Hukum Melakukan Salat di Belakang Imam yang Melakukan Salat Wajib Sebelum Waktunya

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Jika salat wajib dilaksanakan sebelum waktunya, apakah boleh kami salat bersama para jamaah dengan niat salat sunnah, dan setelah masuk waktunya kami melakukan salat wajib?

Jawaban:

Dibolehkan salat bersama imam tersebut yang melakukan salat wajib sebelum waktunya, kemudian salat kembali ketika masuk waktu salat wajib. Hal ini karena menerapkan kaidah tentang bolehnya perbedaan niat (antara imam dan makmum). Kaidah ini diperkuat dengan dalil yang banyak. Di antaranya adalah hadis Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim. Bahwasanya beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,

كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَت عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا؟

“Bagaimana pendapatmu jika Engkau dipimpin oleh para penguasa yang mengakhirkan salat dari waktunya (baru mendirikan salat setelah waktu salat habis, pent.), atau meninggalkan salat dari waktunya?”

قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟

Aku menjawab, “Lantas apa yang Engkau perintahkan kepadaku?”

قَالَ: صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ

Beliau bersabda, “Lakukanlah salat tepat pada waktunya! Jika kamu mendapati bersama mereka (sedang salat), maka salatlah lagi! Sebab hal itu dihitung pahala sunnah bagimu.” (HR. Muslim dari hadis Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu).

Dan tidak samar lagi bahwa melaksanakan salat setelah waktunya habis itu dinilai sama dengan melaksanakan salat sebelum masuk waktunya.

والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا.

Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-144

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/69081-hukum-shalat-di-belakang-imam-yang-melakukan-shalat-wajib-sebelum-waktunya.html

Viral Seorang Ustadz Sebut Merenggangkan Shaf Shalat Berjamaah Saat Covid-19 Merupakan Perbuatan Ingkar Sunnah dan Tak Ada Ulama yang Membolehkan, Benarkah Klaim itu?

Viral di media sosial twitter, video seorang ustadz yang mengenakan baju putih, kopiah hitam, dan serban yang dililitkan di bahu. Ustadz tersebut menyuruh jamaah shalat untuk merapatkan barisan. “Rapat, rapat, rapat, bila shaf kalo belum rapat, belum lurus, shalat berjamaah belum kita mulai,” teriaknya pada jamaah.

Lebih lanjut Ustadz ini mengklaim merenggangkan shaf pada saat Jamaah meskipun keadaan pandemi Covid-19 termasuk kaum yang ingkar sunnnah. “Tak ada ulama yang mentolerir shaf shalat berjamaah itu renggang, kita mengikuti sunnah Rasulullah,” tambahnya. Video viral ini dikutip dari akun twitter  @BurhanMuhtadi.  

Lantas benarkah klaim si Ustadz yang berteriak tadi— merenggangkan shaf saat pandemi Covid-19 tergolong ingkar sunnah dan tak ada ulama yang mentolerir. Seterusnya bagaimana kajian fiqih Islam terkait persoalan ini?

Pendapat ustadz ini keliru. Dan sangat berbahaya. Terlebih anjuran agar tak menjaga jarak dalam kerumunan massa, seperti shalat berjamaah. Era pandemi Covid-19 ini, para dokter yang pakar dan ahli kesehatan telah menganjurkan untuk menjaga jarak agar tak terinfeksi virus Covid-19.

Penulis akan mengemukan pendapat para ulama dari kitab klasik dan kontemporer terkait persoalan merenggangkan shaf saat shalat berjamaah ketika dalam situasi darurat, seperti wabah, angin kencang, cuaca ekstrim. Para ulama besar dan pakar fikih Islam memberikan keringanan hukum boleh merenggangkan shaf dalam keadaan darurat. Berikut penjelasannya.

Shaf dalam shalat berjamaah

Ketika shalat, sunat hukumnya merapatkan shaf. Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad. Rasulullah bersabda:

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ

Artinya: Rapatkan kalianlah shaf, karena merapatkan shaf  dari pada kesempurnanan mendirikan shalat (H.R. Bukhari, nomor 723)

Menanggapi hadist ini, Syaikh Saad bin Nashir bin Abdulaziz Abu Habib Al-Syatsri menyebutkan bahwa hadis ini sejatinya tak menunjukkan wajib merapatkan shaf. Dalam hadis tersebut menerangkan, merapatkan shaf tidak termasuk rukun shalat atau pun syarat wajib shalat. Untuk itu, para ulama sepakat, ini menunjukkan sunat hukumnya merapakatkan barisan dalam shalat.

Syaikh Saad  Al Syatsri yang juga merupakan Dewan Ulama Senior Arab Saudi dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas King Saud Arab Saudi ini  mengatakan:

إذ تمام الشيء امر زائد على حقيقة التي لا يتحقق بها

Artinya: adalah kesempurnaan sesuatu itu adalah nilai plus/ tambah  atas hakikatnya yang tak akan terpenuhi melainkan dengan adanya hakikat tersebut.

