Yuk, Persiapkan Diri Sambut Ramadhan

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa bulan Rajab adalah salah satu bulan favorit Allah (SWT), dan bahwa orang yang menghormati bulan Rajab telah memuliakan perintah atau urusan Allah SWT yang membawa kepada keridhaan-Nya.

“Ini lah mengapa rajab sangat penting, dan memasukkannya sebagai bulan penting dalam Islam,” jelas Abu Bakar Al-Warraq yang dikutip di About Islam, Jumat (25/2/2022).  

Hal ini juga disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah (SWT) berfirman, “Sesungguhnya jumlah bulan yang ditetapkan oleh Allah adalah dua belas dalam Catatan Allah sejak hari Dia menciptakan langit dan bumi yang empat di antaranya adalah suci.” (9:36)

Terdapat dua cara untuk memperingati bulan Rajab, yaitu berpuasa dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Allah SWT berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku akan terus mengampuni mereka selama mereka meminta pengampunan-Ku.” (Az-Zumar: 53)

Menurut Al-Warraq, salah satu dari banyak alasan enggannya seorang hamba untuk mendekatkan diri pada Tuhan adalah keraguan akan pengampunan-Nya, merujuk pada banyaknya dosa yang telah dilakukan. Namun perlu diingat bahwa Allah SWT menyukai setiap hamba-Nya yang berusaha mendekatkan diri dan memohon ampunan pada-Nya.

“Dan yang penting di bulan ini, kita juga memohon dan memaafkan orang yang telah menyakiti kita. Kami tidak memutuskan hubungan. Kita tahu dari hadits lain Nabi, saw, bahwa orang yang memutuskan hubungan, maka tidak diterima ibadahnya. Memang sulit memaafkan orang. Tapi ini adalah sesuatu yang harus kita jadikan sebagai latihan,” jelas Syeikh Sufi asal Persia itu. 

Selain memohon ampunan Allah SWT, bulan Rajab juga sebaiknya dihabiskan dengan berpuasa sunah, sebagai latihan sebelum menghadapi Ramadhan. “Di bulan ini, sebaiknya kita mulai menghidupkan kembali puasa Senin dan Kamis, dan puasa pada hari-hari Sunnah, tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan. Mulai puasa dan biasakan puasa,” ujar Syeikh abad ke-9 itu. 

Dalam bulan Rajab, Al-Warraq menyarankan untuk melatih diri untuk menahan diri dan mengontrol nafsu, baik dari makanan maupun minuman yang tidak sehat atau tindakan dan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

“Ketika Anda menantang nafsu Anda sendiri, dan kemudian meningkatkannya di bulan Syaban, ketika Anda tiba di bulan Ramadhan, Anda akan dapat menjadi begitu kuat sehingga Anda akan mengendalikan nafsu Anda ke tingkat yang Anda akan mampu menghentikan diri Anda sendiri dari berbuat dosa,” tuturnya. 

“Itulah yang dilakukan puasa. Ketika Anda berpuasa, Anda akan meninggalkan segalanya. Anda meninggalkan makan, meninggalkan minum dan meninggalkan hubungan Anda. Dan jika Anda melakukannya dan mengendalikan diri, maka itulah kunci untuk menghentikan Anda dari berbuat dosa,” pungkasnya. 

IHRAM

Tujuh Persiapan Menyambut Ramadhan, Apa Saja?

Tak terasa bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Untuk itu, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh umat Muslim.  Upaya ini perlu, untuk meningkatkan konsentrasi selama ibadah dan menjaga iman agar tetap tinggi.

Seorang penulis di laman About Islam, Wesam Kerayem, membagikan delapan langkah yang bisa diikuti untuk mempersiapkan Ramadhan. Ia menyebut, kebanyakan Muslim menjalani hidup dan meningkatkan iman bergantung pada peristiwa besar yang akan datang.

“Banyak yang berpikir akan mulai membaca Alquran, satu halaman satu hari, setelah Ramadhan dimulai. Karena cara berpikir ini, biasanya berakhir antiklimaks, dimana semangat itu akan hilang dalam hitungan hari atau minggu,” tulisnya, dikutip di About Islam, Jumat (25/2).

Hal tersebut bisa terjadi karena niat yang disampaikan disampaikan berkat keinginan spontan, bukan perencanaan yang benar-benar dipikirkan. Banyak pihak tidak mempersiapkan Ramadhan untuk jangka panjang, yaitu meningkatkan iman.

Di bawah ini, Kerayem berupaya membuat daftar langkah-langkah yang bisa diikuti untuk menyiapkan Ramadhan yang lebih baik.

Langkah 1 – Buat hitungan mundur menuju Ramadhan

Menghitung mundur waktu menuju Ramadhan akan membantu menciptakan sensasi dan pengingat di pikiran sendiri maupun orang-orang sekitar. Dengan cara ini, topik seputar Ramadhan akan menjadi bagian dari percakapan sehar-hari dan menyebarkan kegembiaraan.

Langkah 2 – Perbanyak informasi dan ilmu tentang Ramadhan

Cara ini disebut akan membantu memastikan diri melakukan ibadah dengan benar dan sempurna. Upaya tersebut juga akan menciptakan sensasi baru, karena ada banyak aspek motivasi dan acara di bulan yang telah dinanti-nantikan. 

