Pernahkah Kita Mendoakan Kebaikan untuk Indonesia?

Saudaraku sebangsa dan setanah air, tidak diragukan lagi doa adalah harapan dari lubuk hati terdalam seorang muslim. Doa juga bisa mewujudkan suatu permintaan dan permohonan. Bahkan permohonan yang kita anggap mustahil sekalipun, bisa Allah Ta’ala kabulkan. Hal ini karena Allah Ta’ala maha mampu mengabulkan doa.

Satu pertanyaan untuk kita sebagai rakyat Indonesia, pernahkah kita mendoakan kebaikan, ketentraman, kemakmuran, serta keberkahan untuk negara kita tercinta Indonesia? Pernahkah ada kata-kata “Indonesia” dalam doa dan munajat kita?

Kalau belum pernah selama ini, maka inilah yang harus kita perbaiki bersama. Bagaimana mungkin Allah Ta’ala mengabulkan kalau kita tidak pernah berdoa, meminta, dan memohon? Padahal sangat banyak ayat dan dalil yang menunjukkan bahwa doa itu tidak pernah membawa penyesalan dan kekecewaan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku” (QS. Maryam: 4).

Apabila kita tidak pernah berdoa dan mendoakan Indonesia, kita khawatir bahwa hal ini termasuk kesombongan dan seolah-olah kita tidak butuh Allah Ta’ala untuk kebaikan negeri Indonesia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (QS. Al Mukmin: 60).

Para ulama menjelaskan dan memotivasi kita agar terus melakukan kebaikan untuk tanah air kita. Terlebih lagi, tanah air kita adalah negara yang tampak syiar-syiar Islam dan mudah melakukan berbagai macam aktivitas ibadah.

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan,

أما الوطن فيحب إن كان إسلاميًا، وعلى الإنسان أن يشجع على الخير في وطنه وعلى بقائه إسلاميًا، وأن يسعى لاستقرار أوضاعه وأهله وهذا هو الواجب على كل المسلمين

“Adapun tanah air, apabila merupakan negara Islam (tampak syiar-syiar Islam), maka wajib bagi rakyatnya untuk bersemangat melakukan kebaikan untuk tanah airnya dan untuk tetap menjadi negara Islam. Berusaha untuk menjaga kestabilan keadaan dan pendudukan. Hal ini wajib bagi setiap muslim” (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat, 9: 317).

Memang benar, Indonesia ada kekurangannya, bahkan bisa jadi sangat banyak. Akan tetapi, hendaknya jangan pernah merendahkan negara sendiri, karena kita adalah bagian dari negara tersebut. Lalu, apabila kita terus mengeluh dan tidak pernah mempunyai harapan dan doa, maka siapa lagi yang akan mengubah Indonesia kalau bukan kita? Bukankah Allah Ta’ala tidak akan mengubah nasib suatu kaum, melainkan dengan usaha kaum tersebut yang mau berubah?

Allah Ta’ala berfirman

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا  بِاَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Oleh karena itu, mari kita mulai dari doa dan harapan untuk Indonesia. Kita perbaiki bersama dan berusaha memberikan sumbangsih untuk bangsa dan negara. Semisal doa dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman,

رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai, Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri aman sentausa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian” (QS. Al-Baqarah: 126).

Tidak lupa kita memperbaiki ketakwaan diri kita dan mengajak seluruh kaum muslimin agar bertakwa, beramal saleh, dan membantu sesama. Karena ini adalah salah satu penyebab negeri itu makmur dan berkah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَ‌ىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَ‌كَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْ‌ضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mengingkari, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).

Sebagai penutup, kami bawakan beberapa hadis yang memotivasi kita agar senantiasa berdoa dan menaruh harapan yang akan kita wujudkan dengan izin dari Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن ربكم تبارك وتعالى حيي كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفرا

“Sesunguhnya Rabb kalian tabaraka wa Ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud, Syekh Al Albani mengatakan hadis ini sahih).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ.

“Tidak ada sesuatu pun di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mulia daripada doa” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan Indonesia negeri yang makmur dan berkah. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68236-pernahkah-kita-mendoakan-kebaikan-untuk-indonesia.html

Allah Membagi Tiga Waktu pada Hari Jumat

 Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa dalam setiap harinya Allah telah menentukan ciptaan-Nya. Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin, menciptakan gunung pada hari Selasa, menciptakan tumbuh-tumbuhan, air dan perkambungan pada hari Rabu, menciptakan bintang, matahari, bulan dan malaikat pada hari Kamis.

