Seperti Apa Shalat Tarawih Masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?

Ada beberapa hal menarik mengenai shalat tarawih Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Sayiyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhum. Menariknya, kita akan mengetahui sejarah pelaksanaan shalat tarawih pada zaman kedua sahabat tersebut. Apakah shalat tarawih dilakukan berjamaah atau munfarid (sendirian) pada zaman kedua Khalifah tersebut? Berapa jumlah rakaat yang ideal dalam pelaksanaan shalat tarawih: 8, 11, atau 20 bahkan 36 rakaat?

Sebelum lebih jauh menelusuri kemenarikan shalat tarawih, kita perlu sama-sama mengetahui hukum shalat tarawih. Shalat tarawih merupakan shalat sunnah muakkadah (shalat yang sangat dianjurkan). Hasil riset tim Fazilet Neşriyat dalam Kalender Fazileti bahwanya shalat tarawih bukan merupakan sunah puasa melainkan sunah bulan Ramadan. Orang yang tidak berpuasa karena sebuah halangan tetap harus mengerjakan shalat tarawih selama dia mampu untuk mengerjakannya.

Pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra., pelaksanaan shalat tarawih dilakukan secara  munfarid atau berkelompok tiga, empat, atau enam orang. Di antara para sahabat pun ada yang melaksanakan shalat 8 rakaat kemudian menyempurnakan di rumahnya. Mengutip dari islam.nu.or.id, ada sebuah keterangan bahwa Imam Malik memilih 8 rakaat. Bahkan di kalangan mazhab Maliki pun masih ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara 20 rakaat dan 36 rakaat.

Hal demikian sebagaimana Imam Malik bin Anas ra. meriwayatkan hadis bahwa Imam Darul Hijrah Madinah berpendapat shalat tarawih itu lebih dari 20 rakaat sampai 36 rakaat, “Saya dapati orang-orang melakukan ibadah malam di bulan Ramdan (shalat tarawih) dengan 39 rakaat (yang tiga adalah witir).”

Akan tetapi, mayoritas Malikiyyah (pengikut mazhab Imam Malik) sendiri sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah (pengikut mazhab Imam Syafi’i), Hanabilah (pengikut mazhab Imam Hambali), dan Hanafiyyah (pengikut mazhab Imam Hanafi) sepakat bahwa shalat tarawih ialah 20 rakaat dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan oleh para ulama).

Lain halnya pada masa Khalifah Umar ra., beliau berinisiatif untuk pelaksaannya dilakukan secara berjamaah. Inisiatif ini terekam dalam hadis sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari. Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’ keluar bersama Sayiidina Umar ra. ke masjid pada bulan Ramadan. Didapati di dalam masjid tersebut orang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang berjamaah.

Setelah melihat hal tersebut Sayidina Umar ra. berkata,

إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ

“Saya punya pendapat, andai mereka ( shalat tarawih sendiri-sendiri dan ada yang berjamaah) aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus”.

Kemudian Sayyidina Umar mengumpulkan mereka dengan Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Pada malam berikutnya kami (Sayyidina Umar ra. dengan Abdirrahman bin ‘Abdil Qari)  datang ke masjid kembali melihat orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah dibelakang satu imam.

Kemudian Sayyidina Umar berkata,

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik baiknya bid’ah adalah ini”.

Dikisahkan pula dalam suatu hadis yang diriwayatkan Abu Dawud bahwasanya Abi Hurairah ra. melihat Rasulullah SAW. keluar dan melihat banyak orang yang melakukan shalat di bulan Ramadan (tarawih) di sudut masjid. Kemudian Rasul bertanya kepada Abi Hurairah,

مَا هَؤُلَاءِ ؟

“Siapa mereka?”

Kemudian dijawab,

هَؤُلَاءِ نَاسٌ لَيْسَ مَعَهُمْ قُرْآنٌ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي وَهُمْ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai Alquran (tak bisa menghafal atau tidak bisa hafal Aquran).

Kemudian Ubay bin Ka’ab mengimani shalat (tarawih) mereka, lalu Nabi berkata, “Mereka itu benar, dan sebaik-baiknya perbuatan adalah yang mereka lakukan”.

Ketika itu shalat tarawih dilakukan berjamaah dengan 20 rakaat. Seperti dalam hadis riwayat Malik bahwasanya Yazid bin Ruman telah berkata Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar ra. di bulan Ramadan sebanyak 23 raakaat (20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir)

Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa shalat tarawih itu boleh dilakukan sendirian maupun berjamaah. Namun shalat tarawih berjamaah merupakan bentuk inisiatif Sayidina Umar ra. dan ini merupakan sunnah. Karena mengikuti para Khulafaur Rasyidin merupakan sunnah yang secara langsung dideklarasikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.

Khususnya berkaitan dengan kedua Khalifah tersebut Nabi bersabda,

عَنْ حُذَيْفَةُ هُوَ الَّذِي يَرْوِي عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ( أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ)ـ

“Dari Hudzaifah ra. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Ikutilah dua orang setelahku, yakni Abu Bakar dan Umar,” (HR Turmudzi).

Adapun jumlah rakaat dapat kita katakan itu ideal ialah 20 rakaat dan disambung 3 rakaat shalat witir. Sebagaimana yang telah dijelakan sebelumnya, bahwa sudah menjadi ijma’ kesepakatan para ulama.