“Semakin banyak yang Anda ketahui tentang Ramadhan, semakin banyak yang dapat Anda terapkan, sehingga melipatgandakan pahala Anda,” ujarnya.

Langkah 3 – Buat rencana Ramadhan

Baik untuk kegiatan membaca Alquran atau shalat Tarawih, Kerayem mengusulkan agar setiap orang membuat rencana atau daftar hal-hal yang ingin dilakukan selama bulan suci ini. Selanjutnya, dibuat pula langkah-langkah pendukung untuk mencapai tujuan tersebut.

Ia menilai tujuan yang realistis dan membawa efek baik pada hidup adalah hal yang penting. Tidak perlu 100 persen mengambil jalan yang berbeda, sehingga langkah-langkah ini bisa terus dilakukan, baik selama Ramadhan maupun sesudahnya.

Dengan mengetahui apa yang ingin dicapai di bulan itu akan membantu seseorang tetap fokus. Rangkaian rencana ini baiknya disiapkan setiap malam sebelum tidur.

Langkah 4 – Kenali hidup

Kerayem mewanti-wanti seseorang jika merasa Ramadhan tidak membawa pengaruh apa pun, baik di bulan itu maupun setelahnya. Ia mengajak untuk mempelajari hidup dan tujuannya sebelum bulan Ramadhan tiba. Tujuannya, agar umat Muslim tidak menyia-nyiakan waktu yang ada.

Langkah 5 – Bersiap secara rohani

Bulan Ramadhan identik dengan puasa, shalat, membaca Alquran dan bersedekah. Ibadah-ibadah ini bisa dimulai sejak dini, jangan berharap untuk memulai secara langsung, segera setelah hari pertama Ramadhan dimulai.

“Mulailah perbanyak sholat dari sekarang, mulai perbaiki dan rutinkan membaca Alquran dari sekarang, biasakan bermurah hati dan ikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan puasa Sya’ban,” ucap Kerayem. 

Langkah 6 – Persiapkan pikiran

Ibadah puasa adalah menahan diri dari lebih dari apa yang dikonsumsi di mulut. Mulailah melatih kesabaran, ekstra waspada dengan percakapan yang dilakukan, yaitu tidak memfitnah, memfitnah, atau membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

Langkah 7 – Katakan ‘Good Riddance’ untuk Kebiasaan Buruk

“Kenali kebiasaan buruk apa yang Anda miliki dan hentikan dari sekarang, jangan tunggu sampai Ramadhan dimulai. Jika sering tidur larut malam, maka mulailah tidur lebih awal,” lanjutnya.

Cara ini mungkin terdengar jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tetapi, begitu seseorang berkomitmen, mensucikan niat, membuat doa yang tulus, Insya Allah kebiasaan buruk ini akan lebih mudah dilakukan.

Langkah 8 – Rencanakan hidup di sekitar ibadah

Contohnya, alih-alih mengatur pertemuan di sela waktu shalat, rencanakan shalat atau break di setiap kegiatan yang telah diatur. Jangan membawa ponsel ke tempat ibadah dan lupakan dunia saat fokus beribadah. 

IHRAM

Perbanyaklah Bersujud kepada Allah

Saudaraku, kewajiban salat sebagai hamba Allah Ta’ala kadangkala dianggap oleh sebagian besar muslimin hanya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan begitu saja. Bahkan, saat salat yang wajib itu telah selesai dikerjakan, fokus pikiran langsung tertuju kepada urusan-urusan duniawiah. Padahal, setelah salat wajib masih ada ibadah-ibadah sunah yang lain, seperti zikir atau pun salat rawatib (kecuali setelah salat subuh dan asar) yang jelas-jelas secara syar’i sangat dianjurkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ

Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah salat.” (HR. Ibnu Majah no. 277, Ad-Darimi no. 655 dan Ahmad (5/282), dari Tsauban. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Mari perhatikan pula sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah salat. Allah ‘Azza Wajalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku. Apakah salatnya sempurna ataukah tidak?’ Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika dalam salatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunah.’ Jika ia memiliki amalan sunah, Allah berfirman, ‘Sempurnakanlah kekurangan yang  ada pada amalan wajib dengan amalan sunahnya.’ Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah no. 1426 dan Ahmad 2: 425. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Dorongan Seorang Hamba dalam Memperbanyak ‘Sujud’ kepada Allah

Banyak pula dari kita yang mencukupkan diri dengan ilmu seputar salat atau ibadah-ibadah yang lain saat diperoleh di usia belia. Kemudian menjadikannya sebagai dasar amalan sepanjang hidup. Hal ini adalah sangat keliru. Karena menuntut ilmu terutama lagi tentang agama ini merupakan hal yang sangat dianjurkan, sebab dengannya seorang hamba akan diangkat derajatnya di sisi Rabbnya sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Orang-orang yang mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah tentunya adalah mereka yang dekat dengan Rabbnya. Dengan kata lain, kedekatan dengan Allah itu terwujud dalam kualitas dan kuantitas ibadah-ibadah yang mereka lakukan, baik ibadah mahdah maupun ghairu mahdah. Salat dalam hal ini tentu menjadi salah satu indikator kedekatan seorang hamba dengan Rabbnya.

