Hikmah Pelaksanaan Ibadah Haji

Ibadah haji adalah rukun Islam yang terakhir yang dianggap sebagai penyempurna ibadah dalam Islam. Inilah hikmah pelaksanaan ibadah haji yang perlu kamu tahu.

Allah berfirman dalam Ali Imran;3;97, Allah menjelaskan:

ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا. ومن كفر فإن الله غني عن العالمين (آل عمران:97)

“Diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.

Hikmah Pelaksanaan Ibadah Haji

Layaknya ibadah lain, pelaksanaan ibadah haji memiliki banyak hikmah atau ibrah (pelajaran) yang bisa diambil dalam setiap pelaksanaannya. Hikmah ini tidak hanya berkaitan dengan kehidupan akhirat dan hubungannya dengan Tuhan, bahkan juga kehidupan di dunia dan hubungannya dengan sesama manusia.

Dalam psikologi sosial hal ini dikenal dengan istilah motif teogenetis, yaitu motif yang berasal dari interaksi antara manusia dengan Tuhan, yang terdapat pada ibadah dan kehidupan seseorang sehari-harinya.

Motif ini yang menjadikan seseorang menyadari tugasnya sebagai hamba dan berusaha untuk menerapkan norma-norma agama dalam hidupnya.

Dalam kamus Lisanul Arab, kata hikmah diartikan “Ma’rifatu afdhalu al Asya’u bi afdhali al Ulum ”, yakni mengenali hal-hal yang paling utama dengan pengetahuan yang paling utama. Bisa disimpulkan, hikmah adalah pengetahuan atau suatu perenungan dari proses kegiatan atau rangkaian ritual ibadah seseorang sembari mengaitkannya dengan tujuan dan manfaat dalam pelaksanaannya.

Hikmah di balik pelaksanaan ibadah haji bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihiraukan mengingat perintah haji, sejarah serta makna filosofisnya berkaitan langsung dengan Allah dan Nabi-nabiNya.

Seperti sejarah pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa di padang Arafah, juga perjuangan siti hajar mencari air dari bukit Shafa ke marwah yang saat ini menjadi perenungan bagi mereka yang melaksanakan sa’i dan lain sebagainya.

Di bawah ini beberapa hikmah pelaksanaan ibadah haji yang harus diketahui dan bisa menjadi penenang hati bagi umat muslim dalam menunaikan ibadah haji.

Jaminan surga dan ampunan Allah

Baca Juga:  Hikmah dari Rasa Lapar Saat Berpuasa di Bulan Ramadan

Sebagaimana riwayat Abu Hurairah r.a, rasulullah SAW bersabda: “ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya dalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan baginya melainkan surga” (HR.Bukhori Muslim).

Menyatukan umat Islam dari segala penjuru

Disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 27: “.. Dan berserulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai sarana menyatukan umat muslim dari segala penjuru negara yang datang semata-mata untuk mengesampingkan hal duniawi apapun kecuali menghadapkan ketakwaan kepada Allah swt. Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa dengan melaksanakan ibadah haji berarti kita juga menerapkan apa yang telah diserukan oleh Nabi Ibrahim AS.

Meningkatkan keimanan dan kedisiplinan ibadah

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, ibadah haji adalah penyempurna agama karena ditempatkan pada posisi terakhir dalam rukun islam. Haji juga satu-satunya ibadah yang bisa membawa peningkatan kualitas bagi ibadah-ibadah lain karena keinginan utamanya untuk meraih haji yang mabrur.

Masih banyak lagi hikmah yang bisa diambil dan direnungkan dari pelaksanaan ibadah haji. Karena ibadah haji adalah ibadah khusus bagi orang-orang yang telah ‘mampu’ untuk memenuhi panggilan Allah swt menuju rumah suci-Nya.

Jadi, perlu kiranya sebagai umat muslim untuk merenungi hikmah dan makna suatu ibadah terutama hikmah pelaksanaan haji ini sebagai bentuk syukur akan adanya perintah haji juga sebagai motivasi untuk lebih semangat dalam meraihnya.

Inilah hikmah pelaksanaan ibadah haji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ngadiman, Jamaah Haji Risti yang tak Paksakan Ibadah Arbain

Perilaku patuh terhadap pesan-pesan kesehatan, Ngadiman bin Matsafar (61 tahun) tahun patut menjadi contoh bagi para jamaah lainnya, khususnya bagi mereka yang memiliki resiko tinggi (risti). Ngadiman, jamaah embarkasi SOC 02 ini tidak memaksakan ibadah Arbain di Masjid Nabawi karena kondisinya tak memungkinkan.

“Saya rela menunggu di kamar, tidak ikut teman-teman pergi ziarah dan Arabain di Masjid Nabawi,” kata Ngadiman kepada tim dokter Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah yang melakukan visitasi, Sabtu (11/6/2022).