ISLAM KAFFAH

Ini Doa Iftitah Pendek yang Dibaca Rasulullah Ketika Shalat Tarawih

Ini doa iftitah Rasulullah ketika shalat Tarawih. Doa Iftitah ini bisa diamalkan ketika tengah melaksanakan shalat Tarawih. Terlebih jika, imamnya cepat dalam bacaan shalatnya. 

Ketika kita melaksanakan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, kita dianjurkan untuk membaca doa iftitah. Yang dimaksud doa iftitah adalah doa yang dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca surah Al-Fatihah. 

Berdasarkan beberapa riwayat hadis, terdapat banyak macam doa iftitah yang dibaca dan diajarkan Rasulullah Saw. Di antara doa iftitah yang dibaca Rasulullah Saw ketika beliau melaksanakan shalat qiyam ramadhan adalah doa iftitah berikut;

اللَّهُ أَكْبَرُ ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

Allohu akbar, dzul malakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa-i wal ‘azhamati.

Allah Maha Besar, Dzat yang memiliki kerajaan dan keperkasaan, serta yang memiliki kesombongan dan keagungan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Hudzaifah, dia berkata;

أتَيتُ النَّبيَّ -صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ- في لَيْلةٍ مِن رَمَضانَ، فقام يُصلِّي، فلمَّا كَبَّرَ قال: اللهُ أكبَرُ، ذو المَلَكوتِ والجَبَروتِ، والكِبْرياءِ والعَظَمةِ، ثم قَرَأَ البَقَرةَ، ثم النِّساءَ، ثم آلَ عِمْرانَ، لا يَمُرُّ بآيةِ تَخْويفٍ إلَّا وَقَفَ عندَها. ثم رَكَعَ يقولُ: سُبْحانَ ربِّيَ العَظيمِ، مِثلَ ما كان قائِمًا، ثم رَفَعَ رأسَه، فقال: سَمِعَ اللهُ لمَن حَمِدَه، ربَّنا لك الحَمدُ، مِثلَ ما كان قائِمًا، ثم سَجَدَ يقولُ: سُبْحانَ ربِّيَ الأعلى، مِثلَ ما كان قائِمًا، ثم رَفَعَ رأسَه فقال: ربِّ اغفِرْ لي، مِثلَ ما كان قائِمًا، ثم سَجَدَ يقولُ: سُبْحانَ ربِّيَ الأعلى، مِثلَ ما كان قائِمًا، ثم رَفَعَ رأسَه فقامَ، فما صلَّى إلَّا رَكعَتَينِ حتى جاءَ بلالٌ فآذَنَه بالصَّلاةِ

Aku mendatangi Nabi Saw pada suatu malam di bulan Ramadhan. Maka, beliau pun berdiri untuk shalat. Ketika takbir, beliau membaca; Allohu akbar, dzul malakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa-i wal ‘azhamati. 

Kemudian beliau membaca surah Al-Baqarah, lalu surah Al-Nisa, lalu Ali Imran. Beliau tidak melalui ayat ancaman melainkan berhenti sejenak. Kemudian beliau rukuk dan membaca Subhaana rabbiyal ‘azhiim’ (yang lamanya) seperti saat berdiri. 

Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; ‘Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa lakal hamd,’ seperti saat berdiri. Kemudian beliau sujud dan membaca; Subhaana rabbiyal a’laa,’ seperti saat berdiri. 

Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; Rabbighfirlii, sama seperti ketika berdiri (lamanya). Kemudian beliau sujud lagi dan beliau membaca; ‘Subhaana rabbiyal a’laa,’ seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan berdiri. Beliau tidak shalat selain hanya dua rakaat sampai datang Bilal yang mengumandangkan adzan untuk shalat.

Demikian penjelasan terkait doa iftitah pendek yang dibaca Rasulullah ketika Shalat Tarawih. Semoga bermanfaat

BINCANG SYARIAH

Pesantren Virtual Tingkatkan Literasi Umat

Selama bulan puasa Sinergi Foundation (SF) kembali menggelar program “Pesantren Virtual Ramadhan 1443 H”. Pesantren Virtual adalah kajian online selama bulan Ramadhan yang mengangkat banyak tema menarik seperti serial keluarga Islami, parenting, dan sirah nabawiyah.

Di sini, para peserta bisa ‘nyantri online’ dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dengan mudah dan praktis via daring di rumah saja.

“Kita mengadakan satu pendekatan dengan mengadakan pesantren virtual namanya. Kita mengundang beberapa tokoh ustaz nasional dan itu full selama satu bulan Ramadhan. Tujuannya untuk meningkatkan literasi dan edukasi masyarakat,” ujar CEO Sinergi Foundation, Asep Irawan saat ditemui usai menjadi pembicara dalam acara workshop jurnalis wakaf 2022 di Bogor, Sabtu (9/4/2022).  

Dia menjelaskan, literasi tentang sedekah dan zakat sendiri sudah cukup baik di Indonesia. Namun, menurut dia, literasi tentang wakaf masih rendah. Berdasarkan data literasi wakaf nasional 2020, skor indeks literasi wakaf Indonesia adalah 50,48. Karena itu, menurut Asep, di bulan Ramadhan ini juga perlu digencarkan literasi tentang wakaf kepada masyarakat luas. “Kalau bicara zakat di Indonesia sudah lama. Tapi kalau bicara wakaf butuh energi yang luar biasa,” ucap Asep.  