Sebab, semakin mudah seseorang terdorong untuk melaksanakan ibadah salat baik sunah maupun wajib, maka semakin dekat pula hamba tersebut kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Terhadap hadis ini, Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kedekatan Allah Ta’ala yang dimaksud dalam ayat di atas adalah kedekatan khusus dengan hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa mereka sebagaimana firman-Nya,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku Mahadekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Begitu pula hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

Hendaklah Engkau memperbanyak sujud (perbanyak salat) kepada Allah. Karena tidaklah Engkau memperbanyak sujud karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu.” (HR. Muslim no. 488)

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Syarah Shahih Muslim (hal. 204) tentang hadis ini bahwa maksud dari “memperbanyak sujud” dalam hadis tersebut adalah memperbanyak sujud dalam salat.

Kemuliaan bagi Seorang Hamba yang Senantiasa “Bersujud” kepada Allah

Begitu mulianya orang yang dekat dengan Allah Ta’ala. Anugerah berupa doa yang mustajab, dosa yang diampuni, derajat yang ditinggikan, serta janji surga baginya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku Mahadekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Dari Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, aku membawakan air wudunya dan air untuk hajatnya. Maka, beliau berkata kepadaku, ‘Mintalah kepadaku.’ Maka aku berkata, ‘Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.’ Beliau bertanya lagi, ‘Adakah permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Tidak, itu saja.’ Maka, beliau menjawab, ‘Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak salat)’” (HR. Muslim no. 489)

Beginilah Cara Memperbanyak ‘Sujud’ yang Diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

“Berilmu sebelum beramal” merupakan landasan pokok kita selaku umat Islam yang benar-benar menginginkan karunia Allah Ta’ala, terutama dalam melaksanakan salat-salat sunah yang dianjurkan. Maka, semestinya kita mengilmui setiap perkara ibadah yang dianjurkan tersebut agar kita terhindar dari amalan-amalan yang menyimpang yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Naudzubillah.

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

Tidaklah seorang hamba muslim melakukan salat sunah yang bukan wajib karena Allah sebanyak dua belas rakaat dalam setiap hari, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.’” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadis ini, aku tidak pernah meninggalkan salat-salat tersebut.” (HR. Muslim no. 728)

Apa yang dimaksud salat sunah dua belas rakaat setiap hari? Perhatikan hadis berikut. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa merutinkan salat sunah dua belas rakaat dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas rakaat tersebut adalah empat rakaat sebelum zuhur, dua rakaat sesudah zuhur, dua rakaat sesudah magrib, dua rakaat sesudah isya, dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmidzi no. 414. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Menggapai Cinta Allah dengan Memperbanyak “Sujud”

Tiada hal yang lebih baik daripada mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala atas diri kita yang penuh dengan dosa ini. Oleh karenanya, mengetahui betapa kita sangat membutuhkan ilmu dalam melaksanakan perintah-perintah Allah khususnya memperbanyak sujud melalui salat-salat sunah, maka hendaklah kita segera meraihnya.

Untuk itu, dengan membiasakan diri melakukan salat-salat sunah mulai dari salat rawatib, salat duha, salat tahajud, dan berbagai ibadah dengan mengedepankan keikhlasan dan ittiba‘ setiap melaksanakannya. Mudah-mudahan kita mendapatkan cinta Allah Ta’ala sehingga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa diberi petunjuk di manapun dan kapanpun.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, dan memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.’” (HR. Bukhari no. 2506)

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/72516-perbanyaklah-bersujud-kepada-allah.html

Macam-Macam Sesembahan selain Allah Ta’ala

Terdapat berbagai macam sesembahan selain Allah Ta’ala. Sesembahan selain Allah Ta’ala dapat dikelompokkan menjadi dua macam.

Kelompok sesembahan yang memiliki akal

Kelompok pertama adalah sesembahan yang memilki akal (‘aaqilah), seperti manusia, malaikat, dan jin. Mereka terbagi dalam dua jenis.

Mereka yang rida disembah

Jenis pertama adalah mereka yang rida dengan penyembahan tersebut. Misalnya, Fir’aun, iblis, dan selain keduanya yang termasuk dalam thaghut. Mereka kekal di neraka bersama dengan para penyembahnya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُواْ مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأَسْبَابُ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُواْ مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُم بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. Al-Baqarah: 166-167)

Allah Ta’ala berfirman,

لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنكَ وَمِمَّن تَبِعَكَ مِنْهُمْ أَجْمَعِينَ

“Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka kesemuanya.” (QS. Shaad: 85)

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan Fir’aun,

يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ

“Dia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat, lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi.” (QS. Huud: 98)

Mereka yang tidak rida disembah

Jenis kedua adalah mereka yang tidak rida dengan penyembahan tersebut, bahkan berlepas diri dari orang-orang yang menyembah mereka, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Misalnya, ‘Isa, Maryam, ‘Uzair, dan malaikat ‘alaihimus salaam.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang ‘Isa ‘Alaihis salaam,

وَإِذْ قَالَ اللّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَـهَيْنِ مِن دُونِ اللّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua orang tuhan selain Allah?’ ‘Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib.’” (QS. Al-maidah: 116)

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan malaikat,

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعاً ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَؤُلَاء إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِم بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Malaikat-malaikat itu menjawab, ‘Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.’” (QS. Saba’: 40-41)

Kelompok sesembahan yang tidak memiliki akal

Kelompok kedua adalah sesembahan yang tidak memiliki akal (ghairu ‘aaqilah). Misalnya, pohon, batu, matahari, bulan, dan sesembahan selain Allah Ta’ala lainnya yang tidak memiliki akal.

