Hukum Minta Didoakan Setelah Memberi Daging Kurban

Di antara kebiasaan masyarakat ketika memberi sedekah adalah minta untuk didoakan, termasuk ketika memberi daging kurban. Ketika seseorang berkurban dan memberikan daging kurban, ia meminta kepada penerima daging kurban agar dirinya didoakan. Doa yang diminta biasanya agar dirinya sehat, rizekinya dilancarkan dan beragam permintaan doa lainnya. Sebenarnya, bagaimana hukum minta didoakan setelah memberi daging kurban, apakah boleh?

Dalam Islam, meminta didoakan kepada orang lain, terutama setelah memberi daging kurban dan sedekah lainnya, hukumnya adalah boleh. Tidak masalah bagi seseorang meminta didoakan kepada penerima daging kurban dan penerima sedekah agar dikaruniakan kesembuhan dari penyakit, terkabulnya hajat dan lain sebagainya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

السؤال: إذا تصدق شخص على فقير، سواء كان يعرفه أو لا، وطلب منه أن يدعو له بحاجة معينة، فهل يجوز ذلك؟

الجواب: لا حرج في طلب المسلم الدعاء من غيره، فقد قال النبي عليه الصلاة والسلام: دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

Pertanyaan: Jika seseorang bersedekah kepada orang fakir, baik dia mengetahuinya atau tidak, dan dia meminta kepada orang fakir tersebut agar dirinya didoakan untuk terkabulnya hajat tertentu, apakah hal itu boleh?

Jawaban: Tidak masalah seorang muslim meminta didoakan kepada orang lain. Nabi Saw bersabda; Doa seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat setiap kali dia berdoa kepada saudaranya dengan kebaikan. Malaikat tersebut berkataAmin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.

Selain itu, meski tidak diminta oleh pemberi daging kurban, penerima daging kurban memang dianjurkan untuk mendoakannya. Dalam Islam, ketika seseorang menerima sedekah dari orang lain, maka dia dianjurkan untuk mendoakan pemberi sedekah, baik diminta atau tidak.

Nabi Saw ketika menerima sedekah dari orang lain, maka beliau langsung mendoakan orang tersebut tanpa diminta terlebih dulu. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata;

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُتِيَ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. وَإِنَّ أَبِي أَتَاهُ بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى

Jika sedekah dibawa ke hadapan Nabi Saw, beliau pun berdoa; Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada mereka. Ayahku pernah membawa sedekahnya kepada Nabi Saw, maka beliau pun berdoa; Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.

BINCANG SYARIAH

Pengakuan Mengejutkan Kafir Usai Dengar Nabi Baca Alquran

Ayat Alquran mampu membuat orang kafir tertegun hingga masuk Islam

Ayat-ayat suci Alquran memiliki keindahan dalam setiap rangkaiannya. Hal ini telah banyak dibuktikan sebagian besar orang hingga mereka memeluk Islam.  

Dikutip dari buku “Jangan Takut Hadapi” Hidup karya Dr Aidh Abdullah Al-Qarny, pernah suatu ketika orang-orang kafir mendengar Rasulullah ﷺ melantunkan ayat suci Alquran. 

Mereka terpesona dan mengakui keindahan rangkaian kalimat dalam Alquran. Mereka pun akhirnya menutup kedua telinganya karena takut terpengaruh dengannya.  

Thufail bin Amr lalu mendatangi sumber suara itu dan berkata, “Pada saat aku masih kafir, aku sempat menutup kedua telingaku dengan kapas, ketika aku mendekati Rasulullah dan beliau memulai membaca Alquran. Lalu aku pun berkata pada diriku sendiri, ‘Sungguh menakjubkan sekali’ Aku adalah seorang penyair dan sastrawan, tapi mengapa aku tidak mendengar ucapannya sehingga aku dapat menikmati keindahan kata-katanya, atau paling tidak aku mengetahui bahwa kata-katanya adalah sihir’? 

Thufail berkata, ‘Aku masih ragu, lantas aku mengambil kapas yang aku taruh di telingaku dan membuangnya. Setelah itu, dengan leluasa aku dapat mendengarkan bacaan Muhammad. Kemudian aku mendatangi beliau dan berucap, “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu annaka Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan-Nya).” (Lihat, Bidayah wa An-Nihayah). 

Jabir bin Muth’im salah seorang pembesar kota Makkah telah berjanji tidak akan mendengarkan bacaan Alquran. Tapi, pada saat Allah SWT menginginkan ia terbebas dari neraka, Allah pun menunjukkan jalan kepadanya. 

