Hukum Membedah Cadaver dalam Islam

Bagi mahasiswa kedokteran, praktik cadaver atau bedah anatomi merupakan pekerjaan yang sudah lazim dilakukan sebagai objek belajar. Permasalahan ini menjadi menarik untuk dibahas melihat dari betapa besarnya penghormatan Islam terhadap jenazah manusia. Lantas, bagaimanakah hukum membedah cadaver dalam Islam?

Pada prinsipnya, praktik apa pun yang dapat menyakiti terhadap jenazah manusia selain pemakaman tidak diperbolehkan. Hal ini, menunjukkan betapa besarnya penghormatan Islam terhadap manusia, baik ketika hidup, maupun sesudah wafat sebagaimana isyarat Surat Al-Isra ayat 70 berikut,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya : “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Selain itu, disebutkan juga dalam hadits riwayat Abu Dawud keterangan bahwa pematahan tulang jenazah disamakan dengan pematahan tulangnya ketika masih dalam kondisi hidup. Sebagaimana dalam keterangan berikut ini,

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِم

Artinya:  “Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Pematahan tulang jenazah seperti pematahan tulangnya ketika ia hidup.”

Namun demikian, praktek pembedahan terhadap jenazah dapat dibenarkan apabila dalam kondisi darurat atau adanya hajat seperti dalam rangka pembelajaran untuk ilmu kedokteran. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 4, halaman 160 berikut,

يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول فى أمر الجناية للأدلة الدالة على وجوب العدل فى الأحكام حتى لا يظلم بريئ ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم

Artinya : “Boleh melakukan otopsi jenazah ketika sangat dibutuhkan untuk tujuan medis, atau untuk mengetahui sebab kematian, menentukan bentuk pidana yang diduga karena dibunuh atau lainnya jika hal itu bisa memberikan bukti yang valid dalam masalah hukum sehingga orang yang salah tidak terzalimi dan pelaku kriminal tidak bisa menghindar dari hukuman.”

Kebolehan melakukan pembedahan ini tidak berlaku secara bebas, melainkan hanya boleh membedah anggota yang dibutuhkan saja. Pembedah juga masih memiliki kewajiban untuk memenuhi kehormatan mayat, dengan cara menutupi semua anggota tubuhnya, mengkafani, dan mengembalikannya seperti semula setelah selesai dalam proses pembelajaran. Sebagaimana lanjutan dari keterangan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut,

ينبغي عدم التوسع في التشريح لمعرفة وظائف الأعضاء وتحقيق الجنايات، والاقتصار على قدر الضرورة أو الحاجة، وتوفير حرمة الإنسان الميت وتكريمه بمواراته وستره وجمع أجزائه وتكفينه وإعادة الجثمان لحالته بالخياطة ونحوها بمجرد الانتهاء من تحقيق الغاية المقصودة.

Artinya : “Tidak diperkenankan melegalkan otopsi secara bebas untuk mempelajari sistem kerja organ tubuh dan untuk mengungkap pembunuhan, hanya diperbolehkan otopsi sebatas pada anggota yang dibutuhkan, memenuhi kehormatan mayat, dan memuliakannya dengan cara menutupi semua anggota tubuhnya, mengkafani, mengembalikannya seperti semula dengan cara menjahit dan sebagainya setelah selesai dan berhasil apa yang dimaksudkan.”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hukum membedah cadaver dapat dibenarkan apabila dalam kondisi darurat atau adanya hajat seperti dalam rangka pembelajaran untuk ilmu kedokteran. Tetapi, Kebolehan ini tidak berlaku secara bebas, melainkan hanya boleh membedah anggota yang dibutuhkan saja. Pembedah juga masih memiliki kewajiban untuk memenuhi kehormatan mayat, dengan cara menutupi semua anggota tubuhnya, mengkafani, dan mengembalikannya seperti semula setelah selesai dalam proses pembelajaran.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Definisi Orang Gila yang Tidak Terkena Beban Syariat

Dalam pandangan hukum syar’i, memvonis seseorang dengan vonis gila bukanlah perkara mudah dan harus berhati-hati. Karena orang yang gila itu tidak terkena beban syariat. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفعَ القلَمُ عن ثلاثةٍ : عنِ الصَّبيِّ حتَّى يبلغَ ، وعن المجنونِ حتَّى يُفيق ، وعنِ النَّائمِ حتَّى يستيقظَ

“Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 2: 5)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

من لا عقل له فإنه لا تلزمه الشرائع، ولهذا لا تلزم المجنون، ولا تلزم الصغير الذي لم يميز، بل ولا الذي لم يبلغ أيضاً، وهذا من رحمة الله تعالى، ومثله أيضاً المعتوه الذي أصيب بعقله على وجه لم يبلغ حد الجنون

“Orang yang tidak berakal, maka tidak terkena kewajiban syariat. Oleh karena itu, (kewajiban syariat) tidak berlaku untuk orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, bahkan juga yang belum baligh. Ini adalah bagian dari rahmat Allah Ta’ala. Demikian juga, orang yang pikun yang terganggu akalnya walaupun belum sampai level gila.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 12: 15-16)

Ketika seseorang dikatakan gila, maka dia tidak wajib salat, tidak wajib puasa, tidak boleh berjual-beli, tidak boleh bermuamalah dengan hartanya, tidak boleh akad nikah, dan lain-lain. Ini semua adalah konsekuensinya.

