Inilah Ciri Rumah yang Diberkahi Allah

Rumah yang kosong dari dzikir dan bacaan Al-Qur’an akan menjadi gelap gulita laksana kuburan. Rumah di dalamnya digunakan dzikir dan bacaan Al-Qur’an akan ketenangan dan menjadi rumah yang diberkahi Allah

SEMUA orang Mukmin berharap memiliki rumah yang diberkahi Allah. Karenamerupakan tempat tinggal bagi seseorang atau keluarga dalam menata kehidupannya, dan keluarga bisa betah dan hidup tenang.

Sering kita mendengar ada orang berkata rumahnya laksana “neraka”, penuh gundah gulana, penuh konflik dan kekacauan. Suasana tidak nyaman menjadi pemandangan keseharian, pertengkaran suami istri seakan-akan menjadi agenda harian.

Siapa yang menjadi faktor penyebab dan siapa penerima akibat menjadi semakin tidak jelas. Jawabannya kembali kepada penghuninya.

Menjadi keniscayaan setiap keluarga untuk dapat menata dan menciptakan rumah tangga yang ideal sesuai dengan yang diidamkan. Hal ini agar tempat tinggal kita menjadi rumah yang diberkahi Allah.

Konsep rumah ideal bagi seorang mukmin adalah rumah yang memenuhi kriteria marhamah, muthma ‘innah, dan mubarakah. Artinya, rumah yang penuh dengan kasih sayang, penuh kedamaian, serta senantiasa mendapat berkah dari Allah.

Rumah seperti ini akan memancarkan cahaya Ilahi yang sanggup memberikan kedamaian, keharmonisan, dan ketenteraman kepada penghuninya. Inilah ciri rumah yang diberkahi Allah di dalamnya.

Sebaliknya jika rumah tidak diberkahi Allah, suasana rumah tangga tidak memberikan ketenangan dan ketenteraman. Sasana rumah tangganya berantakan, tidak harmonis, ujungnya memberikan dampak kurang baik terhadap pergaulannya penghuninya.

Rumah yang besar dan mewah bukan jaminan bahwa ia adalah rumah yang diberkahi Allah. Mungkin saja rumah yang kecil dan sederhana itu menjadi rumah ideal, sebagaimana rumah Rasulullah ﷺ yang sangat sederhana tapi bisa menciptakan surga di dalamnya.

Hal ini sesuai dengan sabdanya, “Rumahku adalah surgaku.”

Bagaimana kita bisa menciptakan rumah keluarga Muslim yang ideal? Agar menjadi rumah yang diberkahi Allah?

Agar tempat tinggal kita menjadikan rumah diberkahi,  tentu tergantu dengan penghuni yang mendiami rumah tersebut. Untuk mewujudkan rumah tangga yang tenang, tenteram, damai dan berdampak pada rumah yang diberkahi Allah tentu memerlukan kiat-kiat khusus.

Inilah 10 ciri rumah yang diberkahi Allah;

Pertama, menyemaikan salam

Nabi ﷺ pernah bertemu Abu Umamah, seorang sahabat yang umurnya sekitar 16 tahun. Beliau bersabda, “Wahai Abu Umamah, ada di antara manusia yang jika saya melihatnya, hati saya menjadi sejuk dan engkau termasuk di antara mereka. Wahai Abu Umamah, jika engkau masuk rumah, berilah salam kepada penghuni rumah agar menjadi berkah bagimu dan bagi penghuni rumah. Abu Umamah berkata, “Demi Allah, sejak saat itu saya tidak melupakan nasihat Nabi tersebut.”

Kedua, rumah yang selalu digunakan shalat & berjamaah

Pertama kalinya di negeri Makkah yang penuh berkah, Allah Swt menciptakan rumah ibadah (Baitullah) di muka bumi. Melalui Baitullah, Sang Pencipta memperkenalkan diri-Nya dan sang hamba pun berusaha menyambut guna mendekatkan diri kepada-Nya.

Melalui “rumah ibadah manusia disadarkan untuk mengenal Pemilik, Pemelihara “Bangunan Tua” (Baitul Atig) agar tidak resah dan ingkar, lalu meninggalkan amal ibadah di sela-sela kesibukan hidup yang diperjuangkannya. Agar manusia memperoleh ketenangan hidup, dengan mental dan keyakinan kuat karena “mengenal” Allah, Tuhan Yang Esa, bukan tuhan menurut hawa nafsu mereka.

Rumah adalah tempat untuk beristirahat melepaskan kepenatan bekerja. Tempat berteduh dari panas terik matahari, terpaan angin malam, dan tempat berlindung dari gangguan binatang buas bahkan setan.

Tempat tinggal ini berfungsi untuk memelihara keharmonisan keluarga, menenangkan hati, memusatkan pikiran, memulihkan tenaga, dan sebagai ladang amal untuk memaknai kehidupan.

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُم مِّن جُلُودِ ٱلْأَنْعَٰمِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَآ أَثَٰثًا وَمَتَٰعًا إِلَىٰ حِينٍ

“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS: An-Nahl: 80)

Kebahagiaan memiliki rumah tinggal yang luas sejatinya diimbangi pula dengan upaya mensyukurinya. Para penghuni rumah dengan hati yang selalu terpaut dengan Baitullah, tempat bersujud (mu’allaqun bil masājid), akan sarat dengan kemaslahatan, keberkahan, dan ketenangan.

Lalu, bagaimana dengan rumah kita yang luas? Adakah kebahagiaan di rumah itu saat beribadah kepada-Nya?

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS: Thaha [20]: 132).

Rumah yang digunakan untuk shalat – dan shalat berjamaah—akan turun rahmat di dalamnya sehingga memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi penghuniya. Jika penghuni rumah telah memperoleh ketenangan dan ketenteraman, berarti suasana rumah telah mendapatkan berkah Allah.* (bersambung)

HIDAYATULLAH

Kumandang Adzan Antarkan Tio Nugroho Memeluk Islam

Presenter Tio Nugroho mengaku seperti tersetrum ketika mendengarkan adzan.

