Menjalankan Perintah Agama Membuat Iman Lebih Kuat

Sholat lima waktu mencegah manusia berbuat dosa.

Para sahabat memeluk Islam karena mereka percaya pada Nabi Muhammad SAW dan percaya Allah itu Ada. Tetapi sebagian yang lain adalah orang-orang munafik.

Orang-orang munafik ini ini muncul setelah kekalahan di perang Badar. Mereka tidak menaati perintah Nabi SAW dan itu menyebabkan kekalahan di pasukan Muslim dan kemenangan bagi Quraisy.

Saat itu Quraisy segenap hati ingin memusnahkan seluruh umat Islam. Pada saat itu semakin banyak orang munafik Madinah muncul yang takut akan nyawa mereka.

Pada saat iman mereka terguncang, muncul kabar Nabi Muhammad telah meninggal, dan sekelompok di antara mereka melarikan diri dan tidak lagi beriman kepada Allah. Tetapi sebagian sahabat lain, justru semakin meningkatkan iman mereka. Para sahabat ini termasuk orang-orang yang menyempurnakan ihsan.  

“Untuk menyembah Allah seolah-olah Anda melihat-Nya, dan bahkan jika Anda tidak melihat-Nya, Dia melihat Anda.”(HR Al-Bukhari )

Penyembahan kepada Allah dengan kesadaran penuh dan dengan perasaan bahwa Allah mengawasi dan Dia memberi pahala untuk kebaikan dan menghukum untuk kejahatan adalah salah satu faktor terbesar untuk perubahan. Sebuah penelitian mengungkapkan orang-orang beragama cenderung lebih tangguh dalam hidup mereka dan lebih mungkin untuk mengatasi tantangan dan kesulitan.

Di kehidupan saat ini, di dunia yang hiperseksual salah satu godaan terbesar yang dihadapi pria dan wanita muda adalah tantangan untuk menjaga kesucian. Apakah itu hubungan terlarang, pornografi, dan zina lainnya, semua orang akan setuju itu berubah menjadi masalah di masyarakat saat ini.

Dilansir dari About Islam, Senin (21/3/2022), cara melawan penyakit itu adalah dengan menyempurnakan sholat. Allah berfirman dalam Alquran:

“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Quran 29:45 )

Apabila sholat dilakukan dengan ihsan dengan memahami setiap arti dari lafadz yang dibacanya, maka niscaya iman kepada Allah akan semakin bertambah. Misalnya, ketika takbir dan mengucap “Allahu akbar” yang artinya Allah Maha Besar. Ini mengingatkan diri sendiri bahwa Allah lebih besar dari semua dorongan dan keinginannya. 

Jika seseorang terus-menerus jatuh ke dalam dosa dan hampir putus asa, maka bacaan “ar-Rahman ar-Raheem” akan memberinya harapan dan mendorongnya untuk meninggalkan semua kebiasaan buruk yang mungkin dia lakukan. Itu adalah kekuatan sholat.

Sholat lima waktu dalam satu hari ini juga merupakan bentuk mencegah dari berbuat dosa di antara setiap waktu sholat, dan itu juga merupakan penghalang untuk perilaku berdosa. Selain itu, seseorang yang menunaikan sholat akan memiliki hubungan yang lebih baik dengan Allah dan itu akan membantunya bertahan.

Serta ketika dia melakukan dosa seperti yang dilakukan semua manusia, Allah akan menegurnya dan dia tahu jalan yang benar untuk kembali dan memohon ampun. Contoh lain, Allah memberikan tugas kepada Musa dan saudaranya Harun untuk pergi dan memberikan dakwah kepada Firaun. Allah memberitahu mereka:

“Pergilah engkau beserta Saudaramu dengan membawa tanda-tanda kekuasaan-Ku. dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku,” (Quran 20:42)

Musa kemudian menceritakan ketakutannya bahwa ia takut gagal dan dibunuh oleh Firaun. Lalu Allah menjawab untuk semakin memperbanyak dzikir.

Lalu seiring berjalannya waktu, ketakutan itu mulai menyusut dan Musa sama sekali tidak takut. Musa berani dan semakin berani. 

Ini adalah contoh berdzikir kepada Allah membuat Nabi Musa kuat dan mampu mengatasi ketakutannya. Itu membantunya mengatasi kekhawatirannya dan melakukan pekerjaan dengan baik.

Di antara dzikir yang diucapkan adalah “la hawla wa laa quwwata illa billah”. yang artinya, tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah. Ini adalah salah satu perkataan yang menunjukkan kepada kita bahwa pada akhirnya, dunia dan segala isinya ada di tangan Allah. Dia memiliki otoritas tertinggi. Dia memiliki otoritas mengubah kemalangan menjadi berkat, mengubah ketakutan menjadi kekuatan, dan membantu manusia menguasai iblis batiniah mereka.

Demikian pula, refleksi adalah tindakan ibadah lain yang sering diabaikan saat ini. Allah mendorong kita untuk merenungkan tanda-tanda alam, karena di dalamnya ada tanda-tanda kehidupan kita.

Salah satu contohnya adalah siang dan malam. Malam adalah jaminan bahwa hari akan tiba. Demikian pula kesulitan kita adalah jaminan bahwa masa-masa mudah akan tiba.

Setelah bagian paling gelap dari malam datanglah fajar. Jika kita bersabar melalui titik tersulit dari kesulitan kita, kemudahan adalah langkah selanjutnya. Di musim dingin malamnya panjang dan siangnya pendek, di musim panas kebalikannya. Serupa dengan siklus kesulitan dan kemudahan kita.

Refleksi membuat kita lebih selaras dengan dunia dan bagaimana Allah mengendalikannya. Ini membantu kita menguasai diri kita sendiri dan belajar dari pesan-pesan halus Allah di alam.

Mengenal Nama dan Sifat Allah niscaya membuat orang semakin jatuh cinta kepada-Nya. Dan orang yang jatuh cinta kepada-Nya akan menyembah-Nya dengan tulus, dan orang yang menyembah-Nya dengan tulus akan masuk ke surga.

Jika Anda khawatir gagal dalam doa Anda, ketahuilah bahwa Tuhan adalah Al-Ghaffar, Yang Maha Pengampun. Jika Anda merasa perbuatan yang Anda lakukan untuk-Nya tidak sesuai dengan sasaran, ketahuilah Dia adalah Ash-Shakoor, Yang Maha Menghargai. Jika kamu merasa telah menganiaya Allah, ketahuilah bahwa Dia adalah At-Tawwab, Penerima Tobat.

Jika Anda merasa hidup ini menyempit, ketahuilah bahwa Dia adalah Al-Fattah, Pembuka yang dapat membuka jalan baru. Jika kamu melihat kegelapan di sekelilingmu, maka ketahuilah bahwa Dia adalah An-Nur, Cahaya Langit dan Bumi, dan Dia adalah Al-Haadi, Pemberi Petunjuk.

Tuhan yang membawamu sejauh ini tidak akan tiba-tiba membiarkanmu hancur hari ini. Dia adalah Al-Aleem, Yang Maha Mengetahui, dan Dia adalah Al-Khabir, Yang Maha Teliti. Dia tahu rasa sakitmu, Dia melihat air matamu, dan Dia mengerti perjuanganmu bahkan ketika tidak ada yang tahu.

Ketahuilah bahwa Allah adalah sahabat terbaik yang bisa Anda miliki. Dia adalah Al-Wali, Sahabat Penjaga, dan Dia adalah Ar-Ra’uf, Sangat Baik. Dia adalah Al-Wadud, Yang Maha Mencintai. Dia mencintaimu. Dan Dia sedang menunggu kabar dari Anda.

Angkat tangan Anda ke langit, karena Allah adalah Al-Mujeeb, yang Maha Menjawab. Allah juga As-Samee’ yang Maha Pendengar maka curahkanlah semua keluh kesahmu dalam doa-doamu.