Ngadiman sadar dengan kondisi fisiknya yang risti dia tidak memaksakan diri berangkat ibadah ke Masjid Nabawi untuk ibadah Arbain. Ngadiman memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes militus.

“Tidak ikut ziarah demi menjaga kesehatan saya, kalau kelelahan nanti bengkak lagi kaki saya,” katanya.

Ngadiman tahu bahwa wajib haji itu di Makkah saat Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna). Untuk itu dia tidak memaksakan mengejar ibadah sunnah, takut wajib hajinya tidak bisa dia lakukan karena kelelahan.

“Takut yang wajib tak tersentuh,” katanya.

dr Susi Wirawati tim dokter visitasi yang memeriksa kesehatan Ngadiman mengaku senang mendengar apa yang disampaikanya. Apa yang telah dilakukan Ngadiman ini patut diapresiasi, karena bisa menjadi contoh bagi jamaah lainnya untuk tidak memaksakan berziarah jika kondisi sudah lelah.

“Ini contoh yang baik yang harus dijalankan bapak ibu haji Indonesia,” katanya.

Susi mengingatkan, jamaah harus memperhatikan kondisi kesehatannya masing-masing. Jamaah tidak boleh memaksakan diri jika sudah merasakan kelelahan. 

“Sebaiknya jamaah istirahat, sering minum jangan menunggu haus,” katanya.

IHRAM

Alasan Disebut sebagai Tamu Allah

Jemaah haji dan umrah disebut sebagai tamu Allah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji, dan orang yang berumrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhinya. Dan mereka meminta kepada-Nya, maka Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah dihasankan oleh Syekh Al-Albani) Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani) Arti lafaz “al-wafdu” adalah tamu. Dan tentunya tamu itu dimuliakan dan dijamu. Dalam kitab “An-Nihayah” disebutkan makna “al-wafdu”, الْوَفْدُ الْقَوْمُ يَجْتَمِعُونَ وَيَرِدُونَ الْبِلَادَ، أَوْ

يَقْصِدُونَ الرُّؤَسَاءَ لِلزِّيَارَةِ، أَوِ اسْتِرْفَادًا وَغَيْرَ ذَلِكَ.

“Al-wafdu adalah sekelompok orang yang berkumpul dan mendatangi suatu negeri atau mereka bermaksud menemui para pembesar negeri untuk berkunjung atau meminta bantuan dan lain-lainnya.”

Jadi, alasan disebut tamu Allah adalah karena para jemaah haji dan umrah itu akan dimuliakan Allah sebagaimana tamu itu dimuliakan. Oleh karena itu, kaum muslimin juga diperintahkan memuliakan para jemaah haji dan umrah dengan membantu mereka, memberikan pertolongan dan kemudahan kepada mereka, semisal memberikan bantuan makan dan tempat, membantu orang yang sepuh (tua), wanita, serta anak-anak.

Alasan lainnya adalah agar para jemaah haji dan umrah menjaga sikap, akhlak, dan takwa mereka selama menjadi tamu Allah. Karena yang namanya tamu ketika bertamu itu bersikap baik, duduk yang manis, tidak berbuat, ulah atau melakukan hal-hal yang memalukan selama bertamu. Syekh Ali Al-Qari rahimahullah menjelaskan,

وفد الله ثلاثة أشخاص أو أجناس، المجاهد مع الكفار لإعلاء الدين، والحاج والمعتمر، المتميزون عن سائر المسلمين بتحمل المشاق البدنية والمالية ومفارقة الأهلين، والحاصل أنهم قومٌ معظمون عند الكرماء، ومكرمون عند العظماء، تُعطى مطالبهم وتُقضى مآربهم

“Tamu Allah ada tiga orang atau tiga jenis: (1) mujahid yang berperang melawan orang kafir untuk meninggikan agama, (2) orang yang berhaji, dan (3) orang yang berumrah. Mereka ini istimewa dibandingkan yang lain karena menanggung kesusahan badan, mengeluarkan harta, serta berpisah dari keluarga.

Kesimpulannya, mereka adalah kelompok orang yang diagungkan di sisi para orang-orang mulia dan kelompok orang yang dimuliakan di sisi para orang-orang agung. Permintaan mereka diberikan dan hajat mereka ditunaikan.” (Lihat Mirqatul Mafatih, 8: 469) Demikian, semoga bermanfaat.

Penulis: Raehanul Bahraen


Sumber: https://muslim.or.id/75596-alasan-disebut-sebagai-tamu-allah.html

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya. Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain.

Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsaimin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab: لا.السنة أن يضحي رب البيت

عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya.

Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”.

Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“. Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير

متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5) [Versi online simak di islamport.com].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan.

Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat” Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak. Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan: والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا

نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan:

‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’” Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga. Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan,

“wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا “Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [Kami tanyakan melalui Whatsapp Messenger] Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab: الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو

المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [Simak di status twitter].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Wallahu a’lam. ***

Penulis: Yulian Purnama


Sumber: https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html

Takdir Terbaik

Percayalah takdir Allah SWT pasti yang terbaik untuk kita.

Alkisah, seorang raja dan seorang menteri. Menterinya ini senantiasa berkata: “Yang terbaik adalah pilihan Allah SWT.” Setiap ada orang yang terkena musibah, akan dinasihati oleh sang menteri dengan mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah SWT.

Suatu saat sang raja yang terkena musibah. Jari raja ini terputus karena suatu hal. Sang menteri datang dengan tetap mengatakan, wahai raja yang terbaik adalah pilihan Allah. Jarimu putus itu adalah yang terbaik.

Mendengar ucapan menterinya ini, raja pun tersinggung dan marah. Dia mengatakan, “Jari saya putus yang terbaik? Penjarakan dia!” Akhirnya, sang menteri dipenjara. Tatkala di penjara, dengan mudah menteri ini mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah SWT.

Ternyata benar, suatu saat sang raja pergi bersama bawahannya untuk berburu atau suatu keperluan. Mereka terjebak, pergi ke tempat yang jauh, lalu mereka ditangkap oleh segerombolan orang penyembah dewa tertentu. Mereka ditangkap dan disembelih satu per satu sebagai tumbal untuk dewa-dewa mereka.

Tatkala tiba giliran sang raja, mereka dapati jari raja ini putus. Mereka anggap raja ini orang yang cacat yang tidak pantas dikorbankan untuk sesembahan mereka. Akhirnya raja pun dibebaskan.

Saat itulah sang raja sadar akan kebenaran perkataan menterinya. Jarinya yang putus ini adalah suatu kebahagiaan, merupakan anugerah sehingga dia tidak jadi dibunuh oleh orang-orang tersebut.

Ia pulang dengan begitu semangat, lalu membebaskan sang menteri. Raja mengatakan, “Benar perkataanmu, yang terbaik adalah pilihan Allah SWT. Saya bisa selamat dari cengkeraman mereka.”

“Namun, saya ingin bertanya, mengapa waktu engkau dipenjara, kau katakan yang terbaik adalah pilihan Allah SWT? Apa kebaikan yang kau alami di penjara?” tanya sang raja.

Menteri menjawab, “Seandainya saya tidak dipenjara, saya akan pergi turut serta berburu bersamamu. Saya akan ditangkap dan disembelih oleh mereka. Oleh karena itu, saya dipenjara adalah yang terbaik.”

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga. Pertama, percayalah takdir Allah SWT pasti yang terbaik untuk kita, sekalipun terlihat berat, sulit, pahit, dan tidak menyenangkan. Sungguh Allah SWT lebih mengetahui kemaslahatan yang terbaik bagi seorang hamba daripada hamba itu sendiri (QS 4: 19).

Kedua, janganlah selalu merasa ketika Allah memberikan kita takdir yang sulit untuk dilakukan lantas langsung berprasangka buruk kepada Allah. Yakinlah bahwa Allah SWT tidak membebankan segala sesuatu kepada hambanya melainkan karena kesanggupannya (QS.2: 286).

Ketiga, selipkanlah rasa syukur dan tumbuhkanlah kesabaran atas setiap takdir yang menimpa diri. Keempat, belajarlah tawakal dan berserah kepada Allah, meyakini bahwa rencana dan takdir Allah yang terbaik dan indah.

Kita boleh bercita-cita dan berencana, tapi yakinlah jika kita sudah berusaha dan berdoa maka keputusan Allah SWT adalah yang terbaik, meskipun terkadang menurut kasat mata adalah buruk bagi kita (QS 40: 60 dan QS 3: 159).

Semoga kita menjadi seseorang yang senantiasa berprasangka baik terhadap Allah dan meyakini bahwa takdir-Nya adalah pilihan yang terbaik untuk kita setelah kita berdoa dan berusaha.

Wallahu a’lam.

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN

KHAZANAH REPUBLIKA

Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a

Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait waktu mustajab dalam berdoa. Semoga pembahasan waktu mustajab dalam berdoa ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Sungguh berbeda Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Lihatlah manusia, ketika ada orang meminta sesuatu darinya ia merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair: الله يغضب إن تركت

سؤاله وبني آدم حين يسأل يغضب

“Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah” Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi: يا ابن آدم

إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي

“Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’) Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk.

Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya dikertas, entah berapa lembar akan terpakai. Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb…

Waktu Mustajab Untuk Berdoa Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:

1. Ketika sahur atau sepertiga malam terakhir Waktu mustajab untuk berdoa yang pertama adalah ketika sahur atau sepertiga malam terakhir. Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya: وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون “Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18) Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kita Subhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول :

من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له

“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)

Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain.

Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya. Dari hadits ini jelas bahwa sepertiga malam yang akhir adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih lagi di bulan Ramadhan, bangun di sepertiga malam akhir bukanlah hal yang berat lagi karena bersamaan dengan waktu makan sahur. Oleh karena itu, manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu tersebut untuk berdoa.

2. Ketika berbuka puasa Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan dan merupakan salah satu waktu mustajab untuk berdoa, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits: للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه “Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151) Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم

‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi) Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب

الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/ (‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232) Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa. Memang ada hadits tentang doa berbuka puasa dengan lafazh yang mirip dengan doa tersebut, semisal:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك

أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim” Dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341), dinukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga di-dhaif-kan oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Atau doa-doa yang lafazh-nya semisal hadits ini semuanya berkisar antara hadits dhaif atau munkar. Baca Juga: Jangan Malas untuk Berdo’a 3. Ketika malam lailatul qadar Malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan. Sebagaimana firmanAllah Ta’ala:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam Lailatul Qadr lebih baik dari 1000 bulan” (QS. Al Qadr: 3) Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahu’anha: قلت يا رسول الله أرأيت إن

علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني

“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah:

اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni [‘Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku”]”(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata:

“Hasan Shahih”) Pada hadits ini Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha meminta diajarkan ucapan yang sebaiknya diamalkan ketika malam Lailatul Qadar. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan lafadz doa. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar dianjurkan memperbanyak doa, terutama dengan lafadz yang diajarkan tersebut.

4. Ketika adzan berkumandang Selain dianjurkan untuk menjawab adzan dengan lafazh yang sama, saat adzan dikumandangkan pun termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثنتان لا تردان أو قلما تردان

الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا “Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata:

“Hasan Shahih”) 5. Di antara adzan dan iqamah Waktu jeda antara adzan dan iqamah adalah juga merupakan waktu mustajab untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة

“Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”) Dengan demikian jelaslah bahwa amalan yang dianjurkan antara adzan dan iqamah adalah berdoa, bukan shalawatan, atau membaca murattal dengan suara keras, misalnya dengan menggunakan mikrofon.

Selain tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, amalan-amalan tersebut dapat mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع

بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة

“Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).

Selain itu, orang yang shalawatan atau membaca Al Qur’an dengan suara keras di waktu jeda ini, telah meninggalkan amalan yang di anjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu berdoa. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk memohon kepada Allah segala sesuatu yang ia inginkan. Sungguh merugi jika ia melewatkannya.

6. Ketika sedang sujud dalam shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعا “Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu” (HR. Muslim, no.482)

7. Ketika sebelum salam pada shalat wajib Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات “Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah? Beliau bersabda:

“Diakhir malam dan diakhir shalat wajib” (HR. Tirmidzi, 3499) Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata:

“Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman: فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

“Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103). Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).

Namun sungguh disayangkan kebanyakan kaum muslimin merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib yang sebenarnya tidak disyariatkan, kemudian justru meninggalkan waktu-waktu mustajab yang disyariatkan yaitu diantara adzan dan iqamah, ketika adzan, ketika sujud dan sebelum salam. Baca Juga: Ringkasan Tata Cara Berdoa

8. Di hari Jum’at Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا

، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده يقللها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang hari Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu) Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud.

Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat. Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:

هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة

“Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu). Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi. Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:

يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز

وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر

“Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.

Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini. Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata:

“Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.

9. Ketika turun hujan Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala. Karena ketika turun hujan merupakan waktu mustajab untuk berdoa.

ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر

“Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun” (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)

10. Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu: أن النبي

صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة “

Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir :

‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘” Dalam riwayat lain: فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر

“Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al Albani di Shahih At Targhib, 1185)

11. Ketika Hari Arafah Hari Arafah adalah hari ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari tersebut dianjurkan memperbanyak doa, baik bagi jama’ah haji maupun bagi seluruh kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: خير الدعاء دعاء يوم عرفة “Doa yang terbaik adalah doa ketika hari Arafah” (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

12. Ketika Perang Berkecamuk Salah satu keutamaan pergi ke medan perang dalam rangka berjihad di jalan Allah adalah doa dari orang yang berperang di jalan Allah ketika perang sedang berkecamuk, diijabah oleh Allah Ta’ala. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebutkan di atas:

ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا

“Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)

13. Ketika Meminum Air Zam-zam Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ماء زمزم لما شرب له “Khasiat Air Zam-zam itu sesuai niat peminumnya” (HR. Ibnu Majah, 2/1018. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah, 2502) Demikian uraian mengenai waktu mustajab untuk berdoa yang paling dianjurkan.

Mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa kita dan menerima amal ibadah kita. Amiin Ya Mujiibas Sa’iliin.