Sebagai informasi, Sinergi Foundation (SF) merupakan lembaga filantropi yang mengelola dana Wakaf, Zakat, Infak dan Sedekah, serta Dana Sosial lainnya melalui program inovasi sosial pemberdayaan. Dengan sinergi antar segenap elemen peduli guna meningkatkan kapasitas serta memperluas jangkauan pengabdian, SF berkomitmen meretas jalan bersama melalui pendayagunaan sumberdaya lokal, menuju terwujudnya masyarakat yang mandiri, produktif dan berkarakter. 

IHRAM

Syukur

Syukur adalah mengetahui dan merasakan nikmat dengan hati dan ungkapkan dengan lisan.

Syukur adalah mengetahui dan merasakan nikmat dengan hati dan mengungkapkannya dengan lisan. Menurut Ibnu Athaillah, syukur terbagi tiga. 

Pertama, syukur dengan lisan, mengungkapkan secara lisan atas nikmat yang diperoleh. Kedua, syukur dengan anggota badan, syukur yang diungkapkan melalui anggota badan untuk menaati perintah-Nya.

Terakhir syukur dengan hati, mengakui bahwa hanya Allah SWT sebagai pemberi nikmat dengan segala bentuk kenikmatan yang diperoleh hambanya semata-mata dari Allah SWT.

Bersyukur sangat erat berhubungan dengan nikmat yang diberikan Allah SWT. Adapun nikmat tersebut terbagi dalam tiga golongan, yakni:

Orang yang gembira dan senang menerima nikmat. Menikmati kelezatannya dan memuaskan hawa nafsunya, maka ia termasuk golongan orang yang lalai (ghafil).

Orang yang gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa dengan nikmat itu adalah karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya.

Orang yang hanya bergembira dengan Allah SWT bukan karena karunia-Nya. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh kelezatan lahir dan batin nikmat itu, karena ia sibuk memperhatikan Allah SWT sehingga ia tercukupi dari segala hal selain-Nya. Dengan demikian tiada yang terlihat padanya, kecuali Allah.

Golongan pertama penerima nikmat Allah SWT yang betul-betul menikmati seperti makan minum tanpa mengingat Tuhannya. Golongan ini layaknya seperti hewan dan setiap kali diberi nikmat akan selalu lalai dan tidak pernah bersyukur. Akibatnya akan menerima siksa Allah SWT dengan tiba-tiba.

Golongan kedua, masih lebih baik dari yang pertama. Namun mereka ini belum sempurna karena masih menoleh ke arah nikmat itu dan masih merasa bahagia dengannya. Ia masih merasa senang dengan nikmat meski menyadari bahwa nikmat itu dari Allah SWT.

Golongan ketiga, mereka hanya bergembira dengan Allah SWT bukan karena karunia-Nya. Mereka tidak terdorong menikmati kelezatan lahir nikmat itu. Kelezatannya hanya terdapat pada kedekatan pada-Nya. 

Ingatlah pesan utusan-Nya bahwa syukur kita jadikan sebagai kekayaan akhirat, pengganti kekayaan di dunia. Umar bin Khathab bertanya pada Tsauban, “Apa yang akan kita jadikan kekayaan?” Tsauban menjawab, “Lisan yang senantiasa berdzikir dan hati yang selalu bersyukur.”

Bersyukur atas nikmat merupakan sikap pengakuan seorang hamba atas nikmat yang diberikan-Nya. Nikmat paling besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia berupa akal. Nikmat akal ini yang membedakan dari makhluk lain, sehingga dengan akal manusia bisa menyikapi nikmat menuju golongan manusia penerima nikmat yang tertinggi.

Namun dengan akal manusia bisa berpikir dan berangan-angan dan menginginkan suatu kenikmatan lain. Inilah yang harus dihindari.

Orang bijak mengatakan, syukur adalah pengikat nikmat yang telah diperoleh dan penarik nikmat yang belum didapat. Sebagian ulama mengatakan, siapa saja diberi nikmat tapi tidak mau bersyukur, maka secara tidak sadar membiarkan nikmat itu pergi.

Di sini penulis menekankan rasa syukur terhadap nikmat yang kita peroleh, nikmat bernafas, nikmat mendengar, melihat, mencium yang membedakan bau dan lain-lain. 

“Fa biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdziban” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?). Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surah ar-Rahman. Hal ini menandakan karena sangat sayangnya Allah SWT mengingatkan pada hambanya. 

Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa syukur adalah pengabdian penuh kepada Allah SWT sebagai Zat pemberi nikmat. Allah SWT juga berjanji kepada para hamba-Nya untuk menambah nikmat jika mereka mau bersyukur.

Ingatlah janji-Nya pada surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi, “Apabila kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku) maka azab-Ku sangat pedih.”

Adapun tingkatan syukur manusia terbagi tiga. Pertama, awam. syukur yang dilakukan karena mendapatkan anugerah. Kedua, khawash. Syukur yang dilakukan karena mendapat anugerah maupun musibah. Ketiga, khawashul khawash. Syukur terhadap anugerah, musibah, dan sekaligus mampu menyadari bahwa di balik anugerah dan musibah ada Allah Yang Mahakuasa.