Apa patokan gila?

Definisi junun atau gila, disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,

أَنَّهُ اخْتِلاَل الْعَقْل بِحَيْثُ يَمْنَعُ جَرَيَانَ الأَْفْعَال وَالأَْقْوَال عَلَى نَهْجِهِ إِلاَّ نَادِرًا. وَقِيل: الْجُنُونُ اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الْمُمَيِّزَةِ بَيْنَ الأَْشْيَاءِ الْحَسَنَةِ وَالْقَبِيحَةِ الْمُدْرِكَةِ لِلْعَوَاقِبِ بِأَنْ لاَ تَظْهَرَ آثَارُهَا، وَأَنْ تَتَعَطَّل أَفْعَالُهَا. وَعَرَّفَهُ صَاحِبُ الْبَحْرِ الرَّائِقِ بِأَنَّهُ: اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الَّتِي بِهَا إِدْرَاكُ الْكُلِّيَّاتِ

“Gila adalah terganggu akalnya, sehingga seseorang tidak bisa berbuat dan berkata berdasarkan itikad yang benar kecuali sedikit saja.

Definisi lain, gila adalah rusaknya kekuatan pikiran untuk membedakan antara akibat baik dan akibat buruk dari suatu perbuatan. Yaitu karena ia tidak tahu bagaimana akibat dari suatu perbuatan yang bahaya, atau dia meninggalkan suatu perbuatan yang jelas baik baginya.

Penulis kitab Al-Bahrur Ar-Ra’iq mendefinisikan bahwa gila adalah rusaknya kekuatan akal secara menyeluruh sehingga tidak bisa memahami sesuatu.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16: 99)

Dan salah satu indikasi gila, dalam pandangan syar’i, adalah tidak bisa diajak bicara dengan benar. Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan,

فجعل الشارع البلوغ علامة لظهور العقل و فهم الخطاب. و من لا يفهم لا يصح تكليفه لعدم الامتثال

“Syariat menjadikan baligh sebagai indikasi untuk munculnya akal dan kemampuan memahami perkataan. Siapa saja yang tidak memahami perkataan (orang lain), maka tidak sah untuk diberi beban syariat, karena ia tidak bisa memunculkan niat untuk menaati syariat.” (Syarhul Waraqat fi Ushulil Fiqhi, hal. 80)

Dari beberapa penjelasan di atas, indikasi gila menurut penjelasan para ulama adalah:

* Tidak bisa berkata atau berbuat berdasarkan itikad yang benar.

* Tidak tahu akibat dari suatu perbuatan yang membahayakan.

* Tidak pernah mengerjakan perbuatan yang jelas baik, seperti mandi, makan, dan memakai pakaian.

* Tidak paham apa-apa sama sekali.

* Tidak paham perkataan orang lain.

Dan ada beberapa pembahasan turunan dari al-junun (gila), di antaranya:

al-‘atah (pikun)

ad-dahasy (linglung)

as-safah (idiot)

Yang ini semua ada babnya masing-masing.

Ringkas kata, jangan sampai memvonis seseorang itu gila padahal dia tidak gila. Karena konsekuensinya berat. Jika seseorang disebut gila, tapi dibiarkan berjual-beli, akad nikah, dan lainnya, maka ini aneh!

Dan tidak sekedar pernah periksa atau dirawat di RSJ lalu otomatis gila. Dan juga tidak sekedar orang-orang mengatakan “si Fulan gila” lalu dia otomatis gila dalam pandangan syariat. Namun, perlu melihat batasan-batasan syariat dalam hal ini.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69431-definisi-orang-gila-yang-tidak-terkena-beban-syariat.html

Tata Cara Mengqadha Shalat yang Terlewat

Shalat lima waktu adalah kewajiban setiap Muslim, bahkan merupakan rukun Islam. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim yang mukallaf (sudah terkena beban syariat) meninggalkan shalat lima waktu dan tidak boleh melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya. Namun apa yang dilakukan seorang Muslim jika ia meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya? Adakah qadha shalat? Kita simak pembahasan ringan berikut ini.

Hukum mengqadha shalat yang terlewat

Mengqadha shalat artinya mengerjakan shalat di luar waktu sebenarnya untuk menggantikan shalat yang terlewat. Apakah wajib mengqadha shalat? Para ulama merinci menjadi dua keadaan:

1. Tidak sengaja meninggalkan shalat

Dalam keadaan tidak sengaja meninggalkan shalat, seperti karena ketiduran, lupa, pingsan, dan lainnya, maka para ulama bersepakat bahwa wajib hukumnya mengqadha shalat yang terlewat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من نام عن صلاة أو نسيها؛ فليصلها إذا ذكرها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “orang yang hilang akalnya karena tidur, atau pingsan atau semisalnya, ia wajib mengqadha shalatnya ketika sadar” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/95, Asy Syamilah).

