Coba Kita Hitung-Hitung Antara Musibah dan Nikmat, Tetap Masih Banyak Nikmat Allah

Coba kita menghitung-hitung musibah yang kita hadapi dibandingkan dengan nikmat yang Allah beri. Lebih banyak mana di antara keduanya? Tetap akan lebih banyak nikmat. Sehingga kadang satu kondisi, kita malah bersyukur, padahal sedang mendapatkan musibah, bencana, ujian luar biasa.

Mari Kita Belajar dari Kisah Nabi Ayyub “Sang Penyabar”

Nabi Ayyub tidak banyak hitung musibah karena nikmat yang diberi Allah begitu banyak.

Nabi Ayyub diberi sehat 70 tahun. Ia diberi sakit berat.  Namun, beliau masih bersabar kala itu karena nikmat yang diperoleh masih lebih banyak dari musibahnya.

Ibnu Syihab mengatakan bahwa Anas menyebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapat musibah selama 18 tahun. Wahb mengatakan selama pas hitungan tiga tahun. Ka’ab mengatakan bahwa Ayyub mengalami musibah selama 7 tahun, 7 bulan, 7 hari. Al-Hasan Al-Bashri menyatakan pula selama 7 tahun dan beberapa bulan. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17:181, juga lihat riwayat-riwayat dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:351).

Namun, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan bahwa penyebutan jenis penyakitnya secara spesifik dan lamanya beliau menderita sakit sebenarnya berasal dari berita israiliyyat. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, 4:852)

Saat mengurus dan membawa bekal pada beliau, istrinya sampai pernah bertanya kepada Nabi Ayyub yang sudah menderita sakit sangat lama, “Wahai Ayyub andai engkau mau berdoa pada Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub menjawab, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.” Istrinya pun semakin cemas. Akhirnya karena tak sanggup lagi, istrinya mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya sampai memberi makan padanya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:349-350)

Jangan Sampai Jadi Hamba yang Kanud

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Allah mencela orang yang disebut kanud yaitu yang tidak mensyukuri nikmat. Mengenai ayat,

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (QS. Al-‘Adiyat: 6)

Baca juga: Hamba yang KANUD

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan mengenai ayat ini,

يَعُدُّ المَصَائِبَ وَيَنْسَى النِّعَمَ

“Orang yang kanud adalah yang terus menerus menghitung musibah demi musibah, lantas melupakan berbagai nikmat yang telah Allah beri.” (‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Ash-Shabirin, hlm. 151)

Ibnul Qayyim itu mengatakan bahwa karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka karena sifat di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari, no. 5197 dan Muslim, no. 907).

Kalau tidak mensyukuri pemberian suami saja hukumannya seperti ini, padahal hakikatnya nikmat tersebut juga berasal dari Allah, bagaimana lagi jika kita enggan bersyukur atas nikmat Allah sama sekali. Lihat ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 151.

Referensi:

‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin. Cetakan kedua, Tahun 1429 H. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Az-Zar’i (Ibnu Qayyim Al-Jauzi). Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.

Darush Sholihin, Malam 13 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28908-coba-kita-hitung-hitung-antara-musibah-dan-nikmat-tetap-masih-banyak-nikmat-allah.html

Sikap Terhadap Ibu yang Zalim dan Cara Menasihatinya

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Soal:

Saya adalah perempuan yang telah menikah, mempunyai dua anak perempuan. Adapun suami saya adalah pengangguran. Ketika kami tidak mampu membayar uang sewa, kami pun pindah ke rumah Ayah. Tapi Ibuku sangatlah kejam kepada kami sehingga dia memotong air kami hingga saya pun terpaksa memasak di dalam kamar tidur.

Terkadang, Ibu masuk kamar kami tanpa permisi sedangkan saya bersama suami di dalamnya. Kami pun tidak jarang dihina dan dicaci bahkan Ibu menganggap kami menganut ajaran Murabathah (sejenis aliran sufi). Kemudian beliau berencana mengadukan kami kepada hakim yang bernama Abdurrahman as-Tsa’labi rahimahullah. Ketika aku meminta saudara-saudariku menasihati Ibu, mereka malah enggan sebab takut pada Ibu.

Pertanyaanku, apakah benar bahwa tidak boleh menasihati Ibu -meskipun dengan lembut- yang melakukan kesalahan?

Akhirnya, saya berdoa kepada Allah untuk diberikan pertolongan dan kemudahan. jazakumullah khairan.

Jawab:

Seorang muslim diwajibkan untuk berbuat baik dan dilarang berbuat keburukan kepada kedua orang tua, kerabat dan seluruh muslimin sebagaimana yang ia kehendaki bagi dirinya sendiri. Membenci untuk berbuat sesuatu kepada mereka apa yang ia benci untuk dirinya. Melaksanakan kewajiban saling menasihati dengan mereka sebagai wujud amalan atas sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim dalam Kitabnya “al-Iman” [55] dari Hadis Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu dan hadis yang diriwayatkan Bukhari dalam kitabnya “al-Iman” [42]).

Begitu pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dalam kitab “al-Iman”, bab “Minal Iimaani an Yuhibba Liakhiihi ma yuhibbu linafsihi” no.13 dan Muslim dalam kitab “al-Iman” no.45 dari hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Hendaknya dalam mendakwahi, menasihati dan mengajari orang tua juga dilakukan dengan lemah lembut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

“Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi” (HR. Bukhari dalam kitab “al-Adab” no. 5997, bab “Rahmatul Walad wa Taqbilihi wa Mu’aaniqatihi”, Muslim dalam kitab “al-Fadhail” no. 2318).

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا

“Bukan dari golongan umatku seorang yang tidak menghormati orang-orang tua di kalangan kami, dan tidak menyayangi anak-anak kecil di antara kami, dan juga seorang yang tidak mengetahui hak-hak dari Ulama-Ulama di antara kami”.  (HR. Ahmad dalam al-Musnad no.22755, dari hadis ‘Ubadah bin Shomit radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Silsilah as-Shahihah [231/5]).

Hendaknya pula kita tidak menyakiti mereka baik dengan perkataan maupun perbuatan, meskipun mereka menyakiti kita. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari dalam kitab “al-Iman” no.10, bab “al-Muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi”, dan Muslim dalam kitab “al-Iman” no.40, dari hadis Abdillah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma).

