Viral di media sosial twitter, video seorang ustadz yang mengenakan baju putih, kopiah hitam, dan serban yang dililitkan di bahu. Ustadz tersebut menyuruh jamaah shalat untuk merapatkan barisan. “Rapat, rapat, rapat, bila shaf kalo belum rapat, belum lurus, shalat berjamaah belum kita mulai,” teriaknya pada jamaah.
Lebih lanjut Ustadz ini mengklaim merenggangkan shaf pada saat Jamaah meskipun keadaan pandemi Covid-19 termasuk kaum yang ingkar sunnnah. “Tak ada ulama yang mentolerir shaf shalat berjamaah itu renggang, kita mengikuti sunnah Rasulullah,” tambahnya. Video viral ini dikutip dari akun twitter @BurhanMuhtadi.
Lantas benarkah klaim si Ustadz yang berteriak tadi— merenggangkan shaf saat pandemi Covid-19 tergolong ingkar sunnah dan tak ada ulama yang mentolerir. Seterusnya bagaimana kajian fiqih Islam terkait persoalan ini?
Pendapat ustadz ini keliru. Dan sangat berbahaya. Terlebih anjuran agar tak menjaga jarak dalam kerumunan massa, seperti shalat berjamaah. Era pandemi Covid-19 ini, para dokter yang pakar dan ahli kesehatan telah menganjurkan untuk menjaga jarak agar tak terinfeksi virus Covid-19.
Penulis akan mengemukan pendapat para ulama dari kitab klasik dan kontemporer terkait persoalan merenggangkan shaf saat shalat berjamaah ketika dalam situasi darurat, seperti wabah, angin kencang, cuaca ekstrim. Para ulama besar dan pakar fikih Islam memberikan keringanan hukum boleh merenggangkan shaf dalam keadaan darurat. Berikut penjelasannya.
Shaf dalam shalat berjamaah
Ketika shalat, sunat hukumnya merapatkan shaf. Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad. Rasulullah bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ
Artinya: Rapatkan kalianlah shaf, karena merapatkan shaf dari pada kesempurnanan mendirikan shalat (H.R. Bukhari, nomor 723)
Menanggapi hadist ini, Syaikh Saad bin Nashir bin Abdulaziz Abu Habib Al-Syatsri menyebutkan bahwa hadis ini sejatinya tak menunjukkan wajib merapatkan shaf. Dalam hadis tersebut menerangkan, merapatkan shaf tidak termasuk rukun shalat atau pun syarat wajib shalat. Untuk itu, para ulama sepakat, ini menunjukkan sunat hukumnya merapakatkan barisan dalam shalat.
Syaikh Saad Al Syatsri yang juga merupakan Dewan Ulama Senior Arab Saudi dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas King Saud Arab Saudi ini mengatakan:
إذ تمام الشيء امر زائد على حقيقة التي لا يتحقق بها
Artinya: adalah kesempurnaan sesuatu itu adalah nilai plus/ tambah atas hakikatnya yang tak akan terpenuhi melainkan dengan adanya hakikat tersebut.
Ada pun hadis Nabi selanjutnya yang berbunyi:
فإن إقامة الصف من حسن الصلاة
Artinya: sesungguhnya meluruskan barisan dalam shalat bagian dari kebaikan shalat
Konteks hadis ini pun sama dengan hadis sebelumnya. Hadis ini pun tak menyebutkan wajib atau rukun meluruskan dan merapatkan shaf. Nabi hanya memerintahkan merapikan shaf. Dan itu tak menunjukkan rukun atau syarat sah shalat seseorang. Dan meninggalkan tidak memengaruhi keabsahan shalat.
Syekh Sa’ad Al-Syatsr berkata:
يدل على اقامة الصفوف سنة وليست واجبة. لان لو كانت فرضا لم يجعله من حسن الصلاة
Hadis ini memberi pengertian bahwa meluruskan shaf atau barisan dalam shalat tidak wajib hukumnya. Pasalnya, bila merapatkan shaf atau meluruskan barisan shalat, Nabi tak akan menggunakan diksi “bagian dari yang membaguskan shalat”.
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid 27 halaman 35, menjelaskan bahwa hukum merapatkan shaf ketika shalat berjamaah adalah sunat , bukan wajib. Oleh karena itu, seorang Imam dianjurkan untuk memerintahkan jamaah terlebih dahulu untuk merapatkan barisan.
Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah mengeluarkan fatwa:
ذهب الجمهور إلى أنه يستحب تسوية الصفوف في صلاة الجماعة بحيث لا يتقدم بعض المصلين على البعض الآخر, حتى لا يكون في الصف خلل ولا فرجة، ويستحب للإمام أن يأمر بذلك
Artinya: para jumhur ulama berpendapat bahwa sunah hukumnya meluruskan saf ketika shalat jamaah, sekira-kira barisan orang yang shalat tidak lebih maju satu dengan yang lain, sehingga tidak ada dalamshaf itu yang kosong dan berlobang, dan Imamdi sunatkan menyuruh makmum untuk merapatkan shaf.
Dari keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa merapatkan shaf dalam shalat berjamaah hukumnya sunnah bukan wajib. Artinya, tanpa merapatkan shaf pun shalat jamaah tetap sah shalatnya. Lebih lanjut, konteks sunnah merapatkan shaf ini pun ketika dalam situasi normal. Bukan dalam keadaan darurat seperti adanya wabah.