Sedangkan pada hari Jumat Allah membagi tiga waktu. Waktu pertama di hari Jumat, Allah menetapkan ajal hidup dan matinya seseorang. Waktu kedua di hari Jumat, Allah menetapkan nasib, keberuntungan atau cobaan.

“Dan waktu ketiga di hari Jumat, Allah menciptakan Adam dan menempatkannya di surga,” jelas Ustaz H. Saifuddin Aman dalam bukunya Jumat Hari bertabur Kebajikan terbitan AMP Press tahun 2016.

Penjelasan tentang penciptaan makhluk itu disebutkan Allah dalam Alquran. Allah Swt berfirman,

{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9) وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (10) ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12) }

“Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa genap. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” Maka Dia menjadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS Fussilat ayat 9-12).

Lebih lanjut, Ustaz H. Saifuddin Aman menjelaskan bahwa Hari Jumat adalah hari kemuliaan. Siapa saja yang berbuat kebajikan di hari ini berhak mendapat kemuliaan dari Allah. Hari Jumat sebenarnya sudah ditawarkan oleh Allah kepada umat-umat terdahulu untuk dijadikan hari besar. Allah telah menwarkan kepada kaum Bani Israil, tetapi mereka menolak dan memilih hari Sabtu. Padahal, Allah telah memebrikan kelebihan bagi mereka, memebrikan kitab dan hikmah, tetapi mereka berkata sami’na wa ‘ashaina (kami dengar tapi kami langgar).

IHRAM

Mengapa Islam Membolehkan Poligami? Ini Hikmahnya

Islam membolehkan poligami.

Para fuqaha (ahli fikih) menyebutkan berbagai macam hikmah sosial maupun individual tentang diperbolehkannya poligami. Poligami dalam Islam memang dibolehkan dengan catatan hukum yang menyertainya.

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang universal yang sudah seharusnya menyiapkan perundang-undangan demi mencapai kemaslahatan. Hal ini mencakup apa saja, termasuk poligami.

Adapun hikmah di balik pembolehan poligami dalam Islam menurut para ulama adalah sebagai berikut:

Pertama, kebutuhan menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang baik secara kuantitas maupun kualitas. Agar dari mereka dapat disiapkan warga negara yang tepelajar, terdidik, dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan negara di berbagai bidang.

Kedua, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pada galibnya jumlah perempuan di semua negara lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Bahkan ada kalanya jumlah perempuan melebihi jumlah kaum laki-laki secara siginifikan.

Ketiga, potensi kebanyakan laki-laki untuk memberikan keturunan lebih besar dan lebih lama daripada yang dimiliki perempuan. Sebab pada umumnya, laki-laki tetap subur meski telah mencapai usia lanjut.

Keempat, adakalanya seorang istri dalam keadaan mandul atau sakit menahub tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan karenanya tidak dapat mengurusi rumah tangga dengan sempurna, sementara dia masih menginginkan rumah tangganya kekal.

Kelima, penyaluran hasrat seksual secara sah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hal yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Berpoligami

Islam telah mengatur dengan jelas hak-hak perempuan dalam pernikahan.

 Dalam ajaran Islam, tujuan poligami adalah melindungi wanita yang rentan. Sebelum menikah dengan suami yang sudah memiliki istri, ada baiknya wanita melihat perspektif lain.

Penting bagi semua wanita mempertimbangkan berbagai faktor sebelum poligami, termasuk dampak poligami dalam kehidupan mereka. Islam telah mengatur dengan jelas hak-hak perempuan dalam pernikahan dan khususnya dalam poligami.

Sebelum poligami, laki-laki diingatkan lagi tentang perlunya bersikap adil dalam keuangan, waktu, dan hal-hal lain. Jika tidak bisa adil, hukuman berat akan menanti mereka.

Penting bagi wanita Muslim mengetahui apa hak-hak khusus dan memastikan mereka tidak akan dimanfaatkan oleh pria yang berniat buruk. Khususnya, pria yang berpoligami hanya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa memenuhi kewajiban lain.

Emosi poligami

Wanita harus tahu realitas emosional kehidupan dalam poligami sangat berbeda dari teori. Ada beberapa wanita yang berpikir sebagai istri kedua, mereka secara otomatis akan menjadi istri favorit atau memiliki semacam keunggulan dibandingkan istri pertama. Ini adalah cara berpikir yang berbahaya.