Kita juga dianjurkan untuk menjadikan sabar dan menahan diri untuk tidak menyakiti mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karenanya, jangan pula kita membalas keburukan dengan keburukan atau bahkan dengan sesuatu yang lebih buruk darinya. Namun hendaklah kita membalas keburukan dengan kebaikan, bersabar dan memaafkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ

“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan”. (QS. As-Syura : 43).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik”. (QS. Fushilat : 34).

Terlebih kepada kedua orang tua. Karena mereka adalah sebab kita dilahirkan di dunia. Kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang sangat erat kaitannya dengan orang tuanya. Rasulullah shallahi ‘alaihi wasallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ»، قِيلَ: مَنْ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau ditanya; “Siapakah yang celaka, ya Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Barang siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya).” (HR. Muslim dalam kitab “al-Birru wa as-Shilatu wa al-adabu” no.2551, dari hadis Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dalam hadis lain, Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ

“Orang adalah pintu surga yang paling tengah.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab “Abwabu al Birri wa as-Shilah” no.1900, bab “Maa Ja-a min al-fadhli fi ridhaa al-walidaini”, Ibnu Majah dalam kitab “al-Adabu” no.3663, bab “Birrul walidaini”, Ahmad dalam al-Musnad no.21717, dari hadits Abid Darda’ radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.7145).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ: عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla mengharamkan atas kalian mendurhakai ibu” (HR. al-Bukhari dalam kitab “al-Adabu” no.5975, bab “’uquuqul walidaini minal Kaba’ir”, Muslim dalam kitab “al-Aqdhiyah” no.593, dari hadis Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu).

Dalam hadis lain, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

«أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ؟» ثَلَاثًا، قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ» وَجَلَسَ ـ وَكَانَ مُتَّكِئًا ـ فَقَالَ: «أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ»، فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

“Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar? Kami menjawab, “Tentu wahai Rasulullah”. Beliau mengulanginya tiga kali seraya bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua” -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya, “Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu”. Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira (khawatir) beliau tidak akan diam” (HR. Bukhari dalam kitab “as-Syahaadaat” no.2654, bab “Maa qiila fii syahaadati az-zuuri”, Muslim dalam kitab “al-Imaan” no.87, dari hadits Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu).

Dan banyak nushush serta aatsaar juga yang berkaitan dengan hal tersebut.

Oleh karenanya, apabila salah satu atau kedua orang tua melakukan perbuatan kufur, jelas tampak kesyirikan yang mereka lakukan seperti berdoa kepada mayit, memohon kepada selain Allah, berbuat kesyirikan dan ingkar terhadap wujud Allah atau mencela Allah dan rasul-Nya serta agamanya dan berbagai perbuatan kekufuran lainnya. Maka wajib bagi kita untuk berlepas diri secara mutlak dari mereka. Mengingkari dan membenci perbuatan mereka serta tidak meletakkan cinta dan kasih sayang kepada mereka sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ . وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ.  فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ.

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah, “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. Asy-Syu’ara : 214-216).

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”. (QS. Asy-Syu’ara: 22).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang”. (QS. Al-Mumtahanah: 1).

Ketahuilah bahwa dalam praktik akidah al-bara’ melarang kita berbuat keburukan kepada mereka baik dengan perkataan maupun perbuatan selama mereka tidak memerangi kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ . إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡ‌ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah : 8-9)

Maksudnya bahwa Allah Ta’ala tidak melarang kita untuk berbuat kebaikan dan menyambung silaturahmi kepada kaum musyrikin dari kerabat-kerabat kita selama mereka tidak memerangi agama kita dan tidak mengusir kita dari kediaman kita.

Maka tidak mengapa bagi kita untuk menyambung persaudaraan dengan mereka. Sebab menyambung persaudaraan dengan mereka dalam perkara tersebut tidaklah terlarang dan tidak pula merusak. (lihat Tafsir as-Sa’diy: 865).

Terlebih lagi menyambung hubungan kekerabatan dengan kedua orang tua yang merupakan kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka meskipun mereka berbuat kesyirikan. Memperlakukan mereka dengan cara yang baik dengan batasan tidak bermaksiat kepada Allah dan tidak pula melanggar syariat-Nya. Karena Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk taat dan berbuat baik kepada kedua orang tua bahkan Allah Ta’ala memposisikan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi ibadah tersendiri. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا٢٣ وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Isra’ : 23-24).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman: 15).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. Ahmad dalam al-Musnad no.1095, dari hadis ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitabnya as-Silsilah as-Shahihah no.179).

Perkara ini (yaitu berbuat kebaikan) tidak hanya terbatas kepada kedua orang tua saja. Namun juga meliputi perbuatan baik kepada para kerabat dan orang lain berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـٔٗا وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki”. (QS. an-Nisa : 36)

Semoga Allah menganugerahkan petunjuk, takwa, rezeki dan ampunan serta kesabaran, kebaikan, ketabahan dan perilaku terpuji. Semoga Allah juga meluaskan pintu kebaikan dan menambah kemuliaan-Nya.

Semoga Allah menghilangkan segala kegelisahan dan kesulitan dari ibu anda. Semoga Allah melindungi dari segala kemalangan dan  ketakutan. Semoga Allah menghilangkan segala keburukan dari dirinya. Semoga Allah mudahkan semua kebaikan atasnya. Semoga Allah berikan itu semua juga kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Menjawab Doa.

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا

Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1258

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/67508-sikap-terhadap-ibu-yang-zalim-dan-cara-menasihatinya.html

Mualaf Wahyu Salman, Shalawat Nabi Kembalikannya ke Islam

Muhammad Wahyu Salman Alfarisi pernah keluar Islam dan kembali menganutnya

Muhammad Wahyu Salman Alfarisi menuturkan perjalanan panjangnya dalam menemukan kebenaran, hingga akhirnya kembali menerima Islam. Lelaki yang kini berusia 26 tahun itu mengakui, ada banyak ujian kehidupan yang harus dilalui sebelum menjadi mualaf. Lika-liku tersebut mengantarkannya pada kemantapan hati untuk terus memeluk Islam. 