Dalil yang menunjukkan matahari dan bulan sebagai sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan.” (QS. Fushilat: 37)

Syekh Shalih Fauzan Hafidzahullah menjelaskan,(Ayat tersebut) menunjukkan bahwa ada orang yang menyembah matahari dan bulan. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk melaksanakan salat ketika matahari terbit atau tenggelam dalam rangka menutup sarana menuju kesyirikan. Karena ada orang yang menyembah matahari ketika terbit atau tenggelam, maka Rasulullah melarang kita untuk melaksanakan salat pada kedua waktu tersebut, meskipun salatnya tersebut ditujukan kepada Allah. Akan tetapi, ketika salat dalam kedua waktu tersebut menyerupai perbuatan orang-orang musyrik maka hal tersebut dilarang dalam rangka menutup sarana yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan syirik dan menutup sarana yang dapat mengantarkan kepada syirik tersebut” (Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 28-29).

Semua sesembahan selain Allah Ta’ala yang tidak memiliki akal itu tercakup dalam firman Allah Ta’ala,

لَوْ كَانَ هَؤُلَاء آلِهَةً مَّا وَرَدُوهَا وَكُلٌّ فِيهَا خَالِدُونَ

“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. Andaikata berhala-berhala itu Tuhan, tentulah mereka tidak masuk neraka. Dan semuanya akan kekal di dalamnya.” (QS. Al-Anbiya’: 98-99)

***

@Rumah Kasongan, 18 Rajab 1443/ 19 Februari 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Al-Maqshadul Ma’muul min Ma’aarijil Qabuul bi Syarhi Sullamil Wushuul, hal. 114-115.

Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 28-29

Sumber: https://muslim.or.id/72538-macam-macam-sesembahan-selain-allah-taala.html

Pembagian Rezeki Manusia yang Dijelaskan Alquran

Alquran melalui Surah Ar-Ra’d Ayat 26 dan tafsirnya menjelaskan tentang bagaimana cara Allah membagi-bagi rezeki kepada manusia.

اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗوَفَرِحُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ ࣖ

Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat. (QS Ar-Ra’d: 26)

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama ayat ini menerangkan, Allah melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Mereka juga hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu.

Sebaliknya, Allah juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya. Sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut.

Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya.

Oleh karena itu, ada kalanya Allah menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir. Sebaliknya, kadang-kadang Allah menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat.

Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang sholeh ataupun yang fasik.

Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Makah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar.

Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa. Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu.

Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut.

Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, “Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?”

Rasulullah bersabda, “Apalah artinya dunia ini bagiku. Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian ia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)

IHRAM

Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran Penting di Dalamnya

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi dibawakan oleh Rumaysho kali ini. Di samping dibawakan kisah, semoga banyak pelajaran bisa digali di dalamnya. Allahumma yassir wa a’in.

Kisah Ashabul Kahfi adalah Tanda Kekuasaan Allah

Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا

Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)

Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.

Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Sedangkan Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat padanya sebuah gua.

Nama anjing mereka adalah Humron.

Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.

Ashabul Kahfi itu di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para tokoh.

Kisah Mereka Secara Global

Allah Ta’ala berfirman,

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)

Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka, agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami.

Ditidurkan dalam Gua Sekian Tahun Lamanya

Allah Ta’ala berfirman,

فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)

Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.

Dibangunkan Setelah Tidur Sangat Panjang

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)

Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu yang Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh, dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah, dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.

Rincian Kisah Ashabul Kahfi

Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)

Ayat ini merupakan permulaan rincian kisah dan keterangannya. “Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka” yakni mengakui keesaan Allah dan mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. “dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”, maksudnya adalah dengan taufik (hidayah) dan tatsbit (pemantapan dan keteguhan).

Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah Menurut Ibnul Qayyim

Hati Mereka Dikuatkan

Allah Ta’ala berfirman,

وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14)

Maksudnya adalah mereka dikuatkan dengan kesabaran, mereka meninggalkan kampung halaman mereka serta meninggalkan berbagai kenikmatan demi menyelamatkan agama mereka. Mereka berdiri di hadapan raja mereka dan menyatakan kebenaran dengan tegas di hadapannya ketika kabar mereka terdengar oleh raja dan mereka diminta hadir menghadap raja. Raja bertanya kepada mereka tentang agama dan keyakinan yang mereka Yakini, maka mereka menjawab dengan benar dan bahkan mengajak raja tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena itulah dalam ayat disebutkan, “Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi.” Mereka tidak menyembah Rabb selain Allah. Sebab jika mereka berbuat demikian, berarti mereka telah berbuat kebatilan, kedustaan, dan kebohongan.