Suatu ketika dia mendengarkan bacaan Alquran dari Rasulullah ﷺ  dengan suara yang melengking di saat beliau sedang melaksanakan sholat Magrib.  

وَالطُّوۡرِۙ, وَكِتٰبٍ مَّسۡطُوۡرٍۙ, فِىۡ رَقٍّ مَّنۡشُوۡرٍۙ, وَالۡبَيۡتِ الۡمَعۡمُوۡرِۙ, وَالسَّقۡفِ الۡمَرۡفُوۡعِۙ‏ “Demi bukit. Dan kitab yang ditulis, pada lembaran yang terbuka. Dan demi Baitul Ma’mur . Dan atap yang ditinggikan (langit) …” (QS Ath Thur ayat satu sampai akhir ayat) 

Jabir berkata, “Hatiku bergetar hebat hingga seakan-akan aku terbang ke angkasa”. Seketika itu, Jabir menyatakan dirinya masuk ke dalam agama Islam.  

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Manfaat Sedekah yang Diungkap Rasul ke Ali bin Abi Thalib

Rasulullah SAW berwasiat kepada Ali bin Thalib ihwal keutamaan sedekah

Banyak keterangan dalam Alquran dan hadits tentang keutamaan bersedekah. 

Dalam Alquran surat As Saba ayat 39 Allah SWT menegaskan akan mengganti harta orang-orang yang berinfak dijalan Allah. 

مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”

Dalam sejumlah hadits nabi Muhammad SAW juga dijelaskan orang yang bersedekah akan terhindar dari bala, dilipatgandakan rezekinya, hingga dijauhkan penyakit-penyakit.  

Namun dalam tulisan ini akan dipaparkan tiga fadilat sedekah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Wasiyat Al Musthafa yaitu kitab turats berisi wasiat-wasiat Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib yang di antaranya juga ada yang berkaitan dengan sedekah. 

Kitab ini disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syarani. 

1. Menolak bala

يَا عَلِيُّ، صَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَجْلِبُ الْبَرَكَةَ وَالرِّزْقَ الْكَثِيْرَ وَبَاكِرْ بِالصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلَاءَ يَنْزِلُ قَبْلَ الْبُكُوْرِ فَتَرُدُّ الْقَضَاءَ فِي الْهَوَاءِ

“Wahai Ali, sedekah dengan cara sirri (tak diperlihatkan pada orang lain) itu bisa memadamkan kemarahan Allah, dan bisa menarik berkah serta rezeki yang banyak. 

(Wahai Ali) bersegeralah (pagi-pagi sekali) bersedekah, karena sesungguhnya bala itu turun sebelum pagi buta. Maka dengan sedekah itu menolak qadha buruk di udara.”

2. Sedekah meski sedikit akan dicintai Allah 

يَا عَلِيُّ، إِذَا تَصَدَّقْتَ فَتَصَدَّقْ بِأَحْسَنِ مَا عِنْدَكَ فَإِنَّ صَدَقَةَ لُقْمَةٍ مِنْ حَلَالٍ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ مِائَةِ مِثْقَالٍ مِنْ حَرَامٍ، وَصَدَقَةٌ تُقَدِّمُهَا قَبْلَ مَوْتِكَ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ مِثْقَالٍ يَتَصَدَّقُوْنَ بِهَا بَعْدَ مَوْتِكَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى “يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ”

“Wahai Ali, ketika kamu bersedekah maka sedekahlah dengan harta yang terbaik yang ada padamu. Karena sesungguhnya sedekah sesuap dengan harta yang halal itu lebih disenangi Allah SWT dari pada 100 mitsqal dari barang yang haram, atau sedekah yang kamu berikan sebelum mati itu lebih utama daripada 100 mitsqal yang diberikan setelah matimu. Allah SWT berfirman :

إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ “Pada hari manusia apa yang telah diperbuat oleh kedua tanganya”) (QS an Naba 40). 

Maksudnya, manusia di hari pembalasan akan melihat amal-amal yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia. Bila seseorang senang bersedekah selama hidup di dunia maka pahala sedekahnya akan diperoleh ketika di hari pembalasan. 