Pria ini lahir dengan nama Wahyu Sajiwo di Bali. Menurut dia, kisah masa kecilnya tidaklah bahagia, seperti anak-anak pada umumnya. Sejak lahir, ibundanya telah wafat. Ia pun dibesarkan oleh ayahnya yang berasal dari Aceh. Di Tanah Rencong, dirinya melalui fase anak-anak.

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat yang diiringi tsunami mengguncang provinsi tersebut. Nyaris seluruh Aceh dan daerah sekitarnya porak poranda. Ayah Wahyu ikut meninggal dunia dalam peristiwa ini. Sesudah hari-hari duka, Wahyu kecil pun diasuh kakeknya.

Namun, pengasuhan tersebut tidak bisa lama.Sebab, sang kakek pun menghembuskan napas ter akhir. Tanpa siapa-siapa sebagai penyokong, ia pun dititipkan di sebuah panti asuhan. Saat ber usia 11 tahun, bocah lelaki ini diadopsi sebuah keluarga angkat.

Dari nasab baik ayah dan ibunya, ia sesungguhnya merupakan Muslim. Akan tetapi, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa saat diasuh keluarga yang non-Muslim. Apalagi, mereka membesarkan dan merawatnya dengan baik. Dengan terpaksa, Wahyu mengikuti agama kedua orang tua angkatnya.

“Saya sudah dapat berpikir saat itu, namun karena kebutuhan hidup dan sekolah, tak apalah saya mengikuti agama mereka, asalkan saya bisa makan dan sekolah,” ujar dia menuturkan kisahnya kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Lambat laun, Wahyu menjadi pribadi yang taat beribadah. Bahkan, keluarga angkatnya pun menawarinya untuk menjadi seorang agamawan. Namun, keinginan mereka tidak sempat terlaksana. Sebab, ia berhasil mendapat beasiswa untuk menempuh SMA di Batu, Jawa Timur. 

Orang tua angkatnya mengizinkan Wahyu muda untuk hijrah dari Aceh ke sana. Maka, berangkatlah remaja ini seorang diri merantau ke kota tersebut. Di daerah yang terkenal akan agrowisata itu, ia tinggal di sebuah asrama. Mayoritas penghuninya menganut agama yang sama dengannya.

Di Batu, pergaulan Wahyu makin luas. Lagi pula, sekolah tempatnya belajar menjadi tempat berkumpulnya banyak murid dari beragam kalangan. Tidak sedikit kawannya yang beragama Islam. Perlahan namun pasti, ia mulai menemukan kembali agama fitrah yang dahulu ditinggalkannya.

Selama di perantauan, Wahyu lebih sering hidup mandiri. Dari kedua orang tua angkat, dirinya jarang mendapatkan kiriman uang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia pun harus bekerja keras.

Pernah pemuda ini mencoba-coba berjualan kerupuk secara keliling dari pintu ke pintu. Semua dilakukannya tanpa malu atau risih.Sebab, tidak ada salahnya selama pekerjaan tersebut tidak merugikan siapa-siapa.   

Saat itu, ia masih berada di kelas dua SMA.Sewaktu mata pelajaran agama Islam, ia kadang kala tetap bertahan di kelas. Mungkin muridmurid dan guru menganggapnya biasa atau sedang malas keluar.

Akan tetapi, diam-diam Wahyu menyimpan rasa ingin tahu tentang Islam.Di luar waktu sekolah, Wahyu juga menyempatkan diri untuk membersihkan masjid dan mushala yang tak jauh dari sekitar asramanya.Ia sangat senang ketika mendengar suara azan.

Ia juga mulai belajar berpuasa Senin Kamis dan Ramadhan. Bahkan, ia pun menyisihkan uangnya untuk membeli baju koko yang sangat disukainya.

“Saya sangat senang mengenakan koko putih.Jadi, saya beli beberapa dan sering memakainya.Sem pat ditegur ibu asrama karena saya mengenakan pakaian Muslim, padahal saya merasa nyaman-nyaman saja,” katanya.

Sebelum lulus SMA, Wahyu pun makin bertekad untuk mempelajari Islam. Akan tetapi, niat untuk bersyahadat belum ada. Ia memang mulai belajar sholat, meski sempat temannya menolak untuk mengajarkannya gerakan-gerakan ibadah ini.

Wahyu tidak putus asa. Ia pun mencari teman lain yang mau membimbingnya. Baginya, lebih leluasa belajar Islam karena memang sedang menetap jauh dari keluarga angkat. Ia pun tidak pernah pulang ke Aceh ketika masa liburan sekolah.

Waktu luang dimanfaatkannya banyak-banyak untuk belajar Islam dan mencari tambahan uang. Sampai satu ketika, Wahyu bermimpi aneh.

Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang wanita berparas cantik, berpakaian serbaputih.Perempuan tersebut memberi isyarat ingin menggandeng tangannya. Namun, Wahyu tak sampai menyentuhnya.

Begitu bangun, lelaki ini masih menyimpan rasa penasaran. Keesokan harinya, Wahyu bertanya kepada seorang ustadz yang juga bertugas menjaga asrama. Sang ustadz lantas bertanya soal agama dan orang tuanya. Setelah mendengar cerita Wahyu, ustadz tersebut menyimpulkan bahwa wanita itu adalah ibunya yang berbeda agama, saat itu, dengannya.

Mimpi kedua adalah Wahyu bertemu ayahnya. Namun, seperti mimpi sebelumnya, ia enggan digandeng ayahnya. Saat ditanya perihal itu, ustadz ini kembali menjelaskan bahwa kedua orang tuanya yang Muslim berbeda agama dengan Wahyu sendiri. Alhasil, kemungkinan besar doa-doanya tidak akan sampai diijabah; doa anak yang berbeda agama tidak akan sampai. 

Mereka seperti berharap agar Wahyu kembali kepada agama lamanya, yakni Islam. Dengan begitu, ia pun bisa mendoakan mereka. Sebelum (kembali) menjadi Muslim, Wahyu sangat ketakutan jika mendengar ada orang meninggal.

Sebab, ajaran agama sebelumnya, yakni agama orang tua angkatnya,meyakini bahwa ketika seseorang meninggal maka akan dilahirkan kembali. Jika sebelumnya berbuat baik, yang lahir kemudian reinkarnasi yang baik. Kalau selama hidup sering berbuat keburukan maka akan lahir kembali dengan kondisi yang lebih jelek dari sebelumnya.