Hidayah bisa didapatkan siapa saja dan kapan saja. Termasuk bagaimana caranya hidayah Islam itu menghampiri seorang hamba. Seperti yang terjadi pada presenter olahraga Tio Nugroho yang memutuskan memeluk Islam usai mendengarkan adzan.

Selama 42 tahun hidup dan mendengar azan lima kali sehari, ia mengaku biasa saja. Tetapi, di hari saat memutuskan menjadi mualaf, Tio mengaku merasakan sebuah perbedaan.

“Ketika gue mendengar azan yang selama 42 tahun, itu gue sering dengar ya sehari lima kali tapi biasa aja. Tapi di hari itu, gue seperti kena kesetrum,” ujar Tio Nugroho, seperti dikutip dari kanal YouTube Islam Trending TV, Selasa (22/3/2022).

Mantan atlet basket tersebut mengaku bingung mengapa bisa merinding saat mendengarkan adzan. Padahal ia bukan pemeluk agama Islam.

Namun menurut pemilik nama lengkap Immanuel Bagus Aditio Nugroho tersebut, situasi itu adalah sebuah panggilan. Karena itu, ia pun langsung pergi ke masjid untuk mengikuti panggilan adzan untuk sholat.

Namun, Tio mengaku bingung lantaran belum mengerti tata cara sholat. “Saya mau ke masjid, tapi saya bingung enggak bisa sholat,” ucap dia.

Tak mau hidayah terputus, ia pun menceritakan kepada teman-teman dekatnya. KH Ma’ruf Amin adalah sosok yang yang membimbing prosesi masuk Islam Tio Nugroho. Dua kalimat syahadat diucapkan di kediaman KH Ma’ruf Amin di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu 1 Juni 2019.

Pembacaan syahadat tersebut diakhiri dengan pemberian nama Muslim kepada Tio. Menurut Kiai Ma’ruf, Tio tidak perlu mengubah namanya secara keseluruhan. “Tinggal tambah saja Ahmad atau Muhammad di depan Bagus Aditio Nugroho. Tapi nama Immanuel jangan dipakai lagi,” kata Kiai Ma’ruf.

Usai mengucapkan dua kalimat syahadat, ia pun sesegukan dan berkali-kali menyeka air matanya. Selepas menjadi Muslim, Tio pun menambakan nama Muhammad di depan namanya.

Ia mengaku bergetar ketika mendengar kumandang adzan sholat Subuh usai pulang kerja. “(Tahun) 2019 adalah masa lalu gue. (Tahun) 2019 ke sini adalah masa depan gue. Gue ngejar akhirat. Enggak pernah mau ketinggalan sholat,” ucap dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Viral Perempuan Menabrak SPKT Polres Siantar, Ini Bahaya Salah Memahami Agama

Berikut ini akan membahas bahaya salah memahami agama. Fenomena ini tampaknya mendapatkan relevansinya dengan kejadian di Polres Siantar. Pasalnya seorang perempuan menabrak SPKT Polres Siantar. Yang  ditenggarai kesalahpahaman memahami ajaran agama. 

Terkait motif perempuan tersebut, sang ibunda menyatakan bahwa anaknya ini mulai berubah setelah nikah dengan suaminya yang kedua. Berubahnya ditengarai oleh ajaran suami yang berbeda paham dalam beragama, perubahan wanita ini pun terdapat pada beberapa aspek. Yakni aspek sikap dan aspek berpenampilan. 

Sang ibu pun sangat menyayangkan perubahan ini, sebab dia menjadi sosok yang tidak biasa, padahal rajin beribadah. 

Lantas bagaimana mungkin, seorang yang rajin beribadah, namun justru tidak membuatnya nyaman, malahan membuat kerusuhan. Agaknya kita harus flashback dulu, fenomena semacam ini sudah diprediksi oleh baginda Nabi SAW. Yang mana beliau pernah didatangi oleh seorang yang rajin membaca Al-Qur’an, namun ia meminta Rasulullah SAW untuk berbuat adil. 

Sungguh keterlaluan, kalau Rasulullah yang notabene merupakan figur yang paling bagus akhlaknya masih dikatakan tidak adil, lantas siapa lagi yang bisa berbuat adil. 

Sehingga Rasulullah Saw bersabda “bahwa kan ada golongan orang yang membaca Al-Qur’an namun hanya sampai kerongkongan saja” (Hadis ini tertera di Sahih Muslim No. 1762). Maksudnya bagaimana? dijelaskan:

(يقرؤون الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ) قَالَ الْقَاضِي فِيهِ تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا مَعْنَاهُ لَا تَفْقَهُهُ قُلُوبُهُمْ وَلَا يَنْتَفِعُونَ بِمَا تَلَوْا مِنْهُ وَلَا لَهُمْ حَظٌّ سِوَى تِلَاوَةِ الْفَمِ وَالْحَنْجَرَةِ وَالْحَلْقِ إِذْ بِهِمَا تقطيع الحروف والثاني مَعْنَاهُ لَا يَصْعَدُ لَهُمْ عَمَلٌ وَلَا تِلَاوَةٌ وَلَا يُتَقَبَّلُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kaum yang membaca al-qur’an, namun hanya sampai kerongkongan saja. Maksudnya adalah hatinya menjadi tidak faham akan makna al-qur’an, dan mereka tidak bisa mengambil manfaat dari pembacaannya, kecuali hanya melantunkan ayat al-qur’an saja. Atau maksudnya adalah mereka hanya sebatas membaca saja, tanpa mengamalkan isinya. (Imam Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim,VII/159)

Fenomena ini juga pernah terjadi di era sahabat, yaitu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib meninggal atas tikaman seorang penghafal al-qur’an yang bernama Ibnu Muljam. 