Pengingkaran pada Kesyirikan Kaumnya

Allah Ta’ala berfirman,

هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)

Hal ini adalah isyarat bahwa orang kafir itu tidak mampu mendatangkan bukti atas apa yang mereka lakukan, yaitu beribadah kepada selain Allah, berbuat syirik. Jadi, mereka itulah orang-orang yang zalim yang menzalimi hak Allah karena mereka berdusta dan berbohong terhadap Allah. Kalau memang Allah itu Mahatinggi, maka tidak pantas bagi selain Allah punya kedudukan tinggi yang sama.

Akhirnya Mereka Mengasingkan Diri Demi Menyelamatkan Agama Mereka

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)

Yakni, jika kamu semua menyelisihi mereka denagn agama kalian, karena mereka menyembah selain Allah, maka selisihi pula (berpisahlah, tinggalkanlah mereka) dengan badan kalian. “maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu”, yakni, Allah akan membentangkan rahmat-Nya kepada kalian yang menutupi kalian dari kaum kalian yang kafir. “dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu” yang sedang kalian hadapi. Pada saat itulah, mereka keluar menghindar dari kaum mereka menuju sebuah goa kemudian tinggal di dalamnya.

Perlindungan Allah Terhadap Para Pemuda di dalam Gua

Allah Ta’ala berfirman,

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)

Yakni, jika matahari meninggi di tempat terbitnya, maka ia condong dari gua, yaitu dari pintu gua sebelah kanan. Jika matahari terbenam, maka ia melewati mereka di sebelah kiri, yakni tidak mendekati mereka tetapi melewati.

“Sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu”, kata fajwah artinya tempat yang luas dan lega dalam gua, sehingga cukup tersedia udara yang datang dari segala penjuru tanpa tersengat matahari.

Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah“, yakni urusan mereka dan petunjuk Allah kepada mereka hingga ke gua tersebut dengan menjadikan mereka tetap hidup, serta apa yang Allah perbuat kepada mereka dari mulai matahari yang condong dan tidak mendekat sejak terbit hingga terbenam, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan perhatian dan penjagaan Allah kepada mereka, serta petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk”, yakni siapa yang ditunjukkan kepada kebenaran oleh Allah, maka ialah orang yang mendapat hidayah. Dalam hal ini terdapat pujian bagi para pemuda mukmin tersebut, yang telah berjihad di jalan Allah, kemudian menyerahkan diri mereka kepada-Nya, sehingga Allah bersikap lembut dan menolong mereka, menunjuki mereka untuk mencapai kemuliaan dan kekhususan dengan ayat-ayat yang luar biasa. Sesungguhnya setiap orang yang menempuh jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, maka ia akan mendapatkan keberuntungan.

“Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”, yakni siapa yang disesatkan oleh Allah, maka pasti kamu tidak akan mendapatkan penolong baginya yang menjaganya dari kesesatan, atau memberi petunjuk kepada jalan kebenaran dan keberuntungan.

Perhatian dan Perawatan Allah terhadap Para Pemuda di Dalam Gua

Allah Ta’ala berfirman,

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)

Dan kamu mengira mereka itu” adalah pembicaraan untuk setiap orang, maksudnya, kamu mengira “mereka itu bangun” karena mata mereka terbuka, “padahal mereka tidur” sangat lelap dan pulas dalam tidurnya hingga tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka, “dan Kami bolak-balikkan mereka” yakni dalam tidur mereka “ke kanan dan ke kiri” agar tanah tidak merusak badan mereka, “sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di muka pintu gua” yakni di halaman gua atau pintu gua. Keberkahan pemuda mukmin ini melingkupi hingga anjing mereka, ia juga mengalami seperti yang mereka alami, yaitu tidur panjang dalam keadaan seperti itu.

Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”, yakni jika kamu melihat mereka sekalipun begitu kuatnya kamu dalam melawan agar tidak lari, pasti kamu akan kalah dan lari dengan penuh ketakutan, yaitu hatimu dipenuhi rasa takut karena merkea para pemuda itu dilingkupi aura kewibawaan, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat mereka kecuali akan ketakutan kemudian berpaling dan melarikan diri menjauh. Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, “Agar tidak ada seorang pun yang mendekati atau menyentuh mereka hingga ketentuan itu sampai pada masanya, masa tidur mereka habis sesuai kehendak Allah Ta’ala, mengingat hal ini mengandung hikmah, hujjah yang kuat, dan rahmat yang luas.”

Kebangkitan Mereka Setelah Tidur Panjang

Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)

Yakni, sebagaimana kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat panjang, maka kami bangunkan merrka denagn keadaan segar bugar tubuh mereka, sehat, begitu pula dengan rambut dan kulit mereka tidak ada yang berubah dari keadaan dan bentuk mereka. Hal ini sebagai pengingat akan kemahakuasaan Allah untuk menidurkan dan mematikan serta membangkitkan kembali. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Mereka bangun setelah 309 tahun.”

Referensi:

Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan Tahun 1436 H. Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.

Al-Mustafad min Qashash Al-Qur’an li Ad-Da’wah wa Ad-Du’aa’. Cetakan pertama, Tahun 1438 H. Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Zaidan. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Sumber https://rumaysho.com/31840-kisah-ashabul-kahfi-dan-pelajaran-penting-di-dalamnya.html

Apakah Rezeki Ditentukan Keimanan dan Kekufuran Seseorang?