Sumber: https://muslim.or.id/3853-waktu-waktu-terkabulnya-doa.html
Copyright: Muslim.or.id

Khutbah Jumat: Dunia Menjadi Berkah karena Tiga Golongan Ini

Dunia menjadi berkah karena ada ulama akhirat adalah senantiasa mengamalkan dan mengajarkan  ilmunya kepada umat manusia

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Alam semesta dan semua isinya bisa menjadi tempat yang ramah tapi juga tempat yang buruk melalui tiga golongan. Jika ketiga golongan ini baik, maka alam dan seisinya akan ikut baik.

Jika ketiganya rusak, maka alam ikut menjadi rusak. Mereka adalah para ulama, pemimpin, dan orang-orang kaya.

Pertama, ulama yang menguasai syariat. Ciri khas ulama akhirat adalah senantiasa mengamalkan ilmunya, dia ajarkan ilmunya kepada umat manusia, menyeru untuk selalu mengerjakan kebaikan dan mencegah dari melakukan keburukan. Ulama seperti inilah yang disebut oleh Rasul ﷺ sebagai pewarisnya para nabi. Para makhluk yang ada di langit dan bumi bahkan ikan-ikan di lautan, memohon ampunan kepada Allah ﷻ untuk mereka.

Allah ﷻ berfirman :

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: Ali Imran : 18).

Rasul ﷺ bersabda :

الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR: Tirmidzi).

Oleh karenanya, mari kita selalu mendampingi para ulama. Kita hadiri majelis-majelisnya, kita ambil ilmu-ilmu yang disampaikannya.

Menghadiri majelis ilmu yang diisi oleh para alim ini, lebih utama daripada shalat sunah 1000 rakaat, melayat 1000 jenazah, dan menjenguk 1000 orang sakit.

Kaum Muslimin yang Berbahagia

Kedua, para pemimpin yang adil. Pemimpin yang adil memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allahﷻ.

Mereka termasuk satu dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Arsy Allahﷻ. Sikap adil seorang pemimpin akan mengantarkan pada keutamaan-keutamaan yang jauh lebih banyak dari apa yang sudah dikerjakannya. Rasul ﷺ bersabda :

لَيَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ الرَّجُلِ وَحْدَهُ سِتِّيْنَ عَامًا

“Sungguh satu hari yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil jauh lebih baik, daripada ibadah seseorang yang dilakukan sendirian, selama enam puluh tahun.” (HR: Baihaqi)

Rasul ﷺ juga bersabda :

إِنَّ المُقْسِطِيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ، الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيْهِمْ وَمَا وُلُّوْا

“Sesungguhnya orang yang adil berada dekat dengan Allah di atas mimbar dari cahaya, yaitu mereka yang adil di dalam hukum mereka, adil kepada keluarga mereka serta segala yang diamanahkan kepada mereka.” (HR: Muslim)

Namun, jika seorang pemimpin dalam tingkatan apa pun, ternyata melakukan kesewenang-wenangan dan tak peduli atas keadaan rakyatnya, maka kebinasaan akan ditimpakan kepadanya. Rasul ﷺ bersabda :

ما مِن رجُلٍ يَلي أمرَ عشرةٍ فما فوقَ ذلك إلَّا أتى الّٰلهَ عزَّ وجلَّ مَغْلُوْلًا يومَ القيامةِ يَدُه إِلَى عُنُقِهِ: فَكَّهُ بِرُّهُ، أَوْ أَوْبَقَهُ إِثمُهُ: أَوَّلُها مَلاَمَةٌ، وَأَوْسَطُهَا نَدَامَةٌ، وَآخِرُهَا خِزْيٌ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Tidaklah seseorang menjadi pemimpin 10 orang atau lebih, kecuali mereka akan datang menemui Allahﷻ dalam kondisi tangannya terbelenggu ke lehernya. Belenggu tersebut akan dilepaskan oleh kebaikannya atau bertambah kuat lantaran perbuatan dosanya. Kekuasaan itu awalnya adalah celaan, tengahnya adalah penyesalan dan akhirnya adalah kehinaan di hari kiamat.” (HR: Ahmad)

Jamaah Shalat Jumat

Golongan ketiga adalah orang kaya yang ringan tangan dalam memberi. Harta yang berkah adalah harta yang berada di tangan orang kaya yang shaleh.

Orang kaya yang shaleh akan menjadikan hartanya sebagai jembatan dalam berbuat yang terbaik. Dia membelanjakan hartanya untuk membantu orang-orang lemah, ia perbanyak infak dan sedekah serta tidak lupa berzakat. Rasul ﷺ bersabda :

مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلَالًا تَعَفُّفًا عَنِ المَسْأَلَةِ، وَسَعْيًا عَلَى عِيَالِهِ، وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللّٰهَ وَوَجْهُهُ كَالقَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ

“Barang siapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih (membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.” (HR: Thabarani).