3. Sedekah membuat bahagia orang yang telah meninggal

يَا عَلِيُّ، تَصَدَّقْ عَلَى مَوْتَاكَ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ وَكَّلَ مَلَائِكَةً يَحْمِلُوْنَ صَدَقَاتِ الْأَحْيَاءِ إِلَيْهِمْ فَيَفْرَحُوْنَ بِهَا أَشَدَّ مَا كَانُوْا يَفْرَحُوْنَ فِي الدُّنْيَا وَيَقُوْلُوْنَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَنْ نَوَّرَ قَبْرَنَا وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ كَمَا بَشَّرَنَا بِهَا

“Wahai Ali, bersedekah lah engaku untuk orang-orang yang telah mati. Maka sesungguhnya Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk menyampaikan sedekahnya orang yang hidup kepada orang-orang yang telah mati. Sehingga orang-orang yang telah mati itu bahagia, bahkan lebih bahagia  daripada ketika di dunia. Dan orang-orang yang mati itu bedoa:

Ya Allah ampunilah untuk orang yang menerangi kubur kami. Dan berikanlah kebahagiaan padanya dengan surga seperti dia telah membahagiakan kami dengan sedekahnya.” 

Keterangan ini sekaligus menjadi penguat bahwa bersedekah dengan niat agar pahala sedekahnya untuk orang yang meninggal merupakan kesunahan yang diajarkan Rasulullah SAW. 

Sebab itu tidak perlu mempertentangkan bila ada orang-orang yang bersedekah ke masjid, ke panti yatim piatu atau lainnya dengan tujuan agar pahala sedekahnya untuk anggota keluarganya yang telah meninggal.     

KHAZANAH REPUBLIKA

10 Keutamaan Memuliakan Bulan Dzulhijjah

Di dalam Islam, terdapat hari-hari dan bulan-bulan tertentu yang memiliki keistimewaan dibanding hari-hari dan bulan-bulan lainnya. Di antara bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam adalah bulan Dzulhijjah, dan di antara hari-hari yang dimuliakan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Karena sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah termasuk hari-hari yang dimuliakan dalam Islam, maka kita sebagai umat muslim sangat dianjurkan untuk memuliakannya dengan cara memperbanyak ibadah, puasa, zikir, shalat malam dan amalan-amalan lainnya.

Dalam kitab Dalil Al-Falihin disebutkan sebuah riwayat mengenai keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini dan keutamaan beramal shaleh di dalamnya. Riwayat tersebut bersumber dari sahabat Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Abbas, bahwa Rasulullah Saw bersabda;

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ، يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ وَاِنَّ صِياَمَ يَوْمٍ فِيْهَا يَعْدِلُ صِيَامَ سَنَةٍ وَالعَمَل فِيْهَا يُضَاعَفُ سَبْعمِائَةِ ضِعْفٍ وَقِيَامَ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ القَدْر

Tidak ada hari-hari yang mana beramal sholeh pada hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan pahala berpuasa sehari saja dari awal bulan Dzulhijjah sama dengan puasa sunnah setahun, dan beramal pada hari tersebut akan dilipatkan hingga 700 kali lipat serta shalat malam pada hari tersebut pahalanya sebanding dengan shalat sunnah pada malam lailatul qadar.

Selain itu, dalam kitab Al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani menyebutkan perkataan sebagian ulama bahwa terdapat sepuluh keutamaan yang akan diperoleh oleh orang yang memuliakan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Yaitu, keberkahan umur, bertambahnya harta, keluarga dilindungi oleh Allah, kesalahan dan dosa dihapus dan diampuni, amal kebaikan dilipatgandakan, mendapatkan kemudahan dalam sakratul maut, mendapat cahaya di alam kubur, timbangan amal diberatkan, selamat dari derajat yang rendah, dan derajatnya ditinggikan.

Dalam kitab Al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani menyebutkan sebagai berikut;

وقيل: من أكرم هذه الأيام العشرة أكرمه الله تعالى بعشر كرامات: البركة في عمره، والزيادة في ماله، والحفظ لعياله، والتكفير لسيئاته، والتضعيف لحسناته، والتسهيل لسكراته، والضياء لظلماته، والتثقيل لميزانه، والنجاة من دركاته، والصعود على درجاته.

Dikatakan bahwa barang siapa memuliakan sepuluh hari Dzulhijjah, maka Allah akan memberikan kemulian dengan sepuluh kemuliaan; Yaitu, keberkahan umur, bertambahnya harta, keluarga dilindungi, kesalahan dan dosa dihapus dan diampuni, amal kebaikan dilipatgandakan, mendapatkan kemudahan dalam sakratul maut, mendapat cahaya di alam kubur, timbangan amal diberatkan, selamat dari derajat yang rendah, dan derajatnya ditinggikan.