Demikianlah adanya, menjadi penghafal Al-Qur’an saja, sebenarnya tidaklah cukup. Kita harus menyelami maknanya, tentunya atas bimbingan guru yang mu’tabar. Sebab ditakutkan menjadi seperti demikian, seorang penghafal Al-Qur’an, namun ia malah menjadi pembunuh. 

Adalah salah, jika anda beragama, namun malah menjadi tidak tenang dan tidak ramah. Saleh itu ada 3 dimensi, yaitu saleh spiritual (taat beragama, dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya), saleh intelektual (yakni paham akan ilmu agama, terlebih fikih dan aqidah), dan saleh secara sosial (tidak mengganggu dan menyakiti sesama). 

Untuk menjadi muslim yang ideal, kita harus bisa mengakomodir 3 dimensi tadi. Rasulullah SAW pernah bersabda “Orang muslim yang baik adalah, ketika tetangga dan sesama merasa aman dari gangguan lisan dan tangan kita”. Maka dari itu KH Mustofa Bisri dawuh “Agamamu belum tentu agama Allah, Agama Allah itu menghargai manusia dan menebar kasih sayang pada semesta”. 

Dengan ini kita bisa tahu, bahwa kita dalam beragama tidak hanya dituntut untuk beribadah, namun juga dituntut untuk tidak membuat musibah. Jika anda beragama, namun malah menjadi jauh dari rasa kasih sayang terhadap sesama, maka anda perlu koreksi lagi cara beragama anda. Islam mengajarkan nilai-nilai rahmat antara sesama, bahkan pada hewan sekalipun. 

Fenomena seperti ini, didasari oleh kurangnya bacaan terhadap teks-teks agama, atau bisa jadi karena salah memilih guru. Agama ini adalah sanad, maka jika beragama dengan tidak bersanad, niscaya ia akan berbicara semaunya. Maka dari itu selektiflah dalam memilih guru, setidaknya kita bisa memilah ajaran guru. Mana yang bisa diamalkan, dan mana yang tidak. 

Intinya Islam mengajarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan, jika berbanding dengan demikian, maka berhati-hatilah. Untuk menanggulangi hal-hal demikian, silahkan berguru kepada Ustadz atau Kyai yang sanad keilmuannya bersambung sampai Rasulullah SAW,  dijamin aman. 

Demikian penjelasan terkait viral perempuan menabrak SPKT Polres Siantar. Nah ini bahaya salah memahami agama. Allahumma Faqqihna fi al-din, Amin Ya Rabb.

BINCANG SYARIAH

Jamaah Haji dari Lima Negara Rasakan Manfaat dari Program Rute Makkah

Lebih dari 277 ribu jamaah haji dari lima negara mendapat manfaat dari Inisiatif Rute Makkah menurut Direktur Jenderal Paspor (Jawazat) Letnan Jenderal Suleiman Al-Yahya dalam dua tahun setelah pelaksanaannya. Dia mengatakan, keberhasilan inisiatif ini berkat kerja sama berbagai departemen yang dipimpin oleh Kementerian Dalam Negeri.

Hal itu disampaikan oleh kepala Jawazat saat berpidato di Konferensi dan Pameran Layanan Haji dan Umroh pada Senin (21/3/2022), yang diselenggarakan oleh Kementerian Haji dan Umroh bekerja sama dengan Program Doyof Al-Rahman. Program Doyof Al-Rahman (Tamu Allah) sendiri merupakan program yang diselenggarakan selama tiga hari  dengan bertajuk “Tra

“Doyof Al-Rahman merupakan salah satu pilar Visi 2030 yang bertujuan memperkaya pengalaman haji. Kami mencari kreativitas dan inovasi melalui kerja sama dengan semua sektor pemerintah dan swasta untuk mencapai tujuan ini,” ucap Gubernur Makkah Pangeran Khalid Al-Faisal dalam konferensi tersebut, dilansir Arab News, Selasa (22/3/2022).

“Kami mendorong wirausahawan muda datang dengan solusi inovatif yang akan membantu kami mencapai tujuan kami sehingga kami menciptakan tantangan haji dan umroh yang bertujuan mengumpulkan dan menerapkan ide-ide inovatif. Lebih dari 1.500 orang dari seluruh Kerajaan telah mendaftar ke platform ini dalam 48 jam terakhir,” katanya.

Didalam program Doyof Al Rahman, tantangannya akan ada dua tahap. Pertama, Hajj Creative Hackathon selama tiga hari yang bertujuan memberikan solusi kreatif praktis untuk layanan haji. Pemenang akan mendapatkan hadiah 150 ribu riyal atau sekitar Rp 573 juta.

Tahap kedua, menargetkan pengusaha dan inovator di seluruh Kerajaan. Mereka akan berbagi rekomendasi dan ide selama tiga bulan melalui The Open Innovation Platform.

Menurut Letjen Al-Yahya, inisiatif ini sangat penting dalam memberikan pelayanan dan fasilitas terbaik bagi jamaah haji. “Sekarang, visa haji dan umroh kini diproses menggunakan sidik jari di lima negara yakni, Malaysia, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Tunisia. Sejak 2017, telah melayani lebih dari 277 ribu peziarah,” ucapnya.

Dilansir Saudi Gazette pada Selasa (22/3/2022), Arab Saudi meluncurkan Inisiatif Rute Makkah, di mana pra-izin Proof of Concept (POC) peziarah akan dilakukan di titik keberangkatan negara masing-masing. Jamaah haji dari Indonesia dan Malaysia merupakan penerima manfaat utama di tahap pertama inisiatif yang dimulai pada 2018.

Jamaah haji dari Pakistan, Bangladesh, dan Tunisia mendapat manfaat dari program ini pada tahap kedua haji di 2019, sebelum penangguhan haji untuk jamaah asing pada 2020 dan 2021 karena wabah virus corona. Covid-19 memiliki dampak besar pada haji dan umroh, terutama dalam hal kapasitas dan akses, tetapi Kerajaan mengembangkan aplikasi sebagai tanggapan terhadap pandemi yang penggunaannya melampaui layanan kesehatan.

