Alasan Islam Melarang Minum Alkohol

Alkohol tidak diragukan lagi berbahaya dan berdampak buruk pada pikiran dan tubuh.

Pendekatan holistik Islam terhadap kesehatan dan kesejahteraan adalah melarang segala sesuatu yang berbahaya atau sebagian besar berbahaya. Oleh karena itu, Islam mengambil sikap tegas terhadap alkohol dan melarang konsumsinya dalam jumlah kecil atau besar.

Alkohol tidak diragukan lagi berbahaya dan berdampak buruk pada pikiran dan tubuh. Ini mengaburkan pikiran, menyebabkan penyakit, membuang-buang uang, dan menghancurkan individu, keluarga, dan komunitas. Para peneliti telah membuktikan ada hubungan kuat antara alkohol dan perjudian. Minum alkohol merusak penilaian, menurunkan hambatan, dan mendorong jenis pengambilan risiko yang terlibat dalam perjudian dan aktivitas berbahaya.

Allah SWT memberi tahu kita dalam Alquran, minuman keras dan perjudian adalah kekejian yang berasal dari setan. Allah memerintahkan kita untuk menghindarinya. (Alquran 5: 90)

Di Australia, negara dengan populasi sekitar 20 juta, ada sekitar 3.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyalahgunaan alkohol, sementara 65 ribu lainnya dirawat di rumah sakit. Studi secara konsisten mengungkapkan hubungan antara minum berat dan kerusakan otak. Sekitar 2.500 orang Australia dirawat setiap tahun karena kerusakan otak terkait alkohol.

Penelitian di Inggris menunjukkan enam persen kematian akibat kanker terkait dengan penyalahgunaan alkohol. Pusat Pencegahan Kanker Harvard mengatakan minum alkohol sangat meningkatkan risiko berbagai jenis kanker.

Alkohol dianggap sangat karsinogenik, meningkatkan risiko kanker mulut, faring, laring, kerongkongan, hati, dan payudara. Meminumnya selama kehamilan dapat menyebabkan Sindrom Alkohol Janin, menyebabkan anak menjadi kecil saat lahir, memiliki beberapa cacat wajah, bukaan mata kecil, jari tangan atau kaki berselaput atau bahkan hilang, kelainan bentuk organ, ketidakmampuan belajar, keterbelakangan mental dan banyak lagi.

Para peneliti di Australia juga memperkirakan 47 persen dari semua yang melakukan kejahatan kekerasan dan 43 persen dari semua korban kejahatan ini mabuk sebelum peristiwa tersebut. Alkohol bertanggung jawab atas 44 persen cedera kebakaran, 34 persen jatuh dan tenggelam, 30 persen kecelakaan mobil, 16 persen kasus pelecehan anak, dan tujuh persen kecelakaan industri.

Meskipun jelas alkohol bertanggung jawab atas banyak kejahatan, itu legal dan bahkan dianjurkan di sebagian besar masyarakat. Di negara-negara Muslim dimana alkohol dilarang, banyak orang masih merasa sulit menahan godaan dan menjadi mangsa alkoholisme.

Hebatnya lagi, meski bukti-bukti ilmiah secara terang-benderang memaparkan bahaya dari alkohol, orang-orang di seluruh dunia masih terus mengonsumsinya dalam jumlah yang terus meningkat. Mengapa?

Dilansir di About Islam, Ini adalah salah satu alat yang digunakan setan untuk mengalihkan perhatian umat manusia dari menyembah Allah. Allah SWT menyatakan dengan jelas dalam Alquran bahwa setan adalah musuh terbuka bagi umat manusia.

Dengan meminum alkohol, kita mengundang setan ke dalam hidup kita dan membuatnya mudah untuk mengalihkan perhatian kita dari tujuan hidup kita yang sebenarnya, yakni untuk menyembah Allah. “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka perlakukanlah dia sebagai musuh. Dia hanya mengajak para pengikutnya agar mereka menjadi penghuni api yang menyala-nyala.” (Alquran 35:6)

Alkohol mempengaruhi pikiran dan membuat perilaku berdosa dan tindakan jahat tampak adil. Ini menciptakan permusuhan dan kebencian di antara orang-orang, mencegah mereka dari mengingat Allah dan mengalihkan mereka dari berdoa, serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam hubungan seksual yang melanggar hukum.

Alkohol menghasilkan rasa malu, penyesalan, aib, dan membuat peminum menjadi tidak waras. Lalu alkohol mengarah pada pengungkapan rahasia dan pengungkapan kesalahan.

Setan hanya ingin menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kamu dengan minuman keras dan judi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari sholat. Jadi, apakah kamu tidak akan ragu? (Alquran 5:91)

Di Arab pra-Islam, penggunaan alkohol tersebar luas. Untuk memberantas kejahatan ini, Allah dalam rahmat-Nya mengungkapkan larangan secara bertahap.

Pertama, Allah menjelaskan kepada mereka bahwa bahaya minum alkohol lebih besar daripada manfaatnya. Selanjutnya, Allah mengatakan kepada umat Islam untuk tidak sholat dalam keadaan mabuk. Terakhir, Allah menurunkan sebuah ayat yang melarang alkohol sama sekali.

Wahai orang-orang yang beriman! Minuman keras (semua jenis minuman beralkohol), perjudian, penyembahan berhala, dan ramalan, adalah kekejian buatan tangan setan. Jadi hindari itu agar kamu bisa sukses. (Alquran 5: 90)

Lalu mengapa begitu sulit menghapus alkohol di abad ke-21? Semua kekuatan dan kekuatan berasal dari Allah. Momok seperti alkohol dapat diberantas hanya ketika mereka yang terpengaruh oleh alkohol berbalik kepada Allah dengan penyerahan diri sepenuhnya.