BINCANG SYARIAH

Al Azhar Kampus Tertua

Al Azhar Kampus Yang Tertua

Universitas Al Azhar baik masjid maupun kampusnya sering dipandang sebagai bagian penting dalam sejarah Islam kontemporer. Seperti dilansir Egypt Independent pada Jumat (9/7) Lembaga ini juga dianggap sebagai acuan ideal pandangan keagamaan moderat dan konstruktif yang menolak fanatisme dan perselisihan. Al Azhar menjadi bagian dalam peradaban Islam yang agung. 

Beberapa sumber menyebutkan bahwa alasan utama dibangunnya Masjid Al-Azhar adalah karena ajakan kepada Syi’ah.  Namun dalam waktu singkat karena berbagai peristiwa sejarah dan perubahan politik di Mesir, ia telah menjadi pilar Sunni. Namun pendidikan di universitasnya tidak hanya mencakup doktrin ini tetapi juga mencakup aliran pemikiran Islam lain yang berbeda.

Universitas Al Azhar menyatu dengan Masjid Al Azhar yang dibangun pada zaman Fatimiyah. Itu adalah lembaga agama dan ilmiah Islam terbesar. Masjid Al Azhar dikhususkan sebagai masjid resmi negara yang telah disetujui negara sebagai mimbar untuk panggilan agama dan simbol supremasi spiritualnya.

Universitas Al Azhar adalah salah satu yang tertua di dunia, selain universitas Az Zaitoniah dan Al-Qarawieen. Sampai hari kampus ini tetap menjadi tujuan para pembelajar yang peduli dengan agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini dibedakan oleh fleksibilitas, keterbukaan dan inklusivitas, hal-hal yang tidak ditemukan dalam hukum, lembaga pendidikan lainnya.

Keterbukaan ini menghidupkan kembali harapan bahwa lembaga umat Islam mampu menjangkau umat dengan kecenderungan yang berbeda, memotivasi persaudaraan di antara kelompok dan doktrin Islam yang berbeda, dan menghormati privasi masing-masing.

KHAZANAH REPUBLIKA

Akhir Hidup Westergaard, Pembuat Kartun Nabi Muhammad

Karikatur Westergaard tentang Nabi Muhammad pertama kali diterbitkan pada 2005.

Kartunis asal Denmark bernama Kurt Westergaard yang terkenal dengan ulahnya menggambar kartun Nabi Muhammad mengenakan sorban telah meninggal pada usia 86 tahun. Karyanya memicu kemarahan banyak pihak karena telah menggambarkan sosok suci dalam ajaran Islam.

Surat kabar Denmark Berlingske seperti dilaporkan CNN, Selasa (20/7), melaporkan kematian Westergaard pada Ahad kemarin yang mengutip informasi dari keluarganya. Menurut laporan, Westergaard meninggal akibat penyakit yang sudah lama ia derita.

Karikatur Westergaard tentang Nabi Muhammad pertama kali diterbitkan oleh surat kabar Denmark Morgenavisen Jyllands-Posten pada September tahun 2005. Beberapa surat kabar mencetak ulang gambar tersebut pada awal 2006 sebagai bagian dari perdebatan tentang kebebasan berbicara yang memicu kemarahan di kalangan Muslim.

Sempat terjadi pemboikotan barang Denmark dan penutupan beberapa kedutaan Denmark di negara-negara mayoritas Muslim. Pada saat itu, Westergaard ingin berbicara soal kebebasan berekspresi. Namun, banyak yang menafsirkan gambar itu sebagai penggambaran Nabi teroris.

“Saya ingin dikenang sebagai orang yang memperjuangkan kebebasan berbicara,” kata Westergaard dalam kutipan yang diterbitkan oleh Berlingske, dilansir CNN, Selasa (20/7).

“Tapi tetap saja ada seseorang yang akan mengingat saya sebagai setan yang menghina agama satu miliar orang,” tambahnya.

Westergaard hidup di bawah perlindungan polisi di tahun-tahun terakhir hidupnya. Pihak berwenang Denmark menangkap sejumlah orang yang terkait dengan dugaan pembunuhan terhadap hidupnya.

Pada Februari 2011, pengadilan Denmark menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara kepada seorang warga negara Somalia atas percobaan penyerangan terhadap Westergaard di rumahnya pada tahun 2010. Westergaard dan istrinya bernama Gitte memiliki lima anak, sepuluh cucu, dan satu cicit.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Mengqada Salat yang Ditinggalkan dengan Sengaja

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Soal

Seorang wanita baru bertobat saat dia dewasa. Apakah dia wajib mengqada salatnya yang pernah dia tinggalkan sejak usia baligh-nya sampai saat dia tobat? Mohon jawabannya.