Wahyu selama ini hanya beribadah fokus untuk dirinya sendiri. Tidak pernah memikirkan orang tuanya.   

Di Islam, Wahyu mulai kembali mengingat kedua orang tuanya. Saat terbangun dari mimpi-mimpi itu, Wahyu menangis sedih.

Menurut ustaz tersebut, kesedihan itu adalah jalan hidayah untuk Wahyu. Ia yakin betul, Allah menghendakinya untuk kembali kepada Islam. Wahyu kemudian belajar sholat Jumat dan diajak mengaji di sebuah majelis shalawat. 

Saat bershalawat, ada bayangan kerinduan akan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, hatinya kian mantap untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat. Masjid At Taqwa, Batu, Jawa Timur, menjadi saksi deklarasi keimanannya.

Waktu itu, Desember 2016.Momen tersebut bertepatan dengan dirinya lulus SMA. Wahyu pun harus keluar dari asrama tempatnya menetap selama ini. Beruntung, ustadz pengawas asrama mengajaknya untuk tinggal di sebuah pondok pesantren di Malang.

“Setelah lulus, saya ingin kuliah, namun tak tahu biaya dari mana, bersyukur sejak di ponpes, Wahyu mendapatkan beasiswa S-1, bahkan dua sekaligus,” jelasnya.     

Saat itu, ia hanya mendapatkan beasiswa untuk biaya sekolah sedangkan untuk biaya hidup dan kebutuhan lain tidak ada.Wahyu harus pindah meski ilmu agamanya belum cukup dia timba.

Banyak teman ponpes yang menyalahkannya karena ia pindah artinya tidak percaya dengan Allah yang Mahapemberi rezeki. Namun, prinsip Wahyu berbeda. Wahyu tidak ingin bergantung berdakwah untuk membiayai hidup, tetapi justru dengan berbisnis yang akan membiayai dakwah.

Berbagai bisnis ia lakukan karena selain ingin membantu pondok pesantren, ia juga menjadi kakak asuh bagi beberapa anak-anak yatim di panti asuhan.

“Alhamdulillah, saya bisa kirim beras untuk ponpes dan adik-adik panti asuhan, bisnis kuliner dan fotokopi saya lakukan, “ujar dia.

Dari sejak saat itu, santri di ponpes berubah pandangan tentang bisnis dan dakwah.Mereka mulai mengikuti jejak Wahyu untuk berbisnis demi mengembangkan pondok pesantren.

Menjadi Muslim, perjalanan hidupnya makin lancar. Namun, di sisi lain, hubungan Wahyu dengan keluarga angkatnya makin renggang.

Setelah memeluk Islam, teman-teman dari agama lamanya di Malang menyampaikan kabar kepada keluarga angkatnya. Tentu mereka kecewa. Tak sampai di situ, bahkan tetangga mereka pun mengucilkan orang tua angkatnya karena Wahyu memeluk Islam.

Menjadi Muslim memang memiliki banyak tantangan, apalagi ketika berhijrah.Wahyu pun mengalaminya. Dijauhi teman dan keluarga merupakan bagian dari ujian, berkaca dari perjuangan Rasulullah pun hampir sama, bahkan Rasul dilempari batu dan dihina sangat parah.

Dari kisah Rasulullah ini membuatnya makin istiqamah. Wahyu lebih fokus untuk memperbaiki sholat, membaca Alquran, dan makin berusaha untuk mengembangkan usahanya.

Dengan latar belakang sebagai sarjana pertanian dan manajemen, Wahyu pun mengembangkan usaha sayur organik. Bahkan, ia meruntuhkan hinaan orang lain dan menunjukkan bahwa anak yatim piatu bisa sukses jika berusaha.

Tak hanya beasiswa, ia pun lulus S-1 di dua tempat dan mendapatkan beasiswa ke Brunei Darrusalam untuk S-2. Namun, pandemi Covid telanjur menyerang sehingga keberangkatannya batal.

Allah memiliki rencana lebih indah.Ternyata, jodoh pasangan hidup yang lebih dahulu didekatkan. Pada Februari 2020, Wahyu melangsungkan pernikahan.

Keluarga istri pun menyambut dengan tangan terbuka kondisi Wahyu. Bagi mereka, tidak ada alasan untuk tidak menerima Wahyu menjadi bagian dari keluarganya.

Kini, Wahyu bersama istri menetap di Malang. Wahyu dan rekan-rekan lainnya juga membentuk komunitas sosial dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah wakaf Alquran ke berbagai daerah.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 6)

Kiat Kesembilan: Serius dan Mengulang-ulang dalam Berdoa Serta Tidak Tergesa-gesa Ingin Dikabulkan

Dari Abu Hurairah , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يُعَجِّلْ يَقُوْلُ: دَعَـوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ

“ Doa seseorang di antara kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa sehingga  mengucapkan: “Aku telah berdoa, namun doaku belum terkabulkan.” (HR. Bukhari)

Di antara adab doa yang agung adalah memohon dengan serius, mengulang-ulang bacaan doa, terus-menerus berdoa, serta mencari waktu yang utama untuk berdoa.  Barangsiapa yang terus menerus mengetuk pintu-pintu doa akan semakin dekat kemungkinan dibuka pintu untuknya.

Barangsiapa merenungkan doa ulil albaab yang Allah sebutkan di akhir surat Ali Imran tentang bagaimana mereka mengulangi ucapan “Rabbanaa” sebanyak lima kali dalam doa mereka, maka akhirnya  Allah sebutkan di akhir surat  :

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ

“ Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya  “  (Ali Imran : 195)

Hendaknya seorang hamba tidak tergesa-gesa ingin dikabulkan doanya, karena sikap tergesa-gesa adalah  di antara hal merusak yang  merupakan penghalang terkabulnya doa. Sesungguhnya sikap tergesa-gesa akan memperlambat pengkabulan doa. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menekankan dalam perkataan beliau :

و الحّ عليه في المسألة, و تملّقه

“ Bersikap serius dalam meminta, dan penuh adab dalam berdoa

Yang dimaksud adalah bersikap tamalluq adalah pelan dan lemah lembut dalam meminta. Beliau rahimahullah mengisyaratkan dengan hal ini bahwasanya berdoa hendaknya pelan-pelan, penuh adab, dan menampakkan rasa butuh kepada Allah Rabbul’ aalamin.