Alquran adalah kitab petunjuk yang diturunkan kepada seluruh umat manusia. Ini adalah seperangkat instruksi dari Sang Pencipta untuk ciptaan-Nya. Jika kita mengikuti petunjuk ini, hidup kita akan mudah dan tenang, bahkan dalam menghadapi bencana dan kecelakaan.

Islam berkomitmen mendorong dan memfasilitasi mereka yang ingin bertobat dari perbuatan jahat dan perilaku berdosa. Allah menerima pertaubatan dari mereka yang benar-benar menyesali perbuatannya dan berkomitmen menjauhi dosa. Muslim tidak mengucilkan mereka yang telah melakukan kesalahan, tetapi justru menjaga mereka tetap dalam Islam, mendorong mereka mencari kedekatan dengan Allah yang memungkinkan mereka meninggalkan perilaku berdosa.

Islam adalah agama yang berorientasi pada komunitas. Tidak ada tempat bagi seorang individu untuk melakukan apa yang dia ingin lakukan jika itu menyakiti orang lain. 

Penyalahgunaan alkohol mempengaruhi tidak hanya pecandu alkohol tetapi juga keluarganya dan masyarakat. Ada hikmah besar dalam larangan alkohol.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa yang Dimaksud dengan Berdoa di Akhir Sholat?

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Doa apa yang paling didengar (di-ijabah oleh Allah -pen.)?” Maka beliau bersabda,

جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

“Doa di malam terakhir, serta ‘dubur as-shalawat’ (akhir salat-salat) wajib.”

Apakah yang dimaksud dalam hadis ini adalah doa setelah selesai salat (setelah salam) atau sebelumnya? Apabila yang dimaksud adalah sebelum selesai salat (sebelum salam), apakah waktu berdoa tersebut adalah setelah bacaan tasyahud akhir? Mohon pencerahannya. Jazakumullah khairan wa barakallah fiikum.

Jawaban: 

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على مَن أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan duburus shalah” adalah waktu yang paling terakhir dari salat atau aktivitas lainnya. Dan hendaknya membedakan antara doa dengan zikir yang ada dalam hadis-hadis yang membahas ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdoa di akhir salat sebelum selesai mengakhiri salat (sebelum salam). Maka waktu berdoa yang disyariatkan adalah sebelum salam.

Tidak ada dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa setelah salam di seluruh salat-salat beliau. Demikian juga, tidak ada sahabat-sahabatnya radhiyallahu ‘anhum yang melakukan demikian. Namun, yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah salam adalah menghadap ke arah para sahabatnya dan berzikir serta mengajari mereka berzikir setelah salam dan setelah selesai salat.

Dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ -أَوْ فَاعِلُهُنَّ- دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ: ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً

“Ada beberapa mu’aqqibat (zikir) setelah selesai salat. Tidak akan merugi bagi yang mengucapkan atau melakukannya. Yaitu, bertasbih 33x, bertahmid 33x, dan bertakbir 34x.” (HR. Muslim)

Maksud dari mu’aqqibat dalam hadis di atas adalah kalimat (zikir -pen.) yang diucapkan setelah salat. Sebab, kata mu’aqqib artinya adalah perkara yang datang setelah perkara sebelumnya. Dan dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa sebelum beliau membalikkan badan untuk menghadap para sahabat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristigfar 3x dan mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

/Alloohumma antas salaam wa minkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroom/

“Ya Allah Engkaulah As-Salaam. Keselamatan hanya dari-Mu. Maha Suci Engkau, wahai Zat yang memiliki semua keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)

Sebagaimana hadis sahih dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap selesai melaksanakan salat  mengucapkan kalimat,

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ، وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدّ

/laa ilaha illallooh wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. Alloohumma laa maani’a lima a’thoyta wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu/

Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala pujian dan kerajaan adalah milik Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan (bagi pemiliknya). Dari Engkaulah semua kekayaan dan kemuliaan.” (HR. Bukhari no. 6615 dan Muslim no. 593)

Oleh karenanya, hadis Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang berkata,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memintaku untuk membaca muawwidzaat (surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas) setiap selesai salat.” (HR. Abu Dawuud)

Maksud dari hadis ini adalah dibaca setelah selesai melaksanakan salat.

Sedangkan hadis Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu yang berkata,

يا رَسُولَ اللهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟

Ya Rasulullah! Doa apa yang paling didengar (diijabah Allah -pen.)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

“Doa di malam terakhir, serta dubura as-shalawat (akhir salat-salat) wajib.” (HR. at-Tirmidzi no. 3499)

Maka, doa yang dimaksud di sini adalah dibaca sebelum selesai salat.

والعلم عند الله وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وسلّم تسليما

Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-262

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/69083-apa-yang-dimaksud-dengan-berdoa-di-akhir-salat.html

Heboh Soal Agama yang Benar, Begini Fatwa MUI dan Dekrit Vatikan

Setiap muslim memang diwajibkan meyakini bahwa hanya Islam saja agama yang benar menurut Allah SWT. Setiap muslim pasti sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah.

PADA  awal September ini, sejumlah media di Indonesia sedang ramai memuat berita hangat tentang ungkapan seorang pejabat tentang “kebenaran agama”. Katanya, “semua agama itu benar di mata Tuhan.”  Tentu saja, berita ini perlu diklarifikasi.

Tetapi, karena tersebar di media massa, maka persoalan itu perlu dijernihkan. Tulisan ini sekedar mengingatkan kembali fatwa MUI tentang Pluralisme dan Dekrit Vatikan “Dominus Iesus” yang juga membahas Pluralisme dan soal kebenaran agama-agama.

Tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang Aliran Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Judul lengkap fatwa MUI adalah: Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No : 7/Munas Vii/Mui/11/2005, tentang ALIRAN PLURALISME, SEKULARISME, DAN LIBERALISME.

Di antara pertimbangan dikeluarkannya fatwa tersebut, adalah bahwa: ”berkembangnya paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.”