Dan tidak ada dosa baginya jika hal tersebut bukan karena lalai, karena shalat yang dilakukan dalam rangka qadha tersebut merupakan kafarah dari perbuatan meninggalkan shalat tersebut. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

barangsiapa yang lupa shalat, atau terlewat karena tertidur, maka kafarahnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat” (HR. Muslim no. 684).

Dari sini juga kita ketahui tidak benar anggapan sebagian masyarakat awam, bahwa jika bangun kesiangan di pagi hari maka tidak perlu shalat shubuh karena sudah lewat waktunya. Ini adalah sebuah kekeliruan!

2. Sengaja meninggalkan shalat

Para ulama berselisih panjang mengenai orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja apakah keluar dari Islam ataukah tidak? Silakan simak artikel “Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir” untuk memperluas hal ini.

Dan para ulama juga berselisih pendapat apakah shalatnya wajib diqadha ataukah tidak. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan shalatnya tidak wajib di-qadha. Imam Ibnu Hazm Al Andalusi mengatakan:

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا، فَلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ؛ لِيُثْقِلَ مِيزَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

“adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka ia tidak akan bisa mengqadhanya sama sekali. Maka yang ia lakukan adalah memperbanyak perbuatan amalan kebaikan dan shalat sunnah. Untuk meringankan timbangannya di hari kiamat. Dan hendaknya ia bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Beliau juga mengatakan:

بُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ} [الماعون: 4] {الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ} [الماعون: 5] وقَوْله تَعَالَى: {فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا} [مريم: 59] فَلَوْ كَانَ الْعَامِدُ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ مُدْرِكًا لَهَا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا لَمَا كَانَ لَهُ الْوَيْلُ، وَلَا لَقِيَ الْغَيَّ؛ كَمَا لَا وَيْلَ، وَلَا غَيَّ؛ لِمَنْ أَخَّرَهَا إلَى آخَرِ وَقْتِهَا الَّذِي يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا. وَأَيْضًا فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِكُلِّ صَلَاةِ فَرْضٍ وَقْتًا مَحْدُودَ الطَّرَفَيْنِ، يَدْخُلُ فِي حِينٍ مَحْدُودٍ؛ وَيَبْطُلُ فِي وَقْتٍ مَحْدُودٍ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا قَبْلَ وَقْتِهَا وَبَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا بَعْدَ وَقْتِهَا؛ لِأَنَّ كِلَيْهِمَا صَلَّى فِي غَيْرِ الْوَقْتِ؛ وَلَيْسَ هَذَا قِيَاسًا لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، بَلْ هُمَا سَوَاءٌ فِي تَعَدِّي حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [الطلاق: 1] . وَأَيْضًا فَإِنَّ الْقَضَاءَ إيجَابُ شَرْعٍ، وَالشَّرْعُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ

“bukti benarnya pendapat kami adalah firman Allah Ta’ala: ‘celakalah orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya‘ (QS. Al Maun: 4-5). Dan juga firman Allah Ta’ala: ‘dan kemudian datanglah setelah mereka orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat dan mereka akan menemui kesesatan‘ (QS. Maryam: 59). Andaikan orang yang sengaja melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya bisa mengqadha shalatnya, maka ia tidak akan mendapatkan kecelakaan dan kesesatan. Sebagaimana orang yang melalaikan shalat namun tidak keluar dari waktunya tidak mendapatkan kecelakaan dan kesesatan.

Selain itu, Allah Ta’ala telah menjadikan batas awal dan akhir waktu bagi setiap shalat. Yang menjadikannya sah pada batas waktu tertentu dan tidak sah pada batas waktu tertentu. Maka tidak ada bedanya antara shalat sebelum waktunya dengan shalat sesudah habis waktunya. Karena keduanya sama-sama shalat di luar waktunya. Dan ini bukanlah mengqiyaskan satu sama lain, melainkan merupakan hal yang sama, yaitu sama-sama melewati batas yang ditentukan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang melewati batasan Allah sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri‘ (QS. Ath Thalaq: 1).