Banyak manusia yang lalai atas nikmat tersebut, apalagi tatkala kewalahan dalam pengendalian nafsu, maka mereka menjadi orang-orang yang terhina. Sifat manusia yang mempunyai kebutuhan cukup besar jika diimbangi dengan sikap sedikit kebutuhan, maka selamatlah ia dari kehancuran.

Penulis menutup dengan syair dan semoga kita selalu bersyukur atas seluruh nikmat dari-Nya.

Kau diberi mata untuk melihat.

Namun kau tidak ingat bahwa Allah Maha Melihat.

Diberi telinga untuk mendengar.

Kau lupa kalau Allah Maha Mendengar.

Bisa bicara karena diberikannya lidah.

Lupa akan adab bicara.

Lantas apa bedanya organ pemberian-Nya dengan sepotong daging di pasar?

Nasihat Maulana Rumi, “Allah menyematkan diri-Nya dengan sifat al-bashir (Maha Melihat) agar kau takut menghadapi hal-hal yang merusak. Dia menyematkan as-sami’ (Maha Mendengar) agar kau menahan mulutmu dari segala hal yang merusak. Allah menyatakan diri-Nya adalah al-‘alim (Maha Mengetahui), memberitahu kepadamu tentang pengetahuan-Nya atas dirimu dan mengingatkanmu dari pikiran yang rusak.”

Tidakkah pemberian-pemberian ini merupakan nikmat dari-Nya. Syukur adalah sikap yang tepat.

Masihkah kau mau dusta atas nikmat ini? Tidak sadarkah yang kau hirup udara juga pemberian-Nya.

Semoga kita ternasuk golongan yang mensyukuri nikmat-Nya.

Oleh: Aunur Rofiq,Ketua Dewan Pembina Hipsi (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)

KHAZANAH REPUBLIKA

Panduan Orang Tua Muslim (5): Anjuran Mendidik Anak Menjadi Pribadi Mandiri

Basis pendidikan agama untuk anak mutlak harus ditanamkan kuat. Kokohnya ilmu agama pada diri anak menjadi modal utama menjalani kehidupan di dunia. Dengan keimanan dan ketakwaan yang kuat dan benar, tidak ada kekhawatiran terpelesetnya anak pada jalan kesalahan.

Disamping itu, Allah memberikan garansi kehidupan yang baik kepada orang yang bertakwa, termasuk garansi rejeki dan jalan keluar semua problem hidupnya.

Akan tetapi, sebagai ikhtiar orang tua untuk bekal anaknya adalah mendidik mereka supaya menjadi pribadi mandiri. Anak harus dilatih dan dididik dengan kemandirian supaya kelak menjadi pribadi yang tidak bergantung kepada orang lain.

Rasulullah sendiri dalam beberapa haditsnya menganjurkan umat Islam supaya menjadi sosok yang mandiri. Tujuannya supaya menjadi orang yang mulia. Mulia secara agama dan mulia dihadapan manusia lain.

Dari Miqdam, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Tiada sesuap makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil jerih payahnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri”. (HR. Bukhari)

Sabda Nabi ini menjadi alarm peringatan bagi umat Islam supaya berusaha menjadi pribadi yang selalu giat berusaha sehingga menjadi pribadi yang mandiri.

Dari Abi ‘Ubaid, hamba Abdurrahman bin ‘Auf, ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh, seikat kayu bakar yang dipikul salah seorang dari kalian (kemudian dijual) lebih baik dari pada ia meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau ditolak”. (HR. Bukhari)

Hadits ini seharusnya menjadi pengingat kepada orang tua untuk mendidik anak memiliki mental kemandirian. Anak yang telah terdidik dengan kemandirian setelah dewasa akan menjadi pribadi tanggung dalam menjalani kehidupan. Apabila ia sebagai kepala rumah tangga akan giat berusaha untuk pemenuhan kebutuhan anak dan istrinya.

Dari Abu Mas’ud al Anshari, aku berkata, Rasulullah bersabda: “Jika seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah”. (HR. Bukhari)

Motivasi kemandirian seorang muslim juga disebutkan dalam al Qur’an.

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al Qashash: 77)

Tidak melupakan bagian di dunia memiliki arti harus melakukan tugas-tugasnya, seperti mencari nafkah keluarga dan lain-lain. Harus ada keseimbangan antara aktivitas ukhrawi dan duniawi. Hal ini merupakan motivasi sikap kemandirian yang ditugaskan kepada manusia.

Karenanya, penting untuk mendidik anak supaya memiliki mental kemandirian. Disini, berbeda dengan mempekerjakan anak untuk meraup keuntungan. Kemandirian hanya sebatas melatih anak supaya memiliki mental kuat dan hidup tidak tergantung kepada orang lain.

Anak yang memiliki mental mandiri akan menjadi pribadi yang kuat dalam menjalani kehidupan dunia beserta problematikanya. Kalau semua orang tua muslim sadar akan hal ini, maka cita-cita Rasulullah yang lebih menyenangi muslim yang kuat dari pada muslim yang lemah akan tercapai.