Menteri Haji dan Umro Tawfiq Al-Rabiahh mengatakan aplikasi Eatmarna telah membantu dalam pengaturan masuk ke Dua Masjid Suci, serta sangat mengurangi kepadatan. “Aplikasi ini berkontribusi pada penciptaan akses yang lebih nyaman ke Dua Masjid Suci. Ini membantu dalam mengidentifikasi pengunjung dan memberikan lebih banyak ruang bagi mereka yang belum mendapatkan akses. Selain itu, ini memungkinkan kami mengumpulkan dan menganalisis data serta menetapkan prioritas,” katanya.

Sistem pra-izin menetapkan pemeriksaan imigrasi dilakukan di negara asal sebelum keberangkatan dibandingkan saat tiba di Kerajaan. Hal ini untuk mengurangi jumlah waktu jamaah haji harus menunggu di bandara Saudi ketika mereka tiba.

https://saudigazette.com.sa/article/618439/SAUDI-ARABIA/Jawazat-Chief-Over-277000-Hajj-pilgrims-benefit-from-Makkah-Route-initiative

https://www.arabnews.com/node/2047336/saudi-arabia

nsformasi Menuju Inovasi”, dilaksanakan oleh Kementerian Haji dan Umroh.

IHRAM

Makrifatullah dan Urgensinya (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Dua Tujuan Penciptaan Manusia 

Pertama, makrifatullah (mengenal Allah), yaitu agar kita mengenal siapa Rabb kita, dapat melalui mempelajari nama, sifat, dan perbuatan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah (berulangkali) turun pada keduanya agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS.Ath-Thalaaq: 12)

Pada ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit, bumi, serta apa yang terdapat pada keduanya dan apa yang ada di antara keduanya. Allah Ta’ala pun menurunkan perintah-Nya, baik perintah yang syar’i, yaitu agama-Nya, maupun perintah yang kauni qodari, yaitu takdir-Nya yang dengan itu Allah Ta’ala mengatur hamba-hamba-Nya.

Sungguh semua itu tujuannya adalah agar kita mengetahui tentang-Nya, mengetahui bahwa kekuasaan dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa kita diciptakan untuk mengenal Rabb kita, mengenal nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Inilah salah satu tujuan hidup kita terlahir di dunia ini, yaitu makrifatullah (mengenal Allah Ta’ala melalui mengenal nama, sifat, dan perbuatan-Nya).

Kedua, ‘ibadatullah semata (tauhid), yaitu agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja).” (QS. Az-Zariyat: 56)

Adapun pada ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia dengan tujuan agar mereka beribadah kepada-Nya saja, atau dengan kata lain mentauhidkan Allah Ta’ala dalam peribadatan yang kemudian dikenal dengan istilah tauhidul uluhiyyah.

Kesimpulan:

Dari kedua ayat ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini untuk mengenal Allah Ta’ala dan beribadah serta taat kepada-Nya semata, dengan jenis peribadatan yang terbangun atas makrifatullah. Tidak masuk akal sehat orang menyembah Allah semata, namun tidak mau mengenal siapa Allah dengan baik.

Definisi Makrifatullah (Mengenal Allah) dan Macam-Macamnya

Definisi makrifatullah adalah mengenal Allah Ta’ala dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Terdapat dua macam makrifatullah, yaitu:

Pertama, makrifatullah global, yaitu mengenal Allah Ta’ala yang merupakan dasar iman sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar, serta terjaga kesahan keimanan. Makrifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum. Tidak hanya diketahui oleh ulama dan muslim yang taat saja, bahkan muslim yang awam dan pelaku maksiat pun tahu.

Contoh makrifatullah global diantaranya mengenal bahwa Allah Ta’ala itu Esa, tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Wajib beribadah kepada Allah Ta’ala semata, tidak boleh beribadah kepada selain-Nya. Mengenal bahwa tauhid itu wajib dan syirik itu haram sebagaimana dalam surah Al-Ikhlas.

Kedua, makrifatullah terperinci, yaitu mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah Ta’ala secara rinci berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis disertai penjelasannya sehingga terbangun keyakinan tentang Allah Ta’ala atas dasar dalil dan membuahkan cinta dan iman kepada Allah yang semakin meningkat.

Makrifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar dan bersungguh-sunguh dalam mencintai Allah Ta’ala. Mereka membuktikan bahwa dengan berusaha mengenal Allah Ta’ala dengan terperinci. Bukan hanya mempelajari tiap nama, sifat, maupun perbuatan Allah Ta’ala beserta dengan dalilnya, tetapi juga mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil sehingga ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah rasa takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala. Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinannya, ucapannya, perbuatannya baik zahir maupun batin. Begitu pula bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan kepada Allah Ta’ala. Bertambah kuat kepercayaannya kepada Allah. Tidak berputus asa dari rahmat Allah. Hatinya tawakal hanya kepada Allah. Merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata. Mengagungkan Allah dan syariat-Nya. Serta rindu berjumpa dengan Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73252-marifatullah-dan-urgensinya-bag-1.html

Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban, bulan mulia namun sering dilalaikan manusia

Keutamaan bulan Sya’ban tidak lepas dari sejarah penamaannya dahulu kala. Bulan ini dinamakan Sya’ban karena dulu orang jahiliyyah memanfaatkannya untuk berbagai macam aktivitas, misalnya berperang. Hal ini disebakan karena pada bulan Rajab bangsa Arab dilarang melakukan peperangan.

Alasan lainnya mengapa dinamakan bulan Sya’ban adalah karena selama bulan ini banyak orang Arab yang berpencar dan bepergian untuk mencari air. Orang yang mencari air tersebut disebut “Sya’baniyyat” atau “Sya’ban”.

Letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Kenapa? Karena bulan Rajab dan Ramadan termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Pada bulan Rajab seorang muslim dilarang melakukan pertumpahan darah atau berperang dan disunahkan untuk memperbanyak amalan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Lathaif Al Ma’arif, 207).

Sedangkan di bulan Ramadan, mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan, serta perbuatan maksiat di kedua bulan tersebut lebih berat dosanya daripada bulan-bulan lain.

Sehingga ketika datang bulan Sya’ban (yang mana terletak diantara keduanya) mereka mengambil kesempatan untuk melakukan peperangan ataupun menyelesaikan urusan. Akhirnya, kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadan.

Anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban

Terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dia berkata,

يا رسول الله لَمْ أرك تصوم شهرًا من الشهور ما تصوم من شعبان؟ قال: “ذلك شهر يغفل الناس عنه، بين رجب ورمضان، وهو شهر تُرفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم “

“’Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan selain di bulan Sya’ban’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan’” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban,

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya)” (HR. Muslim no. 1156).

Besarnya pahala beramal di waktu lalai

Jawaban nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Seorang muslim tidak pantas bagimu untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kamu lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhanmu, agar kamu termasuk hamba yang memilih menghadap Allah Ta’ala di saat yang lain lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam juga ingin menjelaskan pentingnya memanfaatkan dan menghidupkan waktu dengan memperbanyak ketaatan di saat kebanyakan manusia lainnya lalai. Hal ini merupakan sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang saleh terdahulu. Mereka senang mengisi waktu antara salat Magrib dan Isya dengan memperbanyak salat karena tahu bahwa waktu ini termasuk yang banyak dilalaikan manusia.

Di kesempatan yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menjelaskan besarnya keutamaan yang didapat untuk mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya itu lalai. Kita ambil contoh misalnya saat kita sedang di pasar atau pusat perbelanjaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فقال: لا إله إلاَّ الله وَحْدَه لا شَريكَ له، له المُلْكُ وله الحمْد، يُحْيِي ويُمِيت وهو حَيٌّ لا يَمُوتُ، بِيَدِه الخَيْرُ وهو على كلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ – كَتبَ الله له ألفَ ألْف حسنَةٍ، ومَحَا عنْه ألْفَ ألْف سيِّئةٍ، ورَفَعَ له ألْفَ ألْف درَجَة

“Barang siapa yang masuk pasar dan mengucapkan, ‘Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (artinya: tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia-lah yang hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah yang Mahakuasa atas segala sesuatu);’ maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” (HR. Tirmidzi no. 3428 dengan sanad dhaif).

Di samping itu, beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:

Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, dimana puasa merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya.

Kedua, lebih berat di hati untuk dikerjakan karena sedikitnya orang yang mengamalkan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,

إنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ

“’Sesungguhnya di belakang kalian (nanti) ada hari-hari, di mana bersabar pada waktu tersebut seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal di waktu tersebut seperti (mendapat) pahala 50 orang.’ Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, seperti pahala 50 orang dari kalangan mereka sendiri atau seperti 50 orang dari kami?’ Nabi menjawab, ’50 orang dari kalian’” (HR. Al-Haitsami di dalam Majma’ Az-Zawaid no. 285).

Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka (Lathaif Al-Ma’aarif, hal. 191-193).

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwasannya salah satu hikmah berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala.

Beberapa hikmah lainnya dari memperbanyak puasa di bulan Sy’aban

Pertama, Ibnu Rajab Rahimahullah dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’aarif mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.”

Kedua, Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib 5 waktu (yaitu sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.”

Ketiga, amalan setahun kita diangkat kepada Allah pada bulan Sya’ban. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam walaupun dosa-dosanya telah diampuni, beliau tetap menginginkan agar ketika amalannya diangkat, sedang dalam kondisi berpuasa.

Keempat, sebagian ulama mengatakan bahwa bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyiram, dan bulan Ramadan adalah bulan memanen. Oleh sebab itu, siapa yang tidak menanam di bulan Rajab, lalu tidak menyiram di bulan Sya’ban, maka apa yang akan ia panen pada bulan Ramadan?

Wallahu a’lam bisshowaab.

***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/73611-hikmah-memperbanyak-puasa-di-bulan-syaban.html

Jangan Tertipu

Jangan tertipu dengan amalan kita.

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN 

Siapa yang tidak mengenal nama Abu Hurairah? Abu Hurairah (Sang Bapak Kucing) bernama asli Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi (lahir 598 M-wafat 678 M). Ia adalah sahabat yang banyak meriwayatkan hadis Nabi Muhammad SAW. Tercatat lebih kurang dari 5.374 hadis telah diriwayatkan Abu Hurairah.

Hadis-hadis itu pun masih kekal hingga kini, dihafal, dan diamalkan oleh banyak kaum Muslimin. Berapa banyak pahala akan mengalir kepada Abu Hurairah berkat jasanya yang luar biasa tersebut? Tentu amat banyak. Namun, rasa khasyah (takut) beliau amat besar sehingga merasa bekal menuju akhirat amatlah sedikit. Masya Allah!

Dari Ibnu Syaudzab diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Tatkala sakaratul maut menjemput Abu Hurairah, beliau menangis. Orang-orang bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Beliau menjawab, ‘Jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan, dan banyaknya aral rintangan. Sementara tempat kembali, mungkin ke surga, atau mungkin ke neraka’.” (Meneladani Akhlak Generasi Terbaik, hal 29).

Abu Hurairah RA merasa bekal yang ia punya, yakni amal di dunia, amatlah sedikit. Ia pun tak yakin tempat kembalinya apakah ke surga atau neraka. Bila dibandingkan dengan kita yang kualitas dan kuantitas amalnya tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan beliau, terkadang merasa sangat yakin amal diterima. Merasa tenang-tenang saja dengan amal yang belum pasti bernilai atau tidaknya di sisi Allah SWT.