Ada pun hadis Nabi selanjutnya yang berbunyi:

  فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

Artinya: sesungguhnya meluruskan barisan dalam shalat bagian dari kebaikan shalat

Konteks hadis ini pun sama dengan hadis sebelumnya. Hadis ini pun tak menyebutkan wajib atau rukun meluruskan dan merapatkan shaf. Nabi hanya memerintahkan merapikan shaf. Dan itu tak menunjukkan rukun atau syarat sah shalat seseorang. Dan meninggalkan tidak memengaruhi keabsahan shalat.

Syekh Sa’ad Al-Syatsr berkata:

يدل على اقامة الصفوف سنة وليست واجبة. لان لو كانت فرضا لم يجعله من حسن الصلاة

Hadis ini memberi pengertian bahwa meluruskan shaf atau barisan dalam shalat tidak wajib hukumnya. Pasalnya, bila merapatkan shaf atau meluruskan barisan shalat, Nabi tak akan menggunakan diksi “bagian dari yang membaguskan shalat”.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid 27 halaman 35, menjelaskan bahwa hukum merapatkan shaf ketika shalat berjamaah adalah sunat , bukan wajib. Oleh karena itu, seorang Imam dianjurkan untuk memerintahkan jamaah terlebih dahulu untuk merapatkan barisan.

Kitab  Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah mengeluarkan fatwa:

ذهب الجمهور إلى أنه يستحب تسوية الصفوف في صلاة الجماعة بحيث لا يتقدم بعض المصلين على البعض الآخر, حتى لا يكون في الصف خلل ولا فرجة، ويستحب للإمام أن يأمر بذلك

Artinya: para jumhur ulama berpendapat bahwa sunah hukumnya meluruskan saf ketika shalat jamaah, sekira-kira barisan orang yang shalat tidak lebih maju satu dengan yang lain, sehingga tidak ada dalamshaf itu yang kosong dan berlobang, dan Imamdi sunatkan menyuruh makmum untuk merapatkan shaf.

Dari keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa merapatkan shaf dalam shalat berjamaah hukumnya sunnah bukan wajib. Artinya, tanpa merapatkan shaf pun shalat jamaah tetap sah shalatnya. Lebih lanjut, konteks sunnah merapatkan shaf ini pun ketika dalam situasi normal. Bukan dalam keadaan darurat seperti adanya wabah.

Lantas bagaimana dalam keadaan darurat, seperti pandemi ini, bolehkah meninggalkan sunnah Nabi merapatkan shaf  ketika shalat jamaah? Menurut Ibn Taimiyah dalam kitab Majmul Fatawa bahwa merenggangkan shaf, atau menjaga jarak dalam shalat jamaah adalah boleh hukumya apabila ada uzur. Syekh Islam Ibnu Taymiyah berkata;

وإذا كان القيام والقراءة وإتمام الركوع والسجود والطهارة بالماء وغير ذلك يسقط بالعجز. فكذلك الاصطفاف وترك التقدم

Artinya: dan apabila berdiri ketika shalat, membaca fatiha, menyempurnakan rukuk, sujud, bersuci dengan air dan selain itu, gugur kewajibannya karena ada uzur (lemah), maka demikian juga dengan merapatkan dan meluruskan shaf.

Lebih jauh simak penjelasan Syekh Nawai Al Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain. Beliau seorang ulama besar dalam fikih, juga Imam di Masjidil Haram mengatakan bila terdapat  uzur darurat, maka shalat orang yang merenggangkan shaf  tidak  makruh dan ia juga tetap mendapatkan fadhilah jama’ah.  Syekh Nawawi al-Bantani  dalam kitab Nihayatuz Zain berkata:

نَعَمْ، إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الفَرَجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الحَرِّ بِالـمَسْجِدِ الحَرَامِ لَـمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيْرِ فَلَا تَفُوْتُهُمُ الفَضِيْلَةُ

Artinya; Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh karena tidak ada kelalaian. Dan mereka tidak kehilangan fadhilah shalat jama’ah”

Sementara itu, ulama dari Al Azhar Kairo, melalui Lajnah Fatwa Al-Azhar mengeluarkan fatwa bahwa menjaga jarak ketika shalat jamaah dibenarkan dalam keadaan Covid 19. Pasalnya, menjaga jarak itu demi kemaslahatan manusia. Agar terhindar dari virus Covid-19. Lajnah Fatwa Al-Azhar menjelaskan:

فإن الصلاة مع تباعد المصلين وترك تسوية الصفوف صحيحة، كما أن الكراهة ترتفع على مذهب الجمهور، ويرتفع الإثم كذلك على مذهب القائلين بوجوب التسوية؛ لوجود العُذر المُعتبر في حالتنا وهي الحاجة المعتبرة،

Artinya: maka sesungguhnya shalat dengan menjaga jarak dan meluruskan shaf yang dianjurkan oleh syariat.  Menurut jumhur ulama, makruh (karena tak merapatkan danmeluruskan shaf) itu diangkat karena ada kerena uzur.  Pun tak diberi dosa  meninggalkan kewajiban meluruskan dan merapatkanshaf (Baca: Ada juga ulama yang mewajibakan merapatkan shaf. Nah dalam keadaan uzur kewajiban itu gugur) menurut  pendapat ulama yang mewajibkan demikian. Pendapat itu lahir karena kita berada dalam uzur/ pandemi wabah Covid 19.