Selain itu juga, qadha shalat adalah pewajiban dalam syariat. Dan setiap yang diwajibkan dalam syariat tidak boleh disandarkan kepada selain Allah melalui perantara lisan Rasulnya” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Cara mengqadha shalat

Dari sisi waktu, mengqadha shalat harus dilakukan segera ketika teringat dari lupa atau tersadar dari hilang akalnya. Tidak boleh ditunda-tunda, harus segera dikerjakan sesegera mungkin. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نامَ عن صلاةٍ فليصلِّها إذا ذَكرَها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” (HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Bagaimana jika shalat yang terlewat lebih dari satu? Apakah diqadha sekaligus atau setiap shalat di qadha pada waktunya, semisal shalat zhuhur diqadha pada waktu zhuhur, shalat ashar pada waktu ashar, dst.? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab pertanyaan ini:

يصليها جميعا لان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لما فاتته صلاة العصر في غزوة خندق قضىها قبل المغرب وهكذا يجب على كل انسان فاتته الصلوات ان يصليها جميعا و لا يأخرها

“dikerjakan semuanya sekaligus. karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika terlewat beberapa shalat pada saat perang Khandaq beliau mengerjakan semuanya sebelum Maghrib. Dan demikianlah yang semestinya dilakukan setiap orang yang terlewat shalatnya, yaitu mengerjakan semuanya sekaligus tanpa menundanya” (Sumber: klik disini).

Dalam hadits di atas juga Nabi mengatakan فليصلها  dhamir ها mengacu pada kata صلاة sebelumnya. Ini menunjukkan shalat yang dikerjakan dalam rangka qadha sama persis seperti shalat yang ditinggalkan dalam hal sifat dan tata caranya. Misalnya, jika seseorang terluput shalat shubuh karena tertidur, maka ia wajib mengqadha dengan mengerjakan shalat yang sama dengan shalat shubuh.

Dan tidak ada lafal niat khusus yang perlu diucapkan dalam mengqadha shalat. Niat adalah perbuatan hati, tidak perlu dilafalkan. Andaikan niat mengqadha shalat perlu dilafalkan, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah mengajarkannya kepada kita. Lebih luas mengenai pelafalan niat, silakan simak artikel “Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah”.

Dengan demikian, ketika seseorang baru teringat bahwa ia telah melewatkan shalat, atau baru terbangun dari tidur sedangkan waktu shalat sudah terlewat, yang ia lakukan adalah segera berwudhu, lalu mencari tempat shalat yang bersih dan suci, menghadap kiblat kemudian mengerjakan shalat dengan tata cara dan sifat yang persis sebagaimana shalat yang ia tinggalkan. Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, maka setelah salam, ia kembali berdiri untuk meng-qadha shalat selanjutnya.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

Anda tidak pernah shalat? Baca artikel berikut ini.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/25855-qadha-shalat.html

Alasan kenapa Ibadah Haji Disyariatkan bagi yang Istithaah

Allah sudah menegaskan bahwa melaksanakan perjalanan ke Baitullah untuk Ibadah haji hanya bagi yang mampu. Penegasan ini Allah SWT abadikan dalam surah Ali Imran ayat 97 yang artinya:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

 H Fakhrizal Idris, Lc dalam bukunya Haji dan Ibadah menyampaikan, Nabi SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda, “Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut.” (HR. Muslim).

Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadits di atas? Katanya, ulama kita menjelaskan bahwamampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.

Kemampuan harta di sini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan itu ketika sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya yang ukuran berapa banyak harta yang ditinggalkan adalah ampai dia kembali. 

“Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut) atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang,” katanya.

Demikian pula sarana penginapan dan makanan, harus disesuai dengan kondisi dan kebutuhan seseorang. Segala puji bagi Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-ambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.

“Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia, maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik),” katanya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Muslim). 

Yang dimaksud dengan harta halal di sini adalah harta yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan harta yang haram adalah harta yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya. 

Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.

Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji. Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah [pemberian] atau hadiah. 

Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan [istitha’ah] yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan [tidak diterima pula] sedekah dari [hasil] ketidakjujuran [mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin].” [HR. Muslim].

Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari [hasil] kecurangan dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari hasil kerja yang halal, sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka Allahakan menerimanya dengan tangan kanan, kemudianmengembangkannya untuk pemilik sedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, hingga sedekah itumenjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).

Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baikdari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilihberniaga di pasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.

IHRAM

Jangan Naik Haji karena Nafsu Sosial

“Terlalu banyak jemaah haji yang berangkat karena nafsu, mulai dari nafsu ekonomi, nafsu politik dan nafsu sosial. Buktinya tidak jarang orang yang berangkat haji shalat lima waktunya belum disiplin,” kata Khoirizi, di Batusangkar, Jumat (8/10).

Ia melihat masih banyak jemaah yang bacaan Alfatihahnya belum benar tapi menggebu-gebu berangkat haji dan umrah. Menurut dia, kurang baik bila calon jamaah haji bila bacaa shalatnya belum benar. Karena selama berhaji di tanah suci, menurut dia, mayoritas kegiatan adalah shalat dan melakukan ibadah dengan melafalkan ayat-ayat Alquran.

Untuk itu lanjut Khoirizi, pembimbing haji diharapkan ikut membenarkan ibadah dan bacaan shalat jamaah. Petugas haji kata dia jangan hanya fokus kepada materi manasik dan bacaan talbiyah semata. Karena pembimbing dan pembina juga bertanggungjawab terhadap sah tidaknya ibadah jemaah haji.

“Perbaiki pola dan materi manasik haji. Kita punya KBIH yang sudah ditentukan undang-undang. Kita punya pembimbing yang bersertifikat, punya penyuluh dan ustad yang bisa kita berdayakan dalam melakukan manasik haji,” ucap Khoirizi.