Sangat tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip Islam untuk menikah dengan pria yang sudah menikah dengan tujuan menyebabkan perceraian atau menjadi istri favorit. Rasulullah bersada, “Janganlah seorang wanita menuntut cerai saudara perempuannya untuk menggantikannya dan menikah. Dia tidak dapat memiliki lebih dari apa yang ditetapkan untuknya,” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika seorang wanita memilih untuk poligami, itu harus dengan tujuan baik tanpa adanya motif tersembunyi.

Emosi pria

Sama seperti wanita, pria juga memiliki emosi. Hanya karena seorang pria telah memilih menikah lagi bukan berarti dia tidak lagi mencintai istri pertamanya.

Sebelum menikah, wanita harus mengetahui detail informasi tentang suami. Misal, tentang pekerjaannya, keluarga dengan istri pertama, dan komitmen lain yang dia lakukan.

Persiapan mental struktur pernikahan poligami sangat berbeda dengan pernikahan monogami. Dalam beberapa kasus, pernikahan poligami bisa berhasil dengan adanya tanggung jawab, pemecah masalah yang baik, dan penanganan emosional yang sehat. Di samping itu, ada pula yang gagal karena pihak-pihak yang terlibat tidak dapat menangani situasi dalam jangka panjang.

Apa yang harus dilakukan seorang wanita?

Dilansir About Islam, seorang wanita yang sedang mempertimbangkan poligami harus mencoba mempersiapkan dirinya untuk berbagai kemungkinan, seperti perubahan dalam struktur hubungan yang semula disepakati hingga potensi pelanggaran hak-haknya. Selain itu, perlu juga tahu poligami tidak bisa seperti hubungan monogami yang hubungan bisa menjadi fokus utama hidupnya.
Sangat penting untuk menjaga keseimbangan emosional, baik itu dalam pekerjaan, keluarga, hobi, atau persahabatan. Pada akhirnya, kebahagiaan seorang wanita dalam poligami tergantung dari beberapa faktor.
Faktir itu, antara lain kepribadiannya dan cara menangani realitas emosional poligami, cara menyelesaikan konflik, dan usaha mempertahankan hubungannya. Tentu saja, hal terpenting yang harus diingat apakah poligami berhasil atau tidak, adalah selalu kembali kepada Allah.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 153:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Kenapa Nabi Muhammad Hijrah ke Negeri Madinah?

Hampir 13 tahun Nabi berdakwah di Mekah. Mengetuk hati penduduk Mekah untuk menerima Islam sebagai agama. Dari satu pintu ke pintu yang lain. Dari satu orang ke orang lain. Namun, dakwah Nabi tersebut juga belum membuahkan hasil yang positif.

Justru caci-maki, cemooh, dan hinaan yang diperoleh Nabi dari kaum pagan Mekah. Arogansi kaum Quraisy kian meningkat tatkala paman tercinta Nabi, Abu Thalib meninggal dunia. Orang yang senantiasa melindungi Nabi dan dakwahnya. Pun siksaaan terhadap Nabi dan sahabat lain meningkat ketika istri beliau, Khadijah berpulang ke hadirat Allah.

Eskalasi siksaan dan hinaan yang diterima kaum muslimin kian menjadi-jadi. Pada tahun ke 8 dan 10 kenabian, akhirnya Nabi berencana hijrah ke Thaif— sebuah kota dengan ketinggian 1.520  meterdari permukaan laut. Daerah Thaif sekitar 60-70 km ke arah timur laut Mekah. Thaif termasuk kota terbesar ketiga di Jazirah Arab; Mekah, Yastrib (Madinah), dan Thaif.

Sayang, harapan untuk hijrah ke Thaif tak membuahkan hasil. Kehadiran Nabi Muhammad tak diterima. Penolakan keras justru yang diterima Nabi dan sahabat lainnya. Penduduk Thaif dengan ganas melempar Nabi dengan bebatuan. Lemparan batu itu mengakibatkan pelipis Nabi berdarah.

Titik terang dakwah Nabi terjadi pada musim haji, kabilah Kharraj dan Aus—dua suku terbesar di Yastrib—, datang untuk melaksanakan haji ke Mekah.  Kabilah ini menjalin korespondensi dengan Nabi Muhammad. Hasil dari korespondensi ini berujung adanya Bait Aqabah I dan II. Perjanjian ini menjadi angin segar bagi dakwah Nabi. Pasalnya, warga Madinah banyak yang mendukung dakwah Nabi ini.