Adapun orang-orang kaya yang kikir, enggan memberi kepada kaum papa, atau digunakan untuk hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya, maka mereka termasuk orang-orang yang tertipu, bahkan bisa termasuk orang-orang yang celaka. Allahﷻ berfirman :

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka kikiri itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS. Ali Imran : 180).

Oleh karena itu, mari kita jaga kehidupan kita di dunia ini melalui berkah ketiga golongan di atas. Kita melazimi majelis para ulama, kita kawal dan dukung para pemimpin yang adil dan memberikan nasihat jika mereka melakukan penyimpangan, serta kita motivasi diri ini untuk selalu berbuat baik khususnya bagi mereka yang Allahﷻ anugerahkan harta berlimpah, agar digunakan untuk membantu sesama.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang dan pengurus DPC Rabithah Alawiyah Kota Malang

HIDAYATULLAH

Hadits Tentang Haji (01): Masalah Miqat bagi yang Berhaji

Masalah miqat bagi yang berhaji wajib dipahami. Saat ini Muslim.Or.Id akan membahas seputar haji dengan mengutarakan dalil-dalil. Sebelumnya untuk panduan haji sudah dibahas secara global tanpa disertakan dalil yang lengkap. Kali ini bahasan lebih mendetail pada dalil dengan penjelasan ringkas dari para ulama. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ ، وَلأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ ، وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِى الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ ». قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَبَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ »

“Penduduk Madinah hendaknya memulai ihram dari Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, dan penduduk Nejd dari Qarn (Qarnul Manazil).” Abdullah menuturkan bahwa ada kabar yang telah sampai padanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penduduk Yaman memulai ihram dari Yalamlam.” (HR. Bukhari no. 130 dan Muslim no. 13). Dalam riwayat lain disebutkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan untuk penduduk Irak Dzatu ‘Irqin.” (HR. Abu Daud no. 1739, An Nasai no. 2654. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam riwayat lain disebutkan, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وَمُهَلُّ أَهْلِ الْمَشْرِقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ

“Penduduk masyriq (dari arah timur jazirah) beriharam dari Dzatu ‘Irqin.” (HR. Ibnu Majah no. 2915. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Tempat Miqat Miqat makaniyah yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umrah. Ada lima tempat:

(1) Dzul Hulaifah (sekarang dikenal: Bir ‘Ali), miqat penduduk Madinah, miqat yang jaraknya paling jauh.

(2) Al Juhfah, miqat penduduk Syam dan penduduk Maghrib (dari barat jazirah).

(3) Qarnul Manazil (sekarang dikenal: As Sailul Kabiir), miqat penduduk Najed.

(4) Yalamlam (sekarang dikenal: As Sa’diyah), miqat penduduk Yaman.

(5) Dzatu ‘Irqin (sekarang dikenal: Adh Dhoribah), miqat pendudk Irak dan penduduk Masyriq (dari timur jazirah).

Masuk Daerah Miqat Harus Berihram Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tersebut padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah.” Itu berarti siapa saja yang melewati kota atau daerah miqat tersebut haruslah dalam keadaan berihram. Termasuk juga bagi yang bukan penduduk kota tersebut yang berasal dari luar ketika melewati miqat tadi, maka harus dalam keadaan berihram. Seperti misalnya penduduk Najed (kota Riyadh, Qasim sekitarnya), ada yang mengambil miqat bukan di Qarnul Manazil, namun ia mengambil miqat dari Dzatu ‘Irqin yang merupakan miqat penduduk Irak. Seperti itu dibolehkan. Sebagaimana dibolehkan pula jika penduduk Syam dan Mesir mengambil miqat dari miqatnya penduduk Madinah yaitu di Dzul Hulaifah, bukan di Juhfah. Melewati Miqat Tanpa Berihram Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Siapa saja yang melewati daerah miqat tanpa berihram, maka ia harus kembali ke miqat tersebut. Ia harus kembali berihram dari miqat yang teranggap tersebut. Jika tidak kembali, maka ia punya kewajiban membayar dam.” (Syarh Umdatil Ahkam, hal. 389). Contoh penduduk Indonesia yang ingin langsung berhaji atau umrah menuju Makkah, ada yang tidak berniat ihram padahal sudah melewati miqat Yalamlam. Ini merupakan kekeliruan dan ia terkena dam seperti kata Syaikh As Sa’di di atas jika tidak mau kembali ke miqat. Apakah itu Berlaku Bagi yang Mau Berhaji dan Umrah Saja? Menurut pendapat yang lebih kuat dan pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karena berpegang pada tekstual hadits, yang mesti berihram ketika masuk daerah miqat adalah yang punya niatan haji dan umrah saja. Adapun jika niatannya untuk berdagang dan lainnya, maka tidak diwajibkan dalam keadaan berihram. Namun para ulama katakan bahwa siapa saja yang memasuki kota Makkah sebaiknya dalam keadaan berihram. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 390. Bagi yang Berada di Dalam Daerah Miqat dan Berada di Makkah Bagi penduduk Jeddah misalnya, atau penduduk Makkah, mereka semuanya berada dalam daerah miqat, jika mereka ingin berhaji atau berumrah, maka hendaklah berihram dari tempat mereka mulai safar, bisa dari rumah mereka. Syaikh As Sa’di mengatakan, “Penduduk Makkah bisa berihram untuk haji dari Makkah. Namun untuk umrah, hendaklah keluar menuju tanah halal untuk berniat ihram dari situ.” (Idem). Jika ada yang berkata, “Kenapa haji dan umrah bisa dibedakan seperti itu? Ini dikarenakan seluruh akitivitas umrah berada di tanah haram (tidak keluar ke tanah halal), maka diperintahkan ia keluar untuk berihram dari tanah halal. Adapun haji, tidak diharuskan berihram dari tanah halal. Karena aktivitas haji tidak semuanya di tanah haram, bahkan ada yang dilakukan di luar tanah haram, yaitu ketika wukuf di Arafah.” (Idem). Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber: https://muslim.or.id/22388-hadits-tentang-haji-01-masalah-miqat-bagi-yang-berhaji.html