Dalam fatwa tersebut, Pluralisme Agama didefinisikan sebagai berikut;  “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

MUI memutuskan : (1) Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. (2) Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama.

MUI mendasarkan fatwanya pada sejumlah ayat al-Quran dan hadits Nabi Muhammad ﷺ. Misalnya : ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS3:85).     ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS 3:19). ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS 109:6).

Hadits Nabi yang dijadikan landasan fatwa MUI ini antara lain: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR: Muslim).

Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).

*****

Begitulah fatwa MUI tentang kebenaran agama. Jadi, setiap muslim, memang diwajibkan meyakini bahwa hanya Islam saja agama yang benar menurut Allah SWT. Setiap muslim pasti sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah.

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad ﷺ kepada seluruh manusia, adalah untuk diimani. Utusan Allah kepada manusia itu memiliki tugas mulia untuk menegakkan Tauhid (QS 16:36) dan menyempurnakan akhlak manusia. Inilah ajaran Islam yang paling mendasar.

Bagaimana dengan agama Katolik? Bukan Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus (Baca: Dominus Yesus) yang menegaskan, bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan.

Dominus Iesus menolak paham Pluralisme Agama.  Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa  ‘fullnes of thruth’  tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.

Buku Toward a Christian theology  of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus.

Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan “tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik.” Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI.

Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas.

Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).

Karena itulah, menurut Paus Yohannes Paulus II: “Islam is not a religion of redemption.” “Islam bukan agama penyelamatan,” kata Paus.  Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan  (there is no room for the Cross and the Resurrection). (Lihat, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy).

Lagi pula, jika dikatakan semua agama benar – menurut siapa saja – bisa kita tanyakan, agama mana saja. Jumlah agama di dunia sudah lebih dari 4.000. (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5708636/agama-terbesar-di-dunia-2021-berdasarkan-jumlah-pemeluknya).  Ada agama yang ritualnya melakukan praktik minum darah dan seks bebas. (https://www.viva.co.id/berita/nasional/668989-ritual-minum-darah-dan-bersetubuh-raja-kertanegara). Tentu kita sudah paham, apakah agama semacam ini benar!  (Depok, 15 September 2021).*

Penulis Pengajar di Universitas Ibnu Khaldu, pengasuh Pondok Pesantren Attaqwa-Depok (ATCO)

HIDAYATULLAH

Ilmu yang Mesti Dimiliki Calon Jamaah Haji

Calon jamaah haji harus memiliki mempersiapkan ilmu agar ibadah haji yang dijalankannya sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW. “Seorang yang hendak melaksanakan ibadah haji, di samping bekal materi, ia perlu mempersiapkan bekal ilmu yang cukup,” kata H Aswanto Muhammad, Lc dalam tulisannya Haji dan Urgensi Ilmu.

Menurutnya ilmu yang dibutuhkan jamaah haji minimal ada dua hal:

1. Ilmu tentang pelaksanaan ibadah haji.

Wajib baginya mempelajari tata cara haji Rasulullah SAW, mulai dari tata cara berihram, thawaf, sa’i, wukuf, sampai melontar jumrah. Tidak cukup mengerjakan amalan-amalan tersebut hanya karena dikerjakan orang lain tanpa mengetahui dasarnya dari Rasulullah Saw.

2. Ilmu tentang hukum-hukum dan adab-adab yang berkaitan dengan safar (perjalanan). Misalnya; bagaimana tata cara bersuci (wudhu’ dan tayamum), sholat (jamak dan qasar) dalam perjalanan, doa dan zikir yang dianjurkan selama perjalanan haji hingga pulang ke tanah air, serta adab dan akhlak yang patut dijaga selama berada di tanah haram (Makkah dan Madinah).

Menurutnya terdapat banyak ayat di dalam Alquran di mana Allah memuji orang-orang yang berilmu dan mengangkat kedudukan mereka lebih dari yang lain.  Demikian juga dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, cukup banyak sabda beliau yang menganjurkan umatnya untuk berilmu.

IHRAM

Berwuduk Pakai Air Panas dari Water Heater Hotel, Sahkah?

Sebelum melaksanakan shalat, menurut fikih seseorang harus berwuduk terlebih dahulu. Pun sebelum membaca Al-Qur’an, diwajibkan suci dari hadas kecil dan besar. Pun ketika masuk masjid harus dalam keadaan suci. Begitu juga ketika sedang tawaf, harus dalam keadaan suci.

Bersuci itu menggunakan air yang suci lagi mensucikan—bila tak didapati air,maka boleh tayamum dengan debu. Dalam konteks ini kita akan membicarakan air sebagai alat bersuci. Kemudian, muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya  berwuduk pakai air panas dari water heater hotel, sahkah wuduknya tersebut?

Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab mengatakan boleh hukumnya bersuci dengan air panas. Hukumnya pun tidak makruh. Pasalnya, tidak ada larangan untuk bersuci menggunakan air yang dipanaskan. Imam Nawawi berkata;

وأما  المسخن فالجمهور أنه لا كراهة فيه وحكى أصحابنا عن مجاهد كراهته: وعن أحمد  كراهة المسخن بنجاسة وليس لهم دليل فيه روح: ودليلنا النصوص المطلقة ولم  يثبت نهي

 Artinya; adapun masalah air panas, maka jumhur ulama mengatakan tidak makruh bersuci dengannya, dan ada yang meriwayatkan dari kalangan sahabat kita, dari Mujahid yang menyebut makruh. Imam Ahmad pun mengatakan makruh hukumnya, jika api yang digunakan bercampur najis, akan tetapi tidak ada bagimereka dalil yang kuat.

Dan dalil kami dari nash yang mutlak, dan tidak ada ketetapan larangan menggunakan air yang dipanaskan.

Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm menjelaskan semua air pada dasarnya adalah suci, kecuali air tersebut terkena najis. Adapun berwuduk atau bersuci dengan menggunakan air yang dipanaskan hukumnya boleh, sekalipun air tersebut dipanaskan menggunakan api yang bercampur dengan najis.