Tingginya animo masyarakat Madinah terhadap dakwah Nabi, membuat Rasulullah untuk mengirim Mush’ab bin Umair untuk menyebar luaskan Islam di Yastrib. Dan pada akhirnya, Nabi juga memutuskan untuk hijrah ke Yastrib. Hijrah ke Yastrib merupakan perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an, Q.S al Ankabūt/29;56;

          يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ أَرْضِى وَٰسِعَةٌ فَإِيَّٰىَ فَٱعْبُدُونِ

Yā ‘ibādiyallażīna āmanū inna arī wāsi’atun fa iyyāya fa’budn

Artinya: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja

Lantas muncul persoalan, kenapa Nabi memilih Hijrah ke Madinah? Bukankah sebelumnya Nabi sempat mengirim sahabat Ja’far bin Abu Thalib hijrah ke Habasah (Etiopia). Dan juga sempat mengirim Usman bin Affan untuk mencari suaka politik dari raja Habsyah—raja yang Kristen. Apa rahasianya Nabi memutuskan hijrah ke Madinah?

Dalam buku Kearifan Syariat; Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan Sosiohistoris, menyebutkan bahwa ada banyak alasan Nabi memutuskan untuk hijrah ke negeri Madinah. Pertama, karateristik penduduk Madinah yang solider dan mau menerima dakwah Nabi. Inilah tampaknya termasuk pertimbangan Nabi dalam melaksanakan hijrah.

Ajaran Islam yang komplit terkait muamalah, ekonomi, hukum, politik, dan ubudiyah mampu diterapkan di Madinah. Hal-hal ini yang dapat diperhatikan dalam kandungan yang tertuang dalam ayat-ayat Madaniyah. Sehingga peradaban Islam mampu terwujud dari Madinah. Kota yang subur dan penduduk yang ramah.

Kedua, karateristik penduduk Madinah. Karateristik penduduk Madinah terbilang penduduk yang tangkas, pemberani, kuat, mencintai kebebasan, serta konsisten dengan asas pembelaan harga diri. Masyarakat Madinah tidak mau tunduk pada perintah siapapun. Tidak pernah juga menyerahan hasil bumi mereka untuk penguasa sebagai jaminan keamananan.

Hasil bumi hanya diserahkan sebagai jamuan makan untuk tamu. Juga hasil bumi diserahkan dalam bentuk transaksi jual-beli. Di samping itu, karateristik penduduk Madinah yang memiliki tingkat solidaritas tinggi membuat sahabat Nabi yang hijrah menemukan saudara dan keluarga baru.

Ketiga, letak strategis kota Madinah. Letak geografis Yastrib (Madinah) terbilang sangat strategis. Pasalnya, daratan Yastrib didominasi oleh gurun pasir, pegunungan, vegatasi pohon kurma, dan pelbagai tanaman tebal. Wilayah ini banyak memiliki kebun kurma yang luas. Kondisi ini, mempersulit dan memperlemah musuh untuk menyerang Madinah.

Tak sampai di situ, wilayah Madinah sebelah Barat terdapat hirrah wabrah. Sedangkan pada sisi Timur terdapat hirrah waqim. Ada pun hirrah merujuk pada bebatuan hitam dan keras yang terbentuk dari aliran lahar gunung berapi. Medan lapangan ini sulit didahului oleh pejalan kaki dan juga kendaraan. Kondisi ini juga menjadi tempat strategis untuk pertahanan militer.

Keempat, Nabi Muhammad sebagai juru damai Madinah. Pasalnya sebelum Nabi hijrah ke Madinah, wilayah ini rawan konflik antar suku. Beberapa kali terjadi konflik antar suku yang berujung kematian. Suku Aus, Khazraj, dan Yahudi sering bertikai. Hingga membuat terjadi perang Buats—sekitar tahun ke lima kenabian.

Pada perjanjian Aqabah salah satu permintaan kabilah Khazraj adalah agar Nabi mau mengambil peran dalam mendamaikan suku yang berkonflik. Pasalnya, kabar tentang Nabi sebagai al Amin—terpercaya dan amanah—, tersebar hingga negeri Madinah. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, maka pelbagai suku yang berkonflik menjadi damai.