ISLAM KAFFAH

Ini 10 Amalan Utama di Bulan Puasa Ramadhan 2022 Beserta Dalil Hadist Shahihnya

Bulan puasa Ramadhan 2022 telah berjalan 4-5 hari di Indonesia.

Bulan puasa merupakan bulan yang penuh ampunan, dimana banyak terdapat amalan yang dilipatgandakan pahalanya.

Apa saja amalanamalan utama di bulan suci ramadhan 2022 kali ini?

Berikut 10 amalan utama di bulan suci Ramadhan yang sesuai sunnah, sebagaimana dikutip suaramerdeka.com dari kanal YouTube Yufid.TV – Pengajian & Ceramah Islam, 6 April 2022.

1. Berpuasa

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, makan akan diampuni dosanya yang telah lalu,”

2. Melakukan Sholat malam (Sholat tarawih) dengan berjamaah

“Barangsiapa yang sholat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu,” HR. Bukhari dan Muslim.

3. Memperbanyak sedekah

Memberi makan fakir miskin, membantu orang yang membutuhkan, memberi makan orang yang berpuasa saat berbuka, dan lainnya, seperti sabda Rasulullah SAW berikut

“Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun,” HR. Ahmad.

4. Memperbanyak Pembacaan Al Qur’an

Bulan puasa adalah bulan Al Qur’an, karena pertama kali Al Qur’an diturunkan.

Seperti firman Allah, yang berarti:

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” QS. Al-Baqarah 185

5. Melaksanakan Ibadah Umroh

Seperti sabda Nabi berikut, yang artinya “Umroh pada bulan Ramadhan sama pahalanya seperti melakukan haji.” HR. Bukhari dan Muslim

6. Melakukan I’tikaf di Masjid

Dari Aisyah RA beliau mengisahkan “Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan I’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga Allah SWT mewafatkan beliau, kemudian para istri beliau sepeninggal beliau juga melakukan I’tikaf.” Muttafaq Alai

7. Mencari Keutamaan Lailatul Qadar dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah

Rasul SAW bersabda “Barangsiapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu,” HR. Bukhari dan Muslim

8. Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur

Rasul SAW bersabda “Senantiasa manusia dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka.” HR Bukhari

Rasulullah juga bersabda “Lakukanlah santap sahur, karena dalam santap sahur terdapat keberkahan,” HR Bukhari dan Muslim

9. Memperbanyak doa, dzikir, dan istighfar

Sebagaimana sabda Rasul SAW yang artinya “Sesungguhnya orang yang berpuasa ketika ia berbuka doanya tidak akan ditolak,” HR Ibnu Majah

10. Membayar Zakat Fitrah

Dari Ibnu Abbas RA beliau berkata “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan fakir miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat (hari raya) maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu hanyalah sedekah di antara sedekah biasa.” HR Abu Daud. *** 

SUARA MERDEKA

Hukum Swab Test Saat Puasa

Berikut ini hukum Swab test saat puasa. Pasalnya, di Bulan Ramadhan, banyak aktivitas yang mewajibkan swab atau PCR. Berikut penjelasan lengkapnya. 

Salah satu upaya yang sangat intens dilakukan pemerintah untuk menekan angka penyebaran Covid-19 adalah dengan melakukan pengecekan massal dan berkala kepada masyarakat secara menyeluruh baik dengan Rapid Test Antigen ataupun PCR. 

Prosedur dua metode Swab lendir ini dilakukan dengan cara memasukkan alat ke rongga hidung sampai nasofaring (dinding paling belakang hidung) atau ke rongga mulut sampai orofaring (bagian atas tenggorokan).

Lantas, bagaimana respon fikih terkait pelaksanaan Swab saat berpuasa? Apakah memasukkan alat ke rongga mulut atau rongga hidung termasuk hal-hal yang dapat membatalkan puasa?

Dalam literatur kitab fikih, benda yang masuk melalui lubang atau rongga tubuh, seperti hidung, telinga, dan dubur dapat membatalkan puasa apabila sampai masuk kepada rongga dalam (jauf).

Sedangkan apabila tidak sampai masuk ke bagian dalam maka puasanya tidak batal. Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Badaius Shanai’, juz 2, halaman 93 berikut,

وَمَا وَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أَوْ إلَى الدِّمَاغِ عَنْ الْمَخَارِقِ الْأَصْلِيَّةِ كَالْأَنْفِ وَالْأُذُنِ وَالدُّبُرِ بِأَنْ اسْتَعَطَ أَوْ احْتتَقَنَ أَوْ أَقْطَرَ فِي أُذُنِهِ فَوَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أَوْ إلَى الدِّمَاغِ فَسَدَ صَوْمُهُ وَكَذَا إذَا وَصَلَ إلَى الدِّمَاغِ لِأَنَّهُ لَهُ مَنْفَذٌ إلَى الْجَوْفِ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَا الْجَوْفِ .وَلَوْ وَصَلَ إلَى الرَّأْسِ ثُمَّ خَرَجَ لَا يُفْسِدُ بِأَنْ اسْتَعَطَ بِاللَّيْلِ ثُمَّ  خَرَجَ بِالنَّهَارِ لِأَنَّهُ لَمَّا خَرَجَ عَلِمَ أَنَّهُ لم ييَصِلْ إلَى الْجَوْفِ أو لم يَسْتَقِرَّ فيه وَأَمَّا ما وَصَلَ إلَى الْجَوْفِ أو إلَى الدِّمَاغِ عن غَيْرِ الْمَخَارِقِ الْأَصْلِيَّةِ بِأَنْ دَاوَى الْجَائِفَةَ وَالْآمَةَ فَإِنْ دَاوَاهَا بِدَوَاءٍ يَابِسٍ لَا يُفْسِدُ لِأَنَّهُ لم يَصِلْ إلَى الْجَوْفِ وَلَا إلَى الدِّمَاغِ