IHRAM

Langkah Awal Mengajarkan Dzikir pada Anak

Setiap orang yang beriman diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah SWT.

Setiap orang yang beriman diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ahzab:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوا اللّٰهَ ذِكْرًا كَثِيْرًاۙ  *وَّسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah (berdzikirlah) kepada Allah dengan mengingat-Nya sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. (Alquran surat Al Ahzab ayat 41-42).

Sebab itu hendaknya setiap orang tua sejak dini mengajarkan kepada anak-anak agar terbiasa berdzikir kepada Allah. Pengurus Majelis Zawiyah ar Raudhah Ustadz Azka Fuadi Abdillah Akbar menjelaskan berdzikir idealnya dilakukan setiap waktu. Sehingga setiap gerak dan diamnya seorang hamba yang beriman senantiasa diliputi dengan mengingat kepada Allah SWT. 

Ustadz Fuadi mengatakan setiap setiap rutinitas yang dikerjakan seorang hamba sehari-hari sejatinya bisa menjadi dzikir bila pekerjaan itu diawali dengan niat. Tetapi untuk mengajarkan dzikir secara khusus kepada anggota keluarga dan anak-anak memerlukan tahapan-tahapan terlebih bila orang tua memiliki rutinitas pekerjaan yang padat.

Maka, menurutnya, untuk mengajarkan dzikir kepada anak-anak, orang tua dapat memulainya dengan mengajak agar anak terbiasa dan istiqamah melaksanakan sholat berjamaah. Sebab dengan melalui sholat, orang tua sejatinya mengajarkan keluarganya berdzikir. Bila orang tua memiliki rutinitas yang padat pada siang hari, Ustadz Azka menyarankan agar mengupayakan berjamaah subuh dengan anak-anak. 

“Jadi orang tua yang mengajarkan dan mendidik keluarganya untuk menegakkannya (sholat), maka ia telah mengajarkan keluarganya berdzikir. Minimal mengajak keluarganya sholat subuh berjamaah, karena setelah itu mereka akan bekerja dan di luar rumah,” kata Ustadz Azka kepada Republika.co.id pada Rabu (15/6/2022).

Ustadz Azka mengatakan langkah selanjutnya yang dapat dilakukan orang tua adalah mengenalkan dzikir ringan kepada anak-anaknya. Orang tua dapat membimbing anak membaca dzikir singkat setelah melaksanakan sholat atau pada waktu-waktu tertentu. 

“Setelah menegakkan tiang agama yaini sholat dalam sebuah keluarga, orang tua dapat mengenalkan dzikir ringan kepada anggota keluarganya dan membiasakannya. Karena tubuh dan jiwa ibarat perangkat yang butuh istirahat sejenak untuk menambah daya, yaitu dengan sholat dan dzikir,” kata ustaz Azka.

Ustadz Azka mengatakan faktor dasar yang dapat mendukung sebuah keluarga terbiasa berdzikir adalah dengan mencontohkan dan mempratikkan. Menurutnya orang tua dapat mengajak anak ke majelis dzikir.

Sebab, menurutnya, dengan berkumpul bersama orang-orang yang ingin berdzikir akan membawa diri ikut berdzikir. Berdzikir secara berjamaah telah dilakoni oleh para ulama terdahulu. Sebagaimana Syaikh Ibrahim al Kurani dalam Nasyru zahri fi dzikri bil Jahri telah mendokumentasikan riwayat-riwayat yang menunjukkan para salafussalih pun berdzikir secara berjamaah.

Menurut Ustadz Azka, dzikir adalah simpanan daya dan kekuatan bagi seorang hamba. Sehingga orang yang berdzikir tidak akan merasa kehilangan kekuatan, atau sendirian dalam menjalani hidup karena selalu  selalu bersama dengan Allah. Ustadz Azka mengatakan bagi seseorang yang  belum mempunyai guru yang dapat membimbing dan mengajarkan untuk berdzikir, maka hendaknya memulai dengan dzikir yang dicontohkan Rasulullah SAW sebagaimana dalam yang diriwayatkan dalam hadits-hadits nabi SAW.

Selain itu, hendaknya seorang hamba juga memperbanyak bershalawat kepada Rasulullah SAW. Dengan cara tersebut, Allah akan mempertemukan hamba tersebut dengan guru-guru yang dapat membimbingnya dan keluarganya menjadi orang-orang ahli dzikir. 

“Dan yang terpenting adalah ketersambungan silsilah sanad keilmuan dari seorang guru hingga kepada Rasulullah SAW. Hal tersebut untuk menjaga dari terjadinya penyimpangan dari pokok-pokok ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW,” katanya. 

Banyak majelis-majelis dzikir yang dapat diikuti yang terkumpul dalam wadah Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN). Misalnya, Jatman Idaroh Ulya bertempat di Pekalongan Jawa Tengah dan Jatman Idaroh Wustho DKI Jakarta bertempat di Zawiyah Arraudhah Ihsan Foundation Tebet.

KHAZANAH REPUBLIKA

Meluruskan Makna Jihad Kelompok Teroris

Ini penjelasan meluruskan makna jihad kelompok teroris. Pasalnya, saban aksi biadab terorisme terjadi, baik itu bom bunuh diri, teror pembunuhan, dan aksi kekerasan lain, pelaku yang mengaku bertanggung jawab senantiasa mengatakan iming-imingan jihad.

Klaim Jihad Berujung Pembunuhan

Klaim jihad memang acapkali menjadi dalil untuk membenarkan aksi pembunuhan dan aksi terorisme. Makna jihad banyak diselewengkan oleh pelbagai oknum. Motif utamanya demi kepentingan tertentu.

Misalnya atas nama jihad, seorang tega melakukan aksi bejat menebar teror kepada masyarakat luas. Atau klaim jihad suci, seorang tega membunuh turis non muslim yang berkunjung untuk berwisata. Ini semua bentuk penyelewengan jihad.

Lies Marcoes-Natsir  dalam pengantar buku Inspirasi Jihad Kaum Jihadis: Telaah Atas Kitab-Kitab Jihad, kelompok jihadis dalam pelbagai aksi terornya secara membabi-buta  menyerang simbol-simbol kelembagaan suatu negara atau rakyat sipil. Mereka mengobarkan “jihad global” baik di Barat maupun di dunia Islam.

Kelompok ekstrimis pro kekerasan ini menyerang atau melawan siapapun yang dianggap tidak seideologi atau menghalangi jalan mereka dalam memperjuangkan ideologinya. Dalam menjalankan aksinya, secara khas mereka menggunakan bahasa agama; jihad.

Meluruskan Makna Jihad Kelompok Teroris

Tentu saja konsep jihad ini menjadi perdebatan dan pembicaraan hangat di tengah masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia. Kemudian muncul pertanyaan, sebagaimana diajukan oleh Lies Marcous, apakah gagasan jihad yang ada dalam kitab menjadi referensi  atau legitimasi yang mendorong orang menjadi radikal dan bahkan siap mati?

Kemudian, sejatinya bagaimana kitab-kitab yang memuat konsep jihad itu menarasikan pemahaman tentang jihad yang bisa mendorong gerakan radikal atau jihadi? Apakah konsep-konsep itu mengalami perubahan? Dan ketika diimplementasikan menjadi gerakan radikal, apakah makna jihad juga berubah dalam penafsirannya?

Pertanyaan Lies Marcoes ini layak untuk menjadi renungan dan dialog. Pasalnya, ini erat kaitannya dengan narasi agama yang belakangan seolah mengalami perubahan. Atau bisa dibilang, konsep jihad itu seolah menjadi tafsir tunggal; pembunuhan!

Meluruskan Makna Jihad Menurut Prof, Syekh Ali Jum’ah

Menurut Guru Besar Universitas Al Azhar, sekaligus Mufti Agung Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jum’ah, jihad dalam Islam mengandung makna yang luas, tidak tunggal maknanya.

Lantas, bila merujuk pada Al-Qur’an dan hadis, akan kelihatan makna derivative. “Bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, mengendalikan syahwat, dan menaklukan rayuan setan” pun termasuk jihad.

Syekh Ali Jum’ah berkata:

فمصطلح “الجهاد في سبيل الله” هو مصطلح إسلامي نبيل له مفهومه الواسع في الإسلام

Artinya:Istilah “jihad di jalan Allah” mengandung pengertian yang luas dalam Islam.

Sementara itu, dalam konteks bom bunuh diri, dan aksi terorisme yang menyerang aparat negara, rumah ibadah, dan turis asing di negeri muslim, bukanlah tindakan jihad. (Baca: Sejarah Jihad Masa Nabi dan Konteks Jihad Masa Kini). 

Lebih jauh lagi, tindakan terorisme yang pro akan kekerasan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar syariat Islam. Tindakan itu hanya akan menambah kekacauan, mengobarkan dendam, dan perselisihan akut. Tindakan terorisme perbuatan yang terlarang dalam syariat,.

Syekh Ali Jum’ah berkata;

أما ما يروج له هؤلاء فهو “الإرجاف” وليس الجهاد, فهذا كله حرام، وهو نوع من البغي الذي جاء الشرع بصده ودفعه

Artinya; Ada pun yang mereka populerkan dengan “bom bunuh diri” itu bukanlah jihad. Maka ini semuanya (baca; meledakkan non muslim, membunuh turis non muslim, menyerang negara non muslim dengan bom bunuh diri) adalah haram hukumnya. Ini merupakan perbuatan menganiaya/penindasan yang dalam syariat Islam tertolak dan terlarang melakukannya.

Pelaku bom bunuh diri dan aksi terorisme lain, menurut Syekh Ali Jumah, layak mendapatkan hukuman pidana (hudud). Syekh berkata;

والحرابة بغي وإفساد في الأرض، والمتلبس بها مستحق لأقصى عقوبات الحدود من القتل والسرقة والزنا

Artinya; Harabah adalah dosa dan perbuatan menimbulkan kerusakan di bumi, dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman maksimal berupa hukuman hudud (hukum pidana); pembunuhan, pencurian dan perzinaan.

Konteks Jihad Era Sekarang

 Semnetara itu Jamal al-Banna dalam kitab al-Jihad, dengan tegas mengatakan bahwa dalam konteks hari ini, jihad tidak semata-mata dimaknai sebagai mati di jalan Allah (bunuh diri, jadi teroris dan pro kekerasan). Akan tetapi jihad hari ini yang ideal dan tepat adalah senantiasa hidup di jalan Allah. Simak perkataan Jamal Al Banna;

أن الجهاد اليوم ليس هو أن نموت في سبيل الله, ولكن أن نحيا في سبيل الله

“Sesungguhnya jihad di masa kini bukanlah mati di jalan Allah, melainkan hidup di jalan Allah.”

Konsep jihad dalam pandangan Jamal Al Banna ini sangat relevan dalam Indonesia hari ini. Pasalnya, di tengah masyarakat yang homogen ini, yang kaya akan budaya, bahasa, ras, agama, dan tradisi. Lebih jauh, kekerasan dan bom bunuh diri, hanya akan membuat Indonesia akan kacau.

Menjaga kehidupan dengan penuh kasih dan cinta terhadap sesama manusia merupakan suatu keniscayaan. Pasalnya, saat ini bumi penuh dengan tantangan; global warming, kejahatan lingkungan, rasio kesenjangan sosial, dan angka kemiskinan yang tinggi. 

Demikian penjelasan meluruskan makna jihad kelompok teroris. Semoga Indonesia semakin harmonis dan damai. 

BINCANG SYARIAH

Respons Kemenag Soal Promo Minuman Alkohol Pakai Nama Muhammad

Masyarakat diminta menghindari promosi produk dengan hal-hal berbau SARA.

Sekretaris Ditjen Bimas Islam (Sesditjen) Kemenag M. Fuad Nasar menanggapi nama Muhammad yang sempat menjadi promosi untuk mendapatkan minuman beralkohol gratis. Dia mengajak masyarakat untuk menghindari promosi produknya dengan hal-hal berbau Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA).

“Penting memahami batas-batas etik dalam marketing communication di dunia bisnis. Siapa pun, dalam hal apa pun, agar menghindari bermain dengan isu SARA karena reaksi publik yang ditimbulkan sudah dapat diduga sebelumnya,” ujar Fuad dalam siaran persnya, Jumat (24/6/2022).

Dari sudut komunikasi bisnis, menurut Fuad, belum tentu ketika promosi suatu produk menjadi isu kontroversial akan berdampak positif. Justru, kata dia, hal tersebut kontraproduktif dan merugikan reputasi suatu perusahaan.

“Letakkan sesuatu pada tempatnya,” ucap dia.

Menurut Fuad, sebuah produk makanan dan minuman non-halal sudah dimaklumi oleh publik sesuai keyakinan agama yang dianut khususnya umat Muslim. “Tidak elok kalau diaduk-aduk, misalnya dihubungkan dengan nama atau identitas suatu agama dan suku yang sampai kapan pun tidak akan pernah menghalalkannya. Lalu buat apa meng-endorse yang semacam itu?” kata dia.

Sebelumnya, media sosial di Tanah Air sempat diramaikan oleh unggahan Holywings yang mempromosikan minuman alkohol gratis bagi orang-orang bernama Muhammad dan Maria. Unggahan tersebut langsung ramai karena dianggap melecehkan nama dua orang suci dalam dua agama, yakni Islam dan Kristen. 

KHAZANAH REPUBLIKA

5 Perkara yang Dimakruhkan Ketika Menyembelih Kurban

Ada 5 perkara yang dimakruhkan ketika menyembelih. Penjelasan ini terdapat dalam kitab al Fiqih Islam wa Adilatuhu karya sarjana muslim, Syekh Wahbah az-Zuhaili. Berikut penjelasan lanjut, tentang perkara yang dimakruhkan ketika menyembelih kurban.

Selain pembahasan soal tata cara dan sunah menyembelih hewan kurban, ada tema yang penting untuk kita ketahui perihal menyembelih hewan kurban yang momennya akan kita jalani bersama pada Idul Adha mendatang ini. Tema tersebut adalah hal-hal yang dimakruhkan ketika menyembelih hewan kurban.

Penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili

Pembahasan ini tersebar dalam karya-karya para ulama. Penulis ingin menjabarkan tema ini dengan menukil dari kitab Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 4, halaman 308, karya sarjana muslim, Syekh Wahbah az-Zuhaili.

Hal-hal yang makruh ketika menyembelih itu ada lima. Pembahasan kemakruhan ketika menyembelih hewan kurban ini tentunya sangat erat kaitannya dengan sunah-sunah menyembelih dan seorang dzabih (penyembelih, red) tidak melakukannya. Perkara-perkara yang dimakruhkan tersebut adalah :

5 Perkara yang Dimakruhkan Ketika Menyembelih

Pertama, meninggalkan membaca basmalah menurut ulama yang tidak mewajibkan dan mensyaratkannya. Ulama tersebut adalah dari golongan Mazhab Syafi’i dan sebagian Mazhab Hanafi. Juga termasuk kemakruhan adalah membarengkan membaca basmalah dengan nama rasul atau nama selain rasul.

Kedua, menghadapkan hewan sembelihan ke arah selain kiblat karena hal ini membedai kepada qiyas. (Baca : Hukum Menyembelih Hewan yang Sekarat).

Ketiga, menyembelih kambing biri-biri dan unta menurut ulama golongan Mazhab Hanafi karena berbeda keterangan yang telah ada dalam as-sunah. Sedangkan menurut ulama golongan ulama Mazhab Syafi’iyah dan Mazhab Hanabilah hal itu tidak makruh karena tidak ada keterangan yang melarangnya.

Keempat, penyiksaan dan menambah kesakitan dengan tanpa faidah.  Contoh yang menyakiti hewan, seperti memotong kepala, mematahkan leher dan tulang serta menyembelih dari belakang.

Termasuk juga, menyeret hewan dengan kakinya ke tanah, mengasah pisau di depannya setelah berbaring.  Termasuk yang menyakiti hewan juga, menyembelih di depan hewan lain. Hal ini melanggar ketetapan sunnah. Terrmasuk hukumnya makruh adalah menguliti atau memotong tulang sebelum hewan itu dingin.

Keterangan barusan bertendensi pada sebuah riwayat :

«أن الفَرافِصَة قال لِعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عنْهُ: إِنَّكُمْ تَأْكُلُوْنَ طَعَاماً لَا نَأْكُلُهُ، قَالَ: وَمَا ذَاكَ يَا أَبَا حِسَان؟ فَقَالَ: تُعَجِّلُوْنَ الْأَنْفُسَ قَبْلَ أَنْ تَزْهَقَ . فَأَمَرَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مُنَادِياً يُنَادِي: الذَكَاةُ فِي الْحَلْقِ والَّلبَةُ لِمَنْ قَدَرَ، وَلَا تُعَجِّلُوا الْأَنْفُسَ حَتىَّ تَزْهَقَ»

Artinya, “Bahwasanya Farafishah berkata kepada Umar RA. : ‘Kamu makan makanan yang tidak kami makan.’ Dia berkata: ‘Apa itu, wahai Abu Hassan?’ Dia berkata: ‘Anda bergegas makan makanan (hewan sembeliha) sebelum ia mati’.

Maka Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan seorang pembawa berita, menyerukan: ‘Kurban ada di tenggorokan dan daging bagi orang yang mampu, dan jangan tergesa-gesa makan sampai (hewan) itu mati.” 

Kelima, menyembelih dengan gigi, paku, dan tulang yang di tarik. Dalam hal ini, mazhab Hanafi yang membolehkan untuk menyembelih dengan cara tersebut.  Meskipun makruh karena kerugian terhadap hewan tersebut.

Seperti halnya dengan membunuhnya dengan pisau tumpul. Adapun menyembelih dengan berdiri pakunya tidak di cabut dan sejenisnya, maka tidak boleh. (Baca juga: Hukum Menyembelih Hewan Kurban Melewati Hari Tasyriq).

Teks Kitab 5 Perkara Makruh Saat Menyembelih

 مكروهات التذكية

يكره في الذبح أو التذكية ترك السنن السابقة، فتكون مكروهات التذكية ما يأتي (2)

1 – ترك التسمية عند من لا يوجبها أو لا يشترطها، وهم الشافعية وبعض المالكية. أو قرن اسم الله باسم محمد أو غيره. ويكره عند الحنفية أن يقول الذابح عند الذبح: اللهم تقبل من فلان. وإن قال ذلك قبل التسمية والإضجاع أوبعد الذبح جاز.

2 – التوجه بالذبيحة لغير القبلة، لمخالفة السنة

3 – نحر الشياه وذبح الإبل عند الحنفية، لمخالفة ما ثبت بالسنة، ولا يكره ذلك عند الشافعية والحنابلة، لعدم ورود نهي فيه

4 – التعذيب أو زيادة الألم بلا فائدة مثل قطع الرأس، وكسر الرقبة، وبلوغ النخاع، والذبح من القفا (3) ، وجر الحيوان برجله إلى المذبح، وحد الشفرة أمامه بعد الإضجاع، والذبح أمام بهيمة أخرى لمخالفة الثابت في السنة، والسلخ أو النخع (قطع النخاع) قبل أن يبرد الحيوان، لما روي «أن الفَرافِصَة قال لعمر رضي الله عنه: إنكم تأكلون طعاماً لا نأكله، قال: وما ذاك يا أبا حسان؟ فقال: تُعجلون الأنفس قبل أن تزهق (1) . فأمر عمر رضي الله عنه منادياً ينادي: الذكاة في الحلق والَّلبة لمن قدر، ولا تعجلوا الأنفس حتى تزهق» (2) .

5 ـ الذبح بالسن والظفر والعظم المنزوع عند الحنفية الذين يجيزون التذكية بها، مع الكراهة لما فيه من الضرر بالحيوان كذبحه بشفرة كليلة. أما الذبح بالقائم غير المنزوع من الظفر ونحوه فلا يحل

BINCANG SYARIAH

Mengenal Istilah Haji: Perbedaan Haji Qiran, Ifrad, dan Tamattu

Ada tiga istilah yang seringkali kita dengar terkait dengan tata cara pelaksanaan ibadah haji, yaitu qiran, ifrad, dan tamattu. Sesungguhnya ketiga istilah ini membedakan antara teknis penggabungan antara ibadah haji dengan ibadah umroh.

Kita tidak bisa memahami apa yang dimaksud dengan ketiga istilah ini kalau kita belum memahami bentuk haji dan umroh. Di dalam buku Ibadah Haji: Rukun Islam Kelima karangan Ahmad Sarwat, berikut merupakan penjelasannya.

Qiran

Seseorang dikatakan melaksanakan haji dengan cara Qiran adalah dia melakukan ibadah haji dan umroh digabung dalam satu niat dan gerakan secara bersamaan, sejak mulai dari berihram. Karena Qiran ini adalah ibadah haji sekaligus umroh, maka dalam praktiknya cukup dikerjakan satu ritual saja, tidak perlu dua kali.

Sehingga ketika memulai dari miqat dan berniat untuk berihram, niatnya adalah niat berhaji dan sekaligus juga niat berumroh. Kedua ibadah yang berbeda, yaitu haji dan umroh, digabung dalam satu praktik amal.

Ifrad

Dari segi bahasa, kata Ifrad adalah yang bermakna menjadikan sesuatu itu sendirian atau memisahkan sesuatu yang bergabung menjadi sendiri-sendiri. Dalam istilah ibadah haji, Ifrad berarti memisahkan antara ritual ibadah haji dari ibadah umroh. Sehingga ibadah haji yang dikerjakan tidak ada tercampur atau bersamaan dengan ibadah umroh. Jadi, orang yang berhaji dengan cara Ifrad adalah orang yang hanya mengerjakan ibadah haji saja tanpa ibadah umroh.

Tamattu

Dalam praktiknya, Haji Tamattu itu adalah berangkat ke tanah suci di dalam bulan haji, lalu berihram dari miqat dengan niat melakukan ibadah umroh, bukan haji. Lalu, sesampai di Makkah, menyelesaikan ihram dan berdiam di kota Makkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan ritual haji. Jadi Haji Tamattu itu memisahkan antara ritual umroh dan ritual haji.

Perbedaan Ifrad dan Tamattu

Sekilas antara Tamattu’ dan Ifrad memang agak sama, yaitu sama-sama memisahkan antara ritual haji dan umroh. Tetapi sesungguhnya keduanya amat berbeda.

Dalam Haji Tamattu’, jamaah haji melakukan umroh dan haji, hanya urutannya mengerjakan umroh dulu baru haji, dimana di antara keduanya bersenang-senang karena tidak terikat dengan aturan berihram. Sedangkan dalam Haji Ifrad, jamaah haji melakukan ibadah haji saja, tidak mengerjakan umroh.

Selesai mengerjakan ritual haji sudah bisa langsung pulang. Walaupun seandainya setelah selesai semua ritual haji lalu ingin mengisi kekosongan dengan mengerjakan ritual umroh, boleh-boleh saja, tetapi syaratnya asalkan setelah semua ritual haji selesai.

IHRAM

Spiritual dan Zuhud Imam Abu Hanifah

Spiritual dan zuhud Imam Abu Hanifah. Ada rahasia tersendiri kenapa para Imam madzhab – khususnya al-mazahib al-arba’ah – sangat masyhur kemuliaannya di mata kita semua.

Kemuliaan Imam Empat Mazhab

Fatwa-fatwa dan gagasan-gagasan mereka selalu jadi pedoman hidup. Hal itu terbukti, ketika pemikiran mereka menjadi rujukan oleh banyak orang.

Rahasia di balik kemuliaan mereka adalah karena beliau merupakan orang-orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah Swt. Para Imam mazhab ini merupakan ulama dunia akhirat yang segala amalan ibadahnya berlandaskan ilmu yang mempuni yang mereka miliki. 

Merekalah sang zahid yang menganggap harta dunia bagaikan air di lautan sementara ia berdiri di tepi pantai, air tetap bisa terjangkau tanpa terhanyut dan tenggelam di dalamnya. Merekalah sosok figur yang patut kita teladani. Sosok yang benar-benar mengamalkan sunnah nabi dan atsar sahabat. 

Untuk tulisan kali ini, penulis mengajak pembaca bersama-sama mengintip tentang zuhud dan spiritual ibadah para Imam al-Mazahib al-Arba’ah dalam mendekatkan dan menghambakan diri terhadap Sang Khaliq. Agar kita bisa mengintropeksi diri dan menuju tahap untuk bisa meneladaninya. 

رَأَيْتُ رَجُلًا لَوْ كَلَّمْتُهُ فِى السَّارِيَةِ أَنْ يَجْعَلَهَا ذَهَبًا لَقَامَ بِحُجَّتِهِ

“Aku menjumpai seseorang yang andaikan saja aku memintanya untuk menjadikan sebuah tiang menjadi emas maka ia akan membuktikannya.” (Imam Malik bin Anas ra.)

Kutipan tersebut merupakan sebuah metafor terhadap kecerdasan Imam Abu Hanifah. Gelar imam a’dzham merupakan gelar kehormatan mereka, lantaran keluasan ilmunya dalam kajian Islam.

Betapa tidak? Kesohoran Imam Abu Hanifah telah membahana di berbagai penjuru dunia. Terutama Timur Tengah.Masyhur sebagai sosok pakar ilmu fikih (faqih), hadis, zuhud, warak, dan pendiri  mazhab Hanafiyah.

Sekilas Biografi Imam Abu Hanifah

An-Nu’man bin Tsabit bin Zūthy at-Taymi al-Kufi (80-150 H./699-767 M.) adalah nama lengkap Abu Hanifah. Ia akrab dengan sapaan Hanifah. Pasalnya, ia adalah seorang ahli ibadah, warak dan zuhud dan benar-benar bepegang teguh terhadap ajaran agama. Nama tersebut berasal dari kata hanif, sebagaimana dalam Al-Qur’an. 

Beliau lahir di Kufah, Irak pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Oleh karenanya, nama sang Imam dinisbahkan kepada negeri di mana ia lahir (al-Kufi).

Dulunya ayah Abu Hanifah merupakan budak seorang lelaki dari Bani Taimiyyah dan kemudian mendapatkan hak kemerdekaan. Karena itulah nisbah namanya  kepada Bani Taimiyyah sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih karena ayahnya terbebas dari status budak.                                                                                                    

Pendiri madzhab Hanafiyyah ini hidup di antara dua masa, yaitu penghujung Dinasti Umayyah (661-750) dan periode awal Dinasti Abbasiyah (750-1258). Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Dia pernah semasa dengan pembesar sahabat Nabi. 

Di antaranya, Anas bin Malik, Abdullah bin Ubay, Sahl bin Sa’d as-Sā’idiy,Abu Thufail ‘Amir bin Wailah. Dikisahkan, saat Anas bin Malik bepergian ke Iraq, di sanalah Abu Hanifah kecil melihatnya. Tidak hanya pernah berjumpa, melainkan ia juga meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik. 

Antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Anas bin Malik adalah thalab al-‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslim (mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim).

Ada pula pendapat sebagian ulama yang mengatakan kalau Imam Abu Hanifah merupakan seorang tabi’i at-tabi’in. Meskipun ia pernah semasa dengan para pembesar sahabat Nabi Muhammad, namun ia tidak pernah bertemu dengan salah seorang dari mereka. 

Imam Abu Hanifah Seorang Pedagang

Sejak kecil beliau sudah ikut berdagang bersama ayahnya menjual kain. Beliau hidup dari keluarga yang berprofesi sebagai pedagang. Ayahnya seorang pedagang, kakeknya pun demikian. Sehingga beliau hidup dengan pendidikan profesi ini. 

Ada yang mengenalnya dengan sebutan Khazzaz, lantaran ia seorang pedagang sutera. Tidak hanya sutera, pakaian dengan model kain yang berbeda pun menjadi usaha dagangannya. Berdagang dengan jujur dan amanah merupakan prinsip dalam bisnisnya. 

Beliau sangat menjauhkan diri dari segala hal-hal yang belum jelas status halal haramnya. Tidak boleh ada praktik yang mengandung unsur penipuan maupun hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Tidaklah heran jika ia dikatakan sebagai orang yang warak dan zuhud. 

Kisah Zuhud Imam Abu Hanifah

Dalam kitab Wa Ma adraka ma an-Nu’man,  terdapat keterangan bahwa Abu Hanifah selalu mengumpulkan laba usahanya dari tahun ke tahun. Di samping untuk memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya. Ia juga meng-infaq-kan kepada para syaikh dan ahli hadis. Ia sedekahkan pula kepada fakir miskin.

Memberikan beasiswa kepada para penuntut ilmu. Semua kebutuhan mereka dipenuhinya. “Semua kebutuhan-kebutuhanmu aku penuhi, Semua yang aku berikan ini bukanlah dari hartaku, melainkan ini semua adalah karunia Allah Swt,” kata Abu Hanifah.

Sejak kecil beliau sudah mulai bergelut dengan ilmu. Menuntut ilmu menjadi aktifitas dan rutinitasnya meski ia juga ikut berprofesi sebagai pedagang bersama ayahnya. Pertama kali ia belajar kepada Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman (murid dari syaikh Ibrahim an-Nakha’i) selama 18 tahun. 

Kisah Kealiman Abu Hanifah

Cukup lama kiranya dia menuntut ilmu dan berkhidmat kepada Syaikh Hammad, hingga gurunya wafat. Pernah suatu ketika sang guru berkata kepada Abu Hanifah, “Wahai Abu Hanifah, kau telah mengurasku.” 

Ucapan tesebut merupakan sebuah pujian terhadap abu hanifah terhadap apa yang telah ia raup dari sang guru. Betapa banyak ilmunya, terutama tentang fiqih  yang telah ia peroleh dari sang guru. Hingga seakan-akan ia menguras semua ilmu yang ada pada gurunya. Dan itu terbukti dengan kecerdasan Imam Abu Hanifah.

Ibnu Mubarak pernah berkata tentang Abu Hanifah, “Abu Hanifah orang yang banyak membaca al-Qur’an dan mendirikan salat sunah” ujar Ibnu Mubarak. Kata Hamad Ibn Abi Sulaiman: “Abu Hanifah adalah orang yang selalu menghidupkan seluruh malamnya, paling tidak beliau menghidupkan setengahnya”.

Suatu ketika, Abu Hanifah pernah mendapat pujian dari seseorang, namun beliau jadikan pujian sebagai sebuah beban yang harus dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Berawal ketika Imam Abu Hanifah berjalan melintasi sekumpulan orang, tanpa sengaja beliau mendengar orang mengatakan;

 “Inilah orang yang selalu menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah” terdengar lirih oleh Abu Hanifah. Setelah kejadian itu, beliau tidak pernah lagi meninggalkan satu malam pun kecuali untuk beribadah. 

Abu Hanifah berkata, “Aku malu terhadap Allah Swt, karena aku telah orang sangka sebagai orang yang selalu menghidupkan malamnya, padahal aku sendiri tidak.”

Tentang sifat zuhud Imam Abu Hanifah, Ibnu Mubarak berkata, “Tahukah kamu orang yang mendapatkan kekayaan berlimpah akan tetapi dia malah menolak dan lari dari harta itu? ”

Yang dimaksudkan Ibnu Mubarak tiada lain ialah Imam Abu Hanifah. Kejadian itu terjadi ketika Yazid Ibn Umar menyuruh Imam Abu Hanifah mendatangi baitul mal, akan tetapi beliau menolaknya. 

Hingga mendapatkan mendapatkan pukulan sebanyak empat puluh kali. Betapa zuhudnya beliau, sehingga lari dari kekuasaan dengan menerima resiko yang berat.

Kebiasaan Abu Hanifah sehabis mendapatkan laba dari hasil dagangnya, beliau hanya mengambil sekedar cukup untuk kebutuhannya, sementara sisanya beliau sedekahkan kepada masyayikh, para santri yang menuntut ilmu dan fakir miskin, yang ia rasa lebih membutuhkan.

Seraya berkata, “Semua yang aku berikan ini bukanlah dari hartaku, melainkan ini semua adalah karunia Allah Swt.” 

Abu Hanifah Menolak Menjadi Pejabat

Satu cerita lagi, sebagai bukti bahwa beliau benar-banar sang zahid, bahwa Abu Hanifah telah diangkat sebagai pemimpin oleh Abu Ja’far –amirul mukminin pada waktu itu, dengan mendapatkan hadiah imbalan sepuluh ribu dirham, seketika Abu Hanifah menolaknya. 

Seketika beliau langsung shalat dan berselimut dengan jubah shalatnya. Dan beliau tidak mengeluarkan sepatah kata pun ketika datang utusan yang bernama Hasan Ibn Qathbah.

Demikian penjelasan terkait spiritual dan zuhud Imam Abu Hanifah. Semoga kisah beliau ini bisa menjadi teladan kita bersama. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Solusi Hidup Bahagia

Tidak ada manusia yang berakal, kecuali pasti mencari dan menginginkan kebahagiaan. Di antara mereka ada yang Allah berikan petunjuk untuk menempuh jalan yang benar kepada kebahagiaan itu. Sayangnya, banyak juga di antara mereka yang menghabiskan umur mereka dengan mencari di tempat yang salah dan dengan cara yang salah.

Kebahagiaan bukanlah obat yang bisa dibeli di apotek lalu diminum dan kemudian dapat menyembuhkan penderitaan. Akan tetapi, ia memiliki beberapa sebab dan jalan, yang jika ditempuh oleh seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan kebahagiaan. Dan jika ia menyeleweng dari jalan tersebut, maka ia tidak akan bisa mencapainya.

Sebagaimana manusia yang membutuhkan obat saat ia sakit, begitu juga dengan mereka yang menginginkan kebahagiaan. Tentu ia juga memerlukan sebab-sebab untuk meraihnya, menempuh jalan menuju kepadanya, memahami sarana-sarana dan rukun-rukunnya, merealisasikannya, dan mengamalkannya. Sehingga akhirnya ia selamat dari kesusahan dan penderitaan yang menimpanya.

Setidaknya ada 3 solusi yang ditawarkan oleh agama ini agar kehidupan yang dijalani oleh seorang muslim dipenuhi dengan kebahagiaan, yaitu: (1) tawakal, (2) membahagiakan orang lain, dan (3) hati yang bersih.

Tawakal kunci utama hidup bahagia

Kebahagiaan ada pada ketaatan  kepada Allah Ta’ala dan penderitaan ada karena kemaksiatan kepada-Nya. Di antara ketaatan yang akan membahagiakan dan menyelamatkan seorang muslim adalah bertawakal kepada Allah, menyerahkan diri kepada-Nya, serta percaya sepenuh hati dengan keputusan-Nya. Di mana Allah Ta’ala berjanji akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapinya, memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ  وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Talaq: 2-3)

Bagaimana tidak? Orang jika bertawakal, maka ia akan menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah di dalam meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Ia yakin bahwa Allahlah satu-satunya yang dapat memberi kebahagiaan untuk seseorang dan Allah jugalah yang berhak mengangkat kebahagiaan tersebut darinya. Sehingga ia tidak akan pernah menyesali apa pun yang Allah Ta’ala takdirkan kepadanya.

Rasa tawakal dan berserah diri yang benar tidak meniadakan usaha yang dikerahkan di dalam menjalankan sebab-sebab keberhasilan dan kebahagiaan. Justru merupakan tawakal yang salah jika hanya berpangku tangan dan bermalas-malasan. Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya, ‘Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah, hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Ma’idah: 23)

Di dalam Tafsir Al-Muyassar terbitan Kemenag Saudi disebutkan bahwa penyerbuan melalui pintu gerbang merupakan salah satu bentuk ikhtiar/usaha agar mereka dimenangkan oleh Allah Ta’ala. Kemenangan tersebut tidak akan bisa diraih jika mereka hanya pasrah dan tidak bergerak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

لو أنَّكم كنتُم توَكلونَ علَى اللهِ حقَّ توَكلِه لرزقتُم كما يرزقُ الطَّيرُ تغدو خماصًا وتروحُ بطانًا

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka Allah akan memberi rezeki  kalian sebagaimana Allah memberi rezeki burung. Pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ahmad no. 604)

Hal ini menunjukkan bahwa tawakal maknanya bukan pasrah dan meninggalkan sebab. Akan tetapi, tawakal harus disertai dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dari Allah berupa makanan dan rasa kenyang setelah ia berusaha dan melakukan sebab-sebab untuk meraihnya.

Tawakal mengarahkan seseorang kepada kebahagiaan dari beberapa sisi:

Pertama: Tawakal merupakan salah satu sebab mendapatkan pahala, dan pahala yang diraih merupakan sebab kebahagiaan.

Kedua: Tawakal menjadikan seseorang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah, bukan manusia. Sehingga ia tidak mengharapkan apa pun yang ada di tangan manusia. Jikalau ia menginginkan sesuatu, maka ia hanya meminta kepada Allah Ta’ala.

Ketiga: Tawakal akan mendatangkan rezeki, sebagaimana kisah burung yang telah disebutkan dalam hadis di atas.

Keempat: Kalaupun tawakal tidak memiliki keutamaan, kecuali mendapatkan pengakuan cinta dari Allah Ta’ala, maka itu sungguh sangat mencukupi. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Al-Imran: 159)

Membahagiakan orang lain, mendatangkan kebahagiaan untuk diri sendiri

Sungguh kebahagiaan ini tidak dapat dirasakan, kecuali oleh mereka yang sudah melakukannya. Membahagiakan orang lain memiliki berbagai macam sarana dan bentuk. Ada  yang bersifat materi, seperti memberikan bantuan untuk orang fakir, ataupun yang bersifat maknawi, seperti mendamaikan dua orang yang sedang berselisih ataupun menasehati orang lain.

Di antara bentuk membahagiakan orang lain yang paling mulia adalah meringankan beban dan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ

“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim no. 2699)

Sedangkan bentuk ‘sedekah’ dan membantu orang lain yang paling utama adalah mengajarkan ilmu agama. Sahabat Nabi Muadz bin Jabal pernah berkata,

تعلموا العلم ، فإن تعلمَه للهِ خشيةٌ ، وطلَبه عبادةٌ ، ومذاكرتَه تسبيحٌ ، والبحثَ عنه جهادٌ ، وتعليمَه لمن لا يعلمه صدقةٌ

“Belajarlah kalian ilmu agama, sungguh mempelajarinya karena Allah mendatangkan rasa takut kepada-Nya, mencari dan mempelajarinya adalah ibadah, mengulangi dan mengingat-ingatnya adalah salah bentuk zikir, membahasnya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah.” (Madariju As-Salikiin karya Ibnul Qayyim, 4: 134)

Hati yang bersih dari balas dendam dan kedengkian

Kebahagiaan yang hakiki (yaitu kebahagiaan di akhirat nanti) tidak diperuntukkan, kecuali untuk mereka yang memilik hati yang bersih. Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ

“(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89)

Seorang muslim tentunya harus bersemangat untuk menyucikan hatinya dari segala macam penyakit dan apa-apa yang mengotorinya, baik itu rasa sombong, kebencian, maupun rasa iri dan dengki kepada yang lain. Karena bersihnya hati merupakan ciri-ciri penduduk surga yang Allah Ta’ala kisahkan di dalam Al-Qur’an,

وَنَزَعْنَا مَا فِى صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ تَجْرِى مِن تَحْتِهِمُ ٱلْأَنْهَٰرُ ۖ وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِىَ لَوْلَآ أَنْ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ ۖ

“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka, mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah, yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 43)

Sungguh tidak ada yang lebih berbahagia dari orang yang ikut senang ketika saudaranya sedang mendapatkan kebaikan dan kenikmatan, ikut bahagia ketika mereka bahagia. Dan tidak ada yang lebih menderita dari orang yang mudah sekali merasa hasad (iri dan dengki) dengan saudaranya, sampai-sampai ia berharap agar kenikmatan tersebut hilang dan sirna dari orang yang mendapatkannya. Sungguh keduanya adalah kondisi yang berbeda, semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari keburukan perasaan hasad terhadap orang lain.

Karena hasad sejatinya menghilangkan kebahagiaan serta mengurangi kesempurnaan iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Salah seorang di antara kalian tidaklah akan beriman dengan sempurna hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang selalu bertawakal kepada-Nya dalam setiap urusan, menjadikan kita termasuk orang yang mudah membahagiakan orang dengan apapun yang kita mampu, dan semoga Allah Ta’ala membersihkan diri kita dari segala macam penyakit hati yang dapat merusaknya. Amiin ya Rabbal Aalamiin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76221-solusi-hidup-bahagia.html

Khotbah Jumat: Bagaimana Cara Menghidupkan Takwa dalam Kehidupan Kita?

Khotbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena takwa merupakan benteng dari segala fitnah dan bekal untuk segala cobaan. Takwa jugalah yang akan membentengi seorang mukmin dari azab Allah dan kemurkaannya.

Sebagian ulama mengatakan tentang takwa, “Hakikatnya adalah rasa takut kepada Al-Jalil (Yang Mahamulia) Allah Ta’ala, pengamalan atas apa yang turun dari wahyu-Nya, keridaan atas banyak ataupun sedikitnya rezeki yang telah Allah berikan dan persiapan menghadapi hari kepergian dari dunia ini.”

Ketakwaan merupakan kewajiban dan wasiat Allah kepada hamba-Nya. Ia berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ ۚ

“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, ‘Bertakwalah kepada Allah.’” (QS. An-Nisa: 131)

Sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk menyadari kedudukan takwa dan merasa butuh kepadanya di saat menjalankan ketaatan kepada Allah karena ketakwaan merupakan ruh dan nyawa bagi setiap ketaatan dan peribadatan. Oleh karenanya, Allah Ta’ala memberikan balasan khusus untuk hamba-Nya yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي نُورِثُ مِنْ عِبَادِنَا مَنْ كَانَ تَقِيًّا

“Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (QS. Maryam: 63)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala.

Takwa memiliki berbagai macam cara agar terwujud dan terealisasi dalam kehidupan. Sumber utamanya adalah rasa takut kita kepada Allah Ta’ala serta selalu merasa diawasi oleh-Nya dan mengagungkan kebesarannya. Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala sebagai bentuk ketakwaan kepada-Nya dengan berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

Yang kedua, ketakwaan tak dapat diraih dan diwujudkan, kecuali dengan keimanan yang sempurna dan tinggi. Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,

ليس الإيمان بالتمني، ولا بالتحلي، ولكن هو ما وقر في القلب، وصدقه العمل

Bukanlah iman itu dengan angan-angan semata, bukan pula dengan sekedar hiasan. Akan tetapi, iman itu ialah apa yang menancap di relung hati dan dibenarkan oleh amalan.” (Majmu’ah Rasa`il At-Taujihat Al-Islamiyyah li Ishlahil Fardhi wal Mujtama’ karya Syekh Jamil Zainu)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan bahwa kedudukan iman yang tinggi ini tidak dapat diraih, kecuali dengan menghindarkan diri dari dosa-dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وهو مُؤْمِنٌ، ولا يَشْرَبُ الخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وهو مُؤْمِنٌ، ولا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وهو مُؤْمِنٌ

Tidaklah beriman orang yang berzina tatkala ia berzina. Tidaklah beriman orang yang minum khamr tatkala ia meminumnya. Dan tidaklah beriman orang yang mencuri ketika ia mencuri.” (HR. Bukhari no. 2475).

Yang ketiga, akhlak dan budi pekerti yang baik. Mereka yang berakhlak baik, seringkali akan terhindarkan dari perbuatan dosa dan kezaliman karena akhlaknya tersebut. Akhlaknya juga yang akan menuntunnya melakukan perbuatan mulia dan terpuji.

Jika terkumpul pada diri seseorang akhlak yang baik, keimanan yang tinggi, serta rasa takut kepada Allah Ta’ala, bisa dipastikan ia akan lebih berhati-hati, menjaga, dan menghindarkan dirinya dari larangan-larangan Allah Ta’ala. Karena ia sadar bahwa kemaksiatan dan dosa sangatlah berlawanan dengan rasa syukur dan perbuatan baik. Tidak mungkin kebaikan yang selama ini Allah berikan kepadanya dibalas dengan kekufuran dan kemaksiatan kepada-Nya. Allah Ta’ala pernah berfirman,

هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ

“Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 6)

Yang keempat, akal sehat. Akal yang sehat akan menghalangi pemiliknya dari berbuat sesuatu yang tidak pantas dan tidak baik. Akal yang sehat akan memotivasi pemiliknya untuk senantiasa bertakwa. Oleh karenanya, di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mengajak mereka yang berakal untuk bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

قُل لَّا يَسْتَوِى ٱلْخَبِيثُ وَٱلطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ ٱلْخَبِيثِ ۚ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 100)

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Banyak sekali amalan-amalan dalam ajaran Islam yang disyariatkan dengan tujuan untuk mewujudkan takwa. Salat yang kita lakukan merupakan bukti nyata ikatan seorang hamba dengan Rabbnya. Puasa yang kita lakukan merupakan tameng dari perbuatan haram dan terlarang. Haji yang dilakukan seorang muslim, maka itu adalah sebaik-baik bekal untuk mewujudkan ketakwaan. Sungguh semua amalan saleh yang dilakukan seorang hamba dengan niat untuk meraih wajah Allah Ta’ala maka itu semua tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)

Di antara konsekuensi takwa di dalam beramal, seorang muslim dituntut untuk memperdalam tata cara beribadah yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga seluruh amalan yang akan dikerjakannya nanti diridai oleh Allah Ta’ala dan diterima oleh-Nya. Banyak sekali orang yang rajin beramal namun tidak diterima oleh Allah karena tidak memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita,

ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Ada seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ namun makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim no. 1015)

Dalam hadis tersebut, Nabi menunjukkan bahwa doa yang dikabulkan memiliki beberapa syara. Di antaranya adalah memakan makanan halal, meminum minuman halal, dan mengenakan pakaian halal.

Seorang muslim tentunya juga harus bersemangat untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam setiap ucapan yang keluar dari lisannya. Tidak berucap kecuali dengan kebenaran, jujur, dan menghindarkan diri dari ucapan-ucapan yang dapat merusak lisan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَاتِبِينَ  يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10-12)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Ketahuilah, bahwa wujud ketakwaan di dalam kehidupan tidak hanya nampak pada perbuatan dan perkataan. Lebih dari itu, takwa sangatlah nampak pada keyakinan (akidah) dan akal pikiran seorang muslim. Seorang muslim yang baik tentunya akan bertakwa kepada Allah di dalam akidahnya, sehingga ia antusias dan bersemangat di dalam menguatkan keimanannya akan keberadaan Allah Ta’ala, menyifatinya dengan sifat-sifat yang sempurna dan mulia, serta juga bersemangat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan rukun-rukun keimanan dan hal-hal mendasar dalam agamanya.

Karena ia menyadari bahwa hati dan keyakinan merupakan salah satu hal yang dilirik dan diperhatikan Allah Ta’ala dari hambanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إلى صُوَرِكُمْ وأَمْوالِكُمْ، ولَكِنْ يَنْظُرُ إلى قُلُوبِكُمْ وأَعْمالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Jemaah yang dirahmati dan dimuliakan Allah Ta’ala, marilah kita semua selalu memperhatikan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, di setiap keadaan dan kesempatan, mewujudkannya baik dalam bentuk keyakinan hati, perkataan maupun perbuatan, karena takwa merupakan salah satu kunci diterimanya amalan kita. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hamba-Nya yang bisa mengamalkan ayat,

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)

Yaitu mereka yang selalu bertakwa kepada Allah hingga ajal datang menjemputnya. Amiin ya rabbal aalamiin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75907-khotbah-jumat-bagaimana-cara-menghidupkan-takwa-dalam-kehidupan-kita.html

Kritik Hadits Dinar dan Dirham sebagai Mata Uang Akhir Zaman

Apa benar ada hadits dinar dan dirham akan menjadi mata uang di akhir zaman? Pada tahun 2014 saat Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) berkuasa, mereka berupaya memproduksi mata uang sendiri dari uang logam dinar yang terbuat dari emas dan dirham dari perak. Gagasan serupa juga akhirnya diadopsi oleh beberapa orang Indonesia.

Pada tahun 2017, Ustadz Zulkifli Muhammad Ali pernah mengatakan, para pengamat dan pakar ekonomi dunia meramalkan bahwa tahun 2018 itu akan terjadi krisis moneter global terparah sepanjang sejarah dunia. Menurutnya, pada saat itu uang kertas sudah tidak ada harganya lagi di seluruh dunia. Katanya, negara-negara yang selamat adalah mereka yang mempunyai stok emas yang cukup.

Permasalahan terkait negara yang mempunyai stok emas yang cukup itu ia klaim ada hadisnya. “Benar kata Rasulullah saw. bahwa nanti kalian semua akan kembali kepada dinar dan dirham, lalu kalian akan membiarkan uang-uang kertas kalian,” jelas dai yang dikenal dengan ustadz akhir zaman.

“Zaman Nabi mana da uang kertas? Betul enggak? Ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa di akhir zaman itu manusia pernah menggunakan uang boongan ini,” lanjut Ustadz Zulkifli.  Menurutnya, uang kertas itu bentuk makar Dajjal dalam menguasai ekonomi global. Setelah 2 tahun berlalu, ternyata perkataan ustadz akhir zaman ini tidak terbukti hingga saat ini.

Hadits Dinar dan Dirham Sebagai Mata Uang

Dalam ceramahnya tersebut, Ustadz Zulkifli jarang sekali menyebutkan sumber kitab hadis Rasulullah yang ia kutip. Bila ia menyebutkan terdapat dalam kitab hadis tertentu, tentu ini akan memudahkan orang awam atau siapa pun yang mendengarnya untuk mengecek kebenaran hadis yang ia kutip. Bila tidak demikian, jangan-jangan hadis yang ia kutip bisa jadi dhaif atau bahkan palsu. Terkait akhir zaman, kita tentu tidak boleh menggunakan hadis dhaif atau palsu sebagai pegangan.

Nah, setelah saya telusuri di kitab-kitab hadis, ternyata saya menemukan hadis berikut ini:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَنْفَعُ فِيهِ إِلَّا الدِّينَارُ وَالدِّرْهَمُ

“Suatu saat nanti manusia akan merasakan masa di mana hanya dinar dan dirham yang bermanfaat di masa itu.”

Hadis itu saya temukan di beberapa kitab hadis, di antaranya Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Fitan karya Imam Nu’aim bin Hammad, Hilyatul Awaliya wa Thabaqat al-Ashfiya karya Abu Nu’aim, dan Imam al-Thabrani dalam beberapa kitabnya al-Kabir, al-Ausath, al-Shagir, dan Musnad al-Syamiyin.

Menurut Syekh Syu’aib al-Arnauth dan Imam Ibnu Hajar dalam Athraf al-Musnad, hadis ini dhaif karena dua hal. Pertama, salah satu perawi hadis tersebut bernama Abu Bakar bin Abi Maryam. Walaupun beliau seorang sufi dan ahli hadis, akan tetapi menurut banyak ulama, hafalan hadis beliau bermasalah.

Kedua, Abu Bakar bin Abi Maryam ini tidak pernah bertemu dengan perawi di atasnya, yaitu al-Miqdam bin Ma’di Karib. Abu Bakar bin Abi Maryam lahir pada masa pemerintahan Abdul Malik (sekitar 65-86 H), dam wafat tahun 156 H. Sementara al-Miqdam lahir sebelum hijriah, dan wafat pada tahun 87 H, versi lain 88 H.

Ini artinya, saat Abu Bakar bin Abi Maryam lahir, al-Miqdam itu baru saja wafat sekitar 1 atau 2 tahun sebelum kelahir Abu Bakar bin Maryam. Dalam khazanah ilmu hadis, kasus seperti ini biasa ulama kenal dengan inqitha’ sanad (keterputusan sanad). Makannya hadisnya dhaif. Memakai hadis dhaif untuk masalah akhir zaman itu gak boleh.

Maksud Hadits Dinar dan Dirham di Akhir Zaman

Tapi ada hadis lain dalam kitab al-Kabir karya Imam al-Thabrani yang lebih jelas dari hadis di atas.

إذا كان في آخر الزمان لا بد للناس فيها من الدراهم والدنانير يقيم الرجل بها دينه ودنياه

“Di akhir zaman itu manusia harus punya dirham dan dinar yang mana dapat ia pergunakan untuk kepentingan agama dan dunianya.” Hadis ini juga dhaif.

Nah, kalau kita baca di hadis ini, kita tahu maksud hadis yang saya sebutkan di awal tadi. Pesan Nabi itu bukan kita disuruh dadakan ngumpulin atau transaksi pakai dinar atau dirham. Tapi kita disuruh Nabi buat mandiri secara ekonomi di akhir zaman untuk menopang kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

Bentuk kemandirian ekonomi itu gak harus pakai dinar dan dirham, tapi bisa pakai rupiah, dolar, real, rupe, atau mata uang lainnya. Bukankah sekarang strata sosial orang itu dilihat dari kemapaman dan seberapa banyak duit atau cuan yang dimiliki orang itu? Kalau ini pesannya, memang ada hadis shahih dalam Sunan Ibnu Majah.

Kata Rasulullah, “Carilah rezeki dengan cara yang baik. Semua manusia itu dipermudah sesuai jalannya masing-masing.” Nah, Nabi nyuruh kita nyari duit untuk kebutuhan hidup kita, mandiri secara ekonomi itu lebih baik. Tapi ingat, cara dapetinnya juga yang baik. Jangan sikut sana-sini, jangan korupsi, jangan nipu, dan tidak usah juga susah payah transaksi ekonomi pakai dinar dan dirham.

BINCANG SYARIAH