Jangan tertipu dengan amalan kita. Merasa sudah shalat lima waktu, shalat Rawatib, shalat Tahajud, shalat Dhuha, dan shalat sunah lainnya, tapi tak khusyuk dan tak berusaha khusyuk, kita jalankan shalat kita.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang mencuri yang paling buruk adalah orang yang mencuri shalatnya.” Sahabat bertanya, “Bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk, sujud, dan khusyuknya” (HR Ahmad).

Kita merasa sudah puasa Ramadhan, puasa sunah Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh, tapi kita masih bermaksiat di dalamnya. Betapa banyak dari manusia yang mudah terjerumus kepada dosa lisan, pun begitu saat berpuasa.

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta sewaktu berpuasa, Allah tidak menerima puasanya meskipun dia telah meninggalkan makan dan minumnya” (HR Bukhari 4/99).

Kita merasa sudah banyak melantunkan ayat-ayat Alquran, tapi tak kita tadabburi maknanya. Sekadar membaca Alquran tanpa memahami dan menadabburi dapat dilakukan oleh orang munafik maupun orang mukmin.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perumpamaan orang munafik yang membaca Alquran adalah seperti buah raihanah, baunya sedap, tetapi rasanya pahit” (HR Bukhari dan Muslim).

Maka takutlah amal kita tak diterima oleh-Nya karena tak terpenuhinya ikhlas dan ittiba’. Sertakan rasa harap, panjatkan doa agar amal diterima oleh Allah Ta’ala. Semoga kita dapat senantiasa meningkatkan kualitas amal sehingga menyebabkan diterimanya amal kita di sisi Allah SWT.

Wallahu a’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tawakal dalam Setiap Keadaan

Tawakal adalah amalan yang harus senantiasa membersamai setiap aktifitas kita. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala menjelaskan bahwasanya seorang mukmin harus bertawakal dalam berbagai kondisi. Pada artikel ini akan dijelaskan beberapa keadaan yang menuntut adanya tawakal dalam melakukannya.

Perintah tawakal ketika beribadah

Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Hud: 123).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kepada rasul-Nya dan orang-orang yang beriman untuk beribadah dan sekaligus memerintahkan mereka untuk bertawakal.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً

“Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara” (QS. Al-Ahzab: 2-3).

Setelah Allah Ta’ala memerintahkan untuk beribadah dan mengikuti wahyu yang Allah Ta’ala turunkan, Allah Ta’ala memerintahkan pula untuk bertawakal kepada-Nya. Ini merupakan perintah untuk nabi dan seluruh umat setelahnya sampai hari kiamat. Perintah untuk nabi berlaku juga untuk seluruh umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Perintah tawakal saat berdakwah

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللّهُ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku. tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung’” (QS. At-Taubah: 129).

Nabi Nuh ‘Alaihis salam bertawakal kepada Allah Ta’ala ketika mengemban amanah dakwah. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firmannya,

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِن كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُم مَّقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللّهِ فَعَلَى اللّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُواْ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُواْ إِلَيَّ وَلاَ تُنظِرُونِ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku’”  (QS. Yunus: 71).

Setelah berdakwah selama bertahun-tahun kepada kaumnya dan didustakan oleh kaumnya, beliau senantiasa bertawakal kepada Allah Ta’ala dan menyerahkan urusannnya kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, beliau pun bisa melaluinya dan mendapat pertolongan dari Allah Ta’ala. Maka wajib bagi setiap dai yang menyerukan Islam untuk terus bersabar dalam dakwah dan senantiasa bertawakal kepada Allah Ta’ala dalam menempuh jalan dakwahnya.

Tawakal ketika memutuskan hukum

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali” (QS. Asy-Syura: 10).

Dalam ayat ini, terdapat isyarat bahwasanya setiap qadhi atau hakim selama berada di atas kebenaran, hendaknya dia harus tetap bertawakal kepada Allah Ta’ala agar senantiasa diberi pertolongan untuk memutuskan perkara dengan baik dan benar.

Tawakal di medan jihad

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ إِذْ هَمَّت طَّآئِفَتَانِ مِنكُمْ أَن تَفْشَلاَ وَاللّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Engkau (Muhammad) berangkat pada pagi hari meninggalkan keluargamu untuk mengatur orang-orang beriman pada pos-pos pertempuran. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong mereka. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. Ali Imran: 121-122).

Allah Ta’ala memerintahkan untuk bertawakal kepada-Nya. Sesungguhnya ketika mereka sedang melawan musuh dan berperang, maka sesungguhnya Dialah Allah Ta’ala yang menolong dan membantu mengalahkan para musuh. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya,

إِن يَنصُرْكُمُ اللّهُ فَلاَ غَالِبَ لَكُمْ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَن ذَا الَّذِي يَنصُرُكُم مِّن بَعْدِهِ وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكِّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal” (QS. Ali-Imran: 160).

Dialah Allah Ta’ala yang menolong kaum muslimin ketika kondisinya lemah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُواْ إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal” (QS. Al-Maidah: 11).

Dan Dia pula yang memberikan pertolongan ketika kaum muslimin dalam kondisi kuat,

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً

“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun” (QS. At-Taubah: 25).

Baca Juga: Tawakal, Kunci Keberhasilan Yang Sering Dilalaikan

Bertawakal kepada Allah Ta’ala saat melakukan perdamaian

Allah Ta’ala berfriman,

وَإِن جَنَحُواْ لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal: 61).

Sebagian orang mungkin heran megenai tawakal dalam kondisi ini. Apa faedahnya bertawakal setelah berhentinya perang dan telah selesai melawan musuh kaum muslimin? Ketahuilah, sesungguhnya tawakal dalam hal ini memiliki faedah yang sangat jelas. Contohnya dalam peristiwa yang terjadi setelah pertempuran Hudaibiyah, ketika kaum Quraisy melanggar perjanjian kaum muslimin. Dalam keadaan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menunaikan perjanjian tesebut dengan mereka. Manusia saat itu berbondong-bondong masuk ke dalam Islam dari Jazirah Arab karena sebab tawakal kepada Allah Ta’ala. Jadilah ini pembuka kemenangan kaum muslimin.