Jawab:

Jawaban benar dan rajih (kuat) adalah dari penjelasan para ulama, adalah bahwa orang yang meninggalkan salat secara sengaja tidak wajib mengqada salatnya. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan para ulama ahlut tahqiq selain mereka.

Sebab perintah untuk mengerjakan suatu amalan wajib di suatu waktu tertentu, maka maslahatnya tidak akan tercapai kecuali dilaksanakan pada waktu tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 103).

Karena mengqada suatu amalan ibadah, pada prinsipnya ia bukanlah kewajiban al ada’ (kewajiban yang dilakukan sesuai waktunya). Namun qada adalah kewajiban yang baru. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama ushul fiqih. Sehingga tidak ada qada salat kecuali orang yang tertidur dan lupa. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam,

مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barang siapa yang meninggalkan salat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan salat setelah ingat” (HR. Bukhari no.596, Muslim no.684, At-Thabrani no.6129, dari hadis Anas bin Malik Radhiallahuanhu).

Andaikan tidak ada hadis ini, maka orang yang tertidur dan lupa pun tidak wajib (untuk mengqada). Adapun orang yang sengaja tidak mengerjakan salat pada waktunya sesungguhnya, ia telah lalai dan menyia-nyiakan serta meremehkan ibadah tersebut. Maka tidak ada uzur atas sikapnya itu, dan ia tidak berhak mendapatkan keringanan bagi orang yang punya uzur. Maka ia tidak bisa mengqada salatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الأُخْرَى

“Tidaklah dikatakan mengakhirkan (meremehkan) salat karena ketiduran, hanya saja meremehkan (salat) itu bagi orang yang tidak menunaikan salat hingga tiba waktu salat yang lain. Oleh karena itu, siapa yang melakukan hal ini, hendaknya ia salat ketika sadar/terjaga. Dan hendaknya esok hari ia melakukan tepat pada waktunya” (HR. Muslim no.681, dari hadis Abu Qatadah Radhiallahu’anhu).

Adapun orang mewajibkan qada berdalil dengan hadis semisal ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Ibnu Abbas Radhillahu ‘anhuma tentang haji,

فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ

“Karena sesungguhnya hutang kepada Allah Ta’ala lebih berhak untuk dipenuhi” (HR. Bukhari no.7315, dari hadis Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma).

Atau dengan hadis Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma yang menceritakan kisah ibunda seorang wanita yang memiliki nazar puasa namun dia telah meninggal dunia, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ

“Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR. Bukhari no.1953 dan  Muslim no.1148).

Maka tidaklah tepat menggunakan dalil-dalil ini diberlakukan bagi orang yang sengaja lalai. Namun hadis-hadis ini dimungkinkan untuk menjadi dalil bagi orang yang memiliki uzur. Karena nazar yang disebutkan dalam hadis sifatnya mutlak, tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Demikian juga ibadah haji. Berbeda dengan salat yang telah ditetapkan waktunya dan ditentukan awal serta akhirnya, sehingga salat termasuk salah satu kewajiban yang muqayyad (bukan mutlak). Sedangkan nazar adalah kewajiban yang longgar. Lebih lagi, nazar adalah kewajiban yang tertanggung seperti utang. Sehingga bisa di-qada oleh walinya sebagaimana hutang.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata,

وأمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصلاةِ حتَّى خَرَجَ وقتُها فهذا لا يَقْدِرُ على قضائها أبدًا؛ فلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الخيرِ وصلاةِ التطوُّعِ ليُثَقِّلَ مِيزانَه يومَ القيامة، ولْيَتُبْ ولْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عزَّ وجلَّ

“Barang siapa yang meninggalkan salat dengan sengaja hingga waktunya berakhir, maka qada tidak berlaku selamanya. Hendaknya orang tersebut memperbanyak amal kebaikan dan salat sunnah untuk meringankan timbangan amalnya di hari hisab kelak dan hendaknya ia banyak bertobat dan memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla” (al-Muhalla, 235/2).

wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh.

Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman.