Artinya : “Apapun yang bisa sampai ke rongga dalam (jauf) atau ke otak yang nanti juga berujung ke rongga dalam (jauf) melalui lubang atau rongga tubuh, seperti hidung, telinga, dubur, dll, maka puasanya batal.

Namun, seandainya hanya sampai pada kepala kemudian keluar lagi, dalam arti tidak sampai ke jauf atau sampai tapi tidak menetap di dalam jauf maka tidak batal. 

Sedangkan bila melalui selain rongga tubuh, semisal obat maka jika obatnya kering maka puasanya tidak batal. Apabila obatnya basah maka batal.”

Dalam proses pelaksanaan Swab Test, pemeriksaan dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan memasukkan alat ke rongga hidung sampai nasofaring (dinding paling belakang hidung) atau ke rongga mulut sampai orofaring (bagian atas tenggorokan).

Memasukan sesuatu pada kedua organ ini tidak dapat membatalkan puasa karena tidak sampai pada rongga bagian dalam (jauf). 

Kalaupun pemeriksaan Swab ini sampai melewati rongga dalam, tidak lantas dapat dikatakan membatalkan puasa, karena Swab tidak sesuai dengan ‘illat (alasan) penentuan batasan tersebut yakni sampai dan menetapnya sesuatu di jauf sehingga ia memberi efek kenyang (ghida), berbeda dengan Swab.

Apabila ‘illat tersebut tidak dijumpai, maka puasanya tidak dapat dihukumi batal. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih, 

الْحُكْم يَدُور مَعَ عِلَّته وُجُودًا وَعَدَمًا

Artinya: “Hukum didasarkan pada ada atau tidak adanya sebuah ‘illat (alasan).”

Demikian penjelasan mengenai hukum swab test saat puasa. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Puasanya Kaum-kaum Terdahulu

Puasa juga dilakukan oleh penganut agama-agama dunia, dan kaum-kaum terdahulu

Puasa merupakan fenomena alam, puasa juga dilakukan kaum-kaum terdahulu. Dr. Muhammad Nazzar ad-Daqr menyampaikan, bahwa sebenarnya, manusia bukanah satu-satunya makhluk yang melakukan puasa.

Para ilmuwan (saintis) membuktikan, bahwa semua makhluk hidup mengalami fase berpuasa (tidak makan meskipun berbagai hidangan telah tersedia di sekelilingnya. Beberapa hewan melakukanya dengan mengurung diri berhari- hari, bahkan berbulan-bulan secara beruntun.

Mereka mendekam di lubang (rumah), berdiam diri dan tidak makan. Bangsa burung, ikan, maupun jenis serangga, semua berpuasa.

Telah lazim diketahui bahwa setiap serangga mengalami fase kamuflase (bertapa) dengan berpuasa secara total dan menyatu di sarangnya. Para ilmuwan juga mengamati, bahwa seusai melakukan pertapaan, hewan-hewan tersebut bertambah giat dan energik.

Bahkan, mayoritas hewan-hewan tersebut semakin gemuk dan sehat. Sebagaimana (seperti diwajibkan atas orang

Puasanya kaum terdahulu selain Islam

Puasa telah diwajibkan kepada bangsa-bangsa terdahulu. Sebagaimana Al-Quran, “Seperti diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”, maksudnya adalah Al- Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan pengikut agama- agama terdahulu.

Sebagian pakar tafsir menjelaskan, “Penyamaan puasa bagi umat Muhammad  dengan umat lain, hanyatata caranya yang berbeda. Jadi maksud penyamaan tersebut, bukanlah secara total.

“Barangkali, Hypocrates yang hidup pada abad kelima sebelum Masehi adalah orang yang pertama kali mencatat tata cara berpuasa dan menyatakan pentingnya bagi kesehatan.”

Banyak referensi yang menjelaskan puasa bangsa dan kaum terdahulu.

Puasa orang Mesir Kuno

Mereka berpuasa untuk membersihkan hati. Khususnya di hari-hari raya.

Puasa orang Yunani Kuno

Mereka mengambil ritual puasa dari bangsa Mesir. Semua rakyat Yunani berpuasa untuk mencari keridhaan dan dengan niat mendekatkan diri kepada tuhan mereka

Puasa orang Yahudi

Kaum Yahudi melakukanya di kala sedih, berdukacita, ketika sakit dan ada marabahaya. Mereka berpuasa jika ada anggapan bahwa Allah sedang murka atau tidak ridha kepada mereka.

Diriwayatkan bahwa mereka berpuasa selama seminggu dalam setiap tahun sebagai peringatan hancurnya Yarusalem (Baitul Maqdis). Mereka juga berpuasa di hari peleburan dosa yang disebut Kapoor.