Kiat Kesepuluh: Berdoa Disertai dengan Penuh Harap dan Takut

Menggabungkan antara raghbah (rasa harap) dan rahbah (rasa cemas/takut) merupakan perkara penting untuk mendapat keberhasilan dalam berdoa dan ibadah yang lainnya. Seorang mukmin seyogyanya dalam ibadahnya menggabungkan antara harap dan takut. Ketika Allah menyebutkan kisah para nabi dalam surat Al Anbiya’ dan bagaimana mereka selamat dari berbagai kesulitan dan ujian, di akhir ayat Allah menyebutkan :

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“ Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.  “ (Al Anbiya’:90)

Mereka menggabungkan dalam doa mereka antara takut dan harap. Raghbah adalah berharap dengan apa yang ada di sisi Allah, maka orang yang berdoa meminta kepada Rabbnya dalam keadaan berharap dengan keutamaan dan nikmat dari_nya. Adapun rahbah adalah rasa takut dari azab-Nya dan pedihnya hukuman dari-Nya.

Di antara sifat orang mukmin yang sempurna adalah :

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. “ (Al Mukminun : 60)

Mereka bersungguh-sungguh dalam ibadah berharap pahala dari Rabbul ‘alamin, namun hati mereka disertai kekhawatiran tidak diterimanya amal-amal mereka. Mereka senantiasa menggabungkan dalam ibadah mereka  antara raghbah dan rahbah.

Contoh lain adalah doa Nabi Ibrahim khalilur rahman ketika Allah memerintahkan beliau untuk membangun Baitullah al Haraam, maka beliau berdoa :

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (Al Baqarah :127)

Beliau adalah termasuk rasul ‘ulul azmi yang juga merupakan kekasih Allah yang dijuluki khalilur rahman. Beliau pula lah yang melakukan amalan yang paling mulia yaitu membangun dan memakmurkan Baitullah. Meskipun begitu, beliau masih tetap berdoa kepada Allah dengan berharap Allah menerima darinya amal tersebut.

Oleh karena itu Wuhaib bin Ward rahimahullah tatkala membaca ayat ini beliau menangis seraya berkata :

يا خليل الرحمٰن ترفع قوائم بيت الرحمٰن وأنت مُشفق أن لا يتقبّل منك

“ Wahai khalilur rahman, engkau membangun baitur rahman, namun engkau sangat khawatir Allah tidak menerima amalmu 

Insyaallah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya agar doa dikabulkan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Sumber : Ad Duaa alladzii Laa Yurod  karya  Syaikh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah yang diunduh dari : https://www.al-badr.net/ebook/192

Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S

Sumber: https://muslim.or.id/67535-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-6.html

Jangan-Jangan Kita Terkena Penyakit Waswas, Ini Cara Mengobatinya

Bagaimana cara mengobati penyakit waswas?

Ada orang yang sudah kencing sebelum shalat. Dalam shalat, ia ada perasaan seperti ada yang menetes. Ketika selesai shalat, ia periksa, ternyata tidak ada apa-apa, tidak ada pula bau kencing. Kejadian ini terus berulang.

Kejadian di atas termasuk waswas.

Waswas atau waswasah adalah bisikan jiwa dan setan yang tak mengandung manfaat dan kebajikan.

Bedakan antara syakk dan waswasah. Syakk merupakan kebimbangan antara terjadi atau tidaknya sesuatu yang kemungkinan keduanya seimbang, dan merupakan keyakinan keseimbangan yang sama kuat antara keduanya, tak ada kelebihan yang satu atas yang lain. Sedangkan waswasah adalah bisikan jiwa dan setan yang tidak dilandaskan pada keyakinan dasar. Lain hal dengan syakk yang dilandasi suatu keyakinan dasar.

Waswasah merupakan penghilang khusyuk paling dominan. Maka bila hamba selamat dari penyakit berbahaya ini, berarti ia selamat dari banyak keburukan. Al-waswas (yang selalu membisikkan gangguan) adalah setan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat,

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi.” (QS. An-Naas: 4)

Sebab-Sebab Munculnya Waswasah

  1. Minimnya ilmu syari, yaitu pengetahuan tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ajaran para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka.
  2. Lemahnya keimanan, dan setan itu hanya mampu menguasai ahli maksiat, bukan menguasai orang yang kuat imannya.
  3. Lalai dari mengingat Allah, sebab dzikir itu mampu mengusir setan dan gangguan-gangguannya.
  4. Kelemahan akal, sebab yang memiliki akal sempurna akan selamat dari waswasah, dengan karunia Allah.
  5. Tidak bergaul dengan orang-orang yang memiliki ilmu dan iman sempurna.
  6. Tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Gejala-Gelaja Waswasah pada Orang yang Mengidapnya

  1. Lama dalam melakukan istinjak, wudhu, atau mandi.
  2. Mengulang-ulang wudhu, thaharah, atau shalat, berlebih-lebihan dalam menggunakan air untuk bersuci dan mengulangi ibadah-ibadah ini karena menganggapnya tidak sah.
  3. Mengulang-ulang huruf dalam melafalkan bacaan-bacaan Al-Qur’an, doa-doa shalat dan lainnya.
  4. Mengganti baju karena menyangkanya terkena najis.
  5. Bisikan yang terkait dengan hal akidah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِى الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ ، وَلْيَنْتَهِ

Setan datang pada salah seorang kalian lalu mengatakan, siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan ini? Hingga ia mengatakan, siapa yang menciptakan Rabbmu? Bila ia sampai pada yang demikian itu hendaknya ia berlindung kepada Allah dan segera berhenti darinya.” (HR. Bukhari, no. 3276 dan Muslim, no. 134)

Dalam redaksi riwayat Muslim, “Tak henti-hentinya manusia saling bertanya, hingga dikatakan, ini Allah telah menciptakan semua makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah? Siapa mendapati sesuatu dari hal ini hendaknya ia mengatakan, aku beriman kepada Allah.”