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat,  S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/67506-hukum-mengqada-salat-yang-ditinggalkan-dengan-sengaja.html

Syekh Nawawi Banten dan Beberapa Pemikiran Pentingnya

Biografi Singkat

Tokoh ini lebih dikenal dengan sebutan Syekh Nawawi Banten. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil al-Jawwi al-Bantani. Lahir di Tanara Tirtayasa Serang Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada 1314 H/1897 M. Nama al-Bantani digunakan sebagai nisbat untuk membedakan dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dan produktif dari Nawa Damaskus, yang hidup sekitar abad XIII Masehi.

Ayah Syekh Nawawi adalah seorang penghulu di Tanara, setelah diangkat oleh pemerintah Belanda. Ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara. Di masa kecil, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Muthi. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon. Dari garis keturunan ayah, berujung kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, sedangkan dari garis ibu sampai kepada Muhammad Singaraja.

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M sedang berada dalam periode terakhir, di ambang keruntuhan. Raja saat itu, Sultan Rafiudin, dipaksa oleh Gubernur Raffles untuk menyerahkan tahta kekuasaan kepada Sultan Mahmud Syafiudin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara.

Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam sejak berusia lima tahun, langsung dari ayahnya. Bersama-sama saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama adiknya bernama Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah satu ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu ke Raden H. Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi berangkat pergi ke Arab Saudi. Di samping untuk melaksanakan ibadah haji, keberangkatan itu penting bagi Syekh Nawawi untuk menimba ilmu. Seperti ulama Al-Jawwi pada umumnya, pada masa-masa awal di Arab Saudi, dia belajar kepada ulama Al-Jawwi lainnya.

Puncak hubungan Indonesia (orang-orang Melayu) dengan Mekkah terjadi pada abad 19 M. Karena, pada saat itu banyak sekali orang Indonesia yang belajar di Mekkah. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka diberi kesempatan mengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minankabawi asal Minangkabau, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.

Ada sekitar 200 orang yang hadir setiap kali Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram menjadi satu-satunya tempat favorit, semacam kampus favorit dalam istilah sekarang, di Tanah Suci. Yang menjadi murid Syekh Nawawi tidak hanya orang Indonesia, namun para pelajar dari berbagai negara. Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang komunikatif, simpatik, mudah dipahami penjelasannya dan sangat mendalam keilmuan yang dimiliki. Dia mengajar ilmu fiqih, ilmu kalam, tashawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Di antara muridnya di Arab Saudi yang kemudian menjadi tokoh pergerakan setelah kembali ke tanah air adalah KH. Hasyim Asyari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH. Asyari (Bawean), KH. Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH. Ilyas (Kragilan Banten), KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH. Tb. Bakri (Sempur Purwakarta), KH. Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.

Di samping itu, Syekh Nawawi juga banyak melahirkan murid yang kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di antaranya adalah Sayyid Ali bin Ali al-Habsy, Syekh Abdul Syatar al-Dahlawi, Syekh Abdul Syatar bin Abdul Wahab al-Makki dan sebagainya.

Syekh Nawawi lebih banyak dijuluki sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz, karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah, juga menjadi salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Nusantara. Pengalaman belajar yang dimiliki cukup untuk menggambarkan bentuk pembelajaran Islam yang telah mapan dalam Al-Jawwi di Mekkah. Dalam konteks keberadaan pesantren di Indonesia, Syekh Nawawi diakui sebagai salah satu arsitek pesantren, sekaligus namanya tercatat dalam genealogi intelektual tradisi pesantren.

Nama Syekh Nawawi tidak hanya terkenal di daerah Arab Saudi, tetapi juga di Syiria, Mesir, Turki dan Hindustan. Penguasaan yang mendalam terhadap ilmu agama dan banyaknya kitab karyanya yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di mayoritas pesantren di Indonesia, menjadikan nama Syekh Nawawi dijuluki sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Syekh Nawawi adalah ulama Indonesia paling produktif yang bermukim di Haramain. Selama hidup, karya Syekh Nawawi tidak kurang dari 99 buku maupun risalah. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 115 buah. Semua tulisan itu membahas berbagai disiplin kajian Islam.

Beberapa karyanya yang masih terkenal sampai sekarang adalah Tafsir al- Munir, Nashaihul Ibad, Fathul Shamad al-Alim, al-Tausyikh, Kasyifatus Saja, al- Futuhat al-Madaniyyah, Tanqihul Qawl, Nihayatul Zayn, Targhibul Mustaqin, Hidayatul Azkiya, Madarijul Saud, Bughyatul Awam, Fathul Majid dan sebagainya.

Pemikiran Penting

Syekh Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama Al-Jawwi. Dia menginspirasi komunitas Al-Jawwi untuk lebih terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah ulama pesantren terkemuka.

Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Dengan mencapai kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti kolonialisme dan imperialism dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran, bagi Syekh Nawawi, harus diwujudkan untuk menumpas kebatilan dan menghancurkan berbagai kedzaliman dari bangsa kolonialisme. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme, kiranya juga patut disejajarkan dengan jasa para pejuang kemerdekaan.

Di samping itu, upaya pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas Al-Jawwi di Mekkah juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas Al-Jawwi untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri lagi Belanda. Untuk mengantisipasi ruang gerak komunitas Al-Jawwi ini, maka Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Belanda saat itu, berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884-1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas Al-Jawwi.

Berbagai pemikiran Syekh Nawawi dalam Tafsir Al-Munir sebenarnya menunjukkan gerakan pembebasan. Namun karena bangsa kolonial tidak menginginkan ideologi yang membahayakan eksistensinya di Indonesia, Syekh Nawawi kemudian dituduh sebagai pengikut aliran Asyariyah yang lebih condong ke Jabariyah. Padahal penafsiran yang diperkenalkan Syekh Nawawi bercorak a new classical. Penafsiran model ini tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, namun pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Kondisi ini bertolak belakang dengan penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar yang lebih dipengaruhi pemikiran ideology Mutazilah.

Bidang tasawuf, Syekh Nawawi memang tidak mengajarkan dan tidak melarang praktik-praktik tasawuf yang dilakukan para muridnya. Meskipun demikian, Syekh Nawawi menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf. Bahkan, dalam berbagai karya, Syekh Nawawi mengklaim sebagai pengikut Syekh Ahmad Khatib al- Sambasi, sosok ulama yang berhasil mendirikan tarikat Qadariyah Naqshabandiyah. Sebagaimana gurunya itu, Syekh Nawawi adalah penganut Sufisme yang digagas Imam Ghazali.

Pemikiran fiqih Syekh Nawawi lebih dipengaruhi oleh Imam Syafii. Sumber hukum Islam, menurut Syekh Nawawi, mencakup empat hal, yaitu al-Quran, hadits, ijma dan qiyas. Tidak mengherankan jika kemudian Syekh Nawawi mengharamkan taqlid bagi imam madzhab yang empat. Namun bagi para mujtahid fil madzhab, mujtahid mufti dan masyarakat umum, Syekh Nawawi mengharamkan bagi tiga golongan ini untuk berijtihad, tetapi mewajibkan untuk taqlid.

Meskipun saat itu Arab Saudi dikuasai oleh pemerintahan yang beraliran Wahabi, namun Syekh Nawawi berani berbeda pendapat dalam hal ziarah kubur. Kerajaan Arab Saudi melarang ziarah kubur, dengan alasan bidah, namun Syekh Nawawi tidak menentang praktik ini. Pendapat ini dilandasi temuan Syekh Nawawi tentang ketentuan hukumnya dalam ajaran Islam. Syekh Nawawi bahkan menganjurkan umat Islam untuk menghormati makam-makam orang yang berjasa dalam sejarah Islam, termasuk makam Nabi Saw dan para sahabat. Mengunjungi makam Nabi Saw, menurut Syekh Nawawi, adalah praktik ibadah yang identik dengan bertemu muka (tawajjuh) dengan Nabi Saw dan mengingatkan kebesaran perjuangan dan prestasi yang patut untuk diteladani.

Rifatuz Zuhro, aktivis Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang masa khidmah 2016-2017

Sumber buku:

Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Amirul Ulum, Ulama-Ulama Aswaja, (Yogyakarta: Pustaka Musi, 2015) M. Solahudin, 5 Ulama Internasional dari Pesantren, (Kediri: Nous Pustaka Utama) Mukani, Ulama Al-Jawwi di Arab Saudi dan Kebangkitan Ulama di Indonesia, Jurnal Al Murabbi (online), Jilid 2, No. 2, 2016, (http://webcache.googleusercontent.com/ search?q=cache: B6shXv SENHQJ: ejournal.kopertais4.or.id/index.php /murabbi/article/view)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/75140/syekh-nawawi-banten-dan-beberapa-pemikiran-pentingnya

Nasihat Sabar Syekh Nawawi Al Bantani untuk Hadapi Corona

Syekh Nawawi menegaskan pentingnya bersabar hadapi musibah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang kini terjangkit virus Corona arau Covid-19.  

Tentu sangat berat bagi orang yang terjangkit virus membahayakan ini. Namun, mereka hendaknya tetap sabar dalam menghadapi musibah tersebut, karena sabar memiliki banyak keutamaan. 