Penjelasan para ulama ini memberikan penjelasan bahwa shalat menjaga jarak dan merenggangkan shaf itu dibenarkan dalam fikih Islam. Terlebih dalam keadaan darurat dan uzur, seperti pandemi ini, merenggangkan shaf suatu keniscayaan. Dan ini dibolehkan para ulama.

Lebih dari itu, Imam Nawawi menyebutkan merenggangkan shaf dalam shalat jamaah ketika ada uzur, maka shalat tersebut tetap mendapatkan kesempurnaan shalat dan juga fadhilah shalat jamaah. Tak makruh hukumnya. Itu sebagai keringanan hukum.

Terakhir, untuk Ustadz yang menyuruh dan memaksa jamaah agar tetap merapatkan shaf di tengah pandemi Covid-19. Atau juga untuk Ustadz yang sembarang memberikan fatwa yang bisa membahayakan nyawa manusia saya ingin Anda menyimak hadis tentang kemurkaan Rasulullah pada sahabat yang keliru memberikan fatwa sehingga membuat nyawa manusia terbunuh.

Hadis  itu diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.  Dalam hadis itu dikisahkan seorang sahabat terkena batu di kepalanya. Akibatnya ia terluka di bagian kepala. Sialnya lagi, ketika itu ia dalam keadaan junub (hadas besar/wajib mandi). Sebagian sahabat, memberikan fatwa si pria yang terlukan di kepalanya tersebut wajib mandi.

Menerima fatwa itu, sahabat yang junub sekaligus terluka di kepala itu pun langsung mandi. Imbas terkena air, luka di kepala kian menganga. Di samping itu, luka tersebut pun menimbulkan infeksi, akibat terkena air. Ujungnya, pria itu meningga dunia. Ia mati setelah menjalan fatwa dari sahabat yang tak berilmu.

Peristiwa nahas itu sampai ke telinga Nabi. Rasulullah pun bersabda, “ Mereka membunuhnya. Allah akan mencelakan mereka. Kalau mereka tidak tahu, kenapa lantas tidak bertanya? Obat bodoh adalah bertanya. Cukup baginya memperban luka, lalu tayamum,” itu sabda Nabi.

Berikut kutipan teksnya;

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَنْطَاكِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ خُرَيْقٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ شَكَّ مُوسَى عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

Artinya; Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Abdurrahman Al-Anthaki] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Salamah] dari [Az-Zubair bin Khuraiq] dari [‘Atha`] dan [Jabir] dia berkata;

Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal.

Ketika kami sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda:

“Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum dan meneteskan air pada lukanya -atau- mengikat lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja dan mandi untuk selain itu pada seluruh tubuhnya yang lain.”

Demikian penjelasan merenggangkan shaf di tengah pandemi Covid-19. Para ustadz dan penceramah agama seyogianya harus bijak dalam memberikan fatwa hukum terutama yang menyangkut keselamatan dan kesehatan manusia. Tidak terburu-buru. Bila ia tidak pakar dan tidak mengetahuinya, agar bertanya terhadap ahlinya. Jangan sempat membahayakan manusia lain.

BINCANG SYARIAH

Hadis Orang Gemuk Adalah Azab Allah, Bagaimana Pemahamannya?

Beredar infografis yang mengatakan bahwa gemuk adalah azab Allah. Rujukan yang dikutip adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda,

إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ . قَالَ عِمْرَانُ : فَلَا أَدْرِي أَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ قَرْنِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً . ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ ، وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ ، وَيَنْذِرُونَ وَلَا يُوفُونَ ، وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ

“Sesungguhnya orang-orang terbaik itu di generasiku; kemudia generasi sesudah mereka; kemudian generasi sesudahnya lagi.” ‘Imran berkata: “aku tidak tahu apa Rasulullah mengatakann setelah generasinya itu dua kali atau tiga kali.” (Rasul berkata): “kemudian setelah generasi (yang urutan kedua setelah Nabi) itu, ada kaum yang bersaksi tapi tidak pantas diminta kesaksiannya, (kaum) pengkhianat dan tidak bisa dipercaya, (kaum) yang bernazar tapi tidak menunaikan, dan kondisi gemuk itu terlihat pada mereka.”

Hadisnya memang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yang menunjukkan bahwa secara zahir hadis ini memang sahih. Namun yang perlu kita dalami adalah apa yang dimaksud dengan kata as-Siman dalam hadis tersebut?

Imam An-Nawawi ketika memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut, mengatakan bahwa cara membacanya adalah as-Siman atau dalam riwayat lain disebut as-Samanah,

المراد بالسمن هنا كثرة اللحم، ومعناه أنه يكثر فيهم ذلك. وليس معناه، أن يتمحضوا سمانا، قالوا: والمذموم منه من يستكسبه، وأما من هو فيه خِلقة فلا يدخل في هذا. والمتكسّب له هو المتوسّع في المأكول والمشروب زائدًا على المعتاد

“Yang dimaksud dengan as-siman pada hadis tersebut adalah banyaknya daging. Maknanya mereka memiliki banyak daging (untuk dimakan). Itu bukan berarti, murni menjadi gemuk. Para ulama berkata: yang tercela adalah yang memang berusaha (untuk menjadi gemuk itu). Adapun orang yang memang (gemuk) secara natural (bukan akibat menyengaja makan) maka tidak masuk larangan ini. Yang dimaksud berusaha untuk gemuk itu adalah yang terlalu banyak mencari makanan dan minuman di luar batas kewajaran.”