BINCANG SYARIAH

Memuliakan 10 Hari Pertama Bulan Muharam

Sebagaimana kita ketahui bahwa 10 hari yang diagungkan yaitu 10 awal Zulhijah dan 10 akhir Ramadan. Hal ini telah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin karena memang ada dalil khusus terkait hal ini. Semisal tafsir ulama dalam surat Al-Fajr, Allah berfirman,

وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar. Dan (demi) hari yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)

Para ulama menafsirkan yang dimaksud dengan hari “yang sepuluh” di sini adalah 10 awal Zulhijah atau 10 akhir Ramadan. Silahkan baca di tulisan kami sebelumnya: https://muslim.or.id/28601-10-awal-dzulhijjah-dan-10-akhir-ramadhan.html

Terkait dengan memuliakan 10 awal Muharam dengan amal saleh, terdapat atsar dari para ulama kita.

Abu ‘Ustman An-Nahdi rahimahullah berkata,

كانوا يعظمون ثلاث عشرات

العشر الأخير من رمضان

والعشر الأول من ذي الحجة

والعشر الأول من المحرم

Para salaf dahulu memuliakan tiga ‘sepuluh hari’ :

[1] sepuluh hari akhir Ramadan

[2] sepuluh awal Zulhijah

[3] sepuluh awal Muharam

(Lathaif al-Ma’arif hal 35)

Demikian juga dijelaskan oleh Al-Mawardi, beliau berkata,

أفضل المحرم اليوم العاشر وهو يوم عاشوراء ثم التاسع وهو تاسوعاء ثم العشر الأول.

Yang paling mulai dari bulan Muharam adalah hari ke-10 yaitu hari Asyura kemudian hari ke-9 yaitu hari Tasua kemudian sepuluh awal Muharam.” (Al-Inshaf 3/346)

Terkait hal ini beberapa ulama berpendapat bahwa memuliakan khusus 10 awal Muharam saja tidak sepenuhnya benar, karena hadis menyebut keutamaan bulam Muharam secara umum dan tidak ada hadis khusus yang menjelaskan keutamaan 10 awal Muharam.

Dalam Fatawa asy-Syabakiyah asuhan Syekh Abdullah al-Faqih dijelaskan,

ولم يرد حديث صحيح فيما نعلم في فضل صيام العشر الأول من محرم بمجموعها.

Tidak terdapat hadis sahih yang sepengetahuan kami yang menjelaskan keutamaan 10 awal bulan Muharam sama sekali” (Fatwa no. 43810)

Demikian juga Profesor Syekh Khalid al-Muslih hafidzahullah, beliau menjelaskan (dengan ringkasan),

“Keutamaan  bukan hanya pada 10 awal Muharram saja, akan tetapi seluruh hari-harinya. Allah menyandarkan bulan ini kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

Sebaik-baik puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharam.” (HR. Muslim).” [Sumber: https://youtu.be/kjwZxKU0M7M]

Beberapa ulama menafsirkan surat Al-Fajr pada ayat “hari yang sepuluh” dengan tafsir bahwa itu adalah 10 awal bulan Muharam, akan tetapi tafsir ini kurang tepat. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan (dengan ringkasan),

وأفضل شهر الله المحرم عشره الأول، وقد زعم يمان بن رآب: أنه العشر الذي أقسم الله به في كتابه، ولكن الصحيح أن العشر المقسم به عشر ذي الحجة.

Yang paling mulia dari bulan Allah yaitu bulan Muharam adalah 10 awalnya. Yaman bin Ra’ab menyangka bahwa 10 hari yang Allah gunakan bersumpah dalam kitab-Nya adalah 10 awal Muharam, akan tetapi yang benar bahwa yang dimaksud adalah 10 awal Zulhijah” (Lathaif al-Ma’arif hal 39-40)

Keutamaan hari dari bulan Muharam yang ada dalilnya yaitu hari ke-9 dan hari ke-10 di mana kita disunnahkan dan lebih ditekankan untuk berpuasa, sebagaimana dalil-dalil berikut:

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Mereka mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Dan hadis,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab, “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [HR. Muslim]

Demikian juga penekanan puasa pada hari ke-9 Muharam, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jika tahun depan insyaallah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharam), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“. Akan tetapi belum tiba Muharam tahun depan hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut. [HR. Muslim. No.1134]

Kesimpulan:

  1. Terdapat beberapa atsar dari salaf tentang memuliakan 10 awal bulan Muharam dengan memperbanyak amal saleh
  1. Sebagian ulama menjelaskan tidak ada dalil khusus memuliakan 10 awal Muharam karena dalilnya umum sehingga kita memuliakan seluruh hari bulan Muharram secara umum
  1. Terdapat dalil penekanan untuk memuliakan hari ke-9 dan ke-10 dengan puasa

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68234-memuliakan-10-hari-pertama-bulan-muharam.html

Dekat Orang Saleh Bukan Jaminan Saleh? Ini Penjelasannya

Alquran menjelaskan bahwa hidayah kunci dari kesalehan seseorang

Dekat dengan orang saleh , ternyata tidak selalu membuat seseorang menjadi saleh  pula. Contoh untuk perkara ini telah dijelaskan alam Alquran.

Alquran telah memberikan contoh betapa berpengaruhnya istri terhadap kehidupan keluarga.

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“ Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahanam bersama orang-orang yang masuk (jahanam)”.” (QS At Tahrim 10)

Dalam ayat ini, Allah SWT memberikan permisalan bahwa kedekatan dengan orang saleh tidak menjadi jaminan hidayah. Ini sebagaimana yang terjadi pada istri Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS. 

Dalam kitab Al-Futuhat Al-Ilahiyyah disebutkan, ayat ini menjadi permisalan kepada Rasulullah Muhammad SAW, terkait status orang-orang kafir, yang meskipun mereka terhubung dekat dengan Rasul tetapi kedekatan mereka tak berarti apa-apa tanpa iman.   

Alquran mencontohkan istri Nabi Nuh AS yang menjadi penyebab kesesatan salah satu putranya karena telah menanamkan citra yang buruk tentang ayahnya. Akibatnya, citra Nabi Nuh pun terdistorsi di mata anaknya.

Istri Nabi Nuh AS biasa menyampaikan kepada putranya bahwa ayahnya seorang penyihir dan gila. Pikiran yang menyesatkan ini pun tertanam di benak putranya hingga dewasa. Termasuk ketika terjadi peristiwa banjir yang diabadikan dalam Alquran pada Surat Hud ayat 42-46.

Saat Nabi Nuh memanggil putranya untuk segera ikut masuk ke dalam kapal agar terhindar dari air bah, putranya menolak dan malah mencari perlindungan ke gunung hingga akhirnya dia termasuk orang yang ditenggelamkan.

Nabi Nuh memohon kepada Allah SWT sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” Allah SWT berfirman dalam surat Hud ayat 46 sebagai berikut: 

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ 

“Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”

Sementara, istri Nabi Luth, justru menjadi informan untuk kaumnya yang tidak menginginkan Nabi Luth mendapatkan tamu-tamu yang saleh dan tak lain adalah malaikat yang menjelma sebagai manusia. Setiap kali Nabi Luth mendapatkan tamu orang saleh itu, istrinya justru mengabarkannya kepada warga lain.  

قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ ۖ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ ۖ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ ۚ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۚ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ

“ Para utusan (malaikat) berkata, “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. (QS Hud 81)        

Kendati demikan, pengkhianatan yang dilakukan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tersebut menurut Ibnu Abbas bukan berupa zina, melainkan pengkhianatan dakwah. 

Kisah tersebut sekaligus menunjukkan titik lemah Islam yang bisa dimanfaatkan oleh musuh. Musuh-musuh Islam mampu menyerang gerakan-gerakan Islam melalui wanita. 

Salah satu senjata mematikan dalam perang antarnegara adalah perekrutan wanita ke dalam korps intelijen dan spionase, terutama untuk menjadi politisi dan pemimpin militer serta pengambil kebijakan negara yang strategis.

Maka tak heran bila ada negara yang mencegah pernikahan pimpinan negara atau politisi dengan wanita asing. Sebab, peran wanita dalam kehidupan pria sangatlah vital terutama dalam hal menginformasikan tentang privasi dan rahasianya, baik itu yang berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun pekerjaannya.

Selain itu, wanita juga memiliki peran yang besar dalam memengaruhi kehidupan keluarga secara umum dan meninggalkan jejak yang teramat jelas bagi kehidupan anak laki-laki maupun perempuan, baik dalam pendidikan moral ataupun psikologis.