Dalam riwayat Muslim yang lain, “Setan mendatangi salah seorang kalian lalu mengucapkan, siapa yang menciptakan langit? Siapa yang menciptakan bumi? Maka ia menjawab, “Allah ….”

Muslim menyebutkan riwayat di atas dan menambahkan, “(Aku beriman kepada Allah) dan rasul-rasul-Nya.”

Mengobati Waswasah

  1. Menuntut ilmu syariat (mendalami ilmu agama).
  2. Memperkuat keimanan dengan mengerjakan amal-amal ketaatan dan ibadah-ibadah sunnah.
  3. Senantiasa ingat pada Allah di segala kondisi.
  4. Bergaul dengan orang saleh dan orang-orang yang dapat memberi manfaat.
  5. Mengetahui bahwa kebenaran itu hanya apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  6. Mengakui bahwa waswasah adalah kebatilan yang paling batil.
  7. Memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan.
  8. Tidak lama-lama berada di dalam kamar mandi atau WC melebihi kebutuhan. Karena jamban dan WC adalah tempat setan dan ruh-ruh yang jahat.
  9. Memercikkan air pada kemaluan setelah istinjak dan celana untuk mengantisipasi waswasah dari jiwa.

Dalam hadits Al-Hakam bin Sufyan Ats-Tsaqafi, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا بَالَ يَتَوَضَّأُ وَيَنْتَضِحُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila kencing, beliau berwudhu dan memercikkan air pada kemaluan.” (HR. Abu Daud, no. 166; Ibnu Majah, no. 461; An-Nasai, no. 134. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Apabila seseorang yakin telah melakukan thaharah (baik wudhu atau lainnya), kemudian ragu telah berhadats ataukah belum, ia boleh shalat dengan thaharahnya itu. Sebab, ia dalam keadaan suci. Sebaliknya bila ia yakin telah berhadats kemudian ragu telah bersuci ataukah belum, ia tidak perlu mempedulikan keraguan itu, kecuali bila ia yakin telah bersuci. Kemudian bila banyak keraguan yang muncul, maka ia tidak perlu mempedulikannya.

Baca juga: Kaidah Fikih, Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin

Semoga Allah beri taufik dan hidayah kepada penulis dan setiap yang membaca tulisan ini.

Referensi:

Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah fii Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1434 H. Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.

Darush Sholihin, 12 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28887-jangan-jangan-kita-terkena-penyakit-waswas-ini-cara-mengobatinya.html

Salah Paham Tentang Memahami Tawakal

Sebagian orang ada yang salah paham dengan tawakal. Sebelumnya, perlu diketahui ada dua rukun tawakal:

1. Menempuh dan melakukan sebab/usaha

2. Berdoa memohon bantuan kepada Allah dan menyerahkan hasilnya kepada Allah serta ridha dengan apapun yang Allah takdirkan nanti

Ada dua sikap ekstrim (berlebihan) terkait tawakal:

Pertama: Tidak melakukan sebab atau usaha sama sekali

Inilah yang sering salah dipahami oleh sebagian orang, yaitu memahami tawakal dengan “pasrah” saja. Tidak melakukan sebab atau usaha dengan apapun.

Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah

Berikut pembahasannya:

Pertama: Tidak melakukan sebab sama sekali

Hal ini tidak dibenarkan, karena Allah telah menciptakan sebab dan akibatnya. Manusia harus menempuh sebab dan melakukan usaha untuk mendapatkan hasilnya nanti.

Perhatikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai “tawakalnya burung”.

ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)

Seekor burung tidak tahu letak di mana biji-bijian dan makanan yang akan didapatkan, bisa jadi di tempat kemarin yang ia dapatkan, sekarang telah habis persediaan biji tersebut.

Yang penting bagi burung adalah:
1. Berusaha keluar sarang dulu, yang penting berusaha (tidak meninggalkan sebab dan usaha)
2. Tidak stress dulu di sangkar terlalu lama memikirkan nasibnya
3. Optimis dengan rezeki dari Allah, untuk memenuhi kebutuhannya

Syaikh Abdurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan,

ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﺑﻞ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺮﺯﻕ

“Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kita harus meninggalkan usaha (menempuh sebab), akan tetapi menunjukkan agar melakukan usaha untuk mencari rezeki (Tuhfatul Ahwadzi, syaikh Al-mubarakfury)

Jadi, menempuh sebab (melakukan usaha) itu juga penting dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Kedua: Melakukan sebab/usaha dengan sangat giat tetapi tidak memohon bantuan kepada Allah serta tidak menyerahkan hasilnya kepada Allah

Kita adalah seorang hamba Allah dan jangan sampai melupakan Allah sebagai pencipta kita dan yang memberikan kita kemampuan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

فالإلتفات الى الأسباب شرك فى التوحيد و محو الأسباب أن تكون أسبابا نقض فى العقل و الأعراض عن الأسباب المأمور بها قدح فى الشرع فعلى العبد أن يكون قلبه متعمدا على الله لا على سبب من الأسباب و الله ييسر له من الأسباب ما يصلحه فى الدنيا و الأخرة

“Mengandalkan (terlalu memperhatikan) sebab atau usaha itu menodai kemurnian tauhid. Tidak percaya bahwa sebab adalah sebab adalah tindakan merusak akal sehat. Tidak mau melakukan usaha atau sebab adalah celaan terhadap syariat (yang memerintahkannya). Hamba berkewajiban menjadikan hatinya bersandar kepada Allah, bukan bersandar kepada usaha semata. Allahlah yang memudahkannya untuk melakukan sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan di dunia dan akherat” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 8/528)

Orang yang terlalu mengandalkan sebab atau usaha sangat berpotensi untuk stres dan depresi ketika ia tidak bisa mencapai target atau hasil yang ia inginkan, padahal ia sudah giat dan bersusah payah. Seorang yang bertawakal tidak akan stres atau depresi karena ia berbaik sangka kepada Allah. Apapun yang Allah takdirkan adalah yang terbaik bagi seorang hamba. Inilah menakjubkannya urusan seorang muslim sebagaimana dalam hadits.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَِحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya” (HR. Muslim)

Demikian semoga bermanfaat

@ Yogyakarta Tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/42819-salah-paham-tentang-memahami-tawakal.html

Benarkah Berhubungan Intim pada Malam Jumat Sunah Rasul?