Hal yang senada oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, bahwa yang dimaksud dengan kalimat “wa yazhharu fiihim as-siman” adalah memperbanyak makanan dan minuman.

As-Suyuthi juga dalam syarahnya atas Sahih Muslim  mengatakan,

Artikel selengkapnya di islami.co

BINCANG SYARIAH

Allah Membenci Orang yang Gemuk?

Terdapat hadis masyhur yang menyebar di masyarakat yang menyatakan bahwa Allah membenci orang gemuk. Akan tetapi, hadis ini tidak sahih. Terkadang hadis ini dibawa untuk memotivasi orang untuk melakukan diet agar menjadi kurus. Benarkah orang gemuk dibenci oleh Allah? Gemuk yang bagaimana? Berikut sedikit pembahasannya.

Di bawah ini adalah hadis masyhur yang menyatakan bahwa Allah membenci orang gemuk,

إنَّ الله يبغض الحبر السَّمين

“Sesungguhnya Allah membenci seorang ahli ilmu yang berbadan gemuk.”

Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid Hafidzahullah menjelaskan bahwa hadis ini tidak sahih dan tidak boleh disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata setelah melakukan penelusuran terhadap sanad hadis ini,

بعد البحث عن هذا الحديث تبين لنا أنه لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ، فلا تصح نسبته إليه ، ولم يثبت عمن يُروَى عنهم أيضا من الصحابة رضوان الله عليهم .

“Setelah menelusuri hadis ini, jelaslah bagi kita bahwa hadis ini tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh menisbatkannya kepada beliau. Hadis ini tidak sahih dari berbagai riwayat para sahabat Radhiallahu ‘anhu.” (as-Su-aal Wal Jawab, no. 137177)

Terdapat beberapa hadis lainnya yang secara dzahir menunjukkan tercelanya orang yang gemuk. Akan tetapi, perlu rincian penjelasan dari para ulama tentang apa maksud hadis tersebut. Hal ini karena hadis tersebut bukan mencela gemuk secara mutlak. Hadisnya sebagai berikut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ، وَيَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ، وَيَنْذِرُونَ وَلاَ يَفُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ

“Generasi terbaik adalah generasi di zamanku, kemudian masa setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang, akan ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya. Mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiannya, bernazar tetapi tidak melaksanakannya, dan tampak pada mereka kegemukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain,

خَيْرُ أُمَّتِى الْقَرْنُ الَّذِينَ بُعِثْتُ فِيهِمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ… ثُمَّ يَخْلُفُ قَوْمٌ يُحِبُّونَ السَّمَانَةَ، يَشْهَدُونَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدُوا

“Sebaik-baik umatku adalah masyarakat yang aku di utus di tengah mereka (para sahabat), kemudian generasi setelahnya. Kemudian datanglah suatu kaum yang suka menggemukkan badan, mereka bersaksi sebelum diminta bersaksi.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Sebagian orang bertanya-tanya maksud hadits ini, yaitu bukankah ada orang yang sejal kecil gemuk dan bukan pilihannya? Mengapa dicela? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan dan memberikan jawaban. Beliau Rahimahullah berkata,

وهذا الحديث مشكل ؛ لأن ظهور السمن ليس باختيار الإنسان فكيف يكون صفة ذم ؟ قال أهل العلم: المراد أن هؤلاء يعتنون بأسباب السمن من المطاعم والمشارب والترف ، فيكون همهم إصلاح أبدانهم وتسمينها. أما السمن الذي لا اختيار للإنسان فيه ، فلا يذم عليه ، كما لا يذم الإنسان على كونه طويلا أو قصيرا أو أسود أو أبيض

“Hadis ini menjadi musykilah (tanda tanya bagi sebagian orang). Karena munculnya kegemukan (bisa jadi) bukan menjadi pilihan manusia. Sehingga bagaimana bisa dicela? Para ulama menjawab, maksudnya adalah mereka yang terlalu perhatian dengan sebab-sebab menjadi gemuk seperti makanan, minuman, dan kemewahan. Perhatian utama mereka adalah badan dan penggemukan. Adapun gemuk yang bukan karena pilihannya, tidaklah tercela sebagaimana tidak tercela pula orang yang tinggi, pendek, hitam, atau putih.” (Majmu’ Fatawa, 10: 1055)

An-Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan bahwa gemuk yang tercela bukanlah semata-mata gemuk secara alami SAJA, tetapi terkait dengan sikap makan dan minum yang berlebihan. Beliau Rahimahullah berkata

وليس معناه أن يتمحضوا سمانا. قالوا: والمذموم منه من يستكسبه. وأما من هو فيه خلقة فلا يدخل في هذا، والمتكسب له هو المتوسع في المأكول والمشروب زائدا على المعتاد.