Para Rabi (pendeta Yahudi) membuat syariat baru agar kaum Yahudi melakukannya selama 4 hari di awal bulan keempat, kelima, ketujuh, dan kesepuluh menurut kalender tahunan mereka. Puasa tersebut sebagai peringatan terhadap peristiwa-peristiwa Baitul Maqdis.

Mereka juga melakukan Puasa Purim sebagai peringatan atas keselamatan mereka dari penyerbuan raja Ahasuerus dalam Perang Esther. Mereka juga melaksanakan puasa-puasa Sunah.

Kaum Yahudi memulai amalan ini sejak terbenam matahari, dan berakhir hingga munculnya bintang pertama di malam hari. Kecuali puasa Yaum Thafarah (Hari Panen) dan hari kesembilan bulan Agustus, dimulai dari sore hingga sore hari berikutnya.

Sembilan hari pertama pada bulan Agustus diwajibkan untuk berpuasa yaitu dengan mengharamkan makan daging dan minum khamar.

Puasa kaum Nasrani

Nabi Isa as melakukan puasa sebanyak 40 hari sebelum datang risalah (Pengutusan)  Kemudian para Rahib (pendeta Nasrani) ingin mengikuti Nabi Isa tersebut. 

Mereka juga mewajibkan puasa nazar, setelah  melakukan taubat dan sebagainya.  Mereka, menahan diri untuk menikmati makanan berat (nasi) atau minuman, dan membatasi makan hanya sekali dalam sehari.

Namun mereka diperbolehkan untuk menikmati makanan ringan (snack). Kaum Nasrani seringkali melakukan pada hari hari tertentu dalam setahun, dengan bermacam tata cara.

Adat mereka berbeda sesuai daerah di mana mereka tinggal. Mayoritas kaum Nasrani melakukanya dengan menahan diri untuk memakan segala yang bernyawa. Namun, sebagian mereka ada yang membatasi diri untuk memakan ikan dan burung.

Ada juga yang tidak memakan telur atau buah. Sebagian ada yang mencukupkan diri dengan roti kerinng (kasar). Namun, ada juga yang tidak memakan semua jenis makanan tadi. Hingga abad-abad terakhir, terjadi perselisihan di kalangan kaum Nasrani tentang batas akhir ibadah ini. Sebagian menghentikan puasanya (berbuka) ketika mendengar suara ayam berkokok.

Ada sebuah pertanyaan yang menarik, mengapa Allah berfrman, “Sebagaimana (seperti diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (al-Baqarah [2]: 185).

Sebagian yang lain berbuka ketika malamm mulai usai (fajar). Ibnu ‘Abbas berkata, “Dulu orang-orang menjalankannya selama tiga hari dalam satu bulan, kemudian dinasakh (diganti) dengan puasa Ramadhan.

Ulama menjawab, “Al-Quran menggunakan redaksi tasybih (penyamaan) antara kaum nabi Muhammad ﷺ dan kaum-kaum sebelum mereka karena tiga tujuan;

Pertama, menunjukkan perhatian khusus terhadap ibadah ini sekaligus penjelasan tentang asal ibadah tersebut, yaitu Allah telah mewajibkan ibadah tersebut kepada orang-orang sebelum kaum Muslim dan juga kepada kaum Muslim.

Hal ini memunjukkan bahwa ibadah puasa sangat mulia dan pahalanya begitu besar. Selain itu, sebagai motivasi yang menmbangkitkan semangat kaum Muslim untuk menerima ibadah tersebut, serta agar umat umat terdahulu tidak merasa memiliki keistimnewaan tersendiri.

Kedua, redaksi tasybih (penyamaan dengan umat sebelumnya adalah bentuk sindiran kepada umat Islam yang merasa berat untuk melak sanakan ibadah puasa. Sebab menjalankan perbuatan yang juga dijalani orang lain, dapat memberikan rasa sepenanggungan.  Dengan kata lain, jika orang lain bisa, mengapa kita tidak?

Ketiga, membakar mangat kaum Muslim untuk menjalankan kewajiban puasa, agar mereka tidak malas menerima ibadah ini, sehingga mereka menerina dengan kekutan ini gairah) yang melebihi orang yang sebelumnya.” */Rahasia Puasa menurut 4 Mahzab

HIDAYATULLAH

Nasihat Bagi Jamaah di Atas 65 Tahun yang Berpotensi tak Berangkat Haji Tahun Ini

Ketua Umum Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi), Syam Resfiadi, mengatakan, pada subuh waktu Indonesia diumumkan pemerintah Arab Saudi bahwa mereka akan menyelenggarakan ibadah haji untuk masyarakat Arab Saudi dan luar negeri dengan kuota sebanyak satu juta orang. Namun, Sapuhi menyoroti aturan yang menyebutkan bahwa jamaah haji yang boleh berangkat ke Tanah Suci harus berusia di bawah 65 tahun.

Syam mengatakan, syarat untuk calon jamaah haji agar bisa ke Arab Saudi sudah divaksin dan tes PCR sebelum berangkat ke Tanah Suci. 