Keluarga Meninggal di Tanah Suci Saat Haji, Jangan Sedih itu Kemuliaan

Musim haji tahun 2022 sudah mulai terasa. Rombongan pertama jamaah haji Indonesia bahkan telah menginjakkan kaki di tanah suci. Disusul rombongan berikutnya sampai semua jamaah haji Indonesia tahun ini berangkat dan tiba di kota suci semuanya. Alhasil satu bulan ke depan pemberitaan seputar informasi haji akan menghiasi media masa.

Satu peristiwa yang biasa terjadi adalah jamaah haji yang meninggal saat menunaikan ibadah haji. Semua tentu tidak berharap demikian, tapi takdir menghendakinya.

Sebagai manusia biasa wajar kalau bersedih karena ada keluarga yang meninggal di tanah suci saat menunaikan rukun Islam yang kelima tersebut. Akan tetapi, bagi yang ditakdirkan meninggal di tanah haram ia memperoleh kemuliaan tersendiri. Karenanya, keluarga tidak boleh terlarut dalam kesedihan mendalam seandainya salah satu anggota keluarganya ada yang meninggal saat menunaikan ibadah haji.

Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddinnya menjelaskan, seseorang yang melakukan ibadah haji atau umrah, kemudian meninggal dunia, ia diberi pahala haji atau umrah hingga hari kiamat. Dan, seseorang yang meninggal di salah satu tanah haram (Makkah dan Madinah), ia terbebas dari hisab, kepadanya dikatakan, “masuklah ke surga”.

Apa yang dikatakan Imam Ghazali di atas sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Thabrani.

Nabi berkata: “Siapa yang meninggal di salah satu tanah haram, ia wajib mendapatkan syafaatku dan di hari kiamat ia termasuk orang yang beruntung”.

Karena itu, umat Islam dianjurkan untuk berdoa supaya diwafatkan di tempat yang mulia, seperti Makkah, Madinah dan Baitul Maqdis. Hal ini ditulis oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu’ dan al Adzkar li al Nawawi.

Tetapi, tidak mungkin semua umat Islam memperoleh keberuntungan takdir meninggal di dua kota suci Makkah dan Madinah ataupun Baitul Maqdis. Maka menurut Ibnu Hajar al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, semua tempat-tempat orang shaleh di seluruh penjuru dunia selayaknya disamakan dengan tiga tempat tersebut.

Dengan demikian, orang yang meninggal di suatu tempat yang disitu terdapat orang shaleh, seperti ulama dan wali, ia juga mendapatkan kemuliaan sama seperti mereka yang meninggal di tanah haram atau Baitul Maqdis.

Abdul Hamid al Syarwani dalam kitabnya Hasyiyah al Syarwani ‘ala Tuhfah al Muhtaj menulis, berdoa berharap mati di tempat mulia bukan suatu kesalahan. Yang tidak dibolehkan adalah berharap mati pada waktu tertentu di tempat tertentu pula.

Sayyidina Umar pernah berdoa: “Ya Allah, berikanlah aku anugerah mati syahid di jalan-Mu, dan jadikan kematianku di tanah Rasul-Mu”. (HR. Bukhari)

Kesimpulannya, meninggal di tempat mulia, khususnya di tanah haram, menjadi dambaan semua umat Islam. Karenanya, untuk mereka yang sedang menjalankan ibadah haji tahun ini tidak boleh khawatir atau takut andaikan takdir menentukan harus meninggal saat melakukan ibadah haji. Asalkan sebab kematian tersebut bukan karena disengaja.