“Maknanya bukan murni menjadi gemuk. Para ulama menjelaskan bahwa yang tercela yaitu yang mengusahakan menjadi gemuk. Adapun yang gemuk secara alami (dari awal), tidak termasuk dalam hadits ini. Maksudnya adalah orang yang sengaja mengusahakan gemuk dengan terlalu berlebihan makan dan minum dari ukuran normal.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 67)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan dengan tambahan, yaitu orang gemuk yang tercela karena banyak makan dan melupakan akhirat karena gaya hidupnya. Beliau Rahimahullah berkata,

يعني تعظم أجسامهم بسبب كثرة الأكل ونسيان الآخرة، يعني تعظم أجسامهم بسبب قلة إيمانهم وقلة خوفهم من الله وقلة مبالاتهم ، قد يسمن الإنسان بغير شيء، …أما السمن إذا كان عن غير إعراض فإنه لا يضر الإنسان، لكن إذا كان عن غفلة وإعراض فهذا هو المصيبة، نسأل الله العافية.

“Yaitu badan mereka besar (gemuk) karena banyak makan dan melupakan akhirat. Badan mereka gemuk karena sebab sedikitnya iman dan rasa takur kepada Allah serta sedikitnya kepedulian terhadap hal tersebut … Adapun gemuk yang tidak menyebabkan berpaling, maka tidak membahayakan manusia. Akan tetapi, jika menyebabkan lalai dan berpaling, ini adalah maksiat.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/3881)

Kesimpulan:

1. Hadits dengan redaksi “Allah membenci orang gemuk” adalah tidak shahih.

2. Ulama menjelaskan bahwa gemuk yang tercela adalah gemuk yang terjadi karena terlalu banyak makan dan minum, terlalu banyak santai serta lalai dengan akhirat, bukan gemuk yang menjadi bawaan lahir atau sekedar alasan gemuk saja menjadi tercela.

Demikian, semoga bermanfaat.

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68980-allah-membenci-orang-yang-gemuk.html

Apakah Dosa Zina Bisa Diampuni Allah?

Di antara perkara yang banyak ditanyakan oleh sebagian masyarakat adalah mengenai dosa zina. Dalam Islam, berzina termasuk dosa besar sehingga pelakunya wajib bertaubat kepada Allah. Jika seseorang bertaubat kepada Allah dari dosa zina, apakah bisa diampuni oleh Allah? (Baca: Benarkah Dosa Riba Lebih Berat dari Berzina dengan Ibu Kandung?)

Jika seseorang pernah melakukan zina, baik sekali atau berulang-ulang, kemudian dia bertaubat dengan sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah, maka dosanya sangat terbuka untuk diampuni. Meskipun dia tidak mendapatkan hukuman zina di dunia, misalnya, namun hal itu tidak menghalangi dosanya untuk diampuni.

Hal ini karena satu-satunya dosa yang tidak bisa diampuni oleh Allah adalah dosa syirik. Selain itu, termasuk dosa, sangat terbuka harapan untuk diampuni oleh Allah jika pelaku zina benar-benar bertaubat. Yaitu, menyesali perbuatannya, berhenti tidak melakukan zina lagi, dan berkomitmen tidak akan mengulangi perbuatan zina tersebut sampai kapanpun.

Ini sebagaimaan disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim berikut;

فهذان الحديثان مع نظائرهما في الصحيح مع قول الله عز وجل : إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء مع إجماع أهل الحق على أن الزاني والسارق والقاتل وغيرهم من أصحاب الكبائر غير الشرك ، لا يكفرون بذلك ، بل هم مؤمنون ناقصو الإيمان . إن تابوا سقطت عقوبتهم ، وإن ماتوا مصرين على الكبائر كانوا في المشيئة . فإن شاء الله تعالى عفا عنهم وأدخلهم الجنة أولا ، وإن شاء عذبهم ، ثم أدخلهم الجنة

Kedua hadis ini dan hadis-hadis semisal yang shahih beserta firman Allah; Sesunggguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain itu bagi orang yang dikehendaki-Nya, beserta kesepakatan para ulama bahwa orang yang zina, orang yang mencuri, orang yang membunuh, dan lainnya yang melakukan dosa besar bukan perbuatan syirik. Mereka tidak kafir dengan melakukan perbuatan itu. Bahkan mereka adalah orang-orang beriman yang keimanannya kurang.

Oleh karena itu, jika mereka bertaubat, maka hukumannya gugur. Jika mereka terus-menerus melakukan dosa besar, maka mereka diserahkan pada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan mengampuni dan memasukkan mereka ke surga. Jika Dia berkehendak, maka Dia akan menyiksa dan kemudian memasukkan mereka ke surga.

BINCANG SYARIAH

Shalat Yang Tidak Khusyuk Sama Sekali, Apakah Batal?

Orang yang shalatnya tidak khusyuk sama sekali, pikirannya sibuk memikirkan hal-hal yang lain ketika shalat, apakah shalatnya batal?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan masalah ini, beliau mengatakan:

هذا على كل حال في خطر، والمطلوب من المصلي أن يخشع في صلاته، ويقبل عليها؛ لأن الله قال: قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ [المؤمنون:1-2]، فالإقبال على الصلاة والخشوع فيها من أهم المهمات

Ala kulli hal, keadaan seperti ini berbahaya. Yang dituntut dari orang yang shalat adalah hendaknya ia khusyuk dalam shalatnya, dan benar-benar memfokuskan dirinya untuk shalat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Sungguh beruntung orang yang beriman. Yaitu yang khusyuk dalam shalatnya” (QS. Al Mukminun: 1-2). Maka konsentrasi dalam shalat, dan khusyuk di dalamnya, merupakan perkara yang sangat penting.