IHRAM

Hikmah Naik Haji dengan Jalan Kaki

Allah SWT telah memberikan isyarat bahwa akan ada di antara hamba-Nya yang menuju Baitullah (Makkah) untuk haji sambil berjalan kaki. Isyarat ini Allah SWT abadikan dalam surah al-Hajj ayat 27 yang demikian artinya:

“Dan panggilan semua manusia untuk mengerjakan Haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh….”

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al kandahlawi, mengatakan, dalam ayat ini orang-orang yang berjalan kaki di sebutkan lebih dahulu daripada orang orang yang mengendarai unta. Sebagian ulama menyimpulkan bahwa pergi haji dengan berjalan kaki lebih besar pahalanya daripada dengan menggunakan kendaraan jenis apapun.

“Lebih jauh lagi, para ulama mengatakan, orang-orang yang sudah biasa melakukan haji dengan jalan kaki, bagi mereka tidak perlu memiliki kendaraan sebelum berangkat haji,” tulis Syaikh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam kitabnya Fadhilah Haji.

Akan tetapi apabila mereka berbadan sehat dan mempunyai kekuatan, serta aman dalam perjalanannya dengan bekal makan dan minum yang mencukupi, maka Haji dengan berjalan kaki itu wajib bagi mereka. Demikian besarnya Rahmat yang dianugerahkan kepada orang-orang yang pergi haji dengan berjalan kaki sehingga hal itu telah diterangkan oleh Rasulullah SAW.

Sementara itu, Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah menerangkan, bahwa panggilan itu, supaya mereka menyaksikan, dengan mata kepala yakni menghadiri dan menyaksikan dengan mata hati sehingga mendapatkan berbagai manfaat duniawi dan ukhrawi yang besar dan banyak.

“Melalui pertemuan mereka satu sama lain membicarakan serta melakukan aneka aktivitas bermanfaat, serta memperoleh ketenangan batin dengan pengampunan dan ganjaran Ilahi atas ketulusan mereka mengunjungi rumah-Nya,” katanya.

Belum lama ini seorang pria Inggris keturunan Irak Kurdistan mencoba berjalan kaki dari Inggris ke Makkah, Arab Saudi dengan mendorong gerobak buatannya. Dia berencana bisa melaksanakan ibadah haji tahun depan.

Adam Mohammed (50 tahun) telah melakukan perjalanan sejauh 6.500 kilometer dari Wolverhampton ke Makkah. 

Sejauh ini, ia telah mencapai Belanda. Mohammed diperkirakan akan melakukan perjalanan melalui Jerman, Republik Ceko, Bulgaria, Turki, dan Suriah sebelum mencapai Yordania di mana ia akan melintasi perbatasan ke Arab Saudi.

“Suatu hari saya baru saja bangun tidur dan saya berkata akan berjalan menuju Makkah untuk melakukan haji, itulah yang saya lakukan,” kata Mohammed kepada Arab News.

Di sepanjang jalan, dia selalu berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberinya rahmat dan ampunan, bukan hanya untuk dirinya melainkan semua orang. Mohammed dikenal sebagai sosok yang rendah hati.

Dia sangat tekun berjalan dengan mendorong gerobaknya yang beratnya mencapai lebih dari 300 kilogram untuk perjalanan sekitar 4.200 mil atau 1.330 jam jika terus berjalan. Dilansir Al Arabiya, Rabu (1/9), ia tidak hanya akan berjalan dan mendorong gerobaknya, tapi lebih dari itu.

Gerobaknya yang terlihat seukuran peti mati dewasa cukup menjadi rumahnya selama setahun penuh berikutnya sampai dia bisa menunaikan haji. Selain sebagai tempat tidurnya, Mohammed bisa memasak dan tidur dalam cuaca apa pun, baik panas maupun dingin di gerobaknya. Menurut Arab News, Mohamed pindah ke Inggris pada akhir 1990-an setelah bertugas di tentara Irak dan ditangkap sebagai tawanan perang.

Sementara orang Indonesia yang berjalan kaki adalah Mochammad Khamim Setiawa. Ia berjalan kaki tahu 2016 dan baru sampai pada tahun 2017 dan perjalanannya banyak diabadikan media massa.

IHRAM

Benarkah Muslimah Tidak Boleh Memakai BH? Begini Pandangan Islam Sesungguhnya

Hukum memakai BH yang benar dalam Islam

Dunia media sosial viral dengan adanya fatwah yang dinarasikan dari ulama Arab bahwa memakai bra (BH) adalah tidak boleh. Demikian sebab memakainya sama dengan berusaha menonjolkan payu darah dan perempuan terlihat lebih muda serta menjadi sumber fitnah.

Klaim memakai BH tidak boleh ini sebagaimana dilansir temanshalih.com, yang mengutip fatwa Lajnah Dainah Arab Saudi (17/107).