BincangSyariah.Com –  Jamak diketahui oleh masyarakat kita bahwa berhubungan intim malam jumat merupakan sunah rasul, Benarkah demikian?

Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, tidak ditemukan dalam nash baik Alquran ataupun hadis yang menunjukkan secara jelas akan kesunahan berhubungan intim pada malam jumat. Kecuali mungkin hadis yang menyinggung tentang mandi janabah berikut ini

قال صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari jumat seperti mandi janabah kemudian dia berangkat shalat jumat di waktu pertama, maka seperti berkurban unta.. (HR. Bukhari & Muslim)

Imam Nawawi mengartikan bahwa hadis ini menerangkan tentang cara mandi jumat dilakukan seperti mandi junub, akan tetapi ada juga sebagian ahli fikih mengartikannya dengan barang siapa yang mandi jumat bertepatan dengan mandi junub lalu pergi jumatan fadhilahnya seperti berkurban unta. Namun menurut mayoritas ulama, pemahaman hadis pertama yang lebih benar.

Karena itu Imam Nawawi menegaskan

وَقِيلَ: فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى الْجِمَاعِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ لِيَغْتَسِلَ فِيهِ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَالْحِكْمَةُ فِيهِ: أَنْ تَسْكُنَ نَفْسُهُ فِي الرَّوَاحِ إِلَى الصَّلَاةِ ، وَلَا تَمْتَدُّ عَيْنُهُ إِلَى شَيْءٍ يَرَاهُ، وَفِيهِ حَمْلُ الْمَرْأَةِ أَيْضًا عَلَى الِاغْتِسَالِ ذَلِكَ الْيَوْمَ ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى هَذَا، وَهُوَ ضَعِيفٌ أَوْ بَاطِلٌ، وَالصَّوَابُ الأول. انْتهى

Dan ada yang berpendapat bahwa dalam hadis tersebut terdapat isyarat agar berhubungan intim pada hari jumat dan mandi junub pada hari itu. Hikmahnya agar jiwanya tenang menuju shalat dan matanya tidak jelalatan pada apa yang ia pandang, dan wanita juga disunahkan mandi pada hari itu. Sebagian saudara kita berpendapat demikian, pendapat itu lemah dan tidak benar, yang benar adalah pendapat yang pertama. Selesai.

Demikian pula menurut Ibnu hajar, bahwa tasybih atau penyamaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyaman dalam hal taat cara mandi, bukan penyamaan dalam hal hukum, demikian menurut mayoritas ahli fikih.

Jadi hadis tentang mandi junub di atas, menerangkan kesunahan mandi di hari jumat serta keutamaan orang yang bersegera pergi shalat jumat. Hadis itu tidak ada kaitannya dengan kesunahan berhubungan intim pada hari jumat atau malam jumat. Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH

Cerita Pequrban Cilik Hani, Upah Kupas Bawang dan Celengan

Hani merupakan contoh pequrban cilik yang menginspirasi

Semangat berqurban ternyata tidak hanya dimiliki orang dewasa, tetapi juga anak-anak, meski mereka belum terkena hukum kesunnahan melaksanakan qurban.  

Hal itu dicontohkan seorang bocah perempuan berusia delapan tahun bernama Hanifa Insani, yang masih duduk di bangku kelas tiga Madrasah Ibtidaiah Negeri (MIN) 4 Solok, Sumatra Barat. Hani, panggilan Hanifa,mampu berqurban pada hari Raya Idul Adha 1442 Hijriyah dari uang hasil tabungan dari celengannya, yang dikumpulkannya selama tiga tahun.

Uang untuk berqurban tersebut sudah ditabungnya sejak tiga tahun berturut-turut, tepatnya sejak Hani masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) atau sejak berusia lima tahun.

Beberapa tahun terakhir ini, Hani rajin menabung dalam celengan yang dibelikan oleh orang tuanya. Setiap hari, dia selalu menyisihkan uang jajannya Rp1.000 hingga Rp5.000.

Sedikit demi sedikit uang tabungan Hani terus bertambah. Bahkan, tabungannya meningkat drastis pada saat perayaan Hari Raya Idul Fitri yang diterima Hani dari mamak (paman) dan etek (tante)dan kerabat lainnya langsung ditabung dalam celengan.

Selain itu, uang tabungannya juga diperoleh dari hasil mengupas bawang (maurek bawang) selama mengisi waktu libur sekolahnya. Mengupas bawang atau maurek bawang merupakan pekerjaan unik dan sangat mudah sehingga bisa dilakukan siapa saja termasuk ibu-ibu, bahkan anak-anak di Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumbar. 

Bawang yang sudah dibersihkan itu akan diupah Rp1.500 per kilogramnya oleh sang pemilik bawang.”Biasanya Hani mampu membersihkan bawang hingga 15 kilogram per hari atau Rp22 ribu hingga Rp25 ribu per harinya, lalu uang itu ditabungnya dalam celengan,” ujar orang tua Hani, Roza Linda (38).

Di tambah lagi sejak pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) proses belajar mengajar (PBM) tatap muka dipindahkan ke rumah atau belajar secara daring(online). Sehingga Hani lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. “Dia tidak terlalu suka bermain. Malah mengisi waktunya dengan bekerja mengupas bawang petani yang ada di sini, lalu upahnya ditabung dalam celengan,” kata dia.

Niat yang Tulus Hani sejak awal memang sudah berniat menggunakan uang tabungannya untuk berqurban. Setelah membongkar celengan, tanpa berpikir lagi dia langsung meminta kedua orang tuanya untuk menyerahkan uang itu ke panitia qurban di Masjid Nurul Iman, Batu Bagiriak, Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumbar.

Kedua orang tuanya pun kembali menanyakan keinginan Hani itu karena mengingat usianya yang masih kecil. Namun Hani tetap kukuh dengan pendiriannya. Linda sebagai orang tua sangat bangga dengan ketulusan hati anaknya yang masih kecil sudah ikut berqurban.

Kedua orang tuanya pun kembali menanyakan keinginan Hani itu karena mengingat usianya yang masih kecil. Namun Hani tetap kukuh dengan pendiriannya. Linda sebagai orang tua sangat bangga dengan ketulusan hati anaknya yang masih kecil sudah ikut berqurban.