Sumber: alukah 

KHAZANAH REPUBLIKA

Rezeki tak Terduga Buah Hindari Perkara Haram dan Syubhat

Abu Yaqub menghindari memakanan perkara yang haram dan syubhat

Allah SWT akan memberikan sesuatu yang lebih baik kepada hambanya ketika hambanya mampu menahan dari perkara haram dan syubhat (belum jelas statusnya). 

Pengalaman menahan diri dari barang syubhat dialami Syekh Abu Ya’qub Basri. Dikisahkan Syekh Maulana Muhammad , mengisahkan, suatu ketika Syekh Ya’qub sedang di Masjidil Haram dan dia mengalami kelaparan selama 10 hari sehingga dia sangat lemah.  

“Hatinya memaksa untuk keluar dari Masjidil Haram dan tebersit dalam pikirnya barangkali ketika keluar dia akan mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan,” tulis Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi dalam kitabnya Fadhilah Haji. 

Setelah keluar, Abu Ya’qub mendapat makanan sejenis lobak yang telah dibuang ke tanah. Dia pun mengambilnya, tetapi dia rasakan di dalam hatinya perasaan tidak enak. 

“Dalam hatinya seperti berkata sudah 10 hari kelaparan dan akhirnya hanya mendapatkan makanan sejenis lobak yang sudah hampir busuk.” 

Oleh karena itu dia membuangnya dan kembali ke masjid. Ketika dia sedang duduk di dalam masjid, muncullah seorang yang tidak dia kenal mendatanginya dan meletakkan sebuah tas di hadapannya sambil berkata.

“Ambillah ini di dalamnya ada kantong kulit kecil yang berisi 500 dinar. Aku telah bernazar untuk memberikannya kepadamu.” Abu Yaqub bertanya. “Tetapi mengapa khusus untukku?  

Orang yang memberi tas itu menceritakan, bahwa selama 10 hari dia bersama rombongan tersesat di lautan sehingga kapal yang ditumpangi hampir tenggelam. Pada waktu itu setiap orang di antara mereka bernazar 

“Aku bernazar kepada Allah jika Dia menyelamatkan aku, aku akan memberikan uang ini kepada orang yang pertama kali aku lihat di antara orang-orang yang di Makkah. Maka Allah menyelamatkan kami, dan engkau adalah orang yang pertama kali aku lihat di Kota Makkah.” 

Syekh Abu Ya’qub meminta orang itu membuka tasnya. Dan terlihat di dalamnya ada gula putih, roti, buah badam yang telah terkelupas dan gula merah. Lalu Abu Yaqub mengambil segenggam dari masing-masing makanan itu. 

“Sisanya aku kembalikan. Aku telah menerima hadiah ini akan tetapi ambillah kembali makanan itu, dan bagikanlah kepada anak-anakmu.”

Dalam hati Abu Ya’qub berkata kepada dirinya sendiri  “Sungguh aneh kamu ini, rezeki sedang di antar kepadamu sejak 10 hari yang lalu, dan kamu di sini sibuk mencarinya.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Berpuasa Asyura Tanpa Puasa Tasu’a, Apakah Boleh?

Sudah maklum bahwa di bulan Muharram, kita dianjurkan untuk berpuasa di hari Tasu’a dan hari Asyura. Namun terdapat sebagian orang yang hanya mampu dan ingin berpuasa di Asyura saja. Ia hanya mencukupkan puasa di hari Asyura tanpa puasa di hari Tasu’a. Bagaimana hukum berpuasa hanya di hari Asyura tanpa puasa di hari Tasu’a, apakah boleh?

Menurut para ulama, mencukupkan diri dengan puasa Asyura tanpa puasa di hari Tasu’a hukumnya adalah boleh dan sah. Puasa Asyura boleh dan sah dilakukan hanya di tanggal 10 Muharram saja, meskipun tanpa didahului dengan puasa di hari Tasu’a atau tanggal 9 Muharram, dan hari-hari sebelumnya. Ini karena keabsahan puasa Asyura tidak tergantung dengan puasa di hari Tasu’a dan puasa di hari-hari sebelumnya.

Meski boleh dan sah berpuasa hanya di hari Asyura saja, namun dianjurkan agar puasa hari Asyura didahului dengan puasa di hari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Muharram, dan diiringi puasa di hari setelahnya, yaitu tanggal 11 Muharram.