 وهو روحها، فينبغي العناية بالخشوع والطمأنينة في الصلاة، في سجوده، في ركوعه، بين السجدتين، بعد الركوع حين يعتدل، يخشع ويطمئن ولا يعجل، سواء كان رجل أو امرأة جميعاً

Khusyuk itu adalah ruh dari shalat. Maka sudah semestinya memberikan perhatian yang besar untuk khusyuk dan tuma’ninah dalam shalatnya, sujudnya, rukuknya, duduk di antara dua sujudnya, i’tidalnya. Hendaknya ia juga tuma’ninah dan tidak tergesa-gesa dalam shalatnya. Baik laki-laki, maupun wanita.

وإذا أخل بالخشوع على وجه يكون معه النقر للصلاة وعدم الطمأنينة تبطل الصلاة، أما إذا كان يطمئن فيها، ولكن قد تعتريه بعض الهواجيس، وبعض النسيان هذا لا يبطل الصلاة

Namun jika seseorang tidak khusyuk dalam shalatnya sampai level naqr (tidak sempurna sujudnya) dan tidak tuma’ninah, maka batal shalatnya. Adapun jika tidak khusyuk namun masih tuma’ninah, dan dalam sebagian shalatnya ia bicara dalam hati dan lupa untuk konsentrasi, maka ini tidak membatalkan shalat.

لكن ليس له من صلاته إلا ما عقل منها، وما خشع فيه وأقبل عليه، يكون له ثواب ذلك، وما فرط فيه يفوته ثوابه، فينبغي للعبد أن يقبل على الصلاة، وأن يطمئن فيها ويخشع فيها لله، حتى يكمل ثوابه، ولكن لا تبطل إلا إذا أخل بالطمأنينة

Namun shalat yang didapatkannya sekadar bagian shalat yang ia konsentrasi dan khusyuk di dalamnya. Itulah bagian pahala shalat yang ia dapatkan. Adapun bagian shalat yang ia tidak khusyuk, maka ia tidak dapat pahalanya*). Maka sudah semestinya bagi kita untuk konsentrasi di dalam shalat, tuma’ninah, dan khusyuk kepada Allah. Sehingga mendapatkan pahala yang sempurna. Namun tidak sampai batal shalatnya, kecuali jika tidak tuma’ninah.

Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi (8/9-11).

Wallahu a’lam.

***

*) Terdapat riwayat dari ‘Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الرَّجلَ لينصرِفُ ، وما كُتِبَ لَه إلَّا عُشرُ صلاتِهِ تُسعُها ثُمنُها سُبعُها سُدسُها خُمسُها رُبعُها ثُلثُها ، نِصفُها

Ada orang yang ketika selesai shalat, tidaklah ditulis pahala shalatnya kecuali hanya 1/10 nya, atau 1/9 nya, atau 1/8 nya, atau 1/7 nya, atau 1/6 nya, atau 1/5 nya, atau 1/4 nya, atau 1/3 nya atau setengahnya” (HR. Abu Daud no. 796, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Penyusun: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14004-shalat-yang-tidak-khusyuk-sama-sekali-apakah-batal.html

Berlebihan dalam Beragama; Trik Iblis Menyesatkan Manusia

Cap iblis sebagai pembangkang setelah terang-terangan menolak perintah Tuhan supaya bersujud kepada Nabi Adam menjadi tantangan tersendiri bagi manusia. Sebab setelah itu, iblis memproklamirkan diri sebagai musuh utama manusia sampai hari kiamat karena permintaannya untuk hidup abadi dikabulkan. Kerjaannya tidak lain adalah menjerumuskan keturunan Adam ke dalam lembah kesesatan. Kata iblis, “Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua”. (QS. al Hijr: 39).

Usaha penyesatan iblis itu dilakukan dengan seribu cara, mulai dari yang halus sampai yang kasar. Salah satunya ghuluw atau berlebihan dalam beragama yang menjadi sumber sikap fanatisme. Sikap ini, apabila telah akut dalam pribadi seseorang akan menjadi virus berbahaya, apalagi fanatisme berlebihan dalam agama, dan lebih berbahaya lagi kultus individu. Apabila berlarut-larut akan mengkristal menjadi kebutaan dan ketulian sehingga yang bersangkutan menjadi individu yang tertutup dan susah untuk diajak berdialog.

Ghuluw sangat berbahaya karena menjadi model kesesatan yang sulit disembuhkan. Beda jika seseorang hanya sesat karena keliru memahami teks-teks keagamaan, ia lebih mudah diluruskan dengan penyadaran intelektual. Tapi apabila ghuluw sudah merasuki kalbu manusia menjadi sulit dikembalikan ke jalan asal keagamaannya yang “waras”. Inilah salah satu trik iblis menyesatkan manusia.

Hari ini dan kemaren, media memberitakan penyerangan terhadap ustad. Mungkin saja kasus kriminal biasa . Namun, penyebabnya yang paling mungkin karena soal materi ceramah yang disampaikan tidak sesuai dengan anutan penyerang atau aktor dibaliknya. Kalau kemungkinan kedua yang menjadi penyebabnya, maka, ini jelas sebuah kegilaan sikap beragama.