Lebih lanjut, Imam Syafi’i juga menjelaskan kebolehan berwuduk pakai air panas, sebab api tidak membuat air tersebut menjadi najis. Api itu tidak mengubah dan menggangu kesucian air. Untuk itu, sahabat Nabi Umar bin Khattab pernah memakai air panas sebagai wadah untuk bersuci.

قال  الشّافعي: فكلُّ الماء طهور ما لم تخالطْه نجاسة، ولا طهور إلا فيه، أو في  الصَّعيد، وسواء كل ماء من بردٍ أو ثلجٍ أذيب، وماءٍ مسخَّن وغيرِ مسخَّن؛  لأن الماء له طهارة، والنار لا تُنَجِّس الماء. قال الشّافعي ـ رحمه الله  ـ: أخبرنا إبراهيم بن محمد، عن زيد بن أسلم، عن أبيه؛ أن عمر بن الخطاب ـ  رضي الله عنه ـ كان يسخَّن له الماء، فيغتسل به، ويتوضأ به. قال الشّافعي:  ولا أكره الماء المشمَّس إلاَّ من جهة الطِّبِّ

Artinya; Al-Syafi’i berkata: Semua air adalah suci selama tidak bercampur dengannya najis, dan tidak ada bersuci kecuali dengan menggunakan air, atau menggunakan debu (bila air tak ada). Sama ada air itu berasal dari air dingin, atau air es yang mencair, dan air panas dan tidak dipanaskan, karena air berfungsi untuk mensucikan, dan api tidak membuat najis air.

Imam Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-, berkata: Ibrahim bin Muhammad mengatakan kepada kami, atas otoritas Zaid bin Aslam, atas otoritas ayahnya; bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, biasa memanaskan air untuknya, dan dia akan mandi dengannya dan berwudhu dengan air yang dipanaska itu.

Al-Syafi’i berkata: Tidak ada kemakruhan air musyammas (panaskan matahari), kecuali dari sudut pandang medis.

Terakhir, mengutip pendapat Imam Mawardi al-Hawi al-Kabir  yang menjelaskan terkait pentingnya membedakan antara air yang dipanaskan menggunakan api atau listrik dengan air yang dipanaskan langsung cahaya matahari (air musyammas). Keduanya sangat berbeda. Adapun yang dipanaskan cahaya matahari, itu yang dihukumi makruh. Sedangkan yang dipanaskan api boleh hukumnya, tidak makruh.

Simak penjelasan Imam al-Mawardi sebagaimana berikut ini;

فصل : وأما قوله مسخن وغير مسخن فسواء، والتطهر به جائز,  فإنما قصد بالمسخن أمرين, أحدهما: الفرق بين المسخن بالنار وبين الحامي بالشمس في أن المسخن غير مكروه والمشمس مكروه

Artinya; pasal; adapun perkataanya “air yang dipanaskan dan tidak dipanaskan, maka itu sama saja, dan bersuci menggunakan air itu boleh, maka yang dimaksud dengan air “dipanaskan” ada dua pengertian, pertama; berbeda antara dipanaskan dengan api, dan dipanaskan dengan panas cahaya matahari, nah yang dipanaskan (dengan api dan sejenis) itu hukumnya tidak makruh, sedangkan yang menggunakan cahaya matahari (musyamas) itu hukumnya yang makruh.

Sebagai kesimpulan, berwuduk pakai air panas  yang hukumnya boleh. Dengan demikian, seseorang yang berwuduk pakai air panas dari water heater hotel,hukumnya adalah sah dan boleh. Tidak ada kemakruhan di dalamnya. Pasalnya itu berbeda dengan air musyammas.

BINCANG SYARIAH

Menghindari Kesombongan

Keangkuhan akan membatasi kebaikan, merampas segala kemuliaan.

Mukmin sejati merupakan pribadi rendah hati.  Tak ada dalam pikiran dan hatinya untuk meremehkan orang lain. Sekuat tenaga belajar menghindari kesombongan. Caranya dengan terus berusaha hormat pada sesama.

Santun dalam berinteraksi dan mau mendengar juga belajar. Tidak bebal, bersedia dinasihati agar dapat memperbaiki diri. Kebenaran diterimanya dengan senang hati. Saat dihinakan, tak ada pembalasan, selain ucapan dan balasan kebaikan.

Digambarkan dalam Surah al-Furqan ayat 63: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam.”

Kemarahan dan kebenciannya segera dibungkus dengan kesabaran dan memaafkan. Bahagia atas segala nikmat yang dianugerahkan, diisinya dengan sikap syukur kepada Yang Maha Rahman.

Merasa tak ada yang patut dibanggakan, karena segalanya atas kuasa Tuhan. Kakinya menginjak bumi, hati dan akalnya diisi oleh zikir dan pikir. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS al-Israa: 37).

Setiap hari selalu diisi oleh ibadah dan menebar kemanfaatan. Semua saudara, kerabat dan teman merasa nyaman, karena sikapnya ramah penuh kebajikan dan kebijakan. Selalu melihat kekurangan dan kelebihan teman dalam semangat kolaborasi saling membesarkan. “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang orang sombong dan membanggakan diri.” (QS Luqman: 18).

OLEH DR IU RUSLIANA

KHAZANAH REPUBLIKA

Beberapa Ayat yang Allah Bersumpah dengan Zat-Nya Sendiri

Di dalam Al-Quran, terdapat beberapa surah dan ayat yang diawali dengan qasam atau sumpah untuk menegaskan suatu pernyataan. Secara umum, ada dua bentuk qasam atau sumpah yang digunakan Allah dalam Al-Quran. Pertama, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Kedua, ayat yang Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya.

Menurut para ulama, terdapat tujuh ayat yang Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam Al-Quran. Tujuh ayat dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, surah Al-Hijr ayat 92. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.

Kedua, surah Al-Dzariyat ayat 23. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.

Ketiga, surah Al-Nisa’ ayat 65. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Keempat, surah Maryam ayat 68. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَوَرَبِّكَ لَنَحْشُرَنَّهُمْ وَالشَّيَاطِينَ ثُمَّ لَنُحْضِرَنَّهُمْ حَوْلَ جَهَنَّمَ جِثِيًّا

Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.

Kelima, surah Al-Nur ayat 33. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah; Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Keenam, surah Al-Taghabun ayat 40. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ

Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki timur dan barat, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.

Ketujuh, surah Yunus ayat 53. Bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

وَيَسْتَنْبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَقُلْ إِي وَرَبِّي إِنَّهُ لَحَقٌّ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ

Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya).

BINCANG SYARIAH

Mengapa Allah Bersumpah dengan Zat Sendiri?

Secara umum, ada dua bentuk qasam atau sumpah yang digunakan Allah dalam Al-Quran. Pertama, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Kedua, Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya. Dan di dalam Al-Quran, terdapat tujuh ayat yang di dalamnya Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri. Selain tujuh ayat tersebut, Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya, dan jumlahnya sangat banyak. Mengapa Allah bersumpah dengan Zat sendiri?

Menurut para ulama, selain bertujuan untuk memperkuat sebuah pernyataan dan hujjah, Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri karena memang Zat dan nama-nama-Nyalah satu-satunya yang sangat pantas untuk dijadikan sumpah. Sumpah harus dengan sesuatu atau nama yang agung, dan sudah maklum bahwa tidak ada sesuatu yang lebih agung melebihi keagungan Zat dan nama-nama Allah.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Quran berikut;

ولا يكون القسم إلا باسم معظم وقد أقسم الله تعالى بنفسه في القرآن في سبعة مواضع

Qasam itu tidak boleh kecuali dengan menggunakan nama yang agung, dan Allah telah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri di dalam Al-Quran di tujuh tempat (ayat).

Imam Al-Suyuthi juga berkata sebagai berikut;

أن الأقسام إنما تكون بما يعظمه المقسم أو يجله وهو فوقه والله تعالى ليس شيء فوقه فأقسم تارة بنفسه ، وتارة بمصنوعاته ، لأنها تدل على بارئ وصانع

Qasam itu harus dengan sesuatu yang diagungkan oleh yang bersumpah, ia harus lebih tinggi dari yang bersumpah. Dan tidak ada sesuatu di atas Allah yang lebih agung dari-Nya. Karena itu, kadang-kadang Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri, dan kadang-kadang dengan atas nama ciptaan-Nya. Ini karena ciptaan-Nya menunjukkan keagungan pembuat dan pencipta-Nya.

Adapun Allah bersumpah dengan nama makhluk-Nya, itu bukan menunjukkan bahwa makhluk-Nya lebih agung dari Allah. Melainkan hanya menunjukkan bahwa makhluk yang dijadikan sumpah oleh Allah memiliki keutamaan yang lebih dibanding makhluk yang lain, atau memiliki manfaat yang besar.

Dalam kitab Al-Itqan, Imam Al-Suyuthi menyebutkan sebagai berikut;

وقال أبو القاسم القشيري : القسم بالشيء لا يخرج عن وجهين : إما لفضيلة أو لمنفعة ، فالفضيلة كقوله : وطور سنين وهذا البلد الامين والمنفعة نحو والتين والزيتون

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata; Qasam dengan sesuatu tidak terlepas dari dua hal; adakalnya karena adanya keutamaan atau adanya manfaat. Yang memiliki keutamaan seperti ‘Wa thuri siniin, wa hadzal baladil amiin.’ Yang memiliki manfaat seperti ‘Wat thiini waz zaituun.’

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Pasien Penderita Covid-19 Tidak Shalat?

Shalat merupakan rukun Islam. Dalam fiqih Islam, wajib hukumnya melaksanakan shalat. Shalat termasuk perintah yang qathi. Untuk itu, shalat tak boleh ditinggalkan. Pelbagai ayat Al-Qur’an telah menerangkan kewajiban shalat. Lantas bagaimana dengan pasien penderita Covid-19? Bolehkah tidak shalat pasien penderita  Covid-19?

Syahdan, shalat adalah kewajiban bagi seorang muslim. Perintah untuk melaksanakan shalat tertera dalam pelbagai ayat Al-Qur’an dan hadis nabi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S al-Baqarah ayat 34;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya; Dan dirikan kamulah sholat, tunaikan kamu zakat dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk

Dan juga firman Allah dalam Q.S. An-Nisa/4: 103

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya; Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Nah, terkait hukum pasien penderita Covid-19, bolehkah tidak shalat? Para ulama menjelaskan tak ada keadaan apapun yang membuat kewajiban shalat gugur. Untuk itu, sejatinya orang yang sakit tidak dicabut kewajibannya untuk melaksanakan shalat.

Namun, dalam hukum Islam, orang yang sakit diberikan pelbagai kemudahan atau keringan dalam melaksanakan shalat. Keringanan itu guna memudahkan pasien penderita Covid-19 untuk melaksanakan shalat.

Menurut Syekh Muhammad Abdus Sami, Aminul Fatwa Darul Ifta Mesir mengatakan kewajiban shalat tak gugur bagi seseorang dalam keadaan apapun. Baik dia sehat atau sakit. Akan tetapi, bagi orang yang sakit ada keringanan hukum.

Ia mengatakan;

أن الدين الحنيف راعى أحوال الناس، فيمكن للمصلي على سيبل التسير الصلاة جالساً فى حالة صعوبة القيام لها، وأيضاً يجوز الصلاة نائماً على السرير فى حالة المشقة للحركة، وعلى هذا فلا تسقط الصلاة عن أى إنسان.

Artinya; Sesungguhnya agama yang benar ini (Islam) memelihar ia akan keadaan manusia. Maka sebagai kemudahan dalam hukum, dibolehkan bagi orang yang ingin shalat sebagai tapi tak mampu berdiri, ia boleh duduk sebagai kemudahan baginya, dan juga boleh shalat dalam keadaan memejamkan mata sebagai kemudahan karena sulit untuk bergerak. Dan atas keadaan apapun, tak ada kewajiban menggugurkan/meninggalkan shalat.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh  Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husain, As Syafii dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar,bagi orang yang sakit (lemah) ada kemudahan dalam melaksanakan shalat. Bila tak mampu berdiri, ia boleh duduk. Bila tak mampu duduk, ia boleh shalat dalam keadaan berbaring.

Syekh Taqiyuddin berkata dalam Kifayatul al-AkhyarJilid I, halaman 103;

(والقيام مع القدرة)اعلم ان القيام او ما يقوم مقامه عند العجز كالقعود والاجطجاع, ركن في الصلاة الفرض

Artinya; berdiri bagi yang mampu, ketahuilah bahwa berdiri atau memperbuat ia apa yang ia bisa ketika dalam keadaan lemah (tidak mampu) seperti duduk atau berbaring. Demikian itu (berdiri atau duduk dan berbaring) adalah rukun dalam shalat fardu.

Ada pun argumen keringanan shalat  bagi orang dalam keadaan sakit, Syekh Taqiyuddin dalam Kifayatul al Akhyar, mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Baginda Nabi bersabda;

  عن عمران بن حُصين رضي الله عنهما قال (( كانت بي بواسير فسألت رسول الله صلى الله عليه السلام عن الصلاة: قال لي النبي صلى الله عليه وسلم: ((صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جنبٍ))؛ رواه البخاري

Artinya; Aku menderita penyakit wasir lalu aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- mengenai salat. Beliau bersabda, “Salatlah kamu sambil berdiri; Jika tidak bisa, salatlah sambil duduk; Jika tidak mampu, salatlah sambil berbaring ke arah kanan. (H.R Bukhari)

Dan ada juga hadis riwayat Imam Nasai;

وزاد النسائي فان لم تستطع فمستلقيا لا يكلف الله  نفسا الا وسعها

Artinya; Jika tak sanggup (baca; berdiri, duduk, berbaring arah kanan) maka ia shalat dalam posisi telentang, Allah tak memberatkan seorang hamba, kecuali menurut kemampuannya.

Imam Nawawi Al Jawi dalam kitab Nihayatuz Zain, pun berpendapat bahwa orang yang sakit diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah shalat. Keringanan hukum itu diberikan syariat sebab sakit yang ia derita. Bila dipaksakan akan berakibat fatal pada jiwanya.

Imam Nawawi mencontohkan keringanan shalat bagi penderita penyakit beser (salasul baul). Dalam Kitab Nihayatuz Zain halaman 58 ia berkata;

وكذا لو كان به سلس بول, ولو قام سال بوله ولو قعد لم يسل, او قال طبيب ثقة لمن بعينه ماء إن صليت مستلقيا امكنت مداواتك فله ترك القيام في الجميع ويفعل مقدوره ولا إعادة عليه

 Artinya; dan seperti itu pula jika ada orang yang menderita penyakit beser, jika ia shalat dalam keadaan berdiri, maka akan menetes kencingnya, tapi jika ia shalat duduk maka kencingnya tak menetes, maka shalatlah ia dalam keadaan duduk. Atau berkata dokter yang terpercaya, bagai orang yang kena air akan berakibat fatal, atau jika berbaring maka itu dapat menyembuhkan penyakit, maka seluruh shalat fardu boleh  baginya meninggalkan shalat dalam keadaan berdiri. Ia boleh memperbuat dalam shalat semampunya, dan  shalatnya sah dan itu tak wajib diulangi di lain waktu.

Pada sisi lain, Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al- Kaff menjelaskan secara terperinci pengertian dari “keadaan lemah (tidak mampu)”.  Dalam Kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Ia mengatakan yang dimaksud dengan “lemah” ialah adanya kesulitan yang parah pada diri seseorang. Jika itu dilakukan akan berakibat fatal bagi dirinya. Lebih dari itu, bisa berujung pada kebinasaan diri.

Syekh Al Kaff at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, halaman214 mengatakan;

ضابط العجز ; ان تلحقه مشقة شديدة , بحيث يخاف منها محذور التيمم, كزيادة مرض او بطء الشفاء, او حدوث شين فاحش في عضو ظاهر  او كانت مشقة لا تحمل عادة

Artinya;  Defini lemah (tidak mampu) bahwa seseorang dalam keadaan sangat sulit, dengan sekira-kira ditakutkan  akan membawa kepada uzur (kebinasaan), seperti bila dilakukan akan menambah penyakit, atau penyembuhan penyakit yang bertambah lambat, atau dalam keadaan kesulitan yang payah, yang diluar batas kebiasaan,.

Terkait orang shalat orang dalam keadaan sakit, Habib Syekh Al kaff menjelaskan secara panjang lebar pelbagai alternatif yang bisa dilakukan pasien tersebut. Bila para ulama di atas hanya menjelaskan keringanan shalat hanya sebatas berbaring atau telentang, Syekh Ahmad Al Kaff justru menambahkan pelbagai keringanan lain.

Menurut kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, Orang sakit; shalat sambil berdiri, bila tak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk; dan bila tak mampu sujud, cukup dengan isyarat kepalanya saja—ketika sujud, maka kepala lebih rendah dari rukuk—, bila sanggup shalat duduk, maka shalat ia dengan berbaring ke arah kanan dan menghadap kiblat.

Kemudian, jika tak bisa berbaring ke arah kanan, maka ia shalat dalam keadaan telentang, dengan posisi  kedua kakinya menghadap kiblat. Dan bila tak jua mampu untuk telentang, maka cukup dengan menggerakakn kelopak mata. Terakhir bila tanpa jua sanggup menggerakakan kelopak mata, maka cukup bagi yang sakit dengan isyarat hati. Dalam hatinya ia menggerakkan rukun shalat. Itulah kemudahan bagi orang yang sakit dalam shalat.

Begini tulis Habib Syekh Al Kaff;

فإن عجز صلى ميتلقيا على قفاه, و يئميئ برأسه عند ركوعه وسجوده, فإن عجز او مأبأ بأجفانه, فإن عجز اجرى اركان الصلاة

Artinya; jika ia tak sanggup shalat dalam keadaan itu (berdiri, duduk, berbaring) maka shalatlah dalam keadaan telentang menggerakan ia akan kepala ketika sujud dan sujudnya, maka jika telentang pun tak mampu, maka shalatlah ia dengan menggerakkan kelopak matanya. Pun ketika itu semua ia tak mampu melakukannya, maka shalat ia dalam hati, dan berniat ia menggerakkan anggota shalat.

Demikian keterangan tentang  hukum Shalat Pasien Penderita Covid-19. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bersyahadat Setelah 8 Tahun Baca Al-Quran

Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen yang taat. Saat itu, orang Amerika lebih religius dibandingkan masa sekarang–contohnya, sebagian besar keluarga pergi ke gereja setiap Minggu. Orangtua saya ikut dalam komunitas gereja. Kami sering mendatangkan pendeta ke rumah. Ibu saya mengajar di sekolah minggu, dan saya membantunya

Pastinya saya lebih religius dibandingkan anak-anak lainnya, meskipun saya tidak merasa seperti itu dulu. Satu saat ketika ulang tahun bibi saya memberi hadiah sebuah Bibel, dan untuk saudara perempuan saya ia memberi sebuah boneka. Lain waktu saya minta dibelikan bukudoa kepada orang tua, dan saya membacanya setiap hari selama beberapa tahun.

Ketika saya SMP, saya mengikuti program belajar Bibel selama dua tahun. Ketika itu saya sudah mengkaji sebagian dari Bibel, meskipun demikian saya belum memahaminya dengan baik. Kemudian saya mendapat kesempatan mempelajarinya lebih dalam. Sayangnya, kami belajar banyak petikan di dalam Perjanjian Lama dan Baru yang tak dapat dipahami, bahkan terasa aneh.

Sebagai contoh, Bibel mengajarkan tentang adanya dosa awal, yang artinya semua manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa. Saya punya adik bayi, dan saya tahu ia tidak berdosa.

Bibel mengandung banyak cerita aneh dan sangat meresahkan, misalnya cerita tentang nabi Ibrahim dan Daud. Saya tak dapat mengerti bagaimana mungkin para nabi bisa mempunyai kelakuan seperti yang diceritakan dalam Bibel.

Ada banyak hal lain dalam Bibel yang membingungkan saya, tapi saya tidak mempertanyakannya. Saya terlalu takut untuk bertanya–saya ingin dikenal sebagai “gadis baik”.

Alhamdulillah, akhirnya ada seorang anak laki-laki yang bertanya, dan ia terus bertanya.

Hal yang paling penting adalah tentang trinitas. Saya tidak bisa memahaminya. Bagaimana bisa Tuhan terdiri dari tiga bagian, yang salah satunya adalah manusia? Di sekolah saya juga belajar mitologi Yunani dan Romawi, menurut saya pemikiran tentang trinitas dan orang suci yang punya kekuatan sama dengan pemikiran budaya Yunani dan Romawi yang mengenal banyak dewa, yang masing-masing bertanggung jawab atas aspek kehidupan yang berbeda (astagfirullah!). Bocah yang bertanya itu, banyak bertanya tentang trinitas. Ia mendapatkan banyak jawaban tapi tidak pernah puas. Sama seperti saya. Akhirnya guru kami, seorang profesor teologi dari Universitas Michigan, menyuruhnya untuk berdoa minta keteguhan iman. Saya pun berdoa.

Ketika saya SMA saya, diam-diam saya ingin menjadi seorang biarawati. Saya tertarik untuk melakukan peribadatan setiap harinya, tertarik kehidupan yang sepenuhnya dipersembahkan untuk Tuhan, dan menunjukkan sebuah gaya hidup yang relijius. Halangan atas ambisi ini hanya satu: saya bukan seorang Katolik. Saya tinggal di sebuah kota di wilayah Midwestern, di mana Katolik merupakan minoritas yang tidak populer.

Saya bertemu seorang Muslim dari Libya. Ia menceritakan saya sedikit tentang Islam dan Al-Quran. Ia bilang Islam itu modern, agama samawi yang paling up-to-date. Karena saya menganggap Afrika dan Timur Tengah itu terbelakang, maka saya tidk bisa melihat Islam sebagai sesuatu yang modern.

Keluarga saya mengajaknya ke acara Natal di gereja. Bagi saya acara itu sangat menyentuh dan berkesan. Tapi diakhir acara ia bertanya, “Siapa yang membuat aturan peribadatan seperti itu? Siapa yang mengajarkanmu kapan harus berdiri, membungkuk dan berlutut? Siapa yang mengajarimu cara beribadah?” Saya menceritakan kepadanya sejarah awal gereja. Awalnya pertanyaannya itu sangat membuat saya marah, tapi kemudian saya jadi berpikir. Apakah orang-orang yang membuat tata cara peribadatan itu benar-benar punya kualifikasi untuk melakukannya? Bagaimana mereka bisa tahu bagaimana peribdatan itu harus dilakukan? Apakah mereka dapat wahyu tentang itu?

Saya sadar jika saya tidak mempercayai banyak ajaran Kristen, namun saya tetap pergi ke gereja. Ketika kredo Nicene dibacakan bersama-sama, saya hanya diam, saya tidak turut membacanya. Saya seperti orang asing di gereja.

Ada kejadian yang sangat mengejutkan. Seseorang yang sangat dekat dengan saya mengalami masalah dalam rumah tangganya. Ia pergi ke gereja untuk meminta nasihat. Orang dari gereja itu justru memanfaatkan kesusahan dan penderitaannya. Laki-laki itu mengajaknya ke sebuah motel dan kemudian merayunya.

Sebelumnya saya tidak memperhatikan benar apa peran rahib dalam gereja. Sejak peristiwa itu saya jadi memperhatikannya. Sebagian besar umat Kristen percaya bahwa pengampunan lewat sebuah acara peribadatan suci yang harus dipimpin oleh seorang pendeta. Tidak ada pendeta, tidak ada pengampunan.

Saya mengunjungi gereja, duduk dan memperhatikan pendeta yang ada di depan. Mereka tidak lebih baik dari umat yang datang–sebagian di antaranya bahkan lebih buruk. Jadi bagaiamana bisa seorang manusia biasa diperlukan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan Tuhan? Mengapa saya tidak bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, dan langsung menerima pengampunannya?

Tak lama setelah itu, saya mendapati terjemahan Al-Qur’an di sebuah toko buku. Saya lalu membeli dan membacanya, kadang terus membaca, kadang terputus, selama delapan tahun. Selama itu saya juga mencari tahu tentang agama lain.

Saya semakin khawatir dan takut dengan dosa-dosa saya. Bagaimana saya tahu Tuhan akan memafkan dosa-dosa saya? Saya tidak lagi percaya dengan metode pengampunan ala Kristen akan berhasil. Beban-beban dosa begitu berat bagi saya, dan saya tidak tahu bagaimana membebaskan diri darinya. Saya sangat mengharapkan ampunan.

Membaca Al-Quran

Suatu kali, aku membaca Al-Quran yang bunyinya: “Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriiman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu ada rahib-rahib, juga sesungghnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad S.A.W). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh? [Al-Maidah: 82-84]

Saya mulai berharap bahwa Islam mempunyai jawabannya. Tapi bagaimana cara saya mencari tahu? Dalam berita di televisi saya melihat Muslim beribadat. Mereka punya cara tertentu untuk berdo’a. Saya menemukan sebuah buku–yang ditulis oleh non Muslim–yang menjelaskan cara beribadah orang Islam. Kemudian saya mencoba melakukannya sendiri. Kala itu saya tidak tahu tentang taharah dan saya shalat dengan cara yang keliru. Saya terus berdoa dengan cara itu selama beberapa tahun.

Akhirnya kira-kira 8 tahun sejak pertama kali saya membeli terjemahan Al-Quran dulu, saya membaca: “Pada hari ini telah ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” [Al- Maidah: 3]

Saya menangis bahagia, karena saya tahu, jauh sebelum bumi diciptakan, Allah telah menuliskan bahwa Al-Quran ini untuk saya. Allah mengetahui bahwa Anne Collins di Cheektowaga, New York, AS, akan membaca ayat ini pada bulan Mei 1986.

Saya tahu banyak hal yang perlu dipelajari, seperti bagaimana cara shalat yang benar, sesuatu yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran. Masalahnya saya tidak kenal seorang Muslim satu pun.

Sekarang ini Muslim relatif mudah dijumpai di AS. Dulu saya tidak tahu di mana bisa bertemu mereka. Saya mendapatkan nomor telepon sebuah komunitas Muslim dari buku telepon. Saya lalu coba menghubunginya. Seorang laki-laki menjawab diseberang sana, saya panik lalu mematikan telepon. Apa yang akan saya katakan padanya? Bagaimana mereka akan menjawab pertanyaan saya? Apakah mereka akan curiga? Akankah mereka menerima saya, sementara mereka sudah saling memiliki dalam Islam?

Beberapa bulan kemudian saya kembali menelepon masjid itu berkali-kali. Dan setiap kali saya panik, saya menutupnya. Akhirnya, saya menulis sebuah surat, isinya memnta informasi. Seorang ikhwan dari masjid itu menelepon saya dan kemudian mengirimi saya selebaran tentang Islam. Saya katakan padanya bahwa saya ingin masuk Islam. Tapi ia berkata pada saya, “Tunggu hingga kamu yakin.” Jawabannya agar saya menunggu membuat saya kesal. Tapi saya sadar, ia benar. Saya harus yakin, sebab sekali menerima Islam, maka segala sesuatunya tidak akan pernah lagi sama.

Saya jadi terobsesi dengan Islam. Saya memikirkannya siang dan malam. Dalam beberapa kesempatan, saya mengendarai mobil menuju ke masjid (saat itu masjidnya berupa sebuah rumah yang dialihfungsikan menjadi masjid). Saya berputar mengelilinginya beberapa kali sambil berharap akan melihat seorang Muslim, dan penasaran seperti apa keadaan di dalam masjid itu.

Satu hari di awal Nopember 1986, ketika saya memasak di dapur, sekonyong-konyong saya merasa jika saya sudah menjadi seorang Muslim. Masih takut-takut, saya mengirim surat lagi ke masjid itu. Saya menulis: Saya percaya pada Allah, Allah yang Maha Esa, saya percaya bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan saya ingin tercatat sebagai orang yang bersaksi atasnya.

Ikhwan dari masjid itu menelepon saya keesokan harinya, dan saya mengucapkan shahadat melalui telepon itu. Ia berkata bahwa Allah telah mengampuni semua dosa saya saat itu juga, dan saya seperti layaknya seorang bayi yang baru lahir.

Saya merasa beban dosa-dosa menyingkir dari pundak. Dan saya menangis karena bahagia. Saya hanya sedikit tidur malam itu. Saya menangis, mengulang-ulang menyebut nama Allah. Ampunan yang saya cari telah didapat. Alhamdulillah.

HIDAYATULLAH