Ia mengingatkan, yang perlu diperhatikan adalah ada syarat bagi calon jamaah haji yang bisa berangkat ke Arab Saudi harus kurang dari 65 tahun. Maka mereka yang tertunda keberangkatan hajinya karena usianya di atas 65 tahun, tentunya pemerintah Indonesia sangat prihatin karena mereka tidak bisa diberangkatkan ke Tanah Suci tahun ini.

“Sehingga perlu pertimbangankan matang-matang, agar para jamaah (haji) yang lanjut usia (lansia) di atas 65 tahun bisa bersabar lagi sampai kondisi betul-betul normal,” kata Syam melalui pesan tertulis kepada Republika, Sabtu (9/4/2022).

Ia juga menjelaskan bahwa biasanya jumlah kuota jamaah haji yang normal sebelum pandemi Covid-19 sekitar 2,5 juta orang. 

“Tapi kita patut bersyukur kepada Allah SWT bahwa ini berkisar sekitar 40 persen sampai 50 persen dari kuota sebelum pandemi atau waktu normal,” ujar Syam.

Syam tetap bersyukur, penyelenggaraan haji tahun ini dengan kuota 1 juta orang adalah salah satu kemajuan yang luar biasa bagi dunia Muslim. Karena ibadah haji sudah bisa dilaksanakan di tahun 1443 Hijriyah atau 2022.

Sebagaimana diketahui, Kerajaan Arab Saudi melalui Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi baru saja mengumumkan penyelenggaraan haji 1443 Hijriyah dilaksanakan dengan kuota total mencapai 1 juta orang. Kuota 1 juta orang tersebut untuk jamaah dari Kerajaan Arab Saudi dan luar negeri.

Dalam pengumuman yang disampaikan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi calon jamaah dari luar negeri. Peraturan pertama, calon jamaah haji harus berusia kurang dari 65 tahun menurut kalender Gregorian. Calon jamaah haji juga wajib sudah divaksin Covid-19 yang disetujui Kementerian Kesehatan Arab Saudi.

Peraturan kedua, calon jamaah haji yang berasal dari luar Kerajaan Arab Saudi wajib menyerahkan hasil tes PCR negatif Covid-19 yang dilakukan dalam waktu 72 jam sebelum keberangkatan ke Arab Saudi.

IHRAM

Sebanyak 76 Persen Calhaj Sudah Vaksin Covid-19 Lengkap

Segala persiapan pelaksanaan ibadah haji 1443 H/2020 M terus dilakukan pemerintah Indonesia, termasuk dari sisi kesehatan. Kapuskes Haji Budi Sylvana menyebut sebanyak 132.726 jamaah atau 76,65 persen dari total jamaah telah menerima vaksin Covid-19 lengkap.

“Per-tanggal 9 April 2022, jumlah jamaah yang sudah memperoleh dosis lengkap vaksinasi Covid-19 sebanyak 132.726 (76,65%), dari total jamaah 221.000 (kuota 2019). Kita terus menghimbau jamaah yang belum vaksinasi lengkap agar segera melengkapi vaksinasinya,” ujar dia saat dihubungi Republika, Ahad (10/4).  

Meski hingga saat ini belum ada penetapan kuota dari Saudi bagi setiap negara, ia menyebut ada beberapa hal krusial yang menjadi perhatian. Hal ini sifatnya mandatory yang diwajibkan pihak Saudi, termasuk masalah vaksinasi tersebut. Selain itu, pemantauan kesehatan ulang jamaah juga menjadi hal yang diutamakan, utamanya yang berusia di bawah 65 tahun. Pemantauan dilakukan melalui pemeriksaan kesehatan, pembinaan kesehatan dengan pengukuran kebugaran fisik, penyuluhan dan konseling kesehatan. 

Untuk vaksinasi meningitis, pemantauan kesehatan dilakukan oleh dinas kesehatan (dinkes) kabupaten/kota, melalui puskesmas. Data ini diinput ke dalam Siskohatkes sehingga dapat terus dimonitor oleh Puskeshaji. 

“Selain itu, persiapan kesehatan haji lainnya antara lain penyiapan lab PCR di seluruh embarkasi pemberangkatan. Dari 13 embarkasi, semuanya sudah disiapkan lab yang akan ditunjuk untuk melaksanakan PCR jamaah haji,” lanjut dia. 

Budi juga menyebut pihaknya telah menyiapkan alat pelindung diri seperti masker bagi setiap jamaah. Persiapan obat dan alat kesehatan di Saudi juga menjadi hal penting yang tidak terlewatkan. Di Kerajaan Saudi, Kementerian Kesehatan Indonesia menyiapkan tiga klinik kesehatan haji. Bagi jamaah yang memerlukan perawatan bisa diarahkan ke klinik yang tersedia di Jeddah, Makkah dan Madinah. 

Untuk di asrama haji, ia menyebut akan dilakukan pemeriksaan kesehatan tahap ketiga. Hal ini perlu untuk menilai kelaikan terbang seorang jamaah. “Lemeriksaan kesehatan dilakukan oleh PPIH Embarkasi bidang Kesehatan, yang terdiri dari KKP, RS dan Dinkes Provinsi. Pemeriksaan kesehatan diberikan pada mereka yang risiko tinggi (risti) dan/atau jemaah yang mempunyai keluhan kesehatan saat di embarkasi,” ucapnya.  

IHRAM