Fenomena kegilaan seperti ini jelas dilakukan oleh orang yang tidak waras dan bukan oleh orang yang waras. Benar, ini akibat ghuluw yang telah merasuki hati pelaku. Untuk itu, hal seperti ini harus diungkap seterang-terangnya karena akibatnya sangat serius. Persatuan dan solidaritas sosial-keagamaan yang selama ini terbangun dengan indah akan hancur. Dan jelas ini mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa.

Nabi Muhammad sebagai juru selamat manusia kemudian mewanti-wanti dan memberi solusi terlepas dari perangkap ghuluw. Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda, “agama itu mudah, jangan berlebih-lebihan dalam agama, karena jika demikian agama yang akan menundukkanmu (menjadi fanatik)”.

Celakanya, masih banyak yang terpedaya oleh ghuluw meski Nabi telah mengingatkan. Mereka membentuk ruang-ruang pembenaran yang dipaksakan atas nama agama. Mereka menganggap mencaci, menghina, memaksa, mengintimidasi, mempersekusi, menuduh kafir dan sejenisnya sebagai pekerjaan agama yang bernilai pahala.

Lebih jauh, tentu akan berakibat pada tumbuhnya sikap intoleransi. Selanjutnya bisa ditebak, pasti kekacauan dan bahkan kekerasan pasti lahir sebagai reaksi atas perbedaan yang ada dan atas kenyataan-kenyataan sosial yang semakin berkembang. Dan itu, bila dibiarkan terus berlanjut akan menjadi petaka bagi bangsa Indonesia yang plural; agama, etnis dan golongan.

Solusinya, “Yang waras jangan mengalah”. Dalam arti terus melakukan upaya membentengi umat Islam dari virus ghuluw. Maka konsep moderasi beragama seperti digagas NU dan Muhammadiyah harus terus ditingkatkan gairahnya sebagai basis perjuangan menjaga keutuhan bangsa dari rongrongan orang-orang “gila bergama” yang mafsadatnya menjadi bom waktu dan kapan saja bisa meledak menghancurkan tatanan kedamaian di negeri ini.

ISLAM KAFFAH

Membaca Alquran Tanpa Suara, Tetap Dapat Pahala?

Sebagian umat Islam saat membaca Alquran tanpa menggerakkan bibir, serta tidak memunculkan suara. Pertanyaan, apakah hal tersebut tetap mendapat pahala?

Menjawab pertanyaan tersebut, Sekretaris lembaga Fatwa Mesir Dar al Ifta, Ahmad Mamduh menjelaskan, jika bibirnya tidak bergerak maka tidak disebut dengan membaca, melainkan hanya sebagai salah satu jenis dzikir hati, dan orang tersebut mendapatkan pahala karenanya.

Ahmad Mamduh menunjukkan bahwa bacaan Alqur’an itu perlu untuk menggerakkan bibir. Menurut Imam Syafi’I dan Maliki, kata dia, membuat jiwa terdengar itu hanya sebagian dari menggerakkan bibir.

Ahmad Mamduh mencontohkan dalam sebuah video di saluran Dar Al Ifta di YouTube, bahwa bacaan Alqur’an seseorang minimum adalah menggerakkan bibirnya. Dia menjelaskan bahwa membaca Alqur’an di hati atau dzikir di hati tidak berlaku dalam hadits nabi berikut ini.

Rasulullah Saw bersabda,

من قرأ حرفًا من كتابِ اللهِ فله به حسنةٌ، والحسنةُ بعشرِ أمثالِها لا أقولُ (الـم) حرفٌ ولكنْ (ألفٌ) حرفٌ و(لامٌ) حرفٌ و(ميمٌ) حرفٌ

“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Alqur’an maka baginya satu kebaikan, dan kebaikan itu akan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan bahwa ألم (alif laam mim) itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.”

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang membaca Alqur’an tanpa bersuara tidak disebut dengan membaca Alqur’an, tapi hanya sekadar berzikir dalam hati atau tafakkur, dan itu tak diganjar dengan pahala baca yang bertingkat-tingkat dari tingkatan 10 kebaikan setiap hurufnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Islam Memberikan Kemudahan Beribadah, Ini Penjelasannya

Kemudahan dalam beribadah untuk memberikan keringanan pada hamba

Dalam syariat Islam, ibadah merupakan ketundukan atau ketaatan seorang hamba secara khusus kepada Allah SWT. Setiap keutamaan dari ibadah yang ditaklifkan kepada umat Islam pasti akan kembali kepada sang pelaku ibadah itu sendiri. 

Namun, Allah sama sekali tidak ingin membebani para hamba-Nya dengan tugas-tugas ibadah tersebut. Sebaliknya, Allah menginginkan keutamaan ibadah yang terkandung di dalamnya bisa kembali kepada hamba-Nya tanpa membuat sang hamba merasakan kepayahan.

Nabi Muhammad SAW juga telah mengingatkan kepada para sahabatnya untuk tidak terlalu memaksakan dalam melaksanakan ibadah. Hal ini disampaikan Nabi kepada salah satu sahabatnya yang bernama Abdullah bin Amr bin Al Ash. 