Dalam kitab Tanqih Al-Qaul, Syekh Nawawi Al Bantani telah menjelaskan hadits-hadits Nabi tentang keutamaan sabar ketika mengalami musibah.   

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila Allah SWT mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya dengan musibah yang tidak ada obatnya. Bila dia sabar, Allah SWT memilihnya. Dan bila dia rela, Allah SWT menjadikannya sebagai pilihan.”  

Menurut Syekh Nawawi, maksud dari kalimat “Menjadikannya sebagai pilihan” adalah memilih dan mencintainya dengan sepenuh hati. Sedangkan maksud  dari kalimat “Allah SWT mencintai seorang hamba” adalah Allah menghendaki kebaikan kepadanya. 

Sementara, maksud “Musibah yang yang tidak ada obatnya”, yaitu sakit, sedih, atau dalam kesulitan, agar menjadi pembersih dosa.  

Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sabar merupakan salah satu wasiat Allah SWT di bumi. Siapa saja yang menjaganya, maka dia selamat. Siapa saja yang menyia-nyiakannya, maka dia binasa.” 

Selain itu, Syekh Nawawi juga mengutip hadits Nabi yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas RA. “Allah SWT berfirman, “Siapa saja yang tidak sabar terhadap keputusan dan takdir-Ku, maka hendaklah mencari tuhan selain Aku.” 

Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Sabar ketika tertimpa musibah dapat memperoleh tujuh ratus derajat.” Sedangkan Ibnu Abbas berkata, “Masa menunggu paling utama adalah sabar ketika tertimpa kesusahan.”

Sementara, dalam hadits yang diriwayatkan Baihaqi dan Qudhai dari Anas disebutkan, “Ibadah paling utama adalah menanti kelapangan dari Allah SWT.”  

Syekh Nawawi menjelaskan, maksud dari hadits tersebut adalah jika seseorang tertimpa musibah, lalu tidak mengeluh dan sabar serta menanti kelapangan, maka itu termasuk ibadah paling utama. Sebab, sabar ketika musibah berarti tunduk terhadap keputusan Allah SWT. 

Syekh Nawawi kemudian mengutip syair dari seorang pujangga:

Bila semua jalan telah buntu 

Maka sabar merupakan jalan penentu

Seberat apapun, jangan putus asa

Dengan sabar, berarti kau menanti jalan keluarnya

Orang sabar meraih kemenangan, itu sangat patut

Orang yang selalu mengetuk, pasti akan masuk

KHAZANAH REPUBLIKA

Berlindung dari Jiwa yang Tidak Kenyang

DARI Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الأَرْبَعِ

(HR. at-Tirmidzi, 3482, Abu Daud, 1549, an-Nasai, 5470)

نَفْسٍ لا تَشْبَعُ  artinya “Jiwa yang tidak merasa kenyang”. Jiwa manusia pada dasarnya tidak pernah kenyang dengan kesenangan dunia, kecuali mereka yang diberikan taufik dan hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Ini sesuai dengan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. al-Bukhari)

Agar jiwa ini terhindar dari sifat tidak pernah kenyang, hendaknya setiap Muslim melakukan hal-hal di bawah ini:

(1) Merenungi hakikat dunia yang fana dan sebentar. Ini disebutkan di dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اَللَّهُ, وَأَحَبَّنِي اَلنَّاسُ. قَالَ: اِزْهَدْ فِي اَلدُّنْيَا يُحِبُّكَ اَللَّهُ, وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ اَلنَّاسِ يُحِبُّكَ اَلنَّاسُ

“Seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ, maka beliau berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku’, maka Beliau bersabda: ‘Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, maka engkau akan dicintai manusia’.” (HR: Ibnu Majah).

(2). Memahami bahwa isi dunia ini hanya tiga hal:

(a) aman di rumahnya

(b) sehat badannya

(c) bisa makan pada harinya.

Ini sebagaimana di dalam hadits ’Ubaidillah bin  Mihshan  al-Anshari radhiyallahu ‘anhu  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah) .

(3). Qana’ah (merasa cukup) dengan yang Allah berikan kepadanya. Ini sesuai dengan hadits Abdullah bin ‘Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافاً، وَقَنَّعَهُ اللّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang mencukupinya dan Allah memberikan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim). Wallahu A’lam.*/ Ahmad Zain an-Najah, PUSKAFI (Pusat Kajian Fiqih Indonesia)

HIDAYATULLAH