Begini bunyi Fattwa Lajnah Daimah Arab Saudi terkait masalah yang lagi viral:

“لبس حمالات الثدي يحدده ، ويجعل النساء كواعب ، فتكون بذلك مثار فتنة ، فلا يجوز لها أن تظهر به أمام الرجال الأجانب منها ” انتهى .

“فتاوى اللجنة الدائمة” (17/107) .

Artinya: “Memakai BH mengakibatkan bentuk payudara menjadi nampak dan membuat para perempuan nampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah. Oleh karena itu, mereka tidak boleh memakainya di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya.”

Terjemahan di atas adalah terjemahan yang disampaikan oleh temanshalih.com. Ia menerjemahkan kalimat فلا يجوز لها أن تظهر به أمام الرجال الأجانب منها ” انتهى dengan makna “tidak boleh memakainya di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya.”

Padahal, menurut fotodakwah.com, kalau dicermati dengan pemahaman bahasa Arab yang benar, redaksinya seharusnya bukan “tidak boleh memakainya”, tetapi yang benar adalah “tidak boleh menampakkannya” di depan lelaki asing (bukan mahram), sesuai teks aslinya: فلا يجوز لها أن تظهر به.

Oleh karena itu apa yang disampaikan temanshalih.com terkait tidak boleh memakai BH bagi wanita muslimah adalah tindakan yang terburu-buru, tidak didasari pada pemahaman bahasa Arab yang benar. Kesalahan fatal dalam menerjemahkan ini berakibat pada kesalahan memberi kesimpulan.

Kalau kita melihat redaksi aslinya, yaitu فلا يجوز لها أن تظهر به, maka yang tidak boleh itu bukan memakai BH-nya, tetapi (yang tidak boleh adalah) menampakkan BH yang dipakai wanita di depan lelaki bukan mahram. Memakai BH tetap boleh dalam Islam, apalagi demi kenyamanan.

Fotodakwah.com juga menegaskan, bila kita merujuk ulama Saudi yang lain, Syaikh Utsaimin, beliau berpendapat demikian:

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : ” وأما الحمالات فلا بأس بها أن تضع المرأة شيئاً يجمل ثديها فإنه لا بأس به ، إلا أني أرى أنه لا ينبغي للمرأة الشابة التي لم تتزوج أن تلبسه لأنها حينئذٍ ينشأ في نفسها محبة الظهور والافتتان والفتن ، فلا ينبغي أن تفعل ، ثم المرأة المتزوجة التي تفعله لزوجها فلا بأس به هذا يعتبر من التجميل ” انتهى من “فتاوى نور على الدرب” .

Di mana inti dari terjemahan di atas adalah sebagai berikut:

“Tidak masalah untuk memakai sesuatu yang mempercantik “sesuatu” itu. Kecuali untuk gadis yang belum menikah karena akan menimbulkan fitnah. Namun beda bagi wanita yang sudah menikah yang melakukannya untuk suaminya, maka ini tidak mengapa (boleh). Hal Itu merupakan upaya mempercantik diri.”

Kesimpulannya, memakai BH bagi wanita muslimah adalah boleh. Klaim ketidakbolehan hanya timbul karena kesalahpahaman menerjemahkan teks bahasa Arab. Semoga bermanfaat.[]

Sumber: Fotodakwah.com dan temanshalih.com

AKURAT.co

BH dan Pandangan Misoginis Terhadap Perempuan

BH tengah viral. Jadi bahan gunjingan nitizen dan masyarakat Indonesia. Berseliweran di pelbagai media. Portal media mainstream dan media sosial. Di Twitter, topik BH ramai dibahas nitizen. Jamaah Facebook pun tak mau ketinggalan. Begitu juga dengan Instragram. Semua beramai-ramai mengeroyok BH. Ini artinya, terdapat pandangan misoginis terhadap perempuan karena pakaian perempuan pun turut dikomentari dan dihujat.

Apa musabab BH jadi obrolan? Hal itu tak terlepas dari sebuah berisi hukum memakai BH bagi perempuan. Dalam tulisan tersebut mengutip fatwa dari Lembaga Fatwa Saudi (yang menurut si penulis lembaga fatwa tersebut melarang pakai BH. Ini hasil teks resmi dari media temanshalih.com:

Hukum memakai BH dalam Islam, memakai BH mengakibatkan bentuk payudara menjadi tampak dan membuat para perempuan tampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah. Wanita muslim tidak boleh memakai BH di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya.

Dalam tulisan itu jelas sekali si penulis melarang perempuan muslimah untuk memakai bra atau BH. Terlebih saat bersama dengan yang bukan mahram. Alasannya akan membuat tubuh perempuan terbentuk. Lebih dari itu, memakai bra membuat para perempuan nampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah.

Unggahan kontroversi itu menyebutkan agar wanita yang tengah taaruf tidak menggunakan bra. Hal itu akan menimbulkan fitnah. Jika perempuan ingin memekai bra, cukup didepan mahram saja. Itu akan lebih aman.