Dan, bagi keluarga yang ditinggalkan hendaklah ikhlas melepas kepergian salah satu anggotanya yang meninggal dunia saat melakukan ibadah haji. Mereka telah menghadap Allah dengan kemuliaan.

ISLAM KAFFAH

Mati Tenggelam Dihukumi Syahid Akhirat, Begini Penjelasannya!

Setelah hampir sepekan Emmeril Khan Mumtadz yang tenggelam di Sungai Aare, Swiss tidak kunjung ditemukan, keluarga akhirnya merelakan. Ridwan Kamil mengikhlaskan kepergian putranya setelah dilakukan pencarian dengan segala cara menemui jalan buntu. Demikian juga keluarga yang lain ikhlas berpisah selamanya dengan Eril, takdir telah menentukan mereka harus berpisah dengannya, selamanya.

Turut berduka cita yang mendalam, semoga segala amal kebaikannya diterima oleh Tuhan.

Dalam agama Islam, meninggal karena tenggelam dihukumi syahid akhirat. Tentu saja bukan mati tenggelam karena ada unsur kesengajaan, seperti naik perahu saat mengetahui badai akan berkecamuk.

Tentang mati syahid, para ulama membedakannya ke dalam tiga kategori. Pertama, syahid dunia dan akhirat. Kedua, syahid di dunia saja. Dan, ketiga syahid akhirat.

Syaikh Nawawi al Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain menulis, adakalanya syahid akhirat saja, maka ia seperti orang yang tidak syahid (dalam hal tajhizul mayit). Kategori syahid akhirat seperti meninggal karena sakit perut, orang yang mati sebab tenggelam sekalipun karena sebab melakukan kemaksiatan, seperti habis menenggak minuman keras. Tapi, kalau ada unsur kesengajaan tidak dihukumi syahid, seperti naik perahu saat badai mengamuk.

Penjelasan yang sama ditulis oleh Abu Bakr Syatha al Dimyati dalam kitabnya I’anatut Thalibin. Termasuk kategori mati syahid akhirat adalah mati tenggelam meskipun dalam keadaan bermaksiat, dan orang yang meninggal karena tertimpa sesuatu.

Penjelasan ini berdasarkan hadits Nabi. Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Apa yang dimaksud orang yang mati syahid diantara kalian”?

Para sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, orang yang meninggal di jalan Allah, mereka itulah orang yang mati syahid”.

Nabi bersabda: “Kalau begitu, sedikit sekali jumlah umatku yang mati syahid”?

Para sahabat bertanya lagi: “Lalu, siapa saja yang tergolong mati syahid selain berperang di jalan Allah “?

Nabi menjawab: “Mereka yang terbunuh di jalan Allah, dialah orang yang mati syahid, mereka yang mati karena penyakit kolera, dan mati karena sebab sakit perut “. Ibnu Miqdam berkata: “Aku bersaksi atas ayahmu tentang hadits ini, bahwa Nabi juga berkata: “Orang yang meninggal karena tenggelam juga syahid”. (HR. Muslim)

Adapun yang dimaksud mati syahid akhirat adalah memperoleh pahala seperti pahala syuhada yang gugur di medan perang. Perbedaannya hanya pada tajhiz mayit atau merawat mayit. Orang yang syahid dunia dan akhirat dikafani dengan pakaian yang melekat pada tubuhnya, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, langsung dikuburkan.

Sedangkan orang yang syahid akhirat saja penanganan atau tajhizul janaiz sama dengan muslim yang meninggal pada umumnya. Ia hanya mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid dunia dan akhirat.

Keistimewaan Mati Syahid

Keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang mati syahid disebutkan dalam hadits Nabi riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma’di.

Rasulullah bersabda: “Orang yang mati syahid memperoleh tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari siksa kubur, aman dari huru-hara akbar, di kepalanya dipakaikan mahkota mewah yang terbuat dari batu Yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan 72 bidadari, dan diberi syafaat sebanyak 70 dari kerabatnya”.

Dari penjelasan di atas, Eril masuk kategori mati syahid akhirat. Ia mendapat pahala seperti pahala syuhada di medan perang. Namun, apabila ia nanti diketemukan perawatan janazahnya sama dengan muslim pada umumnya.

Mati syahid, sekalipun hanya syahid akhirat tentu diharapkan karena besarnya pahala mati syahid. Akan tetapi, kematian adalah takdir Allah yang dirahasiakan, termasuk sebab kematian tersebut juga dirahasiakan. Tidak semua orang muslim akan mati syahid sekalipun hanya syahid akhirat. Sebab itu, andaipun kita tidak bisa meraih mati syahid, doa terbaik kita adalah berharap semoga dimatikan dalam keadaan “Husnul khatimah”.

ISLAM KAFFAH