Lantas bagaimana dalam keadaan darurat, seperti pandemi ini, bolehkah meninggalkan sunnah Nabi merapatkan shaf ketika shalat jamaah? Menurut Ibn Taimiyah dalam kitab Majmul Fatawa bahwa merenggangkan shaf, atau menjaga jarak dalam shalat jamaah adalah boleh hukumya apabila ada uzur. Syekh Islam Ibnu Taymiyah berkata;
وإذا كان القيام والقراءة وإتمام الركوع والسجود والطهارة بالماء وغير ذلك يسقط بالعجز. فكذلك الاصطفاف وترك التقدم
Artinya: dan apabila berdiri ketika shalat, membaca fatiha, menyempurnakan rukuk, sujud, bersuci dengan air dan selain itu, gugur kewajibannya karena ada uzur (lemah), maka demikian juga dengan merapatkan dan meluruskan shaf.
Lebih jauh simak penjelasan Syekh Nawai Al Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain. Beliau seorang ulama besar dalam fikih, juga Imam di Masjidil Haram mengatakan bila terdapat uzur darurat, maka shalat orang yang merenggangkan shaf tidak makruh dan ia juga tetap mendapatkan fadhilah jama’ah. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain berkata:
نَعَمْ، إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الفَرَجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الحَرِّ بِالـمَسْجِدِ الحَرَامِ لَـمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيْرِ فَلَا تَفُوْتُهُمُ الفَضِيْلَةُ
Artinya; Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh karena tidak ada kelalaian. Dan mereka tidak kehilangan fadhilah shalat jama’ah”
Sementara itu, ulama dari Al Azhar Kairo, melalui Lajnah Fatwa Al-Azhar mengeluarkan fatwa bahwa menjaga jarak ketika shalat jamaah dibenarkan dalam keadaan Covid 19. Pasalnya, menjaga jarak itu demi kemaslahatan manusia. Agar terhindar dari virus Covid-19. Lajnah Fatwa Al-Azhar menjelaskan:
فإن الصلاة مع تباعد المصلين وترك تسوية الصفوف صحيحة، كما أن الكراهة ترتفع على مذهب الجمهور، ويرتفع الإثم كذلك على مذهب القائلين بوجوب التسوية؛ لوجود العُذر المُعتبر في حالتنا وهي الحاجة المعتبرة،
Artinya: maka sesungguhnya shalat dengan menjaga jarak dan meluruskan shaf yang dianjurkan oleh syariat. Menurut jumhur ulama, makruh (karena tak merapatkan danmeluruskan shaf) itu diangkat karena ada kerena uzur. Pun tak diberi dosa meninggalkan kewajiban meluruskan dan merapatkanshaf (Baca: Ada juga ulama yang mewajibakan merapatkan shaf. Nah dalam keadaan uzur kewajiban itu gugur) menurut pendapat ulama yang mewajibkan demikian. Pendapat itu lahir karena kita berada dalam uzur/ pandemi wabah Covid 19.
Penjelasan para ulama ini memberikan penjelasan bahwa shalat menjaga jarak dan merenggangkan shaf itu dibenarkan dalam fikih Islam. Terlebih dalam keadaan darurat dan uzur, seperti pandemi ini, merenggangkan shaf suatu keniscayaan. Dan ini dibolehkan para ulama.
Lebih dari itu, Imam Nawawi menyebutkan merenggangkan shaf dalam shalat jamaah ketika ada uzur, maka shalat tersebut tetap mendapatkan kesempurnaan shalat dan juga fadhilah shalat jamaah. Tak makruh hukumnya. Itu sebagai keringanan hukum.
Terakhir, untuk Ustadz yang menyuruh dan memaksa jamaah agar tetap merapatkan shaf di tengah pandemi Covid-19. Atau juga untuk Ustadz yang sembarang memberikan fatwa yang bisa membahayakan nyawa manusia saya ingin Anda menyimak hadis tentang kemurkaan Rasulullah pada sahabat yang keliru memberikan fatwa sehingga membuat nyawa manusia terbunuh.
Hadis itu diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Dalam hadis itu dikisahkan seorang sahabat terkena batu di kepalanya. Akibatnya ia terluka di bagian kepala. Sialnya lagi, ketika itu ia dalam keadaan junub (hadas besar/wajib mandi). Sebagian sahabat, memberikan fatwa si pria yang terlukan di kepalanya tersebut wajib mandi.
Menerima fatwa itu, sahabat yang junub sekaligus terluka di kepala itu pun langsung mandi. Imbas terkena air, luka di kepala kian menganga. Di samping itu, luka tersebut pun menimbulkan infeksi, akibat terkena air. Ujungnya, pria itu meningga dunia. Ia mati setelah menjalan fatwa dari sahabat yang tak berilmu.
Peristiwa nahas itu sampai ke telinga Nabi. Rasulullah pun bersabda, “ Mereka membunuhnya. Allah akan mencelakan mereka. Kalau mereka tidak tahu, kenapa lantas tidak bertanya? Obat bodoh adalah bertanya. Cukup baginya memperban luka, lalu tayamum,” itu sabda Nabi.
Berikut kutipan teksnya;
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَنْطَاكِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ خُرَيْقٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ شَكَّ مُوسَى عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
Artinya; Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Abdurrahman Al-Anthaki] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Salamah] dari [Az-Zubair bin Khuraiq] dari [‘Atha`] dan [Jabir] dia berkata;
Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal.
Ketika kami sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda:
“Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum dan meneteskan air pada lukanya -atau- mengikat lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja dan mandi untuk selain itu pada seluruh tubuhnya yang lain.”
Demikian penjelasan merenggangkan shaf di tengah pandemi Covid-19. Para ustadz dan penceramah agama seyogianya harus bijak dalam memberikan fatwa hukum terutama yang menyangkut keselamatan dan kesehatan manusia. Tidak terburu-buru. Bila ia tidak pakar dan tidak mengetahuinya, agar bertanya terhadap ahlinya. Jangan sempat membahayakan manusia lain.
BINCANG SYARIAH