neraka.

“Mintalah pula dijauhkan dari siksa apabila dibacakan ayat yang disebutkan siksa. Juga bacalah tasbih apabila dibacakan ayat tentang tasbih,” katanya.

Kesembilan, apabila dibaca Innallah wa malaikatahu hingga akhirnya, disunahkan untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Kesepuluh, hukumnya sunnah membaca Alquran digital dengan perlahan-lahan. 

Kesebelas, disunahkan bagi pembaca Alquran digital untuk takbir di akhir tiap-tiap surat, dari surat Ad Dhuha hingga akhir surat Alquran. 

Kedua belas, hukumnya sunnah untuk melakukan sujud tilawah sesudah membaca atau mendengarkan ayat yang terkait dengan sunah sujud. 

“Kekurangan Alquran digital adalah umumnya aplikasinya atau software-nya tidak tersimpan dalam ponsel atau gawai khusus Alquran, tercampur dengan file atau aplikasi lainnya yang bahkan kurang pantas sehingga kurang baik dalam sisi penghormatannya dan kemuliaannya,” kata Ustadz Kiki.

Karena itu, dia menyarankan, pemilik atau pemakai Alquran digital harus menjaga ponsel atau gawainya dari aplikasi, file atau software yang kurang pantas.   

sumber : Harian Republika

Mengapa Rasulullah Ajarkan Kita Makan dengan Tangan Kanan?

alah satu adab makan adalah makan dengan bantuan tangan kanan. Ini sifatnya sunnah, karena mengikuti adab dan perilaku Rasulullah. Penggunaan tangan kanan saat makan tentu ada hikmah dan alasan, seperti yang diajarkan oleh Baginda Nabi. Tapi, apa alasan Rasulullah ajarkan umatnya makan dengan tangan kanan?

Ternyata, anjuran dan kesunnahan yang dilakukan Nabi menggunakan tangan kanan saat makan ada hikmahnya. Yaitu, agar tidak menyerupai setan. Karena setan menggunakan tangan iri saat makan dan minum, maka untuk membedakannya dan tidak mengikutinya, kita sebagai umat Nabi Muhammad disunnahkan makan dengan tangan kanan. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ عَبدِ الله بن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يَأْكُلَنَّ أحَدٌ مِنكُم بشِمالِهِ، ولا يَشْرَبَنَّ بها، فإنَّ الشَّيْطانَ يَأْكُلُ بشِمالِهِ، ويَشْرَبُ بها. قالَ: وكانَ نافِعٌ يَزِيدُ فيها: ولا يَأْخُذُ بها، ولا يُعْطِي بها. وفي رِوايَةِ أبِي الطَّاهِرِ: لا يَأْكُلَنَّ أحَدُكُمْ.

Artinya: dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Saw bersabda, “janganlah di antara kalian makan dengan tangan kirinya, dan janganlah minum dengan tangan kiri juga, karena sesungguhnya setan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kirinnya.” Lalu dalam riwayat Nafi’ menambahi, “dan janganlah mengambil sesuatu dengan tangan kiri dan memberi sesuatu dengan tangan kiri.” Dan dalam riwayat Abu Thahir dengan narasi, “La Ya`kulunna ahadukum (janganlah sekali-kali di antara kalian)” (HR. Muslim)

Anjuran untuk makan dan minum dengan tangan kanan adalah untuk menyalahi setan. Artinya, jika kita makan dan minum dengan tangan kiri secara sengaja, kita mengikuti perbuatan setan. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan, jangan pula mengambil sesuatu atau memberi sesuatu dengan tangan kiri.

Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Apapun perbuatannya, bahkan sampai aktifitas makan jangan diikuti. Sebagaimana firman Allah pada surat al-Baqoroh ayat 208,

 وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.

Demikian hikmah dibalik anjuran makan dan minum dengan tangan kanan dari Rasulullah. Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG MUSLIMAH

Keutamaan Membaca Dzikir di Awal Sepuluh Dzulhijjah

Dzikir dengan suara keras maupun pelan, merupakan suatu amal ibadah yang tak terikat dengan waktu. Kapan pun dan dalam keadaan apapun. Saat berdiri, duduk, berjalan dan seterusnya. Siang, malam, pagi dan sore. Salah satu keutamaannya yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an adalah bisa menenangkan hati.

Namun, ada waktu-waktu tertentu yang sangat dianjurkan untuk berdzikir. Ada nilai lebih bila dilakukan pada saat-saat yang telah diinformasikan oleh Allah maupun Rasulullah. Di antaranya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Artinya:  “Dan (agar) menyebut (berdzikir) nama Allah di hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28).

Menurut mayoritas ulama, seperti Ibnu Abbas dan Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan hari-hari yang telah ditentukan tak lain sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Pada ayat yang lain Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41).

Ahmad Ibnu Hanbal dalam musnadnya menulis sebuah hadis, “Mengabarkan kepada kami ‘Affan, mengabarkan kepada kami Abu ‘Awanah, mengabarkan kepada kami Yazid Ibnu Abi Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, dan lebih dicintai oleh Allah amal-amalnya dari hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah. Maka perbanyaklah di hari-hari itu membaca tahlil, takbir dan tahmid”.