Allah SWT memberikan rezeki kepada setiap umat manusia

Alquran melalui Surat Ar Rad ayat 26 dan tafsirnya menjelaskan tentang bagaimana cara Allah SWT membagi-bagi rezeki kepada manusia. 

Allah SWT melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. 

Allah  SWT membagikan rezeki tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya. 

اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗوَفَرِحُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ ࣖ

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.” (QS Ar Rad 26)

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama ayat ini menerangkan, Allah SWT melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari. 

Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Mereka juga hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu. 

Sebaliknya, Allah SWT juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya. Sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut. 

Allah SWT melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya. 

Oleh karena itu, ada kalanya Allah SWT menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir. Sebaliknya, kadang-kadang Allah SWT menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat. 

Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang sholeh ataupun yang fasik. 

Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Makah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar. 

Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa.

Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu. Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam At Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut. 

Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, “Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?” Rasulullah bersabda: 

مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apalah artinya dunia ini bagiku? Apa urusanku dengan dunia? Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)  

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Ringkasan

Berikut ini ringkasan dari seluruh keterangan di serial artikel ini sebelumnya.

Ringkasan ayat pertama

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Kita memulai bacaan dengan hanya menyebut nama-nama Allah, satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus. Sembari memohon pertolongan dan berkah kepada-Nya dalam membaca Al-Fatihah ini.

Ringkasan ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala puji dan syukur yang sempurna hanya bagi Allah. Tuhan pemelihara seluruh makhluk. Pujian yang diiringi  dengan rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya. Berlandaskan dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala Mahasempurna dari segala sisi.

Ringkasan ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus.

Ringkasan ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Allah adalah Tuhan pemilik hari pembalasan. Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali bagi hamba yang Allah maafkan. Oleh karena itu, semua urusan kembali kepada keputusan-Nya karena hanya Allah-lah pemilik hari pembalasan.

Ringkasan ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau kami beribadah, yang merupakan tujuan hidup kami. Dan hanya kepada Engkau semata pula kami mohon pertolongan dalam beribadah kepada-Mu.

Ringkasan ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Teguhkanlah kami di atas agama Islam. Jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Berilah kami tambahan petunjuk ilmu tentang syariat Islam dan pengamalannya.

Ringkasan ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Jalan yang dimaksud yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai. Mereka yang dimurkai adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu.

Penutup

Semoga Allah menerima amal sederhana ini sebagai amal jariah bagi kami. Memberikan keberkahan untuk kami; kaum muslimin dan muslimat.

Wallahu a’lam.

Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmushaalihaat.

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72514-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-4.html

Imam Syafi’i: Anak Yatim Piatu yang Mulai Berfatwa Sejak Usia 15 Tahun

Orangnya sangat tekun dan istiqamah, khususnya perihal ilmu pengetahuan. Memiliki keturunan mulia dan masih satu garis keturunan dengan Rasulullah SAW. Tidak banyak bicara, namun semua pendapatnya diikuti oleh semua masyarakat, disegani oleh semua umat, hingga akhirnya mendirikan mazhab yang berafiliasi pada namanya, mazhab Imam Syafi’i atau jamak dikenal di Indonesia Mazhab Syafi’i.

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid ibn Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Ghalib. Ia dilahirkan di Ghaza, Palestina pada tahun 150 dan wafat di Mesir pada Malam Jumat bulan Rajab tahun 204 hijriah.

Garis keturunan Imam Syafi’i bertemu dengan Rasulullah tepat pada kakeknya yang bernama Abdul Manaf. Rasulullah berasal dari keturunan Hasyim bin Abdu Manaf, sedangkan Imam Syafi’i berasal dari keturunan Abdul Muthalib bin Abdul Manaf.

Tumbuh Sebagai Anak Yatim

Dalam catatan Imam ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam kitab Siyaru A’lami an-Nubala, pendiri mazhab Syafi’i itu tidak pernah melihat senyum ayahnya. Sebab, ia harus ikhlas dan rela ditinggal wafat oleh ayahnya pada usianya yang masih balita. Ia hidup berdua bersama ibunya, Fatimah binti Ubaidillah Adziyah.

Setelah kematian ayahnya, sang Ibu yang ahli ibadah membawa putranya untuk meninggalkan Ghaza dan pindah ke Makkah agar putranya bisa mencari dan mendalami ilmu di sana. Sebab menurutnya, hidup berdua dengannya di Ghaza hanya akan membuang waktu bagi putranya tanpa faedah.

Tepat pada usianya yang baru melepas balita, yaitu lima tahun, sang ibu pasrah kepada Allah untuk melepas anak kesayangannya demi ilmu, ia titipkan kepada pamannya agar belajar ilmu kepadanya.