“Bahkan saya sendiri sampai saat ini masih belum ikut berqurban, semoga tahun depan bisa ikut,” kata dia. Ibu dengan tiga orang anak itu berharap ke depannya Hani terus menjadi anak yang shalehah dan tetap peduli terhadap sesama.

“Saya selalu berpesan pada Hani setelah berqurban harus ditingkatkan lagi ibadahnya, seperti sholat lima waktu tidak boleh bolong-bolong, baca Alquran dan puasa,” kata Linda.

Hani ikut berqurban satu ekor sapi bersama tujuh orang lainnya yang dilakukan secara patungan atau senilai Rp2,5 juta per orangnya. Kemudian daging qurban atas nama Hani ini diserahkan ke kerabat dan tetangga dekat rumah.

Hani termasuk yang paling kecil usianya di antara orang-orang yang ikut berqurban di Masjid Nurul Iman. Di antara mereka ada yang sudah berkeluarga, sebagai mahasiswa, pedagang, dan petani.

“Saat membuka celengan, uang tabungan Hani hanya ada Rp2,1 juta, sedangkan untuk qurban Rp2,5 juta. Namun melihat Hani begitu bersemangat untuk berqurban. Kami pun menambahkan Rp500 ribu dan sisa tabungannya Rp100 ribu untuk keperluan Lebaran,” ujar Linda.

Qurban Tahun DepanBocah yang bercita-cita ingin menjadi seorang polisi wanita (polwan) itu mengaku senang karena bisa ikut berqurban pada Lebaran Idul Adha tahun ini. Dia berharap tahun depan bisa berqurban lagi dengan uang tabungannya sendiri.

Salah seorang tokoh agama Kabupaten Solok, Alizar Chan, mengapresiasi Hani yang masih kecil namun sangat bersemangat ikut berqurban. “Berqurban merupakan amalan yang disunnahkan saat merayakan Hari Raya Idul Adha. Meski begitu, berqurban diwajibkan bagi mereka yang mampu,” kata Alizar yang juga sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Solok.

Namun menurut Alizar anak yang belum akil balig berarti belum mukallaf atau belum terbebani aturan dan kewajiban dalam agama. Misalnya, belum dibebankan sholat, puasa, termasuk berqurban.

Meskipun anak belum diwajibkan berqurban, namun jika si anak memang mampu membeli hewan qurban dan berkeinginan untuk berqurban maka diperbolehkan ikut berqurban atas nama anak itu sendiri dan qurbannya itu sah.

“Menurut saya ini merupakan salah satu bentuk pola asuh yang bagus bagi orang tua terhadap anak tentang nilai-nilai ibadah berqurban,” kata dia.

Dia menyebutkan dalam hukum fikih terdapat ketentuan hewan ternak yang boleh digunakan untuk berqurban diantaranya sapi, unta, kerbau, dan kambing. Namun di Kabupaten Solok lebih banyak menggunakan sapi dan kambing.

Satu ekor kambing untuk satu orang, sedangkan seekor sapi bisa untuk tujuh orang. Namun satu ekor sapi juga untuk satu orang, tergantung tingkat kemampuan ekonomi seseorang. Selain itu, di sebagian kalangan masyarakat termasuk di Kabupaten Solok sering ditemui memilih qurban satu kambing per orangan atau satu sapi untuk tujuh orang yang dilakukan secara patungan. Salah satu alasan banyaknya orang yang melakukan qurban secara patungan adalah kondisi keuangan. 

Jika memang tidak mampu berqurban seekor hewan ternak per orangan, maka ada pilihan tujuh orang mengurbankan satu ekor sapi sebagai solusinya.

Selain itu, kata qurban berasal dari kata qurb atau qurban yang berarti ‘dekat’. Sedangkan penulisan qurban dengan imbuhan alif dan nun bermakna ‘kesempurnaan.’Sehingga qurban berarti kedekatan yang sempurna atau dalam makna lainnya, qurban berarti menyembelih hewan untuk melaksanakan perintah Allah SWT sekaligus mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa.

Tentu apa yang dilakukan Hani tidak harus diikuti anak seusianya. Namun bagi orang dewasa yang sudah mampuberqurban, setidaknya dapat menjadi penyemangat untuk terusberbagikepada sesama. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Nasihat Kematian di Tengah Pandemi

INNALILLAHI WA ILAIHI RAJIUN. Sebulan terakhir ini seringkali kita mendapatkan berita dukacita dari media sosial, online, televisi, dan pengumuman lewat pengeras suara di masjid atas meninggalnya seseorang. Sebenarnya ada ataupun tidak ada pandemi, bahwa kematian itu akan senantiasa ada. Berita tersebut sejatinya sebagai sebuah nasihat tentang kematian.

Kematian akan menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185), tidak ada tawar menawar, dan masing-masing memiliki batasan waktunya (QS al-A’raf [7]: 34).  Kematian datang bersifat memaksa dan menghampiri setiap manusia meskipun berusaha menghindarinya (QS Ali Imran [3]: 154), mengejar siapapun meski berlindung di balik benteng yang kokoh (QS an-Nisa [4]: 78), mengejar siapapun meskipun lari menghindar (QS al-Jumu’ah [62]: 8), datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan tidak dapat ditunda dan dipercepat (QS al-Munafiqun [63]: 11).

Kematian tidak mengenal syarat, misalnya, yang paling tua, atau yang paling lama sakit, atau yang sudah menikah. Seringkali kita melayat orang yang meninggal dunia, usianya masih muda, atau dalam keadaan tidak sakit, dan atau belum menikah.

Tidak seorang pun tahu kapan datangnya kematian. Manusia dituntut mempersiapkan diri menghadapinya. Nabi ﷺ bersabda;

“Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketika Nabi ﷺ ditanya oleh seorang dari Anshar, “Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan siap menghadapinya. Mereka orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR Tirmidzi).

Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi ﷺ bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).

Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi ﷺ. Seperti Ka’ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.”

Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.”

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah ﷺ mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Semoga saudara-saudara kita yang meninggal dunia, baik sebab Covid-19 maupun tidak, diampuni salah dan dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan. Amin.

*/H. Imam Nur SuharnoPengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH