Empat Fase Sejarah Puasa Asyura di Masa Rasulullah

Tak terasa sebentar lagi akan masuk pada hari ke-10 Muharram.  Sudah maklum bahwa di antara amalan yang disunnahkan untuk dikerjakan di bulan Muharram adalah puasa Asyura, yaitu berpuasa di hari kesepuluh bulan Muharram. Nah berikut empat fase sejarah puasa Asyura di masa Rasulullah.

Puasa Asyura ini sudah disyariatkan sejak umat terdahulu sebelum Rasulullah Saw. Orang-orang ahlu kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, sudah terbiasa dan disyariatkan untuk melakukan puasa Asyura ini.

Khusus pada masa Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Hasan Yusuf dalam kitab Fadhlu Syahrullah Al-Muharram wa Yaum Asyura, puasa Asyura ini mengalami empat fase atau tahapan di dalam proses pelaksanaannya.

Pertama, fase sebelum hijrah, yaitu ketika Rasulullah Saw berada di Mekkah. Pada fase ini Rasulullah Saw melakukan puasa Asyura namun tidak menyuruh orang lain untuk melakukannya. 

Kedua, fase ketika Rasulullah Saw sudah hijrah ke Madinah dan puasa Ramadhan belum disyariatkan. Pada fase ini Rasulullah Saw melakukan puasa Asyura dan dengan tegas menyuruh kaum muslimin untuk puasa Asyura. Bahkan tidak hanya yang sudah dewasa, anak-anak kecil juga ikut melakukan puasa Asyura.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Nabi Saw ketika tiba di Madinah, beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan puasa hari Asyura dan mereka berkata; Ini adalah hari agung, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun.

Lalu Nabi Musa mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah. Maka beliau bersabda; Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka. Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk mempuasainya.

Ketiga, fase setelah puasa Ramadhan disyariatkan untuk kaum muslimin. Pada fase ini, Rasulullah Saw tidak dengan tegas menyuruh kaum muslimin untuk melakukan puasa Asyura. Beliau hanya memberi pilihan. Bagi yang mau berpuasa Asyura diizinkan, namun bagi yang tidak mau berpuasa juga tidak masalah. 

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه حتى فرض رمضان وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شاء فليصمه ، ومن شاء أفطر

Sesungguhnya orang-orang Quraisy dulu pada masa jahiliyah berpuasa di hari Asyura. Rasulullah Saw pun memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa Ramadhan. (Setelah wajibnya puasa Ramadhan) Rasulullah Saw berkata; Barangsiapa yang ingin puasa, maka ia boleh berpuasa Asyura, dan bagi yang tidak ingin puasa, maka berbuka. 

Keempat, fase menjelang Rasulullah Saw meninggal. Pada   fase ini, Rasulullah Saw menyuruh bagi kaum muslimin yang mau puasa Asyura agar tidak berpuasa di hari Asyura saja, melainkan disertai berpuasa di hari sebelumnya. Tujuannya adalah agar berbeda dengan puasa Asyura yang dilakukan oleh ahlu kitab.

Demikian penjelasan terkait empat fase sejarah puasa Asyura di masa Rasulullah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Cara Terbaik Bershalawat, Seperti Apa?

Dalam buku “Hikayat Keajaiban Istighfar dan Shalawat Nabi” karya Fuad Abdurrahman diungkapkan bahwa pensyarah kitab I’anat al-Thalibin, Syekh al-Bakri al-Dimyathi telah menjelaskan cara bershalawat yang terbaik, yaitu:

“Sebaiknya orang yang membaca shalawat kepada Nabi, dalam kondisi paling sempurna, suci badannnya, punya wudhu, menghadap kiblat, menghayati keagungan Baginda Nabi dengan maksud tercapainya keinginan dan cita-cita, membaca dengan tartil per huruf dan tidak tergesa-gesa dalam mengucapkan kalimat-kalimatnya.”

Sementara itu, Syekh Abu al-Abbas al-Tijani berkata seperti yang dikutip dari kitab Jawahir al-Ma’ani bahwa bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang agung, yaitu pintu kesempurnaan, pintu masuk yang agung. Siapa yang meninggalkannya, maka ia tidak akan menemukan pintu lain selain bershalawat yang dengannya ia bisa masuk agar bertemu dengan Nabi SAW.

Syekh Abu al-Abbas mengingatkan, “Hendaknya saat bershalawat, orang tersebut membayangkan sosok Nabi Muhammad SAW, membayangkan sedang duduk di hadapan beliau dengan hormat, tenang, mengagungkan, mengharap pertolongan dari beliau dengan kadar keadaan serta derajat orang tersebut.”

Lebih lanjut, Syekh Abu al-Abbas menjelaskan bahwa orang yang bershalawat seperti di atas, perhatiannya hendaknya juga sampaai kepada Allah ibarat perhatian orang kehausan air. Maka, Allah akan menggenggam tangannya dan menariknya kepada-Nya menuju makrifat.

Adakalanya dengan cara Allah memberi kuasa kepada Nabi-Nya agar mendidiknya secara langsung. Adakalanya juga Allah membukakan pintu makrifat kepadanya dan menghilangkan perintang hati berkat dia selalu bershalawat kepada kekasih Allah SWT. Hal itu merupakan perantara terbesar menuju keridhaan Allah untuk makrifat kepada-Nya.

IHRAM

Kisah Difabel Netra Naik Haji: Izinkan Saya Menangis di Depan Ka’bah

Haji kerap menjadi momentum yang mengguratkan tinta sejarah pada perjalanan hidup seseorang. Tidak terkecuali bagi Ajini bin Senen bin Hasan (55 tahun), seorang penyandang disabilitas netra yang mendapat hadiah terbesar untuk pergi ke Tanah Suci pada musim haji tahun ini.

Pria asal Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung ini mendapatkan hadiah berhaji dari mantan Bupati Bangka Belitung Zuhri M Syazali pada 2011. Bukan tanpa sebab Ajini mendapat durian runtuh untuk berhaji gratis.  Sehari-hari, ayah dua anak ini mengajarkan anak-anak untuk mengaji berupa hafalan Alquran juz 30.  

Rutinitas itu dilalui sejak tahun 1990. Ajini yang juga merupakan penasihat sebuah Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Desa Pelangas itu membimbing mereka dibantu oleh istri dan anaknya.  “Cuma ngajar hafalan Quran juz 30,”ujar Ajni saat berbincang dengan Tim MCH di Hotel Barra Taibah, Madinah, Arab Saudi, Kamis (4/7) lalu. 

Ajini lantas didaftarkan haji oleh sang bupati. Setelah menunggu sebelas tahun, Ajini berangkat ke Tanah Suci bersama Kloter Palembang (PLM-4) pada 28 Juni lalu. Ajini merupakan bagian dari gelombang dua yang diberangkatkan langsung ke Jeddah untuk tinggal di Makkah Al-Mukaraamah. Setibanya di Bandara King Abdul Aziz International Airport (KAIA), Jeddah, Ajini merasakan sesuatu yang berbeda. “Saat sampai di Jeddah pertama kali terasa seperti siang di Indonesia, panas,”jelas dia. 

Ajini yang sudah berbalut kain ihram mengambil miqat di bandara. Setelah beristirahat sejenak di hotel yang berlokasi di Sektor 4, Ajini melanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram. Layaknya jamaah Indonesia yang datang sebelum prosesi haji dimulai, Ajini berangkat sebagai jamaah haji tamattu. Dia pun melaksanakan umrah wajib setelah berada di Tanah Suci.  

Dia melaksanakan tawaf dengan kursi roda. Seorang petugas mendorong kursi yang menjadi fasilitas bagi kaum disabilitas tersebut untuk berputar mengelilingi Rumah Allah. Berada di depan Ka’bah, Ajini pun terharu. Dia menangis tersedu hingga putaran keempat. “Izinkan saya menangis, jadi pertama sampai puturan empat itu menangis terus,”kata dia. 

Ajini menangis karena tak terbayang sebelumnya bisa menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Terlebih,  dia sempat mendapatkan informasi dari petugas kantor Kementerian Agama setempat jika harus menunggu delapan tahun lagi untuk berangkat ke Tanah Suci. Hingga pada 2018, dia bertemu kembali dengan pejabat Kemenag. “Saya tanya, saya bisa enggak pak penyandang disabilitas.Katanya enggak masalah yang penting ambil wajib-wajib saja. Setelah itu tinggal di hotel. Jadi saya semangat lagi,”ujar dia. 

Saat menjalani prosesi puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan MIna (Armuzna),  Ajini beberapa kali  jatuh sakit. Dia sempat diinfus saat berada di Arafah. Kondisi fisiknya yang belum pulih benar membuat Ajini harus dibadalkan untuk lontar jumrah di jamarat ketika di Mina. Meski harus berjuang dengan segala keterbatasannya, Ajini yang sudah 38 tahun menjadi tunanetra itu berhasil melalui ibadah hajinya. Kini, Ajini masih berada di Madinah untuk menunggu waktu pulang pada Sabtu (6/8) lewat Bandara Prince Mohamed bin Abdul Aziz (AMAA). “Saya ke Nabawi hanya sholat sunah waktu Dhuha karena kalau duduk sakit,”jelas dia. 

Kepada penyandang disabilitas yang hendak berhaji, Ajini berpesan agar tak perlu khawatir dengan pelayanan selama di Tanah Suci. Selama di Makkah dan Madinah, dia mengaku dilayani dengan baik oleh petugas PPIH. Perlakuan istimewa pun didapatkan dari kawan satu rombongan bahkan satu kamar. “Yang penting ikhlas sama Allah, bertawakal,”jelas dia. 

IHRAM

Kekayaan yang Sejati

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Kekayaan itu bukan soal keberlimpahan harta benda dunia, melainkan kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.” Kekayaan hanyalah milik Allah SWT, dan manusia sesungguhnya ada dalam kefakiran sehingga membutuhkan karunia-Nya. Allah SWT berfirman:

“Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menginfakkan (hartamu) di jalan Allah. Lalu di antara kamu ada orang yang kikir, dan barangsiapa kikir maka sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah Yang Mahakaya dan kamulah yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling (dari jalan yang benar) Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu (ini).” (QS Muhammad ayat 38)

Dari hadits tersebut, Rasulullah SAW menyampaikan kepada umatnya, orang kaya tidak menjadi kaya dengan keberlimpahan harta benda atau uang yang dimilikinya. Karena sejatinya orang menjadi kaya karena memiliki kekayaan jiwa.

Kekayaan jiwa menentramkan hati dan mendamaikan pikiran. Orang yang memiliki kekayaan jiwa tidak mempersoalkan ketika kehilangan kesempatan atau keuntungan. Dia tidak jatuh terjerembab hanya karenanya.

Orang yang kaya jiwa menerima apa yang datang kepadanya, lalu menggunakannya untuk dirinya dan keluarganya. Dia tidak bergantung pada manusia dan tidak merasa cemas dengan apa yang dimilikinya. Sebab, seandainya kekayaan jiwa merupakan kekayaan harta, maka setinggi itu pulalah derajatnya.

Adapun orang yang kaya harta adalah mereka yang memiliki banyak uang. Harta tersebar ke mana-mana. Jiwanya ada dalam harta benda yang dimilikinya, seperti emas, mobil, rumah mewah dan sebagainya. Dia sangat tertarik pada harta dan menginginkan segala sesuatu yang ada di tangan manusia. Ia takut menjadi miskin jika memberi sedekah kepada orang miskin.

Alquran juga telah menjelaskan bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang bukan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada mereka. Allah SWT berfirman, “Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS Al-Mu’minun ayat 55-56)

Jalan menuju kekayaan jiwa adalah dengan menerima dengan rasa syukur atas apa yang telah Allah SWT tetapkan dan berikan. Dia yakin apa yang dimilikinya saat ini adalah baik. Sedangkan orang yang kaya harta tapi kikir justru memiskinkan dirinya dan membuatya hina.

IHRAM

Penjagaan terhadap Anak-Anak dan Pemikiran Mereka di Dunia Barat

Nasihat Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid Hafizhahullah

Pertanyaan:

Kami -kaum muslimin di negeri-negeri barat- menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menjaga anak-anak kami dari kesesatan dan penyimpangan di masyarakat barat yang menyimpang. Kami mohon beberapa tips amaliah yang bisa menjaga anak-anak kami dari kesesatan dan penyimpangan. Jazakumullahu khairan (Semoga Allah Ta’ala membalas kalian dengan kebaikan).

Jawaban:

Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah). Dalam menjaga kondisi keluarga-keluarga muslim di negeri-negeri kafir, sepatutnya seseorang melakukan secara maksimal beberapa syarat dan hal diperlukan di dalam dan di luar rumah.

Pertama: Di dalam rumah

Wajib bagi para ayah untuk menjaga salat di masjid bersama anak-anak mereka. Apabila tidak ada masjid yang dekat, maka salat berjemaah di rumah.

Hendaknya mereka membaca Al-Qur’an dan mendengarkan tilawah setiap hari.

Hendaknya mereka satu sama lain berkumpul untuk makan.

Hendaknya mereka berbicara dengan bahasa Al-Qur’an semampu mereka.

Hendaknya mereka menjaga adab-adab keluarga dan adab-adab masyarakat yang difirmankan di dalam Kitab-Nya. Salah satunya adalah apa yang terdapat di surah An-Nur.

Wajib atas mereka untuk tidak membolehkan diri mereka (orangtua) dan anak-anak mereka untuk menonton film-film porno, film yang mengandung kemaksiata dan kefasikan.[1]

Hendaknya anak-anak bermalam di dalam rumah dan hidup di dalamnya selama mungkin sebagai penjagaan untuk mereka dari pengaruh lingkungan luar yang buruk dan memperketat untuk melarang mereka untuk menginap di luar rumah.

Hindari mengirim anak-anak ke universitas-universitas yang jauh sehingga mereka tinggal di asrama universitas. Kalau tidak, kita akan kehilangan anak-anak kita yang akan melebur dengan masyarakat kafir.

Bersemangat dengan maksimal untuk memberi makan yang halal dan para orang tua harus menjauhi secara menyeluruh semua hal yang haram seperti rokok, mariuana/ ganja, dan lain-lain yang tersebar di negeri kafir.

Di luar rumah

Hendaknya mengirim anak-anak ke sekolah-sekolah Islam sejak usia dini sampai dengan SMA.

Hendaknya juga mengirim mereka ke masjid semampunya untuk salat berjemaah, menghadiri halaqah-halaqah ilmu, dakwah, nasihat, dan lain-lain.

Hendaknya mengadakan kegiatan-kegiatan pendidikan (tarbiyah) dan olahraga di antara anak-anak kecil dan remaja-remaja (pemuda-pemuda) di tempat-tempat yang diawasi oleh orang-orang Islam (kaum muslimin).

Mendirikan/mengadakan kemah-kemah pendidikan (camp tarbiyah / daurah) yang setiap anggota keluarga secara lengkap pergi ke sana.

Hendaknya para ayah dan ibu berusaha untuk berangkat ke tanah suci untuk menunaikan manasik umrah dan kewajiban haji beserta membawa bersama mereka anak-anak mereka.

Mendidik anak-anak dalam berbicara tentang Islam dengan bahasa yang mudah untuk dipahami oleh yang besar (dewasa) dan kecil (anak-anak), dan juga muslim maupun nonmuslim.

Mendidik anak-anak dalam menghafal Al-Qur’an dan mengirim sebagian mereka -jika memungkinkan- ke negeri Arab muslim agar mereka memahami agama secara mendalam. Kemudian mereka kembali setelah itu untuk menjadi penyeru (da’i) yang mempunyai bekal ilmu, agama, dan bahasa Al-Qur’an Al-Karim.

Mendidik sebagian anak-anak untuk berkhotbah Jum’at dan mengimami kaum muslimin agar mereka menjadi pemimpin komunitas Islam.

Menyemangati anak-anak untuk menikah muda supaya menjaga untuk mereka agama mereka dan dunia mereka.

Hendaknya menyemangati mereka untuk menikah dengan muslimah yang keluarganya dikenal dengan agamanya dan akhlaknya.

Menyelesaikan perselisihan keluarga dengan merujuk kepada  tokoh-tokoh masyarakat/ komunitas Islam atau imam dan khatib markaz Islami.

Tidak menghadiri konser-konser/pesta tari, musik, nyanyian, dan festival-festival yang mengandung kefasikan, menyaksikan hari-hari raya kafir. Dan juga melarang anak-anak dengan hikmah untuk tidak pergi bersama siswa-siswa sekolah yang nasrani ke gereja pada hari Ahad.

والله سبحانه الموفق والهادي إلى سواء السبيل.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Mahapemberi taufik dan Mahapemberi hidayah kepada jalan yang benar.

Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid Hafizhahullah

Penuntut Ilmu, Da’i Terhormat di Arab Saudi, Murid Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu 

Sumber: http://iswy.co/e17slu

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli, S.T.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77343-penjagaan-terhadap-anak-anak-dan-pemikiran-mereka-di-dunia-barat.html

Akhlak, Apa Artinya?

Komponen utama agama Islam adalah akhlak, jika seseorang memiliki akhlak yang lebih baik daripada akhlakmu, berarti dia lebih tinggi derajatnya daripada dirimu dalam hal agama

AL-AKHLAK الأخلاق adalah kata dalam bahasa Arab dari kata al-khuluq. Akhlaq/akhlak, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia.

Kata ini terdiri atas huruf خ – لا – ق yang biasa digunakan untuk menghargai sesuatu. Ar-Rogib mengatakan, “Pada dasarnya al-kholqu, al-khulqu dan al-khuluqu memiliki makna yang sama. Namun al-khuluqu lebih dikhususkan untuk bentuk yang dapat dilacak panca indra. Sedangkan al-khuluqu dikhususkan untuk kekuatan dan tabiat yang bisa ditangkap oleh mata hati.

Allah ﷻ berfirman dalam QS Al Qalam 4:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS: Al-Qalam:4)

Akhlak mulia di dalam ayat ini sebagaimana dikemukakan Ath-Thobari, bermakna tata krama tinggi. Yaitu tata krama Al-Quran yang telah Allah tanamkan di dalam jiwa Rasul-Nya.

Tata krama ini tercermin melalui Islam dan ajarannya. Makna ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas yang ketika itu menjabarkan makna dari Surat Al-Qalam 4.

Dengan berkata, ‘yaitu memeluk keyakinan yang agung dalam hal ini ialah Islam.’ Mujahid mengatakan hal serupa dalam menafsirkan firman Allah ﷻ. Ia berkata, “yaitu beragama yang agung.”

Diriwayatkan juga Ketika Sayyidah ‘Aisyah r.a. ditanya Qatadah mengenai Akhlak Nabi ﷺ. ‘Aisyah  menjawab, “Akhlak Rasulullah ﷺ adalah Al-Quran.” (HR: Ahmad; hadits shahih).

Qatadah berkata, ” ‘Aisyah mengatakan bahwa akhlak itu seperti apa yang terekam di dalam Al-Quran.”

Imam Junaid r.a menerangkan bahwa Akhlak Rasulullah  ﷺ dikatakan amat terpuji karena Beliau mengedepankan ajaran Allah ﷻ.  Di samping itu, ada juga ulama yang berpendapat bahwa Akhlak Rasulullah  ﷺ dikatakan terpuji karena Beliau memiliki potensi semua budi pekerti yang baik.

Hal ini tersirat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu-Hurairah RA:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR: Buhari dan Ahmad; hadits shahih)

Mawardi r.a berkata bahwa lafazh ‘وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ’ dapat dipahami memiliki 3 makna berikut ini.

Pertama, adab yang diagungkan Al-Quran. Kedua, agama Islam dan ketiga, budi luhur, makna inilah yang lebih mendekati lahiriyah makna ayat.

Mengenai hal ini, Fairuzabadi berkata, “Ketahuilah! Komponen utama agama Islam adalah akhlak. Jika seseorang memiliki akhlak yang lebih baik daripada akhlakmu, berarti dia lebih tinggi derajatnya daripada dirimu dalam hal agama.  Akhlak yang baik ini berdiri di atas empat fondasi: yaitu kebesaran, keberanian, keadilan dan kesucian.”

Fairuzabadi juga menyebutkan bahwa keempat fondasi tersebut saling menyeru, sehingga dapat membawa sang pemilik akhlak untuk menerapkan akhlak yang mulia lainnya. Dengan kesabaran, misalnya seseorang dapat melatih diri untuk ditempa menahan emosi, menyingkirkan  bahaya, bersikap waspada dan hati-hati, lemah lembut dan santun serta tidak tergesa-gesa dan sembrono.

Disebutkan juga bahwa sikap tidak berlebihan dalam segala hal merupakan asas utama dari keempat akhlak mulia ini.

Definisi menurut terminologi

Menurut Al-Jahizh, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang selalu mewarnai tindakan dan perbuatannya. Tanpa pertimbangan lama atau keinginan.

Dalam beberapa kasus, akhlak ini sangat meresap hingga menjadi bagian dari watak dan karakter seseorang. Namun dalam kasus yang lain akhlak ini merupakan perpaduan dari hasil proses latihan seseorang.

Menurut Ibnu Taymiyah, akhlak berkaitan erat dengan iman karena, karena iman terdiri atas yakin Allah adalah satu-satunya pencipta, yang patut disembah, cinta kepada Allah melebihi segala cinta, yang akan menghantarkan hamba pada satu tujuan yakni menggapai ridlo Allah..*/Hariono Madari, (Sumber: Mahmud Al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, Pena Pundi Aksara).

HIDAYATULLAH

Yuk, Perbaiki Niat!

KARANGAN Syekh Nawawi merupakan salah satu kitab yang cukup masyhur bagi umat Islam Indonesia. hadis pertama yang disebutkan dalam kitab Arba’in Nawawi adalah membahas tentang niat.

Betapa agungnya kedudukan hadis ini, hal ini mengindikasikan bahwa pentingnya niat, tidak berlebihan jika Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan bahwa hadits niat ini mencakup sepertiga ilmu.

Kalau ada orang yang bekerja dengan sesuka hatinya, orang menganggap “kerjo kok ga niat“. Ada orang yang berniat tapi tidak ada action. ia bilang “yang penting niat dulu“.

Kedua pemahaman tentang niat ini sering kita dengar. Niat bukanlah hanya sekadar keinginan yang terlintas dalam hati tetapi niat adalah keinginan yang harus menjadi ketetapan hati dan aksi. Niat walaupun kedudukannya cuma tekad dan perancangan.

Tetapi sebagai dasar dan pilar tindakan seorang muslim. Niat juga menjadi pembeda apakah suatu perbuatan termasuk ibadah atau hanya sekedar urusan dunia.

Dalam urusan ibadah, niat adalah syarat sah. Oleh karena itu, pemahaman tentang niat sangatlah penting untuk diketahui setiap muslim, agar bisa melaksanakan ibadah dengan benar sesuai ketentuan syariat Islam. Niat adalah ruh dalam amal.

Suatu pekerjaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada niatnya. Makanya niatkan urusan dunia semata-mata karena Allah. Dan hasilnya akan meluas kemana-mana.

Bekerja harus berniat untuk ibadah karena Allah. Seorang mukmin yang dalam bekerja berniat semata-mata karena Allah, mencari pahala dan sarana mendatangkan rezeki dari Allah akan hidup jauh lebih berkah, bahagia, dan tenang.

Daripada niatnya cuma sekadar biar sejahtera, sebagai identitas diri, apalagai sekedar relasi. Niat memegang peranan penting dalam melakukan amal, mari luruskan niat, dalam setiap aktivitasnya, orientasikan niat itu kepada Allah SWT. Sebab hanya Allah yang sebaik-baiknya pemberi balasan kebaikan dari setiap amal yang dikerjakan manusia.

Penyimpangan niat adalah ketika niat ibadah tapi terselipnya pernak-pernik duniawi. Atau urusan biasa tanpa niat ibadah, maka sebatas itulah hasilnya dari apa yang ia niatkan.

Saat seseorang ingin menikah, hendaklah meluruskan niat terlebih dahulu, berniatlah menikah dalam rangka untuk beribadah kepada Allah SWT, berniatlah menikah dengan tujuan agar semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Bukan karena semata-mata pilihan orang tua, atau ikut tren nikah muda, atau karena menikah dengannya akan hidup sejahtera. Terlalu sempit niatnya dan terlalu sederhana.

Di era modern ini banyak sekali penghafal Al-Qur’an yang menghafal, tetapi gelagat dan adabnya tidak mencerminkan orang yang sangat mencintai Qur’an.

Apakah ada kesalahan niat ketika menghafal Al-Qur’an? apakah ketika seorang yang berbuat amal kebaikan bisa ada penyimpangan tanpa sadar? []

Oleh: Mia Fitriah Elkarimah
el.karimah@gmail.com

ISLAMPOS

Fatwa Jilbab Al-Azhar Picu Kontroversi di Mesir

Lembaga Islam al-Azhar Mesir melalui Pusat Fatwa Elsktronik Global Al-Azhar mengeluarkan fatwa tentang jilbab pada 8 Juli 2022 lalu. Fatwa itu dikeluarkan menjelang perayaan Hari Raya Idul Adha lalu. Fatwa berjudul “Larangan Idul Adha” diterbitkan di platform Facebook berisi tentang tindakan yang harus dilakukan selama Idul Adha.

Salah satu bunyi fatwa itu adalah melarang wanita meninggalkan rumah tanpa mengenakan jilbab. Alhasil, fatwa jilbab ini langsung disambut kritik luas, terutama di media sosial.

Keesokan harinya, lembaga tersebut mengubah kata-kata, yakni melarang wanita menghadiri sholat Idul Adha tanpa jilbab. Namun, perubahan itu tidak mengakhiri kontroversi. Tagar bahasa Arab untuk “Turunkan Sheikh Al-Azhar” ramai di Twitter dalam upaya menuntut penggulingan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed el-Tayeb.

Meskipun ini bukan kontroversi jilbab pertama di Mesir, ini menjadi kritik pertama yang ditujukan kepada imam besar Al-Azhar. Banyak ulama menanggapi dengan menyerang kritikus fatwa tersebut.

Direktur Pusat Bimbingan dan Kesadaran Hukum Wanita Rida al-Danbouki mengatakan perdebatan baru tentang jilbab di Mesir tidak lain adalah upaya para ulama untuk memaksakan kontrol patriarki dan penindasan pada tubuh wanita. Itu lanjut dia merupakan upaya misoginis dan hasutan terhadap perempuan.

“Perempuan benar-benar bebas untuk memakai apa pun yang mereka inginkan, kapan pun mereka mau, tanpa pengawasan dari siapa pun atau kontrol pria serta tanpa didiskriminasi. Semua orang sama di depan hukum,” kata Danbouki, dikutip Al-Monitor, Jumat (29/7/2022).

Profesor Yurisprudensi di Universitas Al-Azhar Fatiha al-Hanafi mengatakan sejumlah pihak memusuhi Al-Azhar. “Partai-partai ini cenderung memicu kontroversi atas masalah doktrinal yang mapan dalam hukum Islam, termasuk masalah hijab,” ujarnya.

Pejabat Al-Azhar yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa, Abbas Shouman menulis dalam postingan Facebook 16 Juli bahwa penyelenggara acara musik harus memaksa peserta untuk mengenakan pakaian putih longgar.

“Mewajibkan perempuan dan laki-laki untuk memakai pakaian putih untuk menghadiri sebuah acara tidak bertentangan dengan kebebasan pribadi. Ini hanya pengingat bagi wanita untuk mematuhi aturan berhijab yang merupakan kewajiban agama,” ucap dia.

Seorang perempuan Mesir Sara al-Sayed (30 tahun) mengatakan sejumlah lembaga agama memang memaksakan pemakaian jilbab.

“Lembaga-lembaga agama berjuang memaksakan jilbab sebagai kewajiban agama. Tetapi pada akhirnya, ini tetap menjadi kebebasan pribadi. Setiap wanita bebas memakainya atau melepaskannya. Wanita benar-benar bebas dalam memilih, terlepas dari institusi mana pun,” terang dia.

ISLAM KAFFAH

Khutbah Jumat: Ajaklah Keluarga untuk Menjaga Shalat, Menutup Aurat, dan Memakai Jilbab

Khutbah Pertama

الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ.

وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Amma ba’du.

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Segala puji bagi Allah, pemberi segala macam nikmat kepada kita sekalian yang memerintahkan kita untuk bersyukur kepada-Nya dengan bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurah pada suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di khutbah Jumat kali ini, kami ingin ingatkan kepada para jamaah sekalian mengenai firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata mengenai ayat tersebut,

أَدِّبُوْهُمْ، عَلِّمُوْهُمْ.

“Ajarilah adab dan agama kepada mereka”.

Adh-Dhahak dan Maqatil rahimahumallah berkata,

حَقٌّ عَلَى المسْلِمِ أَنْ يُعَلِّمَ أَهْلَهُ، مِنْ قُرَابَتِهِ وَإِمَائِهِ وَعَبِيْدِهِ، مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيْهِمْ، وَمَا نَهَاهُمُ اللهُ عَنْهُ

“Seorang muslim wajib mengajarkan kewajiban kepada Allah dan mengingatkan larangan-Nya kepada kerabat, budak wanita, dan budak laki-lakinya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah).

Tentu kewajiban yang mesti diingatkan adalah untuk beriman dan mentauhidkan Allah. Di samping itu, kepala keluarga mesti menjalankan shalat dan mengajak keluarga kita juga untuk shalat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (54) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (55)

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. ” (QS. Maryam: 54-55).

Kepala keluarga hendaklah juga menjaga anggota keluarga dari berbagai maksiat. Sifat suami yang baik adalah bertanggung jawab pada anggota keluarganya. Karena ia akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Ingatlah, setiap kalian itu punya tanggung jawab dan setiap kalian akan ditanya tentang tanggung jawabnya.” (HR. Bukhari, no. 2554 dan Muslim, no. 1829)

Kepala keluarga yang tidak memperhatikan keluarganya hingga istri dan anak-anaknya bermaksiat disebut DAYYUTS. Lelaki semacam ini sangat merugi di akhirat.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالْدَّيُّوثُ الَّذِى يُقِرُّ فِى أَهْلِهِ الْخُبْثَ

Ada tiga orang yang Allah haramkan masuk surga yaitu: pecandu khamar, orang yang durhaka pada orang tua, dan orang yang tidak memiliki sifat cemburu yang menyetujui anggota keluarganya berbuat dosa.” (HR. Ahmad, 2:69. Hadits ini sahih dilihat dari jalur lain).

Di antara yang kurang diperhatikan oleh suami sebagai kepala keluarga adalah memerintahkan istrinya berjilbab. Padahal dalam ayat Al-Qur’an telah diperintahkan,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Jangan sampai wanita muslimah menampakkan perhiasan dirinya sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)

Keterangan mengenai surah An-Nuur ayat 31, silakan perhatikan perkataan ulama Syafiiyyah berikut ini.
Imam Ibrahim bin Ahmad Al-Baajuuri rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa dilarang wanita membuka wajahnya. Memandang wanita dapat membangkitkan syahwat dan menimbulkan godaan. … Yang baik dalam syariat ini adalah menutup jalan agar tidak terjerumus dalam keharaman. Sebagaimana berdua-duaan dengan yang bukan mahram juga dilarang karena menutup jalan agar tidak terjerumus dalam yang haram yang lebih parah. Namun, ulama Syafiiyah lainnya berpandangan bahwa membuka wajah tidaklah haram. Karena hal itu masih masuk dalam ayat “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya”. Yang dimaksudkan yang boleh ditampakkan adalah wajah dan telapak tangan, menurut ulama yang lain. Adapun yang menjadi pendapat resmi madzhab (pendapat mu’tamad) adalah pendapat yang mengatakan bahwa wajah itu ditutup, terkhusus lagi zaman ini dengan banyakan wanita yang keluar di berbagai jalan dan pasar. Namun, taklid pada pendapat kedua yang membolehkan membuka wajah tak masalah.” (Hasyiyah Al-Baajuuri, 3:332-333)

Kalau kita memakai pendapat kedua yang membolehkan membuka wajah dan telapak tangan, berarti rambut kepala dan leher tak boleh terlihat.

Ancaman bagi wanita yang membuka aurat, di antara bentuknya berpakaian tetapi telanjang sebagaimana disebutkan dalam hadits,

لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim, no. 2128)

Kesimpulannya, jangan sampai kita membiarkan istri, anak putra, dan anak putri kita bermaksiat. Marilah mengajak mereka untuk shalat dan mengenakan jilbab, yaitu berpakaian yang menutupi aurat. Semoga Allah memasukkan kita semua ke dalam surga dan dijauhkan dari siksa neraka.

Semoga Allah beri taufik dan hidayah kepada kita semua.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ اْلأَسْقَامِ

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Jumat Siang, 29 Dzulhijjah 1443 H, 29 Juli 2022

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/34249-khutbah-jumat-ajaklah-keluarga-untuk-menjaga-shalat-menutup-aurat-dan-memakai-jilbab.html

Ketua Komisi VIII: Jamaah Usia 65 Tahun Lebih Jadi Prioritas Haji 2023

Komisi VIII DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Bondowoso, Senin (1/8) kemarin. Dalam kunjungan ini, disampaikan jamaah usia 65 tahun ke atas yang belum berangkat pada 2022, akan menjadi prioritas pada pemberangkatan musim haji 1444 H/2023 M.   

“Masyarakat yang belum berangkat haji tahun ini karena usia di atas 65 tahun, Insya Allah akan menjadi prioritas pada musim haji tahun depan,” ujar Ketua Komisi VIII DPR/RI, Yandri Susanto, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Selasa (2/8/2022). 

Dia menyebut, banyak masyarakat yang bertanya-tanya tentang nasib jamaah yang sudah mengantri sekian lama, namun belum bisa berangkat untuk menunaikan ibadah haji karena usia yang tidak sesuai ketentuan dari pemerintah Arab Saudi. 

Untuk itu, dia meminta agar masyarakat tidak perlu khawatir. Pemerintah disebut akan berupaya memperjuangkan nasib jamaah yang masuk kategori ini. 

Dikatakan Yandri, ada kurang lebih 57 ribu jamaah dengan usia lanjut yang memerlukan perhatian. Mereka kini tengah menanti untuk diberangkatkan ibadah menuju tanah suci. 

“Tahun ini memang belum bisa berangkat ke tanah suci. Selain memang pandemi yang belum berakhir, cuaca ekstrim di Arab Saudi juga menjadi salah satu pertimbangan jamaah dengan usia di atas 65 tahun belum bisa di berangkatkan ke tanah suci,” lanjut dia 

Lebih lanjut, Yandri berharap agar masyarakat dapat mendoakan kelancaran pelaksanaan haji, di tengah kenaikan biaya haji sampai mendekati angka Rp 100 juta. Meski demikian, masyarakat hanya membayar rata-rata 35 juta rupiah. 

Dia juga menyoroti perihal pelayanan yang diberikan kepada jamaah, baik di dalam negeri dan di Tanah Suci, yang juga terus ditingkatkan agar masyarakat dapat beribadah dengan nyaman dan khusyuk. 

“Masyarakat perlu tahu info ini agar dapat menyaring dan meluruskan informasi apalagi jika ada hoax penggunaan dana haji yang bukan untuk kepentingan haji,” ucapnya. 

Saat ini, di musim Haji 1443 H/2022 M sudah memasuki fase pemulangan jamaah haji gelombang kedua dari Madinah menuju Indonesia. Tercatat lebih dari 50 persen jamaah sudah sampai di kampung halaman masing-masing. 

Terhitung sejak awal keberangkatan jemaah haji pada 4 Juni 2022, operasional haji sudah memasuki hari ke-58. Sejumlah layanan di Arab Saudi telah diberikan kepada 92.668 jamaah haji reguler dalam rentang waktu itu, baik akomodasi, katering, maupun transportasi.