Menurut para ulama, ada tiga tingkatan dalam pelaksanaan puasa di hari Asyura. Pertama, puasa Asyura didahului puasa di hari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Muharram, dan diiringi puasa di hari setelahnya, yaitu tanggal 11 Muharram. Kedua, puasa Asyura hanya didahului puasa di hari sebelumnya tanpa diiringi puasa di hari setelahnya. Ketiga, hanya berpuasa di hari Asyura.

Di antara tiga tingkatan tersebut, tingkatan pertama adalah pelaksanaan yang paling sempurna, lalu diiringi tingkatan kedua, dan terakhir tingkatan ketiga. Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Zadul Ma’ad berikut;

فمراتب صومه ثلاثة: أكملها أن يصام قبله يوم وبعده يوم، ويلي ذلك أن يصام التاسع والعاشر وعليه أكثر الأحاديث، ويلي ذلك إفراد العاشر وحده بالصوم

Adapun tingkatan puasa Asyura ada tiga; Yang paling sempurna adalah didahului puasa di hari sebelumnya dan diiringi puasa di hari setelahnya. Lalu diikuti dengan puasa di tanggal 9 dan 10 (Muharram) saja, dan ini yang banyak disebut dalam hadis. Kemudian diikuti dengan hanya berpuasa di tanggal 10 (Muharram) saja.

Dengan demikian, berpuasa hanya di hari Asyura hukumnya boleh dan sah. Hanya saja meski boleh, namun sebaiknya puasa Asyura didahului puasa di hari sebelumnya dan di hari sesudahnya, atau hanya didahului puasa di hari sebelumnya.

BINCANG SYARIAH

Hukum Puasa Asyura Saat Punya Utang Ramadhan

Dalam hal ini ulama empat mazhab tidak dalam satu suara.

Tahun baru Hijriyah akan tiba yang dimulai dengan Muharram sebagai bulan pertama. Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah. Dalam bulan ini, umat Islam bisa melakukan banyak ibadah, salah satunya puasa sunnah Asyura.

Namun, apakah dibolehkan menjalani puasa Asyura saat masih memiliki utang puasa Ramadhan? Peneliti Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Zarkasih mengatakan dalam bukunya Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi, dalam hal ini ulama empat mazhab tidak dalam satu suara.

Pendapat pertama adalah pendapat mazhab al-Hanafiyah dan al-Syafi’iiyah. Mereka mengizinkan menjalankan puasa sunnah walaupun masih mempunyai utang puasa Ramadhan. Pendapat tersebut berdasarkan pada ibadah qadha’ Ramadhan hukumnya wajib tapi bersifat ‘ala al-tarakhi yang berarti boleh menunda.

Waktu qadha’ Ramadhan panjang, sejak masuk bulan Syawal sampai berakhirnya bulan Sya’ban sehingga kewajiban Ramadhan bukan kewajiban yang sifatnya ‘ala al-faur (bersegera), tapi boleh menunda karena waktunya panjang.

Dalam ilmu ushul fiqh, ini disebut wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang waktunya panjang. Dalam syariah, wajib muwassa’ adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya.

Pendapat kedua adalah pendapat mazhab al-Malikiyah. Mereka berpendapat puasa sunnah makruh hukumnya jika orang itu masih memiliki utang Ramadhan. Ini berarti masih tetap boleh menjalankan puasa dan sah puasanya tapi akan lebih baik jika dikerjakan yang wajib dulu, yairu qadha’ Ramadhan.

Pendapat ketiga merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Yakni kesunahan puasa hanya berlaku bagi mereka yang sudah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna. Jadi, mereka yang masih punya utang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, malahan itu menjadi keharaman.

Artinya orang yang berpuasa sunnah baik itu Syawal atau puasa sunnah lain sedangkan masih mempunyai utang Ramadhan dia berdosa dan puasa sunnahnya tidak sah. Ini berdasarkan pada salah satu hadits, Rasulullah bersabda, “Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa tersebut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa Ramadhannya,” (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya).

Namun, hadits tersebut berstatus matruk, salah satu bagian dari hadits dhaif. Oleh karena itu tidak bisa berpendapat dengan hadits itu karena kedhaifannya. Kedhaifan hadits ini sudah diakui oleh para ulama mazhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka seperti Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughnu.

Meskipun keempat mazhab berbeda pendapat, semua ulama dari kalangan empat mazhab itu sepakat untuk menyegerakan yang wajib. Sebab, ibadah wajib sangat dianjurkan dan menunda-nunda kewajiban bukan sifat Muslim yang baik.

KHAZANAH REPUBLIKA