BH dan pandangan misoginis terhadap perempuan

Pandangan kontroversial terhadap perempuan yang memakai BH ibarat fenomena gunung es terhadap diskriminasi dan misoginis terhadap perempuan. Kita tak bisa menutup mata, perempuan selalu dianggap obyek yang membahayakan. Perempuan juga kerap dianggap sumber dosa dan fitnah.

Tak hanya itu, larangan perempuan memakai BH juga mengindikasikan danya pandangan bahwa perempua adalah aurat. Pandangan yang sudah mengakar dan bercangkar lama di tengah masyarakat. Inilah yang membuat perempuan senantiasa mengalami diskriminasi sosial.

Perempuan aurat inilah yang menjadi titik masalah sosial perempuan. Sehingga menimbulkan konsepsi buruk tentang perempuan. Misalnya perempuan tak boleh tampil di hadapan publik. Perempuan tak boleh menjadi guru, pembicara seminar, dan tokoh publik.

Untuk memperkuat argumen dikutipkan hadis-hadis yang seolah mendukung pandangan bahwa perempuan adalah aurat. Tepat seperti yang dikatakan oleh Lies Marcoes, tokoh feminis Indonesia yang menyatakan diskriminasi  perempuan itu lekat sebab didukung oleh pandangan misoginis. Inilah hadis yang melegitimasi perempuan adalah aurat.

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Artinya; Dari Abdullah bin Masud Nabi bersabda; perempuan itu aurat. Maka ketika ia keluar rumah, setan akan menyambutnya (menggodanya berbuat dosa dan mengajaknya menggoda orang lain untuk berbuat dosa.

Perempuan aurat ini berimplikasi besar terhadap perempuan. Seperti ditulis oleh KH. Faqihuddin Abdul Qodir dalam buku Perempuan (Bukan) Fitnah, dengan mengutip pandangan Syekh Al Ghazali ulama besar Al Azhar yang menyesalkan pandangan misoginis terhadap perempuan.

Hal ini membuat pandangan seolah perempuan hanya boleh keluar dari rahim ibunya. Keluar dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya. Pun dari rumah suaminya ke liang lahat. Itu saja aktivitas yang membolehkan perempuan. Sisanya, perempuan hanya boleh tinggal di rumah, sebab ia adalah aurat.

Padahal sejatinya, perempuan adalah manusia utuh layaknya laki-laki. Punya kesempatan yang sama untuk eksis di depan publik. Perempuan juga bisa jadi tokoh publik, politisi, pengusaha, karyawan, sekolah, shalat ke masjid dan jadi aktivis kemanusiaan. Itulah tugas mulia laki-laki dan perempuan sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Terkait teks hadis perempuan adalah aurat, KH Faqihuddin Abdul Qodir menawarkan gagasan mubadalah untuk memahami teks tersebut. Metode mubadalah dengan menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subyek setara di hadapan makna yang dimunculkan.

Hal itu bisa terlihat jika merujuk pada Q.S al Ahzab/33;13, misalnya dikatakan aurat adalah sesuatu yang mudah diserang musuh suatu kaum atau bangsa dan dijadikan alat untuk menghancurkan keseluruhan kaum atau bangsa tersebut. Allah berfirman;

وَإِذۡ قَالَت طَّآئِفَةٌ مِّنۡهُمۡ يَٰٓأَهۡلَ يَثۡرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمۡ فَٱرۡجِعُواْ ۚ وَيَسۡتَـٔۡذِنُ فَرِيقٌ مِّنۡهُمُ ٱلنَّبِىَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوۡرَةٌ وَمَا هِىَ بِعَوۡرَةٍ ۖ إِن يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارًا

Artinya; (Ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yasrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu. Maka, kembalilah kamu!” Sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Padahal, rumah-rumah itu tidak terbuka. Mereka hanya ingin lari (dari peperangan).

Dengan makna ini, agar sesuatu tidak lagi aurat sesuatu itu harus diperkuat, dilindungi, atau bahkan diubah menjadi alat pertahanan yang meningkatkan harga diri dan wibawa suatu kaum. Begitu penjelasan dalam buku Perempuan (Bukan) Fitnah.

Akhirnya, pandangan misoginis terhadap perempuan hingga hari ini masih terus eksis. Diskriminasi terhadap perempuan sampai sekarang masih saja ada dan menancapkan kuku. Sehingga perempuan selalu menjadi obyek diskriminasi. Untuk itu, tugas kita bersama untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat luas.

Oleh: Aisyah Nursyamsi

BINCANG MUSLIMAH

Mengapa Alquran Sebut Dunia Hanya Permainan?

Dalam Surah Al-An’am Ayat 32 disebutkan bahwa dunia hanya permainan dan sanda gurau. Tafsir ayat ini merengkan bahwa perumpamaan dunia hanya permainan bagi mereka yang mengingkari akhirat dan terlalu mencintai dunia.