Rihlah Intelektualitas Imam Syafi’i

Sesampainya di Makkah, saat itu Imam Syafi’i berumur dua tahun, ia memulai rihlah keilmuannya dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an kepada pamannya. Paman yang sekaligus menjadi pembimbingnya menyadari betul bahwa anak yang kelak akan menjadi pendiri salah satu mazhab terkemuka dalam Islam itu memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Ia pun tidak menyia-nyiakan kecerdasan yang dimiliki oleh Syafi’i kecil. Setiap hari ia diberi pelajaran khusus dan hafalan khusus dengan tempo waktu yang tidak terlalu lama. Dan benar saja, semua amanah dari gurunya tidak pernah dikecewakan. Hafalan yang diberikan kepadanya ia selesaikan dengan mudah. Bahkan, sejarah mencatat bahwa ia sudah bisa menghafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun.

Setelah Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya berhasil dikuasai oleh Imam asy-Syafi’I, ia melanjut pada ilmu selanjutnya, yaitu hadits. Pada masa itu, ia langsung berguru kepada Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki sekaligus penulis kitab al-Muwattha’ yang di dalamnya berisikan hadits-hadits Rasulullah.

Dalam rihlah intelektual berguru kepada Imam Malik, ia mampu menghafal kitab al-Muwattha’ di usia sepuluh tahun. Usia yang masih terhitung sangat muda untuk bisa menghafal Al-Qur’an dan kitab Muwattha’, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani,

حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ

Artinya, “Saya telah menghafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun, dan saya telah menghafal kitab al-Muwattha’ di usia sepuluh tahun.” (Ibnu Hajar, Tahdzibu at-Tahdzib, Matba’ah an-Nidhamiah: 1326 H], juz IX, halaman 25).

Setelah ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan kitab karya Imam Malik, berhentikah Imam Syafi’i dari belajar? Ternyata tidak. Meski di usia sepuluh tahun sudah menguasai banyak cabang-cabang ilmu syariat, tidak lantas membuatnya berhenti untuk mencari ilmu. Ia terus mengembara sebagai seorang pelajar yang haus akan ilmu. Tidak hanya di Makkah, ia juga sering keluar kota hanya untuk mencari ilmu.

Dengan segala keilmuan yang ada dalam dirinya, ia telah tumbuh sebagai sosok yang disegani oleh para ulama di usia yang cukup muda. Tepat di usianya yang kelima belas, Imam Syafi’i telah layak untuk mengeluarkan fatwa atas persoalan yang terjadi saat itu, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam as-Suyuthi,

كَانَ الشَّافِعِي يَفْتِي وَلَهُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً وَكَانَ يُحْيِى اللَّيْلَ إِلَى أَنْ مَاتَ

Artinya, “Imam asy-Syafi’i telah berfatwa sedangkan ia masih berumur lima belas tahun. Dan, dia (juga) menghidupi malam (dengan ibadah) hingga akhir hayatnya.” (Imam as-Suyuthi, Thabqatu al-Huffadz lis-Suyuthi, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1403], halaman 28).

Guru-guru Imam Syafi’i

Di balik kehebatan Imam Syafi’i tidak lepas dari perjuangan gurunya yang selalu memberikan didikan terbaik kepadanya. Dalam catatan sejarah gurunya tidak hanya terdiri dari puluhan, bahkan mencapai ratusan.

Pada masa belajar di Makkah, ia belajar kepada Sufyan bin Uyaynah, Muslim bin Khalid bin Said az-Zinji, Daud bin Abdurrahman at-Thahhar, Abdul Majid bin Abdul Aziz az-Zadi, Sa’id bin Salim al-Qaddah, Ismail bin Qsahthanthin, dan beberapa guru lainnya.

Ketika belajar di Madinah, ia belajar kepada Imam Malik bin Anas, Abdul Aziz al-Khurasani, Abdullah bin Nafi’, Ibrahim bin Muhammad al-Aslami, Ibrahim bin Sa’id bin Ibrahim az-Zuhri, Muhammad bin Ismail bin Muslim, dan beberapa guru lainnya.

Saat berada di Yaman, ia belajar kepada Imam Mutharrif bin Mazin al-Kanani, Hisyam bin Yusuf ash-Shan’ani, Amru bin Abi Salamah, Abu Zakaria al-Bashri, Yahya bin Hasan, dan beberapa guru lainnya di Yaman.

Dan ketika belajar di Irak, ia belajar kepada Imam Waqi’ bin Jarrah bin Malih al-Kufi, Abu Usamah al-Kufi, Muhammad bin Hasan, Ismail bin Uyaynah al-Bishri, Abdul Wahab bin Abdul Majid at-Tsaqafi, Ayyub bin Suaid, dan beberapa guru lainnya di Irak.

Itulah beberapa guru-guru Imam Syafi’i yang telah sukses memberikan didikan terbaiknya hingga mampu mencetak seorang murid yang sangat alim dan puncaknya bisa mendirikan mazhab dengan jumlah pengikut terbanyak dari beberapa mazhab lainnya.

Mutiara Hikmah Imam Syafi’i

Imam asy-Syafi’i tidak hanya dikenal dengan seorang ulama dengan keilmuan yang luas, karangan kitab yang banyak, pengikut yang banyak, akan tetapi juga ahli syair. Bahkan banyak mutiara hikmah darinya yang bisa dijadikan renungan, khususnya bagi orang-orang yang sedang mencari ilmu. Dalam kitab Diwanu al-Imami asy-Syafi’i, halaman 18 disebutkan,

مَا فِي الْمَقَامِ لِذِي عَقْلٍ وَذِي أَدَبِ *** مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِبِ

“Berdiam diri saja di tempat mukim (rumah) sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan etika, maka tinggalkan negerimu dan merantaulah (untuk mencari ilmu.”

سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّنْ تُفَارِقُهُ *** وَانْصِبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Berkelanalah, niscaya akan engkau temukan pengganti orang-orang yang kau tinggalkan. Bersungguh-sungguhlah (dalam usaha), karena kenyamanan hidup itu ada pada kesungguhan.”

إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ *** إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

“Sungguh, aku melihat diamnya air hanya akan merusaknya. Jika saja air itu mengalir, tentu ia akan terasa menyegarkan. Jika tidak, maka tidak bisa menyegarkan.”

وَالْأَسَدُ لَوْلَا فِرَاقُ الْأَرْضِ مَا افْتَرَسَتْ *** والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يصب

“Dan sekawan singa, andai tidak meninggalkan sarangnya, ia tidak akan terlatih kebuasannya. Dan anak panah andaikan tidak melesat meninggalkan busurnya, maka ia tidak akan mengenai sasaran.”

وَالشَّمْسُ لَوْ وَقَفَتْ فِي الْفَلَكِ دَائِمَة ً *** لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ

“Dan mentari andai selalu terpaku di ufuk, niscaya manusia akan mencelanya; baik bangsa Arab atau selainnya.” (Baca juga: Imam Ahmad bin Hanbal; Pendiri Mazhab Hanabilah yang Alim Sejak Usia 15 Tahun)

Itulah beberapa kalam hikmah dari Imam asy-Syafi’I yang memberikan semangat untuk orang-orang yang sedang mencari ilmu. Di dalamnya terdapat anjuran untuk pergi meninggalkan tanah kelahiran demi menuntut ilmu dan kemuliaan. Dengan mengetahui kisah di atas, semoga kita bisa meneladani rihlah intelektual Imam asy-Syafi’i yang begitu menginspirasi, serta bisa mendapatkan berkah darinya, Amin.

BINCANG SYARIAH

Hari ini, 99 Tahun Wafatnya KH Ahmad Dahlan

“Sekarang setannya tambah satu. Tadi Pak dokter, sekarang kamu, Bu,” ujarnya pelan sambil merapikan tas berisi buku-buku yang akan dipakainya untuk berceramah.

Sedianya dokter meminta sang istri untuk memastikan dia istirahat sementara waktu karena sakitnya. Namun, bukan KH Ahmad Dahlan namanya kalau larangan untuk berdakwah diiyakannya.

Sekalipun dalam keadaan sakit, ia tetap melakukan perjalanan ke Tretes, Malang, untuk menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah 1923.

Sepulang dari Malang, kondisi kesehatannya kian menurun, hingga Dr. van De Burne, Dr. Ofringa dan Dr. Somowidagdo yang merawatnya meminta keluarga untuk membatasi tamu yang membezoeknya.

Di tengah perjuangannya memikirkan kondisi umat, Allah mencukupkan tugasnya di bumi dengan memanggilnya pada hari Jumat 23 Februari 1923, di usia yang masih relatif muda untuk ukuran umat Muhammad, 54 tahun.

Bumi menangis. Seorang mujahid berpulang, menyisakan duka yang mendalam. Kabar duka itu segera menyebar. 

Inna lillahi wainna ilaihi radji’oen.

Kabar duka itu ditulis majalah Soewara Moehammadijah No. 2 dan 3., Tahun ke-4, Februari-Maret 1923, halaman 74-75.

Dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Sarikat Islam, bahwa pada hari Djoemoeah menghadap malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11.45 u, Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin, ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviseur Centraal Sarikat Islam telah berpoelang ke rachmatoellah.

Dari pada itoe, marilah kita bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah arwach marhoem Kejahi A. Dachlan itoe dianoegerahi Sorga pahlanja.

Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikan apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.

Setidaknya ada 4 koran berbahasa Belanda yang memuat berita itu. Yakni Soerabajasch Handelsblad, De Indische Courant, Bataviaasch Nieuwsblad, dan satu koran yang terbit di Belanda, Algemeen Handelsblad. 

Ada manusia-manusia besar yang Allah takdirkan menuliskan narasi besar. Bisa jadi ia meninggal sebelum narasi itu selesai dituliskannya, namun pemikirannya melintasi zaman.

Kiai Dahlan adalah salah satunya. Berawal dari dari keprihatinannya akan kondisi umat yang berada dalam kebodohan dan kejumudan, ia didik murid-muridnya di langgar (mushala kecil) di halaman rumahnya di kampung Kauman, Yogya. 

Dari satu sekolah, kini berkembang menjadi lebih dari 10.381 sekolah. 365 ponpes, 364 RS/klinik, 384 panti asuhan, dan banyak lagi asset lainnya. Dimulai dari Yogyakarta, kini menyebar ke 27 negara di dunia.

Hari ini, 99 tahun lalu jasadnya dikuburkan, namun pahala jariyah dan buah pikirnya tak akan lekang tergerus zaman.

Jakarta, 23/2/2022

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller

KHAZANAH REPUBLIKA