Perintah bertawakal saat bermusyawarah

Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS. Ali-Imran: 159).

Ayat ini memberikan isyarat bahwasanya musyawarah merupakan salah satu langkah mengambil sebab untuk tercapainya sesuatu. Adapun sebab yang nyata adalah tawakalnya hati kepada Allah Ta’ala yang menjadi alasan terwujudnya hal yang diinginkan dalam suatu perkara. Lihatlah orang yang tampaknya hebat dan berada pada posisi unggul, dia bisa satu suara bersama ratusan pendukung dan para ahli bersamanya. Akan tetapi, bisa jadi pendapat mereka ternyata keliru. Oleh karena itu, sudah seharusnya bertawakal kepada Allah Ta’ala saat melakukan musyawarah dan memutuskan suatu perkara.

Bertawakal kepada Allah Ta’ala ketika mencari rezeki

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya ayat yang paling jelas menunjukkan mengenai tawakal adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar’”

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah Engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati sampai dia benar-benar telah mendapat seluruh rezekinya walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram” (HR. Ibnu Majah, sahih).

Bertawakal ketika mengadakan perjanjian

Allah Ta’ala menyebutkan tentang Nabi Ya’qub ‘Alaihis salam yang bertawakal kepada Allah Ta’ala ketika memerintahkan anaknya,

قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقاً مِّنَ اللّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلاَّ أَن يُحَاطَ بِكُمْ فَلَمَّا آتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ

“Ya’qub berkata, ‘Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh.’ Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata, ‘Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)’” (QS. Yusuf: 66).

Dalam ayat selanjutnya,

وَقَالَ يَا بَنِيَّ لاَ تَدْخُلُواْ مِن بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُواْ مِنْ أَبْوَابٍ مُّتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنكُم مِّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Dan Ya’qub berkata, ‘Hai anak-anakku, janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain. Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah. Kepada-Nya-lah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri’” (QS. Yusuf: 67).

Bertawakal ketika hijrah di jalan Allah Ta’ala

Hijrah merupakan momentum penting dan krusial dalam perjalanan seorang hamba. Allah Ta’ala menyifati hamba-Nya dengan orang yang bertawakal saat mereka berhijrah meninggalkan negerinya, kerabatnya, dan hartanya. Tentu mereka bersedih dan harus berkorban berpisah dari kerabatnya dan kenangan indah yang ada di sana. Akan tetapi, dengan bertawakal kepada Allah Ta’ala, hal itu menjadi ringan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ فِي اللّهِ مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُواْ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُواْ يَعْلَمُونَ الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal” (QS. An-Nahl: 41-42).

Perhatikan pula bagaimana tawakalnya Nabi dan para sahahat ketika menjalani hijrah,

إِلاَّ تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُواْ ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا فَأَنزَلَ اللّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُواْ السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah besrsama kita.’ Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. Dan Al-Qur’an menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah: 40).

Tawakal dalam urusan akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia. Dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman. Dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal” (QS. Asy-Syura: 36).

Adakah kedudukan yang lebih mulia daripada menggapai kebahagiaan akhirat? Akhirat adalah puncak tujuan. Ia merupakan keinginan dan harapan setiap mukmin. Sehingga sudah selayakanya bagi orang yang beriman agar bersungguh-sungguh dalam bertawakal untuk menggapainya.

*****

Penulis: Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/73206-tawakal-dalam-setiap-keadaan.html

Merindukan Ramadan

Hari demi hari terus berlalu. Bulan Sya’ban terus melaju dan Ramadan semakin mendekat. Bulan yang penuh dengan berkah dan keutamaan. Betapa menyedihkan apabila kita tidak diberi taufik untuk bertemu dengan bulan itu dan beramal saleh di dalamnya.

Saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala, betapa banyak dosa yang telah kita lakukan di hadapan-Nya. Waktu demi waktu berlalu dan Allah terus saja membuka pintu taubat. Allah bentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat pelaku dosa di siang hari. Allah bentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat pelaku maksiat di malam hari. Wahai saudaraku, apakah Allah kurang pemurah dan pemaaf terhadap kita?!

Demi Allah, tidaklah Allah bakhil dari mencurahkan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki diri dan bertaubat kepada-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah menyeru hamba-hamba-Nya yang melampaui batas kepada dirinya sendiri, agar mereka tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa bagi siapa saja yang mau kembali dan bertaubat dengan tulus kepada-Nya.

Sadarlah, bahwa kesempatan untuk bertaubat itu masih terbuka selama nyawa masih belum berada di tenggorokan. Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapankah saatnya malaikat maut datang untuk mencabut nyawa kita. Bisa jadi kematian datang dan Ramadan belum jua datang menghampiri kita. Ya, taubat harus kita lakukan sekarang juga. Tidak perlu menunggu Ramadan. Tidak perlu menunggu bulan puasa. Tidak perlu menunggu semerbak shaum menyelimuti manusia.

Wahai saudaraku yang dirahmati Allah, kesempatan itu masih terbuka lebar untuk kita. Apakah Engkau ragu akan luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya?! Bukankah Allah menerima taubat si pembunuh seratus nyawa? Bukankah Allah menerima taubat orang-orang musyrik penyembah berhala yang berubah menjadi pengikut setia nabi akhir zaman Shallallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Allah menerima taubat Ka’ab bin Malik dan teman-temannya Radhiyallahu ’anhum ajma’in? Bukankah Allah menerima taubat Adam dan istrinya ‘Alaihimassalam yang telah melanggar aturan Rabb mereka?!

Katakanlah saudaraku, apa yang membuat kita terhalang dari taubat kalau bukan berhala hawa nafsu yang bercokol di dalam dada kita?

Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali Rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147).

Syekh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan Hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah ‘berhala’. Setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya, Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala, dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah Subhanahu wa ta’ala adalah hancurnya berhala secara fisik, sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi, yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari ‘berhala’ di dalam hati, bahkan inilah cakupan paling awal” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fit Tarbiyah wal Ishlah, hal. 41).

Ya Allah, pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan.

Hikmah ibadah puasa

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah diragukan bahwa puasa adalah ibadah yang sangat mulia. Allah wajibkan ibadah puasa kepada kita agar kita bertakwa kepada-Nya. Berikut ini kami sajikan ringkasan faedah mengenai hikmah puasa yang disampaikan oleh Syekh Abdurrazzaq al-Badr dan Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhahumallah.

Syekh Abdurrazzaq Hafizhahullah memaparkan bahwa puasa merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan ketakwaan kepada Allah. Puasa akan membebaskan jiwa dari kotoran dan perusak-perusaknya. Puasa akan menyucikan jiwa dari kecenderungan untuk selalu memuaskan nafsu dan syahwatnya. Sesungguhnya puasa melatih jiwa untuk bersabar menahan diri dari hal-hal yang disenangi dan disukai oleh hawa nafsu dan telah menjadi kebiasaan yang melekat dalam hidupnya.

Apabila jiwa telah ditempa dengan puasa, maka niscaya dirinya akan terlatih untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Ketakwaan tidak akan terwujud kecuali dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Puasa ini akan menjadi perisai bagi hamba dari bergelimang di dalam dosa-dosa dan perisai baginya dari kemurkaan Rabbnya.

Barang siapa yang diberikan taufik oleh Allah untuk menunaikan puasa sebagaimana mestinya, niscaya hal itu akan bisa menjadi bekal untuknya selama setahun berikutnya. Berpuasa satu bulan bisa memberikan faedah dan dampak positif baginya selama satu tahun lamanya dengan izin Allah. Demikianlah ringkasan faedah yang disampaikan oleh Syekh Abdurrazzaq al-Badr Hafizhahullah dalam kitab Syarh ad-Durus al-Muhimmah (hal. 49).

Syekh Shalih al-Fauzan menjelaskan bahwa puasa adalah jalan untuk menggapai takwa. Seseorang yang berpuasa sedang menempa dirinya untuk beribadah dan berlatih menghadapi kesulitan dan rintangan. Dia akan berlatih untuk meninggalkan sesuatu yang telah menjadi kesenangan dan hal yang disukai oleh hawa nafsunya. Orang yang berpuasa sedang berjuang untuk menaklukkan hawa nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan. Dia pun berjuang keras agar terjauhkan dari berbagai godaan dan tipu daya setan.

Ketakwaan itu akan digapai dengan cara berpuasa. Maksudnya, dengan melakukan perintah-perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Dia mengharapkan curahan pahala dari Allah dan takut akan hukuman-Nya. Inilah salah satu keistimewaan puasa yang paling agung, yaitu ia akan membuahkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikianlah kurang lebih kandungan dari salah satu faedah berharga yang disampaikan oleh Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan Hafizhahullah dalam Majmu’ Fatawa (2: 383).

Dari keterangan kedua ulama di atas, tampaklah bagi kita bahwa takwa bukan perkara sepele dan remeh yang bisa diperoleh hanya dengan bersantai-santai dan bermalas-malasan. Sesungguhnya takwa kepada Allah butuh perjuangan keras untuk menundukkan hawa nafsu, yang seringkali mengajak kepada keburukan. Takwa kepada Allah butuh kesadaran hati dan ketundukan akal kepada perintah dan larangan Allah. Takwa pun harus berakar dari dalam hati. Bukan semata-mata perbuatan anggota badan dan ucapan dengan lisan.

Kita dilatih dan ditempa untuk menjadi hamba Allah yang sejati dengan ibadah puasa. Bukan hamba hawa nafsu dan pemuja kenikmatan-kenikmatan semu. Seorang hamba tidak bisa dengan hanya bersandar kepada kemampuan dirinya untuk mewujudkan puasa dan ketakwaan itu. Akan tetapi, dia harus bersandar dan bergantung kepada Allah semata. Hanya Allah lah yang bisa membantu dan memudahkan dirinya dalam menempuh jalan menuju takwa. Semoga nasihat yang singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahul musta’aan.

***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Sumber: https://muslim.or.id/73250-merindukan-ramadan.html

Keutamaan Surat Al Mulk

Dalam kitab Amaliy Al Hafiz Ibnu Hajar, disebut tentang hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh aku menginginkan bila surat (Al-Mulk) ada di dalam hati umatku.”

Ibnu Hajar menjelaskan, berbahagialah mereka yang menyimpan baik-baik surat Al-Mulk. Maksudnya, siapa yang menghafal surat Al-Mulk dan membacanya setiap hari, demikian penjelasan Ibnu Hajar, maka termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits tersebut.

Dalam riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda bahwa seorang Muslim yang senantiasa membaca surat Al-Mulk tidak akan disiksa di alam kubur karena surat tersebut membela pembacanya di Hari Kiamat kelak sehingga dia pun akan selamat dari api Neraka. Karena itu, keutamaan besar dari surat Al-Mulk ini ialah menyelamatkan pembacanya dari api Neraka.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di dalam Alquran terdapat suatu surat yang berisikan 30 ayat yang dapat memohonkan ampunan bagi pembacanya sampai ia mendapat ampunan, yaitu Tabarakal Lazi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk).”

Setiap Muslim dianjurkan untuk membaca surat Al-Mulk pada malam hari. Dalam riwayat Turmudzi, dari Jabir, disebutkan bahwa Rasulullah masih belum tidur sebelum membaca Alif Lam Mim Tanzil (Surat As-Sajdah) dan Tabarakal Lazi Biyadihil Mulku (Al-Mulk).

IHRAM