Keterangan dari dua sumber pokok hukum Islam di atas semakin menguatkan pendapat para ulama salaf yang menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak dzikir di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Imam Thabrani dalam sebuah hadis mengisahkan kisah Nabi Musa yang sempat mengadu kepada Allah, “Wahai Tuhanku, aku telah berdoa, namun mengapa Engkau enggan mengabulkannya?. Maka kiranya Engkau sudi mengajariku yang dengannya aku dapat berdoa memohon kepada-Mu ya Allah”, keluh kesah Nabi Musa.

Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, “Wahai Nabi Musa, jika telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah, ucapkanlah kalimat “La Ilaha Illallah”, maka akan Aku kabulkan keinginanmu”.

Lalu Nabi Musa kembali mengadu kepada Allah, “Wahai Tuhanku, seluruh hamba-Mu akan mengucapkannya”.

Kemudian Allah memberi kabar gembira lagi kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, barang siapa mengucapkan “La Ilaha Illallah” dalam hari-hari ini (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah) sekali saja, andai tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan di atas satu telapak timbangan amal, sedangkan kalimat tahlil tersebut diletakkan di atas telapak timbangan yang lain, sungguh (kalimat tahlil) itu lebih berat dan lebih unggul dibanding ketujuh langit dan bumi seisinya”. Sebagaimana lazimnya, umat Islam berdzikir menggunakan kalimat tahlil. Dengan demikian, maka sangat rugi bila tidak memanfaatkan waktu di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan memperbanyak berdzikir membaca kalimat tahlil.

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Shalat Idul Adha Sendirian

Idul Adha biasanya dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijah.  Idul Adha juga disebut dengan Hari Raya Kurban. Bagi orang yang berkecukupan meteri atau kaya, dianjurkan untuk berkurban.  Bentuk kepeduliaan terhadap sesama manusia.

Selain melaksanakan kurban, dianjurkan juga untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Ada pun hukum melaksanakan shalat Idul Adha para ulama berbeda pendapat. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i menyebutkan hukum melaksanakan shalat Idul Adha adalah sunah muakkadah.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah ath Thalibin. Ia dalam bab permulaan menerangkan masalah shalat Ied menuliskan hukum shalat Idul Adha adalah sunah. Imam Nawawi berkata;

هي سنة على الصحيح المنصوص

Artinya; Hukum shalat Ied adalah sunnah, yang anjuran mengerjakannya terdapat dalam nash.

Imam Mardawi dalam Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, karya Imam Al Mardawi—ulama dari kalangan Hanbali—, mengatakan hukum melaksanakan shalat Idul Adha adalah sunah muakkadah. Ia berkata;

وعنه -أي: الإمام أحمد- هي -أي: صلاة العيد- سُنَّة مؤكَّدة

Artinya; Dan dari padanya—artinya dari Imam Ahmad bin Hanbal— hukum melaksanakan shalat Ied adalah sunah muakkadah.

Kemudian datang persoalan, Indonesia dalam keadaan pandemi Covid-19. Pemerintah pun memberlakukan Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dalam kondisi PPKM Darurat, kegiatan keagamaan di masjid ditangguhkan. Nah dengan demikian bolehkah shalat Idul Adha secara sendirian (munfarid)?

Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab, menerangkan seyogianya shalat Ied dilaksanakan berjamaah. Akan tetapi bila ada yang melaksanakan secara munfarid atau sendirian maka shalat Ied tetap sah. Artinya, Shalat Idul Adha secara sendirian di rumah  hukumnya boleh.

Imam Nawawi berkata dalam al Majmu’ Syarah al Muhadzab;

تسن صلاة العيد جماعة، وهذا مجمع عليه؛ للأحاديث الصحيحة المشهورة، فلو صلاها المنفرد؛ فالمذهب صحتها

Artinya:  Sunah hukumnya melaksanakan shalat Ied (Adha dan Fitri) secara berjamaah, ini pendapat mayoritas,  pasalnya terdapat dalam hadis yang shahih. Jikalau shalat Ied seseorang dalam keadaan sendirian, maka shalatnya tetap sah.

Mufti Dar Ifta Mesir, Syekh Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam suatu waktu ditanya terkait shalat Ied yang dikerjakan secara sendirian. Ia lantas menjawab dengan mengatakan bahwa melakanakan shalat Ied secara berjamaah itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Dan shalat secara berjamaah bukan syarat sah shalat Ied.

ومعنى كون الجماعة فيها من السنن، أي: إنَّه يصح أداؤها في غير جماعة، فالجماعة على ذلك ليست من شروط صحتها

Artinya; pengertian “keadaan shalat Jamaah” pada shalat Ied adalah sunnah artinya sesungguhnya sah melaksanakannya dalam keadaan tidak berjamaah, maka shalat Ied dalam keadaan berjamaah atas demikian bukan menjadi syarat sah shalat Ied.