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (QS Al-An’am: 32)

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, ayat ini menegaskan gambaran kehidupan duniawi dan ukhrawi. Kehidupan dunia sesungguhnya tidak lain hanyalah permainan dan hiburan. Bagi mereka yang mengingkari hari kebangkitan, sehingga mereka sangat mencintai hidup duniawi.

Mereka seperti anak-anak bermain-main, mereka memperoleh kesenangan dan kepuasan sewaktu dalam permainan itu. Semakin pandai mereka mempergunakan waktu bermain semakin banyak kesenangan dan kepuasan yang mereka peroleh. Sehabis bermain, mereka tidak memperoleh apa-apa.

Mereka seperti pecandu narkotik, mereka mendapatkan perasaan yang amat menyenangkan sewaktu mereka tenggelam dalam kemabukan narkotika itu. Hilanglah segala gangguan pikiran yang tidak menyenangkan, lenyaplah kelelahan dan kelesuan rohaniah dan jasmaniah pada waktu itu. Tetapi itu hanya sebentar, bila pengaruh narkotik itu sudah tidak ada lagi, perasaan yang menyenangkan itupun lenyap dan dia menderita kelelahan lebih berat dari sebelum menggunakan narkotik.

Begitulah keadaan orang-orang yang ingkar terhadap hari kebangkitan dan hidup sesudah mati. Mereka membatasi diri mereka dalam kesempatan yang pendek itu. Hidup bagi mereka adalah permainan dan hiburan.

Orang-orang beriman dan bertakwa tidak berpikir seperti orang-orang yang ingkar. Tidaklah patut mereka membatasi diri pada garis kehidupan duniawi. Apakah arti kesenangan dan kenikmatan yang hanya sementara, untuk kemudian menderita dengan tidak memperoleh apa-apa.

Oleh karena itu, hendaknya orang-orang beriman memilih kehidupan yang kekal yakni kehidupan ukhrawi, sebab itulah kehidupan yang paling baik. Untuk menghadapi kehidupan yang panjang ini hendaklah mempersiapkan diri dengan amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Kehidupan dunia hanyalah perantara bagi kehidupan akhirat. Orang-orang beriman lebih memilih kehidupan yang abadi daripada kehidupan sementara.

IHRAM

Shalat Batal karena Keluar Suara saat Menguap?

Ust, mau tanya, kalau orang angop (menguap, red), pas lagi Sholat terus keluar suara haaah, itu batal ngga ya shalat nya?

Matur suwun Ustdz…

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Sedikit suara yang keluar ketika menguap di dalam shalat, ada dua macam:

Pertama, di luar kendali dan keinginan.

Maksudnya suara alami yang keluar ketika menguap, batuk, dan yang semisalnya.

Suara menguap yang seperti ini tidak merusak keabsahan shalat.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن تخرج الحروف من فيه بغير اختياره مثل أن يتثاءب فيقول: هاه، أو يتنفس أو يسعل فينطق في السعلة بحرفين وما أشبه هذا، أو يغلط في القراءة فيعدل إلى كلمة من غير القرآن، أو يجيئه البكاء فيبكي ولا يقدر على رده، فهذا لا تفسد صلاته.

“Mengeluarkan suara huruf dari mulutnya, namun di luar kendali, seperti mengucapkan “Haah” atau suara keluar karena bernafas, batuk sampai keluar suara dua huruf, atau semisalnya, atau salah membaca ayat sampai keluar bacaan selain Quran, atau menangis yang tidak kuasa ia tahan, hal-hal seperti ini tidak membatalkan shalat.”

Kedua, suara yang masih dalam kendali dan keinginannya, seperti menambah-nambah suara menguap bersin atau batuk, ini dua pendapat ulama tentang hukumnya:

– Ada ulama yang berpendapat: shalat batal.

– Ada ulama yang berpendapat: shalat tidak batal.

Imam Al-Mardawi (salah seorang ulama Mazhab Hambali) menerangkan dalam kitab Al-Inshaf,

 .. أو نفخ فبان حرفان، فهو كالكلام، وهذا المذهب وعليه الأصحاب. واختار الشيخ تقي الدين: أن النفخ ليس كالكلام، ولو بان حرفان فأكثر، فلا تبطل الصلاة به، وهو رواية عن الإمام أحمد… انتهى.

“Meniupkan nafas saat shalat sampai membentuk suara dua huruf, ini dihukumi seperti kalam (berbicara). Pendapat ini dipegang oleh para ulama Mazhab Hambali. Syaikh Taqiyuddin memilih pendapat, bahwa hembusan nafas tidak termasuk kalam, meskipun sampai mengeluarkan dua huruf atau lebih. Ini tidak membatalkan shalat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad.”

Kesimpulannya: sebaiknya orang yang sedang shalat menghindari segala yang berpotensi membatalkan shalat. Jika sampai sengaja mengeluarkan suara dua huruf atau lebih dengan menguap atau menghela nafas, sebaiknya memilih sikap hati-hati, ia ulangi shalatnya.

Wallahu a’lam bis showab.

Referensi :

Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 444160

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/37218-shalat-batal-karena-keluar-suara-saat-menguap.html