Dikutip dari buletin Tanwirul Afkar terbitan Ma’had Aly Sukorejo, Abdullah bin Amr bin Al Ash dikenal sebagai ahli ibadah. Namun, diceritakan bahwa dia sangat menyesal ketika usianya telah lanjut. Bagaimana tidak, ketika dia masih muda, Rasulullah SAW telah memberikan berbagai macam keringanan dalam beribadah kepadanya namun dia tolak.

Suatu saat Nabi SAW. bertanya kepadanya: “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan tidak pernah berbuka?” ‘Abdullah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Nabi pun memberi saran, “Cukuplah berpuasa tiga hari dalam sebulan.”

Merasa masih muda dan memiliki kemampuan, dia pun menanggapi saran Nabi: “Aku sanggup melakukan lebih banyak dari itu.”

Kemudian Nabi SAW memberikan saran yang lebih ringan lagi, “Kalau begitu, kamu cukup berpuasa dua hari dalam seminggu.” Lagi-lagi Abdullah menjawab: “Aku sanggup lebih banyak lagi.” 

Rasulullah kembali berkata, “Kalau begitu, lakukanlah puasa yang lebih utama, yaitu puasa Nabi Daud (puasa sehari lalu berbuka sehari).” 

Setelah diam sejenak, Nabi kembali bertanya, “Benarkah kamu membaca Alquran sepanjang malam sampai tidak tidur?” Abdullah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah menimpali, “Perbuatanmu itu baik sekali. Tetapi aku khawatir kamu akan jenuh membaca Alquran, terutama bila kamu telah tua nanti.” 

Nabi memberi saran, “Sebaiknya kamu membaca Alquran sampai khatam selama satu bulan. Kalau kamu bisa lebih cepat, khatam dalam sepuluh hari. Dan kalau bisa lebih cepat lagi, khatam dalam tiga hari.” Abdullah diam dan berusaha memahami saran-saran Nabi tersebut. 

Tak lama kemudian, Rasulullah SAW pun mencontohkan dirinya sendiri, “Aku berpuasa dan berbuka. Aku sholat dan tidur. Aku menikahi perempuan. Ketahuilah, tubuhmu juga punya hak untuk istirahat. Maka siapa yang tidak suka sunahku, tidak akan termasuk dalam golongan umatku.” 

Abdullah baru menyadari saran-saran dari Rasulullah tersebut ketika usianya sudah mulai lanjut dan tulang-tulangnya mulai renta, sampai dia kesulitan mempertahankan kesetiaannya pada amal-amalnya saat muda dahulu, dan dia berkata, “Andai saja dahulu aku terima kemudahan-kemudahan dari Rasulullah SAW.” 

Jika kita telusuri lebih jauh, sebenarnya apa yang disarankan oleh Rasulullah kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Alquran yang mengisyaratkan bahwa alih-alih menghendaki kesukaran, Allah justru menghendaki kemudahan bagi para hamba-Nya sehingga Dia tidak membebani seseorang melebihi batas kesanggupan orang tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT:

 لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِه وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS Al Baqarah 286)     

KHAZANAH REPUBLIKA

Rezeki Seret, Perbanyak Baca Surat Al Fatihah

Pandemi Covid-19 telah berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat. Di masa-masa ini, sebagian masyarakat mungkin masih merasa sulit untuk mendapatkan rezeki, meskipun telah telah berusaha secara maksimal.

Karena itu, umat Islam disarankan untuk mengamalkan surat Alquran, salah satunya adalah dengan membaca surat al-Fatihah. Dengan mengamalkan surat yang disebut ummul kitab ini, rezeki umat Islam akan diberi kelancaran.

“Jika rezeki Anda terasa seret, tidak berkah dan kehidupan Anda terasa sulit dan sumpek, silahkan mengamalkan surat al-Fatihah secara istikamah,” kata Muhammad Zaairul Haq dalam buku Rahasia Keutamaan Surat Alquran terbitan Rene Islam, 2021.

Menurut Zaairul Haq, salah satu keutamaan surat al-Fatihah adalah untuk memperlancar rezeki, mendapatkan berkah, dan lain sebagainya. Adapun caranya yaitu dengan membaca surat al-Fatihah sebanyak 20 kali setiap kali selesai melaksanakan sholat fardhu.

Dalam kitab Khazinatul Asrar juga disebutkan amat banyak keutamaan surat al-Fatihah ini. Menurut Zaairul Haq, lebih dari 20 keutamaan akan didapatkan para hamba Allah yang bersedia mengamalkan dengan tata cara pengamalan tersebut.

“Di antara keutamaan itu adalah akan diluaskan rezekinya, akan mendapatkan kemudahan dalam hidup, akan diijabah doa dan hajatnya, dan lain sebagainya,” jelas Zaairul Haq.

Cara lain mengamalkan surat al-Fatihah untuk meluaska rezeki dan mempermudah setiap urusan adalah dengan bangun pada waktu sahur. Setelah itu, kemudian mengambil wudhu dan diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah sebanyak 41 kali.

“Akan lebih baik apabila dilanjutkan dengan sholat tahajut dan sholat hajat,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA