Pentingnya Memahami Struktur Ayat Damai dan Perang

Sementara ini, beberapa orang masih saja memilih ayat-ayat perang sebagai yang utama dan membatalkan (nasakh) semua ayat-ayat damai. Metode ini cukup rancu, karena menghapuskan puluhan ayat, dalam relasi dengan non-muslim, yang justru basisnya adalah kepercayaan, kerjasama, dan kemaslahatan.

Dalam acara pelatihan Instruktur Moderasi Beragama, aku mengenalkan perspektif sejarah Nabi Muhammad Saw, yang dikenalkan guru saya saat di Syria, Syekh Muhammad Habasy, dalam bukunya “an-Nabiy ad-Dimoqrati” (Nabi yang Demokratis). Bahwa jika melihat seluruh biografi Nabi Saw, maka Nabi itu adalah seseorang yang memiliki relasi sosial yang baik, jujur, dipercaya, dan kuat dengan semua tetangga yang berbeda agama dan keyakinan.

Relasi ini dikenal dengan al-Amin, sebelum dan sesuah dapat wahyu, saat 13 tahun di Mekkah, dan terus sampai memiliki komunitas dan negara di Madinah. Bahkan, Nabi Saw saat wafat, masih memiliki hutang secara gadai dari tetangga Yahudi, untuk makanan bagi keluarga beliau.

Dengan perspektif ini, kita, kaya guru saya, harus membaca semua ayat dalam konstruksi ini. Sehingga, semua ayat diterima dan menjadi sumber.

Ayat-ayat damai, di lajur kanan di gambar, adalah ayat-ayat sumber untuk relasi sosial dengan semua orang, terutama warga negara Indonesia dan bahkan penduduk dunia, yang berbeda agama.

Mulai dari saling mengenal satu sama lain, menghargai keyakinan orang lain yang berbeda, tidak saling menghujat, jika ada ketegangan dan kesalahan berusaha untuk saling memaafkan, berkompetisi untuk berbuat baik, saling menolong, dan bersedia berkorban (lihat ayat-ayatnya di sebelah kanan dalam gambar).

Ayat-ayat perang hanya bisa dipraktikkan sekarang pada konteks pertahanan negara bangsa, (dan kerjasama dunia Islam), yang harus diputuskan oleh kepala negara, dengan pertimbangan berbagai lembaga negara dan tokoh-tokoh bangsa. Sebagaimana dipraktikkan Nabi Saw. Bukan oleh para individu atau komunitas seenaknya. Kelompok ayat ini juga juga bermula dari bawah, yaitu saling mengenal satu sama lain.

Lalu, terjadi kecurigaan dan ketegangan, sehingga perlu pendekatan diploasi yang baik untuk menurunkan ketegangan, berdebat secara baik dan bermartabat, perlu melakukan mata-mata agar tidak gegabah, tetap waspada pada kemungkinan terburuk, jika terjadi tetap harus komitmen mementingkan pemeliharaan rumah ibadah berbagai agama (dan fasilitas umum), jika harus kontak perang juga harus sepadan dengan serangan musuh (setelah diserang) dan terukur, dan berperang hanya orang-orang yang memerangi, dan tetap dengan etika kemanusiaan (lihat ayat-ayatnya di sebelah kiri dalam gambar).

Gambar di tengah, yang menjadi panduan dan pondasi dalam berelasi dengan non muslim baik dalam keadaan damai maupun perang, sebagai pelaksanaan ayat-ayat sebelah kanan, dan terutama yang sebelah kiri. Yaitu, kebebasan beragama dan berkeyakinan (la ikraha fid din), misi akhlaq karimah, dan visi rahmatan lil alamin. (Faqih)

MUBADALAH

Catat, Ini Tata Cara Sholat Idul Adha Lengkap dengan Arti

Hari Raya Idul Adha 1443 H atau hari raya kurban biasa diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah 1442 H. Pada hari raya Idul Adha ini sebagaian umat Islam disunahkan untuk melaksanakan sholat Idul Adha.

Adapun waktu sholat idul adha dapat dilakukan sejak matahari terbit hingga masuknya waktu sholat Zuhur.

Berikut tata cara shalat Idul Adha lengkap dengan arti, seperti dikutip di Bincangsyariah.com.

Niat Sholat Idul Adha bagi Imam/Makmum

أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ سُنَّةً لِعِيْدِ الْأَضْحَى إِمَامًا لِلّهِ تَعَــــالَى

Usholli rak’ataini sunnatan li ‘idil adha imaman lillahi ta’ala.

“Aku berniat salat sunnah Idul Adha dua rakaat menjadi imam karena Allah ta’ala.”

أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ سُنَّةً لِعِيْدِ الْأَضْحَى مَأْمُوْمًا لِلّهِ تَعَــــالَى

Usholli rak’ataini sunnatan li ‘idil adha ma’muman lillahi ta’ala.

“Aku berniat salat sunnah Idul Adha dua rakaat menjadi makmum karena Allah ta’ala.”

Takbiratul Ihram

Di sini, makmum mengangkat tangan sambil mengucapkan Allahu akbar. Makmum melakukan takbiratul ihram setelah imam melakukannya.

Bersedekap dan Membaca Doa Iftitah

Setelah takbir, imam dan makmum menyedekapkan kedua tangannya di bagian perut dan atas pusar sambil membaca doa iftitah berikut.

اللهُ اَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا. اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَ لِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Allahu akbar kabiro wal hamdu lillahi katsiro, wa subhanallohi bukrotaw wa ashila inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharos samawati wal ardho hanifam muslimaw wa ma ana minal musyrikin. Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi robbil ‘alamin. La syarika lahu wa bidzalika umirtu wa ana minal muslimin.

Membaca Takbir Tujuh Kali pada Rakaat Pertama

Setelah Imam selesai membaca doa iftitah, pada rakaat pertama disunahkan membaca takbir sebanyak tujuh kali sambil mengangkat kedua tangan seperti takbiratul ihram dan membaca allahu akbar setiap kali mengangkat tangan sampai telinga. Makmum pun dianjurkan melakukan takbir sebanyak tujuh kali dengan cara mengikuti imam. Setiap kali takbir, disunahkan membaca zikir berikut.

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar

Imam Membaca Surah Alfatihah, Makmum Mendengarkan

Setelah selesai membaca takbir tujuh kali pada rakaat pertama, imam wajib membaca surah al-Fatihah, dan makmum disunahkan mendengarkan bacaan al-Fatihah imam.

Imam Membaca Surah, dan Makmum Membaca al-Fatihah

Saat imam sudah selesai membaca surah al-Fatihah, maka baginya disunahkan membaca salah satu surah atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an. Saat imam sedang membaca surah, maka makmum diwajibkan membaca surah al-Fatihah. Bila makmum sudah selesai membaca al-Fatihah, dan imam masih membaca surah, maka makmum disunahkan mendengarkan bacaan surah imam.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Bismillahir rohmanir Rohim (1) alhamdu lillahi robbil ‘alamin (2) arrohmanir rohim (3) maliki yaumid din (4) iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (5) ihdinas shirotol mustaqim (6) shirotol ladzina an’amta ‘alaihim ghoiril maghdubi ‘alaihim wa lad dhollin (7)

Ruku’

Selesai membaca surah, lalu kedua tangan diangkat setinggi telinga dan membaca allahu akbar. Kemudian badan dibungkukkan, kedua tangan memegang lutut sambil ditekan. Usahakan antara punggung dan kepala supaya sejajar dan rata. Setelah sempurna, kemudian membaca doa ruku’ ini sebanyak tiga kali:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Subhana rabbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (3x)

I’tidal

Setelah selesai ruku’, kemudian bangkit tegak dengan mengangkat kedua tangan setinggi telinga sambil membaca zikir i’tidal berikut:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهْ

Sami‘allahu li man hamidah

Bacaan Doa I’tidal

Setelah berdiri tegak saat I’tidal, dianjurkan membaca doa berikut:

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Robbana lakal hamdu mil’us samawati wa milul ardhi wa mil’u ma syi’ta min syain ba’du

Sujud Pertama

Selesai i’tidal lalu sujud dengan cara meletakkan dahi pada sajadah. Ketika turun dari berdiri I’tidal ke sujud dianjurkan sambil membaca allahu akbar, dan saat sudah sujud dianjurkan membaca doa berikut:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلىَ وَبِحَمْدِهْ

Subhana rabbiyal a’la wa bi hamdih (3x)

Duduk di Antara Dua Sujud

Setelah sujud lalu bangunlah sambil membaca allahu akbar untuk duduk, dan saat duduk dianjurkan membaca doa berikut:

رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي

Robbighfirli warhamni wajburni warfa’ni warzuqni wahdini wa’afini wa’fu ‘anni

Sujud Kedua

Setelah selesai melakukan duduk di antara dua sujud, lakukanlah sujud sambil membava allahu akbar, dan saat sudah sujud membaca:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهْ

Subhana rabbiyal a’la wa bi hamdih (3x)

Rakaat Kedua

Setelah selesai sujud kedua, kembali berdiri untuk melanjutkan rakaat kedua sambil membaca allahu akbar Pada rakaat kedua, imam langsung membaca zikiran Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar sebanyak lima kali, dan makmum mengikutinya setiap satu kali imam selesai membacanya. Setelah itu, imam membaca surah al-Fatihah, surah Al-Qur’an, dan seterusnya hingga sujud kedua dengan tata cara yang sama pada rakaat pertama.

Tahiyat Akhir

Setelah sujud kedua pada rakaat kedua, duduklah dengan kaki bersilang sambil membaca allahu akbar. Usahakan pantat menempel di alas sholat, dan kaki kiri dimasukkan ke bawa kaki kanan, jari-jari kaki kanan tetap menekan ke kiri alas sholat. Adapaun doa yang dibaca saat Tahiyat Akhir adalah sebagai berikut:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ الَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Attahiyyatul mubarokatush sholawatut toyyibatu lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihin.

Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala muhammadin wa ‘ala ali muhammadin kama shollaita ‘ala ibrohima wa ‘ala ali Ibrohim, wa barik ‘ala muhammadin wa ‘ala ali muhammadin kama barokta ‘ala ibrohima wa ‘ala ali ibrohim innaka hamidum majid.

Allohumma inni a’udzu bika min ‘adzabi jahannama, wa min ‘adzabin nar, wa min fitnatil mahya wal mamat, wa min syarri fitnatil masihid dajjal. Allahummagh firli ma qoddamtu wa ma akh-khortu, wa ma asrortu wa ma a’lantu, wa maa asyroftu wa ma anta a’lamu bihi minni, antal muqoddimu wa antal mu’akh-khiru, la ilaha illa anta.

Pada saat sampai membaca Asyhadu alla ilaha illallah, disunahkan jari telunjuk diangkat hingga lurus seperti angka satu.

Salam

Selesai membaca tahiyat akhir, kemudian salam dengan menengok ke kanan dan ke kiri sambil mebaca:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ

Assalamu’alaikum wa rohmatulloh

Khotbah Idul Adha

Khotbah Idul Adha dilakukan sama sebagaimana khotbah sholat Jumat, yaitu sebanyak dua kali khotbah. Namun, pada khotbah pertama Idul Adha dianjurkan membaca takbir sebanyak sembilan kali, dan khotbah kedua membaca takbir sebanyak tujuh kali. Saat imam sedang khotbah, makmum dianjurkan untuk mendengarkan khotbah terlebih dahulu, dan tidak disarankan membubarkan diri sebelum imam selesai khotbah. (Rul)

MUBADALAH

Hukum Menjual Kulit Sapi Kurban

Menurut para ulama, menjual kulit sapi kurban bagi mudhahhi atau orang yang berkurban hukumnya tidak boleh. Menjual kulit sapi kurban itu tidak boleh. Tapi memanfaatkannya untuk kita makan, buat beduk, atau kita berikan kepada orang lain itu boleh. Ini karena orang yang berkurban itu tidak boleh menjual bagian apa pun dari sapi kurban. Bagian kurban itu termasuk daging, kepala, kulit, rambut dan lain sebagainya.

واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على أنه لا يجوز بيع شيء من الهدي والأضحية نذراً كان أو تطوعاً، سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره، ولا يجوز جعل الجلد وغيره أجرة للجزار، بل يتصدّق به المضحّي والمُهدي، أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه، كسقاءٍ أو دلو أو خفّ وغير ذلك

Perkataan-perkataan Imam Al-Syafi’i dan para pengikutnya sepakat mengatakan bahwa tidak boleh menjual apa pun dari hewan hadyu dan hewan kurban baik berupa hewan qurban nazar atau sunnah. Larangan menjual tersebut baik berupa daging, lemak, kulit, tanduk, rambut dan sebagainya.

Larangan menjual kulit sapi kurban ini berdasarkan hadis riwayat Imam Ahmad dari Qatadah bin Annu’man, Nabi Saw bersabda;

 لَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لَحْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ

Janganlah kalian menjual daging-daging hewan hadyu dan daging hewan kurban, makanlah dan sedekahkanlah dan manfaatkanlah kulitnya dan janganlah kalian menjualnya. Dan apabila kalian mendapatkan dagingnya, maka makanlah jika kalian mau.

Penerima Daging Kurban Antara yang Miskin dan Kaya

Bagi penerima yang memang berhak menerima kurban, baik karena fakir atau msikin, dia boleh menjual kulit sapi kurban. Namun jika termasuk orang kaya, maka dia tidak boleh menjual kulit sapi kurban yang ia terima. Ini karena orang kaya hanya berhak memakan kurban yang ia terima dan tidak boleh menjualnya.

Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj berikut;

وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع المسلم لملكه ما يعطاه ، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني ، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه ، قاله في التحفة والنهاية

Bagi orang fakir boleh memanfaatkan hewan qurban yang ia terima (secara bebas), meski dengan semisal menjualnya kepada orang Islam, sebab ia memiliki apa yang ia terima. Berbeda dengan orang kaya, ia tidak boleh menjualnya, tetapi ia hanya boleh mengalokasikan hewan qurban yang ia terima dengan semisal makan, sedekah, dan menghidangkan meski kepada orang kaya, sebab puncaknya ia seperti orang yang berqurban itu sendiri.

Dengan demikian, berdagang kulit sapi kurban bagi mudhahhi atau orang yang berkurban hukumnya tidak boleh. Kulit sapi kurbannya harus dimanfaatkan sendiri atau diberikan kepada orang lain.

Jika kulit sapi kurban itu diberikan kepada orang lain yang fakir dan miskin, maka dia boleh menjual kulit sapi kurban. Namun jika termasuk orang kaya, maka dia tidak boleh menjualnya.

BINCANG SYARIAH

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Bagaimana hukum menggabungkan niat akikah dan kurban? Apakah boleh menggabungkan dua niat itu? Atau tidak boleh bergabung antara akikah dan kurban?

Jawaban persoalan ini ada dua hukum. Seperti dikutip dari Mubadalah.id,  jika merujuk pada ilmu fiqh tentang hukum menggabungkan niat akikah dan kurban, maka hukumnya terbagi menjadi dua, tidak boleh dan boleh.

Hukum Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Ketidak bolehan menggabungkan niat akikah dan kurban itu merujuk pada ulama fiqh, Imam Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang mengatakan bahwa niat kurban dan akikah tidak boleh bergabung dalam satu amalan saja.

Hal ini, menurut dia, karena meski jenis dan praktik keduanya sama, yaitu sama-sama menyembelih hewan, namun tujuan keduanya berbeda.

Kurban bertujuan untuk mensyukuri nikmat hidup, sementara akikah untuk mensyukuri kelahiran anak. Jika keduanya bergabung, maka hanya mendapat pahala salah satunya saja.

وظاهر كلام الاصحاب انه لو نوى بشاة الاضحية والعقيقة لم تحصل واحدة منهما وهو ظاهر لان كلا منهما سنة مقصودة

Artinya : Perkataan yang jelas dari Ashab (ulama Syafiiyah), bahwa jika seseorang menyembelih satu ekor kambing dengan niat kurban dan akikah, maka pahala salah satunya tidak berpahala. Hal ini sudah jelas karena keduanya sama-sama ada tuntutan untuk melakukannya.

Pendapat Boleh Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Sedangkan ulama fiqh yang menyebutkan kebolehan menyatukan niat akikah dan kurban itu seperti terungkapkan oleh Imam Hasan Al Basri.

Dia menyebutkan bahwa kurban dan akikah boleh gabung  dengan hanya menyembelih satu ekor hewan saja.

Dengan demikian, orang yang belum akikah kemudian dia berkurban, maka kurbannya tersebut sudah cukup.  Artinya, tanpa perlu melakukan akikah di kemudian hari.

Imam Hasan Al Basri juga menjelaskan kebolehan itu berdasarkan karena kurban dan akikah memiliki kesamaan jenis dan tujuan, yaitu menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Sehingga niat keduanya bisa bergabung dan bersatu dalam satu amalan ibadah saja.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Almushannaf sebagai berikut;

عن الحسن قال: اذا ضحوا عن الغلام فقد اجزأت عنه عن العقيقة

Artinya : Dari Imam Hasan Albasri, dia berkata; Jika mereka berkurban untuk anaknya, maka kurbannya tersebut sudah cukup tanpa perlu mengakikahi lagi.

Dari uraian di atas, maka dapat tersimpulakn, jika mengikuti pendapat Imam Hasan Albasri, maka kurban dan akikah boleh bergabung dengan hanya menyembelih satu ekor hewan, serta mendapatkan dua pahala sekaligus.

Sementara itu, menurut Imam Ibnu Hajar Alhaitami, jika keduanya bersatu (gabung)  maka hanya mendapat pahala salah satunya. 

Tulisan ini telah diterbitkan di Mudalah.id

BINCANG SYARIAH

11 Ketentuan yang Perlu Diketahui Saat Ibadah Qurban Idul Adha

Qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya, siapa tidak mampu berkurban, ia akan meraih pahala dari orang yang berkurban. Inilah ketentuan ibadah qurban yang perlu diketahui umat Islam

QURBAN adalah menyembelih kambing (domba) sebagai pengorbanan pada hari Idul Adha, dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hukumnya adalah sunnah yang diwajibkan bagi setiap keluarga muslim yang mampu untuk melakukannya, sebagaimana firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkurbanlah.” (QS: Al-Kautsar [108]: 2).

Sabda Nabi:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Barang siapa yang menyembelihnya sebelum shalat (Id), maka hendaklah ia mengulangi.” (HR. Al-Bukhâri, Muslim, dan An-Nasa’i).

كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

“Bagaimanakah Qurban yg dilaksanakan di masa Rasulullah ﷺ? Ia menjawab: Seseorang berkurban dengan seekor kambing atas dirinya dan ahlu baitnya (keluarganya). “ (HR: Tirmidzi)

Keutamaan Qurban

Dalam As-Sunnah dijelaskan bahwa berkurban memiliki keutamaan yang agung. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh manusia pada hari penyembelihan (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain daripada mengucurkan darah (hewan qurban) karena sesungguhnya, ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Maka, bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban!” (HR: At-Tirmidzi).

Ketentuan – ketentuan seputar Ibadah Qurban

Usia

Islam telah memberikan ketentuan tentang usia hewan untuk qurban. Kambing untuk qurban tidak boleh kurang dari Al-Jidz’u (tidak genap satu tahun, atau mendekati satu tahun). Selain kambing, seperti biri-biri, unta atau sapi tidak kurang dari dua tahun.

Khusus untuk biri-biri, hendaknya berusia satu tahun dan masuk pada tahun kedua. Adapun unta dipilih yang berumur empat tahun dan memasuki tahun ke lima, dan sapi berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا الْجَذَعَةَ مِنَ الضَّأْنِ

“Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (HR: Muslim, 1963). Musinnah adalah hewan yang berumur dua tahun.

Terbebas dari kurus dan cacat

Ketentuan lain terkait hewan qurban yaitu, tidak diperbolehkan berkurban kecuali dengan binatang yang terbebas dari kecacatan dalam penciptaannya. Tidak boleh yang buta sebelah matanya, yang pincang, tidak al-‘udhbâ’ (yang pecah tanduknya, atau yang di potong telinganya dari aslinya) tidak yang sakit, tidak yang al-‘ajafâ’ (yang kurus atau tidak bersumsum), sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

مرضها، ((أربع لا تجوز في الأضاحي: العوراء البيـن عورها، والمريضة البين والعرجاء البين ضلعها، والكسيرة التي لا تن

“Ada empat macam yang tidak boleh ada pada hewan qurban; buta sebelah yang jelas butanya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya, dan hewan yang tidak mempunyai sumsum.” (HR. Abu Dâud: 2802, dan Imâm Ahmad: 4/300). Adapun yang dimaksud tidak memiliki sumsum adalah hewan yang tidak ada sumsum pada tulangnya, hewan yang sangat kurus.

Hewan yang paling utama

Hewan qurban yang paling diutamakan ialah kambing yang bertanduk, yang berwarna putih campur hitam (belang) di antara kedua mata dan kakinya. Sifat hewan seperti inilah yang disukai Rasulullah ﷺ. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ‘Aisyah pernah menuturkan, “Sesungguhnya Nabi berkurban dengan domba yang bertanduk dan bulu kaki-kakinya warnanya merata hitam dan disekitar matanya berwarna putih.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menshahihkannya)

Waktu penyembelihan

Waktu menyembelih hewan qurban adalah pagi hari di hari Idul Adha, yakni setelah selesai melaksanakan shalat Id. Tidak diperbolehkan menyembelih sebelum melaksanakan shalat Id, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

((من ذبح قبل الصلاة فإنما يذبح لنفسـه ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه

وأصاب سنة المسلمين))

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (Id) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya, dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Id), maka sempurnalah amalannya dan mengikuti sunnah umat muslimin.” (HR: Al-Bukhâri: 7/128, 131).

“Penyembelihan hewan qurban tidak boleh diakhirki tiga hari dari hari ld.”

Adapun setelah hari Id, maka itu diperbolehkan untuk mengakhirkannya pada hari kedua dan ketiga setelah shalat Id sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat, “Semua hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.”  (Diriwayatkan oleh Imâm Ahmad: 4/82, di dalam sanadnya ada catatan, namun ada sebuah atsar dari Ali bin Abi Thâlib, Ibnu Abbâs, dan shahabat lainnya yang menguatkan. Dan Imam Mâlik dan Abu Hanifah berkata: bahwa hadits ini diriwayatkan dari Umar dan anaknya (Abdullah bin Umar):

Hal-hal yang dianjurkan ketika menyembelih

Ketika menyembelih dianjurkan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat sambil mengucapkan:

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya salatku, ibadahku, serta hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama menyerahkan diri.”

Diharuskan membaca doa ketika hendak menyembelih:

((بسم الله والله أكبر)

“Dengan menyembut nama Allah, dan Allah Mahabesar”

Mewakilkan Qurban

Dalam ketentuan qurban, seorang muslim dianjurkan menyembelih oleh dirinya sendiri, dan boleh diwakilkan dalam penyembelihan karena tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama.

Pembagian daging Qurban

Pembagian daging hewan qurban juga memiliki ketentuannya sendiri. Daging qurban dianjurkan dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga untuk diberikan (dimakan) keluarganya, sepertiga untuk sedekah, dan sepertiga untuk diberikan kepada shahabat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

كلوا وادخروا وتصدقوا

“Makanlah oleh kalian, simpanlah, dan sedekahkanlah.” (HR: Abu Dâud: 10, dan An-Nasa`i: 37).

Diperbolehkan mensedekahkan seluruhnya, dan juga diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya sedikitpun.

Upah bagi penyembelih

Kita tidak diperbolehkan memberikan upah kepada yang menyembelih hewan qurban dari bagian hewan Qurban itu. Sebagaimana perkataan Ali, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadaku untuk mengurusi untanya, dan aku diperintahkan untuk mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan untuk tidak memberikan kepada penyembelihnya (menanganinya) upah sedikitpun. Lalu ia mengatakan, kami memberinya upah dari apa yang kami miliki.” (HR. Muslim: 954, Abu Dâud: 1769, Imâm Ahmad: 1/123, dan Ibnu Majah: 3099).

Sahkah satu sekeluarga berkurban dengan satu ekor kambing?

Sah Qurban satu keluarga berupa seekor kambing meskipun ada. beberapa orang dalam keluarga tersebut. Sebagaimana penuturan Abu Ayyub Al-Anshari berkata.

أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاة

Artinya: “Sesungguhnya Abu Ayyub al-Anshari berkata, Kami dahulu berkurban dengan satu kambing, disembelih seseorang untuk dirinya dan keluarganya, kemudian manusia setelahnya saling membanggakan diri maka menjadi ajang saling membanggakan (bukan ibadah).” (HR Imam Malik bin Anas).

“Adalah seorang laki-laki di zaman Rasulullah berkurban dengan seekor kambing atas nama dirinya dan keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi telah ditkhrij sebelumnya).

Hal-hal yang harus dihindari ketika berazam untuk berkurban

Orang yang hendak berkurban sangat dimakruhkan untuk memotong rambut atau kukunya walau sedikit. Demikian ini, apabila telah nampak hilal bulan Dzulhijjah sampai datang waktu penyembelihan hewan Qurban, sebagaimana sabda nabi:

0 ((إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسـك عن شعره

وأظفاره حتى يضحى))

“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban maka hendaklah ia menahan (tidak memotong) rambutnya dan kukunya hingga ia berkurban.” (HR. Muslim: 41)

Qurban Rasulullah untuk seluruh umatnya. Barangsiapa tidak mampu berkurban, maka ia akan meraih pahala dari orang-orang yang berkurban. Sebagaimana sabda Rasulullah:

((اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي)) O

“Ya Allah, ini (hewan Qurban) dariku dan dari yang tidak (mampu) berkurban dari umatku.” (HR. Al-Hâkim: 4/228).*/Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim (Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim)

HIDAYATULLAH

Jamaah Haji Diminta Perhatikan Barang Berharga

Jamaah haji kehilangan barang berharga terjadi dalam waktu berdekatan.

Peristiwa jamaah haji Indonesia kehilangan uang dan barang terjadi dalam waktu berdekatan di Madinah, Arab Saudi. Nilai uang yang hilang pun berkisar belasan hingga puluhan juta rupiah. Jamaah pun diminta bisa lebih memperhatikan barang berharga yang dimilikinya.

Khairul Syahri Asmoro Hadi seorang jamaah asal Ketapang, Kalimantan Barat, mengaku kehilangan tas pada Kamis (16/6/2022) lalu. Tas berisi Alquran, kacamata dan dompet berisi uang dalam pecahan riyal dan rupiah itu sempat hilang di hotel tempat tinggalnya di Madinah. Khairul mengaku sadar kalau tas tersebut hilang pada Kamis malam. Dia pun segera melaporkan ke petugas linjam di Sektor 1 yang menaungi daerah pemondokannya.

“Baru saja rebahan ditunggu di lantai ground kemudian sadar kalau itu hilang,”ujar Khairul saat diwawancarai Tim Media Center Haji (MCH) di Hotel Concorde Hotel Dar Al Khair, Madinah, Selasa (21/6/2022) malam.

Jamaah asal Kloter Batam (BTH-02) ini menjelaskan, uang senilai 20 juta rupiah tersebut terdiri dari pecahan riyal dan rupiah. Sebanyak 3.000 Riyal adalah uang living cost jatahnya bersama istri. Menurut Khairul, uang tersebut digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan hidup selama di Tanah Suci.

“Bayar dam dua. Kan haji tamattu,”ujar dia.

Khairul kemudian melapor kepada petugas linjam di Sektor 1, Abdul Basit. Tidak berapa lama, petugas yang bersangkutan lantas melaporkan peristiwa tersebut kepada resepsionis hotel.

“Saya tanya ke resepsionis kalau ada jamaah yang hilang tasnya. Tas merek itu. Mereka bilang ada,”ujar dia.

Abdul Basit mengungkapkan, laporan barang dan uang yang hilang marak akhir-akhir ini. Pada Selasa (21/6/2022) sore, dia menerima laporan ada jamaah kehilangan uang senilai Rp 20 juta. Uang tersebut dibungkus dalam kertas. Uang jamaah yang bersangkutan, ujar Basit, raib saat dia menjalankan ibadah di Masjid Nabawi.

“Ini baru kejadiannya. Mudah-mudahan bisa ditemukan juga,”jelas dia.

Abdul Basit meminta agar jamaah bisa lebih memperhatikan barang berharga. Jamaah pun diimbau untuk tidak membawa uang berlebihan saat berada di Tanah Suci. Terlebih, kebutuhan hidup jamaah selama di Tanah Suci sudah terpenuhi. “Jamaah sebaiknya fokus saja ibadah,”ujar dia.

Uang dan surat tanah

Uang jamaah senilai Rp 17 juta beserta surat tanah senilai ratusan juta yang sempat tertinggal di salah satu Hotel Madinah sudah diketemukan. Harta milik jamaah Solo ( SOC-04) itu diketemukan lalu dikembalikan oleh pihak hotel ke petugas haji di Daker Madinah.

“Alhamdulillah, pihak Silver Tabah Hotel Madinah telah mengembalikan harta jemaah yang tertinggal saat berangkat menuju ke Makkah. Harta itu berupa uang sebesar Rp 17juta dan surat tanah senilai ratusan juta,” terang Kadaker Madinah Amin Handoyo di Madinah, Selasa (21//6/2022).

Menurut Amin, harta jamaah tersebut telah diantarkan oleh Manager Silver Tabah Hotel Madinah Taufiq Mitsari Assha\’idi ke Daker Madinah pada Sabtu, 20 Juni 2022. Temuan tersebut akan segera dikirim ke Makkah untuk diberikan kepada jemaah.

“Sebagai bentuk apresiasi, kami telah menerbitkan sertifikat penghargaan dan terima kasih kepada Taufiq Mitsari Assha’idi selaku Manager Silver Tabah Hotel Madinah,” ujar Amin Handoyo.

Amin menjelaskan, apa yang dilakukan pihak hotel adalah contoh baik dan bentuk tanggung jawab. Jamaah pun merasa aman dan tidak dirugikan.

IHRAM

Visa Haji Furoda Belum Jelas, Ini Harapan Travel Haji pada Kemenhub

Sejumlah penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) sampai saat ini masih menunggu kepastian penerbitan visa untuk jamaah haji furoda, yaitu visa mujamalah atau undangan dari Kerajaan Arab Saudi.

Ketua Umum Kebersamaan Pengusaha Travel Haji dan Umrah (Bersathu) Wawan Suhada berharap kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menjembatani berbagai permasalahan yang ada saat ini. 

“Asosisasi berharap Kemenhub dapat menjembatani terhadap potensi permasalahan yang ada saat ini dikarenakan visa furoda sampai dengan saat ini belum jelas,” ujar Wawan dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (22/6/2022).

Sebelumnya, sejumlah asosiasi PIHK telah menggelar pertemuan dengan jajaran Kemenhub membahas soal visa mujamalah yang tidak kunjung terbit itu. Pertemuan asosiasi PIHK dengan Kemenhub itu digagas oleh Bersathu.

Menurut Wawan, Kemenhub telah siap membantu melakukan komunikasi dengan pihak terkait. “Kemenhub siap membantu melakukan komunikasi dengan maskapai, dengan leading sector tetap oleh Kemenag RI,” ucap Wawan.

Dalam waktu dekat ini, menurut dia, seluruh pemangku kebijakan haji khusus juga akan menggelar pertemuan untuk membahas tentang seat haji furoda. “Akan dilakukan pertemuan seluruh stake holder haji khusus mengenai kondisi tempat duduk haji Furoda saat ini dan akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini,” kata Wawan.

Dia pun mengapresiasi Direktur Angkatan Udara Kemenhub yang telah membantu permasalahan ini. “Seluruh asosiasi sangat memberikan apresiasi kepada Kemenhub khususnya Direktur Angkutan Udara yang telah membantu dan mengakomodir permasalahan ini,” jelas Wawan. 

IHRAM

Mewakilkan Pembagian Zakat Fitri kepada Lembaga Sosial

Ahli fikih sepakat bahwa menunjuk orang lain sebagai wakilnya untuk membagikan zakat kepada pihak yang berhak adalah hal yang di-syari’at-kan.[1] Mereka melandasi kesimpulan tersebut dengan sejumlah dalil berikut:

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus petugas untuk menarik zakat dari para pemilik harta kemudian mendistribusikannya kepada kalangan yang berhak menerimanya. Dalam hadis Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ketika diutus ke Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam menyatakan,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“…maka informasikanlah bahwa Allah mewajibkan kewajiban zakat dalam harta mereka, yang diambil dari kalangan yang kaya dan dikembalikan kepada kalangan yang fakir.” (HR. Al-Bukhari no. 4347 dan Muslim no. 130)

Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu dalam hadis di atas menunjukkan bahwa petugas penarik zakat berposisi sebagai pengganti kalangan yang kaya dalam mendistribusikan zakat ke pihak yang berhak. Hadis tersebut menunjukkan bahwa dalam kasus pendistribusian zakat, meski tanpa permintaan pemilik harta, penggantian posisi oleh petugas dalam mendistribusikan zakat diperbolehkan, apatah lagi jika pemilik harta mewakilkannya kepada pihak lain.[2]

Kedua: Zakat merupakan ibadah harta (ibadah maliyah). Oleh karena itu, pemilik harta boleh mewakilkan pendistribusiannya kepada orang lain, sebagaimana hal ini berlaku jika dia mewakilkan pemenuhan utang, nazar, dan kaffarah yang menjadi kewajibannya kepada orang lain.[3]

Ketiga: Terkadang dalam sejumlah kondisi pemilik harta tidak mampu mendistribusikan zakatnya, sehingga terdapat kebutuhan untuk memberikan perwakilan.[4]

Berdasarkan hal di atas, pendistribusian zakat dapat diwakilkan kepada sejumlah pihak, di antara mereka adalah lembaga sosial. Dalam hal ini terdapat dua kondisi bagi lembaga sosial, yaitu:

Kondisi pertama

Lembaga sosial berstatus sebagai wakil dari penunai zakat (muzakki). Status inilah yang umumnya dimiliki lembaga sosial yang tidak memperoleh izin dan kewenangan dari pemerintah untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Perwakilan dari penunai zakat kepada lembaga sosial yang demikian terwujud dengan diserahkannya zakat fitrah kepada lembaga sosial untuk dibagikan kepada kaum fakir, atau dengan diserahkannya sejumlah uang kepada lembaga sosial untuk membeli makanan pokok yang nantinya akan dibagikan kepada orang yang berhak. Dengan demikian, dalam kondisi ini, penunai zakat telah diketahui identitasnya (mu’ayyan). Adapun identitas penerima zakat (mustahiq) belum diketahui, sehingga perwakilan dari penerima zakat kepada lembaga sosial tidak dapat dilakukan.[5]

Kondisi kedua

Lembaga sosial berstatus sebagai wakil dari penunai zakat fitrah (muzakki) dan kaum fakir (mustahiq). Status ini terjadi apabila lembaga itu adalah lembaga pemerintah atau lembaga yang memperoleh izin dan kewenangan dari pemerintah untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat fitri. Dengan demikian, lembaga ini berstatus sebagai wakil dari kalangan yang kaya karena mereka menyerahkan zakat fitrah kepada lembaga tersebut dan memintanya untuk mendistribusikan kepada kalangan yang berhak menerima, sekaligus juga berstatus sebagai wakil kalangan yang fakir karena diberi kewenangan oleh pemerintah. Terlebih lagi jika lembaga sosial tersebut sudah memiliki daftar identitas penerima zakat fitrah.[6]

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Pertama: Dalam kondisi pertama, di mana lembaga sosial tidak memperoleh izin dan kewenangan dari pemerintah dalam mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, maka penunai zakat (muzakki) boleh menyerahkan zakat fitrah kepada lembaga sosial sebelum pelaksanaan salat id. Bahkan penyerahan zakat fitrah boleh dilakukan jauh sebelum salat id dilaksanakan, karena dalam kondisi ini penyerahan zakat fitrah dari penunai zakat ke lembaga sosial belum dianggap sebagai penunaian zakat kepada mustahiq. Penunaian zakat baru terealisasi jika lembaga sosial juga berstatus sebagai wakil kaum fakir. Selain itu, dalam kondisi ini, lembaga sosial tidak boleh menunda pendistribusian zakat fitrah kepada kaum fakir setelah pelaksanaan salat id, karena ia hanya berperan sebagai wakil penunai zakat dan bukan wakil penerima zakat.

Kedua: Dalam kondisi kedua, penunai zakat hanya boleh menyerahkan zakat fitrah ke lembaga sosial sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam dalil.[7] Berbeda dengan kondisi pertama, dalam kondisi ini, lembaga sosial boleh menunda penyaluran zakat kepada kaum fakir karena statusnya sebagai wakil mereka dan status ini dapat diperkuat dengan adanya daftar identitas penerima zakat fitrah spesifik yang dimiliki oleh lembaga sosial.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75911-mewakilkan-pembagian-zakat-fitri-kepada-lembaga-sosial.html

Hukum Onani Membayangkan Istri Sendiri karena Sedang Berjauhan

Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum melakukan onani (masturbasi) adalah haram. Dalam istilah syariat, onani disebut dengan “istimna’” (الاستمناء )”. Onani diharamkan karena syahwat seksual hanya boleh disalurkan melalui istri yang sah atau budak wanita yang dimiliki.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ

إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma’arij: 29-31)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa tidak boleh melakukan onani (masturbasi). Beliau rahimahullah berkata,

فكان بيّناً في ذكر حفظهم لفروجهم إلا على أزواجهم أو ما ملكت  أيمانهم  تحريم ما سوى الأزواج  وما ملكت الأيمان .. ثم أكّدها فقال : ( فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون ) . فلا يحل العمل بالذكر إلا في الزوجة أو في ملك اليمين ولا يحل الاستمناء والله أعلم

Telah jelas bahwa penyebutan ‘menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap istri-istri atau budak-budak wanita yang mereka miliki’ menunjukkan keharaman (menyalurkan syahwat) selain terhadap istri dan budak. Kemudian dipertegas dengan firman Allah, ‘Barangsiapa yang mencari selain itu, maka mereka termasuk orang-orang yang melampui batas’. Maka, tidak boleh bernikmat-nikmat dengan kemaluannya, kecuali terhadap istri atau budak wanita dan tidak boleh ‘istimna’ (onani atau masturbasi).” (Kitabul Umm, 5: 101)

Apabila suami berjauhan dengan istrinya, semisal sedang safar yang lama atau memang sedang bekerja atau sekolah di luar negeri dalam waktu yang lama, apakah boleh bagi suami atau istri melakukan onani? Misalnya, membayangkan istri sendiri atau video call?

Beberapa ulama menjelaskan hukumnya tetap haram secara mutlak, sedangkan ulama yang lain menyatakan boleh apabila benar-benar darurat dan sangat dikhawatirkan terjatuh ke dalam zina hakiki (ingat benar-benar darurat dan bukan sekedar hobi atau kebiasaan).

Berikut penjelasan ringkas berbagai mazhab dari fatwa Syabakah Islamiyyah binaan Syekh Abdullah Al-Faqih,

فالمالكية، والشافعية يقولون بتحريمها. …

….من مذهب الحنفية، فإنهم لم يبيحوا هذه العادة، وإنما إذا اضطر إليها، وخشي الوقوع في الزنى، فإنه يرتكب أخف الضررين.

ثم إن الفاعل إذا كان يقصد بفعله تحصيل اللذة، فلا شك أنه يفعل الحرام، وربما كان أكثر من يفعلون العادة السيئة يفعلونها؛ من أجل تحصيل اللذة، أو التسلية، فهم غير مضطرين إليها…

أما مذهب الحنابلة، فقد نصوا على أن الاستمناء محرم، وأن صاحبه يستحق التعزير، وأنه لا يباح، إلا عند الضرورة، وقد سبق بيان حد الضرورة.

Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyyah menetapkan haramnya hal ini … Mazhab Hanafiyyah tidak membolehkan hal ini, kecuali dalam keadaan darurat dan khawatir terjerumus ke dalam zina, maka ia memilih bahaya (kerusakan) yang paling ringan di antara dua pilihan. Pelakunya juga tidak bermaksud untuk mencari kelezatan (jika terpaksa onani), karena tidak diragukan lagi bahwa ia melakukan keharaman. Bisa jadi orang yang melakukan onani itu hanya ingin mendapatkan kelezatan dan kesenangan, padahal tidak terpaksa. Adapun mazhab Hanabilah menegaskan haramnya onani, pelakunya harus dihukum ta’zir. Tidak diperbolehkan, kecuali ketika darurat dan telah dijelaskan definisi darurat.” (Fatwa Syabakiyah Islamiyyah no. 7170)

Ulama besar di zaman ini, Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, ditanya oleh seseorang yang berjauhan dengan istrinya (LDR), apakah diperbolehkan onani. Maka Syekh rahimahullah menjelaskan bahwa hukumnya tetap tidak diperbolehkan karena masih terdapat solusi lainnya. Beliau rahimahullah menjelaskan,

ولا يجوز تعاطيها للمؤمن، وفي إمكانك أن تأتي بزوجتك معك، تطلب مجيئها إذا تيسر ذلك أو تسافر إليها بين وقت وآخر، تأخذ إذن من صاحبك أو تشرط على من تعاقدت معه ذلك حتى تذهب إلى زوجتك في أثناء السنة أو تستعين بالله ثم بالصوم أو تتزوج زوجة ثانية في محل عملك

Tidak boleh bagi seorang muslim melakukannya. Jika memungkinkan, Engkau safar ke negeri perantauan bersama istrimu atau minta istrimu datang jika memungkinkan atau Engkau pulang menemui istrimu. Engkau juga bisa minta izin pulang atau mempersyaratkan (di tempat kerja) agar bisa pulang menemui istri di tengah tahun. Minta pertolongan kepada Allah dengan berpuasa atau menikah yang kedua di tempat perantauanmu.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/7719)

Kesimpulan

Pertama, Onani dan masturbasi hukumnya haram.

Kedua, Suami-istri yang berjauhan atau LDR tetap haram hukumnya onani (masturbasi), meskipun membayangkan pasangan sendiri atau melalui video call.

Ketiga, Memang ada ulama yang memfatwakan boleh jika darurat dan khawatir terjatuh dalam perzinaan. Akan tetapi, penerapan darurat tidak semudah itu karena yang namanya darurat adalah satu-satunya jalan dan benar-benar sudah hampir nyata khawatir terjatuh dalam perzinaan.

Keempat, Belum bisa dikatakan darurat apabila masih ada jalan dan solusi lainnya, semisal berpuasa, menyibukkan diri dengan kesibukan positif, menghindari terus-menerus sendiri, atau berupaya menemui istri (pulang) dalam jangka waktu tertentu.

Keluma, Dalih darurat juga akan membuka pintu maksiat di mana tujuannya sudah bukan lagi darurat, akan tetapi hobi dan berlezat-lezat dengan perkara yang haram.

Keenam, Darurat benar-benar jalan terakhir apabila semua syaratnya terpenuhi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75756-hukum-onani-membayangkan-istri-sendiri-karena-sedang-berjauhan.html

Jalan yang Lurus, Jalan Terang Benderang

alan yang lurus adalah jalan yang jelas dan terang, bahkan bisa dikenali

Hidayatullah.com | JALAN hidup manusia hanya ada dua. Pertama, jalan yang lurus. Kedua,  jalan yang bengkok.  Jalan yang lurus adalah jalan yang jelas dan terang, artinya, ia bisa ditemukan dan bisa dikenali. Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam al-Qur’an Surat al-Maidah [5] ayat 48:

وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الۡكِتٰبَ بِالۡحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ الۡكِتٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِ‌ فَاحۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعۡ اَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الۡحَـقِّ‌ؕ لِكُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡكُمۡ شِرۡعَةً وَّمِنۡهَاجًا ‌ؕ وَلَوۡ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمۡ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰـكِنۡ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِىۡ مَاۤ اٰتٰٮكُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَـيۡـرٰتِ‌ؕ اِلَى اللّٰهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيۡعًا فَيُنَبِّئُكُمۡ بِمَا كُنۡتُمۡ فِيۡهِ تَخۡتَلِفُوۡنَۙ

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (minhaja). Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS: al-Maidah: 48)

Orang-orang yang telah menemukan jalan yang lurus, mengimaninya, lalu menapakinya, adalah kaum Mukminin. Sedangkan orang-orang yang tidak mengimaninya sudah pasti menyelisihinya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an surat An-Nisaa [4] ayat 115.

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: An-Nisaa’: 115)

Jadi, kita tinggal memilih jalan mana yang mau kita tempuh di antara kedua jalan tersebut. Jika kita mau menempuh jalan yang lurus, kita tinggal mencarinya. Insya Allah ketemu! Sebab, jalan tersebut terang benderang.

Begitu juga bagi mereka yang memilih jalan bengkok, tinggal menyelisihi jalan kaum Muslim.  Semoga Allah Ta’ala menggerakkan hati, pikiran, dan langkah kita agar memilih jalan lurus. *

HIDAYATULLAH