Sementara itu dalam kitab Tuhfah al Muhtaj bi Syarhi al Minhaj karya Ibn Hajar mengatakan shalat Idul Adha tetap sunah hukumnya dikerjakan meskipun dalam keadaan sendirian atau munfarid. Tetapi bagi orang yang melaksanakan shalat Idul Adha secara sendirian, tidak pakai khutbah. Ia berkata;

وتسن للمنفرد، ولا خطبة له

Artinya; Disunahkan juga shalat Ied meskipun sendirian, dan tidak perlu pakai khutbah (khutbah Ied).

Pada sisi lain, Imam Mardawi dalam kitab al Inshaf , mengatakan bagi orang yang ketinggalan dalam melaksanakan shalat Idul Adha atau Idul Fitri, maka ia disunnahkan mengqadha (ganti) shalat Ied tersebut. Caranya sebagaimana yang dilakukan oleh Imam tersebut.

وإن فاتته الصلاة (يعني : صلاة العيد) استحب له أن يقضيها على صفتها (أي كما يصليها الإمام)

Artinya; Jika seseorang luput melaksanakan shalat (maksudnya; shalat Ied) maka sunah baginya untuk meng-qadha sebagamaina sifat shalat Ied, (artinya; sebagaimana shalat Ied Imam).

Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni menjelaskan, orang yang ketinggalan shalat Ied, maka ia boleh  memilih. Antara melaksanakan shalat Ied secara sendirian atau pun berjamaah. Itu dibenarkan oleh syariat.

“وهو مخير ، إن شاء صلاها وحده ، وإن شاء صلاها جماعة” انتهى

Artinya; Ia bisa memilih; jika ingin shalat Ied sendirian atau pun jika ingin bisa melaksanakannya secara berjamaah.

BINCANG SYARIAH

Hormati Keputusan Para Dokter di Masa Pandemi Ini

Yuk hormati keputusan para dokter di masa pandemi ini. Bukanlah kita serahkan sesuatu harus kepada ahlinya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menyerahkan Maslahat Dunia kepada Ahlinya

Di antara buktinya adalah hadits dari Anas tentang mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ

Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا لِنَخْلِكُمْ

Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)

Lebih jelasnya lagi pada ilmu pengobatan bisa diperhatikan dari hadits berikut ini.

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «

“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”  (HR. Abu Daud, no. 3875. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

Para Ulama Sangat Hormati Keputusan Dokter

Imam Syafi’i rahimahullah saja sangat menghormati profesi dan otoritas dokter serta mengikuti hasil kajian medis dalam fatwa-fatwanya.

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan pentingnya ilmu kedokteran. Beliau berkata,

لاَ أَعْلَمُ عِلْمًا بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلُ مِنَ الطِّبِّ إِلاَّ أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.” (Siyar A’lam An-Nubala, 8:528, Darul Hadits)

Imam Syafi’i juga menekankan bahwa di antara ilmu dunia, ilmu kedokteran salah satu yang paling penting. Beliau berkata,

إِنَّمَا العِلْمُ عِلْمَانِ: عِلْمُ الدِّيْنِ، وَعِلْمُ الدُّنْيَا، فَالعِلْمُ الَّذِي لِلدِّيْنِ هُوَ: الفِقْهُ، وَالعِلْمُ الَّذِي لِلدُّنْيَا هُوَ: الطِّبُّ

“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]

Imam Syafi’i rahimahullah membuat ungkapan sebagai berikut:

لَا تَسْكُنَنَّ بَلَدًا لَا يَكُوْنُ فِيْهِ عَالِمٌ يُفْتِيكَ عَن دِينِك، وَلَا طَبِيبٌ يُنْبِئُكَ عَنْ أَمْرِ بَدَنِك

“Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.” (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hlm. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)

Kasihan sekali, banyak umat jadi tertinggal akibat sikap ulamanya yg hanya memandang sisi keutamaan ibadah tanpa memperhatikan aspek Sunnatullah dalam bidang medis. Kalau Imam Syafii hidup saat ini pasti beliau akan terlepas diri dari fatwa-fatwa ulama yang tidak tepat dan abai terhadap Sunnatullah.

Wallahu a’lam.

Penyikapan Wabah di Masa Silam yang Keliru

Coba baca dulu kisah ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak diizinkan dalam agama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.”

Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka seperti itu termasuk bidah. Hal ini pernah terjadi saat wabah ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa, mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal sebelumnya korban tidak begitu banyak.”

Shalat Berjamaah dengan Menjaga Jarak Bukanlah Bid’ah dan Menyelisihi Manhaj

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun, jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).

Memakai Masker Saat Shalat Berjamaah

Memakai masker saat shalat berjamaah saat pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).

Shalat Jumat Saat Kasus Covid Meningkat

Jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Kuatkan Diri dengan Doa dan Dzikir Saat Kasus Covid Meningkat

Jangan Mudah Menyebarkan Berita yang Tidak Jelas, Bukan dari Pakarnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru.”

Hanya Allah beri taufik dan hidayah.

Semangat terus para dokter, kami di belakangmu. Yuk taat protokol kesehatan apalagi pandemi semakin menanjak dan kasus di sekeliling kita masih banyak.

Selasa pagi, 3 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28766-hormati-keputusan-para-dokter-di-masa-pandemi-ini.html